Analisis Persepsi Pemangku Kepentingan terhadap Pembiayaan HIV AIDS di Kota Pematangsiantar

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Persepsi
2.1.1. Pengertian Persepsi
Rakhmat (2005) menyatakan persepsi adalah pengalaman tentang objek,
peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi
dan menafsirkan pesan. Rivai (2008) menyatakan persepsi adalah proses dari
seseorang dalam memahami lingkungannya yang melibatkan pengorganisasian dan
penafsiran sebagai rangsangan dalam suatu pengalaman psikologi.
Menurut Gibson et al. (2003), bahwa persepsi mencakup penerimaan stimulus
(inputs), pengorganisasian stimulus dan penerjemahan atau penafsiran stimulus yang
telah diorganisasi dengan cara yang dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk
sikap, sehingga orang dapat cenderung menafsirkan perilaku orang lain sesuai dengan
keadaannya sendiri.
Menurut Robbins (2002) persepsi merupakan suatu proses dimana individuindividu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka untuk memberi
makna lingkungan mereka. Kesan indra atau objek yang dipersepsikan seseorang
dapat berasal dari luar maupun dari dalam individu itu sendiri. Menurut definisi
tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa persepsi merupakan suatu proses
penilaian, pengorganisasian dan penafsiran terhadap objek persepsi sehingga individu
menyadari dan mengerti objek persepsi tersebut.


Universitas Sumatera Utara

Pengertian persepsi seperti yang dikemukakan oleh Mar’at (1981), bahwa
persepsi merupakan proses pengamatan seseorang yang berasal dari komponen
kognisi dan persepsi itu juga dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman, proses
belajar, cakrawala dan pengetahuan. Jadi dapat disimpulkan bahwa persepsi
merupakan

proses

yang

dimulai

dari

diterimanya

suatu


rangsangan

(penginderaan=sensation) yang meliputi objek, kualitas, hubungan antar gejala,
maupun peristiwa; interpretasi terhadap rangsangan-rangsangan tersebut sampai
rangsangan itu disadari dan dimengerti. Oleh karena itu persepsi boleh dikatakan
sebagai interpretasi/penafsiran dari pengalaman (the interpretation of experience) dan
persepsi terjadi sesudah penginderaan.
Pada hakekatnya sikap adalah merupakan suatu interelasi dari berbagai
komponen, dimana komponen-komponen tersebut menurut Allport (dalam Mar'at,
1991) ada tiga yaitu:
1.Komponen kognitif
Komponen yang tersusun atas dasar pengetahuan atau informasi yang dimiliki
seseorang tentang obyek sikapnya. Dari pengetahuan ini kemudian akan terbentuk
suatu keyakinan tertentu tentang obyek sikap tersebut.
2.Komponen Afektif
Komponen afektif berhubungan dengan rasa senang dan tidak senang. Jadi
sifatnya evaluatif yang berhubungan erat dengan nilai-nilai kebudayaan atau sistem
nilai yang dimilikinya.


Universitas Sumatera Utara

3.Komponen Konatif
Komponen konatif merupakan kesiapan seseorang untuk bertingkah laku yang
berhubungan dengan obyek sikapnya.
Baron dan Byrne, juga Myers (dalam Gerungan, 1996) menyatakan bahwa
sikap terbentuk melalui tiga komponen struktur sikap, yaitu:
1) Komponen kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen yang berkaitan
dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan
dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap objek sikap.
2) Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang berhubungan
dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang
merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang
negatif.
3) Komponen konatif (komponen perilaku, atau action component), yaitu komponen
yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap.
Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya
kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap.
2.1.2. Pembentukan Persepsi dan Faktor yang Memengaruhinya
Proses pembentukan persepsi dijelaskan oleh Feigi (dalam Walgito, 2002)

sebagai pemaknaan hasil pengamatan yang diawali dengan adanya stimuli. Setelah
mendapat stimuli, pada tahap selanjutnya terjadi seleksi yang berinteraksi dengan
"interpretation", begitu juga berinteraksi dengan "closure". Proses seleksi terjadi
pada saat seseorang memperoleh informasi, maka akan berlangsung proses

