Laporan Praktik Kerja Profesi Farmasi Rumah Sakit

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Rumah Sakit

2.1.1 Defenisi Rumah Sakit
Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 pasal 1 tentang rumah
sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
2.1.2 Tujuan Rumah Sakit
Berdasarkan UU RI Nomor 44 Tahun 2009 Pasal 3, penyelenggaraan rumah
sakit bertujuan sebagai berikut:
a.

mempermudah akses masyarakat untuk mendapat pelayanan kesehatan

b.

memberikan


perlindungan

terhadap

keselamatan

pasien,

masyarakat,

lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit.
c.

meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit, dan

d.

memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya
manusia rumah sakit, dan rumah sakit.


2.1.3 Fungsi Rumah Sakit
Berdasarkan UU RI nomor 44 tahun 2009 pasal 5, rumah sakit mempunyai
fungsi sebagai berikut:
a. penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit
b. pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis

c. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka
peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
d. penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
2.1.4 Klasifikasi Rumah Sakit Secara Umum
Berdasarkan UU RI No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit pasal 24 ayat 2,
dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang dan fungsi
rujukan, rumah sakit umum diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan kemampuan
pelayanan rumah sakit:
a.


rumah Sakit Umum kelas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 spesialis dasar, 5
spesialis peniunjang medic, 12 spesialis lain, dan 13 subspesialis.

b.

Rumah Sakit Umum kelas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 spesialis dasar, 4
spesialis penunjang medik, 8 spesialis lain, dan 2 subspesialis dasar.

c.

Rumah Sakit Umum kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai
fasilitas dan kemampuan pelayanan medic paling sedikit 4 spesialis dasar dan
4 spesialis penunjang medik.

d.

Rumah Sakit Umum kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai

fasilitas dan kemampuan pelayanan medis paling sedikit 2 spesialis dasar.
(Depkes RI, 2009).

2.1.5

Struktur Organisasi Rumah Sakit
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 pasal

33 Tentang Rumah Sakit, Setiap Rumah Sakit harus memiliki organisasi yang
efektif, efisien, dan akuntabel. Organisasi Rumah Sakit paling sedikit terdiri atas
Kepala Rumah Sakit atau Direktur Rumah Sakit, unsur pelayanan medis, unsur
keperawatan, unsur penunjang medis, komite medis, satuan pemeriksaan internal,
serta administrasi umum dan keuangan, terlampir.
2.2

Instalansi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)
Menurut Siregar (2004) Instalasi Farmasi adalah suatu bagian, unit, devisi

atau fasilitas di rumah sakit tempat semua kegiatan pekerjaan kefarmasian yang
ditujukan untuk keperluan rumah sakit itu sendiri. Seperti diketahui, pekerjaan

kefarmasian adalah pembuatan, pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan
pengadaan, penyimpanan, dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat
atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat
dan obat tradisional (Febriawati, 2013).
Menurut Siregar (2004) Instalasi Farmasi Rumah Sakit adalah suatu unit di
suatu rumah sakit yang dipimpin oleh seorang apoteker dan dibantu oleh beberapa
apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan kompeten secara profesional dan merupakan tempat penyelenggaraan
yang bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan serta pelayanan kefarmasian yang
ditujukan untuk keperluan rumah sakit itu sendiri (Febriawati, 2013).
Menurut Kepmenkes No. 1197/Menkes/SK/X/2004 fungsi Instalasi Farmasi
rumah sakit adalah sebagai tempat pengelolaan perbekalan farmasi serta
memberikan pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan.

2.2.1. Struktur Organisasi IFRS
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1197/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit
pada BAB III Bagan Organisasi, Bagan organisasi adalah bagan yang
menggambarkan pembagian tugas, koordinasi dan kewenangan serta fungsi.
Kerangka organisasi minimal mengakomodasi penyelenggaraan pengelolaan

perbekalan, pelayanan farmasi klinik dan manajemen mutu, dan harus selalu
dinamis sesuai perubahan yang dilakukan yang tetap menjaga mutu sesuai
harapan pelanggan. (Depkes RI, 2004).

Gambar 2.1 Contoh Struktur Organisasi Minimal IFRS
2.2.2. Sumber Daya Manusia
Sesuai dengan keputusan Menteri Kesehatan No. 1197/ MENKES/SK/2004
tantang sumber daya manusia rumah sakit. Personalia pelayanan farmasi rumah
sakit adalah sumber daya manusia yang melakukan pekerjaan kefarmasian
dirumah sakit. Penyelenggaraan pelayanan kefarmasian dilaksanakan oleh tenaga
farmasi profesional yang bewewenang berdasarkan undang-undang, memenuhi

persyaratan baik dari aspek hukum, strata pendidikan, kualitas maupun kuantitas
dengan jaminan kepastian adanya peningkatan pengetahuan, keterampilan dan
sikap keprofesian terus menerus dalam rangka menjaga mutu profesi dan
kepuasan pelanggan.
1. Jenis ketenagaan :
a. Untuk pekerjaan kefarmasian dibutuhkan tenaga:



Apoteker



Sarjana farmasi



Asisten Apoteker (AMF, SMF)

b. Untuk pekerjaan administrasi dibutuhkan tenaga:


Operator komputer /teknisi yng memahami kefarmasian



Tenaga administrasi

c. Pembantu pelaksana

2. Beban Kerja
Dalam perhitungan beban kerja perlu diperhatikan faktor-faktor yang
berpengaruh pada kegiatan yang dilakukan, yaitu:


Kapasitas tempat tidur dan BOR



Jumlah resep atau formulir per hari



Volume perbekalan farmasi



Idealnya 30 tempat tidur = 1 Apoteker (untuk pelayanan kefarmasian)

2.3 Pengelolaan Perbekalan Farmasi

Pengelolaan perbekalan farmasi merupakan suatu siklus kegiatan, dimulai
dari perencanaan sampai evaluasi yang saling terkait anatara satu dengan yang
lain.

Menurut

Kepmenkes

No.

1197/MENKES/SK/X/2004,

kegiatannya

mencakup

perencanaan,

penerimaan,


penyimpanan,

pendistribusian,

pengendalian, pencatatan dan pelaporan, penghapusan, monitoring dan evaluasi.

