Meningkatkan Daya Saing Indonesia Melalu

Proseding Call for Paper 2012 : Membangun Etos Kerja Profesional di Bidang Pendidikan

Meningkatkan Daya Saing Indonesia Melalui Etos Kerja
Profesional Guru PAI dalam Rangka Era Regionalisasi ASEAN
2015
Andik Wahyu Muqoyyidin1
1

Dosen Fakultas Agama Islam UNIPDU Jombang
Email : andikwahyun_m@yahoo.com

ABSTRACT
This paper aims to describe the actual conditions of PAI teachers current
thinking and seeks to contribute towards efforts to develop professional work ethic of PAI
teachers. In fact, PAI teachers currently still has some drawbacks. First, the
qualifications and educational background are not in accordance with its assignment. On
the field, many of PAI teachers teach subjects that do not fit with the educational
qualifications and educational background they have. Second, do not have the
competencies required in accordance with its assignments. Professional teachers should
have the four competencies, namely pedagogical competence, cognitive, personality and
social. Therefore, a skilled teacher PAI besides teaching, also has extensive knowledge,

wise and able to socialize well. Third, income is determined according to job
performance. Meanwhile PAI teachers who excel and who did not earn the same
achievements. Fourth, lack of opportunities for professional development in a sustainable
manner. Many PAI teachers are stuck in the routine and the authorities did not
encourage PAI teachers to the development of self-competence or career. A series of
issues that educators, indicating the need for grand strategy in the setting of systemic
educational policy, in order to more efficiently and professionally. Government of
Indonesia thus will need to “revitalize the implementation of the management functions of
education” through the construction of professional work ethic of PAI teachers. These
call for a comprehensive human resource competencies that need to be spelled out in a
consistent and proportionate in order to support the improvement of Indonesia‟s
competitiveness in the era ASEAN regionalization of 2015.
Key words: regionalization of ASEAN, work ethic, professional, PAI teacher, student
services, the competitiveness of Indonesia

PENDAHULUAN
Salah satu implikasi yang cukup signifikan dari revolusi informasi adalah
fenomena globalisasi yang semakin intens. Globalisasi telah menjadi gelombang
besar yang tak terhindarkan dan telah memacu perubahan sosial dalam berbagai
level (lokal, nasional, regional dan global) menjadi sangat dinamis.

Pada tingkat regional Asia Tenggara, negara-negara yang tergabung dalam
ASEAN telah mendeklarasikan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC) yang

Seminar Nasional & Call for Paper – Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

A-1

Proseding Call for Paper 2012 : Membangun Etos Kerja Profesional di Bidang Pendidikan

akan diimplementasikan secara penuh pada tahun 2015 melalui Era Regionalisasi
ASEAN. Dalam kaitannya dengan ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint,
cetak biru ini merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan “to promote a
people-oriented ASEAN in which all sectors or society are encouraged to
participate in, and benefit from, the process of ASEAN integration and community
building.” (Pasal 1, ayat 13 Piagam ASEAN). Dengan kata lain, mulai Januari
tahun 2009 lalu diharapkan akan terdapat peningkatan interaksi dengan Entities
Associated with ASEAN; interaksi antar rakyat negara-negara anggota ASEAN
melalui berbagai kerjasama dalam bidang sosial-budaya khususnya pendidikan.
Secara demikian ASEAN Socio-Cultural Community dimaksudkan untuk
membawa ASEAN lebih dekat dengan masyarakatnya, lebih melibatkan

masyarakat negara-negara anggota dalam berbagai program kegiatan ASEAN
sehingga pada masa mendatang ASEAN bukan lagi hanya didominasi oleh
kalangan pejabat pemerintah dan diplomat. ASEAN Socio-Cultural Community ini
juga menjadi sangat penting dalam membangun Masyarakat ASEAN (ASEAN
Community) karena integrasi ekonomi dan kerjasama keamanan akan menjadi
tidak berarti jika links di antara masyarakatnya lemah.
Lebih lanjut, ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC) ini memuat tema
inti atau core elements yang terdiri dari: (1) Human Development, (2) Social
Welfare and Protection, (3) Social Justice and Rights, (4) Ensuring
Environmental Sustainability, (5) Building ASEAN Identity, (6) Narrowing the
Development Gap.
Sebagai penggagas pembentukan Komunitas ASEAN, Indonesia perlu
melakukan pendalaman materi secara komprehensif terhadap ASEAN SocioCultural Community (ASCC) untuk mengetahui tingkat ketahanan nasional
(tannas) bangsa Indonesia agar dalam tataran implementasi ASCC Blueprint dapat
selaras dengan upaya pemenuhan kepentingan nasional Indonesia. Implementasi
ASCC jelas secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada
berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya aspek pendidikan.
Seperangkat sistemik kebangsaan harus dipersiapkan dalam rangka meningkatkan
daya saing dan dari perspektif ini menjadi jelas bahwa membangun daya saing
nasional suatu negara bukanlah persoalan sederhana. Oleh karena itu, Era

Regionalisasi ASEAN 2015 harus disikapi dan direspons melalui upaya
peningkatan daya saing Indonesia. Salah satu aspek penting dan mendasar yang
perlu diperhatikan dalam upaya peningkatan daya saing Indonesia adalah
peningkatan etos kerja profesional guru PAI.
Tulisan ini, berupaya menguraikan permasalahan aktual pendidik saat ini
yang selanjutnya dijadikan dasar pemikiran dalam upaya peningkatan etos kerja
profesional guru PAI dalam rangka peningkatan daya saing Indonesia menghadapi
Era Regionalisasi ASEAN Tahun 2015.

Seminar Nasional & Call for Paper – Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

A-2

Proseding Call for Paper 2012 : Membangun Etos Kerja Profesional di Bidang Pendidikan

Etos Kerja Guru Pendidikan Agama Islam dan Implikasinya terhadap
Peningkatan Daya Saing Indonesia
Pendidikan agama di sekolah hingga saat ini, masih menghadapi berbagai
tantangan dan kritik dari berbagai pihak, terutama ketika membaca buku-buku
atau tulisan mengenai pendidikan Islam, dan/atau ketika dilakukan kegiatan

seminar/diskusi ataupun forum-forum lain yang mengangkat persoalan tersebut.
Di antara kritik yang patut dicermati adalah sebagai berikut.
1. Pendidikan Agama Islam (PAI) lebih terkonsentrasi pada persoalan-persoalan
teoretis keagamaan yang bersifat kognitif semata serta amalan-amalan ibadah
praktis, dan lebih berorientasi pada belajar tentang agama, kurang concern
terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif
menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri siswa.
2. Metodologi PAI tidak kunjung berubah, ia berjalan secara konvensionaltradisional, dan monoton.
3. Kegiatan PAI kebanyakan bersifat menyendiri, kurang berinteraksi dengan
yang lain, bersifat marjinal dan periferal.
4. Pendekatan PAI cenderung normatif, tanpa ilustrasi konteks sosial budaya.
5. Guru PAI terlalu terpaku pada GBPP mata pelajaran PAI.
6. Guru PAI lebih bernuansa guru spiritual/moral, dan kurang diimbangi dengan
nuansa intelektual dan profesional, dan suasana hubungan antara GPAI dan
siswa lebih berperspektif doktriner, kurang tercipta suasana hubungan kritisdinamis yang dapat berimplikasi dan berkonsentrasi pada peningkatan daya
kreativitas, etos ilmu dan etos kerja/amal.
Berbagai kritik tersebut bukanlah bertendensi untuk mendiskreditkan PAI
di sekolah umum, tetapi lebih berperspektif ke depan untuk peningkatan dan
pengembangannya karena bagaimanapun PAI dirasakan sangat urgen dan mampu
memberi kontribusi terhadap peningkatan keimanan dan ketakwaan para siswa.

