Identitas Sosial Etnik Tionghoa Golongan Pernakan di Kota Medan (Studi Kasus Autobiografi KeluargaLiem Ki Lio)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penelitian ini adalah penelitian mengenai Identitas etnik Tionghoa
Golongan Peranakan “orang Cina” begitu masyarakat menyebutnya, atau yang
lebih identik dengan etnik Tionghoa. Etnik ini merupakan salah satu dari
beragam etnik yang dianggap “pendatang” dan merupakan salah satu kelompok
etnik “pendatang” yang terbesar (Koentjaraningrat:1986), dengan beragam
penggolongan dan permasalahan yang terdapat didalamnya. Penggolongan
tersebut antara lain terdiri atas “Totok” dan “Peranakan”(Suryadinata 1997:9).
Penelitian ini mengkaji tentang Indentitas etnik Tionghoa Golongan Peranakan
di Kota Medan. Berdasarkan Volkstelling (sensus) pada masa Hindia Belanda,
populasi etnik Tionghoa mencapai (35,63%) dari seluruh penduduk kota Medan
pada tahun 1930. Tahun 1983 etnik ini berkisar antara 12,8%. Sensus penduduk
tahun 2000 jumlah etnik ini tidak lebih dari 10,65% dari jumlah keseluruhan
populasi penduduk kota Medan

[1]

.Penurunan jumlah yang cukup drastis bagi


kelompok etnik ini, Padahal disisi lain eksistensi mereka semakin kuat dalam
bidang ekonomi.
Penulis tertarik melakukan penelitian mengenai identitas etnik Tionghoa
golongan peranakan di kota Medan, karena sebagai salah seorang penduduk
yang lahir dan besar di kota ini maka penulis pun beranggapan bahwa kota
Medan sebagai kota ketiga terbesar di Indonesia merupakan salah satu kota
[1]

.http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Medan

Universitas Sumatera Utara

dengan tingkat kepadatan dan tingkat heterogenitas penduduk yang tinggi,
tentunya menjadikan kota ini sebagai salah satu melting pot bagi
keanekaragaman (diversitas) budaya. Hal ini kemudian dianggap sebagai salah
satu

faktor

yang


berpotensi

memunculkan

beragam

permasalahan

kependudukan. Adapun salah satu permasalahannya yakni permasalahan
identitas. Penurunan jumlah penduduk yang terjadi pada kalangan etnik
Tionghoa berdasarkan sensus tahun 2000 memunculkan beragam pertanyaan,
salah satunya pertanyaan mengenai faktor penyebab turunnya jumlah penduduk
dari kelompok etnik Tionghoa, padahal secara keseluruhan penduduk kota
Medan memiliki rata-rata pertumbuhan penduduk hampir 1,49% pertahun[2].
Sensus penduduk tahun 2000 pun kemudian memberikan penjelasan, karena
pada sensus inilah untuk pertama kalinya responden sensus ditanyai mengenai
asal usul etnik asal mereka. Hanya 10,65% dari kesuluruhan populasi penduduk
kota medan yang mengaku berasal dari etnik Tionghoa. Hal inilah yang
kemudian menjelaskan penyebab penurunan jumlah penduduk yang terjadi pada

kalangan etnik Tionghoa. suatu pengakuan yang dilakukan individu atau
kelompok didalam suatu masyarakat berdasarkan atas ciri yang dimilikinya
secara menyeluruh, serta adanya pengakuan oleh individu atau kelompok
lainnya dalam masyarakat tersebut(Parsudi Suparlan. 1999).Hal ini yang
kemudian memunculkan berbagai spekulasi salah satu diantaranya, yakni
spekulasi mengenai hasil sensus itu sendiri, khususnya yang terkait dengan
pertanyaan mengenai asal usul etnik mereka. Hal ini pun juga semakin
mempertegas pentingnya permasalahan identitas ini.
[2]

