Didong: Ekspresi Identitas Etnik Masyarakat Gayo di Medan

(1)

DIDONG

EKspresi Identitas Etnik Masyarakat Gayo Di Medan

SKRIPSI

Diajukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sosial dalam bidang Antropologi

Oleh GUSMIARI

030905038

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin saya panjatkan kepada Rabb Azza wa Jallah sebagai dari bentuk rasa syukur atas segala kenikmatan yang tidak pernah lepas dari jasad, ruh serta kehidupan yang saya jalani dalam dunia yang fana ini, dan salawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada ruh junjungan alam Rasullah Muhammad s.a.w.

Penulisan skripsi ini yang berjudul “ Didong: Ekspresi Identitas Etnik Masyaragat Gayo di Medan” merupakan bagian kerja dari prosedur yang harus dipenuhi oleh setiap mahasiswa untuk memenuhi persyaratan mencapai gelar keserjanaan dalam bidangbAntropologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Dalam kaitan ini, terutama saya sebagai bagian dari makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari bantuan orang lain, secara umum ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh jajaran civitas akademika USU, khususnya pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, yang kiranya telah banyak memberikan konstribusi baik secara langsung maupun tidak langsung kepada saya. Sehingga pada saat ini saya menuai semua atau merasakan buah dari kebaikan tersebut diakhir penghujung masa studi saya di kampus USU, khususnya di Departemen Antropologi tercinta. Petunjuk dan bimbingan yang telah diberikan oleh Bapak dan ibu dosen-dosen FISIP-USU terutama di Departemen Antropologi, merupakan kenangan yang tidak saya lupakan sekalipun disana terdapat manis pahit perjalanan proses belajar megajar, tapi saya sangat menikmati masa-masa itu.

Dalam penyelesaian skripsi ini dari awal hingga selesai, penulis telah melibatkan berbagai pihak, untuk itu penulis ingin menghanturkan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya kepada “ Bapak M. Arif Nasution, MA selaku Dekan Fakultas


(3)

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah memberikan andil selama mengikuti perkulihan dan berbagai kebijaksanaan untuk mempermudah penyelesaian skripsi ini.

Penyelesaian tugas penulisan skripsi ini sungguh tidak bisa lepas dari jasa-jasa baik yang telah memberikan oleh kakanda Drs. Zulkifli Lubis MA, sebagai ketua Departemen sekaligus Dosen penasehat akademik Antropologi FISIP-USU. Kata-katanya yang bijak serta sikap beliau yang penuh beribawa menghantarkan saya pada rasa haus akan pengalaman hidup, terutama dalam menapaki karier hidup yang insya Allah bisa lebih baik.

Terlepas daripada itu saya juga ucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Agustrisno, M.SP selaku dosen pembimbing Skripsi yang telah menstranferkan ilmu yang begitu bermanfaat bagi diri saya dan seluruh dosen pengajar FISIP-USU untuk semua ilmu dan pengetahuan yang diberikan serta kesabaran dalam menghadapi penulis selama masa studi

Tidak lupa pula ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya terhadap seluruh jajaran masyarakat Gayo di Medan yang telah memberikan berbagai kemudahan serta fasilitas yang sangat memuaskan terhadap saya dalam melaksanakan penelitian. Terima kasih khusus saya persembahkan kepada M. Aidil Saputra, SH, motifator sekaligus sahabat yang tidak bosan-bosannya memberikan dukungan kepada saya.

Spesial penghargaan, terima kasih dan rasa cinta yang sebesar-besarnya pulis persembahkan untuk kedua orang tua penulis yaitu Ayah H. Syarifuddin, Ibu Dra. Sukmawati yang bersusah payah membesarkan dan mendidik dan juga kakanda yang tersayang Ilham Fajri, SE dan adik Tri Suci Afrida, Amd.

Terima kasih yang tulus juga untuk semua pihak atas semangat dan dukungan yang diberikan selama penulis menggarap skripsi ini, maaf nggak bisa disebutkan satu-persatu. Diantaranya adalah Endang, dewi, kak diva dan teman-teman mahasiswa


(4)

stambuk 2002 yaitu kak nanda, kak ika, kak ayu, bang iman, mahasiswa 2003, stambuk 2004, serta keluarga Gayo (KGAAT), adalah masa dan masa dimana terjadi sebagian proses pendewasaan penulis.

Maka dengan menyadari sepenuhnya keterbatasan yang ada pada diri penulis, skripsi ini masih banyak kekurangan. Kendatipun demikian adanya, saya berharap agar isi yang termaktub dalam skripsi ini dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi Ilmu Antropologi. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan skripsi ini di masa akan datang sangat diharapkan.

Wassalam

Medan, Januari 2009

Gusmiari


(5)

DAFTAR ISI

HALAMAN

HALAMAN PERSETUJUAN... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTARGAMBAR ... viii

ABSTRAK ... ix

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 6

Tujuan Penelitian... 6

Manfaat Penelitian ... 6

Lokasi Penelitian ... 7

Tinjauan Pustaka ... 7

Metode Penelitian ... 1.7.1.Penentuan Informan ... 19

1.7.2. Teknik Observasi ... 20

1.7.3. Teknik Wawancara ... 21

1.8. Analisa Data ... 22

BAB 11 GAMBARAN UMUM MASYARAKAT GAYO DI MEDAN 2.1. Sejarah Suku Gayo Di Medan ... 22

2.2. Lokasi Penelitian ... 29


(6)

2.3.1. Jenis Kelamin ... 30

2.3.2. Umur ... 31

2.3.4. Pekerjaan ... 32

2.3.5. Pendidikan ... 32

2.4. Sistem Organisasi Orang Gayo terutama Belah ... 32

2.5. Bahasa ... 33

2.6. Organisasi Sosial Masyarakat Gayo ... 34

2.7. Pengertian Belah ... 35

BAB III SENI DIDONG 3.1. Sejarah Didong ... 7

3.2. waktu Pertunjukan Didong ... 48

3.3. Komposisi Pemain Didong ... 49

3.4. Unsur Pendukung Pertunjukan Didong... ... 51

3.4.1. Ceh ... 51

3.4.2. Penepok ... 52

3.4.3. Apit dan Kuen kiri ... 54

3.4.4. Kostum ... 54

3.5. Peralatan yang di Gunakan... 55

3.6. Gerak yang di Tampilkan ... 57

3.7. Isi Lirik yang di Tampilkan... 58

3.7.1. Lirik Keindahan Alam ... 58

3.7.2. Lirik Perkawinan ... 59


(7)

BAB IV DIDONG, EKSPRESI IDENTITAS SENI MASYARAKAT GAYO

4.1. Didong... 63

4.2. Ekspresi Seni ... 70

4.3. Didong Dalam Konsepsi Tiga Wujud Kebudayaan ... 71

4.4. Nilai yang Terkandung Dalam Didong ... 72

4.5. Makna yang Terkandung Dalam Didong ... 73

BAB IV PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 74

5.2. Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 78

DAFTAR PERTANYAAN ... 80

DAFTAR INFORMAN KUNCI ... 81


(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar.1. Gadis-Gadis Gayo Bergembira Ria Menampilkan Seni Tradisional Dengan

Mode dan Seni Ukir Pakaian Gayo……… 41

Gambar.2. Arena Pertandingan Gayo………. 43

Gambar.3. Sejumlah Pengiring Tampak Renyah Menepuk Kampas (“Bantal”) Dalam Satu Gelar Didong………... 44

Gambar.4. Tanding Didong Di Teater Arena………. 47

Gambar.5. Suasana Penonton Didong Sampai Subuh Menyaksikan Penampilan Seni Didong………. 49

Gambar..6. Ceh Dalam Pertunjukan Didong……… 51

Gambar.7. Penepok……….. 53

Gambar.8. Peningkah……….. 53

Gambar.9. Posisi Apit dan Kuen……… 54

Gambar.10. Kostum Dalam Pertunjukan Didong……… 55

Gambar.11. Gerak Persalaman……….. 57 Gambar.12. Cara Seni Didong Di Mainkan Duduk Melingkar di Atas Tikar… 58


(9)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Didong. Ekspresi Identitas Etnik Masyarakat Gayo di Kota Medan” Disusun oleh Gusmiari, 030905038, 2009. Skripsi ini terdiri dari 5 Bab, 82 Halaman, dan 3 lampiran yang terdiri dari (Daftar Informan Kunci, surat penunjukan dosen pembimbing, dan surat izin penelitian dari FISIP-USU).

Didong adalah salah satu bentuk kesenian tradisional masyarakat Gayo, Aceh Tengah, sebagai bentuk kesenian, Didong memiliki ciri khas. Maka penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran menyeluruh tentang kesenian didong di kota Medan.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman tentang seni pertunjukan didong masyarakat Gayo di Kota Medan, atas dasar pemikiran inilah penelitian ini dilakukan. Untuk mendapatkan data yang akurat tentang kesenian didong digunakan metode penelitian kualitatif secara deskripstif yang bertujuan untuk mendapatkan segala hal yang terkait dengan kesenian masyarakat gayo, yaitu didong, untuk dapat memfokuskan penelitian ini maka data penelitian dibatasi pada hal-hal yang berkaitan dengan kesenian didong secara langsung, adapun data pelengkap mengenai didong dijadikan sebagai data skunder penelitian. Metode wawancara digunakan untuk mendapatkan data dari para informan dlapangan penelitian, dalam proses wawancara, peneliti juga berusaha membangun rapport dengan informan agar data wawancara dapat digunakan dalam penelitian ini, wawancara meliputi : apa itu seni didong, tujuan didong, pemain didong, dan lain-lain.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kesenian didong sebagai ekspresi identitas masyarakat gayo di kota Medan merupakan modal bagi masyarakat gayo dalam menghadapi persaingan hidup yang ketat di lingkungan perkotaan serta sebagai suat modal dalam bentuk kehidupan plural.

Kesimpulan dan saran penelitian merujuk pada hal bagaimana melestarikan kesenian didong sekarang ini terutama bagi generasi muda gayo serta bagaimana usaha untuk menjadikan seni didong sebagai suatu sarana ekspresi identitas masyarakat Gayo di kota Medan.


(10)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Didong. Ekspresi Identitas Etnik Masyarakat Gayo di Kota Medan” Disusun oleh Gusmiari, 030905038, 2009. Skripsi ini terdiri dari 5 Bab, 82 Halaman, dan 3 lampiran yang terdiri dari (Daftar Informan Kunci, surat penunjukan dosen pembimbing, dan surat izin penelitian dari FISIP-USU).

Didong adalah salah satu bentuk kesenian tradisional masyarakat Gayo, Aceh Tengah, sebagai bentuk kesenian, Didong memiliki ciri khas. Maka penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran menyeluruh tentang kesenian didong di kota Medan.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman tentang seni pertunjukan didong masyarakat Gayo di Kota Medan, atas dasar pemikiran inilah penelitian ini dilakukan. Untuk mendapatkan data yang akurat tentang kesenian didong digunakan metode penelitian kualitatif secara deskripstif yang bertujuan untuk mendapatkan segala hal yang terkait dengan kesenian masyarakat gayo, yaitu didong, untuk dapat memfokuskan penelitian ini maka data penelitian dibatasi pada hal-hal yang berkaitan dengan kesenian didong secara langsung, adapun data pelengkap mengenai didong dijadikan sebagai data skunder penelitian. Metode wawancara digunakan untuk mendapatkan data dari para informan dlapangan penelitian, dalam proses wawancara, peneliti juga berusaha membangun rapport dengan informan agar data wawancara dapat digunakan dalam penelitian ini, wawancara meliputi : apa itu seni didong, tujuan didong, pemain didong, dan lain-lain.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kesenian didong sebagai ekspresi identitas masyarakat gayo di kota Medan merupakan modal bagi masyarakat gayo dalam menghadapi persaingan hidup yang ketat di lingkungan perkotaan serta sebagai suat modal dalam bentuk kehidupan plural.

Kesimpulan dan saran penelitian merujuk pada hal bagaimana melestarikan kesenian didong sekarang ini terutama bagi generasi muda gayo serta bagaimana usaha untuk menjadikan seni didong sebagai suatu sarana ekspresi identitas masyarakat Gayo di kota Medan.


