Goosebumps 48 Pembalasan Di Malam Halloween

R.L. Stine
“Pembalasan Di Malam Halloween”
(Goosebumps #48)
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
==============================
Ebook Cersil (WWW.ebookHP.COM)
Gudang Ebook http://www.zheraf.net
==============================

Chapter 1
"MAU ke mana, Kurcaci?" Dad berseru dari ruang baca.
"Jangan panggil aku Kurcaci!" sahutku. "Namaku Drew!"
Aku benci julukan yang diberikan Dad padaku. Ia memanggilku begitu karena aku
termasuk kecil untuk anak berumur dua belas tahun. Juga karena ia menganggap
tampangku mirip makhluk dongeng itu. Coba, seandainya tampang kalian mirip kurcaci,
apa kalian senang dijuluki begitu? Tentu saja tidak, kan?
Suatu hari sahabat karibku, Walker Parkes, mendengar Dad memanggilku Kurcaci. Lalu
Walker sok ikut-ikutan. "Hei, Kurcaci!" panggilnya. Aku langsung menginjak kaki
Walker dengan sekuat tenaga, dan sejak itu ia tak pernah lagi memanggilku begitu.
"Mau ke mana, Drew?" Dad berseru lagi dari ruang baca.

"Keluar!" jawabku, lalu membanting pintu depan. Aku suka membuat orangtuaku
bertanya-tanya. Aku selalu berusaha memberi jawaban samar-samar. Dalam hal ini aku
memang iseng seperti kurcaci. Tapi awas kalau kau memanggilku begitu. Nanti kakimu
kuinjak sekalian, lho!
Aku terkenal jagoan. Boleh tanya siapa saja. Mereka pasti akan bilang bahwa Drew
Brockman memang jagoan. Sebagai cewek paling kecil di kelas, aku memang harus
bersikap begitu supaya tidak dianggap remeh.
Sebenarnya sih, aku tidak pergi ke mana-mana. Aku sedang menunggu teman-temanku
yang mau main ke rumah. Aku cuma ke trotoar untuk melihat apakah mereka sudah
muncul.
Aku menarik napas dalam-dalam. Aku melihat asap putih keluar dari cerobong asap di
atap rumah di ujung jalan. Bau kayu perapian. Baunya begitu harum dan manis.

Aku paling suka musim gugur. Musim gugur berarti perayaan Halloween akan segera
tiba.
Halloween adalah hari raya kesukaanku. Sebab pada malam itu kita punya kesempatan
untuk tampil lain dari biasanya. Hanya pada malam Halloween saja aku tidak perlu jadi
kurcaci.
Tapi Halloween bukannya tanpa masalah. Malah ada dua masalah yang mengusikku,
yaitu Tabitha Weiss dan Lee Winston, dua teman sekelasku. Sudah dua tahun berturutturut Tabby dan Lee merusak suasana Halloween-ku dan Walker, Aku kesal sekali.

Begitu juga Walker. Hari raya kesukaan kami jadi tidak berkesan gara-gara dua anak
sombong. Mereka pikir mereka boleh berbuat seenaknya. Huh!
Kalau teringat kejadian itu, aku jadi ingin memukul seseorang. Teman-temanku yang
lain, Shane dan Shana Martin, juga sebal. Mereka cowok dan cewek kembar, dan sebaya
denganku. Mereka tinggal di rumah sebelah, kami sering bermain bersama.
Penampilan Shane dan Shana berbeda dari anak-anak lain yang kukenal. Mereka samasama bermuka bulat, dan berambut pirang ikal. Mereka sama-sama berpipi merah,
punya senyum ceria, juga sama-sama bertubuh pendek dan agak gendut.
Dad menjuluki mereka si kembar pet-bun, alias pendek-buntet. Dad selalu punya ejekan
untuk siapa pun! Tapi yang jelas, si kembar juga kesal pada Tabby dan Lee, sama seperti
Walker dan aku. Dan pada Halloween kali ini, kami berniat membuat perhitungan
dengan mereka.
Barangkali kalian ingin tahu, apa sebetulnya persoalan kami dengan Tabby dan Lee.
Hmm, untuk itu aku akan menjelaskan kejadian dua tahun yang lalu itu. Kejadiannya
masih kuingat dengan jelas.
Saat itu Walker dan aku berumur sepuluh tahun. Kami sedang bermain di halaman
depan rumahku. Sepeda Walker tergeletak di rumput, dan ia sedang asyik mengotak-atik
ruji-ruji rodanya. Waktu itu musim gugur, dan cuacanya nyaman sekali. Seseorang
sedang membakar setumpuk daun kering di ujung jalan.
Sebenarnya dilarang membakar daun kering di Riverdale. Dan Dad selalu mengancam
akan memanggil polisi kalau ada yang melanggar larangan itu. Tapi aku suka baunya.

Aku mengamati Walker mengotak-atik sepeda. Aku lupa apa yang kami bicarakan
waktu itu. Kemudian aku menoleh—dan tahu-tahu Tabby dan Lee sudah berdiri di
depanku.
Tabby berpenampilan sempurna, seperti biasa. "Putri yang Sempurna." Itu julukan yang
diberikan Dad padanya—dan kali ini, julukannya tepat.
Angin bertiup cukup kencang. Tapi rambut Tabby yang pirang dan panjang tetap rapi,
tidak berkibar-kibar seperti rambutku. Tabby punya kulit putih mulus dan mata hijau

yang bersinar-sinar. Ia cantik sekali, dan ia sadar benar akan hal itu. Kadang-kadang aku
harus menahan diri untuk tidak mengacak-acak rambutnya!
Lee jangkung dan bertampang keren. Matanya cokelat tua, dan senyumnya sangat
menawan. Ia berkulit hitam, karena ia memang keturunan Afrika. Gayanya persis para
penyanyi rap yang sering tampil di video klip MTV. Semua cewek di sekolah terpesona
padanya. Tapi aku tak pernah mengerti sepatah kata pun yang ia ucapkan. Soalnya, Lee
selalu sibuk mengunyah permen karet berwarna hijau apel.
"Mmmmmmmmbbb mmmmmmmmbbb." Lee mengamati sepeda Walker dan
bergumam tak jelas.
"Hei," aku menyapa mereka. "Apa kabar?"
Tabby tiba-tiba meringis dan menunjuk wajahku. "Ya ampun, Drew, ada yang
menggelantung dari hidungmu," katanya.

"Oh...!" Aku langsung bereaksi dengan menggosok-gosok hidung. Ternyata tidak ada
apa-apa.
"Sori," ujar Tabby sambil nyengir. "Rupanya aku salah lihat." Ia dan Lee tertawa. Tabby
selalu bersikap iseng padaku. Ia tahu aku gampang salah tingkah. Dan karena itu aku
jadi sasaran empuk ulah jailnya.
"Sepedamu bagus," gumam Lee pada Walker. "Giginya berapa?"
"Dua belas," jawab Walker.
Lee tersenyum mengejek. "Sepedaku giginya empat puluh dua!"
"Hah?" Walker berdiri. "Mana ada sepeda seperti itu!" ia memprotes.
"Ada," Lee berkeras, masih sambil cengar-cengir. "Sepedaku dibikin khusus untukku."
Ia membuat balon besar dengan permen karetnya. Dan itu tidak mudah kalau sambil
tersenyum mengejek. Rasanya aku ingin meletuskan balon itu. Tapi Lee keburu mundur
dan meletuskannya sendiri.
"Kau habis potong rambut?" tanya Tabby sambil mengamati rambutku yang tertiup
angin.
"Tidak," sahutku.
"Oh, pantas," ujarnya sambil mengusap rambutnya yang rapi dengan sebelah tangan.
"Grrrr!" Aku tidak tahan. Aku mengepalkan tangan dan menggeram dengan kesal.
Aku sering menggeram seperti itu. Kadang-kadang bahkan tanpa sadar.