.http://ipsgampang.blogspot.com/2014/08/jumlah-dan-pertumbuhan-penduduk.html

Universitas Sumatera Utara

Etnik Tionghoa sendiri pertama kali ada di kota Medan sejak zaman
kolonial dimana pada saat itu etnik Tionghoa dijadikan sebagai pekerja di
perkebunan tembakau milik Belanda, akan tetapi karena biaya untuk
mendatangkan etnik Tionghoa begitu besar maka peran etnik Tionghoa di masa
itu pun berubah peran menjadi pedagang perantara bagi pemerintahan kolonial
tidak lagi menjadi pekerja di perkebunan(suryadinata1994). Peran baru ini pun

memberikan etnik Tionghoa sedikit keuntungan, mereka menjadi semakin
berkembang dalam hal perekonomian. Perkembangan ekonomi inilah yang
kemudian dianggap sebagai ancaman, hingga hal ini menjadi awal munculnya
gagasan kolonial Belanda dalam membagi masyarakat kedalam beberapa
kelompok masyarakat antara lain:
1. Golongan Eropa: Golongan ini merupakan golongan yang berada pada
kelas sosial tertinggi.
2. Golongan Indo: Golongan ini merupakan golongan yang merupakan
anak keturunan bangsa eropa, yang posisi kelasnya berada pada kelas
sosial yang sama seperti Golongan eropa.
3. Golongan Timur Asing: Golongan ini merupakan golongan pendatang
yang berasal dari daerah di benua asia. Dan kelas sosial masyarakatnya
berada pada kelas sosial mayarakat nomor II. Berada dibawah
masyarakat golongan eropa dan indo.
4. Golongan Bumiputera: Golongan ini merupakan golongan masyarakat
pribumi asli.Masyarkat ini di golongkan kedalam masyarkat kelas sosial
terbawah dari stratifikasi sosial masyarakat di era kolonialisme.

Universitas Sumatera Utara


prasangka,stereotip,jarak sosial dan bahkan diskriminasi era kolonial diantara
kelompok didalam masyarakat(J. Jones,1972),merupakan sebuah bentuk rasisme
yang dimunculkan kolonial Belanda pada masa itu melalui pembagian golongan.
Pasca berakhirnya era kolonial

sesudah Indonesia merdeka sistem

tersebut berganti. Dimana segala aturan yang disusun berdasarkan versi Belanda
sudah berakhir. Sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945, dasar negara Indonesia
adalah Pancasila dengan simbol kebanggaan yakni Bhinneka Tunggal Ika, yang
mana hal ini menjamin segala hak semua kelompok etnik untuk hidup
berdampingan dengan adanya pengakuan negara terhadap seluruh warga
negaranya. Oleh karena itulah pasca kemerdekaan banyak terjadi Asimilasi antar
golongan masyarakat. Sesuai dengan simbol dan dasar negara Indonesia maka
tidak ada lagi pembagian golongan dan kelas sosial seperti zaman kolonial.
Akan tetapi faktanya dasar dan simbol negara ternyata tidak cukup untuk
membendung segala bentuk diskriminasi dan rasisme yang terjadi bagi etnik
Tionghoa, karena adanya pembagian kelas dan golongan yang merupakan
peninggalan era kolonial. Di kota Medan sendiri sikap antipati terhadap
golongan ini pasca kemerdekaan dimulai ketika “Poh An Tui”(Pasukan

keamanan lingkungan cina),yang merupakan sebuah kelompok bentukan dari
NICA dan sekutu. Saat itu poh an tui memiliki misi untuk kembali menginvasi
Indonesia. Sikap antipati ini kemudian berlanjut dan meningkat dengan
munculnya beragam tindakan diskriminasi terhadap etnik ini.
Kebencian dan sikap antipati yang berujung pada diskriminasi ternyata
tidak hanya terjadi di kota Medan saja, namun hal ini juga terjadi pada banyak

