Faktor Psikososial yang Mempengaruhi Bel
1
Faktor Psikososial yang Mempengaruhi Belajar Berdasarkan Regulasi Diri
pada Siswa Cerdas Istimewa
Nur Eva
Universitas Negeri Malang, Indonesia
[email protected]
Abstract: This study examines the influence of parental involvement,
teacher and student interaction, peer support, and the intensity of the
use of social media for self regulated learning on gifted students.
Quantitative methods are used to determine the influence of
independent variables (parental involvement, teacher and student
interaction, peer support, and the intensity of the use of social media)
to dependent variable (self-regulation learning). Subjects used is 70
gifted student in the accelerated program. The instrument used is
Scale Involvement of Parents, Teachers and Students Interaction, Peer
Support and Intensity Usage Social Media arranged researcher. The
data obtained will be analyzed by regression analysis. Result showed
that the contribution of parental involvement, teacher and student
interaction, peer support, and the intensity of the use of social media
by 49.8% against self regulation learning. Teacher and student
interaction variables that most influence (19.15%) of the self regulated
learning on gifted student.
Introduction
Siswa cerdas istimewa (CI) menjadi kajian yang menarik dalam dunia
pendidikan. Potensi siswa CI yang luar biasa tidak secara otomatis aktual dalam
prestasi akademik di sekolah. Padahal prestasi akademik adalah sarana untuk
mengaktualkan potensi siswa agar dapat
berkontribusi dalam kehidupan di
masyarakat. Robinson (2002) memandang siswa CI ketika berprestasi rendah
merupakan bencana dalam masyarakat modern. Jika tidak ada upaya untuk
membantu siswa cerdas istimewa berprestasi rendah maka masyarakat akan
kehilangan potensi yang berharga untuk kemajuan suatu bangsa (Siegle, Reis, and
McCoach, 2001).
2
Fenomena ini terjadi di berbagai belahan dunia. Di Amerika Serikat
jumlah siswa cerdas istimewa berprestasi rendah berjumlah hampir 50% dari total
siswa cerdas istimewa yang ada (Bourgeois, 2011), di Jerman berjumlah 24%
(Stoeger, Ziegler, Martzog, 2008), di Australia 29% (Figg, Rogers, McCormick,
Low, 2012), di Arab Saudi 31% (Albaili, 2003).
Penelitian di Indonesia menunjukan bahwa sekitar 30% siswa yang tidak
dapat menyelesaikan studinya di tingkat SMA memiliki tingkat kecerdasan lebih
dari 130 (Achir, 1990). Penelitian Widyastono, dkk (1997) terhadap siswa SLTP
di empat propinsi yang sama menunjukkan bahwa 20% siswa SLTP yang
memiliki potensi cerdas istimewa juga beresiko tinggal kelas.
Upaya untuk mengoptimalkan prestasi akademik siswa cerdas instimewa
telah dilakukan oleh Pemerintah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam ayat 4 menjelaskan bahwa
warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh pendidikan khusus. Sejak tahun 2000 Pendidikan khusus bagi siswa
cerdas istimewa terwujud melalui kurikulum terdiferensiasi, yaitu kelas akselerasi
atau kelas percepatan. Penelitian yang dilakukan oleh Jin dan Moon (2006)
menjelaskan bahwa siswa CI yang belajar pada program pendidikan khusus
merasa dihargai karena kurikulum yang menantang dan guru yang profesional.
Demikian juga program akselerasi di Amerika mendapat apresiasi yang baik,
karena siswa cerdas istimewa menyukai kegiatan belajar dan meningkatkan harga
diri (dalam Alsa, 2007).
Pendidikan khusus bagi siswa cerdas istimewa di Indonesia dapat dinilai
belum berjalan dengan optimal. Penelitian (Eva, 2014) menemukan bahwa 15%
dari siswa program khusus kelas akselerasi belum berprestasi optimal bahkan
beberapa siswa memilih keluar dari program akselerasi dan pindah ke kelas
reguler. Demikian juga dengan capaian nilai Ujian Nasional (UN) pada mata
pelajaran matematika dan sains masih ditemukan nilai 5 dan 6. Nilai di bawah 7
untuk mata pelajaran matematika cenderung lebih banyak (2,5%) daripada mata
pelajaran sains (0,9%) (Eva, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa prestasi
akademik siswa cerdas istimewa bukan hanya ditentukan oleh kemampuan
kognitifnya yang tinggi namun juga dipengaruhi oleh faktor yang lain. Hill (2005)
3
menjelaskan bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi prestasi akademik
siswa cerdas istimewa berprestasi rendah, yaitu faktor individu atau personal,
orang tua atau keluarga, sekolah atau pendidikan, dan masyarakat.
Self Regulated Learning
Belajar berdasarkan regulasi diri mulai
bernama Zimmerman
(1989)
mengembangkan
marak
ketika seorang pakar
konsep
ini
dalam
dunia
pendidikan. Belajar dengan pengaturan diri berkembang dari teori kognitif
sosial Bandura (1986) yang menyatakan bahwa manusia merupakan hasil
struktur kausal yang interdependen dari aspek pribadi (person), perilaku
(behavior ), dan lingkungan (environment). Ketiga aspek ini merupakan aspek‐
aspek determinan dalam belajar berdasarkan regulasi diri.
Ketiga aspek determinan ini saling berhubungan sebab‐ akibat, dimana
person berusaha untuk mengatur diri sendiri (self regulated), hasilnya berupa
kinerja atau perilaku, dan perilaku ini berdampak pada perubahan lingkungan,
dan demikian seterusnya (Bandura, 1986). Strategi belajar berdasarkan regulasi
diri merupakan sebuah strategi pendekatan belajar secara kognitif (Graham &
Harris,
1993). Belajar dengan pengaturan diri menekankan
pentingnya
tanggungjawab personal dan mengontrol pengetahuan dan keterampilanketerampilan yang diperoleh (Zimmerman, 1990). Belajar berdasarkan regulasi
diri juga membawa siswa menjadi master (ahli/menguasai) dalam belajarnya
(Zimmerman & Schunk, 1989). Perspektif belajar berdasarkan regulasi diri
dalam belajar dan prestasi siswa tidak sekedar istimewa (disctintive) tetapi
juga berimplikasi pada bagaimana seharusnya guru berinteraksi dengan siswa,
serta bagaimana seharusnya sekolah diorganisir (Zimmerman, 1990).
Belajar berdasarkan regulasi diri merupakan kombinasi
keterampilan
belajar akademik dan pengendalian diri yang membuat pembelajaran terasa
lebih mudah, sehingga para siswa lebih termotivasi (Glynn, Aultman, &
Owens, 2005). Mereka memiliki keterampilan dan kemauan untuk belajar
(Murphy & Alexander, 2000). Siswa yang belajar dengan pengaturan diri
4
mentransformasikan kemampuan‐kemampuan mentalnya menjadi keterampilan‐
keterampilan dan strategi akademik (Zimmerman, 2002).
Belajar berdasarkan regulasi diri menggarisbawahi pentingnya otonomi
dan
tanggung
jawab
pribadi
dalam
kegiatan
belajar.
Dalam
proses
pembelajaran, siswa yang memiliki kemampuan belajar berdasarkan regulasi diri
membangun
tujuan‐ tujuan belajar, mencoba memonitor, meregulasi,
dan
mengontrol kognisi, motivasi, dan perilakunya untuk mengontrol tujuan‐ tujuan
yang telah dibuat (Valle dkk., 2008).