Universitas Sumatera Utara

penyeleksian pesan tentang mana pesan yang dianggap penting dan tidak penting.
Proses closure terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan disusun menjadi satu kesatuan
yang berurutan dan bermakna, sedangkan interpretasi berlangsung ketika yang
bersangkutan memberi tafsiran atau makna terhadap informasi tersebut secara
menyeluruh.
Persepsi tidak hanya sekedar mendengar, melihat dan merasakan sesuatu yang
didapatinya tetapi lebih jauh disepakati persepsi melibatkan rangsangan internal dan
eksternal. Persepsi adalah proses pengorganisasian dan menafsirkan pola stimulus
dalam lingkungannya. Proses tersebut berkaitan dengan kemampuan interpretasi
individu, sehingga masing-masing memberikan interpretasi yang bersifat subyektif
terhadap obyek yang sedang menjadi stimulus.
Faktor fihak pelaku persepsi dipengaruhi oleh karakteristik pribadi seperti
sikap, motivasi, kepentingan atau minat, pengalaman dan pengharapan . Variabel lain

yang ikut menetukan persepsi adalah umur, tingkat pendidikan, latar belakang sosial
ekonomi, budaya, lingkungan fisik, pekerjaan, kepribadian dan pengalaman hidup
individu. Secara skematis proses persepsi dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini:
Stimulus
Lingkungan

Perhatian
& Seleksi

Pengorganisasian

Penafsiran
Stimuli

Persepsi

Gambar 2.1. Proses Persepsi
Sumber: Rakhmat, 2005

Universitas Sumatera Utara


Kesamaan persepsi akan mendorong terbentuknya motivasi yang mendukung
makna dari perubahan yang terjadi, dengan kata lain bahwa kesamaan persepsi akan
mendorong terciptanya motivasi yang optimal bagi pelaksanaan pencapaian tujuan
dan misi yang dihadapinya. Begitu juga dalam pembuatan keputusan dan kualitas dari
keputusan akhirnya sangat ditentukan oleh persepsi mereka masing-masing.
Menurut Asngari (1984) dalam Rakhmat (2005) pada fase interpretasi ini,
pengalaman masa silam atau dahulu. memegang peranan yang penting. Faktor-faktor
fungsional yang menentukan persepsi seseorang berasal dari kebutuhan, pengalaman
masa lalu dan hal-hal lain termasuk yang kita sebut sebagai faktor-faktor personal.
Selanjutnya faktor yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi
karakteristik orang yang memberi respon terhadap stimuli. Menurut Gibson et al.
(2003), persepsi meliputi juga kognisi (pengetahuan), yang mencakup penafsiran
objek, tanda dan orang dari sudut pengalaman yang bersangkutan.
Proses terbentuknya persepsi menurut Veitch dan Arkellin (1995) dalam
Handoko (2008) dibedakan menjadi empat tahapan, yakni detection, recognition,
discrimination, dan scaling terhadap stimuli yang diterima dari lingkungan. Proses
awal terbentuknya persepsi adalah mendeteksi stimulus berupa perubahan energi
dalam lingkungan seperti energi elektromagnetik, mekanik, kimia, atau perubahan
suhu lingkungan. Proses deteksi ini merupakan proses mengenali jenis stimuli,

tingkat stimuli, intensitas atau jumlah stimuli yang dapat diterima oleh individu.
Tahap berikutnya adalah recognition atau proses mengetahui. Setelah mampu
mendeteksi objek atau stimuli dari lingkungannya maka proses selanjutnya adalah

Universitas Sumatera Utara

individu harus mengetahui stimulus atau objek apa yang dideteksi tersebut. Tahap
ketiga

adalah

diskriminasi

terhadap

stimuli.

Individu

harus


mampu

mendiskriminasikan atau membedakan antara stimulus yang satu dengan stimulus
yang lain. Proses diskriminasi ini juga berkaitan dengan keadaan serba seimbang
antara

individu

dengan

lingkungannya,

artinya

ketika

individu

mampu


mendiskriminasikan bahwa stimulus tertentu dapat diterima maka hubungan antara
stimulus dengan individu cenderung dipertahankan. Hal ini yang kemudian disebut
sebagai kondisi serba seimbang. Namun bila individu telah mendiskriminasikan
bahwa stimulus tertentu telah berada di luar batas kemampuan individu untuk
menerimanya, maka cenderung akan dilakukan proses adaptasi atau adjustment.
Tahap keempat adalah scaling atau kemampuan mengukur dari individu
terhadap stimuli di lingkungannya merupakan proses dimana individu mampu
mengukur seberapa besar stimuli yang dapat diterima oleh individu tersebut atau bias
juga seberapa besar stimuli yang ada dibutuhkan oleh individu tersebut.
Selanjutnya Robbins (2002) menyatakan ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pembentukan persepsi selain juga memungkinkan terjadinya
perbedaan persepsi antar individu terhadap objek yang sama. Faktor-faktor tersebut
adalah :
1. Keadaan pribadi orang yang mempersepsi, adalah faktor yang terdapat dalam diri
individu yang mempersepsikan, misalnya kebutuhan, suasana hati, pengalaman
masa lalu dan karakteristik lain yang terdapat dalam diri individu. Adanya faktor