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Seni lebih dimengerti ekspresi manusia, sebagai ungkapan bathin, sebagai upaya untuk menampilkan diri agar manusia men-dunia. Bagaimanapun manusia hidup di dunia ini senantiasa berupaya untuk bereksistensi mengekspresikan diri dalam hidupnya. Dengan senilah diri manusia dapat termanifestasi sehingga dirinya “meng-ada” di dunia ini. “Aku” meng-ada di dunia melalui aktifitas seni. Itulah upaya manusia untuk mengungkapkan dirinya, untuk memanusiakan dirinya, sebagai makhluk (Mudji Sutrisno dan Christ Verhaak, 1993).

Setiap suku bangsa yang ada di Indonesia mempunyai kesenian yang mereka wujudkan dalam berbagai bentuk, seperti tarian, ukiran, lukisan dan lain sebagainya. Banyak kesenian yang sudah mulai hilang bahkan yang ada terlupakan, terutama kesenian tradisional atau kesenian alami yang belum mendapat “sentuhan” dari kesenian luar. Kurangnya kesadaran pemuda-pemudi untuk melestarikan kesenian tradisional kampung halamannya juga merupakan salah satu faktor mulai hilangnya kesenian tersebut.

Seni merupakan keahlian dan keterampilan manusia untuk mengekspresikan dan menciptakan hal-hal yang indah serta bernilai bagi kehidupan baik untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat umum (Ariyono dalam kamus Antropologi, 1985:368). Kesenian yang ada di Indonesia, adalah suatu keindahan dan keterampilan yang mempunyai fungsi dan tujuan pada suatu masyarakat. Kesenian tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat, sebagai satu bagian penting dari kebudayaan, kesenian adalah ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri (Umar Kayam, 1981:38-39).


(12)

“Didong” adalah suatu jenis kesenian yang dimiliki kelompok etnik Gayo. Dengan “Didong” orang-orang Gayo dapat mengekspresikan tingkah laku atau cara untuk mengatakan perasaan dari segala pikiran tentang pengalaman hidup dirinya, yang dilatar belakangi oleh kenyataan sebagai individu warga anggota kelompoknya. Jati diri seseorang anggota kelompok tersebut terbentuk sedemikian rupa karena hasil dari sebuah proses yang sangat mendasar, dan telah membentuk kepribadian, karakter sebagai akibat dari adanya interaksi, enkulturasi, sosialisasi, dan internalisasi di dalam kelompoknya.

Mengkaji masalah ekspresi identitas diri suatu kelompok etnik merupakan masalah yang sangat penting di lingkungan masyarakat yang keadaannya plural, misalnya seperti di kota Medan. Dalam kehidupan yang serba majemuk seperti itu, biasanya masing-masing kelompok etnik berusaha mengekspresikan identitas dirinya sebagai bukti kehadirannya. Namun dalam proposal ini peneliti berupaya membatasi diri dengan memfokuskan perhatian pada seni “Didong” yang terdapat dalam kelompok masyarakat Gayo yang tinggal di kota Medan.

Alasan penulis membahas seni “Didong’ sebagai upaya ekspresi identitas etnik masyarakat Gayo di kota Medan. Perantau Gayo adalah sebagai suatu masyarakat, sebagai suatu suku bangsa, mempunyai kebiasaan-kebiasaan, mempunyai adat istiadat, punya pola tingkah laku tersendiri, punya aspirasi, punya cita-cita tentang watak yang ideal, punya ciri khas, punya identitas. Dengan kata lain orang Gayo punya kebudayaan tersendiri yang berbeda dengan suku bangsa lain. Kebudayaan tersebut diekspresikan oleh masyarakat Gayo melalui berbagai, media dan diantaranya adalah melalui seni “didong”.

Masing-masing kelompok etnik memiliki penanda-penanda identitas budaya yang berasal dari sebuah kekhasan sendiri. Penanda tersebut dapat berupa keyakinan


(13)

seperti agama, bahasa, dan adat-istiadat tertentu. Seperti misalnya suku Melayu, mereka biasanya mengungkapkan identitasnya dengan warna kuning, pakaian adat yang khas dan lain-lain. Demikian pula bagi masyarakat gayo, mereka berupaya mengekspresikan kebudayaannya di kota Medab yang plural ini melalui kesenian “Didong”.

Dalam kebudayaan Gayo sebenarnya kaya berbagai jenis kesenian misalnya yang terdapat dalam seni tari mereka, seperti tari guel, tari aman mayak turun kebelang, tari guru didong, tari bines. Seni ukir atau ragam hias, seni kerajinan, seni bangunan, seni sastra seperti bahasa bermelengkan, pepongoten. (seni bahasa dalam meratap), saman Gayo, seni sa’er. (M.Affan Hasan, 1980 ; 65).

Semua macam jenis kesenian tersebut secara keseluruhan yang paling dikenal adalah seni ‘Didong” untuk pengembangannya tentu saja bukan hanya orang Gayo sendiri yang bertanggung jawab, tetapi juga termasuk tanggung jawab seniman, ilmuwan, pemerintah daerah dan pusat, masyarakat keseluruhannya dan juga organisasi kesenian yang ada. Didong Gayo biasanya dapat menonjolkan sifat khas atau identitas kebudayaan Gayo. Oleh karena itu, pengembangannya harus diarahkan kedirian yang karakteristik, kepribadian dan rasa kebanggaan orang Gayo tersendiri.

Didong merupakan jenis kesenian yang didalamnya terdapat rangkaian perpaduan antara seni vokal, seni tari, dan sastra (puisi). Ketiga unsur ini harus terjalin satu dengan yang lain. Biasanya pertunjukkannya secara berkelompok. Setiap kelompok memiliki anggota sekitar 25-30 orang. Dalam pelaksanaannya dilakukan secara bertanding, antara kelompok satu dengan kelompok yang lain. Pertandingan itu berlangsung pada malam hari dan semalam suntuk, di mana masing-masing kelompok itu bermain secara bergiliran sekitar setengah jam. Permainan ini umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki saja yang sebagian besar golongan remaja. Namun sejak tahun


(14)

1970 sudah dimainkan juga oleh para gadis yang bertanding hanya sampai kira-kira pukul 24.00 saja (Drs. M. Affan Hasan 1980 : 45).

Didong merupakan salah satu dari sedikit gejala kebudayaan atau bentuk kesenian Gayo, yang cukup kuat bertahan, sekaligus barangkali menjadi unsur identitas terakhir yang bisa menjadi pengenal diri etnik Gayo. Eksistensi kebudayaan Gayo yang terseok-seok, namun dengan Didong justru tampil dengan suara lantang, meskipun kadang-kadang terdengar sebagai ratap nurani yang serak.

Menurut catatan Prof Dr M Junus Melalatoa (Dalam Prof. Drs. Gustami, 2006 : 60) fungsi seni “didong” yaitu :

1. Seni Didong berfungsi untuk mengisi kebutuhan untuk menyampaikan pesan

estetika, keindahan dan juga hiburan. Ketiganya bisa ditemukan dalam seni karena disitu ada lirik, melodi dan juga gerak tari yang begitu indah dan serasi.

2. Berfungsi mempertahankan struktur social. Didong pada masa lalu sebuah

perumusan adat yang menghidupkan denyut kehidupan klen (belah). Sedangkan klen atau belah itu sendiri adalah merupakan struktur social yang penting bagi masyarakat Gayo.

3. Berfungsi sebagai pelestari sisitem budaya. Pudar dan berubahnya sistem

budaya Gayo seperti nilai harga diri, disiplin, halus, santun kreatif tolong-menolong, ketertiban serta menghargai kualitas dan lainnya.

4. Berfungsi sebagai sumber pengumpulan dana bagi pembangunan misalnya

masjid atau sarana ibadah, gedung, sekolah, jembatan dan lain.

5. Kesenian Didong menjadi sarana sebagai alat control social. Didong


(15)

6. Didong menjadi wahana penerangan yang efektif bagi masyarakat terutama di pedesaan.

Didong adalah seni rakyat yang sangat digemari oleh rakyat Gayo. Pertunjukannya di lakukan oleh suatu kelompok yang terdiri dari 25 hingga 30 orang yang duduk dalam suatu lingkaran dan menyanyi bersama tentang berbagai macam persoalan ; sejarah local, legenda, kejadian sekarang, penerangan pemerintah daerah, nasihat untuk anak muda, dan juga sindiran-sindiran. (Umar Kayam, 1984 : 25).

Seperti kebanyakan kesenian rakyat, seni “Didong” adalah kesenian yang telah lama terdapat pada masyarakat Gayo, diduga telah dikenal dan berkembang sejak sebelum masuk Islam di daerah Gayo.

Populasi para perantau Gayo di kota Medan pada mulanya dapat dikatakan relative kecil, namun semakin bertambah dari masa ke masa. Berbagai komunitas orang Gayo di kota Medan berupaya membentuk suatu perkumpulan atau paguyuban, seperti paguyuban yaitu KGSU, IMTA.( Keluarga Gayo Sumatera Utara, Ikatan Mahasiswa Alas Tengah).

Sehubungan dengan berkembang jumlah populasi orang Gayo di kota Medan, seni “didong” pun pada masa ini merupakan hiburan yang wajib bagi masyarakat Gayo. Selalu pula diadakan pertunjukkan maupun pertandingan semalam suntuk, dan dikenal dengan nama “ Didong Jalu”. Kegiatan tersebut dipadukan pula seiring perkembangan teknologi moderen, yaitu dengan memakai teknik studio rekaman. Sehingga, banyak seniman Gayo yang muncul kepermukaan dan membuat kaset rekaman walaupun secara amatiran. Dengan kata lain belum mereka kelola secara profesional, karena belum memakai konsep studio yang mampu memberikan hasil maksimal terhadap apa yang mereka berikan kepada publik pendengar.


(16)

Mengapa seni “Didong” justru dapat berkembang dan tumbuh subur pada masyarakat etnik Gayo yang tinggal di perantau? Pada hal di daerah perantau penuh dengan berbagai persaingan hidup. Berdasar latar belakang tersebutlah, peneliti berupaya mengungkap lebih dalam mengenai kehidupan komunitas etnik Gayo yang berada di kota Medan, dengan fokus perhatian terhadap seni “Didong’ sebagai media ekspresi dalam kondisi hidup dirantau.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, penulis mencoba untuk menarik suatu rumusan agar lebih mengarah pada peneliti yang dimaksud, yaitu :

1. Apa manfaat bagi masyarakat Gayo mempertahankan “Didong” di kota Medan yang penduduknya plural dan penuh persaingan hidup?

2. Bagaimana seni “Didong” tersebut diekspresikan oleh etnik masyarakat Gayo di kota Medan?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk melakukan menginventarisasi, mengidentifikasi dan mengklafikasikan serta menganalisa ekspresi seni “Didong” sebagai identitas etnik Gayo guna mengungkapkan jati diri saja di kota Medan.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah tulisan ilmiah mengenai keberadaan kesenian Didong di saat ini. Di samping itu tulisan ini juga


(17)

diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat perantauan Gayo yang ingin mengetahui tentang kesenian Didong yang semakin jarang ditemui dalam upacara-upacara adat. Mengingat kesenian didong ini salah satu ciri budaya Gayo yang telah lama dikenal luas dan merupakan salah satu warisan masyarakat Gayo. Dengan harapan bahwa masyarakat Gayo akan semakin mencintai dan melestarikan

1.5. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di kelurahan Tembung yang merupakan salah satu tempat masyarakat perantau Gayo. Kelurahan ini terletak di jalan Letda Sujono. Dengan pilihan lokasi tersebut diharapkan akan lebih untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dalam penelitian dimaksud.

Pemilihan lokasi penelitian ini di dasarkan pada pertimbangan bahwa lokasi tersebut dekat dengan tempat tinggal penulis, sehingga mudah di jangkau dan penulis mudah untuk mengatur waktu.

Namun demikian, penentuan lokasi ini tidak lantas membatasi penggalian informasi permalasahan ini, boleh jadi informasi yang diperlukan diperoleh dari orang Gayo yang berdomisili di daerah lain (bukan Medan Tembung), asalkan informasi yang bersangkutan menguasai permasalahan tersebut.

1.6. Tinjauan Pustaka

Kehidupan bersama adalah penting, setiap orang terikat dan tergantung kepada nilai bersama, dan karena itu setiap individu sangat menjaga hubungan baik dengan sesamanya. Sebab nilai individu hanya penting dalam kehidupan berkelompok.