MANAJEMEN
MUTU

Gambar 2.2 Kegiatan Pengelolaan Perbekalan Farmasi
2.3.1 Pemilihan
Merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah kesehatan yang
terjadi di rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis, menentukan
kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat esensial, standarisasi sampai
menjaga dan memperbaharui standar obat (Depkes RI, 2004).
Semua rumah sakit harus memilih obat-obatan mana yang harus disediakan
untuk peresepan dan permintaan oleh para praktisi perawatan kesehatan.
Keputusan ini berdasarkan misi rumah sakit, kebutuhan pasien, dan jenis layanan
yang


disediakan.

Pemilihan

obat-obatan

merupakan

proses

yang

mempertimbangkan kebutuhan pasien dan keselamatan sebagaimana nilai-nilai
ekonomis (JCI, 2011).
2.3.2 Perencanaan
Merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga
perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk

menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat
dipertanggung jawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan
antara

lain

konsumsi,

epidemiologi,

kombinasi

metode

konsumsi

dan

epidemiologi disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.
a) Metode Konsumsi
Metose konsumsi ini berdasarkan atas analisi data konsumsi perbekalan
farmasi periode sebelumnya dengan berbagai penyesuaian dan koreksi.
Kelebihan menggunakan metode konsumsi dalam perencenaan perbekalan
farmasi:






Data konsumsi akurat (metode paling mudah).
Tidak membutuhkan data epidemiologi maupun standar pengobatan.
Jika data konsumsi dicatat dengan baik, pola preskripsi tidak berubah
dan kebutuhan relatif konstan.

Kekurangan menggunakan metode konsumsi dalam perencanaan perbekalan
farmasi:


Data konsumsi, data obat dan data jumlah kontak pasien
kemungkinan sulit untuk didapat.



Tidak dapat dijadikan dasar dalam mengkaji penggunaan obat dan
perbaikan pola preskripsi.



Tidak dapat diandalakan jika terjadi kekuranga stok obat lebih dari 3
bulan, obat yang berlebih atau obat yang hilang.



Pencatatan data morbilitas yang baik tidak diperlukan.

b) Metode Epidemiologi
Metode epidemiologi didasarkan pada pola penyakit, data jumlah kunjunagn,

frekuensi penyakit dan standar pengobatan yang ada.
Kelebihan menggunakan metode epidemiologi dalam perencanaan perbekalan
farmasi:






Perkiraaan kebutuhan mendekati kebenaran.
Program-program yang baru dapat digunakan.
Usaha memperbaiki pola penggunaan obat dapat di dukung oleh
standar pengobatan.

Kekurangan

menggunakan

metode

epidemiologi

dalam

perencanaan

perbekalan farmasi:




Memerlukan waktu banyak dan tenaga yang terampil.
Data penyakit sulit diperoleh secara pasti dan kemungkinan terdapat
penyakit yang tidak termasuk dalam daftar/ tidak terlapor.







Memerlukan sistem pencatatan dan pelaporan.
Pola penyakit dan pola preskripsi tidak selalu sama.
Dapat terjadi kekurangan obat karena ada wabah atau kebutuhan
insidentil tidak terpenuhi.



Variasi obat terlalu luas.

c) Metode Kombinasi
Metode kombinasi merupakan kombinasi metode konsumsi dan metode
epidemiolgi. Metode kombinasi berupa perhitungan kebutuhan obat atau lat
kesehatan yang mana telah mempunyai data konsumsi yang jelas namun kasus
penyakit cenderung berubah (naik atau turun).
Metode kombinasi digunakan untuk obat dan alat kesehatan yang terkadang
fluktuatif, maka dapat menggunakan metode konsumsi dengan koreksi-koreksi

pola penyakit, perubahan, jenis/ jumlah tindakan, perubahan pola peresepan,
perubahan kebijakan pelayanan (Febriawati, 2013)
Adapun yang menjadi pedoman dasar dalam perencanaan pengadaan obat
yaitu:
1) DOEN
2) Formularium rumah sakit
3) Standar terapi rumah sakit
4) Ketentuan setempat yang berlaku
5) Data catatan medik
6) Anggaran yang tersedia
7) Penetapan prioritas
8) Siklus penyakit
9) Sisa persediaan
10) Data pemakaian periode yang lalu
11) Dan rencana pengembangan (Depkes RI, 2004).
Rumah sakit mempunyai metode tersendiri, misalnya lewat suatu kepanitiaan,
untuk mengurus dan memantau daftar obat-obatan dan memantau penggunaan
obat-obatan itu di rumah sakit. Keputusan untuk menambah atau mengurangi
obat-obatan dari daftar tersebut diatur menurut kriteria yang mencakup indikasi
penggunaan, efektivitas, risiko, dan biaya. Daftar tersebut diulang setidaknya
setahun sekali berdasarkan informasi yag muncul berkaitan dengan keselamatan
dan efikasi (kemanjuran)-nya serta informasi tentang penggunaan dan efek
samping (JCI, 2011).

2.3.3 Pengadaan
Merupakan

kegiatan

untuk

merealisasikan

kebutuhan

yang

telah

direncanakan dan disetujui, pengadaan ini dapat dilakukan dengan cara:
a. Pembelian


Pembelian secara tender (oleh panitia pembelian barang farmasi).



Secara langsung dari pabrik/distributor/pedagang besar farmasi/rekanan.

b. Produksi/pembuatan sediaan farmasi
Produksi merupakan kegiatan membuat, mengubah bentuk, dan pengemasan
kembali sediaan farmasi steril atau nonsteril untuk memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan di rumah sakit. Kriteria obat yang diproduksi adalah sediaan
farmasi dengan formula khusus, sediaan farmasi dengan harga murah, sediaan
farmasi dengan kemasan yang lebih kecil, sedian farmasi yang tidak tersedia
dipasaran, sediaan farmasi untuk penelitian, sediaan nutrisi parenteral,
rekonstruksi sediaan obat kanker (Depkes RI, 2004).
A. Jenis sediaan farmasi yang diproduksi:


Produksi Steril
1. Sediaan steril. Contoh: pembuatan methylen blue
2. Total parenteral nutrisi. Contoh: Campuran sediaan sarbohidrat,
protein, lipid, vitamin, mineral untuk kebutuhan perorangan.
3. Pencampuran obat suntik/sediaan intravena. Contoh: melarutkan
sediaan intravena dalam bentuk serbuk dengan pelarut yang sesuai.
4. Rekonstitusi

sediaan

sitostatika.

