Hubungan gen Peroxisome Proliferator-activated Receptor Alpha (PPARα) dengan daya tahan otot (Muscular Endurance) pada siswa sekolah sepak bola di kota Medan Chapter III V

BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis penelitian
Desain penelitian ini menggunakan rancangan penelitian cross sectional yaitu
rancangan penelitian dengan melakukan pengukuran atau pengamatan subjek penelitian
pada saat bersamaan atau sekali waktu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan polimorfisme gen PPARα dengan daya tahan otot pada siswa sekolah
sepakbola di kota Medan.

3.2. Populasi dan sampel
Siswa sepakbola yang terdaftar sebagai anggota pada sekolah sepakbola (SSB) di
kota Medan. Sampel diambil dengan teknik Consecutive Sampling yaitu pemilihan
sampel dengan menetapkan subjek sesuai dengan kriteria inklusi pada penelitian sampai
jumlah responden dapat terpenuhi.
Sesuai dengan rancangan penelitian yaitu cross sectional, besar sampel dihitung
dengan rumus sampel untuk proporsi tunggal. Pada penelitian sebelumnya tentang
hubungan varian gen ACE, ACTN3 dan PPARΑ dengan fenotif pada anak usia sekolah
pertengahan di Rusia oleh Ahmetov II et al., (2012), diketahui besarnya proporsi
polimorfisme gen PPARα intron 7 G/C pada anak usia 11 ± 0,4 tahun (n=β19) adalah
26,9% (P = 0,26) (n=59), maka Q = 1 – P = 1 – 0,26 = 0,74. Besarnya ketepatan absolut

yang ditetapkan oleh peneliti sebesar 10% (d = 0,1). Besar Zα = 1,96 untuk α = 0,05.
Sehingga perhitungan besar sampel (Lameshow et al, 1997) sebagai berikut:
�⍺² PQ
�²
,9 2 x , x ,
�=
, ²
�=

�=

Keterangan :
N = jumlah sampel minimal yang dibutuhkan
Z = skor Z, berdasarkan nilai α yang diinginkan = 1,96
α = derajat kepercayaan (ditetapkan) = 0,05 (95%)
d = ketepatan absolut (ditetapkan) = 0,1
P = proporsi polimorfisme PPARα pada penelitian sebelumnya (Ahmetov et al, 2012)
= 0,26
40
Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan perhitungan diatas maka peneliti menentukan jumlah sampel minimal
yang dibutuhkan didalam penelitian adalah 73 orang.

3.3. Kriteria subjek penelitian
Kriteria subjek penelitian sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi.
1) Kriteria Inklusi
a. Berusia 11 – 16 tahun
b. Menjalani latihan secara rutin di klub SSB
c. Sehat – tidak ada riwayat penyakit kronis
d. Orang tua subjek penelitian bersedia memberikan persetujuan setelah
diberi penjelasan dan manfaat penelitian dengan menandatangani surat
persetujuan (informed consent)
3.3.2. Kriteria Eksklusi
a. Memiliki penyakit kardiopulmonal dan atau riwayat penyakit kronik
b. Merokok
c. Sedang mengalami cedera otot dan atau tulang
3.4. Tempat penelitian
Penelitian dilakukan di beberapa sekolah sepakbola di kota Medan, yaitu SSB Sejati
Pratama, SSB Taman Setia Budi Indah, SSB Universitas Sumatera Utara (SSB USU).

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik pengambilan sampel secara
Consecutive sampling, yaitu pengambilan sampel sesuai dengan kriteria inklusi dan
kriteria eksklusi sampai dengan jumlah subjek terpenuhi. Isolasi DNA dari setiap sampel
sel bukal di laksanakan di Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.

3.5. Variabel Penelitian
3.5.1. Variabel independen adalah varian gen Peroxisome Proliferator ActivatedReceptor Alpha (PPARα)
3.5.2. Variabel dependen adalah daya tahan otot siswa sekolah sepakbola
3.5.3. Defenisi operasional
No
1.

Variabel
Gen
PPARα

Defenisi
Alat Ukur
operasional

Polimorfisme PCR-RFLP,
gen PPARα Elektroforesis
pada Intron 7 dan
UV
Reader

Cara Ukur

Hasil Ukur

Skala

Enzim
Polimorfisme gen Nominal
restriksi TaqI PPARα
pada
0,5 µL, 10x Intron 7:
Buffer TaqI 1. GG= 266 bp
1,0
µL 2. GC= 216 bp

41
Universitas Sumatera Utara

2.

Muscular Tes Curl-Up
Endurance

Karpet yang
telah di beri
garis hitam
(double tape)
dengan lebar
7 cm

dengan gel
agarose 3%
Hitung
jumlah Curl
up

yang
dapat
dilakukan
oleh sampel
dan
bandingkan
dengan tabel
Curl-Up
sesuai umur

3. CC= 50 bp
Interpretasi hasil Ordinal
Curl Up test (Pria,
Usia 10 – 16
tahun)
a. Sangat baik :
≥ persentil 90

b. Baik:


persentil 70 –
80

c. Cukup:

persentil 50 –
60

d. Kurang

:

e. Sangat
Kurang

:

persentil 30 –
40


≤ persentil β0

3.6. Kerangka Kerja

Sampel : 73 Siswa Sepakbola pada Sekolah Sepakbola (SSB)

Muscular Endurance:
Tes Curl Up

Isolasi DNA dari sel
bukal (mulut)

Polymerase Chain Reaction
(PCR)

Produk PCR

Hubungan Polimorfisme gen
PPARα dengan daya tahan otot


Analisa gen PPARα Intron 7
(G/C) dengan RFLP dan
elektroforesis (gel agarose 3%)

42
Universitas Sumatera Utara

3.7. Pelaksanaan penelitian
3.7.1. Penerbitan Ethical Clearance
Meminta penerbitan ethical clearance kepada komisi etik Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
3.7.2. Pengurusan izin penelitian
Meminta izin pelaksanaan penelitian kepada penanggung jawab Sekolah Sepakbola
(SSB)
3.7.3. Proses seleksi subjek penelitian
Subjek penelitian diseleksi dari keseluruhan anggota Sekolah Sepakbola (SSB)
berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi
3.8. Proses Pengambilan sampel
3.8.1. Isolasi DNA dari sel Bukal
: Cytobrush, tabung mikrosentrifuge, beaker, waterbath, pH meter,