Universitas Sumatera Utara

kota di Indonesia. Oleh karena itu untuk menjaga stabilitas keamanan
pemerintah pun mengambil kebijakan dengan mengeluarkan PP (Peraturan
Pemerintah) No.10 Tahun 1959 yang isinya melarang etnik Tionghoa untuk
memiliki segala bentuk usaha mulai dari tingkatan kabupaten/kota hingga
tingkatan

dibawahnya[3]. kebijakan ini kemudian berbuah pada semakin

meruncingnya hubungan diplomatik dengan RRT (Republik Rakyat Tiongkok).
Meruncingnya hubungan itu terlihat dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah Tiongkok untuk memulangkan etnis Tionghoa yang berada di

Indonesia khususnya kota Medan sendiri. Kebijakan permerintah Tiongkok ini
kemudian ditolak oleh banyak kalangan termasuk dari etnik itu sendiri, dengan
alasan bahwa etnik Tionghoa juga merupakan bagian dari NKRI sebab tidak
sedikit dari etnik ini juga turut membantu Indonesia dalam meraih kemerdakaan
serta menentang adanya poh an tui itu sendiri. Alasan inilah mereka pun
menuntut hak yang sama dimata pemerintahan pada saat itu. Akan tetapi
pemerintah pada masa itu pun tidak bergeming dengan keputusannya yang
kemudian berujung pada pemulangan 102.000 Etnik Tionghoa ke RRT. Untuk
menghindari pemulangan ini maka tidak sedikit dari etnik Tionghoa dikota
Medan yang tidak ingin dipulangkan menghindarinya dengan beragam cara
salah satunya berasimilasi dengan menikah dengan etnik pribumi. Permasalahan
Identitas ini berlanjut ketika masa pemeritahan Orde baru dimana ada istilah
SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) bagi masyarakat
etnik Tionghoa. Permasalahan etnik ini pun bertambah pelik dengan adanya
Instruksi Presiden Indonesia No.14 Tahun 1967 yang intinya melakukan

[3]

.http://id.wikipedia.org/wiki/Peraturan_Presiden_Nomor_10_tahun_1959


Universitas Sumatera Utara

penghapusan terhadap aspek sosial budaya bagi masyarakat etnik ini[4]. Hal ini
kemudian menjadikan etnik Tionghoa yang pada saat itu kebanyakan berasal
dari golongan peranakan sebagai warga negara asing dan kedudukannya berada
di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak
asasi mereka.
Beragam permasalahan, mulai kebijakan yang mengekang hak asasi
mereka, hingga berujung pada beragam tindakan diskriminasi telah dihadapi
oleh masyarakat etnik Tionghoa golongan peranakan dalam memperoleh dan
mempertahankan identitasnya sebagai bagian dari etnik Tionghoa. Hal-Hal
inilah yang ternyata menjadi alasan bagi sebagian dari mereka enggan mengakui
dan mengatakan asal etnik mereka. Hasilnya sensus penduduk pada tahun 2000
menjadi jawaban mengapa banyak dari mereka enggan menjawab dan mengakui
asal etnik mereka. Permasalahan mengenai identitas diri ini menjadi lebih
penting lagi, karena bagi mereka yang mau menjawab dan mengakui asal
etniknya ternyata sulit bagi mereka mendeskripsikan identitas dirinya. Hal ini
merupakan buah dari penghapusan aspek nilai budaya Tionghoa yang dilakukan
mulai dari pasca kemerdekaan hingga masa Orde baru . Maka tidak sedikit dari
mereka yang sudah lupa bahkan tidak tahu seperti apa nilai sosial budaya dari

etnis Tionghoa itu sendiri, bahkan tidak jarang ditemukan ada dari mereka yang
sudah tidak mampu menggunakan bahasa daerah asal Tionghoanya.
1.2.Tinjauan pustaka

[4]

