Penerapan Klausul Eksonerasi Dan Akibat Hukumnya Dalam Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Pada Bank Syariah (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor 967 Pdt.G 2012 Pa.Mdn) Chapter III V

77

   
   

“…..dan penuhilah janji, karena janji itu pasti dimintai pertanggung
jawabannya.”
BAB III
AKIBAT HUKUM PENERAPAN KLAUSUL EKSONERASI DALAM

PERJANJIAN PEMBIAYAAN MUSYARAKAH BERDASARKAN HUKUM
PERJANJIAN ISLAM, KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA,
UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERATURAN
OTORITAS JASA KEUANGAN

A. Pengertian Akibat Hukum
Perbuatan atau peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dapat menimbulkan
akibat hukum. Peristiwa hukum adalah semua peristiwa atau kejadian yang dapat
menimbulkan akibat hukum, antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan
hukum. 163 Peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang oleh hukum diberikan akibat162F


akibat dinamakan peristiwa hukum atau kejadian hukum (rechtsfeit). 164
163F

Menurut Bellefroid menjelaskan bahwa peristiwa hukum adalah “peristiwa
sosial yang tidak secara otomatis dapat merupakan/menimbulkan hukum. Suatu
peristiwa dapat menimbulkan hukum apabila peristiwa itu oleh peraturan hukum

163

Soejono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h.
130. Selanjutnya lihat dalam Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum, (Medan: Cahaya
Ilmu, 2006), h. 120.
164
CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum ,( Jakarta: Sinar Grafika, 1992), h. 51.

78

dijadikan peristiwa hukum.” 165 Menurut Van Apeldoorn sebagaimana dikutip
Chainur Arrasjid bahwa peristiwa hukum adalah “peristiwa yang berdasarkan hukum
menimbulkan atau menghapuskan hak.” 166 Peristiwa Hukum yang sesungguhnya

hanya dijumpai dalam rumusan hukum atau dalam peraturan hukumnya. Peraturan
hukum mempunyai bagian dari dunia serta tatanan hukum, bukan bagian dari dunia
kenyataan. 167
Berdasarkan definisi tersebut diatas, maka peristiwa hukum merupakan
peristiwa di dalam masyarakat yang menimbulkan akibat hukum atau yang dapat
menggerakkan peraturan tertentu sehingga peraturan yang tercantum di dalamnya
berlaku konkrit. Misalnya peraturan hukum yang mengatur tentang perkawinan, akan
menimbulkan akibat hukum bagi keduanya

dalam harta, anak. Demikian juga

kematian, akan membawa berbagai akibat hukum seperti penetapan ahli waris, dan
harta waris.
Peristiwa hukum dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 168
1. Perbuatan subjek hukum (manusia dan badan hukum)
2. Peristiwa lain yang bukan merupakan perbuatan subjek hukum
Perbuatan subjek hukum yaitu manusia dan badan hukum dapat dibedakan menjadi
perbuatan hukum dan perbuatan lain yang bukan perbuatan hukum. Suatu perbuatan
hukum dikatakan merupakan perbuatan hukum apabila perbuatan itu oleh hukum
165


Pipin Syarifin, Op.Cit, h. 73.
Chainur Arrasyid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 134.
167
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan Keenam, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), h.

166

39.
168

Hasim Purba, Op.Cit, h. 121.

79

diberi akibat, dan akibat hukum dikehendaki oleh yang bertindak. Jika akibat dari
suatu perbuatan tidak dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan tersebut atau salah
satu pihak dari yang melakukannya maka perbuatan itu bukan merupakan perbuatan
hukum. Kehendak dari pihak yang melakukan perbuatan merupakan unsur pokok dari
perbuatan tersebut. Suatu perbuatan yang akibatnya tidak dikehendaki oleh yang

melakukannya bukanlah suatu perbuatan hukum.
Perbuatan hukum dikenal dalam dua macam yaitu perbuatan hukum yang
bersegi satu (eenzijdig) dan perbuatan hukum yang bersegi dua (tweezijdig). 169
Perbuatan hukum yang bersegi satu adalah tiap perbuatan yang akibat hukumnya
ditimbulkan oleh kehendak dari satu subjek hukum saja. Misalnya perbuatan
mengadakan surat wasiat sebagaimana diatur dalam Pasal 853 KUHPerdata.
Perbuatan hukum bersegi dua adalah tiap perbuatan yang akibat hukumnya
ditimbulkan oleh kehendak dari dua subjek hukum, dua pihak atau lebih. Setiap
perbuatan hukum yang bersegi dua merupakan suatu perjanjian, sebagaimana diatur
dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang menyatakan “suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih.”
Perbuatan lain yang bukan perbuatan subjek hukum dapat dibedakan
menjadi dua bagian yaitu: 170

169

Ibid, h.122.
Ibid, h.123.


170

80

1. Perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, walaupun bagi hukum tidak perlu
akibat tersebut dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan itu, jadi akibat yang
tidak dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan itu diatur oleh hukum. Misalnya
memperhatikan mengurus kepentingan orang lain dengan tidak diminta
(zaakwaarneming) sebagaimana diatur dalam Pasal 1354 KUHPerdata.
2. Perbuatan yang bertentangan dengan hukum (Onrechtmatigedaad)
Akibat dari suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum diatur juga oleh
hukum. Melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum harus
mengganti kerugian yang diderita oleh orang yang dirugikan karena perbuatan
tersebut.
Peristiwa hukum terjadi maka tidak terlepas dari adanya akibat hukum
(rechtsgevolg). Akibat adalah sesuatu yang merupakan akhir atau hasil suatu
peristiwa (perbuatan, keputusan), pernyataan/keadaan yang mendahuluinya. 171 Akibat
hukum adalah akibat yang timbul karena peristiwa hukum. 172 Akibat hukum
merupakan suatu akibat yang ditimbulkan oleh adanya suatu hubungan hukum. Suatu
hubungan hukum memberikan hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh undangundang, sehingga apabila dilanggar akan berakibat bahwa orang-orang yang

melanggar itu dapat dituntut di muka pengadilan. 173
Pipin Syarifin menyatakan bahwa akibat hukum adalah “segala akibat yang
terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap
171

Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, h. 20
Ibid.
173
Soedjono Dirdjosisworo dalam Hasim Purba, Op.Cit, h. 125.
172