kertas absorben, gelas ukur, spidol, Vortex, Mikrosentrifus,
micropipette, sarung tangan,
b. Bahan : Air Mineral, Stok Proteinase K (100 μg/mL), PrestoTM Buccal Swab
gDNA Extraction Kit (Geneaid), 10x Tris-Acetate-EDTA (TAE)
Buffer (Vivantis), Aquades, ethanol absolute
c. Cara kerja :
Proses ekstraksi DNA dari sel bukal mulut sebagai berikut:
1. Kumur-kumur dengan Air Mineral sebanyak ±10 mL untuk
membersihkan rongga mulut, kemudian dibuang hasil kumur-kumur.
2. Gunakan Cytobrush untuk menyikat dinding pipi bagian dalam (bukal)
selama 1 menit, kemudian Cytobrush dimasukkan kedalam tabung
Cytobrush kering. Simpan ke lemari pendingin.
3. Tahap S2 Buffer Preparation
a. Siapkan tabung mikrosentrifuge sejumlah sampel. Isi 500 μL
Buffer Sβ dan 1 μL Carrier RNA Solution, Vortex sebentar.
4. Tahap Sampel Preparation
a. Ambil tabung mikrosentrifuge yang baru, isi dengan 500 μL
Buffer S1 dan β0 μL Proteinase K, masukkan cytobrush dan
potong dengan tang potong mendekati brush. Sentrifugasi selama
1 menit dengan kecepatan 13.000 x g

b. Selanjutnya keluarkan cytobrush, tuangkan seluruh cairan
kedalam rangkaian GD Collumn dengan tabung mikrosentrifuge
dan sentrifugasi kembali 1 menit dengan kecepatan 13.000 x g.
Perhatikan tidak terdapt lagi serabut brush pada tabung
mikrosentrifuge.
a. Alat

43
Universitas Sumatera Utara

5.

6.

7.

8.

c. Jika masih ada ulangi langkah diatas. Selanjutnya buang GD
Collumn dan inkubasi tabung mikrosentrifuge tersebut selama 10
menit pada suhu 60°C.
Tahap Lysis
a. Tambahkan 500 μL Buffer Sβ (dari tahap Sβ Buffer Preparation),
segera Vortex dan inkubasi kembali selama 10 menit pada suhu
60°C (Vortex sebentar setiap 5 menit).
b. Selama inkubasi siapkan Elution Buffer secukupnya (25 – 50 μL/
sampel) dan masukkan kedalam tabung mikrosentrifuge dan diberi
label EB.
c. Inkubasi EB tersebut pada suhu 60°C hingga digunakan.
Tahap DNA Binding
a. Tambahkan ethanol absolute ke lysate/ sampel dan langsung
goncang tabung dengan kuat selama 10 detik. Jika ada gumpalan,
larutkan dengan menggunakan pipet
b. Rangkaikan (pasangkan) GD Collumn dengan Collection tube dan
pindahkan 750 μL campuran diatas kedalam GD Collumn tersebut.
c. Sentrifugasi pada kecepatan 14.000 – 16.000 x g selama 1 menit
dan buang isi Collection tube dan rangkaikan kembali.
d. Pindahkan sisa cairan di tabung mikrosentrifuge kedalm GD
Collumn dan sentrifugasi kembali pada kecepatan 14.000 – 16.000
x g selama 1 menit. Lihat pada GD Collumn, jika masih ada cairan
dapat disentrifugasi sesuai langkah diatas sampai cairan tidak
terdapat lagi pada GD Collumn.
e. Buang Collection tube dan pindahkan GD Collumn kedalam
Collection tube yang baru.
Tahap Wash
a. Tambahkan 400 μL Buffer W1 kedalam GD Collumn dan
sentrifugasi pad kecepatan 14.000 – 16.000 x g selama 30 detik,
buang cairan yang ada di dalam Collection tube
b. Letakkan GD Collumn kedalam Collection tube kembali dan
tambahkan 600 μL Wash Buffer (pastikan Ethanol absolute telah
ditambahkan) kedalam GD Collumn dan sentrifugasi pada
kecepatan 14.000 – 16.000 rpm selama 30 detik, buang cairan yang
berada didalam Collection tube
c. Letakkan kembali GD Collumn pada Collection tube dan
sentrifugasi kembali pada kecepatan 14.000 – 16.000 x g selama 3
menit untuk mengeringkan GD Collumn
Tahap Elution
a. Pindahkan GD Collumn kedalam tabung mikrosentrifuge yang
bersih dan tambahkan Elution Buffer sebanyak 25 – 50 μL
(sesuaikan dengan jumlah sampel/ kebutuhan) yang telah
dipanaskan sebelumnya ke TENGAH – TENGAH (bagian
44
Universitas Sumatera Utara

Tengah) matriks GD Collumn. Biarkan selama minimal 3 menit
untuk diserap oleh Collumn.
b. Sentrifugasi pada kecepatan 14.000 – 16.000 x g selama 1 menit
untuk memindahkan DNA dari Collumn kedalam tabung.
9. Simpan sampel DNA dilemari pendingin pada suhu dibawah 0°C.
10. Untuk memastikan konsentrasi dan kemurnian DNA, sangat dianjurkan
pengukurannya melalui Nanophotometer.
11. Konsentrasi DNA pada pengukuran dengan nanophotometer diharapkan
pada kisaran 80 – 120 ng/µL.
3.8.2. Prosedur PCR RFLP GEN PPAR⍺
a. Alat

: Sarung tangan, masker, microtube PCR, tip kuning, tip putih,
mesin PCR/ Thermal cycler, Microwave, Template agarose, inkubator,
Timbangan digital, Alluminium Foil, Parafilm, Gel Casting Tray, Gel
Comb
b. Bahan : GoTaq(R) Green Master Mix (Promega, USA) Master Mix, PPARα
Intron 7; forward primer 5’-ACA ATC ACT CCT TAA ATA TGG
TGG-γ’ dan reverse primer 5’-AAG TAG GGA CAG ACA GGA
CCA GTA-γ’, Enzim Restriksi TaqI, 10x Buffer TaqI (with BSA),
Nucleus Free Water, serbuk Agarose (Bioline), Hyperladder/ Marker
DNA 25bp (Bioline), DNA yang sudah diisolasi, 10x Tris-AcetateEDTA (TAE) Buffer (Vivantis), Ethidium Bromida.
c. Cara kerja :
Metode PCR-RFLP digunakan untuk menentukan polimorfisme pada intron 7.
1. Lakukan pengenceran primer sesuai dengan instruksi pada label dan
disimpan di lemari pendingin hingga digunakan.
2. Siapkan tabung microtube PCR sesuai jumlah sampel dan diberi
penomoran.
3. Lakukan perhitungan sebagai berikut:
1 sampel
Total jumlah sampel
Master Mix
12,5 µL
Jlh Sampel x 12,5 µL
Forward Primer
1,0 µL
Jlh Sampel x 1,0 µL
Reverse Primer
1,0 µL
Jlh Sampel x 1,0 µL
Nucleus Free Water
8,5 µL
Jlh Sampel x 1,0 µL
Volume DNA
2,0 µL
2,0
µL
setiap
microtube PCR
Ket : Volume DNA dan Volume Nucleus Free Water dapat berbeda
setiap microtube PCR sampel sesuai dengan Konsentrasi DNA
setiap sampel melalui Nanophotometer.
4. Setiap tabung microtube PCR dimasukkan Master Mix 12,5 µL, Forwar
Primer 1,0 µL, Reverse Primer 1,0 µL, Volume Nucleus Free Water dan
Volume DNA sesuai dengan perhitungan konsentrasi DNA melalui
nanophotometer.
45
Universitas Sumatera Utara