Apalagi di dalam Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dinyatakan bahwa pendidikan agama wajib diberikan pada setiap jalur,
jenis dan jenjang pendidikan.
Berbagai tantangan dan kritik tersebut –dengan demikian– perlu dicarikan
solusi pemecahannya mulai dari penggalian kembali akar permasalahannya
sampai dengan perbaikan dan penyempurnaan dimensi-dimensi operasionalnya.
Menurut hemat (Muhaimin et al., 2004) di antara akar permasalahannya terletak
pada lemahnya etos kerja GPAI, dalam arti lemahnya semangat dan cara kerja,
serta semangat keilmuan GPAI dalam pengembangan pendidikan agama di
sekolah.
Hasil eksplorasi (Muhaimin et al., 2004) pada beberapa Sekolah
Menengah Umum Negeri (SMUN) di Kotamadya Malang menunjukkan bahwa
beberapa SMUN yang memiliki GPAI tangguh dan beretos kerja tinggi, serta
didukung oleh kepala sekolah yang mau memberi peluang bagi pengembangan
pendidikan agama di sekolahnya, tampaknya, mampu mengadakan dan

Seminar Nasional & Call for Paper – Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

A-3


Proseding Call for Paper 2012 : Membangun Etos Kerja Profesional di Bidang Pendidikan

menghidupkan kegiatan keagamaan yang bersifat ekstrakurikuler atau lainnya,
bahkan tercipta suasana religius di sekolahnya, dan kasus-kasus kenakalan pelajar
bisa dieliminir. Kecenderungan ini tidak bisa dilepaskan dari komitmen GPAI
dalam meningkatkan kualitas layanan PAI, serta etos kerja dan profesionalnya.
Namun demikian, berapa banyak sekolah yang mampu berbuat semacam itu,
belum lagi kalau dilihat dari tingkat keefektifan dan efisiensinya serta kualitas
penyelenggaraan PAI. Hal ini rupanya masih perlu dicermati ulang dan diteliti
lebih lanjut.
SMUN yang maju dan favorit biasanya diukur dari tingginya nilai UAN
yang diraihnya, dan para lulusannya dapat diterima di beberapa Perguruan Tinggi
Negeri (PTN) terkenal di Indonesia. Sebaliknya, biasanya disebut sebagai SMUN
yang kurang maju atau tidak favorit. Menurut asumsi (Muhaimin et al., 2004)
maju/tidaknya SMUN, antara lain, lebih ditentukan oleh tinggi/rendahnya etos
kerja para guru dan pengelola pendidikannya. Tetapi apakah kemajuan itu diikuti
oleh kemajuan dan tingginya kualitas keberagamaan para siswa atau masyarakat
sekolahnya, serta tingginya etos kerja GPAI-nya di SMUN. Hal ini agaknya masih
perlu dicermati ulang.
Kajian ini akan mendeskripsikan apa sebenarnya etos kerja guru agama,

apa saja faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan bagaimana implikasinya
terhadap peningkatan daya saing Indonesia dalam rangka Era Regionalisasi
ASEAN 2015.
Ciri-Ciri Etos Kerja Profesional Guru Pendidikan Agama Islam
Kata “etos” berasal dari bahasa Yunani “ethos”, yang berarti ciri, sifat atau
kebiasaan, adat istiadat, atau juga kecenderungan moral, pandangan hidup yang
dimiliki oleh seseorang, suatu golongan atau suatu bangsa (Buchori, 1994). Dari
kata etos terambil pula kata etika dan etis yang mengacu kepada makna akhlak
atau bersifat akhlaki, yakni kualitas esensial seseorang atau suatu kelompok,
termasuk suatu bangsa (Muhaimin, 1998). Jadi, etos kerja berarti karakteristik
(ciri-ciri atau sifat) mengenai cara bekerja, kualitas esensial dari cara bekerja,
sikap atau kebiasaan terhadap kerja, pandangan terhadap kerja, yang dimiliki oleh
seseorang, suatu kelompok atau bangsa.
Etos kerja GPAI dapat berarti ciri-ciri atau sifat (karakteristik) mengenai
cara bekerja, yang sekaligus mengandung makna kualitas esensialnya, sikap dan
kebiasaannya serta pandangannya terhadap kerja yang dimiliki oleh GPAI dalam
melaksanakan dan mengembangkan kegiatan pendidikan agama Islam di Sekolah.
Pada dasarnya, Islam adalah agama amal atau kerja (praksis). Inti
ajarannya adalah bahwa hamba mendekati dan memperoleh rida Allah melalui
kerja atau amal saleh dan dengan memurnikan sikap penyembahan hanya kepadaNya (Q.S. Al-Kahfi: 110). Hal ini mengandung makna bahwa Islam adalah agama

yang mengajarkan “orientasi kerja” (achievement orientation), sebagaimana juga
dinyatakan dalam ungkapan bahwa “penghargaan dalam Jahiliyah berdasarkan

Seminar Nasional & Call for Paper – Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

A-4

Proseding Call for Paper 2012 : Membangun Etos Kerja Profesional di Bidang Pendidikan

keturunan, sedangkan penghargaan dalam Islam berdasarkan amal” (Madjid,
1995). Tinggi atau rendahnya derajat takwa seseorang juga sangat ditentukan oleh
prestasi kerja atau kualitas amal saleh sebagai aktualisasi dari potensi imannya.
Nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam ajaran Islam tersebut
menggarisbawahi suatu totalitas pandangan hidup muslim yang seharusnya lebih
menghargai dan concern terhadap kualitas proses dan produk kerja ketimbang
bersikap dan bekerja apa adanya untuk sekadar melaksanakan tugas dan
kewajiban yang bersifat rutinitas. Nilai-nilai tersebut sekaligus harus menjadi
kekuatan pendorong dan sumber inspirasi bagi berbagai gerakan umat Islam,
termasuk di dalamnya yang terkait dengan gerakan ilmiah dan/atau gerakan
peningkatan dan pengembangan kualitas pendidikan agama Islam di sekolah.