Kemampuan
kognitif
yang
amat
penting kaitannya dengan proses
pembelajaran adalah strategi belajar memahami isi materi pelajaran, strategi
meyakini arti pentingnya isi materi pelajaran, dan aplikasinya serta menyerap
nilai‐nilai yang terkandung dalam materi pelajaran tersebut (Love & Kruger,
2005). Dengan kata lain, strategi pembelajaran yang digunakan merupakan
hal yang sangat penting agar pembelajaran dapat berjalan secara efektif dan
efisien. Strategi belajar yang digunakan tidak sekedar strategi belajar aktif
(Schapiro & Livingston, 2000), tetapi harus strategi yang betul‐betul dapat
membawa siswa pada pencapaian indikator yang telah ditetapkan, strategi
yang membawa siswa pada pemahaman materi secara internal (internalisasi
nilai materi pelajaran). Dikatakan Gagne (1985, dalam Merdinger, et al., 2005)
bahwa unsur-unsur yang mempengaruhi proses pembelajaran agar menjadi
efektif adalah strategi dalam menentukan tujuan belajar, mengetahui kapan
strategi yang digunakan dan memonitor keefektifan strategi belajar tersebut.
Dalam proses pembelajaran baik di tingkat dasar maupun lanjutan, regulasi diri
dalam belajar (self regulated learning) merupakan sebuah pendekatan yang
penting. Strategi regulasi diri dalam belajar cocok untuk semua jenjang
pendidikan, kecuali untuk kelas tiga Sekolah Dasar ke bawah (Woolfolk, 2008).
Zimmerman (1990) mengidentifikasi beberapa strategi belajar yang
umumnya digunakan oleh seorang yang mempunyai kemampuan belajar dengan
pengaturan diri yaitu: evaluasi diri (self evaluation); pengorganisasian
(organizing) dan pentransformasian (transforming); menetapkan tujuan dan
perencanaan
(goal
setting
and
planning);
mencari
informasi
(seeking
5
information);
membuat
dan
memeriksa
catatan
(keeping
records
and
monitoring); mengatur lingkungan (environmental structuring); konsekuensi
diri (self concequences); mengulang‐ ulang dan mengingat (rehearsing and
memorizing); mencari bantuan (seeking social assistance) kepada teman sebaya,
guru, atau orang dewasa lainnya; serta mereview catatan dan buku teks
(review records).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self Regulated Learning
Self regulated learning mengintegrasikan banyak hal tentang belajar
efektif. Kognitif, pengetahuan, motivasi, dukungan sosial, dan media sosial
merupakan faktor‐ faktor penting yang dapat mempengaruhi self regulated
learning.
Kognitif
Kemampuan
kognitif
yang
amat
penting kaitannya dengan proses
pembelajaran adalah strategi belajar memahami isi materi pelajaran, strategi
meyakini arti pentingnya isi materi pelajaran, dan aplikasinya serta menyerap
nilai‐nilai yang terkandung dalam materi pelajaran tersebut (Love & Kruger,
2005).
Pengetahuan
Pengetahuan yang dimaksudkan adalah pengetahuan tentang dirinya
sendiri,
materinya, tugasnya, strategi untuk belajar,
dan
konteks‐konteks
pembelajaran yang akan digunakannya Siswa‐siswa yang belajar dengan
regulasi diri dapat diistilahkan sebagai siswa ’ahli’. Siswa ahli mengenal dirinya
sendiri dan bagaimana mereka
belajar
dengan
sebaik‐baiknya.
Mereka
mengetahui gaya pembelajaran yang disukainya, apa yang mudah dan sulit bagi
dirinya, bagaimana cara mengatasi bagian‐ bagian sulit, apa minat dan bakatnya,
dan bagaimana cara memanfaatkan kekuatan/kelebihannya (Woolfolk, 2008).
Mereka juga tahu materi yang sedang dipelajarinya; semakin banyak materi
yang mereka pelajari semakin banyak pula yang mereka ketahui, serta semakin
mudah untuk belajar lebih banyak (Alexander, 2006). Mereka mungkin
6
mengerti bahwa tugas belajar yang berbeda memerlukan pendekatan yang
berbeda pula. Merekapun menyadari bahwa belajar seringkali terasa sulit dan
pengetahuan jarang yang bersifat mutlak; biasanya ada banyak cara yang
berbeda untuk melihat masalah dan ada banyak macam solusi (Pressley,
1995).
Motivasi
Zimmerman & Martinez‐Pons (2001) mendefinisikan sebagai tingkatan
dimana partisipan secara aktif melibatkan metakognisi, motivasi, dan perilaku
dalam proses belajar. Belajar berdasarkan regulasi diri didefinisikan
sebagai
bentuk belajar individual dengan bergantung pada motivasi belajar mereka,
secara
otonomi mengembangkan
pengukuran
(kognisi,
metakognisi, dan
perilaku), dan memonitor kemajuan belajarnya (Baumert et al., 2002).
Dukungan Sosial
Schunk dan Zimmerman (1998) menyatakan bahwa individu memiliki
kompetensi belajar berdasar regulasi diri (self regulated learning) pada awalnya
berkembang dari pengaruh sosial selanjutnya beralih pada pengaruh diri sendiri.
Belajar berdasarkan regulasi diri sebagai perilaku yang dipelajari individu dari
hasil interaksinya dari lingkungan sosial sangat dipengaruhi oleh dukungan sosial
yang diterima individu dari lingkungannya.
Manusia
sebagai
makhluk
sosial
berinteraksi
dengan
individu
disekelilingnya menjadi kebutuhan. Siswa berinteraksi dengan orang tua, guru,
dan teman sebaya. Keterlibatan orang tua dapat meningkatkan self regulated
learning
anak. Orang tua mengajarkan dan mendukung self regulated
learning melalui modeling, memberi dorongan, memfasilitasi, mereward goal
setting, penggunaan strategi yang baik, dan proses‐proses lainnya (Martinez‐
Pons, 2002).
Pada masa remaja kebutuhan terhadap teman sebaya meningkat tajam dari
pada masa anak seiring dengan meluasnya aktivitas anak. Teman sebaya berasal
dari anak-anak dari tetangga atau teman-teman sekolah. Teman sebaya
7
mempunyai pengaruh besar dalam diri remaja dalam tiga bentuk (Eisenberg,
Fabes, & Spinrad, 2006; Rubin, Bukowski, & Parker, 2006) yaitu sikap dan nilai,
perkembangan sosial, dan dukungan sosial.
Siswa cerdas istimewa dengan karakteristik yang khas seperti minat yang
beragam dan keingintahuan yang tinggi, idealis, toleransi rendah terhadap
kelambatan, kreativitas yang nyata, dan motivasi yang kuat dari kebutuhan
aktualisasi diri membutuhkan guru yang mempunyai karakteristik yang khas pula.
Feldhusen (1997) berpendapat bahwa guru untuk siswa cerdas istimewa
akan lebih produktif jika mempunyai kompetensi, keterampilan, dan pengetahuan
yang dibutuhkan daripada mempunyai berkepribadaian yang sesuai. Namun, jika
bertanya pada siswa cerdas istimewa (gifted) karakteristik guru yang mereka
inginkan adalah guru yang mempunyai kualitas kepribadian-sosial (personalsocial qualities) daripada sekedar guru yang mempunyai kualitas intelektual. Hal
ini sesuai dengan penelitian Widyorini (2008) bahwa siswa cerdas istimewa lebih
menyukai guru yang baik hati, tidak galak, suka humor, dan pandai.
Media Sosial Facebook
Indonesia adalah pengguna facebook terbesar nomor 4 di dunia. Facebook
pada tahun 2009 di Indonesia meningkat 700% dibanding pada tahun 2008.
Sebagian besar pengguna facebook adalah usia 15-39 tahun. Hal ini menunjukkan
bahwa pengguna media sosial khususnya facebook adalah remaja usia sekolah.
Bahkan menurut Lutfie (dalam Pranasetyawan, 2010) pengguna facebook di
Indonesia berusia 13 tahun berjumlah 360.000 orang. Usia tersebut adalah usia
siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Dalam aktivitas belajar, Mangkulo (2010) menyarankan facebook digunakan
sebagai media belajar sehingga pelajar dapat menyampaikan materi pelajaran
berupa video atau tulisan, jadwal ujian, dan melakukan diskusi dengan pengguna
facebook. Hal ini sangat membantu siswa untuk memperoleh informasi terkait
dengan materi yang dipelajari di sekolah.