5. Inkubasi di lemari pendingin selama 10 menit.
6. Hidupkan mesin PCR/ Thermal Cycler, atur protokol PCR gen PPARα:
a. Tahap Denaturation : 95ºC selama 2 menit diikuti 30 siklus
denaturation selama 30 detik
b. Tahap Annealing
: 56ºC selama 30 detik
c. Tahap Extension
: 72ºC selama 30 detik
d. Final Extension
: 72ºC selama 5 menit
7. Seluruh sampel dimasukkan kedalam mesin PCR/ Thermal Cycler pada
template PCR dan tekan tombo “Run”. Waktu yang diperlukan sekitar 1
Jam, 10 menit.
8. Setelah selesai, mesin PCR dimatikan/ di non-aktifkan dan seluruh
sampel (Produk PCR) dikeluarkan dan disimpan didalam lemari
pendingin hingga siap untuk digunakan untuk tahap RFLP.
9. Siapkan microtube PCR sesuai jumlah sampel dan diberi penomoran
10. Lakukan perhitungan sebagai berikut:
1 sampel Jumlah total sampel
10x Buffer TaqI (with BSA) 1,0 µL
Jumlah total sampel x 1,0 µL
Enzim restriksi TaqI
0,5 µL
Jumlah total sampel x 0,5 µL
Nucleus Free Water
3,5 µL
Jumlah total sampel x 3,5 µL
Produk PCR
5,0 µL
Setiap microtube PCR
11. Setiap mikrotube PCR dimasukkan 10x Buffer TaqI 1,0 µL, Enzim
restriksi TaqI 0,5 µL, Nucleus Free Water 3,5 µL dan produk PCR 5,0
µL.
12. Hidupkan waterbath dan atur suhu air pada 65ºC
13. Selanjutnya seluruh mikrotube PCR di lapisi Parafil bagian tutupnya
(untuk mencegah penguapan saat diinkubasi pada waterbath)
14. Setelah suhu air pada waterbath 65ºC, masukkan seluruh produk PCR ke
template (Gabus). Tunggu hingga 3 jam
15. Setelah 3 jam berlalu, siapkan larutan agarose dengan konsentrasi 3%
dengan perhitungan sebagai berikut:
a. Untuk Gel Casting tray yang besar : 3% x 130 mL (TAE Buffer
10x pengenceran). Sehingga didapatkan jumlah serbuk agarose
yang diperlukan adalah 3,9 gr
b. Untuk Gel Casting tray yang kecil : 3% x 35 mL (TAE Buffer
10x pengenceran). Sehingga didapatkan jumlah serbuk agarose
yang diperlukan adalah 1,05 gr
c. Lakukan pengenceran TAE Buffer 10x dengan perhitungan
adalah 100 mL TAE Buffer 1x ditambah 900 mL Aquadest.
Hingga volume total nya adalah 1000 mL.
16. Ambil 3,9 gr serbuk agarose dan larutkan dengan TAE Buffer 10x
sebanyak 130 ml atau 1,05 gr serbuk agarose dan larutkan dengan TAE
Buffer 10x sebanyak 35 mL kedalam gelas beaker.
46
Universitas Sumatera Utara

17. Masukkan campuran serbuk agarose tersebut dengan TAE Buffer 10 x
kedalam Microwave. Atur microwave dengan power 630 dengan waktu
3 menit. Perhatikan larutan saat dipanaskan, jangan sampai tumpah. Jika
larutan sudah jernih keluarkan dari microwave. Jika belum jernih, ulangi
langkah tersebut sampai larutan jernih.
18. Setelah larutan jernih, tambahkan ethidium Bromide 1,0 µL (untuk
pewarnaan). Goncangkan pelan – pelan (agar homogen)
19. Siapkan Gel Comb pada Gel Casting Tray sesuai kebutuhan (yang besar
atau yang kecil)
20. Selanjutnya tuangkan seluruh larutan agarose secara pelan – pelan
kedalam Gel Casting Tray (pastikan tidak ada gelembung udara).
Tunggu sekitar 15 menit hingga membeku.
21. Setelah membeku, cabut Gel Comb secara pelan – pelan hingga tampak
sumur – sumur/ Comb tempat produk PCR-RFLP
22. Selanjutnya masukkan seluruh produk RFLP-PCR kedalam masing –
masing sumur/ Comb dengan urutan sebagai berikut;
a. Comb pertama
: Marker DNA (hyperladder 25 bp): 4 µ L
b. Comb kedua
: Uncut (produk PCR tanpa enzim
restriksi TaqI) : 5 µ L
c. Comb ketiga
: Produk RFLP-PCR sampel 1 :
habiskan seluruhnya produk RFLP-PCR
d. Dan seterusnya hingga seluruh sampel
23. Atur mesin elektroforesis dengan voltage 80 Volt dengan waktu 90
menit
24. Setelah waktu yang ditentukan selesai, gel agarose tersebut dimasukkan
kedalam UV reader untuk diinterpretasi.
3.8.3. Curl Up Test (CUT)
Pengukuran daya tahan otot (Muscular Endurance) dilakukan dengan Curl Up Test.
a. Alat : karpet/ matras yang telah Strip (double-tape) dengan lebar 3 inci (7.62
cm), aplikasi metronome 40 bpm (telah diinstal pada Samsung Galaxy
Tab 3)
b. Cara kerja:
1. Peserta dengan posisi tidur (supine) pada matras dengan kedua lengan
lurus di samping tubuh, bahu dirilekskan, telapak tangan menghadap ke
matras, jari jari diluruskan.
2. Atur posisi agar jari yang paling panjang setiap tangan menyentuh ujung
strip yang paling dekat.
3. Kaki di tekuk membentuk sudut 90°, jarak kaki dengan bokong sekitar
12-18 inci (30.48 – 45.72 cm).