Seni melahirkan pemujaan, cinta kasih saying, kemesraan baik terhadap Tuhan, orang tua, saudara maupun sesama manusia. Pengungkapan rasa seni itu dapat


(18)

melalui media musik, tari, lukis, dan sastra, sebagai hasil cipta manusia sejak zaman dahulu hingga sekarang. Sebahagian dari budaya terwujud melalui seni. Seni merupakan bentuk ekspresi perasaan manusia. Maka selama manusia masih perlu untuk mengungkapkan perasaan lewat seni, selama itu pula budaya tetap bertahan (Posman,2000;113).

Di dalam setiap aspek kehidupan dan penghidupan sehari-hari selalu ditekankan kebersamaan. Bentuk kebersamaan itu dapat terlihat dalam kegiatan adat-sitiadat. Hidup menetap dan berkumpul dalam satu rumah adat, sifat tolong-menolong, cara-cara mengasuh anak, kegiatan kesenian dan sebagainya. Di dalam kehidupan sehari-hari semua wujud itu saling kait-mengait, satu kesatuan yang tidak terpisah.

Kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1980:193). Didong dapat dikatakan sebagai hasil karya manusia, untuk menjadikan sebagai suatu hasil karya manusia diperlukan adanya proses penyampaian hasil karya tersebut kepada generasi selanjutnya, proses transmisi ini meliputi cara pandang, cara pembuatan maupun penggunaan yang dapat diperoleh melalui kebudayaan.

Salah satu bentuk atau wujud kebersamaan itu ialah kegiatan dalam bidang kesenian. Kehidupan perantauan Gayo seperti juga kehidupan manusia dalam setiap kelompok, masyarakat, bangsa mana pun, mempunyai kebudayaan, mempunyai kesenian dalam mengungkapkan rasa keindahan. Pengungkapan rasa keindahan itu ditampilkan dalam berbagai bentuk, seperti seni Didong, dan seni tari. Dalam bentuk yang awal seni Didong dan seni tari ini merupakan hiburan di tempat-tempat perhelatan, dan menurut adat, hanya laki-laki saja yang turut dalam seni Didong dan


(19)

seni tari ini, sedang wanita adalah tabu. Pengungkapan rasa keindahan bagi wanita diwujudkan dalam bnetuk seni kerajinan, seni ukir atau seni ragam hias. Kini laki-laki dan wanita sudah dapat tampil dalam berbagai wujud kesenian termasuk seni Didong, seni sa’er, seni tari, dan lain sebagainya.

Masyarakat Gayo sebagai suatu masyarakat, sebagai suatu suku bangsa, mempunyai kebiasaan-kebiasaan, mempunyai adat istiadat, punya pola tingkah laku tersendiri, punya aspirasi, punya identitas.

Ikatan yang menyebabkan suatu kesatuan manusia menjadi suatu masyarakat adalah pola tingkah laku yang menyangkut semua aspek kehidupan dalam batas kesatuan tersebut, yang sifatnya khas, mantap, dan keseninambungan, sehingga menjadi adat-istiadat. Selain ikatan adat-istiadat khas yang meliputi sektor kehidupan serta kontinuitas waktu, warga suatu masyarakat juga harus memiliki suatu ciri lain, yaitu rasa identitas bahwa mereka merupakan suatu kesatuan khusus yang berbeda dari kesatuan-kesatuan manusia lainnya.

Strauss dan Quinn (1994) berpendapat ada 4 kecenderungan pemahaman budaya;

1. Pemahaman budaya secara relative dapat bertahan lama dalam diri individu; 2. Secara histories relative stabil dan bias diproduksi dari satu generasi ke generasi berikutnya;

3. Pemahaman-pemahaman tadi cenderung dipahami secara tematis, dimana ini orang bias menerapkannya secara berulang-ulang di berbagai konteks yang berbeda-beda;

4.Pemahaman budaya dimiliki bersama, kalau tidak memiliki bersama dalam suatu kelompok, dia tidak disebut sebagai kebudayaannya.


(20)

Keesing (1999) mengatakan bahwa pengetahuan yang berada di kepala seseorang merupakan hal yang sudah ada di benak orang tersebut, dimana pengetahuan ini akan membantu orang tersebut untuk bertindak. Lebih lanjut, keesing mengartikan budaya sebagai himpunan pengalaman yang dipelajari.

Keseluruhan yang dipunyai oleh manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah seperangkat model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapinya dan untuk menolong serta menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya. Sehingga demikian manusia akan mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan dimana ia akan tinggal dan melakukan aktivitas sehari-hari, penyesuaian terhadap lingkungan ini merupakan suatu strategi manusia di dalam memenuhi kebutuhan, dimana dalam pemenuhan kebutuhan tersebut manusia dituntut untuk memberikan respons dengan kebudayaan yang dimilikinya. Seperti yang ditulis oleh Haviland (1988), dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya ini, manusia berusaha kebutuhan primernya, seperti kebutuhan akan pangan yang diperoleh dari alam dan mendapatkan berbagai rintangan yang berasal dari alam. Hal ini menyebabkan manusia selalu berusaha beradaptasi dan menguasai ilmu pengetahuan yang ada padanya yang merupakan bagian dari kebudayaan.

Untuk mengetahui pengetahuan suatu masyarakat secara menyeluruh, kita harus dapat berfikir dan bertindak seperti yang difikirkan dan dilakukan oleh masyarakat tersebut. Pengetahuan budaya yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota masyarakat memiliki dua bentuk pertama yaitu pengetahuan budaya yang dimiliki oleh seorang dan dapat dipraktekkan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari, namun tidak terungkapkan dengan kata-kata.


(21)

Penanda-penanda identitas budaya bias berasal dari sebuah kekhasan yang diyakini ada pada agama, bahasa, dan adat pada budaya. Manusia memiliki budaya dan budaya dan masyarakat tidak dapat dipisah-pisahkan, karena budaya lahir dari pada masyarakat. Oleh karena itu, budaya itu dapat didefinisikan adalah segala daya upaya manusia untuk memenuhi keperluan hidup, sama ada keperluan rohani maupun keperluan jasmani. Kebudayaan diperolehi manusia melalui pembelajaran dan menjadi milik masyarakat yang menjalankannya (Koentjaraningrat 1980 :193).

Kebudayaan yang dimilikinya, suatu masyarakat akan mengatur perilaku mereka dalam hubungannya dengan lingkungan dalam interaksi sosial. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa kebudayaan merupakan manifestasi dari kepribadian suatu masyarakat. Artinya identitas masyarakat tersebut akan tercermin dalam orientasi yang menunjukkan pandangan hidup serta sistem nilainya dalam persepsi untuk melihat dan menanggapi dunia luarnya dalam pola serta sikap hidup yang ditunjukkan dalam tingkah laku sehari-hari serta dalam gaya hidup yang mewarnai perikemanusiaannya.

Sedangkan kebudayaan terwujud kedalam tiga bentuk yaitu :

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas-aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam bermasyarakat.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Ketiga wujud kebudayaan tersebut berlaku universal, karena dimiliki oleh semua kebudayaan yang ada di dunia. Wujud ideal dari kebudayaan bersifat abstrak, tidak dapat diraba dan difoto (Koentjaraningrat, 1996:75). Sehingga hanya dapat diketahui dan dipahami oleh warga kebudayaan lain karena berada di dalam alam


(22)

pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Lapisan yang paling abstrak adalah sistem nilai budaya karena budaya terdiri dari konsep-konsep yang masyarakat yang bersangkutan, lapisan yang konkret adalah sistem norma-norma atau sistim hukum yang tertuang kedalam beberapa pranata- pranata, sosial, seperti pendidikan, peradilan, ekonomi, kesenian, keagamaan, dan sebagainya.

Ide-ide dan gagasan-gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan-gagasan itu tidak lepas satu dari yang lain, melainkan selalu berkaitan, menjadi suatu sistem. Wujud dari kebudayaan yang disebut sistem social, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan.

Di dalam Didong selalu berisi tentang kebudayaan masyarakat Gayo. Budaya Gayo dalam Didong, seperti manusia sebagai makhluk sosial, hubungan kekerabatan, strata sosial, dll. Masing-masing kawasan mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri berbagai bentuk kesenian yang khas.

Menekuni seni Didong adalah sebuah pilihan dan menunjukkan jalan hidup. Meski untuk ukuran secara materi apa yang didapatkan dari kesenian Didong jauh dari kecukupan apalagi melimpah.

Nilai-nilai budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), symbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dengan yang lainnya sebagai acuan perilaku dan tanggapan


(23)

atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi. Nilai-nilai budaya akan tampak pada simbol-simbol, slogan, motto, visi, misi atau sesuatu yang nampak sebagai acuan pokok motto suatu lingkungan atau organisasi. Ada tiga hal yang terkait dengan nilai-nilai budaya ini, yaitu:

1. Simbol-simbol, slogan atau yang lainnya yang kelihatan kasat mata (jelas). 2. Sikap, tindak laku, gerak gerik yang muncul akibat slogan, motto tersebut. 3. kepercayaan yang tertanam yang mengakar dan muncul kerangka acuan

dalam bertindak dan berperilaku (tidak terlihat).

Sistem budaya merupakan bagian dari kebudayaan, sistem kebudayaan lazim disebut adat istiadat. Dalam adat istiadat ada nilai budayanya dan juga sisitem normanya. Fungsi dari sistem budaya adalah menata serta menetapkan tindakan-tindakan berinteraksi antarindividu yang dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat, sistem soial lebih konkret dan nyata sifatnya daripada sistem budaya, sehingga semuanya dapat dilihat dan diobservasi. Sistem kepribadian menyangkut isi jiwa serta watak individu dalam interaksinya sebagai warga dari suatu masyarakat. Kepribadian juga terbentuk berkat adanya rangsangan dan pengaruh dari nilai-nilai serta norma-norma yang terdapat dalam sistem budayanya. Sistem organik merupakan pelengkap bagi seluruh skerangka. Apabila kita pikirkan lebih mendalam, kepribadian, pola-pola tindakan, serta gagasan-gagasan yang dicetuskan seseorang turut mennetukan sistem organiknya.

Kebudayaan merupakan adat istiadat yang menyangkut nilai-nilai, norma-norma dan kebiasaan-kebiasaan dalam hidup sehari-hari yang dianut oleh sekelompok orang dan berfungsi sebagai pedoman tingkah laku. Menurut Barth dalam Parsudi Suparlan (1986) setiap golongan suku bangsa atau sekolompok etnik mempunyai seperangkat kebudayaan yang melekat pada identitas suku bangsa atau etnik tersebut,


(24)

yang sewaktu-waktu bila diperlukan dapat diaktifkan sebagai simbol-simbol untuk identifikasi dan untuk menunjukkan adanya batas-batas sosial dengan golongan suku bangsa atau etnik lainnya dalam interaksi.

Didong adalah sejenis kesenian tradisional yang dipertandingkan antara dua Guru Didong yang berasal dari pada dua kampong yang berbeda. Persembahan dimulai selepas sholat isya’ sehingga sebelum sholat shubuh. (M.J. Melalatoa 1985 : 71).

Didong termasuk kedalam salah satu folklore. Didong merupakan gabungan antara folklore lisan dan folklore bukan lisa. Karena di dalam Didong terdapat cerita yang yang disampaikan melalui puisi dan melalui gerakan. Bentuk-bentuk folklor lisan yang termasuk di dalamnya adalah :

a. Bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, dan titel kebangsawanan.

b. Ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah dan pameo c. Pertanyaan tradisional, seperti teka-teki

d. Puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair e. Cerita prosa rakyat, sperti mite, legenda,dongeng, dan f. Nyanyian rakyat

Didong yang juga merupakan permainan rakyat, yang merupakan bagian dari folklore lisan. Kegiatan ini termasuk kedalam folklore karena diperolehnya melalui warisan lisan (Danandjaja 1994:171). Permainan rakyat (folk games) dapat dibagi kedalam dua golongan besar, yaitu permainan bermain dan permainan untuk bertanding. Perbedaan permainan bermain dan permainan bertanding adalah, yang pertama bersifat untuk mengisi waktu senggang atau rekreasi, sedangkan yang kedua bersifat kurang mempunyai sifat itu. Namun yang kedua hamper selalu mempunyai


(25)

lima sifat khusus, seperti (1) terorganisasi, (2) perlombaan (competitive), (3) harus dimainkan paling sedikit oleh oleh dua orang peserta, (4) mempunyai criteria yang menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah, (5) mempunyai pertauran permainan yang telah diterima bersama oleh pesertanya. Selanjutnya permainan bertanding dapat pula dibagi lagi kedalam: (1) permainan bertanding yang bersifat keterampilan fisik, (2) permainan bertanding yang bersifat siasat, (3) dan permainan bertanding yang bersifat untung-untungan.