81

objek hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian
tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat
hukum.” 174
R. Soeroso mengatakan bahwa akibat hukum adalah akibat suatu tindakan
yang dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan
yang diatur oleh hukum. Tindakan yang dilakukannya merupakan tindakan hukum
yakni tindakan yang dilakukan guna memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki

hukum. 175
Timbulnya akibat hukum dalam suatu peristiwa hukum akan melahirkan
adanya hak dan kewajiban bagi subjek hukum yang bersangkutan. Misalnya dalam
perjanjian pembiayaan, maka telah lahir suatu akibat hukum yakni bank berkewajiban
untuk memberikan dana pembiayaan dan nasabah berkewajiban untuk melakukan
pembayaran atau pelunasan kredit. Demikian juga sebaliknya bank berhak atas
pelunasan kredit, dan nasabah berhak atas dana dari bank dalam bentuk pembiayaan.
Bentuk-bentuk dari akibat hukum dapat berwujud: 176
a. Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu keadaan hukum.
Misalnya dalam hal usia seseorang, Usia 21 Tahun, akibat hukumnya
berubah dari tidak cakap hukum menjadi cakap hukum, atau dengan adanya
pengampuan, lenyaplah kecakapan melakukan tindakan hukum.
b. Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan hukum, antara dua atau
lebih subjek hukum, dimana hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan
dengan hak dan kewajiban pihak yang lain.

174

Pipin Syarifin, Op.Cit, h. 71.
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), h. 295.

176
Ibid.

175

82

Misalnya A dan B mengadakan perjanjian jual beli, maka lahirlah hubungan
hukum antara A dan B. Setelah adanya pembayaran lunas, hubungan hukum
tersebut menjadi lenyap.
c. Lahirnya sanksi apabila dilakukan tindakan yang melawan hukum.
Misalnya seorang pencuri diberi sanksi hukuman adalah suatu akibat hukum
dari perbuatan si pencuri tersebut ialah mengambil barang orang lain tanpa
hak dan secara melawan hukum.
d. Akibat hukum yang timbul karena adanya kejadian-kejadian darurat oleh
hukum yang bersangkutan telah diakui atau dianggap sebagai akibat hukum,
meskipun dalam keadaan yang wajar tindakan-tindakan tersebut mungkin
terlarang oleh hukum.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka suatu peristiwa hukum yang
terjadi di masyarakat akan menimbulkan akibat hukum, baik itu perbuatan yang

dilakukan satu pihak saja (bersegi satu), misalnya dalam pembuatan surat wasiat.
Termasuk juga perbuatan yang dilakukan oleh dua pihak (bersegi dua) seperti
perjanjian jual beli, tukar menukar dan perjanjian pembiayaan. Akibat hukum dalam
perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak dalam perjanjian
tersebut.
B. Penerapan Klausul Eksonerasi Dalam Perjanjian Pembiayaan Musyarakah
1. Tinjauan Terhadap Pembiayaan Musyarakah
a. Pengertian Pembiayaan Musyarakah
Musyarakah merupakan akad kerjasama usaha antara dua pihak atau lebih
dalam menjalankan usaha, dimana masing-masing pihak menyertakan modalnya
sesuai dengan kesepakatan, dan bagi hasil atas usaha bersama diberikan sesuai
dengan kontribusi dana atau sesuai kesepakatan bersama. Musyarakah disebut juga
dengan syirkah, merupakan aktivitas berserikat dalam melaksanakan usaha

83

bersama antara pihak-pihak yang terkait. 177 Pasal 20 angka 3 KHES menyatakan
syirkah adalah “kerjasama antara dua orang atau lebih dalam permodalan,
keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian
keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang berserikat.”

Musyarakah dapat diartikan sebagai suatu kerjasama antara para pihak,
masing-masing pihak memberikan dalam bentuk dana atau keahlian, keterampilan
dengan keuntungan dan resiko ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
b. Landasan Syariah Pembiayaan Musyarakah
1) Al Qur’an
Landasan syariah pembiayaan musyarakah diatur dalam Surah An Nisa’ ayat (12)
yang artinya “..maka mereka berserikat pada sepertiga..” Pembiayaan musyarakah
juga diatur dalam Al Qur’an Surah Shaad ayat (24), artinya “dan sesungguhnya
kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim
kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal
saleh.” Kedua ayat Al qur’an tersebut di atas menunjukkan Allah Swt
membolehkan musyarakah atau perserikatan dalam kepemilikan harta. Surah An
Nisa’ ayat (12) perserikatan terjadi secara otomatis karena waris, sedangkan surah
Shaad ayat (24) terjadi karena akad.
2) Hadits Riwayat Abu Dawud
Landasan syariah diperbolehkannya pembiayaan musyarakah juga diatur dalam
Hadits Riwayat Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda “sesungguhnya Allah
177

Ismail, Op.Cit, h. 176.


84

Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama
salah satunya tidak mengkhianati lainnya.”
3) Ijma’
Ibnu Qudamah dalam kitabnya al Mughni 178, telah berkata, “kaum muslimin telah
berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat
perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya,” 179
c. Jenis-Jenis Pembiayaan Musyarakah
Musyarakah terbagi dua, yaitu musyarakah pemilikan dan musyarakah akad.
Musyarakah pemilikan tercipta karena adanya warisan, wasiat, atau kondisi
lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Akad
Musyarakah antara dua orang atau lebih, bahwa tiap mereka memberikan modal
musyarakah dan sepakat membagi keuntungan dan kerugian. Musyarakah akad
terbagi atas: 180
1) Syirkah al-‘Inan
Yaitu perjanjian antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan porsi
dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi
keuntungan dan kerugian sebagaimana yang telah disepakati. Akan tetapi
bagian bagi masing-masing pihak baik dalam hal dana, kerja, bagi hasil tidak
harus sama, sesuai dengan kesepakatan mereka.
178

Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah, Mughni wa Syarh Kabir, (Beirut: Darul Fikr, 1979),
vol.V, h. 109. Selanjutnya lihat Muhammad Syafi’i Antonio, Op.Cit, h. 91.
179
Para ulama sepakat syirkah inan dibolehkan dan sah, sedangkan syirkah lain terjadi
perbedaan pendapat di kalangan para ulama Syafi’iyah dan Dhahiriyah. Imaniyah berpendapat bahwa
segala jenis syirkah tidak diperbolehkan kecuali syirkah inan dan syirkah mudharabah. Hanabilah
memperbolehkan semua jenis syirkah, kecuali syirkah mufawwadah. Malikiyah memperbolehkan
semua jenis syirkah, kecuali syirkah wujuh dan mufawwadah. Hanafiyah dan Zaidiyah
memperbolehkan semua jenis syirkah jika memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Lihat Ibnu
Rusy, Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Jilid II, (Beirut: Dar al-Ihyan al-Kutub alArabiyah, 1998), h. 50-51. Selanjutnya lihat Hirsanuddin, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia:
Pembiayaan Bisnis dengan Prinsip Kemitraan, (Yogyakarta: Genta Press, 2008), h. 33.
180
Ibid, h. 92.