47
Universitas Sumatera Utara

4. Untuk melakukan tes Curl up, set metronome 40 bpm, fleksikan
punggung bersamaan dengan gesekkan jari-jari setiap tangan pada
matras melewati strip (doubletape), kedua tangan tetap lurus dan sejajar.
5. Untuk kembali ke posisi semula; bahu harus kembali menyentuh matras,
tanpa kepala disentuh tangan.
6. Bahu harus dirilekskan setelah curl up, kaki dan bokong harus tetap
menyentuh lantai.
7. Bernafas dengan santai, hembuskan nafas pada saat fase mengangkat
badan (fleksi); jangan ditahan nafas.
8. Apabila hanya salah satu telapak tangan saja yang melewati ujung garis
dan telapak tangan lainnya tidak melewati ujung garis maka skor tes
curl-up tidak dihitung.
9. Apabila kaki terangkat maka skor tes curl-up tidak dihitung.
10. Sebelum memulai tes curl-up, dilakukan simulasi/ demonstrasi tes.
Gambar 3.1. Tes Curl Up berdasarkan usia dan jenis kelamin

Nilai Curl – Up untuk Anak – anak (laki – laki)
Usia
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17+
Percentile
90
23
27
31
41
38
49
100
60
77
100
79
82
80
20
23
27
33
35
40
58
55
58
70
61
63
70
15
20
25
27
29
35
48
48
52
60
48
50
60
12
16
20
23
27
29
36
42
48
50
40
47
50
10
13
17
20
24
26
32
39
40
45
37
42
40
9
12
15
18
20
22
31
35
33
40
34
39
30
8
10
13
15
19
21
27
31
30
32
30
31
20
7
9
11
14
14
18
24
30
28
29
28
28
10
5
7
9
10
11
13
18
21
24
22
23
24
Adopted by permission from Presidents Council for Physical Fitness, Presidents Challenge Normative
Data Spreadsheet (Online). Available: www.presidentschallenge.org

48
Universitas Sumatera Utara

Interpretasi:
Sangat Baik

: > persentil 90

Baik

: persentil 70 – 80

Cukup

: persentil 50 – 60

Kurang

: persentil 30 – 40

Sangat Kurang : < persentil 20

3.9. Analisa statistik
Analisa data dilakukan menggunakan teknik komputerisasi, dengan SPSS versi 19.
Statistik deskriptif digunakan untuk menggambarkan karakteristik usia, deskripsi tes Curl Up
dan distribusi varian gen PPAR⍺. Kemudian data polimorfisme gen PPAR⍺ dan hasil tes Curl
Up untuk daya tahan otot dilakukan uji distribusi dan homogenitas data untuk menentukan uji
analisa statistik yang akan digunakan. Uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov digunakan untuk
menentukan data berdistribusi normal atau tidak berdistribusi normal.
Analisa statistik yang digunakan adalah analisa bivariat untuk menganalisa dua
variabel, yaitu variabel bebas dan variabel tergantung. Pada analisa bivariat digunakan uji nonparametrik uji Chi-square (uji x2) karena variabel bebas berskala nominal dan variabel
tergantung berskala ordinal dan apabila tidak memenuhi syarat Uji Chi-square, maka dilakukan
Uji Fisher-exact. Selanjutnya dilakukan uji korelasi untuk menentukan kekuatan hubungan
antara variabel, uji korelasi yang digunkan adalah Uji pearson (data berdistribusi normal) atau
uji korelasi Spearman (data tidak berdistribusi normal). Interpretasi nilai korelasi (r), sebagai
berikut:
Nilai Koefisien korelasi (r)

Makna hubungan

0,000 – 0,199

Hubungan sangat lemah

0,200 – 0,399

Hubungan lemah

0,400 – 0,599

Hubungan sedang

0,600 – 0,799

Hubungan kuat

0,800 – 1,000

Hubungan sangat kuat

Untuk menentukan koefisien determinasi dihitung dengan cara mengkuadrat nilai
koefisien korelasi (r2). Nilai koefisien determinasi adalah untuk menentukan seberapa besar
(persentase) pengaruh variabel independen terhadap dependen.
49
Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya untuk mengetahui apakah terdapat polimorfisme pada gen PPARα pada
populasi penelitian ini dilakukan perhitungan dengan menggunakan asas Hardy-Weinberg
Equilibrium. Interpretasinya adalah jika nilai p>0,005 berarti terdapat polimorfisme pada
populasi penelitian atau sesuai dengan asas Hardy-Weinberg Equilibrium.

3.10. Kerangka Konsep

Polimorfisme Gen PPARα
G/C Intron 7







Daya tahan otot:
Sangat baik
Baik
Cukup
Kurang
Sangat Kurang

Karakteristik Subjek:





Umur
Tinggi Badan
Berat Badan
Indeks Massa Tubuh

Faktor yang mempengaruhi daya
tahan otot (Yan et al, 2011):
• Oksidasi Mitokondria
• Sintesis ATP
• Tipe serabut otot skeletal
• Vaskularisasi

50
Universitas Sumatera Utara

BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari bulan September – November 2016 setelah mendapatkan
persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Bidang Kesehatan FK.USU, melibatkan 77 anak
sekolah sepak bola yang terdiri dari 13 anak laki – laki dari sekolah sepak bola Tasbi (SSB
Tasbi), 35 anak laki – laki sekolah sepak bola Sejati Pratama (SSB Sejati Pratama), 29 anak
laki – laki sekolah sepak bola USU (SSB USU). Tes Curl-Up merupakan salah satu tes yang
digunakan untuk mengetahui daya tahan otot. Tes Curl-Up dilakukan di lapangan tempat SSB
berlatih. Pengambilan sampel sel dari bukal dilakukan di lapangan tempat anak – anak sekolah
sepak bola berlatih. Sel yang telah dikumpulkan kemudian dilakukan isolasi DNA dan
Polimerase Chain Reaction – Restriction Fragment Length Polimorphism (PCR-RFLP) di
laboratorium terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

4.1.1. Deskripsi subjek penelitian
Subjek penelitian merupakan anak – anak SSB yang berusia 11 – 16 tahun dan berjenis
kelamin laki – laki yang melakukan latihan sepak bola secara rutin ±3 kali seminggu yang
dibimbing oleh pelatih. Teknik – teknik yang diajarkan berupa latihan fisik, latihan teknik dan
latihan kerjasama tim. Pengelompokan usia dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut.
Tabel 4.1 Karakteristik usia pada anak sekolah sepak bola (SSB Tasbi, SSB Sejati
Pratama dan SSB USU) tahun 2016 (n = 77)
Karakteristik Usia

Frekuensi

Persentase (%)

11 tahun

16

20,8

12 tahun

19

24,7

13 tahun

22

28,6

14 tahun

12

15,6

15 tahun

5

6,4

16 tahun

3

3,9

Total

77

100

51
Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan tabel 4.1, usia mayoritas anak –anak sekolah sepak bola usia 13 tahun
sebanyak 22 orang (28,6%) dan anak – anak berusia 12 tahun sebanyak 19 orang (24,7%). Usia
termuda 11 tahun sebanyak 16 orang (20,8%) dan usia tertua adalah 16 tahun sebanyak 3 orang
(3,9%), rata – rata usia subjek adalah usia 12,7 tahun ± 1,34.
4.1.2. Deskripsi pemeriksaan daya tahan otot
Setelah dilakukan tes Curl-Up pada anak – anak sekolah sepak bola, rata – rata hasil
tes Curl-Up adalah 26,65 (±14,05). Jumlah Curl- Up yang diperoleh setiap subjek
dibandingkan dengan tabel nilai Curl-Up berdasarkan usia subjek yaitu kategori sangat baik
(lebih dari 90 persentil), kategori baik (70 – 80 persentil), kategori cukup (50 – 60 persentil,
kategori kurang (30 – 40 persentil) dan kategori sangat kurang. Hasil Curl-Up subjek dapat
dilihat pada tabel 4.2 berikut.