. http://id.wikisource.org/Instruksi_Presiden_Republik_Indonesia_Nomor_14_Tahun_1967

Universitas Sumatera Utara

Orang Cina begitu masyarakat menyebutnya, atau yang lebih identik
dengan etnik Tionghoa. Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat
sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia. Kata ini berasal dari kata
Zhonghua dalam Bahasa Mandarin dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai
Tionghoa. Etnik Tionghoa Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah
Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam
bahasa Mandarin mereka disebut Tangren (Hanzi: orang Tang). Hal ini sesuai
dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia khususnya kota Medan
mayoritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang
Tang, sementara orang Cina utara menyebut diri mereka sebagai orang Han

(Hanzi: hanyu pinyin: hanren, orang Han)[5].
Identitas menurut KBBI (Kamus Umum Bahasa Indonesia) memiliki arti
ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang; jati diri[ 6]. menurut Stella Ting Toomey,
Identitas merupakan refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga,
gender, budaya, etnik dan proses sosialisasi[7]. Identitas pada dasarnya merujuk
pada refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri kita.
Berdasarkan definisi tersebut mengenai identitas maka dapat dimaknai bahwa
identitas adalah refleksi atau cerminan diri dari seorang individu, yang
membedakan individu tersebut dengan individu lainnya. Akan tetapi kejelasan
mengenai batasan yang digunakan sebagai dasar dalam membedakan satu
identitas dengan identitas lainnya, ternyata masih belum memiliki bentuk pasti.

[5]

. http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia
. http://kbbi.web.id/identitas
[7]
. Ting-Tormey,stella.1999.Communicating Across Cultures.New York:The Guilford Press.
[6]


Universitas Sumatera Utara

Sehingga hal ini yang kemudian menyebabkan timbulnya kesulitan dalam proses
identifikasi guna membedakan dua identitas yang memiliki banyak persamaan.
Kelompok Etnik secara harfiah berasal dari dua kata yakni kelompok dan
etnik,

yang

mana

menurut

KBBI,

kelompok

sendiri

memiliki

arti

kumpulan;orang/hewan dan lain lain[8] dan Etnik berarti sekelompok orang yang
memiliki pertalian,persamaan dan saling berhubungan secara sosial didalam
suatu sistem sosial[9]. Sedangkan secara epistemologi etnik memiliki definisi
penggolongan social secara askriptif yang berkenaan pada asal usul mendasar
atas seseorang yang dimunculkan melalui proses interaksi[10]. Berdasarkan
definisi diatas maka didapat kesimpulan mengenai kelompok etnik bahwasanya
identitas dari suatu kelompok etnik tidak akan diketahui jika kelompok etnik
tersebut tidak berinteraksi dengan etnik lainnya. Menurut Barth hal penting
mengenai etnik dan kelompok etnik sendiri yaitu, etnis baru akan ada dalam
masyarakat bila identitas tersebut diakui oleh anggota etnik yang bersangkutan,
maupun anggota etnik lainnya(Barth 1969;11). Dalam konteks penelitian ini,
identitas etnis tercipta sebagai sarana untuk membedakan anggota komunitas
dengan non-anggota(Barth 1969:11).
Interaksi sosial merupakan suatu fondasi dari hubungan yang berupa
tindakan yang berdasarkan pada norma dan nilai sosial yang berlaku dan
diterapkan di dalam masyarakat. Adanya nilai dan norma yang berlaku, maka
interaksi sosial itu sendiri dapat berlangsung dengan baik jika aturan-aturan dan
[8]

.http://kbbi.web.id/kelompok
. http://kbbi.web.id/etnik
[10]
. Prasetijo,Adi.“Kelompok Etnik dan Batasannya: Tatanan Sosial dari Perbedaan

[9]