Kesenian terbagi atas dua, yaitu kesenian profane dan kesenian yang sacral. Kesenian Didong termasuk kedalam kedua bentuk tersebut. Selain sebagai kesenian profan yaitu kesenian yang hanya sebagai hiburan, Didong juga sebagai kesenian yang sacral, dimana Didong juga dipertunjukkan pada saat upacara adat, seperti pada saat perkaiwanan.

Perantau Gayo sebagai suatu masyarakat, sebagai suatu suku bangsa, mempunyai kebiasaan-kebiasaan, punya adat istiadat, punya pola tingkah laku tersendiri, punya aspirasi, punya cita-cita, tentang watak yang ideal, punya ciri khas, punya identitas. Dengan kata lain orang Gayo punya kebudayaan tersendiri yang berbeda dengan suku bangsa lain. Kebudayaan tersebut diekspresikan oleh masyarakat Gayo melalui berbagai media antara lain melalui Didong.

Manusia dalam kehidupan juga tidak terlepas dari kebudayaannya, dimana kebudayaan yang dipunyai oleh manusia merupakan jembatan secara hubungan kegiatan manusia dengan lingkungannya. Kebudayaan merupakan alat kontrol bagi kelakuan dan tindakan manusia (Suparlan, 1980:238).

Kebudayaan merupakan pengetahuan manusia yang diyakini akan kebenaran oleh yang bersangkutan dan yang diselimuti serta menyelimuti perasaan-perasaan dan emosi manusia serta menjadi sumber bagi penilaian sesuatu yang baik atau yang


(26)

buruk, sesuatu yang berharga atau tidak, sesuatu yang kotor atau sebagainya. Hal ini bias terjadi karena kebudayaan itu diselimuti oleh nilai-nilai normal yang sumbernya nilai-nilai tersebut adalah pada pandangan hidup dan pada etos atau sistem etika yang dipunyai oleh setiap masyarakat manusia (Suparlan, 1980:239).

Kebudayaan nasional yang bersumber pada kebudayaan daerah perlu dibina dan dipelihara, usaha pembinaan dan pemeliharaan kebudayaan nasional tersebut harus dimulai dari usaha pemeliharaan unsur-unsur kebudayaan daerah. Cerita rakyat adalah suatu bagian kebudayaan nasional yang masih hidup dan berkembang disetiap daerah. Peranan cerita rakyat dalam masyarakat tidak perlu disangsikan lagi mengingat pentingnya nilai-nilai yang terkandung didalamnya.

Koentjaraningrat (1984 : 8-25), mengatakan bahwa nilai budaya merupakan tingkatan pertama dari kebudayaan ideal atau adat. Nilai budaya adalah lapisan paling abstrak dan luas ruanglingkupnya, tingkatan ini adalah ide-ide yang mengosepsikan hal-hal yang bernilai dalam kehidupan masyarakat. Suatu sistem nilai budaya terdiri atas konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat mengenal hal-hal yang harus mereka amat sangat bernilai sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.

Manusia mempunyai bakat yang telah terkandung dalam gen-nya untuk mengembangkan berbagai macam perasaan, hasrat, nafsu, serta emosi dalam kepribadian individunya, tetapi wujud dan pengaktifan dari berbagai macam isi kepribadiannya itu sangat dipengaruhi oleh berbagai macam stimuli yang berada dalam sekitar alam dan lingkungan social maupun budayanya. Dalam prose itu seorang individu dari masa anak-anak hingga masa tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu sekelilingnya yang menduduki


(27)

beraneka macam peran social dalam kehidupan sehari-hari (Koentjaraningrat, 1990:228-229).

Fungsi-fungsi yang ada di dalam masyaraka Gayo di Medan inilah yang ada hubungannya dengan alam artinya bagaimana manusia bersahabat dengan alam, karena alam merupakan bagian dari lingkungan hidup manusia. Manusia dibekali oleh alam dengan akal budi untuk berfikir dan berkarya. Dengan adanya kesadaran akan eksistensinya diri serta kemampuannya, dia berusaha memberikan bentuk baru atau bentuk lain yang lebih baik terhadap lingkungannya. Setiap lingkungan suatu masyarakat menerangkan pola-pola yang mengatur bagaimana seharusnya individu bertingkah lakunya. Dalam pola-pola pergaulan, seorang individu harus menyesuaikan tingkah lakunya dengan aturan-aturan yang berlaku dilingkungan sosialnya.

Manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari manusia yang lainnya. Dalam kehidupan, sehingga manusia harus mengadakan interaksi sosial dengan orang lain, karena hubungan dengan orang lain dalam suatu masyarakat sangatlah penting. Dengan hidup bermasyarakat manusia dapat saling belajar dan melengkapi. Proses sosial yang terjadi karena hubungan antara manusia seperti kekuatan besar yang bersifat memperat hubungan antar manusia seperti kekuatan kasih saying, saling menghargai dan memperkuat dan saling membutuhkan. Kekuatan-kekuatan ini selalu akan timbul di dalam masyarakat jika sebuah kekuatan tersebut ada yang mendorongnya dalam arti kata bahwa jika suatu masyarakat mengalami suatu musibah atau kejadian maka mereka sedikit banyak akan belajar dari pengalaman.

Hal ini yang ada pada perantauan masyarakat Gayo dimana mereka telah belajar bagaimana sebuah kesenian biasa menjadi pelajaran yang sangat berarti, pelajaran-pelajaran ini akhirnya diturunkan secara turun-temurun dari


(28)

generasi-kegenarasi berikutnya dan akhirnya menjadi sebuah ekspresi identitas atau boleh dikatakan menjadi sebuah budaya asli dari warga masyarakat tersebut.

Komunitas sebagai suatu kesatuan hidup manusia, yang menempati suatu wilayah yang nyata, dan yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat, serta yang terikat oleh suatu rasa identitas komunitas.

Sehubungan dengan masalah identitas maka kebudayaan alat adopsi manusia terhadap lingkungannya, ditransmisikan dari generasi tua kegenarasi muda dalam masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Dalam identitas ini, pola-pola baku yang telah ada dalam kebudayaan sebagai alat adopsi mendapat persambungan dari satu generasi berikutnya. Hal ini kemajuan kearah yang lebih baik. Identitas dapat diukur menurut tingkatan pengetahuan serta pengertian si individu maupun kelompok kebudayaan.

De Vos menyatakan bahwa identitas etnik, seperti bentuk identitas lainnya, bukan saja merupakan persoalan mengetahui siapa seseorang itu, tetapi juga masalah mengetahui bagaimana seseorang itu dipandang oleh orang lainnya. (Dalam Usman Pelly: 199)

Identitas etnik memerlukan perilaku yang cukup konsisten sehingga memungkinkan orang-orang lain untuk meletakkan seseorang atau sesuatu kelompok ke dalam kategori sosial tertentu, dengan demikian memungkinkan interaksi-interaksi yang diperlukan.

Setidaknya terdapat dua macam kekuatan terus-menerus mempengaruhi keutuhan kelompok etnik di daerah rantau kota. Pertama, orang-orang di kampung halaman mengaharapkan para perantau menjalankan misi budaya dan mempertahankan identitas etnik mereka, dan kedua, para perantau harus menyusaikan diri dengan latar belakang tuan rumah. Para perantau harus mengendalikan


(29)

hubungan-hubungan dinamik antara kebertahanan dan perubahan yang mempengaruhi bagaimana beradaptasi.

Strategi-strategi adaptasi adalah cara-cara yang dipakai perantau untuk mengatasi rintangan-rintangan yang mereka hadapi dan untuk memperoleh suatu keseimbangan positif dengan kondisi latar belakang perantau.

Identitas etnik menyebutkan bahwa identitas sosial, termasuk identitas etnik merupakan penggabungan ide-ide, perilaku, sikap, simbol-simbol bahasa yang ditransfer dari generasi melalui sosialisasi. Salah satu mendorong terbentuknya identitas etnik adalah kesamaan-kesamaan sesama anggota etnik yang terbentuknya melalui kesamaan proses belajar, kesamaan pengalaman, dan perilaku.

1.7. Metode Penelitian

Tipe penelitian ini bersifat deskriptif yang berusaha mengumpulkan data kualitatif sebanyak mungkin yang merupakan data utama untuk menjelaskan permasalahan yang akan dibahas nantinya. Untuk mencapai sasaran yang akan dituju yang mendeskripsikan bagaimana masyarakat Gayo meng-ekspresikan identitas Etnik masyarakat Gayo di medan itu tidak hilang begitu saja, maka dilakukan pengumpulan data. Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan, penulis akan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1.7.1. Penentuan Informan

Sebelum melakukan wawancara mendalam maka terlebih dahulu mencari beberapa informan sebagai sumber data, adapun wawancara yang dilakukan yaitu mewawancarai orang yang berperan besar dalam lokasi penelitian terseut yaitu


(30)

berupa Ketua paguyuban KGAAT (Keluarga Gayo Alas Aceh Tengah). Si peneliti menggunakan teknik snowball dalam penentuan informan terutama informan kunci.

Untuk memperkuat data yang diinginkan di dalam penelitian ini, maka wawancara ini juga dibatasi kepada orang-orang tertentu saja tetapi melainkan juga ditambah dengan cara mewawancarai beberapa orang penduduk yang tinggal di lokasi penelitian.

1.7.2. Teknik Observasi

Teknik observasi dilakukan guna untuk mengetahui situasi dalam konteks ruang dan waktu pada daerah penelitian. Menurut penulis, data yang diperoleh dari hasil wawancara saja tidaklah cukup menjelaskan fenomena yang terjadi, oleh karena itu diperlukan suatu aktivitas dengan langsung mendatangi tempat penelitian dan melakukan pengamatan. Dalam hal mengobservasi ini maka si peneliti menggunakan dua macam teknik observasi yaitu:

a. observasi non partisipasi

Dalam melakukan observasi non partisipasi ini si peneliti mengamati secara langsung apa yang ada dalam masyarakat tersebut nilai-nilai yang masih tersimpan dan ditransfer kegenerasi berikutnya. Juga melihat acara-acara kesenian yang terkait tentang Didong.

b. observasi sepintas lalu

Observasi biasa ini dilakukan untuk memperkuat data yang telah dapat dari hasil wawancara dan hal ini bisa dilakukan kapan saja ketika si peneliti berada pada lokasi penelitian.


(31)

1.7.3. Teknik wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, percakapan ini dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Maksud mengadakan wawancara, seperti di tegaskan oleh Lincoln dan Guba (1985:266), antara lain : mengkontruksi mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepeduliaan dan lain-lain kebulatan. Memproyeksikan kebulatan-kebulatan demikian sebagai yang diharapkan untuk dialami masa lalu, memproyeksikan kebulatan-kebulatan sebagai yang diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang; mengverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain, baik manusia maupun bukan manusia (triangulasi); dan memverifikasi, mengubah dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh si peneliti. (Lexy J. Moleong, 2005:186).

Adapun dalam penelitian data si peneliti menggunakan beberapa teknik wawancara untuk mendapatkan data dari informan. Wawancara mendalam (dept interview) dalam penelitian ini wawancara mendalam (dept interview) digunakan untuk memperoleh konsep masyarakat gayo tentang ekspresi identitas etnik berpedoman kepada interview quide sebagai acuan dalam wawancara. Pada kejadian di lapangan, untuk wawancara mendalam ini peneliti yang membuat perjanjian dengan informan dalam menentukan waktu yang tepat untuk di wawancarai. Tetapi kadang-kadang yang menjadi kendala adalah ketika si peneliti membuat perjanjian dengan informan tapi informan tidak ada di tempat tinggalnya.