Tabel 4.2 Karakteristik daya tahan otot (tes Curl-Up) pada anak sekolah sepak bola
(SSB Tasbi, SSB Sejati Pratama dan SSB USU) tahun 2016 (n = 77)
Curl-Up
Usia

Total
Sangat

12 tahun

13 tahun

14 tahun

15 tahun

16 tahun

Cukup

Baik

12

1

3

0

(15,6%)

(1,3%)

(3,9%)

16

2

1

(20,8%)

(2,6%)

(1,3%)

9

5

4

2

2

22

(11,7%)

(6,5%)

(5,2%)

(2,6%)

(2,6%)

(28,6%)

7

3

0

2

0

12

(9,1%)

(3,9%)

4

1

(5,2%)

(1,3%)

3

0

baik
0

0

0

19
(24,7%)

(2,6%)
0

16
(20,8%)

0

(15,6%)
0

5
(6,5%)

0

0

0

(3,9%)
Total

(persentase)

Kurang

kurang
11 tahun

Sangat

3
(3,9%)

51

12

8

4

2

77

(66,2%)

(15,6%)

(10,4%)

(5,2%)

(2,6%)

(100%)

52
Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan tabel 4.2, hasil pemeriksaan daya tahan otot (tes Curl-Up) sebagian besar
daya tahan otot anak – anak sekolah sepak bola pada kategori sangat kurang yaitu sebanyak 51
orang (66,2%). Kategori daya tahan otot sangat kurang secara mayoritas ditemukan pada anak
– anak usia 12 tahun sebanyak 16 orang (20,8%), tetapi pada penelitian ini juga ditemukan
daya tahan otot anak – anak sepak bola dengan kategori sangat baik sebanyak 2 orang (2,6%)
pada anak usia 13 tahun.

4.1.3. Deskripsi polimorfisme gen Peroxisome Proliferator Activated-receptors Alpha
(PPARα)
Setelah dilakukan isolasi DNA maka dilakukan pengukuran konsentrasi dan
kemurnian DNA menggunakan Nanophotometer. Pada penelitian ini didapatkan sampel DNA
pada beberapa subjek dengan konsentrasi DNA 0 ng/µL sehingga tidak diikutkan untuk PCRRFLP. Hasil varian gen PPARα pada setiap subjek anak – anak sekolah sepak bola dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 4.3 Distribusi data varian gen PPARα Intron 7 G/C terhadap usia pada anak – anak
sekolah sepak bola (SSB Tasbi, SSB Sejati Pratama dan SSB USU) tahun 2016
(n = 77)
Genotip PPARα

Total (persentase)

Usia

GG

GC

11 tahun

15 (19,5%)

1 (1,3%)

16 (20,8%)

12 tahun

19 (24,7%)

0

19 (24,7%)

13 tahun

21 (27,3%)

1 (1,3%)

22 (28,6%)

14 tahun

12 (15,6%)

0

12 (15,6%)

15 tahun

5 (6,5%)

0

5 (6,5%)

16 tahun

3 (3,9%)

0

3 (3,9%)

Total

75 (97,4%)

2 (2,6%)

77 (100%)

Berdasarkan tabel 4.3, varian gen PPARα secara mayoritas pada anak – anak sekolah
sepak bola adalah genotip GG (homozygote) sebanyak 75 orang (97,4%), sedangkan genotip
GC sebanyak 2 orang (2,6%) (heterozygote). Varian fenotip CC tidak ditemukan pada
penelitian ini.

53
Universitas Sumatera Utara

4.1.4. Hardy-Weinberg Equilibrium
Untuk membuktikan bahwa gen Peroxisome proliferator-activated receptor α
(PPARα) G/C Intron 7 genotip GG dan GC adalah suatu polimorfisme pada populasi yang
diteliti, dilakukan perhitungan Hardy-Weinberg Equilibrium (HWE). Equilibrium alel dalam
suatu lokus dinyatakan sebagai relasi matematika dalam frekuensi alel dan genotip disebut
Hardy-Weinberg Equilibrium Hardy (HWE). Melalui HWE dapat diprediksi sejauh mana gen
akan diturunkan dari suatu generasi ke generasi dan frekuensi alel yang akan tetap sama dari
suatu generasi ke generasi mengasumsikan bahwa tidak terjadi mutasi. Perhitungan HardyWeinberg

Equilibrium

(HWE)

melalui

http://www.had2know.com/academics/hardy-

weinberg-equilibrium-calculator-2-alleles.html dan didapatkan hasil pada tabel dibawah ini
Tabel 4.4 Frekuensi genotip dan alel gen PPARα Intron 7 G/C pada pada anak – anak
sekolah sepak bola (SSB Tasbi, SSB Sejati Pratama dan SSB USU) tahun 2016
(n = 77)
Genotip

Frekuensi alel

GG

GC

CC

G

C

Observed

75

2

0

152

2

Expected

75,01

1,97

0,01

(98,7%)

(1,3%)

(97,42%)

(2,56%)

(0,02%)