Universitas Sumatera Utara


fungsional yang dapat menyebabkan perbedaan persepsi pada setiap orang
terhadap suatu objek yang sama.
2. Karakteristik target yang dipersepsi, karena target tidak dilihat sebagai suatu yang
terisolasi,

maka

hubungan

antar

target

dan

latar

belakang

serta


kedekatan/kemiripan dan hal- hal yang dipersepsi dapat mempengaruhi persepsi
seseorang.
3. Konteks situasi terjadinya persepsi, waktu dipersepsinya suatu kejadian juga
dapat mempengaruhi persepsi, demikian pula dengan lokasi, cahaya, panas, atau
faktor situasional lainnya.

2.2. Pemangku Kepentingan (Stakeholder)
Pemangku kepentingan didefinisikan sebagai perorangan, organisasi, dan
sejenisnya yang memiliki andil atau perhatian dalam bisnis atau industri. Dalam
konteks

sektor

kesehatan

secara

organisasi

pemangku

kepentingan

dapat

dikategorikan dalam lingkup yang lebih luas, yakni pemerintah, lembaga swadaya
masyarakat (LSM), sektor swasta, dan komunitas. Secara perorangan atau kelompok,
pemangku kepentingan mencakup aparat pemerintah (lingkup nasional hingga lokal),
organisasi kemasyarakatan, masyarakat dan pihak-pihak terkait lainnya (Diana dan
Ida, 2009)
Implementasi program pembangunan termasuk bidang kesehatan, pemangku
kepentingan memiliki definisi dan pengertian yang beraneka ragam. Istilah pemangku
kepentingan digunakan untuk mendeskripsikan komunitas atau organisasi yang secara

Universitas Sumatera Utara

permanen menerima dampak dari aktivitas atau kebijakan, di mana mereka
berkepentingan terhadap hasil aktivitas atau kebijakan tersebut. Hal ini perlu disadari,
mengingat masyarakat tidak selalu menerima dampak secara adil. Sebagian
masyarakat mungkin menanggung biaya dan sebagian masyarakat lainnya justru
memperoleh manfaat dari suatu kegiatan atau kebijakan (Johnson, 2003)
Secara garis besar, pemangku kepentingan dapat dibedakan atas tiga
kelompok (Crosby, 1992) dalam Niluh (2007), yaitu:
1) Pemangku kepentingan utama, yakni yang menerima dampak positif atau negatif
(di luar kerelaan) dari suatu kegiatan.
2) Pemangku kepentingan penunjang adalah yang menjadi perantara dalam
membantu proses penyampaian kegiatan. Mereka dapat digolongkan atas pihak
penyandang dana, pelaksana, pengawas, dan organisasi advokasi seperti
organisasi pemerintahan, LSM, dan pihak swasta. Dalam beberapa kegiatan,
pemangku kepentingan penunjang dapat merupakan perorangan atau kelompok
kunci yang memiliki kepentingan baik formal maupun informal.
3) Pemangku kepentingan kunci, yakni yang berpengaruh kuat atau penting terkait
dengan masalah, kebutuhan,dan perhatian terhadap kelancaran kegiatan.

2.3. Penanggulangan HIV AIDS
2.3.1. Pengertian HIV AIDS
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah kumpulan gejala
penyakit yang timbul akibat menurunnya kekebalan tubuh. Berkurangnya kekebalan

