Pertanggung Jawaban Korporasi Terhadap Kebakaran Hutan Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Hukum Lingkungan(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan No. 228 Pid.Sus 2013 Pn.Plw)

BAB II
PENGATURAN TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI
DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

Bab ini akan membahas mengenai pengaturan tentang pertanggung jawaban
korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup. Seperti diketahui bahwa tindak
pidana biasanya dilakukan oleh perseorangan (inpersoon), atau dengan kata lain,
tindak pidana biasanya dilakukan oleh manusia. Akan tetapi, seiring dengan
perkembangan zaman sekarang ini telah dikenal pertanggung jawaban korporasi yaitu
pertanggung jawaban bagi badan hukum (korporasi) yang telah melakukan
pelanggaran hukum, dalam hal ini hukum lingkungan hidup sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.

A.

Ketentuan Hukum Pertanggung Jawaban Korporasi
1.

Pengertian Kejahatan Korporasi


Kejahatan bukan merupakan peristiwa hereditas (bawaan sejak lahir, warisan),
juga bukan merupakan warisan biologis. Tindak kejahatan bisa dilakukan siapapun,
baik wanita maupun pria, dengan tingkat pendidikan yang berbeda. Tindak kejahatan
bisa dilakukan tertentu secara sadar benar. Kejahatan merupakan suatu konsepsi yang
bersifat abstrak, dimana kejahatan tidak dapat diraba dan dilihat kecuali akibatnya
saja. 62

62

Kartini Kartono, Patologi Sosial, (Jakarta ; Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 125-126.

46
Universitas Sumatera Utara

Secara sosiologis, kejahatan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan, dan
tingkah laku yang secara ekonomis, politis dan sosial psikologis sangat merugikan
masyarakat, melanggar norma-norma susila, dan menyerang keselamatan warga
masyarakat (baik yang telah tercakup dalam undang-undang, maupun yang belum
tercantum). 63
Kejahatan (rechtdelicten) menurut Memorie van Toelichting (M.v.T) yaitu

perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan
pidana, telah dirasakan sebagai onrecht sebagai perbuatan yang bertentangan dengan
tata hukum. 64 Menurut M.A. Elliot, kejahatan adalah problem dalam masyarakat
modern atau tingkah laku yang gagal dan melanggar hukum dan dapat dijatuhi
hukuman yang bisa berupa hukuman penjara, hukuman mati, hukuman denda, dan
lain-lain. 65
Pengertian korporasi menurut Rochmat Soemitro adalah suatu badan yang
dapat mempunyai harta, hak, serta berkewajiban seperti seorang pribadi. 66 Menurut
Satjipto Rahardjo, korporasi adalah badan hasil ciptaan hukum yang terdiri dari
corpus, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya unsur memasukkan unsure

63
64

Ibid., hal. 126.
Moejiatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada, 1987), hal.

71.
65


M.A. Elliot dalam Hari Saherodji, Pokok-Pokok Kriminologi, (Jakarta : Aksara Baru, 1995),

hal. 14.
66

R. Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, (Bandung : Eresco,
1993), hal. 159, menjelaskan tentang Korporasi sudah dikenal sejak tahun 1882, penjelasan lengkap,
sebagai berikut : “Yayasan sebagai badan hukum telah diterima dalam suatu yurisprudensi tahun 1882.
Hoge Raad yang merupakan badan peradilan tertinggi di negeri Belanda bependirian bahwa Yayasan
sebagai badan hukum adalah sah menurut hukum dan karenanya dapat didirikan. Pendapat Hoge Rad
ini diikuti oleh Hooggerechtshof di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) dalam putusannya dari tahun
1884. Sejak tahun 1956 Nederland sudah mengubah dasar hukumnya (Burgerlijk Wetboek)-nya bahkan
untuk Yayasan sudah terdapat ketentuan khusus dalam BW-nya yakni Wet op Stichtingen Stb. No.
327”.

Universitas Sumatera Utara

animusyang membuat badan mempunyai kepribadian. 67 Oleh karena badan hukum itu
merupakan ciptaan hukum, maka oleh penciptanya, kematiannya ditentukan oleh
hukum.

Menurut Henry Campbell Black dalam kamus Black’s Law Dictionary
mengartikannya “Coporation is an artificial or legal created by or under the
authority of the laws of state or nation, composed, in some rar instances, of a single
person an his successors, being incumbents of a particular office, but ordinarily
consisting of an association of numerous individuals”, 68 yang dalam terjemahannya
adalah sebagai berikut “Korporasi adalah suatu yang disahkan tiruan yang diciptakan
oleh atau dibawah wewenang hukum suatu negara atau bangsa, yang terdiri, dalam
beberapa kejadian, tentang orang tunggal adalah seorang pengganti, menjadi pejabat
kantor tertentu, tetapi biasanya terdiri dari suatu asosiasi banyak individu”.
Kejahatan korporasi menurut Marshall B. Clinard dan Peter C Yeager adalah
setiap tindakan korporasi yang bias, dimana diberi hukuman oleh Negara, entah
dibawah hukum administrasi Negara, hukum perdata, atau hukum pidana.

69

Kejahatan korporasi merupakan bagian dari kejahatan kerah putih, namun lebih
spesifik merupakan kejahatan terorganisasi dalam hubungan yang kompleks dan
mendalam antara seorang pimpinan eksekutif dan manager dalam suatu tangan. Dapat

67


Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Cet. Ke-1, (Jakarta :
Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 23-24. Lihat pula : Lu Sudirman dan Feronica,
“Pembuktian Pertanggungjawaban Pidana Lingkungan dan Korupsi Korporasi di Indonesia dan
Singapura dalam Mimbar Hukum, Vol. 23, No. 2, Juni 2011, hal. 295.
68
Henry Campbell Black, Richard A. Garner (Ed.), Black’s Law Dictionary, Op.cit., hal.
1032.
69
Marshall B. Clinard dan Peter C. Yeager, dalam H. Setiyono, Kejahatan Korporasi Analisis
Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Malang :
Bayumedia Publishing, 2005), hal. 3.