Contoh:

kemoterapi.
5. Pengemasan kembali. Contoh: Handruff

pencampuran

obat



Produksi Non Steril
1. Pembuatan puyer. Contoh: parasetamol tablet
2. Pembuatan sirup. Contoh: OBH, Inadryl loco, kloralhidrat
3. Pembuatan salep. Contoh: salep sulfadiazin, salep 2-4
4. Pengemasan kembali. Contoh: Alkohol, H2O2, povidon iodine
5. Pengenceran. Contoh: antiseptik dan desinfektan



Sumbangan/droping/hibah. Pada prinsipnya pengelolaan perbekalan
farmasi dari sumbangan/ droping/ hibah, mengikuti kaidah umum
pengelolaan perbekalan farmasi regular. Perbekalan farmasi yang tersisa
dapat dipakai untuk menunjang pelayanan kesehatan disaat situasi normal
( Depkes RI, 2008).

2.3.4

Penerimaan

Penerimaan adalah kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah
diadakan sesuai dengan aturan kefarmasian, melalui pembelian langsung, tender,
konsinyasi atau sumbangan.
Penerimaan perbekalan farmasi harus dilakukan oleh petugas yang
bertanggung jawab. Petugas yang dilibatkan dalam penerimaan harus terlatih baik
dalam tanggung jawab dan tugas mereka, serta harus mengerti sifat penting dari
perbekalan farmasi.
Tujuan penerimaan adalah untuk menjamin perbekalan farmasi yang diterima
sesuai kontrak baik spesifikasi mutu, jumlah maupun waktu kedatangan. Semua
perbekalan farmasi yang diterima harus diperiksa dan disesuaikan dengan
spesifikasi pada order pembelian rumah sakit. Semua perbekalan farmasi harus
ditempatkan dalam tempat persediaan, segera setelah diterima, perbekalan farmasi

harus segera disimpan didalam lemari atau tempat lain yang aman.
Perbekalan farmasi yang diterima harus sesuai dengan spesifikasi kontrak
yang telah ditetapkan. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penerimaan:
1.

Harus mempunyai Material Safety Data Sheet (MSDS), untuk bahan
berbahaya.

2.

Khusus untuk alat kesehatan harus mempunyai Certificate Of Origin.

3.

Sertifikat Analisa Produk (Depkes RI, 2008).

2.3.5

Penyimpanan
Menurut JCI, 2011 penyimpanan perbekalan farmasi di rumah sakit

menggunakan sistem FEFO (First Expired First Out) dan FIFO (First In First
Out). Obat-obatan disimpan dalam area penyimpanan, dalam layanan farmasi atau
yang berkaitan dengan farmasi, atau pada unit farmasi yang terletak pada unit
perawatan pasien atau pos keperawatan dalam unit klinis. Standar Medication
Management and Use (MMU) menyediakan mekanisme pengawasan untuk semua
lokasi di mana obat-obatan disimpan. Di semua lokasi di mana obat-obatan
disimpan, hal-hal berikut dapat terlihat jelas:
a) Obat-obatan disimpan dalam kondisi yang sesuai bagi stabilitas produk. Obat
yang termolabil seperti serum, vaksin, supositoria, insulin dan obat-obatan
yang harus disimpan pada suhu rendah ditempatkan dalam lemari pendingin,
dengan rentang suhu 2-8oC. Lemari pendingin harus dilengkapi dengan alat
pengukur suhu termometer.
b) Zat-zat yang dikendalikan dicatat secara akurat sesuai dengan undang-undang
dan peraturan yang berlaku. Seperti golongan narkotika dan psikotropika
disimpan di lemari khusus dan terkunci. Untuk obat golongan narkotika

disimpan dilemari kunci ganda (Morfin, codein dll) dan psikotropika
disimpan dilemari terkunci (Lysergid, Diazepam, Alprazolam dll).
c) Obat-obatan dan bahan-bahan kimia yang digunakan untuk pengobatan diberi
label secara akurat dengan isi, tanggal kadaluarsa, dan peringatan. Obat Look
Alike Sound Alike (LASA) disimpan dengan pemberian jarak dan diberi stiker
hijau LASA. Contohnya Zyrtec dengan Zyprexa. Dan obat yang perlu
mendapatkan perhatian khusus (High Alert) disimpan didalam lemari diberi
list beri merah dan ditempelkan stiker high alert. Contohnya Dopamin,
dobutamin, warfarin dan lain-lain. Bahan Berbahaya dan Beracun disimpan
terpisah dengan penyimpanan obat. Bahan Berbahaya dan Beracun disimpan
dilemari terkunci dan tahan api. Bahan berbahaya ini diberi masing-masing
symbol diataranya ialah:



Bahan yang mudah meledak (E) contohnya: Tinitro toluena (TNT).
Bahan yang amat sangat mudah terbakar (F) contohnya: Aseton, Logam
Natrium.



Bahan pengoksidasi (O) contohnya: Kalium Klorat dan Kalium
Permanganate.



Bahan yang sangat beracun (T) contohnya Kalium Sianida, Hydrogen
Sulfida, Nitrobenzene.




Bahan yang mudah merusak jaringan (C) contohnya: HCl dan H2SO4 ,
Bahan yang menyebabkan iritasi (Xi) contohnya: Isopropilamina,
Kalsium Klorida.