85

2) Syirkah Mufawadhah
Yaitu perjanjian antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu
bagian dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Syarat utama dari
musyarakah ini adalah kesamaan dana, kerja, tanggung jawab dan beban utang,
dibagi sama pada masing-masing pihak dalam perjanjian musyarakah tersebut.
3) Syirkah A’maal
Perjanjian kerjasama dua orang yang memiliki profesi yang sama untuk
menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu.
Misalnya dua orang penjahit menerima pesanan pembuatan seragam sebuah
kantor.
4) Syirkah Wujuh
Perjanjian antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik
serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dan menjual barang
tersebut secara tunai. Keduanya berbagi keuntungan dan kerugian berdasarkan
jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh mitra.
5) Syirkah Mudharabah
Perjanjian antara dua orang atau lebih dalam kerjasama usaha dimana pihak
pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola. Keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam
perjanjian.
2. Penerapan Klausul Eksonerasi Dalam Perjanjian Pembiayaan Musyarakah
Kerjasama dalam pembiayaan musyarakah dapat dilakukan antara dua pihak
pemilik modal atau lebih untuk melakukan usaha bersama dengan jumlah modal yang
tidak sama, masing-masing pihak berpartisipasi dalam perusahaan, dan keuntungan
atau kerugian dibagi sama atas dasar proporsi modal. 181 Kerjasama dalam bentuk
pembiayaan musyarakah dapat juga dilakukan dalam kerjasama antara dua pihak
pemilik modal atau lebih untuk melakukan usaha bersama dengan jumlah modal
yang sama dan keuntungan atau kerugian dibagi sama. 182
Perjanjian pembiayaan musyarakah merupakan perjanjian yang terjadi antara
Bank Syariah dengan Nasabah Penerima Fasilitas atau nasabah debitur. Perjanjian
181
182

Lihat Pasal 136 KHES.
Lihat Pasal 137 KHES.

86

kerjasama bahwa nasabah debitur memperoleh dana dari pemilik dana/modal (bank)
untuk mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan
pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya,
sedangkan kerugian ditanggung semua pemilik dana/modal berdasarkan bagian
dana/modal masing-masing.
Kesepakatan dalam pembiayaan musyarakah yang terjalin antara bank dan
nasabah debitur dituangkan dalam sebuah Perjanjian Pembiayaan musyarakah.
Perjanjian tersebut berisikan kesepakatan mengenai hak dan kewajiban masingmasing pihak dalam pelaksanaan pembiayaan musyarakah.

Perjanjian tersebut

diikuti dengan Surat Pernyataan yang merupakan bagian dari perjanjian pembiayaan
musyarakah

berdasarkan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) Akad Pembiayaan

Musyarakah Nomor 120/KCSY02-APP/MSY/2011 yang menyatakan:
1. Apabila ada hal-hal yang belum diatur atau belum cukup diatur dalam
Akad ini, maka kedua belah pihak akan mengaturnya bersama secara
musyawarah mufakat dalam suatu addendum. 183
2. Tiap addendum dari Akad merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dari akad ini.
Perjanjian pembiayaan musyarakah tersebut disertai dengan Surat Pernyataan yang
berbunyi “apabila dikemudian hari pada saat asuransi jiwa saya belum terbit polisnya,
terjadi sesuatu pada diri saya dan mengancam jiwa saya, ahli waris saya tidak akan

183

Addendum adalah lampiran, suplemen, tambahan.. Lihat John M. Echols dan Hassan
Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 11. Adendum yaitu
jilid tambahan (pada buku), lampiran, ketentuan atau Pasal tambahan, misalnya dalam akta atau
perjanjian. Lihat Depatemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, h. 7. Istilah adendum dipergunakan saat ada
tambahan atau lampiran pada perjanjian pokoknya namun merupakan satu kesatuan dengan perjanjian
pokoknya.

87

menuntut pihak bank dan seluruh pembiayaan saya tetap akan menjadi tanggung
jawab ahli waris saya hingga selesai.”
Pembiayaan tersebut dilindungi dengan adanya asuransi jiwa, yaitu:
“Usaha yang menyelenggarakan jasa penanggulangan risiko yang
memberikan pembayaran kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain
yang berhak dalam hal tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup, atau
pembayaran lain kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang
berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah
ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.” 184
Jiwa

seseorang

dapat,

guna

keperluan

seorang

yang

berkepentingan,

dipertanggungkan baik untuk selama hidupnya jiwa itu, baik untuk sesuatu waktu
yang ditetapkan dalam perjanjian. 185 Apabila terjadi sesuatu terhadap jiwa nasabah
debitur, maka pembiayaan yang diberikan kepada nasabah debitur telah dilindungi
oleh asuransi. Salah satu upaya untuk melindungi pembiayaan apabila terjadi resiko
yang tidak diinginkan selama dalam pelaksanaan pembiayaan apabila nasabah debitur
meninggal dunia, maka pembiayaan yang diberikan kepada nasabah debitur
dilindungi dengan asuransi jiwa.
Klausul dalam Surat Pernyataan pada perjanjian pembiayaan musyarakah
tersebut merupakan suatu klausul tentang asuransi. Menyatakan bahwa apabila polis
asuransi belum selesai maka ahli waris tidak akan menuntut bank dan seluruh
pembiayaan dari nasabah debitur menjadi tanggung jawab ahli waris. Klausul tersebut
merupakan klausul eksonerasi, bahwa bank melepaskan tanggung jawab atau resiko
dari pelaksanaan asuransi kepada ahli waris nasabah debitur.
184

Lihat Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
Lihat Pasal 302 KUHD tentang Pertanggungan Jiwa.