Universitas Sumatera Utara

tubuh itu sendiri disebabkan virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). Pada
dasarnya HIV adalah jenis parasit obligate yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam
sel atau media hidup. Virus ini ”senang” hidup dan berkembang biak pada sel darah
putih manusia. HIV akan ada pada cairan tubuh yang mengandung sel darah putih,
seperti darah, cairan plasenta, air mani atau cairan sperma, cairan sumsum tulang,
cairan vagina, air susu ibu dan cairan otak. HIV menyerang salah satu jenis dari selsel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk
limfosit yang disebut”sel T – 4” atau disebut pula ”sel CD-4”.
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2012), sejak ditemukannya kasus AIDS
pertama kali di Indonesia pada tahun 1987, perkembangan kasus HIV/AIDS
dilaporkan di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Seluruh provinsi
yang ada di Indonesia sebagian penduduknya telah terjangkit HIV/AIDS. Prevalensi
HIV/AIDS di Indonesia secara umum masih rendah tetapi Indonesia telah
digolongkan sebagai negara dengan tingkat epdemi yang terkonsentrasi (concentrated
level epidemic) yaitu adanya prevalensi lebih 5% pada sub pupulasi tertentu
(misalnya pada penjaja seks atau penyalah guna napza).
2.3.2. Manifestasi Klinis HIV/ AIDS
Seseorang yang terinfeksi HIV, 2-6 minggu kemudian (rata-rata 2 minggu)
terjadilah sindrom retroviral akut. Lebih dari separuh orang yang terinfeksi HIV akan
menunjukkan gejala infeksi primer ini yang dapat berupa gejala umum (demam, nyeri
otot, nyeri sendi, rasa lemah), kelainan mukokutan (ruam kulit, ulkus di mulut),
pembengkakan kelenjar imfe, gejala neurologi (nyeri kepala, nyeri belakang kepala,

Universitas Sumatera Utara

fotofobia, depresi), maupun gangguan saluran cerna (anoreksia, nausea, diare, jamur
di mulut). Gejala ini dapat berlangsung 2-6 minggu gejala menghilang disertai
serokonversi. Selanjutnya merupakan fase asimtomatik, tidak ada gejala, selama ratarata 8 tahun (5-10 tahun, di negara berkembang lebih cepat). Sebagian besar pengidap
HIV saat ini berada pada fase ini. Penderita tampak sehat, dapat melakukan akfivitas
normal tetapi dapat menularkan kepada orang lain. Setelah masa tanpa gejala,
memasuki fase simtomatik, akan timbul gejala-gejala pendahuluan seperti demam,
pembesaran kelenjar limfa, yang kemudian diikuti oleh infeksi oportunistik. Dengan
adanya infeksi oportunistik maka perjalanan penyakit telah memasuki stadium AIDS.
Fase simptomatik berlangsung rata-rata 1,3 tahun yang berakhir dengan kematian.
Setelah terjadi infeksi HIV ada masa dimana pemeriksaan serologis antibodi HIV
masih menunjukkan hasil negatif, sementara virus sebenarnya telah ada dalam jumlah
banyak. Pada masa ini, yang disebut window period (periode jendela), orang yang
telah terinfeksi ini sudah dapat menularkan kepada orang lain walaupun pemeriksaan
antibodi HIV hasilnya negatif.
Periode ini berlangsung 3-12 minggu. Terdapat beberapa klasifikasi klinis
HIV/AIDS antara lain menurut CDC dan WHO. Klasifikasi dari CDC berdasarkan
gejala klinis dan jumlah CD4 sebagai berikut :
a) Katagori Klinis A, meliputi infeksi HIV tanpa gejala (asimptomatik), Persistent
Generalized Lymphdinopathy, dan infeksi HIV akut primer dengan penyakit
penyerta atau adanya riwayat infeksi HIV akut.

Universitas Sumatera Utara

b) Katagori Klinis B, terdiri atas kondisi dengan gejala (simptomatik) pada remaja
atau dewasa yang terinfeksi HIV yang tidak termasuk dalam katagori C dan
memenuhi paling sedikit satu dari beberapa criteria berikut (1)Keadaan yang
dihubungkan dengan infeksi HIV atau adanya kerusakan kekebalan, (2) Kondisi
yang dianggap oleh dokter telah memerlukan penanganan klinis atau
membutuhkan penatalaksanaan akibat komplikasi infeksi HIV, misalnya
Kandidiasis Osofaringeal, Orall Hairy Leukoplakia, Herpes Zoster,dan lain-lain.
c) Katagori Klinis C meliputi gejala yang ditemukan pada pasien AIDS misalnya
Sarkoma Kaposi, Pneumonia Pneumocystis carinii, Kandidiasis Esofagus, dan
lain-lain.
2.3.3. Upaya Penanggulangan
Penanggulangan merupakan segala upaya dan kegiatan yang dilakukan,
meliputi kegiatan pencegahan, penanganan , dan rehabilitasi. Infeksi HIV/AIDS
merupakan suatu penyakit dengan perjalanan yang panjang dan hingga saat ini belum
ditemukan obat yang efektif, maka pencegahan dan penularan menjadi sangat penting
terutama melalui pendidikan kesehatan dan peningkatan pengetahuan yang benar
mengenai patofisiologi HIV dan cara penularannya. Seperti diketahui, penyebaran
virus HIV melalui hubungan seks, jarum suntik yang tercemar, transfusi darah,
penularan dari ibu ke anak maupun donor darah atau donor organ tubuh, maka upaya
pencegahannya sebagai berikut :
a) Melakukan tindakan seks yang aman dengan pendekatan ”ABC” (Abstinent, Be
faithful, Condom), yaitu tidak melakukan aktivitas seksual (abstinent) merupakan