"Mummmmmmb mmmmmmbb." Lee mengatakan sesuatu. Aku melihat air liur menetes
di dagunya.
"Apa?" tanyaku.
"Aku bikin pesta Halloween," ia mengulangi.
Jantungku mulai berdegup-degup. "Pesta Halloween sungguhan?" aku kembali bertanya.
"Yang datang pakai kostum semua? Terus ada jus apel, permainan, dan cerita-cerita
seram?"
Lee mengangguk. "Ya. Pesta Halloween sungguhan. Tepat pada malam Halloween, di
rumahku. Kalian mau datang?"
"Pasti!" Walker dan aku menyahut berbarengan. Kami tidak sadar bahwa kami telah
melakukan kesalahan. Kesalahan besar.

Chapter 2
PESTA Halloween di rumah Lee sudah ramai ketika Walker dan aku datang. Orangtua
Lee telah memasang pita hiasan berwarna jingga dan hitam di ruang tamu. Tiga buah
jack-o'-lantern—lentera yang dibuat dari labu besar, yang diukir berbentuk wajah
menyeramkan—di ambang jendela depan menatap kami sambil nyengir.
Orang pertama yang kujumpai tentu saja Tabby. Biarpun memakai kostum, ia langsung
bisa kukenali. Habis, ia berkostum putri kerajaan. Tabby mengenakan gaun berwarna
pink dengan lengan panjang dan kerah renda yang tinggi. Rambutnya yang pirang disisir

ke atas, dan dihiasi mahkota berkilauan. Ia menyambutku sambil tersenyum dengan
bibirnya yang dipoles lipstik.
"Eh, Drew, ya?" ia bertanya sambil berlagak tidak mengenaliku. "Kau jadi apa, sih?
Tikus, ya?"
"Bukan!" semburku. "Aku bukan tikus. Aku orang Klingon. Kau tidak pernah nonton
Star Trek di TV, ya?"
Tabby terkekeh-kekeh. "Kau yakin kau bukan tikus?"
Lalu ia berbalik dan meninggalkanku sambil tersenyum-senyum. Tampaknya ia senang
sekali telah berhasil mengejekku. Aku menggeram tertahan, lalu memandang berkeliling
untuk mencari teman mengobrol. Aku melihat Shane dan Shana di depan perapian.
Mereka mudah dikenali. Mereka sama-sama berkostum orang-orangan salju.
"Kostum kalian bagus sekali!" kataku kepada mereka.

Mereka memakai dua bola salju berwarna putih. Satu bola salju besar untuk menutupi
badan, dan satu lagi yang lebih kecil untuk menutupi kepala.
Bola salju yang lebih kecil diberi lubang untuk mata. Tapi aku tidak tahu yang mana
Shane, dan yang mana Shana.
"Bola saljunya terbuat dari apa?" tanyaku.
" Styrofoam," jawab Shana. Suaranya kecil melengking, dan aku langsung
mengenalinya. "Kami menghabiskan dua blok besar styrofoam untuk kostum ini."

"Wow, keren," ujarku.
"Pestanya ramai, ya?" kata Shane. "Semua teman sekelas kita datang. Sudah lihat
kostum Bryna Morse? Dia menyemprot seluruh badannya dengan cat semprot warna
perak. Muka dan rambutnya juga!"
"Jadi apa dia?" aku bertanya sambil memandang berkeliling untuk mencarinya. "Silver
surfer?"
"Bukan. Menurutku dia jadi Patung Liberty," sahut Shane. "Soalnya, dia bawa obor dari
plastik."
Suara berderak dari perapian membuatku tersentak kaget. Sebagian besar lampu
dipadamkan, sehingga suasananya jadi remang-remang, cocok sekali untuk pesta
Halloween. Api di tempat perapian menghasilkan bayangan-bayangan yang menari-nari
di lantai.
Aku membalik dan melihat Walker menghampiri kami. Seluruh tubuhnya terbungkus
perban dan kain kasa. Kelihatannya ia jadi mumi.
"Aku ada masalah," katanya.
"Masalah apa?" tanya Shane.
"Ibuku kurang rapi sewaktu membungkusku tadi," Walker menggerutu. "Perbannya
sudah mulai terlepas."
Ia berusaha mengencangkan perban yang tampak mengendur di sekeliling lehernya.
"Aaaagh!" ia berseru kesal. "Semuanya sudah mau copot."

"Tapi kau pakai baju, kan?" tanya Shana.
Shane dan aku tertawa. Aku membayangkan Walker berdiri di tengah pesta cuma
dengan pakaian dalam, sementara di kakinya bergulung-gulung tumpukan perban.
"Ya, tentu saja pakai baju," jawab Walker. "Tapi kalau perban ini copot semua, aku bakal
terpelanting."

"Hei—ada apa?" Lee menyela percakapan kami. Ia memakai kostum Batman, tapi aku
mengenali matanya yang gelap di balik topeng. Dan aku juga mengenali suaranya.
"Pestanya ramai ya," ujar Shana.
"Yeah, memang," aku mengulangi.
Lee hendak menyahut. Tapi bunyi gubrak yang sangat, keras membuat semua anak
memekik kaget. Semua berdiri seperti patung.
"Apa itu?" seru Lee.
Suasana jadi hening. Bunyi itu terdengar lagi. Disusul bunyi benturan. Dan suara orang
berbisik-bisik.
"K-kedengarannya dari ruang bawah tanah!" kata Lee tergagap-gagap. Ia melepaskan
topeng Batman. Aku segera melihat ekspresi ngeri yang tercermin di wajahnya. Kami
semua menoleh ke pintu terbuka di ujung ruang tamu. Aku bisa melihat tangga yang
menuju ke ruang bawah tanah.
"Oh...!" Lee berseru tertahan ketika bunyi benturan kembali terdengar. Lalu menyusul

suara langkah berat menaiki tangga. "Ada orang masuk!" Lee menjerit ketakutan. "Ada
perampok! Perampok!"

Chapter 3
"MOM! Dad!" teriak Lee. Suaranya terdengar melengking di ruang tamu yang
mendadak sunyi. Semua anak seakan-akan terpaku di tempat. Aku merinding ketika
mendengar suara langkah yang menaiki tangga itu.
"Mom! Dad! Tolong!" Lee kembali berteriak sambil membelalakkan mata karena ngeri.
Tak ada jawaban.
Ia berlari ke arah kamar orangtuanya di bagian belakang rumah. "Mom? Dad?"
Aku hendak mengikutinya. Tapi beberapa detik kemudian ia sudah kembali ke ruang
tamu. Seluruh tubuhnya gemetaran.
"Orangtuaku—mereka hilang!"
"Panggil polisi!"
"Ya! Telepon sembilan-satu-satu!" teriak Walker.
Lee bergegas ke pesawat telepon di samping sofa. Kakinya menyenggol kaleng Pepsi
yang ditaruh di karpet. Tapi ia tidak menghiraukannya. Ia menyambar gagang telepon

dan langsung menempelkannya ke telinga. Aku memperhatikannya menekan nomor
untuk keadaan darurat. Tapi kemudian ia berpaling ke arah kami, dan membiarkan

gagang telepon terlepas dari tangannya. "Teleponnya mati!"
Beberapa anak memekik tertahan. Aku berpaling ke arah Walker dan membuka mulut
untuk mengatakan sesuatu. Tapi sebelum aku sempat bicara, dua sosok besar muncul
dari pintu ruang bawah tanah.
"Ahhhh!" Lee meraung ketakutan. Tabby mundur selangkah dan setengah bersembunyi
di belakang Lee. Matanya yang bermake-up tebal terbelalak karena ngeri.
Kedua sosok tak dikenal itu cepat-cepat melintasi ruang tamu dan menghalangi pintu
keluar. Salah satu memakai topi rajut biru yang ditarik sampai menutupi wajah, sedang
rekannya memakai topeng gorila yang terbuat dari karet. Keduanya memakai jaket kulit
hitam dan celana jeans hitam.
"Waktunya berpesta!" si gorila berseru dengan suara parau. Ia tertawa. Tawanya
terdengar kejam. "Ayo, mari berpesta semuanya!"
Beberapa anak memekik ketakutan. Jantungku mulai berdegup-degup. Tiba-tiba saja aku
jadi panas-dingin.
"Siapa kalian?" tanya Lee di tengah hiruk-piruk. "Bagaimana kalian bisa masuk? Di
mana orangtuaku?"
"Orangtua?" balas orang yang memakai topi rajut. Matanya biru cerah, hampir sama
birunya dengan topi yang menyelubungi wajahnya. "Memangnya kau punya orangtua?"
Keduanya tertawa.
"Di mana mereka?" seru Lee.