Universitas Sumatera Utara

juga berbentuk sebagai perusahaan keluarga, namun tetap dalam kejahatan kerah
putih. 70
Menurut Henry Campbell Black dalam kamus Black’s Law Dictionary
menyebutkan “Corporate Crime is any criminal offense committed by and hence
chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees (e.g.

price fixing, toxic waste dumping), often referred to as “white collar crime”, 71 yang
dalam terjemahannya yaitu : Kejahatan korporasi adalah segala tindak pidana yang
dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan kepada sebuah korporasi karena
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pegawai dan karyawannya (contohnya :
Penetapan harga, pembuangan limbah), sering dikenal sebagai kejahatan kerah putih.
Kejahatan korporasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh para karyawan atau
pekerja terhadap korporasi, korporasi yang sengaja dibentuk dan dikendalikan untuk
melakukan kejahatan. 72 Pada awalnya korporasiatau badan hukum (rechtpersoon)
adalah subjek yang hanya dikenal di dalam hukum perdata. 73 Apa yang dinamakan

70

Sally S. Simpson, Corporate Crime, Law, and Social Control, (United Kingdom :
Cambridge University Press, 2002), hal. 6, menjelaskan bahwa : “Kejahatan korporasi atau
corporation crime adalah salah satu bentuk dari white collar crime atau kejahatan kerahputih. Edwin
Sutherland sebagaimana dikutip dari Sally S. Simpson, merupakan orang yang memperkenalkan
konsep perbuatan kriminal yang dilakukan oleh seseorang dalam status sosial yang tinggi serta
menggunakan posisi dari jabatannya untuk melanggar hukum. Sebagai sub-kategori dari white collar
crime, terdapat banyak definisi dari kejahatan korporasi. Salah satunya dikemukakan oleh Braithwaite
sebagaimana dikutip dari Simpson, yang mengatakan bahwa kejahatan korporasi adalah “conduct of

corporation, or of employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by
law”.
71
Henry Campbell Black, Richard A. Garner (Ed.), Black’s Law Dictionary, Op.cit., hal.
1121.
72
Ningrum Natasya Sirait, “Pidana Korporasi dan Persoalan Hukumnya”, Universitas
Sumatera Utara, Medan, 2013, hal. 16.
73
Muladi dan Dwija Prijatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana,
(Bandung : Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 1991), hal. 14, menyatakan bahwa : “Corporatio
(korporasi; perseroan) adalah suatu kesatuan menurut hukum atau suatu badan susila yang diciptakan
menurut undang-undang sesuatu negara untuk menjalankan sauatu usaha atau aktivitas atau kegiatan
lainnya yang sah. Badan ini dapat dibentuk untuk selama-lamanya atau untuk sesuatu jangka waktu

Universitas Sumatera Utara

badan hukum itu sebenarnya adalah ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada
adanya suatu badan yang diberi status sebagai subjek hukum, di samping subjek
hukum yang berwujud manusia alamiah (natuurlijk persoon). 74 Dengan berjalannya

waktu, pesatnya pertumbuhan ekonomi dunia yang mengarah ke globalisasi dimana
memberikan

peluang

yang

besar

akan

tumbuhnya

perusahaan-perusahaan

transnasional, maka peran dari korporasi makin sering dirasakan bahkan banyak
mempengaruhi sektor-sektor kehidupan manusia.
Pada tahun 1984, terjadi suatu tragedi yang menggemparkan dunia dimana
terjadi bencana kimiawi akibat kebocoran gas pada pabrik milik Unicon Carbide
India Limited, di BhopalIndia. Tragedi tersebut dikenal dengan Tragedi Bhopal,

kejadian tersebut terjadi akibat buruknya sistem pengamanan dan tindakan
penghematan biaya yang berlebihan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Efek
dari peristiwa tersebut dapat dirasakan hingga 20 tahun. Tragedi Bhopal hanyalah
sebagian kecil dari peristiwa yang diakibat oleh kegiatan korporasi di dunia ini.
Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan dampak negatif dari kegiatan
korporasi. Di Indonesia mungkin peristiwa yang masih hangat yaitu peristiwa
munculnya sumber lumpur di Sidoarjo yang diindikasikan disebabkan oleh kegiatan
pengeboran yang tidak memenuhi standar dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas.
Akibat peristiwa tersebut ribuan orang kehilangan tempat tinggal akibat terendam

terbatas, mempunyai nama dan identitas yang dengan nama dan identitas itu dapat dituntut dimuka
pengadilan, dan berhak akan mengadakan suatu persetujuan menurut kontrak dan melaksanakannya
menurut kontrak dan melaksanakan semua fungsi lainnya yang seseorang dapat melaksanakannya
menurut undang-undang suatu negara . Pada umumnya suatu corporation dapat merupakan suatu
organisasi pemerintah, setengah pemerintah atau partikelir”.
74
CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka,
2002), hal. 216.

Universitas Sumatera Utara


lumpur, belum lagi industri-industri disekitar semburan lumpur yang harus tutup
akibat tidak bisa berproduksi yang mengakibatkan ribuan orang kehilangan
pekerjaannya. 75
Akibat semakin dirasakannya dampat negatif yang disebabkan oleh kegiatan
korporasi, maka negara-negara maju khususnya yang perekonomiannya baik mulai
mencari cara untuk bisa meminimalisir atau mencegah dampak tersebut salah satunya
dengan menggunakan istrumen hukum pidana (bagian dari hukum publik).
Sebenarnya kejahatan korporasi(corporate crime) sudah dikenal lama dalam ilmu
kriminologi. Di kriminologi sendiri,corporate crimemerupakan bagian dari kejahatan
kerah putih (white collar crime). White Collar Crime sendiri diperkenalkan oleh
pakar kriminologi terkenal yaitu E.H. Sutherland (1883-1950) dalam pidato
bersejarahnya yang dipresentasikan “...at the thirty-fourth annual meeting of the
American Sociological Society ini Philadelphia on 27 December 1939”. Semenjak itu
banyak pakar hukum maupun kriminologi mengembangkan konsep tersebut. 76
Dalam perjalanannya pemikiran mengenai corporate crime, banyak
menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum khususnya hukum pidana. Di
hukum pidana, ada doktrin yang berkembang yaitu doktrin ''universitas delinquere
non potest'' (korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana), ini dipengaruhi
pemikiran, bahwa keberadaan korporasi di dalam hukum pidana hanyalah

fiksi hukumyang tidak mempunyai mind, sehingga tidak mempunyai suatu nilai moral
yang disyaratkan untuk dapat dipersalahkan secara pidana (unsur kesalahan). Padahal,
75

Ali Azhar Akbar, Konspirasi Dibalik Lumpur Lapindo, (Jakarta : Galangpress, 2007), hal.

76

Ningrum Natasya Sirait, Op.cit., hal. 14.

34.