Kebudayaan”,Ethnic Group and Boundaries,ed.Fredrik Barth.Jakarta:UI – Press,1988

Universitas Sumatera Utara

nilai-nilai yang ada dapat dilakukan dengan baik. Namun jika tidak adanya
kesadaran atas pribadi masing-masing, maka proses sosial itu sendiri tidak dapat
berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. Di dalam kehidupan sehari – hari
tentunya manusia tidak dapat lepas dari hubungan antara satu dengan yang
lainnya, ia akan selalu membutuhkan individu ataupun kelompok lain untuk
dapat berinteraksi ataupun bertukar pikiran[11]. Menurut Prof. Dr. Soerjono
Soekamto di dalam pengantar sosiologi, interaksi sosial merupakan kunci semua
kehidupan sosial. Dengan tidak adanya komunikasi ataupun interaksi antar satu
sama lain maka tidak mungkin ada kehidupan bersama. Beliau juga menyatakan
bahwa interaksi sosial hanya dapat terbentuk apabila memiliki dua syarat, yakni
harus ada komunikasi dan kontak sosial.
Pernikahan adalah pelebaran tali ikatan keluarga antara dua kelompok himpunan
yang bukan saudara atau sebaliknya, yang juga merupakan pengukuhan keanggotaan
didalam satu kelompok endogam bersama[ 12]. Sedangkan menurut undang undang No.1
tahun 1974, pernikahan adalah ikatan bathin antara laki laki dan perempuan sebagai
suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa[ 13]. Definisi selanjutnya mengenai pernikahan
yaitu, ikatan atau komitmen emosial dan legal antaran seorang pria dengan seorang
wanita yang terjalin dalam waktu yang panjang dan melibatkan aspek ekonomi, sosial,
tanggung jawab pasangan, kedekatan fisik serta hubungan seksual(Olson &
Defrein,2006;seccombe & warner,2004). Berdasarkan definisi-definisi tersebut, maka
dapat dimaknai bahwa pernikahan pada dasarnya merupakan sebuah ikatan yang
bersifat kontrol sosial antara pria dan wanita, yang didalamnya diatur mengenai hak,dan
[11]

. http://id.wikipedia.org/wiki/Interaksi_sosial
. Gertz,hildred.keluarga jawa.jakarta:graffiti press,1990
[13]
. http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.html
[12]

Universitas Sumatera Utara

kewajiban, kebersamaan emosional, juga aktivitas seksual, ekonomi dengan tujuan
untuk membentuk keluarga. Hal ini kemudian menegaskan pernikahan memiliki tujuan,
salah satunya adalah membentuk keluarga.
Keluarga adalah kelompok sosial pertama dalam kehidupan seorang manusia,
tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai mahkluk sosial didalam hubungan
interaksi

dengan

14

kelompoknnya[ ].

Keluarga

merupakan

kelompok

primer

pembentukan norma sosial, internalisasi norma, sehingga terbentuknya frame of
reference, sense of belongingness, dan lain sebagainya. Dalam keluarga interaksi sosial
didasari oleh simpati, karena pertama sekali seorang manusia akan belajar
memperhatikan keinginan keinginan orang lain, belajar bekerja sama, bantu membantu,
dengan kata lain Dalam keluarga lah seorang manusia memiliki peranan sebagai
mahkluk sosial yang memiliki norma-norma dan kecakapan-kecakapan tertentu dalam
pergaulannya dengan orang lain.Pengalaman-pengalamannya dalam interaksi sosial
dalam keluarga turut menjadi penentu akan cara-cara tingkah lakunya terhadap orang
lain dalam interaksi sosial diluar keluarganya, didalam masyarakat pada umumnya. Jadi
dapat dikatakan bahwa keloarga merupakan kerangka sosial pertama yang membentuk
manusia sebagai mahkluk sosial. Keluarga juga memiliki struktur yang menjadikannya
sebagai sebuah keluarga yang utuh, yakni adanya ayah, adanya ibu, disamping adanya
anak. Apabila tidak ada ayahnya atau ibunya atau keduanya, maka stuktur keluarga
sudah tidak utuh lagi.