"Mungkin mereka kabur sewaktu melihat kami datang!" jawab si topi rajut.
Lee menelan ludah.
Tabby maju sedikit. "Kalian tidak boleh seenaknya masuk ke sini!" ia menghardik kedua
orang tak dikenal itu. "Kami sedang berpesta!"
Si gorila berpaling kepada temannya dan tertawa. Keduanya tertawa terpingkal-pingkal
sambil menengadah.
"Sekarang giliran kami yang pesta!" seru si gorila. "Pesta ini kami ambil alih!"
Di sekeliling ruangan terdengar bisik-bisik. Kakiku mendadak lemas. Aku terpaksa
berpegangan pada pundak Walker agar jangan sampai ambruk.
"M-mau apa kalian?" tanya Tabby tergagap-gagap.

Chapter 4

"AYO, semuanya tiarap di lantai!" si topi rajut memerintahkan.
"Kalian tidak boleh berbuat begini!" teriak Tabby.
"Kami masih anak-anak!" seseorang berseru. "Kalian mau merampok kami? Kami tidak
punya uang!"
Aku melihat Shane dan Shana berdiri di depan perapian. Wajah mereka tersembunyi di
balik kostum orang-orangan salju. Tapi aku tahu mereka juga ketakutan.
"Tiarap!" kedua orang tak dikenal itu menghardik. Suasana jadi ramai ketika kami
semua tiarap di lantai.
"Kalian juga!" si gorila membentak Shane dan Shana.
"Tapi mana mungkin!" seru Shana. "Kami tidak bisa tiarap dengan bola-bola salju ini!"
"Jangan banyak omong!" bentak si gorila.
"Cepat tiarap—atau kami akan memaksa kalian," si topi rajut mengancam.
Aku memperhatikan Shane dan Shana menuruti perintah itu. Mereka terpaksa membuka
bola salju sebelah bawah agar bisa berlutut. Bola salju Shana terbelah dua ketika ia
berusaha melepaskannya.
"Oke, sekarang push-up semuanya!" perintah si gorila.
"Hah?" Di sekelilingku terdengar seruan-seruan bingung.
"Push-up!" si gorila mengulangi. "Kalian tahu bagaimana caranya, bukan?"
"B-berapa kali?" tanya Walker. Ia berlutut di sampingku, di depan meja.
"Cukup dua jam saja," sahut si topi rajut.
"Hah? Dua jam?" beberapa anak memekik.
"Dan itu baru pemanasan," kata si gorila. "Setelah itu kami akan memikirkan sesuatu
yang lebih berat untuk kalian!"
"Yeah. Jauh lebih berat!" rekannya menambahkan. Lalu keduanya kembali terbahakbahak.
"Kalian tidak boleh menyuruh kami seenaknya!" aku menjerit. Suaraku terdengar kecil
melengking, persis seperti cicit tikus.

Anak-anak lain juga memprotes. Aku berpaling ke pintu. Si topi rajut telah bergerak ke
tengah ruangan. Tapi si gorila masih menghalangi jalan keluar.
"Ayo, mulai!" si gorila memerintahkan.
"Atau kalian harus push-up selama tiga jam!" kawannya menimpali.
Banyak anak yang mengomel dan menggerutu. Tapi tak ada yang berani membantah.
Semuanya tiarap di lantai dan mulai melakukan push-up. Habis, apa lagi yang bisa kami
lakukan?
"Kita tidak mungkin push-up selama dua jam!" Walker memprotes sambil terengahengah. "Kita bakal pingsan!"
Badannya bergerak naik-turun, naik-turun. Semakin lama kostum mumi-nya semakin
berantakan.
"Lebih cepat!" si gorila berseru. "Ayo, lebih cepat!"
Aku baru melakukan empat atau lima gerakan push-up, tapi lenganku sudah mulai
pegal. Aku memang jarang berolahraga, kecuali naik sepeda dan berenang di musim
panas. Mana aku sanggup push-up lebih dari sepuluh sampai lima belas menit?
Aku menegakkan kepala dan memandang ke depan—dan melihat sesuatu yang
membuatku memekik kaget.

Chapter 5
"WALKER—lihat, tuh!" aku berbisik.
"Apa, sih?" Walker menggerung.
Aku menyikut tulang rusuknya. Ia kehilangan keseimbangan dan jatuh ke lantai. "Aduh!
Hei, Drew—apa-apaan sih kau?"
Kami sama-sama menoleh ke arah pintu. Dan apa yang kami lihat benar-benar
mengagetkan. Ternyata Tabby dan Lee tidak tiarap di lantai seperti anak-anak lain.
Mereka berdiri di depan pintu bersama kedua orang tak dikenal itu. Dan keduanya
sedang nyengir lebar.
Aku berhenti push-up, dan menegakkan badan sambil tetap berlutut. Aku melihat Lee
mulai tertawa. Tabby juga ikut tertawa. Saking kerasnya, mahkota di kepalanya sampai
terguncang-guncang. Mereka berhigh-five!
Anak-anak di sekelilingku masih sibuk mendorong badan mereka naik, lalu turun lagi,
naik, lalu turun lagi. Mereka sibuk push-up sambil mengerang-erang dan menggerunggerung.

Tapi Walker dan aku telah berhenti. Kami sama-sama berlutut dan memperhatikan
Tabby dan Lee. Kedua anak brengsek itu sedang tertawa-tawa, menikmati keberhasilan
mereka.
Aku hendak berseru marah, ketika kedua orang tak dikenal itu melepaskan topeng
masing-masing. Aku segera mengenali orang yang memakai topeng gorila. Ia Todd
Jeffrey, anak SMU yang tinggal di sebelah rumah Lee. Orang yang memakai topi rajut
juga kukenal. Namanya Joe. Entah apa nama belakangnya. Ia teman Todd.
Todd mengusap rambut yang menutupi keningnya. Rambutnya basah, wajahnya merah,
dan ia bermandikan keringat. Rupanya ia kepanasan gara-gara topeng karet itu.
Joe membuang topi rajutnya ke lantai. Ia menggelengkan kepala sambil menertawakan
kami semua. "Hei, ini cuma main-main!" serunya. "Happy Halloween!"
Anak-anak segera berhenti push-up. Tapi tak ada yang bangkit dari lantai. Rupanya
kami semua terlalu kaget hingga tak sanggup untuk berdiri.
"Cuma permainan pesta!" Lee menimpali sambil nyengir.
"Kenapa sih? Kalian pada ngeri, ya?" tanya Tabby dengan lagak tak berdosa.
"Grrrrr!" Aku menggeram lebih keras dari biasanya. Rasanya aku ingin berdiri, merebut
mahkota di kepala Tabby, dan melilitkannya ke leher cewek brengsek itu! Todd dan Joe
berhigh-five. Masing-masing meraih sekaleng Pepsi dan langsung mereguk isinya.
"Kalian sudah boleh berdiri sekarang!" Lee mengumumkan sambil terkekeh-kekeh.
"Wow! Kalian sampai pucat semua!" seru Tabby puas. "Tipuan kami benar-benar
berhasil!"
"Dasar brengsek," Walker bergumam sambil geleng-geleng kepala. Kain kasa yang
semula menutupi kepalanya sudah copot semua. Lilitan perban menggelantung dari
pundaknya. "Brengsek. Benar-benar keterlaluan."
Aku bangkit dengan susah payah dan membantu Walker berdiri. Aku mendengar Shane
dan Shana mengomel di belakang kami. Kostum mereka sudah rusak total. Anak-anak
lain juga mengomel dan menggerutu.
Hanya Tabby dan Lee yang tertawa. Selain mereka, tak ada yang menganggap kejadian
itu lucu. Sebenarnya aku hendak menghampiri kedua anak brengsek itu untuk
mendamprat mereka. Tapi orangtua Lee keburu datang.
"Kami baru saja berkunjung ke rumah keluarga Jeffrey di sebelah," ibu Lee
mengumumkan. Kemudian ia melihat Todd. "Oh, halo, Todd. Kami baru saja dari
rumahmu, mengunjungi orangtuamu. Sedang apa kau di sini? Membantu Lee mengurus
pesta?"