Universitas Sumatera Utara

dalam suatu delik/tindak pidana mensyaratkan adanya kesalahan (mens rea) selain
adanya perbuatan (actus reus) atau dikenal dengan “actus non facit reum, nisi mens
sit rea”. 77
Namun, masalah ini sebenarnya tidak menjadi masalah oleh kalangan yang
pro terhadap pemikiran corporate crime. MenurutMardjono Reksodiputro, ada dua
hal yang harus diperhatikan dalam menentukan tindak pidana korporasi yaitu,
pertama tentang perbuatan pengurus (atau orang lain) yang harus dikonstruksikan
sebagai perbuatan korporasi dan kedua tentang kesalahan pada korporasi. Menurut
pendapat dia, hal yang pertama untuk dapat dikonstruksikan suatu perbuatan
pengurus adalah juga perbuatan korporasi maka digunakanlah “asas identifikasi” .
Dengan asas tersebut maka perbuatan pengurus atau pegawai suatu korporasi,
diidentifikasikan (dipersamakan) dengan perbuatan korporasi itu sendiri. Untuk hal
yang kedua, memang selama ini dalam ilmu hukum pidana gambaran tentang pelaku
tindak pidana masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan
oleh pembuat (fysieke dader), namun hal ini dapat diatasi dengan ajaran “pelaku
fungsional”(functionele dader) . Dengan kita dapat membuktikan bahwa perbuatan
pengurus atau pegawai korporasi itu dalam lalu lintas bermasyarakat berlaku sebagai
perbuatan korporasi yang bersangkutan, maka kesalahan (dolus atau culpa) mereka
harus dianggap sebagai kesalahan korporasi. 78

77

Actus Reus adalah tindakan nyata, baik seluruh atau sebagian dalam peristiwa pidana. Actus
reus adalah menyangkut perbuatan yang melawan hukum (unlawfull act). Teori ini pertama kali
dikembangkan dalam sistem hukum common law di Inggris. Sumber : Rocky Marbun, et.al., Kamus
Hukum Lengkap, Cet. Ke-1, (Jakarta : Visimedia, 2012), hal. 7.
78
Mardjono Reksodiputro, “Tindak Pidana Korporasi dan Pertanggungjawabannya Perubahan
Wajah Pelaku Kejahatan di Indonesia”, Makalah disampaikan pada Pidato Dies PTIK, Jakarta, 2014,
hal. 6-7.

Universitas Sumatera Utara

Di negara-negara Common Law System, seperti Amerika, Inggris, dan Kanada,
upaya untuk membebankan pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate
criminal liability) sudah dilakukan pada saat Revolusi Industri. Menurut Remy
Sjahdeini ada dua ajaran pokok yang menjadi bagi pembenaran dibebankannya
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran tersebut adalah doctrine
of strict liability dan “doctrine of vicarious liability”. Berdasarkan ajaran strict
liability pelaku tindak pidana dapat diminta pertanggungjawabannya tanpa
disyaratkannya adanya kesalahan, sedangkan menurut ajaran vicarious liability
dimungkinkan adanya pembebanan pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana
yang dilakukan, misalnya oleh A kepada B. 79
Berdasarkan bentuk kejahatan sosio-ekonomi yang memiliki tipe dan
karakteristik yang berbeda dengan kejahatan konvensional pada umumnya, maka
ruang lingkup kejahatan korporasi yang dikutip dari tulisan Steven Box adalah
sebagai berikut 80 :
1. “Crimes for corporation yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna
memperoleh keuntungan.
2. Criminal corporation yakni korporasi yang bertujuan semata-mata untuk
melakukan kejahatan. (dalam hal ini korporasi hanya sebagai kedok dari
suatu organisasi kejahatan).
3. Crimes against corporation yakni kejahatan-kejahatan terhadap korporasi
seperti pencurian atau penggelapan milik korporasi, dalam hal ini
korporasi sebagai korban”.

79

Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta : Grafiti Pers,
2006), hal. 78-80.
80
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan
Korporasi, (Jakarta : Sofmedia, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Karakteristik dari sebuah organisasi juga disebutkan oleh Dan Cohen ,
yaitu :“A very complete description of the characteristics of an organization is
provided by Dan Cohen who finds that an organization possesses functional
structures, it is permanent, large, formal, complex and goal oriented, and has
decision making structures”. 81

Berdasarkan pendapat diatas, gambaran lengkap tentang suatu organisasi
menurut Dan Cohen adalah memiliki struktur fungsi, bersifat permanen, resmi,
memiliki tujuan dan pelaksanaan tujuan.Eratnya keterkaitan antara hukum pidana,
persaingan usaha dan korporasi menyebabkan pengaturan korporasi sebagai subjek
hukum pidana mengalami perkembangan khususnya dalam tindak pidana persaingan
usaha tidak sehat.Pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana selanjutnya
diperdebatkan kemampuannya dalam bertanggung jawab terhadap kejahatan yang
diperbuatnya.

2.

Korporasi Sebagai Subjek Hukum
Korporasi di dalam KUH Pid yang digunakan saat ini belum mencantumkan

korporasi sebagai subjek hukum yang dapat diminta pertanggungjawabannya, akan
tetapi di dalam RUU KUHP 2012 disebutkan : “Korporasi merupakan subjek tindak
pidana”.
Korporasi yang pada awalnya hanya menjadi subjek hukum dalam hukum
perdata, kini juga dibahas dan dirancang sebagai subjek hukum dalam hukum pidana.
81

Jennifer A. Quaid, “The Assessment of Corporate Criminal Liability on the Basis of
Corporate Identity: An Analysis”,Mcgill Law Journal, Montreal, Canada, 1998, hal. 79.

Universitas Sumatera Utara

Ada beberapa sarjana yang menyatakan bahwa korporasi tidak dapat dijadikan subjek
hukum pidana dengan alasan sebagai berikut 82 :
1. “Menyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan
kesalahan yang terdapat pada persona alamiah.
2. Bahwa yang merupakan tingkah laku materiil, yang merupakan syarat
dapat dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya dapat
dilaksanakan oleh persona alamiah (mencuri barang, menganiaya orang,
perkosaan dan sebagainya ; “selain itu juga disebutkan dalam buku Barda
Nawawi dalam perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan
oleh korporasi, misal : bigami, perkosaan, sumpah palsu”. 83
3. Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang,
tidak dapat dikenakan pada korporasi, “hal ini juga disebutkan Barda
Nawawi dalam bukunya, yaitu dalam perkara yang satu-satunya pidana
yang dapat dikenakan tidak mungkin dikenakan kepada korporasi, missal
pidana penjara atau pidana mati”. 84
4. Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya
mungkin menimpa pada orang yang tidak bersalah.
5. Bahwa di dalam praktik tidak mudah untuk menentukan norma-norma atas
dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu
sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana”.