Namun demikian, agaknya nilai-nilai mendasar tersebut belum tentu
senantiasa menjadi kesadaran setiap muslim dan terefleksi dalam realitas
kehidupannya, sungguhpun (kadangkala) ia dikenal sebagai muslim yang
memiliki kesalehan ritual di kalangan masyarakatnya. Bangsa Indonesia yang
mayoritas beragama Islam sepatutnya merasa prihatin ketika membaca dan
menyimak statement Amin Rais, sebagaimana pernah dimuat dalam Jawa Pos,
yang mengemukakan hasil penelitian dari World Bank bahwa dari sekitar 45
bangsa di dunia ternyata bangsa Indonesia tidak termasuk yang paling rajin.
Tetapi dari yang paling malas, ternyata bangsa Indonesia menduduki ranking
ketiga dari 45 bangsa itu. Hal ini merupakan salah satu indikasi akan lemahnya
etos kerja bangsa Indonesia.
Robert Levine, pada tahun 1985, telah mengadakan penelitian tentang
kesadaran waktu dari masyarakat Jepang, Taiwan, Itali, Inggris, Amerika Serikat,
dan Indonesia. Ia memilih indikator-indikator akurasi jam di Bank, kecepatan laju
pejalan kaki dan waktu rata-rata yang dibutuhkan pegawai pos melayani pembeli
sehelai perangko. Dari beberapa negara tersebut ternyata Indonesia adalah yang
paling molor dan lamban (Ali, 1987). Kurang tingginya kesadaran terhadap waktu
bisa dipandang sebagai salah satu indikator dari lemahnya etos kerja dari bangsa
Indonesia.
Singgih D. Gunarsa juga menyatakan bahwa kepekaan orang Indonesia

terhadap waktu agak kurang. Ada kebiasaan hidup santai yang akhirnya
memasyarakat. Latar belakang hidup agraris, dijadikan alasan sikap santai
tersebut. Bagi Robert Levine, melihat faktor lain yang patut dipertimbangkan
lebih serius, yaitu menyangkut hubungan waktu dengan kondisi kesehatan
(kelainan jasmani dan rohani). Karena itu, Slamet Iman Santosa (Maret 1985)
menyatakan bahwa “jiwa santai nasional perlu diatasi dengan tekad panjang
berkesinambungan dalam mengejar ketinggalan di segala bidang” (Ali, 1987).
Statement tersebut dalam hemat penulis, tetap sangat relevan dalam konteks
pembicaraan kita tentang upaya meningkatkan daya saing bangsa Indonesia dalam
percaturan global.

Seminar Nasional & Call for Paper – Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

A-5

Proseding Call for Paper 2012 : Membangun Etos Kerja Profesional di Bidang Pendidikan

Sikap malas, lemahnya kesadaran terhadap waktu dan kebiasaan atau jiwa
hidup santai pada seseorang akan berimplikasi pada sikap sembrono (acuh tak
acuh) dalam bekerja, kurang peduli terhadap proses dan hasil kerja yang bermutu,
suka memandang enteng bentuk-bentuk kerja yang dilaksanakannya, kurang
sungguh-sungguh dan tidak teliti, tidak efisien dan efektif, dan kurang memiliki
dinamika dan komitmen yang tinggi terhadap pekerjaannya.
Jika sikap semacam itu melekat pada diri GPAI di sekolah umum, di mana
porsi pendidikan agama hanya 2 (dua) jam pelajaran maka pendidikan agama akan
semakin berada pada posisi marginal dan periferal dan kurang memberikan makna
bagi pengembangan wawasan, sikap dan mental yang religius bagi para siswa dan
masyarakat sekolah itu sendiri.
Keadaan etos kerja seseorang setidak-tidaknya dapat dibidik dari cara
kerjanya yang memiliki 3 ciri dasar, yaitu (1) keinginan untuk menjunjung tinggi
mutu pekerjaan (job quality); (2) menjaga harga diri dalam melaksanakan
pekerjaan; dan (3) keinginan untuk memberikan layanan kepada masyarakat
melalui karya profesionalnya (Buchori, 1994).
Ketiga ciri dasar tersebut pada dasarnya terkait dengan kualifikasi yang
harus dimiliki oleh guru pada umumnya, yaitu kualifikasi personal dan
profesional (Sahertian, 1994). Ciri yang pertama terkait dengan kualifikasi
profesional, sedangkan ciri kedua dan ketiga terkait dengan kualifikasi persona l
dan sosial.
Dalam pola pemahaman sistem tenaga kependidikan di Indonesia, terdapat
tiga dimensi umum kompetensi yang saling menunjang membentuk kompetensi
profesional tenaga kependidikan, yaitu (1) kompetensi personal; (2) kompetensi
sosial; dan (3) kompetensi profesional (Sahertian, 1994). Dilihat dari sisi ini,
maka ciri dasar yang pertama tersebut di atas terkait dengan kompetensi
profesional, yakni menyangkut kemampuan dan kesediaan serta tekad GPAI
untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan agama yang telah dirancang melalui
proses dan produk kerja yang bermutu. Ciri dasar yang kedua terkait dengan
kompetensi personal, yakni ciri hakiki dari kepribadian GPAI untuk menjaga
harga diri dalam melaksanakan pekerjaannya guna mencapai tujuan pendidikan
agama yang ditetapkan. Ciri dasar yang ketiga terkait dengan kompetensi sosial,
yakni perilaku GPAI yang berkeinginan dan bersedia memberikan layanan kepada
masyarakat melalui karya profesionalnya untuk mencapai tujuan pendidikan
agama.
Para ulama telah memformulasikan sifat-sifat, ciri-ciri, dan tugas-tugas
guru yang diharapkan agar berhasil dalam menjalankan tugas-tugas
kependidikannya. Berbagai sifat, ciri-ciri, dan tugas tersebut sekaligus
mencerminkan etos kerja guru yang diharapkan (ideal).
Dilihat dari dimensi personalnya, Imam a-Ghazali (t.t), Al-Nahlawy
(1979), Al-Abrasyi (1969), Al-Kailany (1986), Al-Qurasyi (1984); menyatakan
bahwa seorang guru harus meneladani Rasulullah, dalam arti tujuan, tingkah laku,

Seminar Nasional & Call for Paper – Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

A-6

Proseding Call for Paper 2012 : Membangun Etos Kerja Profesional di Bidang Pendidikan