185

88

Pembiayaan yang dilindungi dengan asuransi jiwa, maka dalam prosesnya
terjadi hubungan antara tiga pihak yaitu bank, nasabah debitur dan asuransi.
Hubungan antara bank dan nasabah debitur yaitu hubungan perjanjian pembiayaan,
bank memberikan pembiayaan kepada nasabah debitur untuk menjalankan kegiatan
usaha bersama. Pembiayaan disertai dengan perlindungan asuransi jiwa. Bank sebagai
pihak yang menghubungkan antara nasabah debitur dan Asuransi dalam perlindungan
asuransi tersebut. Hubungan antara bank dan asuransi yaitu pada proses administrasi
sampai pada terjadinya penutupan asuransi dan keluarnya polis asuransi. Bank
berkewajiban untuk menyelesaikan prosedur, syarat-syarat dan ketentuan administrasi
yang dibutuhkan dalam penutupan asuransi hingga pembiayaan yang dikeluarkan
telah dilindungi asuransi.
Berdasarkan isi klausul tersebut, bank menyatakan tidak dapat digugat
apabila terjadi sesuatu resiko atau peristiwa yang menyebabkan tidak terjadinya
penutupan asuransi dan keluarnya polis asuransi serta mengalihkan tanggung jawab
pelunasan pembiayaan kepada ahli waris apabila nasabah debitur meninggal dunia.
Terjadinya hubungan antara bank dan asuransi, bank sebagai penghubung
antara nasabah debitur dengan Asuransi. Pelaksanaan pengurusan administrasi
asuransi merupakan tanggung jawab bank. Apabila terjadi kelalaian dalam proses
penutupan asuransi antara bank dan asuransi, maka bank bertanggung jawab atas hal
tersebut. Akan tetapi jika telah adanya pembayaran premi maka telah terjadi
penutupan asuransi, sehingga asuransi yang bertanggung jawab dalam pelunasan
pembiayaan tersebut ketika nasabah debitur meninggal dunia, walaupun polis

89

asuransi belum keluar. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 257 KUHD yang
menyatakan bahwa perjanjian asuransi telah mengikat sejak adanya pembayaran
premi oleh tertanggung kepada asuransi walaupun polisnya belum selesai.

C. Akibat

Hukum

Penerapan

Klausul

Eksonerasi

Dalam

Perjanjian

Pembiayaan Musyarakah Berdasarkan Hukum Perjanjian Islam, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Perlindungan Konsumen
dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Akibat hukum merupakan akibat dari suatu tindakan yang dilakukan untuk
memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum.
Akibat hukum dalam perjanjian pembiayaan musyarakah lahir dari adanya hubungan
hukum berupa perjanjian yang dilakukan oleh bank dan nasabah debitur pada suatu
kerjasama dalam pembiayaan musyarakah. Akibat hukum yang timbul dengan
adanya penerapan klausul eksonersi dalam Surat Pernyataan pada perjanjian
pembiayaan musyarakah berdasarkan Hukum Perjanjian Islam, KUHPerdata dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
1. Berdasarkan Hukum Perjanjian Islam.
Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan
yang jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam praktek. Akad yang
dilakukan hendaknya memenuhi ketentuan sahnya suatu akad yang merupakan unsur
asasi dari akad.

90

Sahnya suatu akad dalam Hukum Perjanjian Islam harus memenuhi rukun
dan syarat suatu akad. Rukun adalah unsur yang mutlak harus dipenuhi dalam sesuatu
hal, peristiwa dan tindakan. Sedangkan syarat adalah unsur yang harus ada untuk
sesuatu hal, peristiwa dan tindakan tersebut. 186
Rukun dan syarat terbentuknya akad dalam Hukum Perjanjian Islam
sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab II, yaitu subjek akad (al ‘aqidain), objek
akad (mahallul ‘aqd), ijab dan qabul (shighat al ‘aqd) dan tujuan akad (maudhu’ul
‘aqd) yang tidak bertentangan dengan syara’ (Hukum Islam).
Syarat sah suatu perjanjian secara umum sebagai berikut: 187
a. Tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati.
Setiap orang bebas untuk membuat perjanjian, akan tetapi kebebasan itu
ada batasnya yaitu tidak boleh bertentangan dengan syariah Islam baik Al
Qur’an maupun hadits. Jika syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian yang
dibuat batal demi hukum.
b. Harus sama ridha dan ada pilihan
Perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak secara bebas dan
sukarela, didalamnya tidak boleh mengandung unsur paksaan, kekhilafan
maupun penipuan. Konsekuensi yuridis jika syarat ini tidak terpenuhi,
perjanjian dapat dibatalkan.
c. Harus jelas dan gamblang
Perjanjian disepakati dengan jelas apa saja yang menjadi objeknya, hak dan
kewajiban para pihak. Jika syarat ini tidak terpenuhi maka konsekuensi
yuridisnya perjanjian yang dibuat para pihak dalam perjanjian batal demi
hukum.
Syarat sahnya akad juga diatur dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(KHES). KHES terdiri dari 4 buku dan 790 Pasal. Buku I tentang Subjek Hukum dan

186
187

Fathurrahman Djamil, Op.Cit, h. 252.
Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis, Op.Cit, h. 2.