Universitas Sumatera Utara

metode paling aman untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual,
tidak berganti-ganti pasangan (be faithful), dan penggunaan alat kontrasepsi (use
condom).
b) Mencegah perluasan epidemi HIV dari kelompok IDU ke masyarakat luas
(general population), terutama pada pasangan seksual para IDU dan pada bayibayi yang dikandungnya. Untuk mencegah dampak buruk narkotika (harm
reduction) maka Strategi yang ditempuh adalah membantu penyalahguna NAPZA
untuk berhenti menggunakan NAPZA (abstinent), mengusahakan agar selalu
memakai jarum suntik yang steril dan tidak independent.
c) Pemahanan dan Penerapan kewaspadaan universal (universal precaution) di
sarana pelayanan kesehatan untuk mengurangi risiko infeksi yang ditularkan
melalui darah. Kewaspadaan universal, meliputi : a) cuci tangan dengan sabun
dan air mengalir sebelum dan sesudah melakukan tindakan/perawatan, b)
penggunaan alat pelindung yang sesuai untuk setiap tindakan, c) pengelolaan dan
pembuangan alat-alat tajam dengan hati-hati, d) pengelolaan limbah yang
tercemar darah/cairan tubuh dengan aman, e) pengelolaan alat kesehatan bekas
pakai dengan melakukan dekontaminasi, desinfeksi dan sterilisasi yang benar.
d) Melakukan skrining adanya antibodi HIV untuk mencegah penyebaran melalui
darah, produk darah, dan donor darah.
e) Mencegah penyebaran HIV secara vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak
yang dapat terjadi selama kehamilan, saat persalinan, dan saat menyusui. WHO
mencanangkan empat strategi pencegahan penularan HIV terhadap bayi, yaitu : a)

Universitas Sumatera Utara

mencegah seluruh wanita jangan sampai terinfeksi HIV, b) bila sudah terinfeksi
HIV, cegah jangan sampai ada kehamilan yang tidak diinginkan, c) bila sudah
hamil, cegah penularan dari ibu ke bayi dan anaknya, d) bila ibu dan anak sudah
terinfeksi perlu diberikan dukungan dan perawatan bagi ODHA dan keluarganya.
f) Layanan VCT (Voluntary Counseling & Testing) , yakni merupakan program
pencegahan sekaligus jembatan untuk mengakses layanan manajemen kasus
(MK) dan CST (Care, Support, Trade) atau perawatan, dukungan, dan
pengobatan bagi ODHA. Layanan VCT meliputi pre test konseling, testing HIV,
dan post-test konseling. Kegiatan tes dan hasil test dijalankan atas dasar prinsip
kerahasiaan.
Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2006 mengamanatkan perlunya peningkatan
upaya pengendalian HIV dan AIDS di seluruh Indonesia. Respon harus ditujukan
untuk mengurangi semaksimal mungkin peningkatan kasus baru dan kematian. Salah
satu langkah strategis yang akan ditempuh adalah memperkuat Komisi
Penanggulangan AIDS di semua tingkat. Anggaran dari sektor pemerintah
diharapkan juga akan meningkat sejalan dengan kompleksitas masalah yang dihadapi.
Sektor-sektor akan meningkatkan sumber daya dan cakupan program masingmasing.
Masyarakat umum termasuk LSM akan meningkatkan perannya sebagai mitra
pemerintah sampai ke tingkat desa. Sementara itu mitra internasional diharapkan akan
tetap memberikan bantuan teknis dan dana.