8
Problem Definition
Siegle dan McCoach (2005) menjelaskan bahwa salah satu faktor personal
yang berpengaruh terhadap prestasi akademik siswa cerdas istimewa adalah
regulasi diri (sef-regulation). Penelitian yang dilakukan oleh Baslanti dan
McCoach (2006) dan Alsa (2005) menjelaskan bahwa belajar berdasarkan regulasi
diri (sef-regulation learning) merupakan prediktor terbaik dalam membedakan
siswa cerdas istimewa yang berprestasi tinggi dan rendah. Terdapat korelasi yang
positif antara belajar berdasar regulasi diri dengan motivasi berprestasi. Belajar
berdasar regulasi diri akan menjaga motivasi berprestasi siswa cerdas istimewa.
Belajar berdasar regulasi diri (self regulated learning) berkembang dari
teori kognisi sosial Bandura (1997). Menurut teori kognisi sosial, manusia
merupakan hasil struktur kausal yang interdependen dari aspek pribadi (person),
perilaku (behavior ), dan lingkungan (environment). Ketiga aspek ini merupakan
aspek‐aspek determinan dalam belajar berdasar regulasi diri (self regulated
learning). Ketiga aspek determinan ini saling berhubungan sebab akibat, dimana
person berusaha untuk meregulasi diri sendiri (self regulated), hasilnya berupa
kinerja atau perilaku, dan perilaku ini berdampak pada perubahan lingkungan, dan
demikian seterusnya (Bandura, 1986).
Schunk dan Zimmerman (1998) menyatakan bahwa individu memiliki
kompetensi belajar berdasar regulasi diri (self regulated learning) pada awalnya
berkembang dari pengaruh sosial selanjutnya beralih pada pengaruh diri sendiri.
Matsumoto (2008), menambahkan bahwa faktor budaya turut mempengaruhi
penerapan belajar berdasar regulasi diri (self regulated learning). Nilai-nilai
budaya yang dianut siswa akan berperan dalam menerapkan belajar berdasar
regulasi diri (self regulated learning) agar tercapainya tujuan belajar.
Schunk dan Zimmerman (1998) menyatakan bahwa kemampuan belajar
berdasar regulasi diri (self regulated learning) muncul dalam serangkaian tingkat
kemampuan regulasi yang meliputi empat tingkat perkembangan yaitu tingkat
pengamatan, persamaan, kontrol diri dan regulasi diri. Pada level perkembangan
9
pengamatan dan peniruan, kompetensi belajar berdasar regulasi diri (self
regulated learning) individu berkembang dari pengaruh sosial yang meliputi
guru, orang tua, pelatih dan teman sebaya. Selanjutnya pada level perkembangan
kontrol diri dan pengaturan diri, individu sudah mampu menerapkan strategi self
regulated learning secara mandiri.
Dengan demikian belajar berdasar regulasi diri dipengaruhi oleh
lingkungan individu berada, terutama lingkungan sosial. Lingkungan sosial
meliputi orang tua, teman, guru dan media sosial yang sedang berkembang pada
era teknologi saat ini. Penelitian ini ingin mengetahui seberapa besar pengaruh
faktor-faktor psikososial dalam membentuk aktivitas belajar berdasarkan regulasi
diri.
Method
Participants
Kriteria subyek dalam penelitian ini adalah siswa cerdas istimewa dengan IQ
120 (TIKI) yang belajar pada program akselerasi di SMPN 1 Sidoarjo. Jumlah
subyek sebanyak 70 orang. Usia subjek adalah 13-14 tahun. Pendidikan orang tua
subjek adalah sarjana.
Instruments
Dalam penelitian ini menggunakan lima skala, yaitu Skala Keterlibatan Orang
Tua, Skala Dukungan Teman Sebaya, Skala Interaksi Guru dan Siswa, Skala
Intensitas Penggunaan Media Sosial, dan Skala Belajar Berdasar Regulasi Diri.
Lima skala ini disusun peneliti berdasarkan Skala Likert.
Skala Keterlibatan Orang Tua terdiri dari 41 aitem dengan skor validitas 0. 27
– 0.659 dan skor reliabilitas 0. 893, Skala Dukungan Teman Sebaya terdiri dari 24
aitem dengan skor validitas 0.256 – 0.615 dan skor reliabilitas 0.771. Skala
Interaksi Guru dan Siswa terdiri dari 36 aitem dengan skor validitas 0.237 – 0.612
10
dan skor reliabilitas 0.83. Skala Intensitas Penggunaan Media Sosial Facebook
terdiri dari 18 aitem dengan skor validitas 0.29 – 0.709. Skala Belajar Berdasar
Regulasi Diri terdiri dari 50 aitem dengan skor validitas 0.244 – 0.613 dan skor
reliabilitas 0.882.
Data Collection
Data dikumpulkan dengan memberikan Skala Keterlibatan Orang Tua,
Skala Keterlibatan Orang Tua, Skala Dukungan Teman Sebaya, Skala Interaksi
Guru dan Siswa, Skala Intensitas Penggunaan Media Sosial, dan Skala Belajar
Berdasar Regulasi Diri kepada 77 siswa kelas IX program akselerasi di SMP
Negeri 1 Sidoarjo. Siswa kelas IX program akselerasi dibagi dalam tiga kelas.
Peneliti dibantu oleh asisten untuk mengambilan data pada hari Sabtu, 8 Agusutus
2015 pada jam 13.00 – 14.00.
Analysis
Data yang digunakan dalam penelitian ini dari subjek yang berjumlah 70
orang. Awalnya data yang terkumpul berjumlah 77 orang. Data dari tujuh subjek
tidak dapat digunakan karena kurang lengkap dalam memberikan respon pada
skala. Analisis data dilakukan dengan analisis regresi untuk mengetahui kontribusi
variabel bebas terhadap variabel terikat.
Results
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa kontribusi variabel keterlibatan
orang tua, interaksi guru dan siswa, dukungan teman sebaya, dan intensitas
penggunaan media sosial facebook sebesar 49,8% terhadap aktivitas belajar
berdasar regulasi diri. Variabel interaksi guru dan siswa yang paling berpengaruh
(19,15%) terhadap aktivitas belajar berdasar regulasi diri. Hasil analisis
membuktikan bahwa hipotesa yang diajukan diterima.
11
Conclusions and Discussion
Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa kontribusi keterlibatan
orang tua, interaksi guru dan siswa, dukungan teman sebaya, dan intensitas
penggunaan media sosial facebook sebesar 49,8% terhadap belajar berdasar
regulasi diri siswa cerdas istimewa. Variabel interaksi guru dan siswa yang paling
berpengaruh (19,15%) terhadap aktivitas belajar berdasar regulasi diri siswa
cerdas istimewa.
Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan orang tua, interaksi guru dan
siswa, dukungan teman sebaya, dan intensitas penggunaan media sosial
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap aktivitas belajar berdasar
regulasi diri. Sebagaimana dijelaskan oleh Zimmerman (1989) bahwa belajar
berdasar regulasi diri berkembang dari teori kognitif sosial Bandura (1986)
yang menyatakan bahwa manusia merupakan hasil struktur kausal yang
interdependen dari aspek pribadi (person), perilaku (behavior ), dan lingkungan
(environment). Jadi lingkungan memberikan kontribusi yang signifikant dalam
membentuk aktivitas belajar berdasar regulasi diri.
Dari empat variabel yang diteliti, yaitu keterlibatan orang tua, interaksi
guru dan siswa, dukungan teman sebaya, dan intensitas penggunaan media sosial
facebook maka variabel interaksi guru dan siswa yang paling berpengaruh
(19,15%) terhadap aktivitas belajar berdasar regulasi diri. Hal ini membuktikan
bahwa interaksi guru dan siswa memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
aktivitas belajar berdasar regulasi diri.