Sedangkan sarjana yang setuju menempatkan korporasi sebagai subjek hukum
pidana menyatakan :
1. “Mengingat di dalam kehidupan sosial ekonomi, korporasi semakin
memainkan perananan yang penting pula. 85
2. Hukum pidana harus mempunyai fungsi di dalam masyarakat dan
menegakkan norma dan ketentuan yang ada dalam masyarakat. 86

82

H. Setiyono, Op.cit., hal. 10.
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2010),
hal. 45-46.
84
Ibid.
85
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.cit., hal. 18.
86
Ibid.
83

Universitas Sumatera Utara

3. Dipidananya korporasi dengan ancaman pemidanaan adalah salah satu
upaya untuk menghindari tindakan pemidanaan terhadap para pegawai itu
sendiri. 87
4. Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan
represif terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu
korporasi. Karenanya diperlukan pula untuk dimungkinkan memidana
korporasi, atau pengurus saja”. 88

Subjek hukum yang dirumuskan oleh Soenawar Soekowati yaitu manusia
yang berkepribadian hukum (legal personality) dan segala sesuatu yang berdasarkan
tuntutan kebutuhan masyarakat oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan
kewajiban. 89 Menurut Achmad Ichsan, subjek hukum adalah pembawa hak dan
kewajiban (dragger van rechten en plichten). 90
Menurut Ridwan Syahrani membedakan badan hukum dari segi wujudnya,
yaitu 91 :
1. “Korporasi (corporatie) adalah gabungan (kumpulan) orang-orang dalam
pergaulan hukum, bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek hukum
tersendiri, karena itu korporasi itu merupakan badan yang beranggota.
Akan tetapi mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban para
anggotanya, misalnya Perusahaan Terbatas (PT).
2. Yayasan (stichting) adalah harta kekayaan yang ditersendirikan untuk
tujuan tertentu, jadi pada yayasan tidak ada anggota, yang ada hanyalah
pengurusnya”.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menjadi subjek
hukum adalah orang atau manusia saja, hal ini terlihat dari bunyi Pasal 59 KUHP,
87

Muladi dan Dwija Priyatno, Op.cit., hal. 47.
Ibid.
89
Soenawar Soekowati dalam Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni,Bandung, 1987, hlm. 7.
90
Achmad Ichsan, Dunia Usaha Indonesia Segi Hukum, Segi Manajemen, Struktur/Bentuk
Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986,hlm. 34.
88

Universitas Sumatera Utara

yaitu : “Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap
pengurus, anggota-anggota dan pengurus atau komisaris-komisaris, yang ternyata
tidak ikut campur melakukan pelanggaran tindak pidana”.
RUU KUHP 2012 mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi,
dengan demikian, maka kejahatan korporasi (corporate crime) dapat dikenakan
pertanggungjawaban pidan dan merupakan subjek tindak pidana. Kejahatan korporasi
adalah tindakan kriminal yang dilakukan oleh seseorang atas nama perusahaan, maka
perusahaannya yang harus memikul resiko. 92 Adapun korporasi adalah kumpulan
terorganisasi dari orang dan atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun
bukan badan hukum. 93
Mengenai pertanggung jawaban korporasi, Braithwaite mengemukakan :
“….is defined here as any act punishable by the state, regardless of whether it is
punished by administrative or civil law, more specifically, corporate crime has been
defined as the conduct of corporation, or individual acting on behalf of the
corporation, that is proscribed by law”. 94
Korporasi selaku subjek hokum dapat dikenakan sanksi secara administratif,
hukum perdata, maupun hukum pidana, dan korporasi bertanggung jawab atas

92

I.P.M. Ranuhandoko, Terminologi Hukum Inggris Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 1996),

hal. 176.
93

Korporasi selaku subjek tindak pidana diatur dalam beberapa undang-undang tindak pidana
khusus, misalnya dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang
No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001, dan
Undang-Undang No.15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No.25 Tahun 2003.
94
Braithwaite, Enforced Self Regulation : a new strategy for corporate crime control,
Michigan Law Review 80, 1982, hlm. 1466-1507 dalam Marshal B. Clinard, Corporate Ethics and
Crime The Role of Middle Management, (England : Sage Publication, 1983), hal. 10.

Universitas Sumatera Utara

perbuatan yang dilakukan oleh anggogatanya yang berhubungan dengan ruang
lingkup kerjanya. Menurut Muladi dan Dwidja Priyatno, sanksi yang dapat dijatuhkan
kepada korporasi sebagai pelaku tindak pidana adalah 95 :
1. “Pidana Denda;
2. Pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim;
3. Pidana tambahan berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan,
tindakan administratif berupa pencabutan seluruhnya atau sebagian
fasilitas tertentu yang telah atau dapat diperoleh oleh perusahaan dan
tindakan tata tertib berupa penempatan perusahaan di bawah pengampuan
yang berwajib;
4. Sanksi perdata (ganti kerugian)”.

Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan pada
korporasi, kecuali pidana mati dan pidana penjara.

96

Undang-undang yang

menyatakan korporasi sebagai subjek tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan antara lain:
1. Undang-Undang Drt No.7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi.
2. Undang-Undang No.6 Tahun 1984 tentang Pos.
3. Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
4. Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
5. Undang-Undang No.5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.
6. Undang-Undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

95

Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, (STH
Bandung, 1991), hal. 113.
96
Muladi, Prinsip-prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan Dalam Kaitannya Dengan UU
Nomor 23 Tahun 1997, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, vol. 1/No.1, Aspekhupiki, Bandung,
1998, hlm. 9.

Universitas Sumatera Utara

7. Undang-Undang No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
8. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
9. Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
10. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

3.

Teori atau Ajaran Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana juga memerlukan kajian

yang mendalam terhadap kesengajaan dan kealpaan pada korporasi, yaitu sebagai
berikut :
1.