dan pola pikirnya bersifat Rabbani; ikhlas dalam bekerja atau bekerja karena
mencari keridaan Allah; menjaga harga diri dan kehormatan; menjadi teladan bagi
peserta didiknya; menerapkan ilmunya dalam bentuk perbuatan; sabar dalam
mengajarkan ilmunya kepada peserta didik dan tidak mau meremehkan mata
pelajaran lainnya.
Dilihat dari dimensi sosialnya, Imam Al-Ghazali, Al-Nahlawy, AlAbrasyi, Al-Kailany, Al-Qurasyi menyatakan bahwa seorang guru harus bersikap
lemah lembut dan kasih sayang terhadap peserta didik; suka memaafkan terhadap
peserta didik, mampu menahan diri, menahan amarah, lapang dada, sabar, dan
tidak mudah marah karena hal sepele; mampu mencegah peserta didik dari akhlak
yang jelek (sedapat mungkin) dengan cara sindiran dan tidak tunjuk hidung; dan
bersikap adil di antara peserta didiknya.
Dilihat dari dimensi profesionalnya, Imam al-Ghazali, Al-Nahlawy, AlAbrasyi, Al-Kailany, Al-Qurasyi menyatakan bahwa seorang guru harus
mempelajari kehidupan psikis (tabiat, minat, kebiasaan, perasaan dan
kemampuan) peserta didik selaras dengan masa perkembangannya sehingga
dalam menyajikan pelajaran akan tepat pada sasarannya; menguasai bidang yang
diajarkan serta berusaha mendalami dan mengembangkannya; mempunyai
kemampuan mengajar; dan tanggap terhadap berbagai kondisi dan perkembangan
kehidupan modern yang dapat mempengaruhi sikap, pola pikir dan tingkah laku
peserta didik, serta mampu mencari solusi yang bersifat Islami dalam menghadapi
masalah tersebut.
Dalam konteks pendidikan agama Islam di sekolah, rumusan para ulama
tersebut dapat dijadikan sebagai alat untuk memahami etos kerja GPAI. Hanya
saja, dalam konteks masa kini dan masa depan, yang masyarakatnya memiliki tiga
karakteristik, yaitu masyarakat teknologi, masyarakat terbuka, dan masyarakat
madani (Tilaar, 1998) etos kerja GPAI sudah barang tentu tidak hanya
berorientasi pada peningkatan kualitas dimensi personal dan sosial, tetapi juga
perlu adanya keseimbangan dengan peningkatan kualitas dimensi intelektual dan
profesionalnya. Karena itu, perlu adanya keseimbangan antara orientasi
pendidikan agama yang menuntut kesalehan individu dan sosial dengan kesalehan
intelektual dan profesional.
Kesalehan intelektual dan profesional dari guru pada umumnya ditandai
dengan beberapa karakteristik sebagai berikut: (1) memiliki kepribadian yang
matang dan berkembang karena bagaimanapun profesionalism is predominantly
an attitude, not only a set of competencies; (2) menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi (bidang keahliannya) serta wawasan pengembangannya karena seorang
guru yang akan menginspirasi siswanya kepada ilmu pengetahuan haruslah
menguasai ilmu pengetahuan itu sendiri, tidak boleh setengah-setengah; (3)
menguasai keterampilan untuk membangkitkan minat siswa kepada ilmu
pengetahuan; dan (4) siap untuk mengembangkan profesi yang
berkesinambungan, agar ilmu dan keahliannya tidak cepat tua atau out of date.

Seminar Nasional & Call for Paper – Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

A-7

Proseding Call for Paper 2012 : Membangun Etos Kerja Profesional di Bidang Pendidikan

Sebagai implikasinya, GPAI akan selalu concern dan komitmen dalam
peningkatan studi lanjut, mengikuti kegiatan-kegiatan diskusi, seminar, pelatihan
dan lain-lainnya (Tilaar, 1998).
Berbagai uraian di atas, menggambarkan keadaan etos kerja guru,
termasuk GPAI, yang positif dan tinggi. Sebaliknya, terdapat prototipe guru yang
keadaan etos kerjanya rendah. Hasil penelitian Wiles (1955) yang dikutip oleh
(Sahertian, 1998) menyebutkan sejumlah prototipe guru di sekolah, antara lain (1)
guru yang malas; (2) guru yang pudar; (3) guru tua; (4) guru yang kurang
demokratis; dan (5) guru yang suka menentang.
Menurut hasil penelitian Wiles tersebut, guru yang malas kebanyakan
bersumber pada gaji yang tidak cukup, kemudian ia mencari pekerjaan tambahan
di luar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tiap bulan. Akibatnya, etos kerjanya
sebagai guru agama di sekolah semakin menurun. Guru yang pudar adalah guru
yang jarang tersenyum, kurang humor, kurang ramah, sukar bergaul dengan orang
lain dan seterusnya. Guru tua adalah guru yang sudah terlalu lama dinas, sehingga
sukar diubah. Biasanya mereka kurang percaya diri dan merasa tersaingi dengan
tampilnya guru-guru muda. Oleh karena itu, ia menunjukkan harga diri seolaholah tinggi, padahal ia sendiri tidak lagi ingin mengembangkan dirinya agar terus
bertumbuh dalam jabatannya. Guru yang kurang demokratis, yakni orang yang
sudah terlalu lama bekerja biasanya terlalu memusatkan perhatian pada kepuasan
dirinya sendiri. Rasa harga dirinya terlalu tinggi, sehingga memperlakukan diri
melebihi batas kebebasan orang lain, ia bersifat tidak demokratis. Guru yang suka
menentang, yakni guru yang sangat kritis, sehingga ia berpikir kritis dan selalu
suka mengkritik orang lain. Suka mengkritik sudah merupakan suatu kebiasaan
(habit). Kecenderungan ini tidak selalu baik bila berhadapan, baik dengan guru
lain maupun dengan siswa karena bisa jadi menjatuhkan mental dan semangat
belajar mereka untuk aktualisasi diri.
Sejumlah prototipe guru tersebut barangkali dapat dipakai sebagai
kerangka teoretik untuk memahami keadaan etos kerja GPAI di Sekolah Umum,
terutama dalam konteks etos kerja yang negatif dan rendah.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja Guru Pendidikan Agama
Islam
Seseorang agaknya akan sulit melakukan tugas/pekerjaannya dengan tekun
dan memiliki komitmen terhadap ketiga ciri dasar tersebut di atas, jika pekerjaan
itu kurang bermakna baginya, dan tidak bersangkutan dengan tujuan hidupnya
yang lebih tinggi, langsung ataupun tidak langsung. Cara kerja seseorang yang
memandang pekerjaannya sebagai kegiatan untuk mencari nafkah semata atau
hanya untuk memperoleh salary (gaji) dan sandang pangan demi survival fisik
jangka pendek, agaknya akan berbeda dengan cara kerja seseorang yang
memandang tugas/pekerjaannya sebagai calling professio dan amanah yang
hendak dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.

Seminar Nasional & Call for Paper – Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

A-8

Proseding Call for Paper 2012 : Membangun Etos Kerja Profesional di Bidang Pendidikan