Bahan berbahaya bagi lingkungan (N) contohnya: Tetraklorometan, dan
Petroleum Hidrokarbon.

d) Elektrolit-elektrolit konsentrat tidak disimpan di unit perawatan kecuali jika
dibutuhkan secara klinis, dan apabila disimpan dalam unit perawatan,
terdapat pengamanan untuk mencegah pemberian tidak sengaja.
e) Semua area penyimpanan obat-obatan diinspeksi secara berkala sesuai
dengan kebijakan rumah sakit untuk memastikan bahwa obat-obatan
tersimpan secara tepat.
f) Kebijakan rumah sakit menetapkan bagaimana obat-obatan yang dibawa
masuk oleh pasien diidentifikasi dan disimpan.
Obat-obatan disimpan dalam kondisi yang sesuai bagi stabilitas produk.
Tempat penyimpanan obat sebaiknya tertutup, tidak lembab dan tidak langsung
terpapar sinar matahari. Penyimpanan perbekalan farmasi disimpan menurut
persyaratan adalah Bahan Berbahaya dan Beracun disimpan terpisah dengan
penyimpanan obat. Bahan Berbahaya dan Beracun disimpan dilemari terkunci dan
tahan api (JCI, 2011).
Menurut PERMENKES RI No. 28/MENKES/PER/I/1978 pasal 5 tentang
Tata Cara Penyimpanan Narkotika, sebagai berikut:
i.

Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat.

ii. Harus mempunyai kunci yang kuat.
iii. Lemari dibagi dua masing-masing dengan kunci yang berlainan, bagian
pertama dipergunakan untuk menyimpan morfin, petidin, dan garamgaramnya, serta persediaan narkotika; bagian kedua dipergunakan untuk
menyimpan narkotika lainnya yang dipakai sehari-hari.
iv. Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari ukuran kurang dari 40 x 80 x
100 cm, maka lemari tersebut harus dibaut pada tembok atau lantai.

v.

Lemari khusus tidak boleh digunakan untuk menyimpan barang lain selain
narkotika.

vi. Anak kunci lemari khusus harus dikuasai oleh penanggung jawab/asisten
apoteker atau pegawai lain yang dikuasakan.
vii. Lemari khusus harus ditaruh pada tempat yang aman dan tidak boleh terlihat
oleh umum.
2.3.6

Pendistribusian
Merupakan kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi di rumah sakit

untuk pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat
jalan serta untuk menunjang pelayanan medis (Depkes RI, 2004).
Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk dijangkau oleh
pasien dengan mempertimbangkan:
i.

Efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada

ii.

Metode sentralisasi atau desentralisasi

iii.

Sistem floor stock, resep individu, dispensing dosis unit atau kombinasi

A. Bentuk-Bentuk Pendistribusian Perbekalan Farmasi
1. Sentralisasi
Penyimpanan dan pendistribusian semua obat atau barang farmasi dipusatkan
pada satu tempat. Seluruh kebutuhan obat atau barang farmasi setiap unit
perawatan atau pelayanan baik untuk kebutuhan individu maupun kebutuhan
dasar ruangan disuplai langsung dari pusat pelayanan farmasi atau IFRS
tersebut tanpa adanya cabang atau depo di beberapa unit pelayanan.
2. Desentralisasi
Pelayanan farmasi mempunyai cabang atau depo di dekat unit perawatan atau

pelayanan sehingga penyimpanan dan pendistribusian kebutuhan obat atau
barang farmasi unit perawatan atau pelayanan tersebut baik untuk kebutuhan
individu maupun kebutuhan dasar ruangan tidak lagi dilayani dari pusat
pelayanan farmasi.
B. Jenis Sistem Pendistribusian Perbekalan Farmasi untuk Pasien Rawat Inap
1. Sistem distribusi resep obat individu.
Resep individual adalah resep yang ditulis dokter untuk tiap pasien. Pada
sistem ini, kebutuhan barang farmasi individu pasien tidak tersedia di ruang
perawatan, tetapi harus diambil atau diterbus di tempat pelayanan farmasi dengan
menbawa resep dengan instruksi pengobatan dari dokter. Tempat pelayanan
farmasi tersebut yaitu di instalasi farmasi rumah sakit, apotik baik yang ada di
dalam maupun di luar rumah sakit. Semua obat yang ditebus dibawa ke ruangan
perawatan untuk diserahkan pada perawat untuk disimpan. Biaya pengobatan
yang ditanggung oleh pasien tinggi karena setiap sisa obat yang tidak digunakan
tetap harus dibayar.
Keuntungan dari sistem ini:


Semua resep dikaji langsung oleh apoteker, yang juga dapat memberi
keterangan atau informasi kepada perawat berkaintan dengan obat
pasien.



Memberi kesempatan inetraksi profesional antara farmasis – dokter –
perawat – pasien.





Memungkikan pengendalian yang lebih dekat atas perbekalan.
Mempermudah penagihan biaya pengobatan pasien.

Keterbatasan dari sistem ini:







Jumlah kebutuhan personal di IFRS meningkat.
Kemungkian keterlambatan sediaan obat sampai pada pasien.
Memerlukan jumlah perawat dan waktu yang lebih banyak untuk
penyiapan obat di ruang pada waktu konsumsi obat.



Terjadi kesalahan obat karena kurang pemeriksaan pada waktu
penyiapan konsumsi. Sistem distribusi obat resep individual kurang
sesuai untuk rumah sakit yang besar, misalnya kelas A dan B yang
memiliki daerah perawatan penderita yang menyebar sehingga jarak
sehinnga jarak antara IFRS dengan beberapa daerah perawatan penderita
sangat jauh.

2. Sistem distribusi obat persediaan perlengkapan diruangan ( floor stock).
Pada sistem ini kebutuhan obat atau perbekalan farmasi dalam jumlah besar
baik dalam kebutuhan dasar ruangan maupun kebutuhan individu pasien yang
diperoleh dari tempat pelayanan farmasi baik sentralisasi maupun disentralisasi,
disimpan diruangan perawatan. Kebutuhan obat dasar maupun obat individu
langsung dapat dilayani oleh perawat tanpa harus menebus atau mengambil dulu
dari tempat penyimpanan farmasi. Proses pengelolaan inventaris, penyiapan dan
peracikan obat atau barang farmasi tersebut serta penyampaiannya pada pasien
sepenuhnya dibebankan kepada perawat. Pelayanan dengan sistem ini paling
cepat, karena semua barang kebutuhan ada dalam satu ruangan.
Keuntungan sistem ini:






Obat yang diperlukan segera tersedia bagi pasien.
Tidak ada pengembalikan obat yang tidak terpakai di IFRS.
Pengurangan penyalinan order obat.