HW
Frequency

p

0,90

Gambar 4.1 Hasil elektroforesis produk PCR-RFLP gen PPARα G/C Intron 7

54
Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa varian gen PPARα pada penelitian
ini adalah polimorfisme karena sesuai dengan hukum Hardy-Weinberg Equilibrium (p>0,05),
dimana (p=0,90) ditemukan pada penelitian ini
4.1.5. Hubungan polimorfisme gen PPARα intron 7 dengan tes Curl-up
Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang signifikan antara varian gen
PPARα dengan daya tahan otot dilakukan uji analisa statistik. Namun terlebih dahulu dilakukan
uji normalitas data melalui uji Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji Normalitas data melalui uji
Kolmogorov-Smirnov menyatakan data tidak berdistribusi normal, sehingga uji analisa statistik
yang digunakan adalah uji statistik non-parametrik. Untuk menguji korelasi antara varian gen
PPARα dengan daya tahan otot digunakan uji korelasi Spearman rho dengan interpretasi nilai
jika r = 0,000 – 0,199 (korelasi sangat lemah), r = 0,200 – 0,399 (korelasi lemah), r = 0,400 –
0,599 (korelasi sedang), r = 0,600 – 0,799 (korelasi kuat) dan r = 0,800 – 1,000 (korelasi sangat
kuat). Hasil analisa statistik dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.5 Distribusi data varian gen PPARα Intron 7 G/C dan daya tahan otot (tes Curlup) pada anak – anak sekolah sepak bola (SSB Tasbi, SSB Sejati Pratama dan
SSB USU) tahun 2016 (n = 77)
Varian
Curl-Up
gen
Total
p
Sangat
Kurang
Cukup
Baik
Sangat
PPARα
Kurang
Baik
50
11
8
4
2
75
GG
(64,9%) (14,3%) (10,4%) (5,2%) (2,6%) (97,4%)
0,564
1
1
0
0
0
2
GC
(1,3%)
(1,3%)
(2,6%)
51
12
8
4
2
77
Total
(66,2%) (15,6%) (10,4%) (5,2%) (2,6%)
(100%)

*Uji Fisher’s Exact

Hasil uji analisa statistik menggunakan uji Fisher’s Exact adalah p=0,564 yang berarti
tidak ada hubungan yang signifikan antara varian gen PPARα dengan Curl-Up. Hasil uji
koefisien korelasi (r) Spearman rho antara variabel varian gen PPARα terhadap daya tahan otot
(tes Curl-Up) adalah 0,024 (hubungan sangat lemah).
Nilai koefisien korelasi selanjutnya dilakukan perhitungan koefisien determinasi
untuk menentukan seberapa besar pengaruh variabel varian gen PPARα terhadap daya tahan
otot (tes Curl-Up) dengan cara mengkuadratkan nilai koefisien korelasi. Hasil yang didapatkan
adalah 0,0242 = 0,0005, berarti pengaruh varian gen PPARα terhadap daya tahan otot (tes Curl-

55
Universitas Sumatera Utara

Up) sebesar 0,05% dan 99,95% ditentukan oleh faktor lain (misalnya; varian genetik lainnya,
nutrisi dan lainnya).

4.2. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian ini, usia mayoritas anak – anak sekolah sepak bola pada
penelitian ini adalah usia 12 - 13 tahun. Berdasarkan kurikulum dan pedoman sepak bola di
Indonesia yang diterbitkan oleh PSSI untuk usia dini (U5 – U12), usia muda (U13 – U20) dan
senior menyatakan melatih usia muda jauh berbeda dengan melatih para pemain senior, karena
harus menerapkan dasar – dasar bermain sepak bola yang benar. Konsep kepelatihan usia dini
berfokus pada penyaluran potensi bakat anak – anak sekolah sepak bola, bukan permainan
kerjasama dalam tim. Program pembinaan pelatihan meliputi; hubungan latihan dengan
pertandingan yang bertujuan untuk mempersiapkan anak – anak sekolah sepak bola untuk
kompetisi dan komponen lainnya, seperti; taktik, teknik, jiwa kebersamaan (psikososial/
mental) dan fisik.
Berdasarkan pengamatan peneliti pada beberapa sekolah sepak bola tempat penelitian
melakukan latihan tiga kali seminggu dan dibimbing oleh pelatih. Namun masih terdapat
sekolah sepak bola yang di bimbing oleh satu orang pelatih. Tetapi pada beberapa sekolah
sepak bola telah dilatih oleh beberapa pelatih dan di kelompokkan berdasarkan usia anak –
anak. Pada sekolah sepak bola tempat penelitian juga dilakukan latihan dasar sepakbola,
seperti; teknik, taktik dan kebersamaan. Namun latihan daya tahan otot secara khusus tidak
dilakukan, kemungkinan terkait dengan anak – anak usia dini memiliki keterbatasan fisik
terutama pada kekuatan dan ketahanannya. Latihan – latihan diberikan hanya sebatas kecepatan
menggiring bola, kelincahan (agility) dan kerjasama tim.
Pada penelitian ini ditemukan daya tahan otot dengan kategori sangat kurang sebanyak
51 orang (66,2%) dan kategori kurang sebanyak 12 orang (15,6%). Rendahnya daya tahan otot
pada hasil penelitian ini mungkin disebabkan oleh proses latihan yang kurang sistematis.
Latihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pemain atau siswa akan mengakibatkan
ketidakefektifan dalam mencapai kemampuan yang diharapkan. Proporsi dalam latihan tidak
hanya masalah kuantitas (jumlah latihan) akan tetapi kualitas dan kontinuitas. Kualitas latihan
menggambarkan efektivitas dari latihan sedangkan kontinuitas latihan adalah mendeskripsikan
keseriusan dan kemampuan untuk tetap menjaga kebugaran tubuh pemain atau siswa.
Kemampuan aerobik yang baik hanya didapatkan melalui latihan, melalui latihan suplai
oksigen akan tercukupi pada otot, menurunkan tingkat stress dan meningkatkan pengeluaran
56
Universitas Sumatera Utara