Munculnya sikap malas, santai dan tidak disiplin waktu dalam bekerja
dapat bersumber dari pandangannya terhadap pekerjaan dan tujuan hidupnya.
Karena itu, adanya etos kerja yang kuat pada seseorang (GPAI) memerlukan
kesadaran mengenai kaitan suatu pekerjaan dengan pandangan hidupnya yang
lebih menyeluruh, dan yang memberinya keinsafan akan makna dan tujuan
hidupnya.
Uraian di atas menggarisbawahi adanya faktor internal, antara lain sistem
kepercayaan yang menjadi pandangan hidup seseorang, yang seringkali
mempengaruhi dan ikut membentuk etos kerja seseorang sehingga latar belakang
terbentuknya etos kerja GPAI, antara lain dapat dipantau dari sudut pandang
tersebut. Hanya saja suatu kenyataan empiris tidaklah selalu berdiri sendiri dan
bersifat linier, tetapi merupakan akibat dari beberapa faktor. Penjelasan tentang
terbentuknya etos kerja seseorang (termasuk GPAI) juga tidak dapat hanya dilihat
dari satu sudut pandang, seperti sistem kepercayaan sebagaimana uraian tersebut
di atas karena bisa jadi faktor tersebut tidak mendukungnya, dan justru terdapat
faktor-faktor lain yang lebih dominan.
Patutlah disimak beberapa pendapat para pakar berikut ini, antara lain (Ali,
1987) menyatakan bahwa ada tiga hal yang ikut membentuk watak karakter dan
tindak laku seseorang, yaitu sistem budaya dan agama; sistem sosial; dan
lingkungan alam di mana orang itu hidup. (Rahardjo, 1993) menyatakan bahwa
etos kerja tidak semata-mata bergantung pada nilai-nilai agama dalam arti sempit,
tetapi dewasa ini sangat dipengaruhi oleh pendidikan, informasi, dan komunikasi.
Oleh sebab itu, yang perlu dikembangkan adalah etos ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dan menurut kesimpulan (Madjid, 1995) bahwa masalah etos kerja
tidak bisa dipandang dari satu sudut pertimbangan, yaitu pertimbangan ajaran
(yang murni) semata, tetapi juga melibatkan sudut pandang historis, sosiologis,
dan faktor-faktor lingkungan lain, baik di luar diri manusia maupun dalam dirinya
sendiri.
Dari ketiga pendapat tersebut tampaknya terdapat titik temu dalam
menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi etos kerja seseorang. Jika
dikaitkan dengan etos kerja GPAI di sekolah, maka ada dua aspek esensial dalam
menjelaskan faktor-faktor tersebut, yaitu (1) faktor pertimbangan internal, yang
menyangkut: ajaran yang diyakini atau sistem budaya dan agama, semangat untuk
menggali informasi dan menjalin komunikasi; dan (2) faktor pertimbangan
eksternal, yang menyangkut: pertimbangan historis, termasuk di dalamnya latar
belakang pendidikan dan lingkungan alam di mana ia hidup; pertimbangan
sosiologis atau sistem sosial di mana ia hidup; dan pertimbangan lingkungan
lainnya, seperti lingkungan kerja seseorang.
Dalam konteks pertimbangan eksternal, terutama yang menyangkut
lingkungan kerja, secara lebih rinci (Arifin, 1991) menyatakan bahwa ada
beberapa hal yang mempengaruhi semangat kerja, yaitu (1) volume upah kerja
yang dapat memenuhi kebutuhan seseorang; (2) suasana kerja yang

Seminar Nasional & Call for Paper – Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

A-9

Proseding Call for Paper 2012 : Membangun Etos Kerja Profesional di Bidang Pendidikan

menggairahkan atau iklim yang ditunjang dengan komunikasi demokrasi yang
serasi dan manusiawi antara pimpinan dan bawahan; (3) penanaman sikap dan
pengertian di kalangan pekerja; (4) sikap jujur dan dapat dipercaya dari kalangan
pimpinan terwujud dalam kenyataan; (5) penghargaan terhadap need for
achievement (hasrat dan kebutuhan untuk maju) atau penghargaan terhadap yang
berprestasi; dan (6) sarana yang menunjang bagi kesejahteraan mental dan fisik,
seperti tempat olah raga, masjid, rekreasi, hiburan dan lain-lain.
Deskripsi dari M. Arifin tersebut rupanya banyak terkait dengan sistem
manajemen kerja dan segala faktor pendukungnya yang perlu diciptakan dalam
lingkungan masyarakat sekolah.

Implikasinya terhadap Peningkatan Daya Saing Indonesia dalam Rangka
Era Regionalisasi ASEAN 2012
Masalah peningkatan etos kerja bukanlah masalah yang semata-mata
menggenjot semangat kerja, melainkan juga merupakan masalah peningkatan
mutu produk kerja sebagai implikasi dan konsekuensi dari etos kerja seseorang.
Ada kaitan yang erat antara mutu produk kerja, profesionalisme, dan etos kerja.
Upaya-upaya untuk meningkatkan mutu produk kerja akan selalu terjalin dengan
usaha-usaha untuk meningkatkan semangat profesionalisme dan etos kerja.
Demikian pula upaya untuk meningkatkan etos kerja akan merupakan pelengkap
dari usaha untuk meningkatkan mutu produk dan semangat profesionalisme.
Untuk menjelaskan mutu produk tersebut dapat dilihat dari segi
sejauhmana masyarakat merasakan produk-produk yang telah disajikan dan
diserahkan di masyarakat sebagai implikasi dan konsekuensi dari etos kerja dan
profesionalisme yang dikembangkan oleh seseorang atau kelompok, seperti jasajasa pelayanan, publikasi, lulusan suatu lembaga pendidikan dan lain-lain. Dalam
konteks etos kerja dan profesionalisme guru agama, maka implikasi dan
konsekuensi tersebut akan tampak pada kegiatan-kegiatan dan produk pendidikan
agama, baik yang disajikan pada masyarakat sekolah tersebut, yang menyangkut
kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler, penciptaan suasana religius yang tumbuh
dan berkembang di lingkungan sekolah, maupun kualitas keagamaan lulusannya
yang diserahkan pada masyarakat setamat dari sekolah.
Masalah peningkatan mutu kegiatan dan produknya, etos kerja dan
profesionalisme merupakan suatu tugas tanpa akhir, atau meminjam istilah
(Buchori, 1994) sebagai suatu never ending business. Karena itu, GPAI yang
mempunyai etos kerja yang tinggi akan mempunyai kewajiban moral, kewajiban
sosial, dan sekaligus kewajiban historis untuk meningkatkan mutu kegiatan dan
produknya, etos kerja, dan profesionalismenya, bilamana: (1) ia merasa belum
puas terhadap kegiatan dan produk yang disajikannya; (2) masyarakat (sekolah

Seminar Nasional & Call for Paper – Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

A-10

Proseding Call for Paper 2012 : Membangun Etos Kerja Profesional di Bidang Pendidikan

atau luar sekolah) masih mengeluh terhadap mutu salah satu atau lebih dari
kegiatan dan produk GPAI; dan (3) kegiatan-kegiatannya beserta produknya
masih belum memecahkan secara tuntas persoalan-persoalan masyarakat sekolah
yang merupakan sasaran garapannya.
Dalam Kongres Guru se-Dunia ke-27, masalah profesi guru menjadi topik
utama yang dibahas secara luas dan mendalam demi kepentingan profesi guru
untuk menyongsong masa depan. Dari 57 negara bersepakat bahwa pendidikan
harus dikelola oleh guru yang profesional karena masyarakat yang makin modern
menuntut profesionalisasi dalam bidang-bidang tugas kekaryaan kependidikan
pada khususnya dan bidang-bidang lain pada umumnya (Arifin, 1991). Menurut
(Muhaimin, 2004) guru yang profesional perlu dibarengi dengan etos kerja yang
tinggi pula karena antara keduanya saling melengkapi untuk menghasilkan mutu
akademik atau produk kerja yang bermutu.
Dalam konteks pendidikan agama di sekolah, suasana hubungan kesetiaan
antara GPAI dan siswa tidak harus selalu berperspektif doktriner, tetapi juga harus
diciptakan suasana hubungan kritis-dinamis yang dapat berimplikasi dan
berkonsekuensi pada peningkatan daya kreativitas, etos ilmu dan etos kerja secara
bersama-sama dari GPAI itu sendiri dan sekaligus siswanya.
GPAI di satu pihak dapat disebut sebagai guru spiritual dan/atau guru
moral, sehingga ia dituntut untuk memiliki kompetensi personal dan sosial. Di
lain pihak, GPAI juga sekaligus disebut sebagai profesi, sehingga ia dituntut
untuk memiliki kompetensi profesional dan layanan. GPAI sebagai profesi bukan
hanya mengandung makna kegiatan untuk mencari nafkah atau mata pencaharian,
tetapi juga tercakup pengertian calling professio, yakni panggilan terhadap
pernyataan janji yang diucapkan di muka umum untuk ikut berkhidmat guna
merealisasi terwujudnya nilai mulia yang diamanatkan oleh Tuhan dalam
masyarakat melalui usaha kerja keras (Wignyosubroto, 1996).
Menurut (Buchori, 1994) bahwa kegiatan atau pekerjaan itu dikatakan
profesi bila ia dilakukan untuk mencari nafkah dan sekaligus dilakukan dengan
tingkat keahlian yang cukup tinggi. Agar suatu profesi dapat menghasilkan mutu
produk yang baik, ia harus dibarengi dengan etos kerja yang mantap pula.
Menurut (Buchori, 1994) ada tiga ciri dasar yang selalu dapat dilihat pada setiap
profesional yang baik mengenai etos kerjanya, yaitu (1) keinginan untuk
menjunjung tinggi mutu pekerjaan (job quality); (2) menjaga harga diri dalam
melaksanakan pekerjaan; dan (3) keinginan untuk memberikan layanan kepada
masyarakat melalui karya profesionalnya. Ketiga ciri dasar tersebut merupakan
etos kerja yang seharusnya melekat pada setiap pekerjaan yang profesional.
Ada kaitan yang erat antara etos kerja, profesionalisme dan mutu produk
kerja seseorang. Peningkatan etos kerja akan merupakan pelengkap dari usaha
untuk meningkatkan mutu produk kerja dan semangat profesionalisme. Dalam
konteks pendidikan agama, keberhasilan atau kegagalan GPAI dalam
meningkatkan mutu hasil pendidikan agama Islam, profesionalisme dan etos kerja