Pengurangan jumlah personil IFRS yang diperlukan.

Keterbatasan sistem ini:


Kesalahan obat meningkat karena order obat tidak dikaji oleh apoteker.
Disamping itu, penyiapan obat dan konsumsi obat dilakukan oleh
perawat sendiri, tidak ada pemeriksaan ganda.



Persediaan obat di unit perawat meningkat, dengan fasilitas ruangan
yang sangat terbatas. Akibatnya, penyimpanan tidak teratur, mutu obat
merosok, dan tanggal kadaluarsa kurang diperhatikan sehingga sering
terjadi sediaan obat yang tak terpakai karena telah kadaluarsa.









Pencuruan obat meningkat.
Meningkatnya bahaya karena kerusakan obat.
Diperlukan waktu tambahan bagi perawat untuk menangani obat.
Meningkatnya kerugian karena kerusakan obat.

3. Sistem distribusi obat kombinasi resep individual dan persediaan di ruangan
Rumah sakit yang menerapkan sistem ini, selain menerapkan sistem distribusi
resep/ order individual sentralisasi , juga menerapkan distribusi persediaan di
ruangan yang terbatas. Jenis dan jumlah obat yang tersedia di ruangan (daerah
penderita) ditetapkan oleh PFT dengan masukan dari instalasi farmasi rumah sakit
dan dari pelayanan keperawatan. Sistem kombinasi biasanya diadakan untuk
mengurangi beban kerja instalasi farmasi rumah sakit. Obat yang disediakan di
ruangan adalah obat yang diperlukan oleh banyak penderita, setiap hari
diperlukan, dan biasanya adalah obat yang harganya relative murah, mencakup
obat resep atau obat bebas.

Keuntungan sistem ini:




Semua resep atau order individu dikajioleh apoteker
Adanya kesempatan berinteraksi profesional antara apoteker – dokter –
perawat – pasien.



Obat yang diperlukan dapat segera tersedia bagi pasien (obat
persediaan di ruang).



Beban IFRS dapat berkurang.

Keterbatasan sistem ini:


Kemungkinan keterlambatan sediaan obat sampai kepada pasien (obat
resep individual).



Kesalahan obat dapat terjadi (obat dari persediaan di ruang)
(Depkes,2008).

4. Sistem distribusi obat dosis unit
Obat dosis unit adalah obat yang diorder oleh dokter untuk penderita, terdiri
atas satu atau beberapa jenis obat yang masing-masing dalam kemasan dosis
tunggal dalam jumlah persediaan yang cukup untuk sewaktu-waktu tertentu.
Penderita hanya membayar obat yang di komsumsi saja. Sistem distribusi obat
dosis unit adalah metode dispensing dan pengendalian obat yang di koordinasi
instalasi farmasi dan rumah sakit. Sistem dosis unit dapat berbeda dalam bentuk
tergantung pada kebutuhan khusus rumah sakit, unsur khusus berikut adalah dasar
dari semua sistem dosis unit yaitu obat dikandung dalam kemasan unit utnggal, di
dispensing dalam bentuk siap konsumsi untuk kebanyakan obat tidak lebih dari 24
jam persediaan dosis, di antarkan keruang perawatan atau tersedia pada runang
perawatan penderita tiap waktu (Febriawati, 2013).

Keuntungan dari penerapan sistem ini adalah:










Pasein hanya membayar perbekalan farmasi yang dikonsumsinya saja.
Semua dosis yang diperlukn pada unit perawatan telah disiapkan oleh IFRS.
Mengurangi kesalahan pemberian perbekalan farmasi.
Menghindari duplikasi order perbekalan farmasi yang berlebihan.
Meningkatkan pemberdayaan tugas profesional dan non profesional yang
lebih efisien.





Mengurangi resiko kehilangan dana pemborosan perbekalan farmasi.
Memperluas cakupan dan pengendalian IFRS di rumah sakit secara
keseluruhan sejak dari dokter menulis resep/ order sampai pasien menerima
dosis unit.



Sistem komunikasi pengorderan dan distribusi perbekalan farmasi
bertambah baik.



Apoteker dapat datang ke unit perawatan/ ruang pasien, untuk melakukan
konsultasi perbekalan farmasi, membantu memberikan masukan kepada tim,
sebangai upaya yang diperlukan untuk perawatan pasien yang lebih baik.



Peningkatan pengendalian dan pemantuan penggunaan perbekalan farmasi
menyeluruh.



Memberikan peluang yang lebih besar utuk prosedur komputerisasi.

Kelemahan dari penerapan sistem ini adalah:




Meningkatnya kebutuhan tenaga farmasi.
Meningkatnya biaya operasional (Febriawati, 2013).

C. Pendistribusian Perbekalan Farmasi untuk Pasien Rawat Jalan
Pendistribusian perbekalan farmasi untuk pasien rawat jalan menggunakan

sistem individu atau resep perorangan yang ditulis oleh dokter untuk tiap pasien.
Dalam sistem ini perbekalan farmasi disiapkan dan didistribusikan oleh IFRS
sesuai yang tertulis pada resep (Depkes RI, 2008).
2.3.7

Evaluasi
Tujuan umum evaluasi agar setiap pelayanan farmasi memenuhi standar

pelayanan yang ditetapkan dan dapat memuaskan pelanggan.
Tujuan khusus untuk menghilangkan kinerja pelayanan yang substandar,
terciptanya pelayanan farmasi yang menjamin efektifitas obat dan keamanan
pasien, meningkatkan efesiensi pelayanan.
1.

Jenis Evaluasi
Berdasarkan waktu pelaksanaan evaluasi, di bagi tiga jenis program eveluasi:
-

Prospektif: program dijalankan sebelum pelayanan dilaksanakan

-

Konkuren: program dijalankan bersama dengan pelayanan dilaksanakan
Contoh: memantau kegiatan konseling apoteker, peracikan resep oleh
Asisten Apoteker

-

Retrospeksi: pgogram pengendalian yang dijalankan setelah pelayanan
dilaksanakan.
Contoh: survei konsumen, laporan mutasi barang

2.