Kesengajaan dan Kealpaan Pada Korporasi
Sangat sulit untuk menentukan unsur kesalahan dalam tindak pidana korporasi

dan mempertahankan asas tiada pidana tanpa kesalahan (green straf zonder schuld)
khususnya masalah kesengajaan dan kealpaan korporasi.Menurut Remmelik, bahwa
pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota direksi dapat dianggap sebagai
kesengajaan badan hukum itu apabila mungkin sebagai kesengajaan bersyarat dan
bahwa kesalahan ringan dari setiap orang yang bertindak untuk korporasi itu, apabila
dikumpulkan akan dapat merupakan kesalahan besar dari korporasi itu sendiri. 97
Menurut Daniela Holler Branco, menyatakan bahwa 98 :

97

Muladi dan Dwija Priyatno, Op.cit., hal. 126.
Daniela Holler Branco, Towards a New Paradigm for Corporate Criminal Liability in
Brazil : Lessons From Common Law Development, University of Saskatchewan.
98

Universitas Sumatera Utara

“Ascriptions of criminal liability require that the agent had acted intending to
do wrong, or in a reckless or negligent way. The maxim actus non facit reum
nisi mens sit rea which can be translated as an act is not criminal in the
absence of a guilty mind is a distinctive feature of criminal law. There are
only few exceptions to this principle, usually statutory offences and often in
the field of regulatory offences. It prevails in both common law and civil law
legal systems that to characterize an offence, mens rea must bepresent and
contemporanous to the actus reus. Accordingly, in order to attribute criminal
liability to a corporate entity corporate mens rea must be found”.

Sulitnya mengetahui dan menentukan kapan suatu korporasi melakukan
kesengajaan kelalaian menyebabkan asas tiada pidana tanpa kesalahan tidak dapat
berlaku mutlak terhadap korporasi. Ketika sebuah korporasi, pengurusnya melakukan
rapat-rapat, maka di dalam rapat tersebut diketahui dan dikehendaki adanya
pembakaran hutan. Selanjutnya, di dalam rapat pasti ada notulen rapat yang dapat
dijadikan sebagai bukti tentang siapa-siapa saja yang mengajukan rencana
pembakaran hutan, siapa yang tidak setuju juga akan kelihatan. Oleh karena itu, di
dalam sebuah rapat korporasi jelas dipimpin oleh seorang pimpinan rapat, sehingga
diketahui directing mind siapayang mengajukan rencana pembakaran hutan.

2.

Alasan Penghapusan Pidana Korporasi
Seperti

halnya

subjek

hukum

alamiah

(natuurlijk

person),

badan

hukum/korporasi juga memiliki alasan penghapusan pidana sebagai konsekuensi
diterimanya asas kesalahan pada korporasi. Korporasi sebagai subjek hukum pidana
pada dasarnya dapat menunjuk alasan-alasan penghapusan pidana kecuali yang
berkaitan dengan keadaan kejiwaan tertentu (Pasal 44, Pasal 48 s/d 51 KUHP).Sesuai
dengan kemandirian (persoonlijk) alasan-alasan penghapus pidana harus dicari pada

Universitas Sumatera Utara

korporasi itu sendiri. Mungkin sekali terjadi pada diri seseorang terdapat alasan
penghapus pidana, tetapi tidak demikian halnya pada korporasi. 99
Vicarious liability adalah suatu pertanggung-jawaban pidana yang dibebankan
kepada seseorang atas perbuatan orang lain (the legal responsibility of one person for
the wrongful acts of another). 100 Menurut Barda Nawawi Arief, vicarious liability
adalah suatu konsep pertanggung-jawaban seseorang atas kesalahan yang dilakukan
oleh orang lain, seperti tindakan yang dilakukan yang masih berada dalam ruang
lingkup pekerjaannya (the legal responsibility of one person for wrongful acts of
another, as for example, when the acts are done within scope of employment). 101
Sutan Remy Sjahdeini menterjemahkan vicarious liability menjadi pertanggungjawaban vikarius atau pertanggung-jawaban pengganti. 102
Contoh kasus untuk vicarious liability, sebagai berikut 103 :
“X adalah seorang pemilik tempat menjual makanan dan minuman telah
melarang Y (manajer rumah makan/minum tersebut) untuk mengizinkan atau
menyediakan di tempat itu, tetapi Y telah melanggarnya. X tetap dapat
dituntut dan dipertanggungjawabkan. Dasar pertimbangannya antara lain
dikontstruksikan sebagai berikut : X telah mendelegasikan kewajibannya
kepada Y sebagai manajer. Ia telah melimpahkan pelaksanaan dari
kebijaksanaan tindakan di bidang perdagangan itu kepada manajer, ini berarti
hanya ada suatu kesimpulan yaitu bahwa pengetahuan si manager adlaah
pengetahuan dari si pemilik rumah makan/minum itu.
Lain halnya, jika misalnya X sebagai pemilik restoran telah menyatakan
kepada pelayannya Y, untuk tidak menjual minuman keras kepada orang-

99

Muladi dan Dwija Priyatno, Loc.cit., hal. 131.
Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta : Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1989), hal. 93.
101
Mahrus Ali, Asas-asas Hukum Pidana Korporasi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2013),
hal. 118.
102
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta : Grafiti Pers,
2006), hal. 84.
103
Dwidja Priyatno dan Muladi, Op.cit., hal. 113.
100

Universitas Sumatera Utara

orang yang tidak membeli makanan. Dalam hal Y, si pelayan, telah melanggar,
X tidak dapat dinyatakan bersalah atas pelanggaran uu”.

Berdasarkan uraian ahli-ahli hukum di atas dan ilustrasi contoh kasus tersebut,
maka alasan penghapusan pidana bagi korporasi hanya berlaku kepada orang yang
melarang perbuatan melawan hukum tersebut. Namun, pelarangan tersebut harus
dilihat lagi apakah melanggar hukum atau tidak, apabila tidak melanggar hukum,
maka orang yang melarang tidak akan dapat dimintai pertanggungjawabannya.
Dengan kata lain, hapuslah pidananya karena telah mengingatkan orang lain di dalam
suatu korporasi tersebut. Akan tetapi, apabila larangannya tersebut melanggar hukum,
malah dirinya-lah yang harus mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan dari
orang lain (vicarious liability) di dalam korporasi tersebut, malah orang yang
melakukan perbuatan melawan hukum tersebut tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya.
Kesimpulan yang dapat ditarik bahwa dalam menentukan ada atau tidak
adanya alasan penghapusan pidana pada korporasi tak selalu dapat dicari secara
terpisah antara perorangan dan korporasi. Dalam beberapa hal mungkin terjadi suatu
korporasi ternyata telah mengambil alih keadaan dalam diri perorangan. 104
Terhadap alasan pembenar dan pemaaf terdapat dalam Konsep Rancangan
KUHP Tahun 2004 Pasal 50 yang menyatakan : “Alasan pemaaf atau alasan
pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas
nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung
berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi”. Alasan pemaaf
104

Ibid., hal. 32.