Wawancara tak terstruktur, wawancara ini dilakukan tanpa ada persiapan terlebih dahulu dan biasanya apabila si peneliti secara kebetulan berjumpa dengan si informan. Alam pengumpulan data di lapangan wawancara tak terstruktur ini banyak


(32)

dilakukan terhadap informan biasa sedang ada acara halal bihalal. Kedua wawancara diatas tadi akan di dukung pula oleh alat-alat pengumpulan data lainnya seperti alat perekam, kamera sebagai dokumentasi

1.8. Analisa Data

Pada tahap ini, peneliti memeriksa ulang kembali data untuk melihat kelengkapan data. Data yang diperoleh dari lapangan kemudian dianalisis secara kualitatif. Data yang dikumpulkan melalui pengamatan dan wawancara disusun sesuai dengan sistematika penulisan.

Tahap pertama yang dilakukan di dalam menganalisis data yang sudah di dapat dilapangan adalah mengumpulkan data yang sejenis kategori-kategori yang telah di tentukan (pengklasifikasian data yang sejenis). Setelah dilakukan pengelompokan maka si peneliti memeriksa kembali dan mengelompokan kedalam kategori yang lebih kecil sehingga peneliti lebih mudah menuliskan data yang sudah di dapat.


(33)

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT GAYO DI MEDAN

2.1. Sejarah Suku Bangsa Gayo di Medan

Sebagai kelompok orang yang membatasi identitas budayanya, suku Gayo pasti memiliki cara hidup yang berbeda dengan suku lainnya. Sebagai suatu pengetahuan kebudayaan itu berarti pemahaman terhadap diri sendiri dan hubungan dengan masyarakat luas berdasar pengetahuan masa lampau dan masa kini.

Secara individual kebudayaan berarti segenap perwujudan dan keseluruhan dari hasil pikiran (logika), kemauan (etika) dan perasaan (estetika) dalam rangka pembangunan kepribadian manusia, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Seperti dipaparkan dalam gambaran umum masyarakat gayo di Medan.

Kehadiran kota Medan sebagai suatu bentuk kota memiliki proses perjalanan sejarah yang panjang dan kompleks, sesuai dengan berkembangnya daerah ini menjadi kota yang dinamakan “Medan” yang lahir pada 1 juli 1590, sampai saat sekarang ini usia kota Medan telah mencapai 418 tahun.

Kelompok etnik Gayo daerah asal adalah di bagian tengah atau pedalaman dari wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Wilayah asal orang Gayo ini biasa disebut Dataran Tinggi Gayo, yang merupakan bagian dari tali-temali Bukit Barisan di Pulau Sumatera.

Pada era tahun 1950 datang merantau kehadirannya di Medan dan meninggalkan Kota Takengon, Aceh Tengah yaitu Dataran Tinggi Suku Gayo dengan tujuan adalah melanjutkan pendidikan di Kota Medan. Sekitar tahun 1953 beberapa orang diantaranya yaitu bapak Usup Rawakil sekarang pensiunan Dosen Ikip dan


(34)

bapak Alm H. Daut SH, jadi begitulah seterusnya dari tahun ke tahun terus bertambah.

Setelah tahun 1960-an baru nampak penambahan orang Gayo di perantauan di Kota Medan, terutama pada akhir 1960-an, 1967, 1968-an dan seterusnya. Pada tahun 1970 paling banyak orang Gayo berdatangan di Medan.

Menurut informan bapak Amir,

“Saya datang ke Medan dulu memang merantau untuk sekolah pada tahun 1960 di saat – saat orang kita di Takengon khususnya orang Gayo umumnya masyarakat Aceh. Di daerah Aceh sana dalam keadaan situasi perang sodara yang disebut dengan dulu adalah Derma DI itukan antara kita-kita saja bangsa Indonesia, kemudian situasi masuk DOM. Jadi situasi disana itu pada tahun 60-an memang daerah takengon dalam keadaan tidak aman, sulit keluar daerah sana. Maka waktu itu seluruh orang terutama pelajar-pelajar atau mau mahasisiwa keluar dari sana itu, seperti benang keluar dari puting jarum kesulitan terpaksa melalui dengan konvoi tidak ada kendaraan khusus untuk bisa keluar. Memang sangat sulit sekali tapi karena memang minat sangat besar untuk melanjutkan pendidikan yang direstui atas berkat doa oleh orang tua maka saya keluar dengan beasiswa dari Ajmatulsiyaah dulu di takengon dan melanjutkan aliyah di jln ismaliyah di Medan. Dalam keadaan waktu itu selain keamanan tidak mengijinkan, ekonomi pun sangat sulit. Pada waktu itu kami tamat dari sanawiyah hanya 2 orang yaitu bapak Drs. Amiruddin Ibrahim dan satu lagi M. Usup Saat dari rongah dan terus ke Medan memang pada waktu itu kalau dari takengon hitungan konvoi-konvoi bawa kopi untuk dijual oleh militer dan harus dikawal karena dari DI/TII itu menjaga di Km 35 untuk minta bea cukai dan takut diambil oleh DI/TII.

Padahal Setiap hasil bumi harus ada cukai kepada mereka. Pemerintah daerah untuk jangan terganggu dan dikawal oleh Militer beberapa lebih dari 10 truk sampai ke biruen aman tidak apa-apa karena DI/TII tidak mengganggu hanya minta cukai km 35 batas Takengon sampai ke Bireun perbatasan dan hanya minta bea cukai. Sampai ke Biruen naek kreta api masih aktif. Akhirnya sampai datang kemedan dan sampai datang kemedan kami dapat surat dari mukim di Bintang dapat surat tidak mampu dari orang tua dan Usup Saat dapat surat tidak mampu dari orang tua. Tempat pertama langsung tempat ke asrama KGAAT sekarang, dulu dapur menjadi asrama, kantornya KGAAT (Keluarga Gayo Alas Aceh Tengah) organisasi orang Gayo, Takengon, Kotacane,dan belangkejeren, dulu di gabung. Orang tua dari ketiga daerah ini dulunya menjadi satu belum ada pemekaran seperti sekarang masing-masing, KotaCane menjadi kabupaten, Belangkejeren belum pemekaran.

Orang tua dulu yang dapat dari sini yaitu orang tua M.Saladin, orang tua Abd Zalil Nuh, orang tua dari Gayo Lues yaitu Awan Guru


(35)

Gayo, dia adalah guruh dukun besar, Alm Abdul Raub Burhan, dan kemudian yang muda-muda waktu itu dulu sekolah di UISU, USU, UNIFA, dulu UMSU belum ada. Muda muda mahasiswa yaitu mahasiswa abdul Zalil marga Bujang di takengon, Abd Latif, M.Awe, Alm Ismail Sadin waktu itu masih mahasiswa, Abd Ibrahim Ladang, M.Saleh Ariga dulu menjadi pedagang, tokoh orang Gayo yaitu Abd Rahman Toiren, Siti Maryam, Abdul Rahim Armada, lukman ini kuliah UISU aktif dan dia tinggal di asrama dari lelungi terakhir menjadi militer pengawal Istana Soekarno kebanggaan orang Gayo dan kemudian tidak ada kabarnya semenjak G30/SPKI. Abd Rahim Armada sebagian tanahnya sebagian dibeli oleh Drs. Rizal adalah yang membeli tanah di asrama di KGAAT, dan kemudian abg. Ceh didong yaitu Alm. Keh Druh dulu sudah lama tinggal di medan dan sangat sulit kehidupan hanya tukang becak dan ada ahli lain adalah melukis, Mayor Sahadat yang menjadi bupati kotacane sekarang. Orang-orang tua dulu yang saya ketemu pada tahun 1960 dan mereka sangat kompak orang-orang tua ini selalu bertemu di Asrama dulu kantor tapi sekarang menjadi asrama, dan mereka suka olahraga mulai yang tua ampe yang muda. Kegiatan yaitu berkumpul, kepentingan kegiatan sosial dan menggiatkan olahraga.

Pada waktu tahun 1960 saya langsung masuk Al Wasliyah di aliyah dengan Usup saat, Mas Niar dan waktu itu pada tahun 1960 dan biaya sekolah sangat sulit untuk kiriman melalui konfoi-konfoi itu 2 minggu sekali kadang sebulan, kira-kira 10 truk baru bergerak dari takengon bergerak ke Biruen jadi memang sulit transportasi dana dari sana pun sulit, maka waktu itu saya dapat beasiswa dari asnawiyah saya sendiri hanya Rp.150,000 pada waktu itu sangat bagus sekali, Rp.5 pun berguna Kemudian tahun 1960 sampai dengan tahun 1964 dan tahun 1964 tamat waktu itu saya juara no 9 dari seluruh Sumatera Utara, dan kawan saya waktu tidak lulus yaitu M.Usup saat.. Saya lulus ujian umumnya no 9 yaitu bebas pendaftaran dan untuk seterusnya saya sangat sulit ekonomi tidak mampu untuk meneruskan kuliah di UNIVA tahun 1964 dan 1965 kemudian saya diajak oleh T. Abd Latif Rusdi untuk tinggal bersama dia mulai dari kelas 2 smeali sampai tamat, sejak itu saya sebagai anak angkat tinggal bersama beliau.

Dari itu saya mulai lumayan tidak perlu mikir makan, sudah tinggal tempat bersama orang tua jadi buku-buku yang kami kerja kesana-kemari cari pertama kami cari kerjanya harga buku saja yang kami cari dulu untuk mencari itu kerjanya nomor satu nanam ubi, dulu waktu itu tanah lalang, kemudian mulai berani keluar dari asrama dan menjadi kerja di industri kecil-kecilan orang membuat kuali menggoreng dibuat dari dari drum itu dulu dipinggir sungai mati pengkuburan ketepi, kami rajin dan tidak pernah mengenal lelah,dan dianggap jujur dan lama itu dulu kerja membuat kuali dari drum, kemudian diratakan dan dipukul baru digunting itulah kerja membuat kuali dari drum, kami belum diberikan mengukur kecil dan ada lebar, jadi kami betul-betul kerja kasar kira-kira tahun 1964 sampai 1965. Sebelum tahun 1964 kami masih nanam ubi di asrama. Jadi memang kehidupan dan biaya pendidikan itu memang nol dan kiriman dari maka ekonomi pun sulit dari takengon.


(36)

Kami tidak mencari membuat kuali lagi dan jadi kami buat ring itu lah kerja mengupah, memburuh terakhir membuat batu bata di amplas dan itupun sesudah gali tanahnya kami pake roli dari kreta dan terus pembuatan tradisional betul-betul dan dipijak dari kerbau dan sesudah mengangkat tanah baru kami diizinkan mengambil batu bata dan sesudah siap dan dari seribu batu harga Rp.150 dan kemudian selain kami datanglah untuk ronde dari takengon amir amsar tahun ke 2 dan kebetulan belajar dikuliah. Waktu itu masih kami yang boleh masuk asrama dan tidak boleh sembarangan masuk ke sana maka kami bersih-bersih asrama itu. Pada tahun 1965 kami masuk kuliah di UNIFA kuliah itupun kulaih bukan dikirim dari sana dan waktu itu sudah banyak masuk di asrama dating tetapi kami di asrma itu dalam keadaan sekarang yaitu ekonomi.

Pada tahun 1965 memang ekonomi sangat sulit sekali dari takengon dan kami dulu tidak makan nasi dan kami makan tidak semua. Ada orang bikin pecel dan sesudah makan ubi. Sudah biasa makan pecel dan ubi digoreng dan di kopek-kopek masuk dalam piring dicampur pake air panas dan itulah ganti nasi dan itulah ampe 3 bulan. Sudah aktif kuliah dan kemudian masuk organisasi HIKMA secara eksternal dan internal di sub rayon pasar merah timur sebelum meletus 30 SPKI dan sesudah meletus aktif saya mengikuti kesatuan AKSI sampai Gang kolam. Saya ketua HMI komandan pasukan untuk membersihkan PKI dan saya terus diangkat unsur HMI di cabang Medan dan kuliah menjadi tidak aktif. Berdasarkan kesatuan AKSI itu saya pergi terus ke semarang, Aceh, Padang, Jakarta kami dipercayai memegang senjata tidak sembarangan. Militer mendukung oleh Aksi kuliah maka kuliah pun tinggal karena sibuk. Alih Surahman nama organisasi partai Soekarno dan aktif terus dan waktu itu saya sudah ketuai unsur organisasi tersebut. Tengku Amin dibawah saya masuk kuliah dan akhirnya saya tingkat 2 kami menyatu gabungan dengan bawahan dan saya cepat menyelesaikan kuliah jangan aksi diluar kembali aktif dikampus kembali. Sesudah itu Tahun 1965 sampai 1968 saya belum aktif saya da mulai mengikuti semester dan 1968 , 1970 baru saya sarjana di UNIFA muda tetapi saya menunggu persetujuan oleh Menteri Agama atas nama Ujian Negara baru sarjana Muda Negeri pada tahun 1975 sarjana lengkap dan mendapatkan sertifikat 2 sebelum saya sarjana negerinya saya mulai pegawai Negeri mengikuti Testing UGA ujian guru agama itu yang diambil tamat SD pangkatpun 1 A dulu pangkat istilah BB. Cepat guru pegawai negeri guru SD dulu Ijazah gak ada dan menjadi guru agama SD. Sesampai Pada 1971 ampe 1973 saya guru. Pada tahun 1973, 1974 saya pindah menjadi pangkat 2 A tamat SMA hitung disitu tamat SMA di pengadilan Agama Sari’ah. Maka saya berkarir di pengadilan agama sebagai Panitra tahun 1975 saya ketua sampai dibuta kantor Turi. Itulah karir dalam Pegawaian sampai pensiunan tahun 2004 bulan Desember jadi Hakim.