Guru memegang peranan penting dalam menciptakan aktivitas belajar
berdasarkan regulasi diri. Interaksi siswa dan guru meningkat motivasi belajar
siswa cerdas istimewa, walaupun siswa cerdas istimewa mempunyai motivasi
intrinsik yang tinggi dalam belajar namun mereka tetap membutuhkan dukungan
sosial dari lingkungannya.
Upaya guru dalam berinteraksi dengan siswa cerdas istimewa adalah
menciptakan suasana belajar yang kondusif, mengorganisasi kelas, dan
menciptakan
pembelajaran
yang
efektif.
Hal
ini
dilakukan
dengan
12
mempertimbangkan karakteristik siswa cerdas istimewa memiliki keinginan untuk
dapat mengendalikan pengalaman belajarnya (Zarfiel dalam Hawadi, 2006).
Belajar berdasar regulasi diri (Zimmerman, 1989) berkembang dari teori
kognitif sosial Bandura (1986) yang menyatakan bahwa manusia merupakan
hasil struktur kausal yang interdependen dari aspek pribadi (person), perilaku
(behavior ), dan lingkungan (environment). Ketiga aspek ini merupakan aspek‐
aspek determinan dalam belajar berdasarkan regulasi diri.
Belajar berdasarkan regulasi diri sebagai perilaku yang dipelajari individu
dari hasil interaksinya dari lingkungan sosial sangat dipengaruhi oleh dukungan
sosial yang diterima individu dari lingkungannya. Siswa cerdas istimewa sebagai
makhluk sosial berinteraksi dengan lingkungan sosial yang ada dalam kehidupan.
Orang tua adalah lingkungan sosial pertama di rumah. Guru dan teman sebaya
adalah lingkungan sosial setelah siswa cerdas istimewa keluar dari rumah. Pada
saat ini perkembangan teknologi komunikasi menyebabkan individu berinteraksi
dengan orang lain melalui media sosial elektronik.
Schunk dan Zimmerman (1998) menyatakan bahwa kemampuan belajar
berdasar regulasi diri (self regulated learning) muncul dalam serangkaian tingkat
kemampuan regulasi yang meliputi empat tingkat perkembangan yaitu tingkat
pengamatan, persamaan, kontrol diri dan regulasi diri. Pada level perkembangan
pengamatan dan peniruan, kompetensi belajar berdasar regulasi diri (self
regulated learning) individu berkembang dari pengaruh sosial yang meliputi
guru, orang tua, pelatih dan teman sebaya. Selanjutnya pada level perkembangan
kontrol diri dan pengaturan diri, individu sudah mampu menerapkan strategi self
regulated learning secara mandiri.
Orang tua mempunyai beberapa peran dalam meningkatkan aktivitas
belajar berdasarkan regulasi diri. Orang tua membimbing anak dalam memilih
strategi belajar yang digunakan. Orang tua menjadi model dengan memberikan
contoh menyelesaikan masalah yang ditemui dalam belajar. Orang tua juga dapat
membantu anak mengevaluasi dan mendiskusikan hasil belajarnya (Reis, 2004).
13
Orang tua siswa cerdas istimewa dengan latar belakang pendidikan yang
sarjana mempunyai keterlibatan yang tinggi (rata-rata empirik sebesar 157.157)
dalam belajar siswa cerdas istimewa. Orang tua memberikan fasilitas belajar,
memotivasi, memberi teladan, memantau aktivitas, membantu menjarikan solusi,
dan membimbing anak.
Interaksi guru dan siswa cerdas istimewa tergolong tinggi (rata-rata
empirik
sebesar
129.771).
Guru
menciptakan
suasana
yang
kondusif,
mengorganisasi kelas dengan efektif dan menciptakan pembelajaran sesuai
dengan kebutuhan siswa cerdas istimewa. Kemampuan guru menciptakan suasana
yang kondusifdalam berinteraksi dengan siswa memainkan peran yang signifikan
dalam pemupukan lingkungan belajar yang positif dan mempromosikan prestasi
siswa (Pianta, 2008).
Pada usia yang sama, remaja akan mengalami pengalaman yang sama.
Mereka memilih teman karena adanya kesamaan. Keintiman ini akan menjadi
dukungan bagi remaja karena mereka membicarakan pikiran dan perasaan yang
sangat personal kepada orang yang mereka percaya akan diterima dan dipahami.
Teman bagi remaja memberikan pengaruh positif dan negatif. Pengaruh
negatif terutama dalam membentuk perilaku beresiko seperti rokok, alkohol, dll.
Pengaruh positif terkait dengan support dan nurturance.Teman dekat memberikan
kontribusi dalam membangun harga diri remaja (self esteem) dan mengembangkan
pemahaman sosial, dimana remaja akan membandingkan pandangan dirinya dan
teman-temannya (Sullivan, 1953 dalam Arnett, 2013).
Dukungan teman sebaya terhadap siswa cerdas istimewa tergolong tinggi
(rata-rata empirik sebesar 90.443). Dukungan yang diberikan kepada siswa cerdas
istimewa meliputi dukungan informasi, bantuan langsung, persahabatan, dan
penghargaan.
Intensitas penggunaan media sosial facebook siswa cerdas istimewa
tergolong rendah (rata-rata empirik sebesar 41.257). Hal ini menunjukkan bahwa
siswa cerdas istimewa tergolong siswa yang menggunakan facebook dalam waktu
14
dan frekuensi yang rendah. Dengan demikian keberadaan media sosial facebook
tidak mengganggu aktivitas belajarnya dan hubungan personal.
Penelitian yang dilakukan oleh Associated Chamber of Commerce and
Industry of India (ASSOCHAM) tahun 2012, dalam penelitian yang dilakukan
pada 2000 remaja di India dengan rentang usia 12- 20 tahun terbukti bahwa
mayoritas responden menyatakan bahwa kecanduan penggunaan media sosial
telah membuat mereka mengalami insomnia, depresi, dan hubungan personal yang
buruk dengan rekan-rekan mereka di dunia nyata. (Firman & Ngasis, 2012).
Hubungan positif intensitas penggunaan facebook dan prestasi belajar pada
mahasiswa diteliti oleh Karpinski (dalam Pranasetyawan, 2010). Mahasiswa
pengguna aktif media sosial facebook mempunyai nilai yang lebih rendah
daripada mahasiswa yang tidak menggunakan media sosial facebook. Menurut
Karpinski hal itu disebabkan media sosial telah menyebabkan waktu belajar
mahasiswa tersita oleh aktivitas bermain ketika menggunakan media sosial
facebook. Rata-rata mahasiswa menggunakan waktu 1-5 sampai 11-15 jam waktu
belajarnya perminggu untuk bermain di media sosial facebook.
Siswa cerdas istimewa menunjukkan kemampuannya yang tinggi dalam
aktivitas belajar berdasar regulasi yang tinggi (rata-rata empirik 179.657). Siswa
cerdas istimewa mampu melakukan usaha mandiri tersebut meliputi perencanaan,
pelaksanaan, dan
pengevaluasian
secara mandiri terhadap hasil belajarnya.
Mereka juga mampu mengatur lingkungan belajarnya, baik dari lingkungan fisik
(misal, tempat belajar, kondisi belajar) maupun dari lingkungan sosial (misal,
teman belajar).
Keterbatasan penelitian ini adalah instrumen yang digunakan baru
diujicobakan kepada subjek yang terbatas dan belum ketahui validitas dan
reliabilitas tiap dimensi. Penelitian selanjutnya diujicobakan kembali dengan
subjek yang lebih banyak dan metode analisis yang lebih mendalam, seperti
menggunakan comfirmatory factor , agar menjadi alat ukur Skala yang terstandar.