Seminar Nasional & Call for Paper – Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

A-11

Proseding Call for Paper 2012 : Membangun Etos Kerja Profesional di Bidang Pendidikan

akan dapat dirasakan oleh masyarakat melalui profil para lulusan (keluaran yang
telah dididiknya di sekolah). Selama GPAI belum puas dengan mutu hasil
pendidikan agama dari para lulusan suatu sekolah yang diserahkan kepada
masyarakat, maka ia mempunyai kewajiban moral untuk meningkatkan mutu hasil
pendidikan agama, profesionalisme dan etos kerjanya di sekolah. Selama
masyarakat mengeluh tentang mutu hasil pendidikan agama dari suatu sekolah,
maka guru agama mempunyai kewajiban sosial untuk meningkatkan mutu hasil
pendidikan agama, profesionalisme dan etos kerjanya di sekolah.
Karena itu, bila GPAI dipandang sebagai profesi maka ada beberapa
ketentuan yang harus ditaati, yaitu (1) setiap profesi dikembangkan untuk
memberikan layanan tertentu kepada masyarakat; (2) profesi bukan sekadar mata
pencaharian, tetapi juga tercakup pengertian “pengabdian kepada sesuatu”; dan
(3) mempunyai kewajiban untuk menyempurnakan prosedur kerja yang mendasari
pengabdiannya secara terus menerus dan tidak mandeg (Buchori, 1994).
Kalau kita simak hasil laporan lembaga internasional mengenai masalah
pendidikan, pembangunan manusia, dan daya saing Indonesia, maka kita patut
prihatin. Indeks pendidikan kita berada di urutan 7, indeks pembangunan manusia
berada di urutan 6 dan indeks daya saing (competitiveness index) kita berada di
ranking 5 dari 10 negara ASEAN. Terlepas setuju atau tidak dengan ukuran yang
dipakai, itulah penilaian lembaga internasional ternama seperti United Nations
Development Program (UNDP). Penulis berharap data ini dapat dipakai untuk
memacu pembangunan pendidikan pada masa mendatang.
Salah satu instrumen kebijakan yang dapat dipakai untuk memperbaiki tiga
macam indeks pengukuran di atas adalah dengan memajukan pendidikan. Banyak
ahli berpendapat bahwa variabel pendidikan inilah sebenarnya yang dapat dipakai
sebagai pemicu (trigger) dalam menggerakkan pembangunan suatu bangsa.
Instrumen kebijakan yang dapat ditawarkan untuk memicu pembangunan
pendidikan, dengan tanpa berangkat dari nol, adalah dengan cara melakukan
revitalisasi sumber daya pendidikan. Revitalisasi pendidikan untuk mencapai
keunggulan kompetitif, memberi makna bahwa peran pendidikan itu diyakini
sangat penting dan strategis, namun karena pengelolaan sumber dayanya tidak
atau kurang baik, maka keunggulan kompetitif pendidikan di Indonesia menjadi
rendah. Karena itu solusinya adalah bagaimana melakukan revitalisasi sumber
daya pendidikan tersebut agar kemampuan kompetisi (competitiveness) menjadi
tinggi.
Untuk mengetahui sampai seberapa besar tingkat kompetisi pendidikan di
Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangga ASEAN, maka berikut ini
disajikan secara singkat beberapa indikator pembangunan sumber daya manusia
(yang erat kaitannya dengan kualitas pendidikan) dan pembangunan di sektor
pendidikan.
Ada tiga sumber data yang dipakai untuk menjelaskan kemajuan
pembangunan manusia dan di sektor pendidikan, yaitu data yang bersumber dari

Seminar Nasional & Call for Paper – Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

A-12

Proseding Call for Paper 2012 : Membangun Etos Kerja Profesional di Bidang Pendidikan

United Nations Development Program (UNDP, 2006) yang membandingkan
kemajuan pendidikan Indonesia dengan negara ASEAN lainnya; data evaluasi
pendidikan Indonesia dari BPS, Bappenas, UNDP (2006), dan data dari Program
Pembangunan Nasional (Propenas) Departemen Pendidikan.
1.

Human Development Index (HDI)
Human Development Index (HDI) dapat mencerminkan bagaimana posisi
sebuah negara dengan negara lain dalam tingkat kesejahteraan masyarakat yaitu
pembangunan manusianya termasuk di dalamnya pembangunan di bidang
pendidikan, sehingga analisis Human Development Index (HDI) dapat digunakan
sebagai acuan untuk melaksanakan pembangunan (Rokhmani, 2009).
Human Development Index (HDI) diukur dari beberapa aspek, yaitu:
Life expectancy at birth (harapan hidup saat lahir). Aspek ini digunakan
sebagai tolok ukur kualitas kesehatan.
Adult litteracy rate (angka melek huruf orang dewasa). Aspek ini sebagai
tolok ukur pemerataan pendidikan.
Combined gross enrollment ratio for primary, secondary, and tertiary
education. Aspek ini untuk mengukur keterjangkauan masyarakat terhadap
pendidikan.
Gross Domestic Product per capita (GDP per capita). Aspek ini jelas
mengukur tentang taraf ekonomi masyarakat.
Human Development Index (HDI) untuk Indonesia pada tahun 2005 berada
pada peringkat 107 dunia. Sedangkan pada tahun 2006 berada pada peringkat 109
dan pada tahun 2007 kembali lagi ke peringkat 107 dunia.
Tahun 2005, HDI Indonesia berada di peringkat 107 dunia, di bawah
Vietnam (105) dan Palestina (106). Pada tahun tersebut, harapan hidup manusia
Indonesia adalah 69,7 tahun. Selain itu, di tahun yang sama 90,4% penduduknya
yang berusia di atas 15 tahun sudah melek huruf. Dibandingkan Malaysia yang
duduk di peringkat 63, angka melek huruf Indonesia cukup membanggakan
karena di tahun 2005 baru 88,7% penduduk Malaysia yang melek huruf. Untuk
aspek ketiga, pencapaiannya baru 68,2% dengan GDP per capita 3.843 USD.
Tahun 2006, Indonesia berada di peringkat 109 dunia. Palestina berada di
peringkat 106, Gabon di 107, dan Turkmenistan di peringkat 108. Angka melek
huruf di Malaysia pun sudah menandingi Indonesia, 91,5% sementara Indonesia
91,0%. Di tahun 2006, harapan hidup manusia Indonesia 70,1 tahun. Sementara
itu, kualitas manusia Indonesia pada tahun 2011 mengalami kenaikan tipis tetapi
jika dibandingkan 5 negara besar ASEAN, kualitas manusia di Indonesia berada
di posisi paling buncit. Tahun 2011, HDI Indonesia 0,617, naik dibandingkan
tahun 2010 yang 0,613. Dengan nilai tersebut, Indonesia menduduki peringkat ke124 dari 187 negara. Peringkat ini hanya naik satu peringkat dibandingkan tahun
sebelumnya.