Berkarir dalam pendidikan pada tahun 1971, pindah pengadilan agama sampai seterusnya ampe panitra, sampai tingkat 1 pengadilan agama Medan belum sampai pengadilan tinggi masih ketua sampai pensiun. Itulah peristiwa zaman sebagai orang Gayo transportasi dalam perang datang ke medan pada tahun 1960 dalam keadaan sulit.”


(37)

Menurut informan bapak Hasan:

“Pertama-tama dari tamatan SLTA melanjutkan kuliah di Medan pada tahun 1973 pada tahun tersebut di takengon tidak ada fakultas yang tersedia di sana. Akhirnya mau melanjutkan pendidikan terpaksa merantau ke Medan dan mau meneruskan pendidikan di Medan. Tujuan pertama merantau ke Medan yaitu melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Tahun 1976 memiliki bangunan rumah sendiri di medan. Pada umumnya perantau orang Gayo datang ke Medan yaitu pendidikan setelah itu melanjutkan pekerjaan sebagai Guru, Pegawai Negeri dan setelah merasakan nyaman tinggal dimedan akhirnya saya merasakan kehidupan di kota Medan aman dan hidup di sini. Kalau dulu Takengon tidak mau kembali Takengon misalnya mau kuliah di medan dibandingkan di Takengon menjadi petani. Pada waktu itu kalau melanjutkan pendidikan bukan hanya di medan saja tapi sebagian ada juga kuliah di Banda Aceh. Sebelum 1970-an ekonomi masyarakat Aceh Tengah paling-paling hanya punya 70 persen mengkuliahkan anaknya seperti membayar buku, membayar kuliah.”

Menurut Informan bapak Mansuriah:

“Datang ke Medan pertama-pertama bukan melanjutkan pendidikan tetapi melanjutkan usaha dan menjadi wirausaha pada tahun 1980 dan untuk mengembangkan usaha, dan melihat situasi dan kondisi perkembangan kota Medan. Perputaran kabupaten berbeda di propinsi bandingnya 10 misalnya di takengon 100 juta kalau di medan 1 M maka menetap di kota, berbagai usaha di coba seperti bidang jasa, pengurusan STNK, makelar mobil, makelar hasil bumi, coklat, kopi, dan seterusnya ampe sekarang. Stuasi dan kondisi lebih menguntungkan karena prospek naek turun dalam pendapatan. Akhirnya saya berhasil dan saya mempunyai keluarga dan menjadi keluarga medan ampe sekarang. Apabila kangen dan rindu dengan keluarga di kampong paling-paling saya kembali sekali-sekali kalo punya rezeki melihat keluarga di Takengon dan seperti itu aja pekerjaan saya sehari-hari di Medan.”

Menurut Informan bapak Amin:

“Pertama kali saya datang ke Medan pada tanggal 20 Maret 1962 ada 4 orang datang ke Medan sesudah dari melanjutkan pendidikan di Takengon Sanawiyah slawiyah, salah satunya abdurahman sekarang sudah pensiun di Pondok baru. Kami dari Takengon ke Medan 2 malam pake konfoi sampai Takengon jam 7 berangkat sampai Loksmawe jam 6 sore, berangkat dari Loksmawe jam 7 subuh ampe kelangsa ampe jam 8 malam dan dari langsa berangkat pagi dari langsa sampai jam 1 malam ke medan situasi datang kemedan. Langsung ke asrama ada beberapa orang tinggal di


(38)

asrama kira-kira 10 orang. Langsung kami daftar sekolah di smaliyah tujuan pertama dari takengon melanjutkan pendidikan,

Maklum zaman dulu sekolah gak ada dan masuk smaliyah selama 3 tahun. Keberangkatan kami ke sana situasi masih situasi di hampir konflik sampai sekarang makanya kami dijalan agak payah, pemeriksaan segala macam, situasi sekolah waktu itu tidak sama dengan sekarang kalo kami minta belanja dulu dari takengon 2 bulan baru sampai dan bergabung dengan bapak dengan pak. Amir kalo pak. Amir tahun 1961 kalo saya 1962 sama-sama sekolah di Medan. Kegiatan setahun agak penyesuaian barulah situasi ekonomi maka kami cari tempat mengajar dan pindah-pidah sampai 6 kali disamping itu karena ekonomi juga sehingga kami kadang-kadang pagi sekolah dan sore kami cari kerja bangunan kami bermalam simpang amplas bawa kelambu dan pake lampu teplok tapi kami tidak lupa bawa buku baca terus itulah situasi dulu. Waktu itu ampe kami gak makan karena waktu itu gak makan bukan apa-apa karena pembangunan Ganipo sekarang inilah (Gelora Bung Karno) jadi makan dikirim semua dari pusat, beras segala macam dan akhirnya orang daerah makan jagung kami gak sanggup makan jagung karena ekonomi gak ada akhirnya selama 15 hari gak makan.

Kegiatan dulu kami olahraga gak ada bukan zaman sekarang dan kalo saya hanya mengikuti drama, tari. Pada tahun 1964 masih situasi politik yaitu PKI, TNI, NU segala macam kebetulan waktu itu ada wartawan namanya Pak. Amanteran dikompaki ma anak-anak asrama jadi akhirnya kami ikutlah mengadakan tarian Gayo yaitu sambrume, temasuk kak. Maryam yang terakhir kami mengadakan tarian untuk perpisahan Kolonel Jamin Ginting mau pindah kejakarta waktu itu di Gubernuran Menari diambil 3 daerah Kotacane, Belangkejeren, Takengon sampai kami kegiatan-kegiatan TNI kami m,asih ikut, situasi kurang mendukung mulai kami memisahkan sama Pak Amir tinggal 3 bulan di asrama, karena kami gabung dengan organisasi HMI, 3 bulan kami di HMI barulah kegiatan 30 SPKI pada tahun 1965 kegiatan menari, kami sering gak di asrama dan jaga di UNIVA, kalo dikampus masih enak ada hubungan dengan KOAND (angkatan Bersenjata) masih pada tahun 1965 pas waktu kejadian PKI dan setelah itu kami mengupas PKI mereka dibelakang dan kami di jaga. Kami memisahkan TNI diri dan gabung sama HMI pada 11 September. Jam 4 pagi ada kegiatan pusat saya sendiri sasaran untuk dibunuh PKI saya termasuk no 11 daftar yaitu pak. Amir kebetulan jam 2 malam ada Kapten Jafar kalo jam 1 malam diketuk di asrama dan keluar mengikuti pak Jafar menjaga keamanan dan jarang tidur kadang-kadang di UNIFA, rumah dosen.

Pak Karim jaga labuhan kepolisian dan hampir kami kecolongan sama Gerwani bagian wanita. Kode orang itu susah mana-mana tempat tabu itulah kode gambar PKI orang itu daerah tempat menyembunyikan gambar-gambar. Sesudah kejadian waktu itu kami di terus di UNIVA tempat kami kulah berbeda dengan sekarang, kami mengambil kuliah bukan kayak sekarang seperti menyusun skripsi tapi rata-rata teman-teman tidak lulus kuliah, akhirnya kami menganggur selama 1 tahun tahun 1966 datang DEPAG (Departemen Agama) tidak


(39)

ada testing. Pada tahun 1977 dipanggil dengan kuliah sambil ngajar dan barulah tgl pada tahun 1988 baru slesai kuliah S1. akhirnya saya melanjutkan pekerjaan dan tahun 2004 saya bermasalah dengan pegawaian dan mengurus dengan buk megawati keluar amnesti. Ternyata saya sudah diberhentikan dengan pegawaian karena tidak ada penjelasan dan sampai sekarang tidak melanjutkan pekerjaan lagi.”

2.2 Lokasi Penelitian

Sejak tahun 1950 tahun yang lalu pada era suku bangsa Gayo yang sudah ada di Medan. Tidak ada yang tahu pasti mengenai kedatangannya datang ke Medan untuk yang pertama kalinya. Daerah jalan Letda Sujuno (Tembung) pada perkembangan wilayah pusat transportasi, antar kota Medan. Terbentuknya wilayah tersebut sebagai pusat transportasi kota Medan dipengaruhi oleh pembangunan jalan tol yang terdapat di wilayah tersebut. Kebijakan pemerintah kota Medan yang melarang kendaraan berat melintas kendaraan berat yang ingin melintas di kota Medan.

Pembangunan jalan tol di wilayah Letda Sujono telah menyebabkan wilayah tersebut menjadi lokasi perwakilan antar kota, baik yang mengangkut barang maupun penumpang. Lokasi-lokasi perwakilan kendaraan antar kota diwilayah ini didominasi oleh usaha yang berasal dari daerah Masyarakat Gayo yang mendiami wilayah ini.

Keberadaan warga Gayo di Sumatera Utara pada dilandasi oleh kemampuan akademis yang begitu tinggi dan menyebar di berbagai bidang (sektor) pasaran kerja. Hal ini adalah masyarakat Gayo kepada pendidikan begitu besar, ini dapat dibuktikan semakin besarnya jumlah masyarakat Gayo yang kuliah diberbagai Perguruan Tinggi maupun Swasta di Sumatera Utara.

Sebagai warga Gayo Sumatera Utara yang memiliki adapt istiadat dan kebudayaan, maka sebagai warga perantauan harus melaksanakan :

a. Sosialisasi untuk melestarikan adat istiadat Gayo maupun kesenian tradisional kepada segenap masyarakat Gayo, khususnya generasi muda Gayo.


(40)

b. Meningkatkan aktivitas kesenian Gayo dikalangan mahasiswa Gayo dengan mengadakan pelatihan drama, tarian-tarian maupun event kesenian Gayo lainnya.

Pada tahun 2006 kelurahan Tembung ini mempunyai penduduk Gayo sebesar 58 kk yang berdomisili di kelurahan Tembung. Adapun luas daerah kelurahan Tembung adalah 64 Ha. Kelurahan Tembung mempunyai 6 lingkungan, yaitu :

• Lingkungan I • Lingkungan II • Lingkungan III • Lingkungan IV • Lingkungan V • Lingkungan VI

2.3. Komposisi Orang Gayo di Medan saat ini : 2.3.1. Jenis Kelamin

Orang Gayo yang tinggal di Tembung berdasarkan jenis kelamin diperoleh melalui data keluraha Tembung dalam angka tahun 2006 berjumlah 58 kk. Dari jumlah kk tersebut dapat dirinci jumlah jiwa orang Gayo adalah 348 jiwa. Penduduk berjenis laki-laki 104 jiwa dan 244 jiwa penduduk berjenis kelamin wanita, lebih banyak masyarakat Gayo berjenis kelamin Perempuan disebabkan pada umumnya masyarakat Gayo di Tembung masih memiliki lahan di daerah asalnya (Gayo) sehingga kaum wanita lebih banyak ditinggalkan atau kembali ke daerah untuk menjaga lahan mereka.


(41)

2.3.2. Umur

Berdasarkan tingkat umur orang Gayo di kota Medan memiliki tingkat umur yang relatif sama dengan masyarakat pada umumnya, tingkat harapan hidup juga sama dengan masyarakat lainnya walaupun pada kenyataannya orang Gayo di medan memiliki tingkat umur yang panjang hal ini dibuktikan dengan banyaknya informan dengan usia yang tua sekitar 56 sampai 60 tahun, hal ini disebabkan kondisi lingkungan dan kebiasaan hidup orang gayo memiliki kebiasaan hidup sehat seperti saat mereka tinggal di kampong halaman.