Metode Evaluasi
-

Audit (pengawasan)
Dilakukan terhadap proses hasil kegiatan apakah sudah sesuai standar

-

Review (penilaian)
Penilaian terhadap pelayanan yang telah diberikan, penggunaan sumber
daya, penulisan resep

-

Survei
Untuk mengukur kepuasan pasien, dilakukan dengan angket atau
wawancara langsung.

-

Observasi
Terhadap pkecepatan pelayanan antrian, ketepatan penyerahan obat
(Depkes RI, 2004).

2.4 Pelayanan Kefarmasian
2.4.1

Pelayanan Farmasi Klinis
Pelayanan farmasi klinis adalah pelayanan langsung yang diberikan

apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan
meminimalkan risiko terjadinya efek samping obat.
Tujuan:
-

Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan pelayanan farmasi dirumah
sakit

-

Memberikan pelayanan farmasi yang dapat menjamin efektifitas, keamanan
dan efisiensi penggunaan obat

-

Meningkatkan kerjasama dengan pasien dan profesi kesehatan lain yang
terkait dalam pelayanan farmasi

-

Melaksanakan kebijakan obat di rumah sakit dalam rangka meningkatkan
penggunaan obat secara rasional (Depkes RI, 2004).

2.4.1.1 Pengkajian Resep
Kegiatan dalam pelayanan kefarmasian yang dimulai dari seleksi
persyaratan administrasi, persyaratan farmasi dan persyaratan klinis baik untuk
pasien rawat inap maupun rawat jalan.

Persyaratan administrasi meliputi:
-

Nama, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien

-

Nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter

-

Tanggal resep

-

Ruangan/unit asal resep

Persyaratan farmasi meliputi:
-

Bentuk dan kekuatan sediaan

-

Dosis dan Jumlah obat

-

Stabilitas dan ketersediaan

-

Aturan, cara dan tehnik penggunaan

Persyaratan klinis meliputi:
-

Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat

-

Duplikasi pengobatan

-

Alergi, interaksi dan efek samping obat

-

Kontraindikasi dan efek aditif

2.4.1.2 Dispensing
Merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap validasi,
interpretasi, menyiapkan / meracik obat, memberikan label / etiket, penyerahan
obat dengan pemberian informasi obat yang memadai disertai sistem
dokumentasi.
Tujuan Dispensing adalah untuk mendapatkan dosis yang tepat dan aman,
untuk menyediakan nutrisi bagi penderita yang tidak dapat menerima makanan
secara oral, menyediakan obat kanker secara efektif, efisien dan bermutu,
menurunkan total biaya obat.

Dispensing dibedakan berdasarkan atas sifat sediaannya:
1.

Dispensing sediaan farmasi khusus
a.

Dispensing sediaan farmasi parenteral nutrisi
Merupakan kegiatan pencampuran nutrisi parenteral yang dilakukan oleh
tenaga yang terlatih secara aseptis sesuai kebutuhan pasien dengan
menjaga stabilitas sediaan, formula standar dan kepatuhan terhadap
prosedur yang menyertai.

b.

Dispensing sediaan farmasi pencampuran obat steril
Melakukan pencampuran obat steril sesuai kebutuhan pasien yang
menjamin kompatibilitas dan stabilitas obat maupun wadah sesuai
dengan dosis yang ditetapkan.

2.

Dispensing Sediaan Farmasi Berbahaya
Merupakan penanganan obat kanker secara aseptis dalam kemasan siap

pakai sesuai kebutuhan pasien oleh tenaga farmasi yang terlatih dengan
pengendalian pada keamanan terhadap lingkungan, petugas maupun sediaan
obatnya dari efek toksik dan kontaminasi, dengan menggunakan alat pelindung
diri, mengamankan pada saat pencampuran, distribusi, maupun proses pemberian
kepada pasien sampai pembuangan limbahnya.
Secara operasional dalam mempersiapkan dan melakukan harus sesuai
prosedur yang ditetapkan dengan alat pelindung diri yang memadai, sehingga
kecelakaan terkendali.
Kegiatan Dispensing Sediaan Farmasi Berbahaya
-

Melakukan perhitungan dosis secara akurat.

-

Melarutkan sediaan obat kanker dengan pelarut yang sesuai.

-

Mencampur sediaan obat kanker sesuai dengan protokol pengobatan.

-

Mengemas dalam pengemas tertentu.

-

Membuang limbah sesuai prosedur yang berlaku

Faktor yang perlu diperhatikan
-

Cara pemberian obat kanker

-

Ruangan khusus yang dirancang dengan kondisi yang sesuai.

-

Lemari pencampuran biological safety cabinet.

-

HEPA filter

-

Pakaian khusus

-

Sumber daya manusia yang terlatih (Depkes RI, 2004).

2.4.1.3 Pemantauan dan Pelaporan Efek Samping Obat
Monitoring efek samping obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan
setiap respons terhadap obat yang tidak dikehendaki (ROTD) yang terjadi pada
dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa, dan
terapi. Efek samping obat adalah reaksi obat yang tidak dikehendaki yang terkait
dengan kerja farmakologi.
Tujuan Pemantauan dan Pelaporan Efek Samping Obat:
1.

Menemukan ESO (Efek Samping Obat) sedini mungkin terutama yang berat,
tidak dikenal, frekuensinya jarang.

2.

Menentukan frekuensi dan insidensi Efek Samping Obat yang sudah dikenal
sekali, yang baru saja ditemukan.

3.

Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi
timbulnya Efek Samping Obat atau mempengaruhi angka kejadian dan
hebatnya Efek Samping Obat.

Kegiatan Pemantauan dan Pelaporan Efek Samping Obat:
1.

Menganalisa laporan Efek Samping Obat

2.

Mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai resiko tinggi
mengalami Efek Samping Obat

3.

Mengisi formulir Efek Samping Obat

4.

Melaporkan ke Panitia Efek Samping Obat Nasional

Faktor yang perlu diperhatikan:
1.

Kerjasama dengan Panitia Farmasi dan Terapi dan ruang rawat

2.

Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.