Seminar Nasional & Call for Paper – Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

A-13

Proseding Call for Paper 2012 : Membangun Etos Kerja Profesional di Bidang Pendidikan

Sementara di ASEAN, kualitas manusia Indonesia di bawah 5 negara
ASEAN lainnya. Singapura menduduki peringkat pertama di ASEAN untuk
kualitas manusianya dengan nilai HDI 0,866. Kemudian Brunei dengan nilai HDI
0,838, Malaysia dengan HDI 0,761, Thailand 0,682, dan Filipina 0,644. Negara
ASEAN di bawah Indonesia adalah Vietnam dengan nilai HDI 0,593, Laos 0,524,
Kamboja 0,523, dan Myanmar yang menduduki posisi bawah yaitu 0,483.
Angka HDI Indonesia tahun 2006 seperti dalam tabel berikut ini:
Tabel 1: Indonesia’s human development index 2006 and underlying
indicators in comparison with selected countries.

HDI value 20
06

Life expectancy
at birth (years)
2006

1. Iceland (0.968)

1. Japan (82.4)

107. Gabon
(0.729)
108. Turkmenistan
(0.728)
109. Indonesia
(0.726)
110. Guyana
(0.725)
111. Bolivia
(0.723)

99. Morocco
(70.7)
100. Iran (Islamic
Republic of) (70.5)
101. Indonesia
(70.1)
102. Guatemala
(70.0)
103. Thailand
(70.0)

179. Sierra Leone
(0.329)

179. Swaziland
(40.2)

Adult literacy
rate (% ages
15 and above)
2006

Combined
primary,
secondary and
tertiary gross
enrolment ratio
(%) 2006

1. Georgia
(100.0)
60. Malaysia
(91.5)

1. Australia
(114.2)
114. Sri Lanka
(68.7)

61. Malta (91.4)

115. Oman (68.7)

62. Indonesia
(91.0)
63. Sri Lanka
(90.8)
64. Viet Nam
(90.3)

116. Indonesia
(68.2)

147. Mali (22.9)

117. Albania (67.8)
118. Guatemala
(67.6)

179. Djibouti (25.5)

GDP per capita
(PPP US$)
2006
1. Luxembourg
(77,089)
119. Congo
(3,550)
120. Vanuatu
(3,481)
121. Indonesia
(3,455)
122. Philippines
(3,153)
123. Mongolia
(2,887)
178. Congo
(Democratic
Republic of the)
(281)

Walaupun ukuran yang ditetapkan oleh UNDP ini memperoleh banyak
kritik dari berbagai pihak, namun karena kurang atau tidak ada lembaga lain yang
melakukan pengukuran HDI, maka hasil HDI yang dihasilkan oleh UNDP ini
banyak dipergunakan oleh para ahli, baik para ahli Indonesia maupun ahli asing.
Juga angka HDI karya UNDP ini justru banyak dipakai sebagai landasan membuat
keputusan untuk menjelaskan dan membanding kemajuan pembangunan,
khususnya pembangunan sumber daya manusia dari suatu negara.
2.

Indeks Pendidikan
Laporan Kompas, 29/09/2011, tentang Education Development Index
(EDI) tentu sangat menarik. Laporan ini mengungkapkan bahwa dari sebanyak
127 negara, maka EDI Indonesia menempati peringkat 69, sementara Malaysia

Seminar Nasional & Call for Paper – Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

A-14

Proseding Call for Paper 2012 : Membangun Etos Kerja Profesional di Bidang Pendidikan

berada di urutan 65 dan Brunei di urutan 34. Brunei memang maju pesat dalam
indeks pendidikannya yang tentu saja disebabkan oleh kepedulian pemerintah
terhadap dunia pendidikan. Malaysia juga berkembang pesat dalam pengelolaan
pendidikannya, meskipun di tahun 1970-an pernah memperoleh bantuan asistensi
dalam program pendidikan tinggi dari Indonesia.
Berdasarkan konsepsi Education for All (EFA), yang kemudian dijadikan
sebagai tolok ukur oleh Global Monitoring Report setiap tahun, maka Indonesia
menempati angka 0,934 pada tahun 2008. EDI dikatakan tinggi jika capaiannya
adalah 0,95-1. Kategori medium jika capaiannya adalah di atas 0,80 dan rendah
adalah di bawah angka 0,80. Nilai EDI Indonesia sebesar 0,934 tersebut diperoleh
dari rangkuman perolehan empat kategori, yaitu angka partisipasi pendidikan
dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut
kesetaraan jender dan angka bertahan siswa hingga kelas V sekolah dasar (SD).
Pencapaian angka EDI Indonesia ini tentu saja bukan sesuatu yang
menggembirakan mengingat bahwa sebenarnya pemerintah Indonesia memiliki
peluang yang besar untuk peningkatan EDI ini. Memang jika dibandingkan
dengan beberapa negara Asia kita harus menyatakan kalah, sebab pada tahun 1995
saja anggaran pendidikan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand
bahkan Filipina sudah berada jauh di atas anggaran pendidikan Indonesia. Kala itu
anggaran pendidikan Indonesia baru sebesar 10,2% dari APBN, sementara
Singapura sudah mencapai angka 21%.
Tetapi besaran anggaran bukanlah pengungkit utama di dalam perubahan
pendidikan. Bagi bangsa Indonesia yang besar dengan jumlah pulau, penduduk
dan juga varian-varian suku dan sebagainya juga menjadi persoalan khusus di
dalam peningkatan EDI ini. Jika di Jawa kita bisa melihat perkembangan
pendidikan yang sangat baik, akan tetapi ketika kita melihat kondisi pendidikan di
daerah terpencil, maka kita harus menyatakan bahwa pendidikan Indonesia
memang belum maju.
Kita masih melihat gap antara kualitas pendidikan di Jawa dengan wilayah
lain. Pembangunan yang lebih terkonsentrasi di wilayah barat dengan berbagai
dukungan potensi dan sumber daya mengakibatkan adanya kesenjangan tersebut.
Dan akibatnya tentu saja EDI kita belum bisa masuk ke jajaran grade tinggi, sebab
perimbangan kualitas pendidikan yang tidak balance. Jadi meskipun di wilayah
barat maju akan tetapi di wilayah timur terpuruk. Akibatnya peringkatnya juga
masih berada pada kategori medium.
Sesuai dengan konsepsi UNESCO, bahwa pembelajaran adalah to know,
to do, to be dan to live together. Artinya bahwa pendidikan tidak hanya untuk
kepentingan meningkatkan pengetahuan dan bahkan kerja, akan tetapi lebih jauh
adalah untuk kepentingan membangun hidup bersama. Itulah akhirnya diputuskan
bahwa yang menjadi sasaran pendidikan bukan hanya kecerdasan intelektual, akan
tetapi juga kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual. Pendidikan harus bisa
mengarahkan anak didiknya untuk mencapai kecerdasan spiritual ini.