"Begitulah," sahut Todd sambil cengar-cengir.
"Bagaimana pestanya?" ayah Lee bertanya. "Ramai," jawab Lee. "Ramai sekaliii."
***
Begitulah Tabby dan Lee mengacaukan perayaan Halloween dua tahun lalu. Aku dan
Walker—Shane dan Shana juga—benar-benar kesal. Bukan. Kami bukan cuma kesal.
Kami benar-benar marah. Halloween adalah perayaan kesukaan kami. Dan kami
keberatan kalau ada yang mengacaukannya dengan lelucon konyol seperti itu. Jadi,
tahun lalu kami memutuskan untuk membuat perhitungan.

Chapter 6
"KITA perlu dekor istimewa," ujar Shana. "Jangan hanya labu dan kerangka tulang. Itu
sudah biasa."
"Yeah, kita perlu sesuatu yang lebih menyeramkan," usul Shane.
"Kurasa Jack-o'-lantern cukup menakutkan," aku berkeras. "Terutama kalau kita pasang
lilin di dalamnya. Tampangnya yang gelap kan jadi menyala-nyala, dan senyumnya
tampak bengis."
"Ah, Jack-o'-lantern terlalu kekanak-kanakan," Walker membantah. "Mana ada yang
takut pada Jack-o'-lantern. Shana benar. Kita butuh sesuatu yang lebih menyeramkan
untuk menakut-nakuti Tabby dan Lee."
Waktu itu seminggu sebelum Halloween. Kami berempat sedang bekerja keras di
rumahku. Kami sedang mempersiapkan pesta Halloweenku. Ya. Tahun lalu aku
mengadakan pesta Halloween. Kenapa aku memutuskan untuk membuat pesta?
Alasannya cuma satu. Untuk membalas dendam.
Untuk membalas dendam pada Tabby dan Lee. Walker, Shane, Shana, dan aku telah
menghabiskan satu tahun untuk berunding dan menyusun rencana. Kami hendak
membuat kejutan paling mengerikan bagi mereka.
Kami tidak ingin membuat lelucon kejam seperti orang yang berlagak jadi perampok.
Itu terlalu kejam. Dan terlalu menakutkan. Sampai sekarang masih ada beberapa
temanku yang bermimpi buruk tentang orang-orang dengan topi rajut dan topeng gorila.
Kami berempat tidak bermaksud menakut-nakuti semua tamu. Kami cuma ingin
mempermalukan Tabby dan Lee—dan membuat mereka ngeri setengah mati.
Dan sekarang, seminggu sebelum malam yang ditunggu-tunggu, kami berempat sedang
berkumpul di ruang duduk di rumahku sehabis makan malam. Seharusnya kami

mengerjakan PR. Tapi Halloween sudah di ambang pintu. Kami tidak punya waktu
untuk memikirkan PR. Seluruh waktu kami habis tersita untuk menyusun rencana.
Shane dan Shana ternyata punya banyak ide menyeramkan. Padahal tampang mereka
begitu manis dan lugu. Tapi itu cuma kesan dari luar saja. Kalau kita sudah mengenal
mereka, kita akan tahu bahwa mereka sebenarnya sangat jail.
Walker dan aku cenderung memilih ide yang sederhana. Makin sederhana, makin
menyeramkan. Begitulah jalan pikiran kami berdua.
Aku hendak menjatuhkan sarang labah-labah tiruan dari atas tangga, untuk menjerat
Tabby dan Lee. Aku tahu toko yang menjual sarang labah-labah tiruan yang sangat
lengket.
Walker punya labah-labah tarantula yang dipeliharanya di dalam kandang kaca di
rumahnya. Itu tarantula sungguhan. Ia mengusulkan untuk menempelkan tarantula itu
ke sarang labah-labah, lalu menjatuhkannya ke rambut Tabby. Asyik juga idenya.
Walker juga ingin membuat pintu kolong di lantai ruang duduk. Begitu Tabby dan Lee
menginjak pintu kolong itu, kami akan membukanya dan mereka akan terperosok ke
ruang bawah tanah.
Sebenarnya sih aku suka ide itu. Tapi dengan berat hati aku terpaksa menolaknya. Aku
tidak yakin Mom dan Dad akan mengizinkan kami menggergaji lantai ruang duduk.
Lagi pula, aku cuma ingin menakut-nakuti kedua anak brengsek itu. Aku tidak ingin
mereka sampai patah leher.
"Genangan darah palsunya mau kita taruh di mana?" tanya Shane.
Ia memegang genangan darah plastik berwarna merah di kedua tangan. Bersama Shana,
ia telah membeli selusin genangan seperti itu di sebuah toko kostum. Ukurannya
berbeda-beda, dan darahnya persis seperti darah sungguhan.
"Dan jangan lupa lendir hijau ini," Shana mengingatkan kami. Di sampingnya ada tiga
kantong plastik berisi lendir hijau.
Walker dan aku membuka satu kantong, lalu meraba-raba lendir kenyal dan lengket di
dalamnya.
"Di mana kalian beli lendir ini?" tanyaku. "Di toko yang sama?"
"Bukan. Ini keluar dari hidung Shana!" Shane berkelakar.
Shana langsung memprotes dan meraih salah satu kantong plastik. Ia mengayunayunkan kantong plastik itu, seakan-akan hendak memukul saudara kembarnya. Shane
tertawa dan langsung melompat dari sofa.

"Hei! Hati-hati!" aku berseru. "Kalau kantong itu sampai pecah..."
"Lendirnya mungkin bisa kita tempel ke langit-langit," Walker mengusulkan.
"Yeah! Ide bagus!" ujar Shane. "Biar Tabby dan Lee terkena tetesan dari atas."
"Bagaimana kalau kita oleskan sekalian ke tubuh mereka!" Walker menambahkan
dengan penuh semangat. "Biar mereka jadi monster lendir hijau!"
"Blub blub blub!" Shana mengayun-ayunkan tangan sambil berlagak tenggelam dalam
genangan lendir.
"Memangnya lendir ini bisa menempel di langit-langit?" aku bertanya. "Bagaimana
caranya supaya lendirnya menempel cukup lama di atas? Dan bagaimana cara kita
menggiring mereka supaya berdiri persis di bawahnya?"
Akulah yang selalu memikirkan urusan pelaksanaan. Kawan-kawanku memang punya
banyak ide gila. Tapi mereka tak pernah tahu cara melaksanakannya. Itu sudah jadi
tugasku.
"Mana aku tahu," jawab Walker. Ia bangkit dari kursinya. "Aku mau ambil minum
dulu."
"Bagaimana kalau lendirnya tersembur dari Jack-o'-lantern?" Shane mengusulkan.
"Cukup seram, kan?"
"Bagaimana kalau ada darah palsu yang tersembur dari Jack-o'-lantern?" ujar Shana.
"Itu lebih seram lagi."
"Kita harus bisa menjebak Tabby dan Lee," kata Shane sambil berpikir keras. "Lendir,
sarang labah-labah, dan darah palsu ini memang seru. Tapi kita harus bisa membuat
mereka menyangka diri mereka benar-benar terancam bahaya. Kita harus bisa membuat
mereka percaya bahwa mereka akan mengalami sesuatu yang benar-benar mengerikan."
Aku baru saja hendak menyetujui pendapat Shane ketika lampu-lampu mendadak
padam. "Oh...!" aku berseru kaget. Mataku berkedip-kedip dalam gelap. "Ada apa ini?"
Shane dan Shana tidak menyahut. Tirai jendela sudah ditutup semua, sehingga cahaya
dari luar tidak bisa masuk. Saking gelapnya, aku tidak bisa melihat kedua temanku yang
duduk persis di depanku!
Dan kemudian aku mendengar suara parau berbisik-bisik, dekat sekali di telingaku:
"Kalian harus ikut aku. Kalian harus pulang bersamaku sekarang. Pulanglah ke tempat
asal kalian. Pulanglah—ke kuburan."