2.3.3. Pekerjaan

Orang Gayo yang bermukim di Medan memiliki jenis pekerjaan yang heterogen (beragam), pada fokus penelitian ini lokasi penelitian terletak di daerah kecamatan Medan Tembung, mata pencaharian orang Gayo di Kota Medan didominasi dengan bekerja sebagai pegawai negeri pada instansi pemerintah, mata pencaharian lainnya yang cukup mendominasi adalah sebagai wiraswasta dengan melanjutkan kehidupan untuk tinggal di medan.

Pekerjaan atau mata pencaharian orang gayo di kota Medan memiliki keberagaman dikarenakan tingkat pendidikan yang berbeda, hal ini lumrah terjadi pada masyarakat lainnya di kota Medan.

2.3.4. Pendidikan

Tingkat pendidikan orang Gayo di kota Medan tergolong pada tingkat pendidikan yang tinggi, hal ini dapat dilihat banyaknya generasi muda Gayo yang mengeyam pendidikan tinggi hal ini dikarenakan masyarakat Gayo pada umumnya melihat pendidikan sebagai modal dalam kehidupan. Pendidikan generasi muda gayo di kota Medan pada umumnya dimulai ketika sekolah menengah atas, dimana ketika


(42)

menjalani pendidikan menengah atas mereka pindah ke kota Medan dengan alasan untuk mendapatkan pendidikan yang cukup.

Generasi muda gayo di kota medan yang melanjutkan studi di perguruan tinggi tersebar pada berbagai perguruan tinggi di kota Medan, seperti : USU, UISU, UNIVA, UMSU dan perguruan tinggi lainnya.

2. 4. Sistem Organisasi Orang Gayo terutama konsep Belah

Masyarakat Gayo di masa lampau hidup berkelompok-kelompok. Di setiap kampung atau desa terdapat beberapa belah atau suku. Belah atau suku itu merupakan kelompo-kelompok social yang membentuk suatu persekutuan.

Pengertian belah atau suku dalam struktur sosial masyarakat Gayo identik dengan pengertian marga di tanah Batak, dalam ilmu antropologi dikenal dengan istilah clan. Satu belah atau suku merupakan satu bentuk kesatuan sosial yang terdiri dari beberapa keluarga. Biasanya tiap belah mempunyai beberapa rumah besar (umah pitu ruang) dan dalam tiap rumah tersebut terdapat lima atau enam kepala keluarga.

Pergaulan hidup di dalam satu belah atau biasanya merupakan kumpulan rumah besar, yang anggotanya terjalin oleh ikatan adat, yakni ikatan sosial secara mendatar dan vertikal. Ikatan mendatar terlihat dalam rasa persaudaraan baik belah atau suku, maupun rasa persaudaraan antar belah, bahkan ikatan mendatar atau ikatan horizontal inilah yang paling berperanan dalam corak kehidupan masyarakat Gayo. Ikatan vertikal terlihat pada rasa tunduk melalui ketaatan dan kepatuhan kepada Kepala Suku atau Pengulu-Suku. Setiap individu adalah menjadi anggota sesuatu belah atau suku tertentu, karena itu setiap individu harus taat dan tunduk kepada resam kebiasaan atau ikatan adat. Jika terjadi pelanggaran kepada resam kebiasaan atau ikatan adat, maka sanksi adat diberlakukan.


(43)

2.5. Bahasa

Untuk berkomunikasi antara sesama anggota masyarakat Gayo dalam kehidupan sehari-hari, mereka menggunakan bahasa asalnya, yaitu bahasa Gayo disebut diatas agak sedikit berbeda, walaupun tidak begitu menyolok karena bahasa Gayo yang satu masih dimengerti oleh Gayo yang lainnya.

Selain itu, bahasa Gayo sebenarnya mempunyai kemiripan dengan bahasa-bahasa suku-bangsa lainnya, antara lain bahasa-bahasa-bahasa-bahasa Melayu, bahasa-bahasa Karo, dan bahasa Aceh. Selain bahasa sehari –hari, ada juga bahasa dalam berbagai bentuk upacara, kesenian, dan lain-lain. Sehubungan dengan penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari, ada orang berpendapat bahwa dalam bahasa Gayo hampir tidak dikenal tingkatan pemakaian kata seperti yang dikenal, misalnya, dengan orang Jawa. Dalam bertutur kata dengan orang yang dihormati, dengan orang yang sebaya atau setara, atau yang lebih rendah statusnya, biasanya dibedakan dalam tekanan suara yang “lemah-lembut” atau tekanan “biasa”. Namun, kalau kita dapat mengamati lebih jauh, sebenarnya tingkat-tingkat bahasa ada juga dalam bahasa Gayo.

Berbicara dengan kerabat yang seharusnya dihormati, kata-kata tertentu harus mengalami “seleksi”. Kata ko atau kam (‘engkau’) kiranya tidak pantas ditujukan kepada seseorang yang kita hormati. Untuk itu harus diganti dengan tutur seperti : ama, ine, pun, uwe dan lain-lain yang berarti bapak, ibu, uwak, dan sebagainya. Kepada mertua, biasanya tidak digunakan kata ‘bapak’ (ama), apalagi ko atau kam, tetapi dengan kata tuen atau awane.

Tutur yang dipakai oleh pihak-pihak yang masih setara untuk menyatakan “kamu” yang dipakai kata ko, sepanjang yang bersangkutan belum berumah tangga. Kalau pihak setara ini sudah berumah tangga maka mereka akan merasa lebih intim kalau menyapa dengan kam. Ada kalanya kata ka mini seakan merupakan bentuk


(44)

jamak dari kata ko. Seorang suami kepada istri dan sebaliknya biasanya saling menyebut kam. Memang dalam kata ini terkandung rasa intim, karena secara ideal sepasang suami-istri sudah seharusnya berada dalam hubungan yang intim, saling berkasih-kasihan. Kepada orang yang lebih rendah statusnya dilihat dari segi tutur akan disebut ko. Namun kalau seseorang sudah kawin sampai menjelang mempunyai anak biasanya disapa dengan aman mayak untuk laki-laki dan inen mayak untuk perempuan.

2.6. Organisasi Sosial Masyarakat Gayo

Menurut Melalatoa (1983 : 129-130), kesatuan sosial yang terkecil dalam masyarakat gayo disebut sara ine, yang dalam konsep umum dikenal dengan istilah keluarga inti atau keluarga batih (nuclear family). Sara ine terdiri dari ayah (ama), ibu (ine) dan anak-anak yang belum kawin. Namun berdasarkan hasil penelitian di lapangan dan juga keterangan beberapa informan, dalam masyarakat Gayo tidak dikenal khusus untuk keluarga inti. Istilah sara ine (sara ine berasal dari kata sara = satu ; ine = ibu. Jadi sara ine dalam istilah umum diartikan sebagai “satu ibu”) hanya ditujukan untuk anak-anak yang berasal dari satu ibu. Jadi ayah dan ibu tidak termasuk di dalamnya.

Ada kesatuan lain yang mencakup anak dan orang tuanya, yaitu sara kero (satu nasi). Tetapi keanggotaan dari sara kero tersebut tidak mutlak berdasarkan atas ikatan keturunan, sebab boleh jadi seseorang menjadi anggota suatu kelompok sara kero walaupun orang tersebut tidak mempunyai hubungan keturunan bagaikan anak dan orang tua dengan anggota-anggota lain dari kelompok sara kero itu sendiri. Selain dari itu sifat keanggotaan kelompok sara kero tertentu, tetapi pada saat yang lain seseorang tersebut menjadi anggota dari kelompok sara kero yang lain. Sehingga


(45)

dengan demikian syarat keanggotaan dari kelompok sara kero lebih cenderung berdasarkan rasa kekeluargaan; bukan semata-mata karena ikatan keturunan.

Satu keluarga di masyarakat Gayo dewasa ini adalah satu kesatuan yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. Kelompok ini biasanya mendiami satu rumah tertentu; meskipun ada juga sebuah rumah didiami oleh dua atau lebih keluarga. Dalam masyarakat Gayo kesatuan ini disebut satu “rumah tangga”. Kesatuan sosial yang demikian dalam antropologi disebut keluarga luas (extended family) yang tampaknya belum mempunyai padanan dalam bahasa Gayo.

2.7. Pengertian Belah

Belah (klen) adalah sesuatu yang membedakan suku Gayo itu menjadi 2 yaitu belah uken atau belah toa. Dalam menentukan belah itu sendiri dapat di lihat dari secara letak geografis, bila dikaitkan dalam Didong itu sendiri satu kelompok Didong tidak boleh bertanding dalam satu belah karena dianggap sama halnya dengan masih sepersaudaraan. Satu ikatan kekerabatan ini lantas, belah lain adalah juga masih saudara. Secara alami sebagai orang Gayo akan dapat mengetahui nama kelop berasal dari uken atau toa. Belah uken ini atau toa timbul pada masa penajajahan Belanda yang mencoba adu domba masyarakat Gayo dengan kesenian.

Secara bahasapun ke dua belah itu berbeda di mana bahasa uken itu terkesan lebih kasar dan sebaliknya. Akan tetapi ke dua belah itu sangat faham dan mengerti ke dua bahasa masing-masing belah. Walaupun terdapat dua orang terdiri dari belah yang berbeda dan menggunakan bahasa masing-masing akan tetapi dapat di pahami oleh masing-masing.


(46)

Contoh:

Belah Uken Belah Toa Artinya

- One Padeh - One Pedih Disitu asja

- Nise -Nice kepunyaannya


(47)

BAB III

SENI DIDONG

3.1. Sejarah Didong

Didong merupakan salah satu kesenian yang berasaldari Aceh Tengah dan merupakan kesenian khas bagi masyarakat Gayo. Pertunjukan seni Didong pengembangannya arah kedirian yang karakteristik, dan menunjukan kepribadian dan rasa kebanggaan orang Gayo.

Masyarakat Gayo sebagai suatu masyarakat, sebagai suatu suku bangsa, mempunyai kebiasaan-kebiasaan, mempunyai adat istiadat, punya pola tingkah laku tersendiri, punya aspirasi, punya cita-cita tentang watak yang ideal, punya hobby, punya ciri khas, punya identitas. Dengan kata lain orang Gayo punya kebudayaan dan kesenian tersendiri berbeda dengan suku bangsa yang lain.

Kata Didong, berasal dari bahasa Gayo yaitu dari kata dik dan dong. Dik artinya menghentakkan kaki ke papan yang berbunyi dik-dik-dik. Kemudian dong artinya berhenti di tempat, tidak berpindah. Jadi kata Didong dapat diartikan bergerak (menghentakkan kaki) di tempat untuk mengharapkan bunyi dik. Bunyi dik-dik-dik selalu digunakan untuk menyelingi persembahan Didong. Didong adalah sejenis kesenian tradisional yang dipertandingkan antara dua Guru Didong yang berasal dari dua kampung yang berbeda. Persembahan dimulai setelah shalat Isya sebelum shala Shubuh, (M.J.Melalatoa, 1985:71).

Kata Didong menjadi nama kesenian tradisional orang Gayo berdasarkan cerita rakyat, asal-usulnya adalah Gajah Putih yang dikumpulkan dan dianggap sebagai penjelmaan seorang sahabat yang sudah mati. Ketika Gajah Putih ini akan dibawa ke Istana Aceh oleh orang-orang yang perintah oleh raja. Gajah Putih


(48)

menghentakkan kaki ke tanah, sehingga menimbulkan bunyi dik-dik-dik. Namun demikian, ketika sahabatnya yang membawa, Gajah Putih itu pun dapat berjalan dengan sendirinya dan sampailah ke Istana Raja Aceh.

Gerakan Gajah Putih yang menghentakkan kaki ke tanah dan menimbulkan bunyi dik-di-dik, selalu ditirukan oleh orang-orang yang melihat kejadian itu. Akhirnya kebiasaan tersebut dijalankan dan digunakan pada masa mereka merasa gembira atau pada masa menyampaikan amanat dan nasihat orang lain kepada anak, seperti pada masyarakat atau kepada siapa saja yang dianggap perlu untuk disampaikan. Oleh karena itu, kebiasaan tersebut berlangsung sehingga kini dan disebut dengan tradisi lisan Didong Gayo.