Universitas Sumatera Utara

yang terdapat pada pelaku tindak pidana yang bertindak untuk dan atas nama
korporasi yang pertanggungjawabannya dibebankan kepada korporasi akan
meniadakan pertanggungjawaban pidana bagi pelakunya. Bagi korporasi alasan
pemaaf tersebut juga berlaku sepanjang hal itu diajukan terlebih dahulu oleh
korporasi.
Dalam pertanggungjawaban pidana korporasi ada dikenal beberapa teori atau
doktrin yaitu :
Identification Theory/Direct Liability Doctrine

1.

Doktrin pertanggungjawaban pidana langsung atau doktrin identifikasi adalah
salah satu teori yang digunakan sebagai pembenaran bagi pertanggungjawaban pidana
korporasi, meskipun korporasi bukanlah sesuatu yang dapat berdiri sendiri. Menurut
doktrin ini, perusahaan dapat melakukan tindak pidana secara langsung melalui
“pejabat

senior”

(senior

officer)

dan

diidentifikasi

sebagai

perbuatan

perusahaan/korporasi itu sendiri, dengan demikian maka perbuatan dipandang sebagai
perbuatan korporasi, sehingga pertanggungjawaban perusahaan tidak bersifat
pertanggungjawaban pribadi.
Teori ini disebut juga teori/doktrin “alter ego” atau “teori organ” 105 :
a. Arti sempit (Inggris) :
Hanya

perbuatan

pejabat

senior

(otak

korporasi)

yang

dapat

dipertanggungjawabkan kepada korporasi
b. Arti luas (Amerika Serikat) :

105

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2010),

hal. 132.

Universitas Sumatera Utara

Tidak hanya pejabat senior/direktur, tetapi juga agen dibawahnya.

2.

Doktrin Strict Liability
Doktrin Strict Liability disebut juga dengan pertanggungjawaban tanpa

kesalahan (no-fault liability or liability without fault) yaitu prinsip tanggung jawab
tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian)
pada pelakunya, cukuplah apabila dapat dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah
melakukan actus reus, yaitu melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan
pidana atau tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana.
Menurut Barda Nawawi Arief sering dipersoalkan, apakah strict liability itu
sama dengan absolute liability. Mengenai hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama
menyatakan, bahwa strict liability merupakan absolute liability. Alasan atau dasar
pemikirannya ialah, bahwa dalam perkara strict liability seseorang yang telah
melakukan perbuatan terlarang (actus reus) sebagaimana dirumuskan dalam undangundang sudah dapat dipidana tanpa mempersoalkan apakah si pelaku mempunyai
kesalahan (mens rea) atau tidak. Jadi sesorang yang sudah melakukan tindak pidana
menurut rumusan undang-undang harus/mutlak dapat dipidana. 106

3.

Doktrin Vicarious Liability
Doktrin ini didasarkan pada “employment principle”, yaitu bahwa majikan

(“employer”) adalah merupakan penanggungjawab utama dari perbuatan para
buruh/karyawan : jadi “the servant’s act is the master act in law”. Prinsip ini dikenal

106

Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Op.cit., hal. 45-46.

Universitas Sumatera Utara

juga dengan istilah the agency principle (the company is liable for the wrongful acts
of all its employees). 107
Ajaran ini diambil dari hukum perdata yang diterapkan pada hukum pidana,
yaitu tentang perbuatan melawan hukum (the law of tort), berdasarkan doctrine of
respondeat superior, dimana ada hubungan antara master dan servant atau antara
principal dan agent, berlaku maxim qui facit per alium per se, artinya seorang yang
berbuat melalui orang lain dianggap dia sendiri yang melakukan perbuatan itu.
Vicarious Liability sering diartikan “pertanggungjawaban menurut hukum
seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain” (the legal
responsibility of one person for the wrongful acts of another) 108 atau sering diartikan
“pertanggungjawaban pengganti”.
Menurut Remy Sjahdeini 109 bahwa kalangan ahli hukum dan para pembuat
undang-undang masih mencari-cari doktrin-doktrin lain. Dan untuk keperluan itu,
telah dikembangkan beberapa doktrin atau ajaran, yaitu Doctrin of Delegation,
Doctrine of Identification, Doctrine of Aggregation, The Corporate Culture Model
dan Relative Corporate Fault. 110
Apabila dibandingkan antara strict liability dan vicarious liability, maka jelas
tampak persamaan dan perbedaannya. Persamaannya yaitu, baik strict liability
maupun vicarious liability tidak mensyaratkan adanya mens rea atau unsur kesalahan
pada orang yang dituntut pidana.“in general, the process of judicial interpretation of

107

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op.cit., hal. 249.
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Op.cit., hal. 41.
109
Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit.,hal. 80-87.
110
Lebih jauh lihat :Ibid., hal. 97-117.

108

Universitas Sumatera Utara

the statutory objected to corporate liability being imposed only for regulatory
offences, especially those offences which did not require proof of mens rea or a
mental element”. 111
Yang mana pengertian dari kalimat diatas yaitu : pada umumnya penafsiran
hukum menurut undang-undang penjatuhan pertanggungjawaban pidana terhadap
korporasi hanya untuk pelanggaran yang khususnya tidak mensyaratkan mens rea
atau unsur kejiwaan.
Sedangkan yang menjadi perbedaan antara strict liability dengan vicarious
liability yaitu pertanggung jawaban pada strict liability bersifat langsung dikenakan
kepada pelakunya, akan tetapi pada vicarious liability, pertanggungjawaban
pidananya bersifat tidak langsung.

4.

Doctrine of Delegation
Atau sering juga disebut The Delegation Principle (prinsip pendelegasian)

merupakan

salah

satu

asas

pembenaran

untuk

dapat

membebankan

pertanggungjawaban pidana yang dilakukan pegawainya kepada korporasi. Menurut
doktrin ini, yang menjadi alasan agar dapat diberikan pertanggungjawaban pidana
kepada korporasi yaitu adanya pendelegasian kewenangan dari seseorang kepada
orang lain untuk melaksanakan kewenangan yang dimilikinya. 112
Sehingga oleh karenanya, “a guilty mind” dari buruh/karyawan dapat
dihubungkan kepada majikannya apabila ada pendelegasian kewenangan dan
111

Criminal Responsibility of Legal Persons in Common Law Jurisdiction, Paper prepared for
OECD Anti-Corruption Unit Working Group on Bribery in International Business transactions, Paris
4th October 2000, hal. 4 dari 10.
112
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.cit., hal. 63.