91

Harta (Amwal), Buku II tentang Akad, Buku III tentang Zakat dan Hibah, Buku IV
tentang Akuntansi Syariah.
KHES merupakan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008
tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. KHES sebagai pedoman prinsip syariah
bagi Hakim Pengadilan Agama dalam memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan
perkara yang berkaitan dengan ekonomi syariah yang diterbitkan dalam bentuk
Peraturan Mahkamah Agung. 188
KHES berfungsi untuk mengisi kekurangan atau kekosongan UndangUndang dalam menjalankan praktik peradilan dalam memberikan keadilan sehingga
kepastian hukum dapat terwujud. 189

188

Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan mengeluarkan
surat keputusan Nomor:
KMA/097/SK/X/2006 tanggal 20 Oktober 2006 tentang pembentukan Tim Penyusun Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Tim bertugas menghimpun dan mengolah materi yang sesuai,
menyusun draf naskah KHES, menyelenggarakan seminar yang mengkaji draf naskah dengan
melibatkan unsur lembaga, ulama dan pakar ekonomi syariah, serta melaporkan hasilnya kepada Ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Usaha yang dilakukan tim adalah menyesuaikan pola pikir,
mencari format ideal dengan mengadakan semiloka, pertemuan sekaligus meminta masukan kepada
beberapa lembaga seperti Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES) dan Ikatan Ahli Ekonomi
Syariah (IAES), MUI serta Bank Indonesia (BI). Tim juga melakukan kajian pustaka terhadap literatur
kitab fiqih klasik dan ekonomi kontemporer. Tim penyusun berkunjung ke Malaysia sejak tanggal 1620 November 2006, untuk melakukan studi banding ke Pusat Ekonomi Islam, Universitas Islam
Internasional, Pusat Takaful, Lembaga Keuangan Islam, dan Lembaga Penyelesaian Sengketa
Perbankan. Tim Penyusun juga berkunjung ke Pusat Pengkajian Hukum Ekonomi Islam Universitas
Islam International Islamabad, Federal Court, Mizan Bank, Bank Islam Pakistan pada Juni 2007. Hasil
studi tersebut kemudian diolah dan dianalisis bersama tim konsultan. Hasil final draf KHES kemudian
dilaporkan kepada Ketua Mahkamah Agung. KHES agar dapat dijadikan pedoman dan landasan
hukum bagi hakim peradilan agama dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa ekonomi
syariah, Ketua Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor
2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Lihat dalam M. Isna Wahyudi, Achmad
Fauzi, Edi Hudiata, Hermansyah, Peradilan Agama Babak Baru Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syariah: Kedudukan KHES,KHAES dan Efektifitas Penerapannya, Majalah Peradilan Agama, Edisi 3
Desember 2013-Februari 2014, h. 23.
189
Ibid, h. 24.

92

Kekuatan hukum KHES dalam hierarki peraturan perundang-undangan di
Indonesia dapat ditinjau berdasarkan Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur bahwa:
Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a.Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
c.Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.Peraturan Pemerintah;
e.Peraturan Presiden;
f.Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki
sebagaimana di maksud pada ayat (1).

Pasal 8
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka KHES sudah
memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Sahnya suatu akad berdasarkan KHES diatur dalam Pasal 26, akad tidak sah
apabila bertentangan dengan:

93

a. Syari’at Islam
b. Peraturan Perundang-undangan
c. Ketertiban umum dan/atau
d. Kesusilaan
Pasal 29 selanjutnya dinyatakan bahwa “akad yang sah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 huruf a adalah akad yang disepakati dalam perjanjian, tidak
mengandung unsur:
a. Ghalath atau khilaf
b. Tidak dilakukan dibawah ikrah atau paksaan;
c. Taghrir atau tipuan, dan
d. Ghubn atau penyamaran.
Hukum akad terbagi dalam tiga kategori, yaitu: 190
a. Akad yang sah
Akad yang sah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya
b. Akad yang fasad/dapat dibatalkan
Akad yang fasad adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya,
tetapi terdapat segi atau hal lain yang merusak akad tersebut karena
pertimbangan maslahat.
c. Akad yang batal/batal demi hukum
Akad yang batal adalah akad yang kurang rukun dan atau syaratsyaratnya.
Perjanjian pembiayaan musyarakah antara bank dan nasabah debitur apabila
ditinjau berdasarkan rukun dan syarat akad, maka syarat cakap atau dewasa (tamyiz)
telah terpenuhi, sighat akad (ijab dan qabul) telah dibuat dalam bentuk tertulis yang
dituangkan dalam akad pembiayaan musyarakah. Ijab dan qabul dalam bentuk tulisan
190

Lihat Pasal 26 KHES

94

sah hukumnya sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur’an surah Al Baqarah ayat
(282), yaitu:
“wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang piutang
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan
hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar.
Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah
orang yang berhutang mendiktekan, dan hendaklah dia bertaqwa kepada
Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikitpun daripadanya.”
Objek akad dalam perjanjian telah terpenuhi yaitu pembiayaan musyarakah.
Syarat tujuan akad yaitu bertujuan untuk memberikan kontribusi dana dalam bentuk
amal, keahlian dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko ditanggung
bersama sesuai dengan kesepakatan. Kerugian harus dibagi di antara para mitra
secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.

191

Perjanjian

pembiayaan musyarakah tersebut disertai dengan Surat Pernyataan mengenai asuransi
jiwa untuk perlindungan bagi pembiayaan apabila nasabah debitur meninggal dunia.
Isi Surat Pernyataan dalam perjanjian pembiayaan musyarakah tersebut menyatakan
bahwa bank membebaskan, melepaskan tanggung jawab terhadap resiko yang
mungkin terjadi dalam pelaksanaan penutupan asuransi dan mengalihkan pelunasan
pembiayaan musyarakah kepada ahli waris apabila nasabah debitur meninggal dunia.
Isi Surat Pernyataan tersebut bertujuan untuk mengalihkan tanggung jawab pelaku
usaha kepada konsumen merupakan perbuatan yang bertentangan dengan tujuan
akad. Tujuan suatu akad tidak boleh bertentangan dengan ketentuan syariah undang-

191

Tujuan akad pembiayaan musyarakah lihat lebih lanjut dalam Fatwa DSN 08/DSNMUI/IV/2000 tentang pembiayaan musyarakah.