15
References
Faktor Psikososial yang Mempengaruhi Belajar Berdasarkan Regulasi Diri
pada Siswa Cerdas Istimewa
Nur Eva
Universitas Negeri Malang, Indonesia
[email protected]
Abstract: This study examines the influence of parental involvement,
teacher and student interaction, peer support, and the intensity of the
use of social media for self regulated learning on gifted students.
Quantitative methods are used to determine the influence of
independent variables (parental involvement, teacher and student
interaction, peer support, and the intensity of the use of social media)
to dependent variable (self-regulation learning). Subjects used is 70
gifted student in the accelerated program. The instrument used is
Scale Involvement of Parents, Teachers and Students Interaction, Peer
Support and Intensity Usage Social Media arranged researcher. The
data obtained will be analyzed by regression analysis. Result showed
that the contribution of parental involvement, teacher and student
interaction, peer support, and the intensity of the use of social media
by 49.8% against self regulation learning. Teacher and student
interaction variables that most influence (19.15%) of the self regulated
learning on gifted student.
Introduction
Siswa cerdas istimewa (CI) menjadi kajian yang menarik dalam dunia
pendidikan. Potensi siswa CI yang luar biasa tidak secara otomatis aktual dalam
prestasi akademik di sekolah. Padahal prestasi akademik adalah sarana untuk
mengaktualkan potensi siswa agar dapat
berkontribusi dalam kehidupan di
masyarakat. Robinson (2002) memandang siswa CI ketika berprestasi rendah
merupakan bencana dalam masyarakat modern. Jika tidak ada upaya untuk
membantu siswa cerdas istimewa berprestasi rendah maka masyarakat akan
kehilangan potensi yang berharga untuk kemajuan suatu bangsa (Siegle, Reis, and
McCoach, 2001).
2
Fenomena ini terjadi di berbagai belahan dunia. Di Amerika Serikat
jumlah siswa cerdas istimewa berprestasi rendah berjumlah hampir 50% dari total
siswa cerdas istimewa yang ada (Bourgeois, 2011), di Jerman berjumlah 24%
(Stoeger, Ziegler, Martzog, 2008), di Australia 29% (Figg, Rogers, McCormick,
Low, 2012), di Arab Saudi 31% (Albaili, 2003).
Penelitian di Indonesia menunjukan bahwa sekitar 30% siswa yang tidak
dapat menyelesaikan studinya di tingkat SMA memiliki tingkat kecerdasan lebih
dari 130 (Achir, 1990). Penelitian Widyastono, dkk (1997) terhadap siswa SLTP
di empat propinsi yang sama menunjukkan bahwa 20% siswa SLTP yang
memiliki potensi cerdas istimewa juga beresiko tinggal kelas.
Upaya untuk mengoptimalkan prestasi akademik siswa cerdas instimewa
telah dilakukan oleh Pemerintah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam ayat 4 menjelaskan bahwa
warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh pendidikan khusus. Sejak tahun 2000 Pendidikan khusus bagi siswa
cerdas istimewa terwujud melalui kurikulum terdiferensiasi, yaitu kelas akselerasi
atau kelas percepatan. Penelitian yang dilakukan oleh Jin dan Moon (2006)
menjelaskan bahwa siswa CI yang belajar pada program pendidikan khusus
merasa dihargai karena kurikulum yang menantang dan guru yang profesional.
Demikian juga program akselerasi di Amerika mendapat apresiasi yang baik,
karena siswa cerdas istimewa menyukai kegiatan belajar dan meningkatkan harga
diri (dalam Alsa, 2007).
Pendidikan khusus bagi siswa cerdas istimewa di Indonesia dapat dinilai
belum berjalan dengan optimal. Penelitian (Eva, 2014) menemukan bahwa 15%
dari siswa program khusus kelas akselerasi belum berprestasi optimal bahkan
beberapa siswa memilih keluar dari program akselerasi dan pindah ke kelas
reguler. Demikian juga dengan capaian nilai Ujian Nasional (UN) pada mata
pelajaran matematika dan sains masih ditemukan nilai 5 dan 6. Nilai di bawah 7
untuk mata pelajaran matematika cenderung lebih banyak (2,5%) daripada mata
pelajaran sains (0,9%) (Eva, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa prestasi
akademik siswa cerdas istimewa bukan hanya ditentukan oleh kemampuan
kognitifnya yang tinggi namun juga dipengaruhi oleh faktor yang lain. Hill (2005)
3
menjelaskan bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi prestasi akademik
siswa cerdas istimewa berprestasi rendah, yaitu faktor individu atau personal,
orang tua atau keluarga, sekolah atau pendidikan, dan masyarakat.
Self Regulated Learning
Belajar berdasarkan regulasi diri mulai
bernama Zimmerman
(1989)
mengembangkan
marak
ketika seorang pakar
konsep
ini
dalam
dunia
pendidikan. Belajar dengan pengaturan diri berkembang dari teori kognitif
sosial Bandura (1986) yang menyatakan bahwa manusia merupakan hasil
struktur kausal yang interdependen dari aspek pribadi (person), perilaku
(behavior ), dan lingkungan (environment). Ketiga aspek ini merupakan aspek‐
aspek determinan dalam belajar berdasarkan regulasi diri.
Ketiga aspek determinan ini saling berhubungan sebab‐ akibat, dimana
person berusaha untuk mengatur diri sendiri (self regulated), hasilnya berupa
kinerja atau perilaku, dan perilaku ini berdampak pada perubahan lingkungan,
dan demikian seterusnya (Bandura, 1986). Strategi belajar berdasarkan regulasi
diri merupakan sebuah strategi pendekatan belajar secara kognitif (Graham &
Harris,
1993). Belajar dengan pengaturan diri menekankan
pentingnya
tanggungjawab personal dan mengontrol pengetahuan dan keterampilanketerampilan yang diperoleh (Zimmerman, 1990). Belajar berdasarkan regulasi
diri juga membawa siswa menjadi master (ahli/menguasai) dalam belajarnya
(Zimmerman & Schunk, 1989). Perspektif belajar berdasarkan regulasi diri
dalam belajar dan prestasi siswa tidak sekedar istimewa (disctintive) tetapi
juga berimplikasi pada bagaimana seharusnya guru berinteraksi dengan siswa,
serta bagaimana seharusnya sekolah diorganisir (Zimmerman, 1990).
Belajar berdasarkan regulasi diri merupakan kombinasi
keterampilan
belajar akademik dan pengendalian diri yang membuat pembelajaran terasa
lebih mudah, sehingga para siswa lebih termotivasi (Glynn, Aultman, &
Owens, 2005). Mereka memiliki keterampilan dan kemauan untuk belajar
(Murphy & Alexander, 2000). Siswa yang belajar dengan pengaturan diri
4
mentransformasikan kemampuan‐kemampuan mentalnya menjadi keterampilan‐
keterampilan dan strategi akademik (Zimmerman, 2002).
Belajar berdasarkan regulasi diri menggarisbawahi pentingnya otonomi
dan
tanggung
jawab
pribadi
dalam
kegiatan
belajar.
Dalam
proses
pembelajaran, siswa yang memiliki kemampuan belajar berdasarkan regulasi diri
membangun
tujuan‐ tujuan belajar, mencoba memonitor, meregulasi,
dan
mengontrol kognisi, motivasi, dan perilakunya untuk mengontrol tujuan‐ tujuan
yang telah dibuat (Valle dkk., 2008).