Universitas Sumatera Utara

kewajiban yang relevan (harus ada “a relevan delegation of powers and
duties”)menurut undang-undang. 113

5.

The Corporate Culture Model
Menurut doktrin/teori ini, korporasi dapat dipertanggungjawabkan dilihat dari

prosedur, sistem kerjanya, atau budanya (the procedures, operating systems, or
culture of a company). Oleh sebab itu, maka teori budaya ini sering juga disebut
teori/model sistem atau model organisasi (organizational or systems model). 114
Pendekatan model budaya kerja perusahaan memfokuskan pada kebijakan
korporasi yang tersurat dan tersirat, yang mempengaruhi cara korporasi melakukan
kegiatan usahanya. 115
Pertanggungjawaban pidana korporasi dapat dibebankan kepada korporasi,
apabila berhasil menemukan bahwa seseorang yang telah melakukan perbuatan
melanggar hukum memiliki dasar yang rasional untuk meyakini bahwa anggota
korporasi tersebut memiliki kewenangan, telah diberikan wewenang, atau
mengizinkan dilakukannya tindak pidana tersebut untuk kepentingan korporasi, maka
korporasi sebagai suatu keseluruhan adalah pihak yang harus juga bertanggungjawab
karena telah dilakukannya perbuatan yang melanggar hukum dan bukan orang yang
telah melakukan perbuatan itu saja yang harus bertanggungjawab. 116

113

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op.cit., hal. 250.
Ibid., hal. 251.
115
Ningrum Natasya Sirait, Op.cit., hal. 68.
116
Ibid., hal. 68.

114

Universitas Sumatera Utara

6.

Doctrine of Aggregation
Adalah doktrin yang mengkombinasikan kesalahan dari sejumlah orang secara

kolektif yang terikat kewenangan korporasi (struktur organisasi perusahaan),
bertindak dan atas nama, kepentingan, manfaat korporasi untuk diatributkan kepada
korporasi sehingga dapat dibebani pertanggungjawaban. 117
Menurut ajararn ini, semua perbuatan dan unsur mental dari berbagai orang
yang terkait secara relevan dalam lingkungan perusahaan dianggap seakan-akan
dilakukan oleh satu orang saja. 118
Kelemahan dari teori ini adalah : Tidak dapat digunakan ketika suatu tindak
pidana memerlukan pembuktian mengenai adanya kesalahan subjektif dan
mengabaikan realitas bahwa esensi riil dari suatu perbuatan yang salah mungkin saja
bukan berupa penyatuan dari suatu perbuatan yang salah, atau bukan berupa
penyatuan dari apa yang telah dilakukan oleh masing-masing orang, tetapi fakta
bahwa suatu perusahaan tidak memiliki struktur organisasi atau tidak memiliki
kebijakan untuk dapat mencegah seseorang dalam perusahaan itu melakukan
perbuatan yang secara kumulatif merupakan suatu tindak pidana. 119
Adapun keuntungan dari ajaran ini adalah : banyak kasus tidak mungkin untuk
mengisolasi seseorang yang telah melakukan tindak pidana, dengan memiliki mens
rea dalam melakukan tindak pidana itu, dari perusahaan tempat ia bekerja, maka

117

Ibid., hal. 67.
Ibid., hal. 67.
119
Ibid., hal. 67.
118

Universitas Sumatera Utara

ajaran ini mencegah perusahaan menyembunyikan dalam-dalam tanggungjawabnya
dalam struktur korporasi. 120

7.

Doctrine of Reactive Corporate Fault
Fisse dan Braithwaite menyatakan bahwa apabila actus reus dari suatu tindak

pidana terbukti dilakukan oleh atau atas nama korporasi, maka pengadilan sepanjang
telah dilengkapi dengan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan
untuk dapat mengeluarkan perintah yang bersangkutan, dapat meminta kepada
perusahaan untuk 121 :
a. “Melakukan penyelidikan sendiri mengenai siapa yang bertanggungjawab
di dalam organisasi perusahaan itu.
b. Untuk mengambil tindakan-tindakan disiplin terhadap mereka yang
bertanggungjawab.
c. Mengirimkan laporan yang merinci apa saja tindakan yang telah diambil
perusahaan”.

Apabila perusahaan memenuhi permintaan pengadilan dengan mengirimkan
laporan dan di dalam laporan itu dimuat apa saja langkah-langkah yang telah diambil
oleh perusahaan untuk mendisiplinkan mereka yang bertanggungjawab, maka
pertanggungjawaban pidana tidak akan dibebankan kepada korporasi yang
bersangkutan. 122
Apabila tanggapan dari korporasi terhadap pemerintah pengadilan dianggap
tidak memadai, maka perusahaan atau pimpinan perusahaan akan dibebani dengan

120

Ibid., hal. 68.
Ibid., hal. 69.
122
Ibid., hal. 69.

121

Universitas Sumatera Utara

pertanggungjawaban pidana atas kelalaian tidak memenuhi perintah pejabat
pemerintah. 123

B.

Tindak Pidana Lingkungan Hidup
1.

Pengertian Tindak Pidana dan Lingkungan Hidup
a.

Pengertian Tindak Pidana

Tindak Pidana dalam KUHP (Wetboek van Strafrecht)dikenal dengan istilah
strafbaar feit dan di dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering digunakan
istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang
mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. 124
Tindak pidana adalah merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian
dasar dalam istilah hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam
memberikan cirri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai
pengertian yang abstrak dari peristiwa hukum pidana, yang mempunyai pengertian
yang abstrak dari peristiwa-peristiwa kongkrit dalam lapangan hukum pidana,
sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan
dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam
kehidupan masyarakat. 125
Seperti yang telah diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana,Moeljatno,
yang memberikan pengertian tindak pidana atau yang menurut istilah beliau adalah

123

Ibid., hal. 69.
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1993), hal. 90.
125
Bambang Djatmo Kartonegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidana, (Jakarta : Balai Lektur
Mahasiswa, 1990), hal. 62.
124

Universitas Sumatera Utara

perbuatan pidana yaitu : “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang
siapa melanggar larangan tersebut”. 126
Sehingga, bila berdasarkan pendapat tersebut, maka pengertian dari tindak
pidana adalah bahwa perbuatan pidana ataupun tindak pidana senantiasa merupakan
suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan
yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana, yang mana
aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan, sedangkan ancamannya atau sanksi
pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan tersebut.Akan tetapi, haruslah
diingat bahwasanya aturan larangan dan ancaman mempunyai hubungan yang erat,
dan oleh karenanya antara kejadian dengan orang yang menimbulkan kejadian juga
mempunyai hubungan yang erat pula.
Bambang Poernomo berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan
pidana akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut :“Bahwa perbuatan pidana
adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam
dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”. 127
Dalam perumusan tersebut mengandung kalimat “aturan hukum pidana”
dimaksudkan akan memenuhi keadaan hukum di Indonesia yang masih mengenal
kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis, Bambang

126
127

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Bina Aksara, 1987), hal. 54.
Bambang Poernomo, Op.cit., hal. 130.