Universitas Sumatera Utara

2.3.4. Tujuan Program Pengendalian HIV dan AIDS Sektor Kesehatan
a. Tujuan Umum:
Mencegah dan mengurangi penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup
ODHA serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV dan AIDS pada
individu, keluarga dan masyarakat.
b. Tujuan Khusus
1) Menyediakan dan menyebar luaskan informasi dan menciptakan suasana
kondusif untuk mendukung upaya pengendalian HIV dan AIDS, dengan
menitik beratkan pencegahan pada sub-populasi berperilaku risiko tinggi dan
lingkungannya dengan tetap memperhatikan sub-populasi lainnya.
2) Mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara lembaga pemerintah,
LSM, sektor swasta dan dunia usaha, organisasi profesi, dan mitra internasional
di pusat dan di daerah untuk meningkatkan respon nasional terhadap HIV dan
AIDS.
3) Meningkatkan koordinasi kebijakan nasional dan daerah serta inisiatif dalam
pengendalian HIV dan AIDS.
2.3.5. Kebijakan Umum Pengendalian HIV dan AIDS Sektor Kesehatan
1) Upaya pencegahan yang efektif termasuk penggunaan alat kontrasepsi 100%
pada setiap hubungan seks berisiko, semata-mata hanya untuk memutus rantai
penularan HIV.

Universitas Sumatera Utara

2) Upaya pengendalian HIV dan AIDS merupakan upaya-upaya terpadu dari
peningkatan perilaku hidup sehat, pencegahan penyakit, pengobatan dan
perawatan berdasarkan data dan fakta ilmiah serta dukungan terhadap ODHA.
3) Upaya pengendalian HIV dan AIDS diselenggarakan oleh masyarakat,
pemerintah, dan LSM berdasarkan prinsip kemitraan. Masyarakat dan LSM
menjadi pelaku utama sedangkan pemerintah berkewajiban mengarahkan,
membimbing dan menciptakan suasana yang mendukung terselenggaranya
upaya pengendalian HIV dan AIDS.
4) Upaya pengendalian HIV dan AIDS diutamakan pada kelompok masyarakat
berperilaku risiko tinggi tetapi harus pula memperhatikan kelompok
masyarakat yang rentan, termasuk yang berkaitan dengan pekerjaannya dan
kelompok marjinal terhadap penularan HIV and AIDS.
2.3.6. Kebijakan Operasional Pengendalian HIV dan AIDS Sektor Kesehatan
1) Pemerintah pusat bertugas melakukan regulasi dan standarisasi secara
nasional kegiatan program AIDS dan pelayanan bagi ODHA.
2) Penyelenggaran dan pelaksanaan program dilakukan sesuai azas desentralisasi
dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program.
3) Pengembangan

layanan

bagi

ODHA

dilakukan

melalui

pengkajian

menyeluruh dari berbagai aspek yang meliputi: situasi epidemi daerah, beban
masalah

dan

kemampuan,

komitmen,

strategi

dan

perencanaan,

kesinambungan, fasilitas, Sumber Daya Manusia (SDM) dan pembiayaan.

Universitas Sumatera Utara

Sesuai dengan kewenangannya, pengembangan layanan ditentukan oleh Dinas
Kesehatan.
4) Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosa HIV dan AIDS harus didahului
dengan penjelasan yang benar dan mendapat persetujuan yang bersangkutan
(informed consent). Konseling yang memadai harus diberikan sebelum dan
sesudah pemeriksaan dan hasil pemeriksaan diberitahukan kepada yang
bersangkutan tetapi wajib dirahasiakan kepada pihak lain.
5) Setiap

pemberi

pelayanan

berkewajiban

memberikan

layanan

tanpa

diskriminasi kepada ODHA dan menerapkan prinsip:
a) Keberpihakan kepada ODHA dan masyarakat (patient and community
centered).
b) Upaya mengurangi infeksi HIV pada pengguna Narkotika Alkohol
Psikotropika Zat Adiktif (NAPZA) suntik melalui kegiatan pengurangan
dampak buruk (harm reduction) dilaksanakan secara komprehensif
dengan juga mengupayakan penyembuhan dari ketergantungan pada
NAPZA.
c) Penguatan dan pengembangan program diprioritaskan bagi peningkatan
mutu pelayanan, dan kemudahan akses terhadap pencegahan, pelayanan
dan pengobatan bagi ODHA.
d) Layanan bagi ODHA dilakukan secara holistik, komprehensif dan
integratif

sesuai

dengan

konsep

layanan

perawatan

yang

berkesinambungan.