2.4.1.4 Pelayanan lnformasi Obat (PIO)
Menurut kepmenkes nomor 1197/Menkes/SK/X/2004, PIO merupakan
pelayanan yang dilakukan oleh apoteker untuk memberikan informasi secara
akurat, kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien.
Tujuan PIO adalah menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien
dan tenaga kesehatan di lingkungan rumah sakit dan pihak lain di luar rumah
sakit, membuat kebijakan yang berhubungan dengan obat/perbekalan farmasi
terutama bagi komite/sub komite farmasi dan terapi, dan menunjang penggunaan
obat yang rasional. Kegiatan yang dilakukan pada PIO meliputi
1.

Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara aktif dan
pasif.

2.

Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui telepon,
surat atau tatap muka.

3.

Membuat buletin, leaflet, label obat.

4.

Menyediakan informasi bagi Komite/Panitia Farmasi dan Terapi sehubungan

dengan penyusunan Formularium Rumah Sakit.
5.

Bersama dengan PKMRS melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat
jalan dan rawat inap.

6.

Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga farmasi dan tenaga
kesehatan lainnya.

7.

Mengkoordinasi penelitian tentang obat dan kegiatan pelayanan kefarmasian.
(Depkes RI, 2004).

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah sumber informasi obat, tempat,
tenaga dan perlengkapan.
2.4.1.5 Konseling
Merupakan suatu proses yang sistematik untuk mengidentifikasi dan
penyelesaian masalah pasien yang berkaitan dengan pengambilan dan penggunaan
obat pasien rawat jalan dan pasien rawat inap.
Tujuan dari kegiatan konseling adalah memberikan pemahaman yang benar
mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan mengenai nama obat, tujuan
pengobatan, jadwal pengobatan, cara menggunakan obat, lama penggunaan obat,
efek samping obat, tanda-tanda toksisitas, cara penyimpanan obat dan penggunaan
obat-obat lain. Formulir terlampir di Lampiran 4.
2.4.1.6 Pemantauan Kadar Obat dalam Darah
Melakukan pemeriksaan kadar beberapa obat tertentu atas permintaan dari
dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit.
Tujuan Pemantauan Kadar Obat dalam Darah yaitu
a.

Mengetahui kadar obat dalam darah

b.

Memberikan rekomendasi kepada dokter yang merawat

Kegiatan yang dilakukan meliputi:
a.

memisahkan serum dan plasma darah

b.

memeriksa kadar obat yang terdapat dalam plasma dengan menggunakan alat
TDM

c.

membuat rekomendasi kepada dokter berdasarkan hasil pemeriksaan.

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan:
a.

alat therapeutic drug monitoring/instrument untuk mengukur kadar obat

b.

reagen sesuai obat yang diperiksa.

2.4.1.7 Visite Pasien
Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap bersama tim dokter
dan tenaga kesehatan lainnya.
Tujuan Visite Pasien adalah
a.

Pemilihan obat

b.

Menerapkan secara langsung pengetahuan farmakologi terapetik

c.

Menilai kemajuan pasien.

d.

Bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain.

Kegiatan visite pasien :
a.

Apoteker harus memperkenalkan diri dan menerangkan tujuan dari kunjungan
tersebutkepada pasien.

b.

Untuk pasien baru dirawat Apoteker harus menanyakan terapi obat terdahulu
dan memperkirakan masalah yang mungkin terjadi.

c.

Apoteker memberikan keterangan pada formulir resep untuk menjamin
penggunaan obat yang benar.

d.

Melakukan pengkajian terhadap catatan perawat akan berguna untuk

pemberian obat.
e.

Setelah

kunjungan

membuat

catatan

mengenai

permasalahan

dan

penyelesaian masalah dalam satu buku dan buku ini digunakan oleh setiap
Apoteker yang berkunjung ke ruang pasien untuk menghindari pengulangan
kunjungan.
Factor-faktor yang perlu diperhatikan :
a.

Pengetahuan cara berkomunikasi

b.

Memahami teknik edukasi

c.

Mencatat perkembangan pasien

2.4.1.8 Pengkajian Penggunaan Obat
Merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan
berkesinambungan untuk menjamin obat-obat yang digunakan sesuai indikasi,
efektif, aman dan terjangkau oleh pasien.
Tujuan pengkajian penggunaan obat adalah untuk mendapatkan gambaran
keadaan saat ini atas pola penggunaan obat pada pelayanan kesehatan/dokter
tertentu, membandingkan pola penggunaan obat pada pelayanan kesehatan/dokter
satu dengan yang lain, penilaian berkala atas penggunaan obat spesifik, menilai
pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat. Faktor-faktor yang perlu
diperhatikan pada pengkajian penggunaan obat meliputi indikator peresepan,
indikator pelayanan dan indikator fasilitas (Depkes RI, 2004).
2.5 Instalasi Central Sterilized Supply Department (CSSD)
Central Sterilization Supply Department (CSSD) atau Instalasi Pusat
Pelayanan Sterilisasi merupakan satu unit/departemen dari rumah sakit yang
menyelenggarakan proses pencucian, pengemasan dan sterilisasi terhadap semua

alat atau bahan yang dibutuhkan dalam kondisi steril (Depkes RI, 2009).
Menurut Depkes RI, 2009. Struktur Organisasi CSSD sebagai berikut:
Kepala Instalasi Pusat Sterilisasi
Penanggung Jawab
Administrasi

Sub Instalasi
Pengawasan Mutu,
Pemeliharaan Sarana &
peralatan, K3 dan Diklat

Sub Instalasi
Dekontaminasi
Sterilisasi &
Produksi

Sub Instalasi
Distribusi

Gambar 2.3 Struktur organisasi CSSD
Instalasi CSSD ini merupakan pusat pelayanan yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan alat/bahan steril bagi unit-unit yang membutuhkan sehingga
dapat mencegah dan mengurangi infeksi yang berasal dari rumah sakit itu sendiri.
Penanggung jawab CSSD ini adalah apoteker. Latar belakang berdirinya CSSD di
rumah sakit adalah:
• Besarnya angka kematian akibat infeksi nosokomial

• Kuman mudah menyebar, mengkontaminasi benda dan menginfeksi
manusia di lingkungan rumah sakit
• Merupakan salah satu pendukung jaminan mutu pelayanan rumah sakit,
akan peran dan fungsi CSSD sangat penting.