Universitas Sumatera Utara

Poernomojuga berpendapat mengenai kesimpulan dari perbuatan pidana yang
dinyatakan hanya menunjukkan sifat perbuatan terlarang dengan diancam pidana. 128
Adapun maksud dan tujuan diadakannya istilah tindak pidana, perbuatan
pidana, ataupun peristiwa hukum pidana dan sebagainya adalah untuk mengalihkan
bahasa asing dari istilah strafbaar feit, akan tetapi belum jelas apakah disamping
mengalihkan bahasa tersebut dimaksudkan untuk mengalihkan makna dan
pengertiannya, juga oleh karena sebagian besar kalangan ahli hukum belum jelas dan
terperinci menerangkan pengertian istilah ataukah sekedar mengalihkan bahasanya
saja, hal ini yang merupakan pokok perbedaan pandangan.Selain itu juga, di tengahtengah masyarakat juga dikenal istilah kejahatan yang menunjukkan pengertian
perbuatan melanggar norma dengan mendapat reaksi masyarakat melalui putusan
hakim agar dijatuhi pidana. 129
Tindak pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi
pidana

pada

orang

yang

telah

melakukan

perbuatan

pidana

atas

dasar

pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum
itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan
pidananya sendiri, yaitu berdasarkan asas legalitas (Principle of legality), azas yang
menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, atau dalam bahasa
latin dikenal sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik,
tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu), ucapan itu berasal dariAnselm von

128

Ibid., hal. 130
Bambang Djatmo Kartonegoro, Op.cit., hal. 30.

129

Universitas Sumatera Utara

Feuerbach, sarjana hukum pidana Jerman (1775-1833). Asas legalitas mengandung
3 (tiga) pengertian, yaitu 130 :
1. “Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal
itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi.
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut”.

Tindak pidana merupakan bagian dasar daripada suatu kesalahan yang
dilakukan seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi untuk adanya kesalahan
(schuld) hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang menimbulkan celaan,
haruslah berupa kesengajaan (dolus)atau kealpaan (culpa).Dikatakan bahwa dolus
dan culpa adalah bentuk schuld, sedangkan kesalahan (schuld) adalah

yang

menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang tersebut telah
melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum, sehingga atas
perbuatannya tersebut maka dia harus bertanggungjawab atas segala bentuk pidana
yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana telah terbukti benar bahwa
telah terjadinya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang, maka
dengan begitu dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan pasal yang
mengaturnya. 131
Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum
Belanda, yaitu : “strafbaar feit”, yang terdiri dari 3 (tiga) kata yaitu : straf, baar dan
feit. Adami Chazawi telah menginventarisir sejumlah istilah-istilah yang pernah

130

Moelyatno, Op.cit., hal. 25. Lihat juga : Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan
Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1998), hal. 36.
131
Bambang Djatmo Kartonegoro, Loc.cit., hal. 156.

Universitas Sumatera Utara

digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai
literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit, sebagai berikut 132:
1. “Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundangundangan pidana kita. Dalam beberapa peraturan perundang-undangan
menggunakan istilah tindak pidana, seperti UU No.31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No.20 Tahun
2001, dan perundang-undangan lainnya.
2. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya : R.
Tresna dalam bukunya “Azas-azas Hukum Pidana”, H.J. van
Schravendijk dalam bukunya “Pelajaran tentang Hukum Pidana
Indonesia”, A. Zainal Abidin dalam bukunya “Hukum Pidana”.
Pembentuk undang-undang juga pernah menggunakan istilah peristiwa
pidana, yaitu dalam UUDS 1950 [baca Pasal 14 ayat (1)].
3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin “delictum” juga
digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan
straftbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur,
misalnya E.Utrecht, walaupun beliau menggunakan istilah lain, yakni
peristiwa pidana (dalam buku “ Hukum Pidana I”. Moeljatno juga pernah
menggunakan istilah ini seperti pada judul buku “Delik-Delik Percobaan
Delik-Delik Penyertaan”, walaupun menurutnya lebih tepat dipergunakan
istilah perbuatan pidana.
4. Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku M.H. Tirtaamidjaja yang
be

Dokumen yang terkait

Pertanggung Jawaban atas Pemblokiran Rekening Nasabah Bank (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung No.43 K/Pdt.Sus/2013)

4 75 94

Pertanggung Jawaban Korporasi Terhadap Kebakaran Hutan Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Hukum Lingkungan(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan No. 228 Pid.Sus 2013 Pn.Plw)

0 0 18

Pertanggung Jawaban Korporasi Terhadap Kebakaran Hutan Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Hukum Lingkungan(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan No. 228 Pid.Sus 2013 Pn.Plw)

0 0 4

Pertanggung Jawaban Korporasi Terhadap Kebakaran Hutan Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Hukum Lingkungan(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan No. 228 Pid.Sus 2013 Pn.Plw)

0 0 44

Pertanggung Jawaban Korporasi Terhadap Kebakaran Hutan Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Hukum Lingkungan(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan No. 228 Pid.Sus 2013 Pn.Plw)

0 0 10

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Hal Terjadinya Kebakaran Lahan (Studi Putusan Nomor:228 Pid.Sus 2013 PN.PLW)

0 0 9

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Hal Terjadinya Kebakaran Lahan (Studi Putusan Nomor:228 Pid.Sus 2013 PN.PLW)

0 0 1

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Hal Terjadinya Kebakaran Lahan (Studi Putusan Nomor:228 Pid.Sus 2013 PN.PLW)

0 1 28

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Hal Terjadinya Kebakaran Lahan (Studi Putusan Nomor:228 Pid.Sus 2013 PN.PLW)

0 0 30

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Hal Terjadinya Kebakaran Lahan (Studi Putusan Nomor:228 Pid.Sus 2013 PN.PLW)

0 0 3