Universitas Sumatera Utara

Untuk mencapai tujuan program, ditetapkan strategi sebagai berikut:
1) Meningkatkan dan memperkuat kebijakan dan kepemilikan program melalui
regulasi, standarisasi layanan program, mobilisasi dan harmonisasi sumber
daya dan alokasi pembiayaan.
2) Meningkatkan dan memperkuat sistem kesehatan dan manajemen program,
melalui peningkatan kapasitas program, pengembangan SDM program yang
profesional, manajemen logistik, kegiatan Monitoring dan Evaluasi (ME)
program dan promosi program.
3) Meningkatkan

dan

menguatkan

sistem

informasi

strategis

melalui

pengembangan kegiatan surveilans generasi kedua, penelitian operasional
untuk memperoleh data dan informasi bagi pengembangan program
pengendalian HIV dan AIDS.
4) Memberdayakan

ODHA

dan

masyarakat

dalam

upaya

pencegahan,

perawatan, dukungan, pengobatan dan upaya kegiatan program lainnya.

2.4. Pembiayaan Bidang Kesehatan
Menurut Sistem Kesehatan Nasional Tahun 2012, bahwa pembiayaan
kesehatan adalah pengelolaan berbagai upaya penggalian, pengalokasian, dan
pembelanjaan dana kesehatan untuk mendukung penyelenggaraan pembangunan
kesehatan guna mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Unsur-unsur yang termasuk dalam pembiayaan kesehatan adalah dana, sumber dana
dan pengelolaan dana kesehatan. Alokasi dana yang berasal dari Pemerintah dan

Universitas Sumatera Utara

Pemerintah Daerah untuk pengelolaan kesehatan dilakukan melalui penyusunan
anggaran pendapatan dan belanja, baik pusat maupun daerah, terus diupayakan
peningkatan dan kecukupannya sesuai kebutuhan menuju besaran persentase
sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peraturan yang berlaku.
Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang
peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka
mencapai berbagai tujuan penting dari pembangunan kesehatan di suatu negara
diantaranya adalah pemerataan pelayanan kesehatan dan akses (equitable access to
health care) dan pelayanan yang berkualitas (assured quality). Oleh karena itu
reformasi kebijakan kesehatan di suatu wilayah seyogyanya memberikan fokus
penting kepada kebijakan pembiayaan kesehatan untuk menjamin terselenggaranya
kecukupan (adequacy), pemerataan (equity), efisiensi (efficiency) dan efektifitas
(effectiveness) dari pembiayaan kesehatan itu sendiri (SKN, 2012).
Perencanaan dan pengaturan pembiayaan kesehatan yang memadai (health
care financing) akan menolong pemerintah di suatu wilayah untuk dapat
memobilisasi sumber-sumber pembiayaan kesehatan, mengalokasikannya secara
rasional serta menggunakannya secara efisien dan efektif. Kebijakan pembiayaan
kesehatan yang mengutamakan pemerataan serta berpihak kepada masyarakat miskin
(equitable and pro poor health policy) akan mendorong tercapainya akses yang
universal. Pada aspek yang lebih luas diyakini bahwa pembiayaan kesehatan
mempunyai kontribusi pada perkembangan sosial dan ekonomi. Berdasarkan uraian

Universitas Sumatera Utara

tersebut terlihat bahwa pembiayaan kesehatan sesungguhnya merupakan sebuah
investasi untuk mencapai keuntungan dimasa mendatang yaitu peningkatan kualitas
kesehatan masyarakat yang lebih baik (Ascobat dan Ilyas, 2002). Alokasi dana yang
berasal dari pemerintah untuk Upaya Kesehatan Masyarakat dan Upaya Kesehatan
Perorangan dilakukan melalui penyusunan anggaran pendapatan belanja baik pusat
maupun daerah sekurang-kurangnya 5% dari PDB dan 15% dari total anggaran
pendapatan belanja setiap tahunnya.
Pemenuhan kebutuhan anggaran penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia
selama ini bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan beberapa sumber lain.
Sumber lain yang dimaksud adalah mencakup dana dari swasta, masyarakat dan
bantuan internasional sebagaimana yang ditetapkan dalam agenda STRANAS
HIV/AIDS dan sesuai dengan amanat Perpers No 75 tahun 2006 (Sucipto, 2009).
Jumlah dana yang diperkirakan dalam Rencana Aksi Nasional untuk
penanggulangan AIDS terdiri atas program pencegahan sebesar Rp 4,23 triliun;
perawatan, dukungan dan pengobatan sebesar Rp 1,1 triliun; manajemen Rp 1,59
triliun, serta mitigasi Rp 62 miliar. Diperkirakan ketersediaan dana pertahun sebesar
Rp 483 milyar. Sedangkan total APBD seluruh propinsi untuk KPA Propinsi juga
mengalami peningkatan dari 8 miliar rupiah pada tahun 2004 menjadi 57 milar rupiah
tahun 2007. Semikian juga untuk KPA diseluruh kabupaten/Kota dari total anggaran
3,7 miliar rupiah tahun 2005 meningkat menjadi 14 milar tahun 2006 dan meningkat
lagi menjadi Rp 19 miliar tahun 2007. Walaupun demikian, jumlah alokasi anggaran
tersebut masih belum dapat memenuhi kebutuhan program penanggulangan AIDS di