1.3. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka
yang menjadi pokok permaslahan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam
bentuk pertanyaan sebagai berikut:
[14]

. Gerungan,W.A.Psikologi Sosial.Bandung:PT.Eresco,1986

Universitas Sumatera Utara

1. Mengapa muncul identitas golongan peranakan dikalangan etnik
Tionghoa?.
2. Mengapa etnik Tionghoa golongan peranakan enggan mengakui bahkan
ada yang tidak tahu asal usul etniknya?.
3. Bagaimana proses identifikasi yang dilakukan etnik Tionghoa golongan
peranakan ditengah interaksi sosialnya?.
1.4. Tujuan dan Manfaat penelitian
Tujuanpenelitian ini adalah untuk mengetahui pentingnya identitas bagi
golongan peranakan dalam kehidupan sosial ditengah kemajemukan masyarakat
kota Medan. Mengetahui asal usul munculnya etnik golongan peranakan dan
bagaimana proses identifikasi yang dilakukan oleh etnik golongan peranakan
serta aspek apa yang menjadi penyebab etnik golongan peranakan enggan
mengakui, bahkan tidak tahu asal usul etniknya.
Manfaat praktis penelitian ini dibuat agar memunculkan perhatian dan
kesadaran dari pemerintah, masyarakat, dan pembaca seberapa penting proses
identifikasi dikalangan masyarakat etnik Tionghoa golongan peranakan di kota
Medan dan apa yang menjadi kesulitan bagi masyarakat golongan ini dalam
proses tersebut. Karena proses identifikasi yang dilakukan oleh masyarakat etnik
Tionghoa golongan peranakan merupakan suatu proses perjuangan dalam
memperoleh identitas guna mempertahankan eksistensi budaya mereka sebagai
bagian dari etnik Tionghoa yang juga merupakan bagian dari kekayaan budaya
yang terdapat di kota Medan bahkan kekayaan budaya Indonesia. Adapun

Universitas Sumatera Utara

manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menambah wawasan
pengetahuan tentang etnik Tionghoa golongan peranakan, serta menjadi bahan
bacaan yang bermafaat dan bahan studi kepustakaan bagi ilmu-ilmu pendidikan
yang bersangkutan dengan penelitian ini. Dengan demikian Pemerintah,
masyarakat, dan pembaca dapat mengetahui bahwa keberadaan etnik ini penting
sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia, hingga nantinya akan muncul
sikap toleransi dan saling menghargai yang berbuah pada keharmonisan hidup di
tengah kemajemukan masyarakat.

1.5. Metode Penelitian
1.5.1. Teknik Pengumpulan data
Dunia

antropologi

mempunyai

pengalaman

yang

lama

dalam

menghadapi keaneka ragaman (diversitas) yang besar antara beribu-ribu
kebudayaan dalam masyarakat kecil yang tersebar . Hal ini menyebabkan
berkembangnya berbagai metode mengumpulkan bahan yang mengkhusus ke
dalam, yang kualitatif, serta berbagai metode pengolahan dan analisa yang
bersifat

membandingkan,

yang komparatif

(Koentjaraningrat,

2002:30).

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan metode
autoetnografi sebagai mekanisme pengolahan data dalam penelitian ini. Menurut
Malinowsky (dalam Spradley, 1997) tujuan utama etnografi adalah memahami

Universitas Sumatera Utara

sudut pandang penduduk asli, hubungan dengan kehidupan, untuk mendapatkan
pandangan mengenai dunianya. Pengumpulan data dalam penelitian ini
dikelompokan kedalam dua bagian yakni data primer dan data sekunder. Data
primer merupakan data yang diperoleh dari lapangan melalui observasi,
wawancara serta pengalaman pribadi. Sedangkan data sekunder merupakan data
tambahan untuk menunjang data-data primer yang diperoleh dari internet, buku,
jurnal, artikel, dan sumber kepustakaan lainnya. Data primer merupakan data
utama

yang

diperoleh

melalui

teknik

observasi

dan

wawancara.