95

undang, ketertiban umum dan/atau kesusilaan. Sehingga Surat Pernyataan tersebut
tidak memenuhi unsur tujuan akad yang merupakan salah satu dari rukun akad dalam
Hukum Perjanjian Islam.
Klausul tersebut juga bertentangan dengan Pasal 21 huruf j KHES. Bahwa
akad harus dilakukan dengan itikad baik dalam rangka menegakkan kemaslahatan,
tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya. Asas itikad baik yaitu
bahwa pelaksanaan perjanjian harus dijalankan dengan memperhatikan kepatutan dan
kesusilaan, sehingga menimbulkan kemaslahatan bagi para pihak.
Penerapan

klausul

tersebut

bertentangan

dengan

asas

transparansi

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 huruf g KHES yang menyatakan bahwa
setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara terbuka. Bahwa
akad yang dibuat harus bersifat transparan, jelas dan terbuka mengenai pertanggung
jawaban para pihak dalam akad tersebut. Klausul tersebut juga tidak sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 21 huruf k KHES asas suatu sebab yang halal, bahwa akad
yang dilakukan tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan
tidak haram.
Klausul

tersebut

bertentangan

dengan

asas

kesetaraan

(taswiyah)

sebagaimana diatur dalam Pasal 21 huruf f KHES. Tidak adanya kesetaraaan antara
para pihak dalam perjanjian menimbulkan ketidakseimbangan hak dan kewajiban.
Ahli waris harus bertanggung jawab terhadap sesuatu yang bukan menjadi tanggung
jawabnya, yaitu melunasi pembiayaan yang seharusnya apabila pembiayaan telah

96

dilindungi dengan asuransi maka pelunasan pembiayaan ditanggung oleh pihak
asuransi.
Ketidakseimbangan tersebut menimbulkan ketidakadilan bagi pihak ahli
waris. Ketidakadilan dalam transaksi perbankan syariah disebut dengan zalim dan
bertentangan dengan prinsip syariah yaitu Prinsip Hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.

192

Prinsip syariah adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur
yang disebutkan dalam Penjelasan atas Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah, yaitu:
1. Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain
dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas,
kuantitas, dan waktu penyerahan (fadl), atau dalam transaksi pinjam
meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas
mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena
berjalannya waktu (nasiah);
2. Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang
tidak pasti dan bersifat untung-untungan;
3. Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak
diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi
dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;
4. Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah, atau
5. Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak
lainnya.

192

Lihat Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah. Lihat juga dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/10/PBI/2009 sebagaimana diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/14/PBI/2013 tentang Unit Usaha Syariah.

97

Akad dalam transaksi syariah berpedoman pada kaidah-kaidah syariah
berdasarkan Al Quran dan Hadits. Adanya klausul membebaskan tanggung jawab
dari pelaku usaha kepada konsumen menimbulkan kerugian bagi konsumen terhadap
hak-haknya, hal ini bertentangan dengan ketentuan dalam Al Qur’an:




   
  
“dan janganlah kalian merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kalian
merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.” (QS.As Syu’ara’: 183).







 ... 

“dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil…”
(Al Baqarah ayat: 188).
Penerapan klausul eksonerasi pada perjanjian tidak dapat mengikat para
pihak, sebab dasar dari sebuah perjanjian adalah terikat dengan syarat. Akan tetapi
apabila syarat yang tercantum dalam akad tersebut bertentangan dengan prinsip
syariah, maka tidak dapat dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan Hadits Nabi Riwayat
Tirmidzi “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum Muslimin kecuali perdamaian
yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum Muslimin

98

terikat dengan syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.” 193
Klausul tersebut bertentangan dengan prinsip syariah yang seharusnya dalam
akad tidak mengandung unsur zalim yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak
lainnya, sebagaimana Hadits Nabi Riwayat Muslim “Jabir Ra berkata bahwa
Rasulullah saw bersabda:
“jauhilah kezaliman karena kezaliman menjadikan kegelapan di hari
kiamat.” 194
Berdasarkan uraian di atas, maka klausul tersebut bertentangan tujuan akad,
bertentangan dengan Pasal 21 KHES yang mengatur mengenai asas-asas dalam
Hukum Perjanjian Islam, yaitu asas itikad baik, asas transparansi, asas kesetaraan
(taswiyah), asas suatu sebab yang halal. Klausul tersebut tidak sesuai dengan prinsip
syariah yaitu mengandung unsur zalim atau ketidakadilan, serta tidak sesuai dengan
anjuran Al Qur’an dan Hadits dalam melaksanakan perjanjian.
Akad yang tidak memenuhi rukun dan syaratnya, akad tersebut berdampak
hukum tidak sah dan merupakan akad batil. Pasal 26 KHES juga mengatur bahwa
akad tidak sah apabila bertentangan dengan syariat Islam, peraturan perundangundangan, ketertiban umum dan/atau kesusilaan. Maka Penerapan klausul eksonerasi

193

Berdasarkan hasil wawancara dengan Dewan Pengawas Syariah Bank Syariah Propinsi
Sumatera Utara Bapak Amiur Nuruddin pada hari Jum’at tanggal 16 April 2015 Pukul 15.30 di
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.
194

Imam Nawawi, Musthofa Said Al Khin dkk (Penerjemah Muhil Dhofir), Syarah &
Terjemah Riyadhus Shalihin, jilid 1, Cetakan keempat, ( Jakarta: Al I’tishom, 2008), h. 275.

99

dalam Surat Pernyataan pada perjanjian pembiayaan musyarakah tidak memenuhi
rukun akad, sehingga merupakan akad batil atau batal demi hukum.

2. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu, sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu
hal tertentu, suatu sebab yang halal. Sebagaimana diuraikan sebagai berikut:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak kedua belah
pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan,
bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus
melaksanakan. 195 Kesepakatan dalam perjanjian diadakan secara sukarela dari para
pihak dalam perjanjian, sesuai dengan ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata
menyatakan “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena
kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”
Kesepakatan pihak-pihak dalam perjanjian merupakan unsur utama untuk
terjadinya suatu perjanjian yang bertujuan untuk menciptakan suatu keadaan dari
para pihak untuk mencapai suatu kehendak.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

195

Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari
Perjanjian, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 95.

100

Setiap orang cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undangundang tidak dinyatakan tak cakap. 196 Pihak-pihak yang membuat perjanjian harus
cakap menurut hukum. Pasal 1330 KUHPerdata mengatur bahwa tak cakap untuk
membuat suatu perjanjian adalah, yaitu:
1) Orang-orang yang belum dewasa
Pasal 330 KUHPerdata mengatur bahwa “belum dewasa adalah mereka yang
belum mencapai genap dua puluh satu Tahun, dan tidak lebih dahulu telah
kawin.” Dapat disimpulkan bahwa sesorang dianggap cakap berdasarkan
KUHPerdata apabila telah berusia 21 Tahun. Telah menikah, termasuk juga
mereka yang sudah menikah tetapi belum mencapai usia 21 Tahun.
Ketentuan dewasa dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Pasal 50 yang menyatakan “anak yang belum mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada
di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Perkawinan tersebut di atas,
usia dewasa seseorang adalah 18 tahun. Maka ketentuan ini menggantikan
berlakunya ketentuan dalam KUHPerdata yang menentukan usia 21 tahun
untuk menentukan saat dewasa seseorang. Oleh karena itu kecakapan bertindak
orang pribadi dan kewenangan untuk melakukan tindakan hukum apabila telah

196

Lihat Pasal 1329 KUHPerdata.