Didong Gayo dapat dibagi menjadi dua macam. Pertama, Didong Lut (Laut). Didong Lut berkembang di Kabupaten Aceh Tengah. Didong Lut berbentuk puisi (terikat). Isi Didong Lut tidak berhubung secara langsung dengan bagian lain. Oleh karena itu, dapat disampaikan bahwa Didong Lut seperti puisi yang didendangkan dan setiap puisi memiliki makna tersendiri.

Kedua, Didong gayo Lues. Didong Gayo Lues berkembang di Kabupaten Aceh Tenggara. Didong Gayo Lues pada awalnya berbentuk prosa (bebas) dan hanya pada bagian tertentu saja yang disampaikan berbentuk puisi (terikat) seperti pantun. Isi cerita di dalam Didong Gayo Lues terhubung kuat antara satu begian dengan bagian lainnya.

Didong merupakan hasil dan milik masyarakat Gayo. Didong merupakan gambaran dan pandangan masyarakat Gayo. Di dalam Didong selalu berisi tentang makna-makna atau nilai-nilai kehidupan budaya masyarakat gayo. Dalam Didong penuh dengan cerita mengenai manusia sebagai makhluk sosial, hubungan


(49)

kekerabatan, strata sosial, dan lain-lain. Masing-masing kawasan mempunyai kekhasannya sendiri-sendiri dan memiliki bentuk kemasan seni yang khas.

Umur Didong sudah dalam kurun waktu yang cukup lama. Diduga sebelum Islam masuk, Didong sudah ada. Masyarakat Gayo di masa lampau hidup berkelompok-kelompok. Di setiap kampung atau desa terdapat beberapa belah atau suku. Belah atau suku itu merupakan kelompok-kelompok sosial yang membentuk suatu persekutuan.

Pada masa lalu Didong merupakan satu “permainan adat” yang turut memberi denyut kehidupan klen dalam arti sebagai sarana pembudayaan (enkulturasi), serta internalisasi nilai-nilai dan norma-norma adat. Dalam perkembangan berikutnya, Didong telah menerabas batas klen (belah) dan merambat antar-kampung yang mulai merebak pada periode awal 1940-an hampir kesemua daerah.

Didong dapat dibagi tiga macam yaitu, Didong Alo, Didong Jalu dan Didong Niet. Pertama Didong Alo di persembahkan untuk penyambutan tetamu. Pada Didong Alo ini terdapat ucapan selamat datang dan ucapan terima kasih kepada tetamu. Didong Alo selalunya di adakan dari pihak tetamu dan bercerita secara bergantian serta menyampaikan mohon maaf atas segala kekeliruan dan kekurangan dalam persiapan penyambutan para tetamu.

Kedua, dalam Didong Jalu terdapat lima tahap dalam persembahan, yaitu permulaan persembahan (Didong tuyuh), persalaman (tabini Didong), kesepakatan (batang), berteka-teki (itek-iteken) dan mohon maf (niro ijin). Setiap tahap memiliki perbedaan dengan tahap yang lain. Pada bagian Didong tuyuh terdapat penghantar. Pada bagian tabini Didong terdapat persalaman. Pada bagian batang terdapat kesepakatan antara kedua-dua Guru Didong. Pada bagian itek-iteken terdapat teka-teki. Pada bagian niro ijin terdapat ucapan memohon maaf.


(50)

Ketiga, dalam Didong Niet menceritakan tentang apa saja yang telah di niatkan. Contohnya, keinginan suami isteri untuk mendapat anak, sama ada anak lelaki atau perempuan. Apabila keinginan tersebut di kabulkan oleh Allah s,w,t. maka Didong Niet pun dipersembahkan. Didon Niet ini berisi cerita tentang anak yang lahir karena di niatkan. Cerita di mulai dari pertemuan kedua-dua ibu bapanya, pada masa dalam kandungan, kanak-kanak, remaja, tua, bahkan sehingga kepada akhir hidupnya.

Salah satu bentuk atau wujud kebersamaan itu ialah kegiatan dalam bidang kesenian. Kehidupan orang Gayo seperti juga kehidupan manusia dalam setiap kelompok, masyarakat, bangsa manapun, mempunyai kebudayaan, mempunyai kesenian dalam mengungkapkan rasa keindahannya. Pengungkapan rasa keindahan itu oleh orang Gayo ditampilkan dalam berbagai bentuk, seperti seni Didong dan seni tari. Dalam bentuk yang awal seni Didong dan seni tari ini merupakan hiburan di tempat-tempat perhelatan, dan menurut adat, yang boleh hanya laki-laki saja yang turut dalam seni Didong dan seni tari ini, sedang bagi wanita adalah tabu. Pengungkapan rasa keindahan bagi wanita Gayo diwujudkan dalam bentuk seni kerajinan, seni ukir atau ragam hias. Namun kini baik laki-laki maupun wanita sudah dapat tampil dalam berbagai wujud kesenian termasuk seni didong, seni sa’er, seni tari, dan sebagainya.


(51)

Walaupun terdapat beberapa jenis Didong, namun dalam hal ini dipersembahkan adalah Didong Jalu saja. Didong Jalu merupakan Didong yang paling lengkap dalam bahagian-bahagiannya. Bagian-bagian Didong Jalu yaitu permulaan persembahan (Didong Tuyuh), persalaman (tabini Didong), kesepakatan (batang), berteka-teki (itek-iteken) dan mohon maaf (niro ijin). Didong jalu ini masih bertahan dan dipersembahkan sampai sekarang.

Didong dapat menjadi alat untuk menyampaikan amanat kepada para penonton. Misalnya, teka-teki pada Didong Jalu kedua-dua Guruh Didong saling bertanya dan saling menjawab tentang teka-teki mereka masing-masing. Teka-teki Guru Didong soalan tentang agama dan ada pula soalan tentang adat. Oleh itu, penonton dapat belajar sambil menonton persembahan Didong Jalu.

Didong Jalu dan Didong Niet. Pertama, Didong Alo dipersembahkan untuk penyambutan tetamu. Pada Didong Alo ini terdapat ucapan selamat datang dan ucapan terima kasih kepada tetamu. Didong Alo selalu disambut kepada pihak tetamu dan


(52)

bercerita secara bergantian serta menyampaikan mohon maaf atas segala kekeliruan dan kekurangan dalam persiapan penyambutan para tetamu. Isi teka-teki selalu berkaitan dengan hukum ( Agama Islam) dan budaya suku Gayo. Dipersembahkan di atas sekeping papan (supaya waktu menari boleh menghasilkan bunyi). Disamping itu sebagai penari mecoba membandingkan Didong gayo Lues dan Didong gayo Lut dari segi persembahannya.

Dalam persembahan Didong selalu berulang-ulang soalan yang sama pada bagian-bagian yang tertentu dan bersifat dinamik pada bagian yang lain. Oleh itu, Didong Jalu boleh menjadi alat untuk menyampaikan amanat kepada masyarakat Gayo.

Karya seni yang diciptakan seniman atau pengarang menjadi satu dunia yang fiksyen yang tersusun secara rapi dan teratur. Di dalam dunia fiksyen ini terjadi yang berhubung kait dengan kehidupan. Pengarang merekamkan peristiwa yang terjadi dalam kehidupan, namun pengarang sebagai anggota masyarakat memiliki pemahaman dan kajian terhadap apa yang terjadi di tengah-tengah kehidupan.

Dalam bentuk yang awal merupakan kelompok-kelompok yang berasal dari satu belah atau suku. Anggota kelompok itu terdiri dari pemuda/bebujang yang terdapat dalam satu belah atau suku. Di antara yang paling disenangi dan paling sering ditampilkan oleh orang Gayo dalam saat-saat memeriahkan upacara-upacara maupun perhelatan ialah Didong ini.


(53)

(1)

harapan mereka mempertahankan dan mau untuk melaksanakan seni didong sebagai ekspresi identitas masyarakat gayo baik di gayo sendiri maupun di kota Medan.

Saran berikutnya adalah mengadakan pertemuan antara pengetua adat dan generasi muda gayo dalam usaha mempertahankan kesenian didong, hal ini disebabkan penyelenggaraan didong memerlukan dana yang cukup besar sedangkan generasi muda ataupun sebahagian masyarakat Gayo mengharapkan dapat melaksanakan kesenian didong dengan dana yang tidak terlalu besar atau dengan kata lain dengan dana yang terjangkau, hal ini penting dilakukan agar semua elemen masyarakat gayo dapat menyelenggarakan seni didong tanpa terganggu dengan masalah dana, pertentangan ini dapat dijembatani melalui diskusi antara pengetua adat dan masyarakat Gayo.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Aman, Pinan, Hakim, 2003, Pesona Tanoh Gayo, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah.

Banta, Cut, Rafinis, 2004, Adat Istiadat Budaya Gayo Takengen Nengeri Antara, Lembaga.

Brown, Radclife, A.R. 1965. Structure and Function in Primitive Society. New York : Free Pers.

Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia. Jakarta: Jakarta Pusat tama Grafiti. Gustami, 2006, JejakLangkah Seniman Gayo.Pusat Studi Kebijakan Daerah (PKSD). Hasan, M, Affan.1980. Kesenian Gayo dan Perkembangan. PN. Balai Pustaka;

Penerbit

Kayam, Umar, 1981, Seni, Tradisi, Masyarakat, Jakarta.Penerbit Sinar Harapan. Keesing, Roger, M. 1999. Antropologi Budaya; suatu Perspektif Kontemporer,

Erlangga, Jakarta.

Koentjaraningrat, 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia.

Koentjaraningrat, 19881. Pokok-Pokok Antropologi Sosial. Jakarta; Universitas Indonesia.

Koentjaraningrat, 1996. Pengantar Antropologi I. Jakarta: Rhineka Cipta. Koentjaraningart, 1997. Pengantar Antropologi II. Jakarta; Rhineka Cipta.

Melalatoa, M, Junus, 1981/1982. Didong, Pentas Kreativitas Gayo. Departemen Pendidikan dan kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan. Moleong, J, Lexy, 2005. Metodelogi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya


(3)

Pelly, Usman, 1994, Urbanisasi dan Adaptasi Peranan Misi Budaya Mingangkabau dan Mandailing. Jakarta Pustaka LP3ES Indonesia.

Simanjuntak, Posman, 2000. BerBerkenalan Dengan Antropologi. Jakarta; Erlangga. Suyono, Ariyono, 1985. Kamus Antropologi. Jakarta. Penerbit Akademika Pressindo.


(4)

DAFTAR PERTANYAAN

1. Bagaimana Sejarah seni Didong ?

2. Bagaimana berjalannya sejarah proses kesenian tradisional Didong? 3. Siapa-siapa saja yang terlibat di dalam Didong?

4. Mengapa kesenian Didong masih dipertahankan hingga saat sekarang ini? 5. Adakah nilai-nilai yang terkandung di dalam Didong?

6. Apa pakaian yang digunakan oleh pemain Didong? 7. Apa saja alat musik yang mendukung Didong? 8. Kapan Didong di laksanakan atau dipertunjukkan? 9. Apa saja syarat-syarat menjadi anggota Didong? 10. berapa orangkah pemain Didong?

11. Apa saja peran yang mereka mainkan? 12. Di mana Didong di mainkan?

13. Apa manfaat Didong di adakan?

14. Bagaimana cara usaha yang tepat mendorong para ceh agar lebih kreatif dalam mencipta Didong?

15. Bagaimana cara usaha untuk melindungi hasil karya ceh sekarang ini di masa di masa yang akan datang?


(5)

INFORMAN KUNCI

1 Nama. : Drs. Hasan. Hs.

Umur : 58 Tahun J. Kelamin :laki-laki Status :Pensiun

2. Nama : Drs. Amiruddin SH Umur : 60 Tahun

J. Kelamin :Laki-laki Status : Pensiun

3. Nama : Drs. Amin Hansar Umur : 60 Tahun

J. Kelamin :Laki-laki Status :Pensiun

4. Nama : Mansur Umur : 54 Tahun J. Kelamin : Laki-laki Status : Wiraswasta

5.Nama : Drs. Zainuddin Umur : 56 tahun J. Kelami : Laki-laki Status : Dosen

6. Nama : Abd. Hamid Umur : 40 Tahun J. Kelamin : Laki-laki Status : Swasta


(6)

PETA LOKASI PENELITIAN – KECAMATAN di KOTA MEDAN (Sumber