Chapter 7
BISIKAN yang terdengar dalam gelap itu membuatku merinding. "Kalian harus ikut
aku. Kalian harus pulang bersamaku sekarang. Pulanglah ke tempat asal kalian.
Pulanglah ke kuburan, Tabby dan Lee. Aku datang untuk menjemput kalian. Ayo, Tabby
dan Lee. Kalian harus ikut aku sekarang."
"Bagus! Bagus sekali!" aku berseru.
Lampu-lampu kembali menyala. Shane dan Shana bertepuk tangan sambil bersoraksorai.
"Bagus, Walker!" Aku berpaling untuk memberi selamat padanya.
Ia meletakkan tape player-nya di atas meja tamu dan menggulung kasetnya. "Kurasa ini
cukup untuk menakut-nakuti mereka," ujarnya.
"Aku saja sempat merinding!" kataku. "Padahal aku sudah tahu itu ulahmu."
"Saat lampu padam dan suara itu mulai berbisik-bisik, semua anak bakal menjerit
ketakutan!" seru Shana. "Terutama kalau tape-nya ditaruh di bawah sofa."
"Siapa yang merekam suara itu?" Shane bertanya pada Walker. "Kau?"
Walker mengangguk.
"Hebat," Shane memuji. Ia berpaling padaku. "Tapi, Drew, Shana dan aku juga harus
dapat bagian untuk mengerjai Tabby dan Lee."
"Berbagai rencana kalian lebih baik disimpan sebagai cadangan, siapa tahu kita
memerlukannya," sahutku.
Aku membungkuk dan membuka salah satu kantong plastik. Aku memasukkan tangan
ke dalam kantong dan mengeluarkan segumpal lendir hijau. Lendir itu terasa dingin dan
lengket.
Aku meremas-remasnya, lalu membentuknya menjadi bola. "Apakah lendir ini cukup
lengket untuk ditempel di langit-langit?" tanyaku. "Mungkin bagus juga kalau lendirnya
bisa mengalir di dinding. Mungkin..."
"Tunggu. Aku punya ide yang lebih bagus," Walker memotong. "Lampunya padam—ya,
kan? Lalu suara seram itu mulai berbisik-bisik. Dan tepat ketika suara itu membisikkan
nama-nama mereka—'Pulanglah ke kuburan, Tabby dan Lee'—ada orang yang
menghampiri mereka dari belakang dan menaruh gumpalan lendir di kepala mereka."
"Yeah, benar!" seru Shane. Kami semua tertawa dan bersorak-sorai.

Kami telah berhasil mengumpulkan ide-ide bagus. Tapi kami membutuhkan ide lebih
banyak lagi. Aku tidak mau membuat kesalahan. Tabby dan Lee tidak boleh tahu bahwa
semuanya cuma lelucon.
Aku ingin mereka NGERI—benar-benar N-G-E-R-I. Karena itu kami terus mencari ideide mengerikan. Kami membanting tulang sepanjang minggu. Mulai dari pulang sekolah
sampai larut malam. Kami membuat jebakan-jebakan.
Menyembunyikan kejutan-kejutan seram di seluruh ruang duduk. Kami membuat Jacko'-lantern paling mengerikan yang pernah ada. Dan semuanya kami isi dengan kecoakkecoak plastik yang sangat mirip kecoak sungguhan.
Kami membuat monster setinggi hampir dua setengah meter dari bubur kertas. Kami
memasangnya sedemikian rupa sehingga akan jatuh dari lemari mantel kalau kami
menarik seutas tali.
Kami membeli berbagai mainan karet berbentuk ular, cacing, dan labah-labah, dan
menyembunyikan semuanya di berbagai tempat di dalam rumah.
Kami tidak bisa makan maupun tidur. Kami memaksakan diri untuk mengikuti pelajaran
di sekolah, tapi otak kami sibuk memikirkan cara-cara baru untuk menakut-nakuti kedua
tamu istimewa kami.
Akhirnya Halloween tiba. Kami berempat berkumpul di rumahku. Kami terlalu tegang
untuk berdiri diam, apalagi duduk. Kami berjalan mondar-mandir, dan nyaris tidak
bicara satu sama lain. Dengan gelisah kami memeriksa semua jebakan dan siasat yang
telah kami siapkan.
Seumur hidup aku belum pernah bekerja sekeras ini. Betul lho! Aku menghabiskan
begitu banyak waktu untuk mempersiapkan pesta—dan rencana balas dendam kami—
sehingga aku tidak sempat memikirkan kostumku. Akhirnya aku terpaksa memakai
kostum Klingon yang telah kukenakan tahun lalu.
Walker menyamar sebagai bajak laut. Ia menutup sebelah mata dengan sepotong kain,
dan memakai baju bergaris-garis dengan burung nuri di pundaknya.
Shane dan Shana memakai kostum makhluk bergumpal-gumpal. Aku tidak tahu
makhluk apa mereka sebenarnya.
Tapi kami tidak peduli soal kostum. Yang kami pikirkan hanyalah bahwa kami harus
bisa menakut-nakuti Tabby dan Lee.
Kemudian, ketika kami mondar-mandir dengan gelisah di ruang duduk, satu jam
sebelum pesta dimulai, pesawat telepon berdering. Dan kami menerima telepon yang
membuat kami semua terperangah.