101

menikah, seseorang yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya
dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa. 197
2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
Seseorang yang dibawah pengampuan juga termasuk tidak cakap hukum.
Pengampuan diatur dalam Pasal 433 KUHPerdata yang menyatakan:
“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit
gelap atau mata gelap harus di taruh di bawah pengampuan, pun jika
ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya.
Seseorang dewasa boleh juga di taruh di bawah pengampuan karena
keborosannya.”
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas orang yang dapat ditaruh di bawah
pengampuan disebabkan karena gila (sakit otak), dungu (onnoozelheid), mata
gelap (rezernij), lemah akal (zwakheid van vermogens), pemborosan. 198
3) Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang,
dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
197

Lihat dalam Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Op.Cit, h. 131. Menurut Hukum Islam
orang-orang yang telah baligh (dewasa) dapat dilihat pada laki-laki yang telah bermimpi (ihtilam) dan
pada perempuan yang telah haidh. Ukuran dewasa juga dapat dilihat pada usia seseorang yaitu 15
tahun. Berdasarkan pada hadits Ibnu Umar, bahwa Ibnu Umar tidak diizinkan Rasulullah untuk
berperang (Perang Uhud) ketika usianya 14 tahun. Ketika usianya 15 tahun ia diizinkan untuk turut
berperang (Perang Khandaq). Lihat Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 5, (Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), h. 1510. Selanjutnya lihat dalam Wirdyaningsih dkk, Op.Cit, h. 96.
Ketentuan dewasa juga diatur dalam beberapa undang-undang yaitu: Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam
menyatakan dewasa usia 21 tahun sepanjang anak itu tidak cacat fisik dan mental atau belum pernah
melangsungkan perkawinan. Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyatakan “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari
kekuasaannya.” Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak
menyatakan “anak adalah seorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.”
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang tentang Peradilan anak menyatakan “batas umur anak nakal yang
dapat diajukan ke sidang anak adalah kurang dari 18 Tahun dan belum pernah kawin.”
198
Lihat J. Satrio-I, Op.Cit, h. 5

102

c. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu dijelaskan dalam KUHPerdata pada Pasal 1333 yang berbunyi
“suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu
kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan
bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat
ditentukan atau diihitung.”
Rumusan tersebut menegaskan bahwa apapun jenis perikatannya baik itu
perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu, KUHPerdata hendak menjelaskan bahwa jenis perikatan tersebut pasti
melibatkan keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan tertentu. 199
Suatu perjanjian harus jelas objek yang ditentukan oleh para pihak. Objek
perjanjian dapat berupa barang, jasa, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.
Objek perjanjian berupa barang, maka digunakan cara seperti menghitung,
menimbang, mengukur. Objek berupa jasa, maka harus ditentukan apa yang
harus dilakukan oleh salah satu pihak.
d. Suatu sebab yang halal.
Suatu sebab yang halal bukanlah lawan kata dari haram dalam hukum Islam, akan
tetapi yang dimaksud dengan suatu sebab yang halal adalah isi dari perjanjian

199

Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Op.Cit, h. 155.

103

tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 1335
KUHPerdata, dijelaskan bahwa yang disebut sebab yang halal adalah: 200
1) Bukan tanpa sebab
2) Bukan sebab yang palsu
3) Bukan sebab yang terlarang, yang terdiri dari:
a) Kausa yang dilarang oleh perundang-undangan;
b) Kausa yang bertentangan dengan kesusilaan;
c) Kausa yang bertentangan dengan ketertiban umum.
Pasal 1337 menyatakan “suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh
undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban
umum.” Pasal 1337 ini berkaitan dengan isi yang diperjanjikan dalam suatu
perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan baik
atau ketertiban umum.
Keempat syarat pokok ini dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu syaratsyarat subjektif yang berhubungan dengan subjek hukum yaitu sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Syarat-syarat
objektif, yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan objek hukum yaitu suatu hal
tertentu dan suatu sebab yang halal. Para ahli hukum Indonesia umumnya
berpendapat bahwa dalam hal syarat-syarat subjektif tidak dipenuhi, maka perjanjian
tersebut dapat dimintakan pembatalannya (voidable). Sedangkan dalam hal syarat-

200

Lebih lanjut lihat dalam Pasal 1335 KUHPerdata. Contoh-contoh perjanjian dengan suatu
sebab yang tidak halal seperti kontrak yang mengandung unsur riba atau lintah darat, kontrak yang
mengandung unsur judi, kontrak jual beli dengan hak beli kembali, janji tidak menyaingi, larangan
pemindahan barang, kontrak tanpa license, kontrak untuk bercerai, kontrak pembebasan (eksonerasi,
exonoratie, exculpatory), kontrak yang dilakukan dengan sogok menyogok dan kontrak dengan syarat
wajib. Lihat Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2001), h. 74.

104

syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum (void ab
initio). 201
Perjanjian merupakan faktor yang sangat penting untuk mengikat antara para
pihak dalam perjanjian. KUHPerdata mengaturnya dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Seperangkat aturan
hukum telah ditentukan oleh undang-undang sebagai tolak ukur bagi para pihak untuk
menguji standard keabsahan perjanjian yang mereka buat. Berdasarkan KUHPerdata
sahnya suatu perjanjian apabila memenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal
1320 ayat (1) KUHPerdata yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (de
toesteming van degenen die zich verbinden), kecakapan untuk membuat suatu
perikatan (de bekwaamheid om eene verbintenis aan te gaan), suatu hal tertentu (een
bepaald onderwerp), suatu sebab yang halal (eene geoorloogde oorzaak). Syarat
sahnya suatu perjanjian disamping syarat-syarat yang telah disebutkan di atas, maka
untuk sahnya suatu perjanjian juga disyaratkan agar perjanjian tersebut tidak
melanggar unsur itikad baik, kepatutan, kepentingan umum dan kebiasaan. 202
Penerapan klausul eksonerasi dalam Surat Pernyataan pada perjanjian
pembiayaan musyarakah merupakan suatu tindakan yang tidak patut (on billijkheid).
Klausul tersebut bertentangan dengan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan,
suatu perjanjian haruslah dilaksanakan dengan itikad baik (goeder trouw, bona
201

Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Commom Law, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1993), h. 45.
202
Munir Fuady, Op.Cit, h. 80.