2.5.1

Tugas utama CSSD

a. Menyiapkan peralatan medis untuk perawatan pasien
b. Melakukan proses sterilisasi alat / bahan.
c. Mendistribusikan alat yang dibutuhkan oleh ruang perawatan, kamar operasi
maupun ruangan lain.

d. Berpartisipasi dalam pemilihan peralatan dan bahan yang aman dan bermutu.
e. Mempertahankan stock inventory yang memadai untuk keperluan perawatan
pasien.
f. Mempertahankan standar yang telah ditetapkan.
g. Mendokumentasikan setiap kegiatan yang dilakukan sebagai bagian dari
upaya pengendalian mutu.
h. Melakukan penelitian terhadap hasil sterilisasi dalam rangka pencegahan dan
pengendalian infeksi bersama dengan pengendalian infeksi nosokomial.
i. Memberi penyuluhan tentang hal – hal yang berkaitan dengan masalah
sterilisasi.
j. menyelenggarakan pendidikan dan pengembangan staf instalasi pusat
sterilisasi.
k. Mengevaluasi hasil sterilisasi.
l. Alur aktivitas fungsional CSSD dimulai dari ruang dekontaminasi, ruang
pengemasan alat, ruang produksi dan prossesing, ruang sterilisasi, dan ruang
penyimpanan barang steril (Depkes RI, 2009).
2.5.2

Pelayanan CSSD

Instalasi pusat sterilisasi melayani semua unit di rumah sakit yang
membutuhkan kondisi steril. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari pusat
sterilisasi selalu berhubungan dengan:








Bagian Laundry
Instalasi Pemeliharaan Sarana
Instalasi Farmasi
Sanitasi



Perlangkapan/ Logistik



Rawat Inap, Rawat Jalan, IGD, OK, dll.

2.5.3

Alur Kerja

Alur kerja yaitu urutan-urutan dalam memproses alat/ bahan. Alur kerja
dibuat sedemikian rupa sehingga:
a. Pekerjaan daoat efektif dan efisien.
b. Menghindari terjadinya kontaminasi silang sehingga daerah bersih dan kotor
hendaknya terpisah.
c. Jarak yang ditempuh pekerja sependek mungkin dan tidak bolak-balik.
d. Memudahkan dalam pemantauan.

Gambar 2.4 Alur Kerja
2.6

Instalasi Gas Medis
Definisi istilah mengenai gas medis dan instalasinya terdapat dalam pasal 1

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1439/Menkes/SK/XI/2002
tentang penggunaan gas medis pada sarana pelayanan kesehatan. Dalam pasal ini
disebutkan bahwa :
a. Gas medis adalah gas dengan spesifikasi khusus yang dipergunakan untuk
pelayanan medis pada sarana kesehatan
b. Instalasi Pipa Gas Medis adalah seperangkat prasarana perpipaan beserta
peralatan yang menyediakan gas medis tertentu yang dibutuhkan untuk
menyalurkan gas medis ketitik outlet diruang tindakan dan perawatan
c. Sentral gas medis adalah seperangkat prasarana beserta peralatan dan atau
tabung gas/liquid yang menyimpan beberapa gas medis tertentu yang dapat
disalurkan melalui pipa instalasi gas medis
d.

Instalasi Gas Medis selanjutnya disingkat (IGM) adalah seperangkat sentral
gas medis, instalasi pipa gas medis sampai outlet.
Berdasarkan definisi istilah diatas maka dapat disimpulkan bahwa gas
medis maupun instalasinya harus memiliki spesifikasi yang khusus atau
memiliki standar-standar keamanan yang lebih tinggi dari gas maupun
instalasi gas lainnya. Hal ini disebabkan karena penggunaan dan penyaluran
gas medis di sarana pelayanan kesehatan digunakan untuk tujuan pelayanan
kesehatan.

2.6.1

Jenis gas medis
Sesuai dengan SK MenKes No. 1439/Menkes/SK/XI/2002 tentang

penggunaan gas medis pada sarana pelayanan kesehatan antara lain:
-

Gas Oksigen (tabung 1m3, 2m3, 6m3)

-

Oksigen cair (tangki)

-

Gas N2O (tabung 25 kg)

-

Gas CO2

-

Udara Tekan (UT)

-

Siklopropana (C3H6)

-

Helium

-

Vaccum (suction)

-

Mixture gas yang terdiri dari O2 + N2 ; O2 + CO2 ;He + O2 ; N2O + O2 + N2.

2.6.2

Penyimpanan gas medis
Sesuai

dengan

Surat

Keputusan

Menteri

Kesehatan

No.

1439/Menkes/SK/XI/2002, penyimpanan gas medis harus memenuhi syarat
penyimpanan gas medis, yaitu :
a. Tabung-tabung gas harus disimpan berdiri, dipasang penutup kran dan
dilengkapi tali pengaman untuk menghindari jatuh pada saat terjadi goncangan
b. Lokasi penyimpanan harus khusu dan masing-masing gas medis dibedakan
tempatnya
c. Penyimpanan tabung gas medis yang berisi dan tabung gas medis yang kosong
dipisahkan untuk memudahkan pemeriksaan dan penggantian
d. Lokasi penyimpanan diusahakan jauh dari sumber panas, listrik dan oli atau
sejenisnya
e. Gas medis yang sudah cukup lama disimpan, agar dilakukan uji atau tes
kepada produsen untuk mengetahui kondisi gas medis tersebut.
2.6.3

Pendistribusian gas medis
Sesuai

dengan

Surat

Keputusan

Menteri

Kesehatan

No.

1439/Menkes/SK/XI/2002, distribusi gas medis dalam pelayahanan kesehatan di

rumah sakit adalah sebagai berikut :
a. Distribusi gas medis dilayani dengan menggunakan troli yang biasanya
ditempatkan dekat dengan pasien
b.

Pemakaian gas diatur melalui flowmeter pada regulator, regulator harus dites
dan dikalibrasi

c.

Penggunaan gas medis sistem tabung hanya bisa dilakukan 1 tabung
untuk 1 orang

d.

Tabung gas beserta troly harus bersih dan memenuhi syarat sanitasi
(higienis) (Depkes RI, 2002).