Kemampuan
kognitif
yang
amat
penting kaitannya dengan proses
pembelajaran adalah strategi belajar memahami isi materi pelajaran, strategi
meyakini arti pentingnya isi materi pelajaran, dan aplikasinya serta menyerap
nilai‐nilai yang terkandung dalam materi pelajaran tersebut (Love & Kruger,
2005). Dengan kata lain, strategi pembelajaran yang digunakan merupakan
hal yang sangat penting agar pembelajaran dapat berjalan secara efektif dan
efisien. Strategi belajar yang digunakan tidak sekedar strategi belajar aktif
(Schapiro & Livingston, 2000), tetapi harus strategi yang betul‐betul dapat
membawa siswa pada pencapaian indikator yang telah ditetapkan, strategi
yang membawa siswa pada pemahaman materi secara internal (internalisasi
nilai materi pelajaran). Dikatakan Gagne (1985, dalam Merdinger, et al., 2005)
bahwa unsur-unsur yang mempengaruhi proses pembelajaran agar menjadi
efektif adalah strategi dalam menentukan tujuan belajar, mengetahui kapan
strategi yang digunakan dan memonitor keefektifan strategi belajar tersebut.
Dalam proses pembelajaran baik di tingkat dasar maupun lanjutan, regulasi diri
dalam belajar (self regulated learning) merupakan sebuah pendekatan yang
penting. Strategi regulasi diri dalam belajar cocok untuk semua jenjang
pendidikan, kecuali untuk kelas tiga Sekolah Dasar ke bawah (Woolfolk, 2008).
Zimmerman (1990) mengidentifikasi beberapa strategi belajar yang
umumnya digunakan oleh seorang yang mempunyai kemampuan belajar dengan
pengaturan diri yaitu: evaluasi diri (self evaluation); pengorganisasian
(organizing) dan pentransformasian (transforming); menetapkan tujuan dan
perencanaan
(goal
setting
and
planning);
mencari
informasi
(seeking
5
information);
membuat
dan
memeriksa
catatan
(keeping
records
and
monitoring); mengatur lingkungan (environmental structuring); konsekuensi
diri (self concequences); mengulang‐ ulang dan mengingat (rehearsing and
memorizing); mencari bantuan (seeking social assistance) kepada teman sebaya,
guru, atau orang dewasa lainnya; serta mereview catatan dan buku teks
(review records).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self Regulated Learning
Self regulated learning mengintegrasikan banyak hal tentang belajar
efektif. Kognitif, pengetahuan, motivasi, dukungan sosial, dan media sosial
merupakan faktor‐ faktor penting yang dapat mempengaruhi self regulated
learning.
Kognitif
Kemampuan
kognitif
yang
amat
penting kaitannya dengan proses
pembelajaran adalah strategi belajar memahami isi materi pelajaran, strategi
meyakini arti pentingnya isi materi pelajaran, dan aplikasinya serta menyerap
nilai‐nilai yang terkandung dalam materi pelajaran tersebut (Love & Kruger,
2005).
Pengetahuan
Pengetahuan yang dimaksudkan adalah pengetahuan tentang dirinya
sendiri,
materinya, tugasnya, strategi untuk belajar,
dan
konteks‐konteks
pembelajaran yang akan digunakannya Siswa‐siswa yang belajar dengan
regulasi diri dapat diistilahkan sebagai siswa ’ahli’. Siswa ahli mengenal dirinya
sendiri dan bagaimana mereka
belajar
dengan
sebaik‐baiknya.
Mereka
mengetahui gaya pembelajaran yang disukainya, apa yang mudah dan sulit bagi
dirinya, bagaimana cara mengatasi bagian‐ bagian sulit, apa minat dan bakatnya,
dan bagaimana cara memanfaatkan kekuatan/kelebihannya (Woolfolk, 2008).
Mereka juga tahu materi yang sedang dipelajarinya; semakin banyak materi
yang mereka pelajari semakin banyak pula yang mereka ketahui, serta semakin
mudah untuk belajar lebih banyak (Alexander, 2006). Mereka mungkin
6
mengerti bahwa tugas belajar yang berbeda memerlukan pendekatan yang
berbeda pula. Merekapun menyadari bahwa belajar seringkali terasa sulit dan
pengetahuan jarang yang bersifat mutlak; biasanya ada banyak cara yang
berbeda untuk melihat masalah dan ada banyak macam solusi (Pressley,
1995).
Motivasi
Zimmerman & Martinez‐Pons (2001) mendefinisikan sebagai tingkatan
dimana partisipan secara aktif melibatkan metakognisi, motivasi, dan perilaku
dalam proses belajar. Belajar berdasarkan regulasi diri didefinisikan
sebagai
bentuk belajar individual dengan bergantung pada motivasi belajar mereka,
secara
otonomi mengembangkan
pengukuran
(kognisi,
metakognisi, dan
perilaku), dan memonitor kemajuan belajarnya (Baumert et al., 2002).
Dukungan Sosial
Schunk dan Zimmerman (1998) menyatakan bahwa individu memiliki
kompetensi belajar berdasar regulasi diri (self regulated learning) pada awalnya
berkembang dari pengaruh sosial selanjutnya beralih pada pengaruh diri sendiri.
Belajar berdasarkan regulasi diri sebagai perilaku yang dipelajari individu dari
hasil interaksinya dari lingkungan sosial sangat dipengaruhi oleh dukungan sosial
yang diterima individu dari lingkungannya.
Manusia
sebagai
makhluk
sosial
berinteraksi
dengan
individu
disekelilingnya menjadi kebutuhan. Siswa berinteraksi dengan orang tua, guru,
dan teman sebaya. Keterlibatan orang tua dapat meningkatkan self regulated
learning
anak. Orang tua mengajarkan dan mendukung self regulated
learning melalui modeling, memberi dorongan, memfasilitasi, mereward goal
setting, penggunaan strategi yang baik, dan proses‐proses lainnya (Martinez‐
Pons, 2002).
Pada masa remaja kebutuhan terhadap teman sebaya meningkat tajam dari
pada masa anak seiring dengan meluasnya aktivitas anak. Teman sebaya berasal
dari anak-anak dari tetangga atau teman-teman sekolah. Teman sebaya
7
mempunyai pengaruh besar dalam diri remaja dalam tiga bentuk (Eisenberg,
Fabes, & Spinrad, 2006; Rubin, Bukowski, & Parker, 2006) yaitu sikap dan nilai,
perkembangan sosial, dan dukungan sosial.
Siswa cerdas istimewa dengan karakteristik yang khas seperti minat yang
beragam dan keingintahuan yang tinggi, idealis, toleransi rendah terhadap
kelambatan, kreativitas yang nyata, dan motivasi yang kuat dari kebutuhan
aktualisasi diri membutuhkan guru yang mempunyai karakteristik yang khas pula.
Feldhusen (1997) berpendapat bahwa guru untuk siswa cerdas istimewa
akan lebih produktif jika mempunyai kompetensi, keterampilan, dan pengetahuan
yang dibutuhkan daripada mempunyai berkepribadaian yang sesuai. Namun, jika
bertanya pada siswa cerdas istimewa (gifted) karakteristik guru yang mereka
inginkan adalah guru yang mempunyai kualitas kepribadian-sosial (personalsocial qualities) daripada sekedar guru yang mempunyai kualitas intelektual. Hal
ini sesuai dengan penelitian Widyorini (2008) bahwa siswa cerdas istimewa lebih
menyukai guru yang baik hati, tidak galak, suka humor, dan pandai.
Media Sosial Facebook
Indonesia adalah pengguna facebook terbesar nomor 4 di dunia. Facebook
pada tahun 2009 di Indonesia meningkat 700% dibanding pada tahun 2008.
Sebagian besar pengguna facebook adalah usia 15-39 tahun. Hal ini menunjukkan
bahwa pengguna media sosial khususnya facebook adalah remaja usia sekolah.
Bahkan menurut Lutfie (dalam Pranasetyawan, 2010) pengguna facebook di
Indonesia berusia 13 tahun berjumlah 360.000 orang. Usia tersebut adalah usia
siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Dalam aktivitas belajar, Mangkulo (2010) menyarankan facebook digunakan
sebagai media belajar sehingga pelajar dapat menyampaikan materi pelajaran
berupa video atau tulisan, jadwal ujian, dan melakukan diskusi dengan pengguna
facebook. Hal ini sangat membantu siswa untuk memperoleh informasi terkait
dengan materi yang dipelajari di sekolah.