Universitas Sumatera Utara

masing-masing daerah, mengingat jumlah penderita setiap tahunnya selalu
meningkat.
Berdasarkan hasil penelusuran anggaran dan analisis dokumen di semua
kementerian/lembaga, ternyata alokasi anggaran untuk penanganan AIDS hanya
sebesar Rp 348,2 milyar di tahun 2007, Rp 407,3 milyar tahun 2008, dan Rp 366,6
milyar tahun 2009. Bahkan tahun 2010 anggaran tersebut turun menjadi Rp278,1
milyar dan hanya tersebar di 6 (enam) kementerian/lembaga (Depdiknas, Depkes,
Depsos, BKKBN, Kementerian Pemuda dan Olah Raga dan Badan Narkotika
Nasional). Padahal jika mengacu pada struktur kelembagaan KPAN seharusnya
anggaran tersebut tersebar di 13 (tiga belas) kementerian/lembaga sesuai dengan
jumlah kementerian/lembaga yang masuk dalam keanggotaan KPAN.
Selanjutnya keenam kementerian/Lembaga tersebut, anggaran terbesar
diserahkan kepada Badan Narkotika Nasional karena alokasinya rata-rata di atas 70%
dari total alokasi, baru sisanya (30%) terbagi ke 5 (lima) kementerian/lembaga
sisanya. Besarnya alokasi anggaran penanggulangan HIV/AIDS yang diberikan
kepada BNN menunjukkan bahwa pemerintah memang memfokuskan pencegahan
penularan virus HIV/AIDS melalui narkoba jarum suntik daripada penyebaran
melalui hubungan seks. Dan ketika ditelusuri ke semua program-program
penanggulangan HIV/AIDS di keenam kementerian/lembaga (di luar BNN) ternyata
hampir 90% semua programnya juga fokus pada pencegahan HIV/AIDS dari
narkoba. Rendahnya respon anggaran dan program terhadap penanggulangan
HIV/AIDS ini di Indonesia ini sebenarnya sudah dapat dilihat dari tingkat penularan
HIV yang terus meningkat tajam (Sucipto, 2009).

Universitas Sumatera Utara

2.5. Landasan Teori
Menurut Robbins (2002) persepsi merupakan suatu proses individu-individu
mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera untuk memberi makna lingkungan
mereka, dan objek yang dipersepsikan dapat berasal dari luar maupun dari dalam
individu itu sendiri, artinya bahwa persepsi merupakan suatu proses penilaian,
pengorganisasian dan penafsiran terhadap objek persepsi sehingga individu
menyadari dan mengerti objek persepsi tersebut. Persepsi terhadap upaya
penanggulangan HIV/AIDS oleh pemangku kepentingan berkaitan dengan pandangan
yang objektif terhadap upaya penanggulangan HIV/AIDS yang diawali dari
penyusunan rencana kebutuhan anggaran dan pentingnya keberhasilan program
HIV/AIDS.
2.6. Kerangka Pikir Penelitian
Adapun kerangka pikir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Persepsi Pemangku Kepentingan
1. Persepsi terhadap HIV/AIDS dan Penularannya
2. Persepsi terhadap Trend Kasus HIV/AIDS
3. Persepsi terhadap Kebutuhan Biaya
Penanggulangan HIV/AIDS
4. Persepsi terhadap Keterlibatan Komponen
Pemerintah dan Masyarakat

Pembiayaan
HIV/AIDS
di Kota
Pematangsiantar

Gambar 2.2. Kerangka Pikir Penelitian
Gambar 2.2. di atas menjelaskan bahwa persepsi pemangku kepentingan
terhadap pembiayaan HIV/AIDS didasari oleh adanya persepsi pemangku
kepentingan terhadap kasus HIV/AIDS, kencenderungan kejadian HIV/AIDS, peran

Universitas Sumatera Utara

dan keterlibatan masing-masing dalam komponen pemerintah dan masyarakat,
persepsi terhadap kebutuhan biaya penanggulangan HIV/AIDS dan upaya
penanggulangan HIV/AIDS.

Universitas Sumatera Utara