Autoethnography sendiri merupakan salah satu jenis dari penelitian Etnografi.
Littlejohn dan Karen A. Foss menjelaskan bahwa autoetnografi berfokus pada
penelitian

mengenai

pengalaman

hidup

diri

dalam

rangka

untuk

mempertanyakan dan membuka satu pengalaman untuk sebuah analisis
komunikatif (Littlejohn, 2009 hal 68). Autoetnografi berusaha untuk
menggambarkan dan menganalisa secara sistematis sebuah pengalaman pribadi
untuk memahami pengalaman budaya yang terjadi (Littlejohn, 2009 hal 69).
Autoetnografi dapat dikatakan sebuah refleksi diri dalam suatu konteks budaya.
Salah satu jenis dari etnografi ini secara sistematis mendeskripsikan dan
menganalisa suatu pengalaman diri yang sudah terjadi maupun sedang terjadi.
Dalam kajian ilmu komunikasi, dapat dikatakan autoetnografi merupakan sebuah
proses mem-break down pengalaman-pengalaman komunikasi (interaksi) yang
telah maupun sedang terjadi pada kehidupan diri seseorang.
1.5.2. Observasi

Universitas Sumatera Utara

Tahap observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pengamatan
terlibat (observasi partisipasi) terhadap respon masyarakat. Observasi penelitian
ini dilakukan terhadap salah satu keluarga kelompok etnik Tionghoa golongan
peranakan di kota Medan Provinsi Sumatera Utara, yakni keluarga Liem Ki Lio.
Adapun alasan memilih keluarga ini karena selain sebagai bagian dari Extended
Family ( keluarga Luas ) dari Liem Ki Lio penulis juga merupakan salah satu
penduduk yang berdomisili di kota Medan, dimana kota ini merupakan salah
satu kota terbesar dengan tingkat kemajemukan dan heterogenitas masyarakat
yang tinggi, hingga menjadikan kota ini sebagai meilting pot bagi
keanekaragaman budaya yang ada di kota Medan. Oleh karena itu, khusus bagi
etnik Tionghoa sendiri sebagai salah satu etnik yang menjadi bagian dari
keanekaragaman tersebut juga terdapat keanekaragaman yakni penggolongan
yang ada di dalam etnik tersebut. Dalam hal ini peneliti ikut berpartisipasi dalam
proses identifikasi sebagai salah seorang yang juga merupakan bagian dari etnik
Tionghoa golongan peranakan. Adapun tujuan Observasi ini adalah untuk
mengetahui bagaimana proses identifikasi pada golongan peranakan masyarakat
etnik Tionghoa, serta bagaimana tanggapan atau respon masyarakat, pemerintah
dalam menyikapi proses tersebut.
1.5.3. Wawancara
Wawancara merupakan pengumpulan data dimana peneliti dan
responden hadir dalam waktu dan tempat yang sama dalam rangka memperoleh
data dan informasi yang diperlukan dalam suatu penelitian. Lazimnya dalam
penelitian sosial diterapkan wawancara berstruktur. (Siagian, Mathias,

Universitas Sumatera Utara

2011:211). Petanyaan penulis dalam wawancara penelitian yang akan dilakukan
akan sangat berbeda bentuknya dengan pertanyaan dalam bentuk angket, karena
dalam wawancara ini peneliti yang juga merupakan salah seorang etnik
Tionghoa golongan peranakan dan responden yang sama-sama etnik Tionghoa
golongan peranakan berinteraksi secara langsung dan sama-sama aktif. Dalam
wawancara ini memilih salah satu informan yang sama-sama ikut berpartisipasi
dalam proses identifikasi tersebut.

Universitas Sumatera Utara