Chapter 8
AKU berdiri persis di samping pesawat telepon ketika telepon itu berdering. Suara
mendadak itu membuatku tersentak kaget. Apakah aku agak tegang? YA!
Aku langsung menyambar gagang telepon. "Halo?"
Kemudian aku mendengar suara yang akrab di telingaku. "Hai, Drew. Ini Tabby."
"Tabby!" seruku. Aku menyangka ia hendak menanyakan jam berapa pestanya dimulai.
"Pestanya dimulai jam delapan," ujarku.
"Tapi kalau kau dan Lee..."
"Justru karena itu aku meneleponmu," Tabby memotong. "Lee dan aku tidak bisa datang
nanti malam."
"Hah?" Gagang telepon itu sampai terlepas dari tanganku dan jatuh ke lantai.
Aku segera membungkuk untuk memungutnya. Tapi karena terburu-buru, aku hampir
membuat mejanya terbalik.
"Apa? Apa katamu?" aku bertanya cepat-cepat, takut salah dengar.
"Lee dan aku tidak bisa datang," Tabby mengulangi. "Kami mau ke rumah saudara
sepupu Lee. Sepupunya boleh keliling sampai tengah malam untuk mengumpulkan
permen. Dia akan mendatangi empat daerah berbeda, dan dia bilang kami bakal dapat
berkantong-kantong permen. Sori."
"Tapi, Tabby..." aku mencoba memprotes.
"Sori," katanya. "Sampai ketemu, ya. Bye." Ia menutup telepon. Aku meraung dengan
suara parau, lalu jatuh berlutut di lantai.
"Ada apa, sih?" tanya Walker.
"Mereka—mereka—mereka..." Aku tidak sanggup menyampaikan kabar buruk itu.
Teman-temanku berkerumun di sekelilingku. Walker berusaha membantuku berdiri. Tapi
kepalaku serasa berputar-putar. Aku tidak ingin bangkit dari lantai.
"Mereka tidak jadi datang!" aku akhirnya mampu berkata. Suaraku parau. "Mereka tidak
jadi datang."
"Oh," Walker mengeluh dengan lesu. Shane dan Shana menggeleng-gelengkan kepala,
tapi tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Kami semua terpaku di tempat. Kami benar-benar patah semangat. Segala kerja keras
kami ternyata percuma. Satu tahun kerja keras ternyata sia-sia.
Aku tidak akan menangis, kataku pada diriku sendiri. Rasanya aku ingin menangis, tapi
aku menahannya. Aku bangkit dengan tubuh gemetaran. Dan menoleh ke arah sofa.
"Astaga, apa itu?" aku memekik.
Semua menoleh, dan mengikuti pandanganku. Sebuah lubang besar tampak di salah satu
sofa yang terbuat dari kulit cokelat.
"Aduh!" Shana meratap. "Tadi aku sempat main-main dengan bola lendir. Rupanya
bolanya jatuh ke sofa waktu aku berdiri tadi. Dan sekarang sofanya berlubang!"
"Cepat—tutup lubang itu sebelum Mom dan Dad tahu...," kataku.
Tapi tentu saja tepat pada detik itulah Mom dan Dad muncul di ruang duduk.
"Bagaimana? Sudah siap menyambut tamu-tamu kalian?" tanya Dad.
Aku menyilangkan jari sambil berharap mereka tidak melihat lubang menganga di jok
sofa.
"Astaga! Kalian apakan sofanya?" Mom memekik.
***
Baru lama kemudian Mom dan Dad bisa melupakan sofa yang rusak itu.
Sementara aku bahkan butuh waktu lebih lama lagi untuk melupakan pestaku yang
gagal total.
Begitulah kejadian pada malam Halloween tahun lalu. Jadi, dua tahun berturut-turut
perayaan Halloweenku kacau balau. Sekarang sudah satu tahun berlalu.
Dan Halloween tahun ini sudah di ambang pintu. Tahun ini, kami punya alasan dua kali
lebih banyak untuk membalas dendam pada Tabby dan Lee. Kalau saja kami punya
rencana....

Chapter 9
"TAHUN ini aku jadi putri ruang angkasa," Tabby mengumumkan.
Rambutnya yang pirang disisir ke atas lagi, dan ia pun kembali mengenakan tiara
dengan permata tiruan. Ia juga memakai gaun panjang berenda yang sama. Kostum yang
sama seperti dua tahun lalu. Tapi supaya punya penampilan ruang angkasa, Tabby
mencat wajahnya dengan warna hijau terang.

Ia selalu mau jadi putri, pikirku dengan getir. Hijau atau tidak hijau, ia mesti jadi putri.
Lee muncul dengan jubah dan celana ketat, dan mengaku sebagai Superman. Ia bilang ia
meminjam kostum adiknya. Ia juga menjelaskan kenapa ia tidak sempat mencari kostum
sendiri. Tapi aku tidak mengerti apa yang dikatakannya sebab, seperti biasanya, ia bicara
sambil mengunyah permen karet.
Walker dan aku jadi hantu. Kami memakai seprai, yang kemudian kami beri lubang
untuk mata dan lengan.
Bagian belakang seprai yang kupakai terseret-seret di tanah berumput. Seharusnya aku
memotongnya lebih pendek. Tapi sekarang sudah terlambat. Kami sudah mau berangkat
untuk acara trick-or-treat.
"Mana Shane dan Shana?" tanya Lee.
"Nanti juga ketemu," sahutku. "Ayo, kita jalan saja."
Udara cukup dingin, dan langit tampak cerah. Bulan sabit melayang pucat di atas atapatap rumah. Rumput berkilau kelabu karena diselubungi lapisan tipis embun es.
Kami berhenti di ujung pekaranganku. Sebuah minivan lewat. Aku melihat sepasang
anjing mengintip lewat jendela belakang. Pengemudi mobil itu sempat mengurangi
kecepatan untuk mengamati kami.
"Enaknya kita mulai dari mana?" tanya Tabby. Lee bergumam tak jelas.
"Rasanya aku ingin keliling sepanjang malam untuk mengumpulkan permen!" seru
Walker. "Bisa jadi ini terakhir kali kita ikut acara trick-or-treat."
"Lho, memangnya kenapa?" tanya Tabby seraya memalingkan wajahnya yang hijau ke
arah Walker.
"Tahun depan kita kan sudah remaja," Walker menjelaskan. "Tahun depan kita sudah
terlalu besar untuk acara seperti ini."
Aku langsung agak sedih mendengarnya. Aku berusaha menarik napas dalam-dalam.
Tapi aku lupa membuat lubang untuk hidung atau mulut di sepraiku. Kami belum keluar
dari halaman rumahku, tapi aku sudah mulai gerah!
"Bagaimana kalau kita mulai dari The Willows saja?" aku mengusulkan. The Willows
daerah rumah-rumah kecil. Daerah itu terletak di balik sebuah hutan kecil, hanya dua
blok dari rumahku.
"Kenapa dari situ?" tanya Tabby sambil mengatur letak tiaranya.
"Karena rumah-rumah di situ berdempetan," aku menjelaskan. "Kita bisa
mengumpulkan banyak permen tanpa harus jalan terlalu jauh."

"Boleh juga usulnya," kata Lee.
Kami mulai menyusuri trotoar. Di seberang jalan aku melihat dua monster dan satu
hantu melintasi halaman depan sebuah rumah. Mereka anak-anak kecil yang ditemani
ayah mereka. Kostumku berkibar-kibar tertiup angin ketika kami jalan. Daun-daun
gugur yang terselubung es bekersak-kersak terinjak sepatuku. Langit seakan-akan
bertambah hitam ketika kami melewati pohon-pohon gelap di hutan kecil.
Beberapa menit kemudian kami sudah sampai di The Willows. Lampu-lampu jalanan
memancarkan cahaya kuning yang hangat. Banyak rumah dihiasi lampu-lampu
berwarna jingga dan hijau, kertas yang dipotong agar menyerupai siluet tukang sihir,
dan Jack-o'- lantern—labu Halloween—yang berkerlap-kerlip. Kami berempat berjalan
dari rumah ke rumah, dan di setiap rumah kami berseru "Trick or treat!"
Dalam waktu singkat kami telah berhasil mengumpulkan cukup banyak permen.
Orang-orang terkagum-kagum melihat kostum putri raja yang dikenakan Tabby. Ia satusatunya dalam kelompok kami yang memakai kostum sungguhan, dan karena itu ia jadi
tampak mencolok.
Kami berpapasan dengan banyak anak lain ketika kami berjalan ke ujung blok. Hampir
semuanya kelihatan lebih kecil dari kami. Ada satu anak yang jadi karton susu. Di
pinggir kostumnya bahkan ada keterangan mengenai kandungan gizi segala.
Kami memerlukan waktu setengah jam untuk mendatangi semua rumah di kedua sisi
jalan. The Willows berakhir pada suatu jalan buntu.
"Sekarang kita ke mana?" tanya Tabby.
"Hei, tunggu. Masih ada satu rumah lagi," ujar Walker. Ia menunjuk rumah kecil yang
setengah tersembunyi di antara pepohonan.
"Aku tidak melihatnya tadi," kataku. "Mungkin karena letaknya tidak di tepi jalan."
"Lampunya menyala, dan di jendela ada labu," kata Walker. "Ayo, kita ke sana."
Kami berjalan ke pintu depan dan menekan bel. Pintunya langsung membuka. Seorang
wanita kecil berambut putih muncul di hadapan kami. Ia menatap kami sambil
memicingkan mata di balik kacamata tebalnya.
"Trick or treatt" kami berempat berseru serempak.
"Oh, ya ampun!" seru wanita itu. Ia menempelkan tangan ke pipi. "Betapa bagusnya
kostum kalian!"
Hah? Apanya yang bagus? pikirku. Dua seprai tua dan baju Superman pinjaman bekas
tahun lalu?