8
Problem Definition
Siegle dan McCoach (2005) menjelaskan bahwa salah satu faktor personal
yang berpengaruh terhadap prestasi akademik siswa cerdas istimewa adalah
regulasi diri (sef-regulation). Penelitian yang dilakukan oleh Baslanti dan
McCoach (2006) dan Alsa (2005) menjelaskan bahwa belajar berdasarkan regulasi
diri (sef-regulation learning) merupakan prediktor terbaik dalam membedakan
siswa cerdas istimewa yang berprestasi tinggi dan rendah. Terdapat korelasi yang
positif antara belajar berdasar regulasi diri dengan motivasi berprestasi. Belajar
berdasar regulasi diri akan menjaga motivasi berprestasi siswa cerdas istimewa.
Belajar berdasar regulasi diri (self regulated learning) berkembang dari
teori kognisi sosial Bandura (1997). Menurut teori kognisi sosial, manusia
merupakan hasil struktur kausal yang interdependen dari aspek pribadi (person),
perilaku (behavior ), dan lingkungan (environment). Ketiga aspek ini merupakan
aspek‐aspek determinan dalam belajar berdasar regulasi diri (self regulated
learning). Ketiga aspek determinan ini saling berhubungan sebab akibat, dimana
person berusaha untuk meregulasi diri sendiri (self regulated), hasilnya berupa
kinerja atau perilaku, dan perilaku ini berdampak pada perubahan lingkungan, dan
demikian seterusnya (Bandura, 1986).
Schunk dan Zimmerman (1998) menyatakan bahwa individu memiliki
kompetensi belajar berdasar regulasi diri (self regulated learning) pada awalnya
berkembang dari pengaruh sosial selanjutnya beralih pada pengaruh diri sendiri.
Matsumoto (2008), menambahkan bahwa faktor budaya turut mempengaruhi
penerapan belajar berdasar regulasi diri (self regulated learning). Nilai-nilai
budaya yang dianut siswa akan berperan dalam menerapkan belajar berdasar
regulasi diri (self regulated learning) agar tercapainya tujuan belajar.
Schunk dan Zimmerman (1998) menyatakan bahwa kemampuan belajar
berdasar regulasi diri (self regulated learning) muncul dalam serangkaian tingkat
kemampuan regulasi yang meliputi empat tingkat perkembangan yaitu tingkat
pengamatan, persamaan, kontrol diri dan regulasi diri. Pada level perkembangan
9
pengamatan dan peniruan, kompetensi belajar berdasar regulasi diri (self
regulated learning) individu berkembang dari pengaruh sosial yang meliputi
guru, orang tua, pelatih dan teman sebaya. Selanjutnya pada level perkembangan
kontrol diri dan pengaturan diri, individu sudah mampu menerapkan strategi self
regulated learning secara mandiri.
Dengan demikian belajar berdasar regulasi diri dipengaruhi oleh
lingkungan individu berada, terutama lingkungan sosial. Lingkungan sosial
meliputi orang tua, teman, guru dan media sosial yang sedang berkembang pada
era teknologi saat ini. Penelitian ini ingin mengetahui seberapa besar pengaruh
faktor-faktor psikososial dalam membentuk aktivitas belajar berdasarkan regulasi
diri.
Method
Participants
Kriteria subyek dalam penelitian ini adalah siswa cerdas istimewa dengan IQ
120 (TIKI) yang belajar pada program akselerasi di SMPN 1 Sidoarjo. Jumlah
subyek sebanyak 70 orang. Usia subjek adalah 13-14 tahun. Pendidikan orang tua
subjek adalah sarjana.
Instruments
Dalam penelitian ini menggunakan lima skala, yaitu Skala Keterlibatan Orang
Tua, Skala Dukungan Teman Sebaya, Skala Interaksi Guru dan Siswa, Skala
Intensitas Penggunaan Media Sosial, dan Skala Belajar Berdasar Regulasi Diri.
Lima skala ini disusun peneliti berdasarkan Skala Likert.
Skala Keterlibatan Orang Tua terdiri dari 41 aitem dengan skor validitas 0. 27
– 0.659 dan skor reliabilitas 0. 893, Skala Dukungan Teman Sebaya terdiri dari 24
aitem dengan skor validitas 0.256 – 0.615 dan skor reliabilitas 0.771. Skala
Interaksi Guru dan Siswa terdiri dari 36 aitem dengan skor validitas 0.237 – 0.612
10
dan skor reliabilitas 0.83. Skala Intensitas Penggunaan Media Sosial Facebook
terdiri dari 18 aitem dengan skor validitas 0.29 – 0.709. Skala Belajar Berdasar
Regulasi Diri terdiri dari 50 aitem dengan skor validitas 0.244 – 0.613 dan skor
reliabilitas 0.882.
Data Collection
Data dikumpulkan dengan memberikan Skala Keterlibatan Orang Tua,
Skala Keterlibatan Orang Tua, Skala Dukungan Teman Sebaya, Skala Interaksi
Guru dan Siswa, Skala Intensitas Penggunaan Media Sosial, dan Skala Belajar
Berdasar Regulasi Diri kepada 77 siswa kelas IX program akselerasi di SMP
Negeri 1 Sidoarjo. Siswa kelas IX program akselerasi dibagi dalam tiga kelas.
Peneliti dibantu oleh asisten untuk mengambilan data pada hari Sabtu, 8 Agusutus
2015 pada jam 13.00 – 14.00.
Analysis
Data yang digunakan dalam penelitian ini dari subjek yang berjumlah 70
orang. Awalnya data yang terkumpul berjumlah 77 orang. Data dari tujuh subjek
tidak dapat digunakan karena kurang lengkap dalam memberikan respon pada
skala. Analisis data dilakukan dengan analisis regresi untuk mengetahui kontribusi
variabel bebas terhadap variabel terikat.
Results
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa kontribusi variabel keterlibatan
orang tua, interaksi guru dan siswa, dukungan teman sebaya, dan intensitas
penggunaan media sosial facebook sebesar 49,8% terhadap aktivitas belajar
berdasar regulasi diri. Variabel interaksi guru dan siswa yang paling berpengaruh
(19,15%) terhadap aktivitas belajar berdasar regulasi diri. Hasil analisis
membuktikan bahwa hipotesa yang diajukan diterima.
11
Conclusions and Discussion
Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa kontribusi keterlibatan
orang tua, interaksi guru dan siswa, dukungan teman sebaya, dan intensitas
penggunaan media sosial facebook sebesar 49,8% terhadap belajar berdasar
regulasi diri siswa cerdas istimewa. Variabel interaksi guru dan siswa yang paling
berpengaruh (19,15%) terhadap aktivitas belajar berdasar regulasi diri siswa
cerdas istimewa.
Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan orang tua, interaksi guru dan
siswa, dukungan teman sebaya, dan intensitas penggunaan media sosial
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap aktivitas belajar berdasar
regulasi diri. Sebagaimana dijelaskan oleh Zimmerman (1989) bahwa belajar
berdasar regulasi diri berkembang dari teori kognitif sosial Bandura (1986)
yang menyatakan bahwa manusia merupakan hasil struktur kausal yang
interdependen dari aspek pribadi (person), perilaku (behavior ), dan lingkungan
(environment). Jadi lingkungan memberikan kontribusi yang signifikant dalam
membentuk aktivitas belajar berdasar regulasi diri.
Dari empat variabel yang diteliti, yaitu keterlibatan orang tua, interaksi
guru dan siswa, dukungan teman sebaya, dan intensitas penggunaan media sosial
facebook maka variabel interaksi guru dan siswa yang paling berpengaruh
(19,15%) terhadap aktivitas belajar berdasar regulasi diri. Hal ini membuktikan
bahwa interaksi guru dan siswa memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
aktivitas belajar berdasar regulasi diri.