aam laktat dari tubuh. Penurunan kemampuan aerobik menyebabkan penurunan daya tahan
otot sehingga kemampuan berolahraga juga akan menurun. Selain itu siswa binaan juga harus
memiliki kebiasaan hidup yang sehat dalam kehidupan sehari – hari. Perhitungan lemak tubuh
pada para pemain juga seharusnya dilakukan, diet dengan rendah lemak dan latihan yang
teratur sangat dianjurkan. (Periasamy et al, 2015).
Penelitian yang dilakukan oleh Winarni menyatakan terdapat perbedaan daya tahan otot
tungkai sebelum dan sesudah diberi perlakuan latihan Rope Jump dengan metode interval.
Latihan Rope Jump selama enam minggu dengan frekuensi latihan tiga kali seminggu terbukti
dapat meningkatkan rata – rata daya tahan otot tungkai subjek, sehingga penerapan latihan
Rope Jump secara teratur, terprogram dan berkesinambungan serta disiplin yang tinggi dapat
digunakan oleh pelatih untuk meningkatkan kekuatan otot tungkai. Beberapa contoh latihan
daya tahan otot adalah lompat tali perorangan atau berpasangan dan lari dalam waktu yang
lama. Sedangkan contoh latihan otot tungkai adalah naik turun bangku, jongkok berdiri, jalan
kelinci atau engkleng dan lompat diatas bangku (Anggraeni, 2012; Winarni, 2015). Wong et al
(2010) juga menyatakan program latihan dapat meningkatkan daya tahan aerobik pada pemain
sepak bola. Latihan aerobik yang berkelanjutan dapat meningkatkan jumlah mitokondria dan
kemampuan oksidatif dan mengubah karateristik serabut otot dari fast-twitch menjadi slowtwitch.
Secara genetik anak – anak binaan pada beberapa sekolah sepak bola penelitian ini telah
mendukung memiliki daya tahan otot yang baik, berdasarkan hasil penelitian bahwa sekitar 75
orang (97,4%) memiliki varian gen PPARα genotip GG, tetapi daya tahan otot pada anak –
anak SSB dengan kategori sangat kurang sebanyak 50 orang (64,9%) dan kategori kurang
sebanyak 11 orang (14,3%). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ahmetov et al (2006)
menyatakan genotip GG berhubungan dengan kemampuan daya tahan otot terkait dengan
peningkatan penggunaan asam lemak bebas, tingginya nilai pols oksigen dan alel G
berhubungan dengan atlit yang berorientasi pada kemampuan daya tahan (endurance). Ekspresi
PPARα juga meningkat pada serabut otot tipe I (oksidatif) dibandingkan pada serabut otot tipe
II. Alel C gen PPARα intron 7 G/C berhubungan dengan atlit yang berorientasi pada daya ledak
(power). Alel C menyebabkan penurunan ekspresi PPARα atau fungsinya, penurunan respon
terhadap fenofibrate (aktivator PPARα) sehingga menurunkan aktivasi transkripsional PPARα
pada target gen. Alel C juga cenderung menyebabkan otot skeletal menjadi hipertrofi, dan
memfasilitasi penggunaan glukosa dibandingkan asam lemak bebas sebagai respon terhadap
olahraga jenis anaerobik.. Hasil penelitian tesebut juga menyatakan bahwa alel tidak hanya
berhubungan dengan jenis/ tipe serabut otot, tetapi juga pada distribusi serabut otot. Alel G
57
Universitas Sumatera Utara

berhubungan dengan peningkatan proporsi serabut otot tipe I dibandingkan dengan serabut otot
tipe II. Keberhasilan daya tahan (endurance) seorang atlit bergantung pada proporsi serabut
otot slow-twitch dibandingkan pada serabut otot fast-twitch terhadap otot yang dilatih (pada
atlit sprinter; fast-twitch lebih mayoritas). Sehingga genotip GG merupakan salah satu marker
genetik pada kemampuan aerobik (fenotip daya tahan otot). Sedangkan alel C ditemukan kadar
plasma lipid lebih tinggi pada pertumbuhan jantung dan meningkatkan resiko penyakit arteri
koroner (Ahmetov et al, 2006, 2013).
Namun daya tahan otot dengan kategori sangat kurang sebanyak 50 orang (64,9%) dan
daya tahan otot kategori kurang sebanyak 11 orang (14,γ%) pada genotip GG gen PPARα
ditemukan pada penelitian ini. Daya tahan otot kategori sangat kurang dan kurang ditemukan
mungkin disebabkan karena program latihan pada beberapa sekolah sepakbola yang masih
belum terstruktur atau belum sesuai dengan kurikulum sepakbola standar Internasional (AFC,
UEFA atau FIFA) untuk usia dini (U-5 – U-12) dan usia muda (U-13 – U20) dan program
latihan masih berdasarkan pengalaman pelatih. Jika kategori daya tahan otot rendah, maka
seharusnya pelatih menganjurkan latihan fisik dengan beban (berat badan sebagai beban,
contohnya: push-up, curl-up, pull-up, dan sebagainya) karena secara genetik telah mendukung
pembentukan serabut otot tipe I untuk daya tahan otot yang baik. Namun faktor gizi dan
beberapa gen lain juga memiliki keterkaitan/ hubungan dengan daya tahan otot, misalnya; gen
PPARGC1A, ACTN-3, ACE, dan sebagainya (Russel et al, 2003; Ahmetov et al, 2009;
Gineviciene et al, 2012).
Kemampuan fisik manusia merupakan sangat kompleks, dipengaruhi oleh multifaktor
keterlibatan fenotip berbagai gen (melibatkan beberapa gen), faktor lingkungan (interaksi gen
dengan lingkungan) (Bray et al.,2009; Bross et al,2011), proporsi serabut otot tipe I (Abernethy
et al, 1990), maximal cardiac output dan maximal rate of oxygen consumption/ VO 2max (Basset
and Howley, β000). Hasil penelitian Jamshidi (β00β) pada gen PPARα inton 7 menyatakan alel
C menyebabkan transkripsi PPARα menjadi lebih aktif, misalnya hipertrofi pada ventrikel kiri
otot jantung. Alel C pada polimorfisme gen PPARα intron 7 G/C merupakan ditemukannya
dua atau lebih lokus polimorfisme pada sebuah varian gen yang diteliti pada promotor atau
elemen gen PPARα sehingga menurunkan ekspresi gen PPARα. Polimorfisme pada lokasi
tersebut mengganggu micro-RNA (Cressi et al,2008; Bross et al,2011).
Dampak dari latihan olahraga secara kronik dan pada atlit yang berorientasi pada daya
tahan mengalami peningkatan ekspresi mRNA gen PPARα dibandingkan dengan subjek aktif
(Kramer et al,2006; Bross et al, 2011). Setelah program latihan daya tahan selama 6 minggu,
ekspresi mRNA PPARα meningkat γ kali dan 1,5 kali pada serabut otot skeletal tipe I dan tipe
58
Universitas Sumatera Utara