Wanita tua itu berbalik. "Forrest, coba lihat ini!" ia memanggil. "Kau harus lihat
kostum-kostum ini."
Aku mendengar seorang pria terbatuk-batuk di dalam rumah. "Masuklah. Ayo, masuk,"
wanita tua itu memohon. "Aku ingin suamiku bisa melihat kalian."
Ia mundur sedikit agar kami bisa lewat. Kami berempat ragu-ragu.
"Masuklah!" desak wanita itu. "Forrest harus melihat kostum kalian. Tapi dia sulit
bangun. Mari!"
Tabby yang masuk lebih dulu. Kami melangkah ke ruang duduk kecil yang remangremang. Api tampak menari-nari di perapian kecil yang menempel di salah satu dinding.
Panasnya minta ampun!
Wanita tua itu menutup pintu depan. "Forrest! Forrest!" ia memanggil-manggil.
Kemudian ia berpaling kepada kami dan tersenyum. "Dia ada di kamar belakang. Ikuti
aku."
Ia membuka pintu dan membiarkan kami masuk. Di luar dugaanku, kamar belakang luas
sekali. Dan penuh sesak dengan anak-anak berkostum.
"Hei!" aku berseru kaget. Cepat-cepat aku memandang berkeliling. Sebagian besar anak
telah melepaskan topeng masing-masing. Beberapa anak menangis. Ada juga yang
berwajah merah dan marah. Sejumlah anak duduk bersilang kaki di lantai sambil pasang
tampang suntuk.
"Ada apa ini?" tanya Tabby dengan suara melengking. Matanya terbelalak lebar karena
ngeri.
Seorang pria bertubuh kecil dengan wajah merah dan rambut putih acak-acakan muncul
dari sudut ruangan. Langkahnya pincang, dan ia berjalan dengan menggunakan tongkat.
"Aku suka kostum kalian," katanya sambil menyeringai.
"K-kami harus pulang sekarang," Tabby tergagap-gagap.
Kami semua berpaling ke pintu. Tapi wanita tua itu telah menutupnya. Aku kembali
memperhatikan anak-anak berkostum di sekeliling kami. Paling tidak ada dua lusin
anak. Dan semuanya tampak ketakutan.
"Kami harus pulang," ulang Tabby dengan suara melengking.
"Yeah. Biarkan kami pergi," Lee berkeras.
Pria tua itu meringis. Wanita tadi menghampirinya. "Kalian harus tinggal di sini,"
katanya. "Kami suka melihat kostum kalian."

"Kalian tidak boleh pergi," suaminya menambahkan seraya bersandar pada tongkatnya.
"Kami harus melihat kostum kalian."
"Hah? Apa maksudnya? Berapa lama kami harus tinggal di sini?" seru Tabby.
"Untuk selama-lamanya," pasangan tua itu menyahut berbarengan.
==============================
Ebook Cersil (WWW.ebookHP.COM)
Gudang Ebook http://www.zheraf.net
==============================

Chapter 10
BEGITULAH khayalanku. Aku sedang berdiri di tepi jalan di depan rumahku,
menunggu kedatangan teman-temanku. Dan sambil menunggu, aku berkhayal bahwa
Tabby dan Lee dijebak oleh dua orang tua yang suka menyekap anak-anak berkostum
untuk selama-lamanya.
Dalam khayalanku itu, Walker dan aku berhasil lolos melalui sebuah pintu samping.
Tapi Tabby dan Lee tertangkap sebelum mereka sempat kabur. Dan setelah itu mereka
tak pernah terlihat lagi. Seru, kan?
Aku masih asyik membayang-bayangkan kejadian itu ketika Walker, Shane, dan Shana
akhirnya tiba. Langsung saja kami masuk ke rumah dan naik ke kamarku.
"Kenapa sih kau senyum-senyum terus, Drew?" tanya Shana sambil duduk di tepi
tempat tidurku.
"Aku baru saja membayangkan sesuatu yang lucu," sahutku. "Tentang Tabby dan Lee."
"Kalau mengenai mereka, apanya yang lucu?" tanya Walker. Ia memungut bola tenis
dari lantai dan melemparkannya kepada Shane. Keduanya mulai bermain oper-operan
di kamarku.
"Kejadiannya lucu sekali," kataku sambil duduk tegak dan meregangkan otot. "Terutama
bagian akhirnya. " Aku menceritakan khayalanku kepada teman, temanku. Mereka
semua tertawa senang.
Tapi kemudian Shana menegurku. "Kita tidak punya waktu untuk bermimpi, Drew. Kita
perlu rencana nyata. Sebentar lagi Halloween akan tiba."
Walker melempar bola terlalu tinggi. Bola itu menghantam lampu baca di meja
belajarku, hingga terbalik. Shane melesat ke arah lampu dan menangkapnya sebelum
membentur lantai.

"Wah, hebat!" seru Walker. "Gerakan paling cekatan bulan ini!" Ia menepuk punggung
Shane. Saking kerasnya, hampir saja lampu yang dipegang Shane terlepas.
"Grrrr!" Aku melotot pada Walker sambil menggeram, lalu menunjuk kursi belajarku.
"Duduk di situ. Kita harus memeras otak sekarang."
"Drew benar," ujar Shana. "Tahun ini kita harus berhasil menakut-nakuti Tabby dan Lee.
Kita harus membuat perhitungan untuk membalas dua Halloween yang kacau. Harus!"
"Jadi, apa yang akan kita lakukan?" tanya Walker sambil menjatuhkan badannya yang
jangkung kurus ke kursi belajarku. "Bersembunyi di balik semak-semak lalu
mengagetkan mereka?"
Sikapnya benar-benar tidak mendukung.
"Aku punya beberapa ide seram untuk acara pesta," ujarku. "Menurutku..."
"Jangan! Jangan bikin pesta lagi!" sela Shana.
"Betul. Jangan bikin pesta," saudara kembarnya menimpali.
"Tahun lalu kita sudah bekerja begitu keras untuk mempersiapkan pesta itu. Dan tahutahu Tabby dan Lee tidak jadi datang."
"Grrrrr." Aku langsung menggeram ketika teringat peristiwa tahun lalu itu.
"Tapi, kalau kita tidak bikin pesta, bagaimana cara kita menakut-nakuti mereka?" tanya
Walker sambil mengetuk-ngetukkan jari ke meja belajar.
"Shane dan aku punya beberapa ide seru," kata Shana.
"Yeah. Tahun ini kalian harus mendengarkan Shana dan aku," ujar Shane. "Kami punya
rencana yang bagus sekali. Percayalah, Tabby dan Lee bakal gemeteran sepanjang
tahun. Sungguh!"
Walker menggeser kursinya lebih dekat. Shane duduk di sampingnya. Aku
mencondongkan badan ke arah Shana di tempat tidur. Sambil berbisik-bisik, Shana
menceritakan rencana mereka kepada Walker dan aku. Rencana mereka ternyata
memang sangat menyeramkan.
Cuma mendengarkan penjelasan Shana saja sudah membuatku merinding.
"Gampang, kan?" Shana mengakhiri penjelasannya. "Dan pasti berhasil. Aku jamin
deh."
"Kita akan membuat Halloween paling berkesan untuk Tabby dan Lee!" Shane berkoar.
"Wow, jahat sekaliii," Walker bergumam.