Guru memegang peranan penting dalam menciptakan aktivitas belajar
berdasarkan regulasi diri. Interaksi siswa dan guru meningkat motivasi belajar
siswa cerdas istimewa, walaupun siswa cerdas istimewa mempunyai motivasi
intrinsik yang tinggi dalam belajar namun mereka tetap membutuhkan dukungan
sosial dari lingkungannya.
Upaya guru dalam berinteraksi dengan siswa cerdas istimewa adalah
menciptakan suasana belajar yang kondusif, mengorganisasi kelas, dan
menciptakan
pembelajaran
yang
efektif.
Hal
ini
dilakukan
dengan
12
mempertimbangkan karakteristik siswa cerdas istimewa memiliki keinginan untuk
dapat mengendalikan pengalaman belajarnya (Zarfiel dalam Hawadi, 2006).
Belajar berdasar regulasi diri (Zimmerman, 1989) berkembang dari teori
kognitif sosial Bandura (1986) yang menyatakan bahwa manusia merupakan
hasil struktur kausal yang interdependen dari aspek pribadi (person), perilaku
(behavior ), dan lingkungan (environment). Ketiga aspek ini merupakan aspek‐
aspek determinan dalam belajar berdasarkan regulasi diri.
Belajar berdasarkan regulasi diri sebagai perilaku yang dipelajari individu
dari hasil interaksinya dari lingkungan sosial sangat dipengaruhi oleh dukungan
sosial yang diterima individu dari lingkungannya. Siswa cerdas istimewa sebagai
makhluk sosial berinteraksi dengan lingkungan sosial yang ada dalam kehidupan.
Orang tua adalah lingkungan sosial pertama di rumah. Guru dan teman sebaya
adalah lingkungan sosial setelah siswa cerdas istimewa keluar dari rumah. Pada
saat ini perkembangan teknologi komunikasi menyebabkan individu berinteraksi
dengan orang lain melalui media sosial elektronik.
Schunk dan Zimmerman (1998) menyatakan bahwa kemampuan belajar
berdasar regulasi diri (self regulated learning) muncul dalam serangkaian tingkat
kemampuan regulasi yang meliputi empat tingkat perkembangan yaitu tingkat
pengamatan, persamaan, kontrol diri dan regulasi diri. Pada level perkembangan
pengamatan dan peniruan, kompetensi belajar berdasar regulasi diri (self
regulated learning) individu berkembang dari pengaruh sosial yang meliputi
guru, orang tua, pelatih dan teman sebaya. Selanjutnya pada level perkembangan
kontrol diri dan pengaturan diri, individu sudah mampu menerapkan strategi self
regulated learning secara mandiri.
Orang tua mempunyai beberapa peran dalam meningkatkan aktivitas
belajar berdasarkan regulasi diri. Orang tua membimbing anak dalam memilih
strategi belajar yang digunakan. Orang tua menjadi model dengan memberikan
contoh menyelesaikan masalah yang ditemui dalam belajar. Orang tua juga dapat
membantu anak mengevaluasi dan mendiskusikan hasil belajarnya (Reis, 2004).
13
Orang tua siswa cerdas istimewa dengan latar belakang pendidikan yang
sarjana mempunyai keterlibatan yang tinggi (rata-rata empirik sebesar 157.157)
dalam belajar siswa cerdas istimewa. Orang tua memberikan fasilitas belajar,
memotivasi, memberi teladan, memantau aktivitas, membantu menjarikan solusi,
dan membimbing anak.
Interaksi guru dan siswa cerdas istimewa tergolong tinggi (rata-rata
empirik
sebesar
129.771).
Guru
menciptakan
suasana
yang
kondusif,
mengorganisasi kelas dengan efektif dan menciptakan pembelajaran sesuai
dengan kebutuhan siswa cerdas istimewa. Kemampuan guru menciptakan suasana
yang kondusifdalam berinteraksi dengan siswa memainkan peran yang signifikan
dalam pemupukan lingkungan belajar yang positif dan mempromosikan prestasi
siswa (Pianta, 2008).
Pada usia yang sama, remaja akan mengalami pengalaman yang sama.
Mereka memilih teman karena adanya kesamaan. Keintiman ini akan menjadi
dukungan bagi remaja karena mereka membicarakan pikiran dan perasaan yang
sangat personal kepada orang yang mereka percaya akan diterima dan dipahami.
Teman bagi remaja memberikan pengaruh positif dan negatif. Pengaruh
negatif terutama dalam membentuk perilaku beresiko seperti rokok, alkohol, dll.
Pengaruh positif terkait dengan support dan nurturance.Teman dekat memberikan
kontribusi dalam membangun harga diri remaja (self esteem) dan mengembangkan
pemahaman sosial, dimana remaja akan membandingkan pandangan dirinya dan
teman-temannya (Sullivan, 1953 dalam Arnett, 2013).
Dukungan teman sebaya terhadap siswa cerdas istimewa tergolong tinggi
(rata-rata empirik sebesar 90.443). Dukungan yang diberikan kepada siswa cerdas
istimewa meliputi dukungan informasi, bantuan langsung, persahabatan, dan
penghargaan.
Intensitas penggunaan media sosial facebook siswa cerdas istimewa
tergolong rendah (rata-rata empirik sebesar 41.257). Hal ini menunjukkan bahwa
siswa cerdas istimewa tergolong siswa yang menggunakan facebook dalam waktu
14
dan frekuensi yang rendah. Dengan demikian keberadaan media sosial facebook
tidak mengganggu aktivitas belajarnya dan hubungan personal.
Penelitian yang dilakukan oleh Associated Chamber of Commerce and
Industry of India (ASSOCHAM) tahun 2012, dalam penelitian yang dilakukan
pada 2000 remaja di India dengan rentang usia 12- 20 tahun terbukti bahwa
mayoritas responden menyatakan bahwa kecanduan penggunaan media sosial
telah membuat mereka mengalami insomnia, depresi, dan hubungan personal yang
buruk dengan rekan-rekan mereka di dunia nyata. (Firman & Ngasis, 2012).
Hubungan positif intensitas penggunaan facebook dan prestasi belajar pada
mahasiswa diteliti oleh Karpinski (dalam Pranasetyawan, 2010). Mahasiswa
pengguna aktif media sosial facebook mempunyai nilai yang lebih rendah
daripada mahasiswa yang tidak menggunakan media sosial facebook. Menurut
Karpinski hal itu disebabkan media sosial telah menyebabkan waktu belajar
mahasiswa tersita oleh aktivitas bermain ketika menggunakan media sosial
facebook. Rata-rata mahasiswa menggunakan waktu 1-5 sampai 11-15 jam waktu
belajarnya perminggu untuk bermain di media sosial facebook.
Siswa cerdas istimewa menunjukkan kemampuannya yang tinggi dalam
aktivitas belajar berdasar regulasi yang tinggi (rata-rata empirik 179.657). Siswa
cerdas istimewa mampu melakukan usaha mandiri tersebut meliputi perencanaan,
pelaksanaan, dan
pengevaluasian
secara mandiri terhadap hasil belajarnya.
Mereka juga mampu mengatur lingkungan belajarnya, baik dari lingkungan fisik
(misal, tempat belajar, kondisi belajar) maupun dari lingkungan sosial (misal,
teman belajar).
Keterbatasan penelitian ini adalah instrumen yang digunakan baru
diujicobakan kepada subjek yang terbatas dan belum ketahui validitas dan
reliabilitas tiap dimensi. Penelitian selanjutnya diujicobakan kembali dengan
subjek yang lebih banyak dan metode analisis yang lebih mendalam, seperti
menggunakan comfirmatory factor , agar menjadi alat ukur Skala yang terstandar.
15
References