II. Peningkatan mRNA PPARα berhubungan dengan peningkatan persentase serabut otot
skeletal tipe I pada manusia (Kramer et al,2006; Bross et al, 2011). Ahmetov et al (2006)
menyatakan terjadi peningkatan persentase serabut otot skeletal tipe I pada individu dengan
homozigot GG dibandingkan pada homozigot CC dan mRNA PPARα lebih tinggi pada carrier
alel G dibandingkan pada individu dengan carrier alel C. Adaptasi transkripsional
menyebabkan perubahan protein PPARα didalam sel otot skeletal.
Latihan daya tahan otot meningkatkan mRNA PGC-1, mRNA PPARα, protein PGC1 dan protein PPARα pada serabut otot skeletal tipe I, IIa dan IIx. PGC-1 diekspresikan secara
mayoritas pada tipe IIa dibandingkan pada serabut tipe I dan IIx, sedangkan PPARα
diekspresikan secara mayoritas serabut tipe I dibandingkan pada serabut tipe IIa dan IIx,
perbedaan terjadi setelah latihan enduransi. Peningkatan PGC-1 menyebabkan peningkatan
proporsi serabut otot skeletal tipe I. PGC-1 merupakan koaktivator oksidatif serabut otot
skeletal tipe I pada manusia. Latihan daya tahan otot meningkatkan ekspresi target gen PGC1, termasuk Troponin-1, COX4, GLUT4 dan PPARα, sehingga latihan daya tahan otot
meningkatkan mitokondria otot, fenotip serabut otot tipe I, kemampuan oksidatif dan
sensitifitas insulin sebagai dampak dari peningkatan PGC-1 dan PPARα terhadap target gen
(Russel et al, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Metaxas et al (2014) menyatakan usia dan
status latihan berperan pada ekspresi serabut otot.
Hasil penelitian Metaxas et al (2014) menyatakan perubahan serabut otot tipe II (fasttwitch) disebabkan tingginya persentase fast twitch oxidative (tipe IIA) dan rendahnya
persentase fast glycolitic (tipe IIX), ekpresi biasanya terjadi pada saat prepubertas dan masa
purbertas atlit yang dilatih. Tipe serabut otot dipengaruhi oleh isoform MHC (myosin heavy
chain), hasil analisa pada beberapa kelompok atlit sepakbola usia 15 tahun menyatakan MHC
IIA persentasenya lebih tinggi dibandingkan pada usia 11 tahun dan 13 tahun. Tetapi persentase
tipe serabut otot slow twitch oxidative (tipe I) secara signifikan persentasenya lebih rendah pada
usia 15 tahun dibandingkan pada usia 11 tahun. Tingginya proporsi distribusi MHC IIA pada
serabut otot mungkin disebabkan respon adaptif secara spontan terhadap rangsangan latihan
sepakbola anaerobik dan daya tahan aerobik.
Rendahnya kemampuan daya tahan otot pada anak – anak sekolah sepak bola juga
mungkin disebabkan faktor nutrisi. Berdasarkan pada Kurikulum Sepakbola Indonesia PSSI
tahun 2012 menyatakan beberapa kiat praktis untuk meningkatkan kemampuan fisik pemain,
antara lain; pertama, setiap pemain wajib lebih banyak mengkonsumsi air putih dan air kelapa
muda lebih dari orang biasa (isotonic natural) karena 2/3 berat badan adalah cairan tubuh, jika
terjadi dehidrasi menyebabkan kejang dan koordinasi menurun serta kehilangan kesadaran dan
59
Universitas Sumatera Utara

penurunan konsentrasi. Kedua; mengkonsumsi protein, mineral dan vitamin (sayur – sayuran
dan buah – buahan) lebih dari orang biasa. Protein (putih telur, ikan, daging dan pisang) penting
untuk otot untuk menghasilkan tenaga, vitamin dan mineral untuk fungsi tubuh. Ketiga; sumber
tenaga ideal bagi seorang pemain sepakbola adalah karbohidrt kompleks (ubi – ubian, sagu,
nasi merah, kacang hijau, pasta, kentang, oat meal), hindari karbohidrat simple (nasi putih,
mie). Keempat; hindari makanan berlemak karena dapat menurunkan stamina/ daya tahan dan
koordinasi, hindari gula karena merupakan energi simple ganti dengan gula merah dan yang
paling baik adalah madu. Intensitas latihan terjadwal, periode istirahat diantara latihan (24 –
32 jam) hindari overtraining, intensitas latihan ditingkatkan secara perlahan (Scheunemann et
al, 2012). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Fakhrizal menyatakan bahwa pemberian air
kelapa dapat meningkatkan rata – rata tes Sit-Up pada kelompok perlakuan. Indeks air kelapa
paling mendekati nilai optmum atau paling baik mengganti kehilangan cairan dan elektrolit
tubuh pada saat latihan (Bahri, 2012; Fakhrizal, 2016).

60
Universitas Sumatera Utara

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang polimorfisme gen PPARα
dengan daya tahan otot, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Tidak ada hubungan antara polimorfisme gen PPARα dengan daya tahan otot pada
siswa sekolah sepak bola (p=0,258)
2. Daya tahan otot (muscular endurance) pada anak – anak sekolah sepak bola secara
mayoritas sangat kurang
3. Varian polimorfisme pada gen PPARα secara mayoritas adalah genotip GG
4. Polimorfisme PPARα adalah equilibrium menurut Hardy-Weinberg Equilibrium
(p=0,86)

5.2. Saran
1. Diperlukan adanya penelitian lanjutan tentang SNPs lainnya yang berkaitan
dengan daya tahan otot (PGC-1, ACTN-3 atau gen lainnya)
2. Diperlukan penelitian lanjutan tentang keterkaitan gen PPARα dengan Indeks
Massa Tubuh (IMT) atlit.
3. Sebelum latihan, sebaiknya dilakukan pengukuran tekanan darah, tinggi badan,
berat badan dan pemeriksaan daya tahan otot.
4. Dianjurkan program latihan daya tahan otot dilakukan pada anak – anak sekolah
sepakbola
5. Untuk pemeriksaan daya tahan otot sebaiknya pada saat subjek tidak sedang
menjalani program latihan, khusus hanya untuk kegiatan penelitian saja.

61
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Muscular Endurance pada Pemain Sepak Bola di Beberapa Klub Sepak Bola Kota Medan Tahun 2015

0 3 90

Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Muscular Endurance pada Pemain Sepak Bola di Beberapa Klub Sepak Bola Kota Medan Tahun 2015

0 1 15

Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Muscular Endurance pada Pemain Sepak Bola di Beberapa Klub Sepak Bola Kota Medan Tahun 2015

0 1 2

Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Muscular Endurance pada Pemain Sepak Bola di Beberapa Klub Sepak Bola Kota Medan Tahun 2015

0 0 5

Hubungan gen Peroxisome Proliferator-activated Receptor Alpha (PPARα) dengan daya tahan otot (Muscular Endurance) pada siswa sekolah sepak bola di kota Medan

2 3 13

Hubungan gen Peroxisome Proliferator-activated Receptor Alpha (PPARα) dengan daya tahan otot (Muscular Endurance) pada siswa sekolah sepak bola di kota Medan

0 0 2

Hubungan gen Peroxisome Proliferator-activated Receptor Alpha (PPARα) dengan daya tahan otot (Muscular Endurance) pada siswa sekolah sepak bola di kota Medan

0 0 4

Hubungan gen Peroxisome Proliferator-activated Receptor Alpha (PPARα) dengan daya tahan otot (Muscular Endurance) pada siswa sekolah sepak bola di kota Medan

0 0 35

Hubungan gen Peroxisome Proliferator-activated Receptor Alpha (PPARα) dengan daya tahan otot (Muscular Endurance) pada siswa sekolah sepak bola di kota Medan

0 0 3

Hubungan gen Peroxisome Proliferator-activated Receptor Alpha (PPARα) dengan daya tahan otot (Muscular Endurance) pada siswa sekolah sepak bola di kota Medan

0 0 19