Aku menatap si kembar yang gendut dan berpipi kemerahan. Tampang mereka begitu
polos. Begitu manis dan lugu. Tapi otak mereka, bukan main! Rencana yang telah
mereka siapkan untuk menakut-nakuti Tabby dan Lee benar-benar mengerikan!
"Rencana kalian memang jahat," aku membenarkan. "Dan kejam, dan seram, dan
menakutkan." Aku menyeringai lebar. "Dan aku suka!"
Kami semua tertawa.
"Jadi bagaimana? Semuanya setuju?" tanya Shane. Kami semua mengangguk, lalu
bersalaman.
"Bagus," kata Shana. "Nah, Drew, tugasmu adalah mengajak mereka ikut acara trick or
treat alias berkeliling untuk mengumpulkan permen bersamamu. Selebihnya biar Shane
dan aku yang urus."
"Beres," aku menyahut, masih sambil tersenyum lebar. "Tenang saja."
Kemudian kami bersorak-sorai dan saling memberi selamat. Kami tahu bahwa inilah
saat yang kami tunggu-tunggu—saat kemenangan kami.
Shana hendak mengatakan sesuatu—tapi tiba-tiba Mom mengintip dari pintu. "Wah,
kelihatannya kalian serius sekali. Apa sih yang sedang kalian bicarakan?"
"Ehm... tidak penting kok," jawab Walker cepat-cepat.
"Kami lagi bikin rencana untuk Halloween, Mom," ujarku.
Mom menggigit bibir. Roman mukanya jadi serius. "Begini, Drew," katanya sambil
menggelengkan kepala, "rasanya lebih baik kalau tahun ini kau tetap di rumah pada
malam Halloween."

Chapter 11
"MOM—aku harus ikut acara trick-or-treat! Harus! Kalau tidak, rencana kami untuk
balas dendam bakal gagal total!"
Hampir saja kata-kata itu tersembur dari mulutku. Tapi untung aku masih bisa
menguasai diri. Aku menahan lidah sambil mengamati Mom untuk mengetahui apakah
ia serius atau cuma bercanda. Ternyata ia memang serius.
"Aduh, Mom—memang kenapa, sih?" aku berseru. "Apa salahku? Kenapa aku dihukum
tidak boleh keluar rumah?"

"Drew, ini bukan hukuman." Mom tertawa. "Cuma menurut Mom tahun ini lebih baik
kau jangan ikut trick-or-treat. Jangan keluar malam-malam. Masak kau belum membaca
berita-berita di koran? Banyak orang hilang di kota ini."
"Hah? Hilang?"
Aku teringat pada khayalanku. Aku kembali membayangkan pasangan orang tua yang
menyekap anak-anak di ruang belakang rumah mereka.
"Ada anak-anak yang hilang?" aku bertanya.
Mom menggelengkan kepala. "Bukan. Bukan anak-anak. Orang dewasa. Kemarin ada
satu orang lagi yang hilang. Ini sudah yang keempat. Nih, lihatlah."
Mom sedang mengepit gulungan koran. Ia membuka koran itu dan mengangkatnya agar
kami semua bisa melihat halaman depan. Judul berita utamanya ditulis dengan hurufhuruf besar dan tebal:
KEJADIAN MISTERIUS: 4 ORANG MENGHILANG
Aku turun dari tempat tidur dan berjalan menghampiri Mom. Shane dan Shana bertukar
pandang dengan cemas. Roman muka Walker juga kelihatan waswas. Dengan gelisah ia
mengetuk-ngetukkan jari ke meja belajarku.
Aku mengambil koran dari tangan Mom dan mengamati foto keempat orang yang
hilang. Tiga pria dan seorang wanita.
"Polisi memperingatkan warga kota untuk berhati-hati," Mom berkata pelan-pelan.
Walker menghampiriku dan mengambil koran dari tanganku. Sejenak ia mengamati
foto-foto yang terpampang. "Hei—orang-orang ini semuanya gendut!" serunya.
Kini kami semua berkerumun di sekeliling Walker dan menatap foto-foto hitam-putih
itu. Walker benar. Keempat orang yang hilang memang gendut-gendut. Salah satunya,
seorang pria gendut berkepala botak yang memakai sweter, mempunyai paling tidak
enam lipatan lemak di bawah dagunya!
"Aneh," aku bergumam.
Shane dan Shana membisu. Mungkin karena terlalu takut.
"Kenapa empat orang gemuk mendadak hilang tanpa bekas?" tanya Walker.
Mom menghela napas."Polisi juga bingung," ujar Mom.
"Tapi, Mom, kalau hanya orang dewasa yang hilang, kenapa aku tidak boleh keluar
untuk ikut trick-or-treat?" tanyaku.

"Drew boleh ikut, ya?" Shana memohon. "Ini kesempatan terakhir kami untuk keluar
pada malam Halloween."
"Sori. Lebih baik jangan," sahut Mom. Ia menggigit bibir.
"Tapi kami akan sangat sangat sangat hati-hati!" aku berjanji.
"Mom keberatan," Mom menegaskan.
Dan dengan demikian acara Halloween kami sekali lagi rusak total.

Chapter 12
TAPI akhirnya Dad bilang aku boleh keluar pada malam Halloween.
Waktu itu sudah dua hari berlalu. Dan selama itu Dad dan Mom terus membahas
masalah itu.
"Kau boleh ikut kalau kau pergi beramai-ramai," kata Dad. "Jangan pergi jauh-jauh. Dan
jangan berpisah dari teman-temanmu. Oke, Kurcaci?"
"Thanks, Dad!" aku berseru. Saking gembiranya, aku tidak keberatan dijuluki Kurcaci!
Aku malah mengejutkan Dad dengan memeluknya erat-erat.
"Kau yakin Drew akan baik-baik saja?" tanya Mom pada Dad.
"Tentu saja Dad yakin!" seruku. Pokoknya aku takkan membiarkan mereka berubah
pikiran.
Cepat-cepat aku menuju ke pesawat telepon untuk memberitahu Walker bahwa rencana
kami tidak jadi batal!
"Pada malam Halloween akan ada seribu anak yang berkeliling dari rumah ke rumah,"
kata Dad pada Mom. "Lagi pula, Drew dan teman-temannya sudah cukup besar dan
cukup pintar untuk menjaga diri."
"Thanks, Dad!" aku berseru sekali lagi.
Mom sebenarnya masih ingin mengatakan sesuatu. Tapi aku keburu kabur dari dapur
dan berlari ke kamarku sebelum ia sempat mengucapkan sepatah kata pun.
Aku menelepon Walker untuk menyampaikan kabar baik ini. Ia akan menghubungi
Shane dan Shana, untuk meminta mereka bersiap-siap pada malam Halloween.
Semuanya sudah siap. Sekarang tinggal satu masalah kecil saja. Aku harus bisa
membujuk Tabby dan Lee untuk ikut bersama kami.

Aku menarik napas dalam-dalam dan menelepon Tabby. Ibunya mengatakan ia sedang
di rumah Lee, untuk membantu Lee mempersiapkan kostum Halloween. Jadi aku
bergegas ke rumah Lee.
Waktu itu hari Sabtu sore yang kelabu. Sepanjang pagi turun hujan, dan awan-awan
badai masih menyelubungi langit. Rumput di pekarangan rumah-rumah yang kulewati
tampak berkilau-kilau karena basah. Aku melompati genangan-genangan air hujan di
trotoar. Aku mengenakan sweter abu-abu yang tebal. Tapi udara terasa dingin dan
lembap, sehingga aku menyesal tidak melapisinya dengan jaket.
Blok terakhir menjelang rumah Lee kulewati sambil berlari kecil, antara lain agar aku
tidak kedinginan. Aku berhenti di depan pintu rumah Lee dan mengatur napas.
Kemudian aku menekan bel pintu. Beberapa detik kemudian Lee membuka pintu.
"Wah!" aku berseru ketika melihat kostumnya. Di kepalanya berayun-ayun sepasang
antena. Ia mengenakan rompi kuning berbulu di atas baju renang cewek bergaris hitamkuning.
"K-kau jadi lebah?" aku tergagap-gagap.
Lee mengangguk. "Tabby dan aku masih sibuk menyiapkan kostum ini. Tadi pagi kami
membeli celana ketat hitam untuk kakiku."
"Keren lho," kataku. Padahal penampilannya benar-benar konyol. Tapi untuk apa aku
memberitahunya?
Tabby menyapaku ketika aku masuk ke ruang baca. Ia baru saja mengeluarkan celana
ketat Lee dari kotak dan sedang menarik-nariknya.
"Eh, Drew—kayaknya kau tambah kurus, ya?" ia bertanya.