Seminar Nasional & Call for Paper – Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

A-15

Proseding Call for Paper 2012 : Membangun Etos Kerja Profesional di Bidang Pendidikan

Pendidikan adalah modal bangsa untuk pembangunan berkelanjutan.
Makanya, investasi pendidikan merupakan kemutlakan bagi bangsa ini jika ke
depan ingin sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Itulah sebabnya pendidikan harus
dilakukan dengan kreatif dan inovatif. Untuk kepentingan ini maka perlu
dikembangkanlah pendidikan soft skill selain menempa aspek hard skill-nya.
Dari sisi hard skill, mungkin relevansinya juga masih dipertanyakan, sebab
kebanyakan lembaga pendidikan tinggi dan sekolah pada umumnya hanya
mengusung dimensi kognitif di dalam proses pembelajaran, selain sentuhannya
yang hanya bercorak teoretik. Tak terkecuali dengan kegiatan pendidikan agama
di sekolah (sebagai suatu mata pelajaran) sebenarnya sukar disebut sebagai
kegiatan pengajaran. Di samping itu, pendidikan agama Islam di sekolah umum
dipandang sebagai suatu kegiatan dengan posisi yang bersifat marginal dan
periferal dalam percaturan problematik pendidikan nasional. Artinya, tidak
banyak yang dapat dilakukan oleh para GPAI lewat kegiatan pendidikan jenis ini
untuk memberikan sumbangan yang berarti bagi lahirnya, baik proses peremajaan
sistem pendidikan formal maupun proses pengembangan sistem pendidikan
nonformal.
Di dalam hal ini, maka sesungguhnya diperlukan sinergi antara berbagai
komponen agar tujuan pendidikan untuk mencetak manusia Indonesia yang
profesional dan paripurna akan dapat dicapai. Program link and match yang
pernah menjadi isu di dalam dunia pendidikan dalam hemat (Nur Syam, 2011)
layak untuk dibuka kembali.
Lebih lanjut (Nur Syam, 2011) secara terus terang menghargai inovasi
yang dikembangkan misalnya oleh President University yang melakukan program
link and match dengan dunia perusahaan yang ada di sekitarnya. Melalui
kerjasama tersebut, maka gambaran tentang profesionalitas dan dunia kerja
tersebut sudah ada di depan mata. Hanya yang perlu ditambahkan adalah soft skill,
yaitu pendidikan yang mengarah kepada bagaimana living together dalam paket to
live together bisa diarahkan.
Jika bisa seperti itu, maka pendidikan tinggi akan menyumbang ahli-ahli
profesional yang kelak sangat dibutuhkan oleh negeri ini dalam menghadapi Era
Regionalisasi ASEAN 2015 tak terkecuali juga lembaga pendidikan tinggi Islam,
terutama Fakultas/Jurusan Tarbiyah di UIN/IAIN/STAIN yang notabene hendak
menyiapkan calon-calon GPAI.
3.

Indeks Kemampuan Berkompetisi (Competitiveness Index)
Keunggulan dan martabat bangsa ditentukan oleh kualitas sumber daya
manusia (SDM) bangsa tersebut. SDM merupakan salah satu faktor kunci dalam
reformasi ekonomi, yakni bagaimana menciptakan SDM yang berkualitas dan
memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan global.
Menurut World Economic Forum 2007, telah disusun daya saing bangsa oleh
Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) tentang Indeks Daya Saing

Seminar Nasional & Call for Paper – Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

A-16

Proseding Call for Paper 2012 : Membangun Etos Kerja Profesional di Bidang Pendidikan

Global (Global Competitiveness Index atau GCI) tahun 2005-2010. Dalam laporan
itu, posisi Indonesia berada pada peringkat ke-69 sampai ke-44 dari 125 negara.
Sedangkan Singapura (peringkat ke-5), Malaysia (ke-26) dan Thailand (ke-35). Di
antara lima negara-negara ASEAN, peringkat Indonesia masih berada di bawah.
Hal ini menunjukkan bahwa daya saing Indonesia berada pada tingkat menengah.
Laporan ini sangat tidak mengejutkan karena penduduk Indonesia yang
menyandang buta aksara saja masih begitu banyak (Rosyidah, 2011).
Bambang Soedibyo mantan Menteri Pendidikan Nasional RI melaporkan
bahwa jumlah buta aksara pada awal 2005 sebanyak 14,6 juta atau 9,6% dari
penduduk Indonesia. Bahkan menurut BNP2TKI (2010), 95% angkatan kerja di
Indonesia tidak memiliki keterampilan yang siap pakai untuk memasuki dunia
kerja. Selain itu, tingkat pendidikan angkatan kerja yang ada masih relatif rendah.
Struktur pendidikan angkatan kerja Indonesia masih didominasi pendidikan dasar
yaitu sekitar 63,2%. Masalah tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan
kesempatan kerja dan rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di
berbagai sektor ekonomi. Rendahnya alokasi APBN untuk sektor pendidikan pada
era Orde Baru dan era Reformasi yakni tidak lebih dari 12%. Ini menunjukkan
bahwa belum ada perhatian serius dari pemerintah pusat terhadap perbaikan
kualitas SDM di masa lalu yang berdampak di masa sekarang.
KESIMPULAN
Pengembangan etos kerja profesional GPAI di dalam kerangka
menciptakan SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya
saing tinggi dalam persaingan global sangat berimplikasi terhadap upaya
meningkatkan daya saing Indonesia di Era Regionalisasi ASEAN 2015.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A.M. 1987. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. Rajawali Press. Jakarta.
Arifin, M. 1991. Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum). Bumi Aksara.
Jakarta.
Buchori, M. 1994. Pendidikan dalam Pembangunan. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Martinis, Y. 2007. Profesionalisasi Guru dan Implementasi KTSP. Gaung Persada
Press. Jakarta.
Muhaimin. 1998. Tema-Tema Pokok Dakwah Islam di Tengah Transformasi
Sosial. Karya Abditama

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Pengaruh Pengangguran, Kemiskinan dan Fasilitas Kesehatan terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia di Kabupaten Jember Tahun 2004-2013

21 388 5

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Peningkatan Produktivitas sekolah : penelitian di SMK al-Amanah Serpong

20 218 83

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111