105

fide). 203 Itikad baik dalam doktrin hukum perjanjian meliputi itikad baik subjektif dan
itikad baik objektif. Itikad baik subjektif diartikan dalam hubungannya dengan
hukum benda bermakna kejujuran, sedangkan itikad baik objektif berhubungan
dengan pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan kepatutan dan kesusilaan.
Siti Ismijati Jeni mengemukakan bahwa dalam Bahasa Indonesia itikad baik
dalam artian objektif disebut juga dengan istilah kepatutan. Objektif menunjuk pada
kenyataan bahwa perilaku para pihak itu harus sesuai dengan anggapan umum
tentang itikad baik dan tidak semata-mata berdasarkan anggapan para pihak
sendiri. 204
Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa: 205
“Kejujuran (itikad baik) dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, tidak
terletak pada keadaan jiwa manusia, akan tetapi terletak pada tindakan yang
dilakukan oleh kedua belah pihak dalam melaksanakan janji, jadi kejujuran
di sini bersifat dinamis, kejujuran dalam arti dinamis atau kepatutan ini
berakar pada sifat peranan hukum pada umumnya, yaitu usaha untuk
mengadakan keseimbangan dari berbagai kepentingan yang ada dalam
masyarakat. Dalam suatu tata hukum pada hakikatnya tidak diperbolehkan
kepentingan seseorang dipenuhi seluruhnya dengan akibat kepentingan
orang lain sama sekali terdesak atau diabaikan. Masyarakat harus merupakan
sesuatu neraca yang berdiri tegak dalam keadaan seimbang.”
Klausul tersebut bertentangan dengan Pasal 1339 KUHPerdata menyatakan
bahwa “suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas

203

Ibid, h. 81.
Siti Ismijati Jenie, Itikad Baik, Perkembangan dari Asas Hukum Khusus Menjadi Asas
Hukum Umum di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, (Yogyakarta, tanggal 10 September 2007), h. 5. Selanjutnya lihat dalam
Abdul Hakim, Op.Cit, h. 92.
205
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Maju, 2000), h.
87. Selanjutnya lihat dalam Ibid.
204

106

dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang.”
Tan Kamello dalam pandangan hukumnya menyatakan:
“Dalam KUHPerdata, kepatutan adalah tiang hukum yang wajib ditegakkan.
Sebagai asas kepatutan memiliki peran dan fungsi antara lain menambah atau
mengenyampingkan isi perjanjian. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam
Pasal 1339 KUHPerdata. Isi perjanjian yang dibuat berdasarkan asas kebebasan
berkontrak harus dijalankan dengan itikad baik” 206
Asas kepatutan dalam Pasal 1339 KUHPerdata berkaitan dengan isi perjanjian.
Pelaksanaan perjanjian harus dilakukan dengan memperhatikan norma-norma
kepatutan 207, sehingga dapat memberikan rasa keadilan bagi para pihak dalam
perjanjian tersebut.
Klausul eksonerasi melanggar syarat sepakat dalam perjanjian pada Pasal
1321 KUHPerdata, yaitu “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena
kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.” Isi Surat Pernyataan
yang menerapkan klausul eksonerasi telah dibuat dalam bentuk baku sehingga
nasabah debitur dan ahli waris tidak mempunyai posisi tawar untuk ikut menentukan
isi perjanjian tersebut. Kesepakatan dalam perjanjian baku tidak dapat dilakukan
sebebas dengan perjanjian langsung yang melibatkan para pihak dalam penetapan isi
klausul-klausul dalam perjanjian. Nasabah debitur tidak dapat menolak i

Dokumen yang terkait

AKIBAT HUKUM TERHADAP PENUNDAAN PEMBAYARAN ANGSURAN PEMBIAYAAN MUSYARAKAH OLEH NASABAH BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH (Studi Putusan Pengadilan Agama Situbondo Nomor 882/Pdt.G/2010/PA.Sit)

0 42 11

PERCERAIAN DAN AKIBAT HUKUMNYA SUATU ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SURAKARTA NOMOR : 0689/PDT.G/2012/PA.SKA Perceraian Dan Akibat Hukumnya Suatu Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Surakarta Nomor : 0689/Pdt.G/2012/Pa.Ska.

0 2 8

PENDAHULUAN Perceraian Dan Akibat Hukumnya Suatu Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Surakarta Nomor : 0689/Pdt.G/2012/Pa.Ska.

0 2 13

PERCERAIAN DAN AKIBAT HUKUMNYA SUATU ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SURAKARTA NOMOR : 0689/PDT.G/2012/PA.SKA Perceraian Dan Akibat Hukumnya Suatu Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Surakarta Nomor : 0689/Pdt.G/2012/Pa.Ska.

0 2 21

Penerapan Klausul Eksonerasi Dan Akibat Hukumnya Dalam Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Pada Bank Syariah (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor 967 Pdt.G 2012 Pa.Mdn)

0 0 20

Penerapan Klausul Eksonerasi Dan Akibat Hukumnya Dalam Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Pada Bank Syariah (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor 967 Pdt.G 2012 Pa.Mdn)

0 0 2

Penerapan Klausul Eksonerasi Dan Akibat Hukumnya Dalam Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Pada Bank Syariah (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor 967 Pdt.G 2012 Pa.Mdn)

0 0 30

Penerapan Klausul Eksonerasi Dan Akibat Hukumnya Dalam Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Pada Bank Syariah (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor 967 Pdt.G 2012 Pa.Mdn)

1 6 46

Penerapan Klausul Eksonerasi Dan Akibat Hukumnya Dalam Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Pada Bank Syariah (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor 967 Pdt.G 2012 Pa.Mdn)

0 0 8

Penarikan Kembali Hibah Dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 249 PDT.G 2010 PA.MDN) Chapter III V

0 4 49