Penerapan Klausul Eksonerasi Dan Akibat Hukumnya Dalam Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Pada Bank Syariah (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor 967 Pdt.G 2012 Pa.Mdn)
31
BAB II
PENERAPAN KLAUSUL EKSONERASI PADA PERJANJIAN DALAM
PANDANGAN HUKUM PERJANJIAN ISLAM
A. Tinjauan Umum Terhadap Hukum Perjanjian Islam
1. Pengertian Hukum Perjanjian Islam
Istilah perjanjian dalam Hukum Islam dikenal dengan akad. Secara
etimologis perjanjian dalam Bahasa Arab disebut dengan Mu’ahadah Ittifa’.66
Perjanjian dalam Al Qur’an disebut dengan 2 (dua) istilah, yaitu kata akad (al’aqdu)
dan kata ‘ahd (al-‘ahdu), Al Qur’an memakai kata pertama dalam arti perikatan atau
perjanjian, 67 sedangkan kata yang kedua berarti masa, pesan, penyempurnaan dan
janji atau perjanjian. 68 Istilah akad dapat disamakan dengan istilah perikatan atau
verbintenis, sedangkan al-‘ahdu dapat dikatakan sama dengan istilah perjanjian atau
overeenkomst, yang dapat diartikan sebagai suatu pernyataan dari seseorang untuk
mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu. 69 Akad berarti ikatan atau simpulan
baik ikatan yang nampak (hissyy) maupun tidak nampak (ma’nawy). 70
Pengertian akad di atas dapat diartikan sebagai suatu ikatan, penguatan atau
perjanjian atau kesepakatan yang diwujudkan dalam ijab (pernyataan penawaran atau
66
Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K.Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2004), h. 1.
67
Lihat Al Qur’an Surah Al Maidah ayat (1)
68
Lihat Al Qur’an Surah An Nahl ayat 91 dan Al Isra’ ayat 34.
69
Fathurahman Djamil, Op.Cit, h. 248.
70
Fayruz Abady Majd al-Din Muhammad Ibn Ya’qub al Qamus al-Muhit, jilid 1, (Beirut: D
Jayl), h.327. Selanjutnya lihat Rahmani Timorita Yulianti, “Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam
Hukum Kontrak Syariah”, Jurnal Ekonomi Islam La_Riba, Volume II, Nomor 1, Juli 2008.
31
32
pemindahan kepemilikan) dan qabul (pernyataan penerimaan kepemilikan) sebagai
sebuah komitmen yang dilaksanakan dengan nilai-nilai syariah yang diatur dalam
Hukum Islam berdasarkan pada sumber Hukum Islam.
Sumber Hukum Islam yaitu Al Qur’an, 71 Hadits dan Ijtihad, maka sumber
Hukum Perjanjian Islam didasarkan kepada ketiga sumber tersebut yaitu:
a. Al Qur’an
Al Qur’an merupakan sumber Hukum Islam yang utama sebagai sandaran
dan pedoman hidup bagi manusia (manhajjul hayyah). Al Qur’an mengatur
mengenai kaidah-kaidah dalam akad yang tercantum dalam firman Allah Swt Al
Qur’an surah Al Baqarah ayat (282), artinya:
“wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang piutang
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan
hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar.
Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah
orang yang berhutang mendiktekan, dan hendaklah dia bertaqwa kepada
Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikitpun daripadanya.”
Ayat Al Qur’an tersebut di atas, Allah Swt memerintahkan kepada orang-orang
beriman apabila terjadi utang piutang atau hubungan muamalah antara para pihak
71
Hukum-hukum yang terkandung dalam Al Qur’an adalah:
1. Hukum-hukum I’tiqadiyah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para subjek
hukum untuk mempercayai Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari
pembalasan, qada dan qadar.
2. Hukum-hukum Akhlak, yaitu hukum –hukum Allah yang berhubungan dengan kewajiban untuk
menghiasi diri dengan sifat yang utama dan menjauhkan diri dari sifat tercela.
3. Hukum Amaliyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan perbuatan, perkataan, perjanjian, hubungan
kerjasama antar sesama manusia. Hukum amaliyah ini dibagi dalam dua jenis yaitu (a) Ibadah,
yakni mengatur hubungan manusia dengan Allah dalam beribadah seperti sholat, puasa, zakat dan
ibadah haji. (b) Hukum muamalah, yakni mengatur hubungan manusia dengan manusia baik dalam
hal pribadi maupun kemasyarakatan (sosial). Lihat Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum
Islam Jilid I, (Yogyakarta: Balai Ilmu, 1980), h. 44-46.
33
hendaknya dituangkan dalam bentuk tulisan. Penulisan perjanjian dilakukan
dengan benar sesuai dengan apa yang diperjanjikan dan dilakukan atas dasar taqwa
kepada Allah Swt.
Pelaksanaan akad juga diatur dalam Al Qur’an surah Al Baqarah ayat (283),
artinya:
“dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seoraang
penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi jika
kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (utangnya), dan hendaklah ia bertaqwa kepada
Allah, Tuhannya.”
Berdasarkan ayat ini Allah Swt memerintahkan bahwa jika suatu perjanjian tidak
dibuat dalam bentuk tulisan, maka ada barang yang dijaminkan sebagai jaminan
terhadap utang piutang tersebut. Akan tetapi bila para pihak saling mempercayai satu
sama lain, hendaknya yang dipercayai itu menunaikan utangnya. Kesepakatan
tersebut dilakukan atas dasar taqwa kepada Allah Swt.
Pengaturan tentang akad juga terdapat dalam firman Allah pada Al Qur’an
Surah An Nahl ayat (91) yang artinya “dan tepatilah janji dengan Allah apabila kamu
berjanji dan janganlah kamu melanggar sumpah setelah diikrarkan, sedang kamu
telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu). Sesungguhnya Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat.” Hal yang sama juga diatur dalam Al Qur’an
surah Al Maidah ayat (1) yang artinya “hai orang-orang yang beriman, penuhilah
akad-akad itu…” Selain itu juga diatur dalam Al Qur’an Surah Al Isra’ ayat 34 yang
artinya
“…dan
penuhilah
pertanggungjawabannya.”
janji-janji,
karena
janji
itu
pasti
diminta
34
Berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an tersebut di atas, Allah Swt memerintahkan
agar orang-orang yang melakukan perjanjian harus menepati janji yang telah
disepakati antara para pihak. Sebab dalam perjanjian tersebut Allah sebagai saksi
diantara mereka, Allah mengetahui setiap perbuatan yang dilakukan dan perbuatan
tersebut akan dimintai pertanggungjawabannya.
Allah Swt juga berfirman dalam Al Qur’an Surah An Nisa’ ayat (29) yang
artinya “wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang
berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu.” Pada ayat ini Allah Swt
memberikan aturan bahwa dalam bermuamalah antara sesama manusia tidak
dilakukan dengan jalan yang batil dan menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.
Hubungan tersebut dilakukan atas dasar dan aturan yang sesuai dengan ketentuan
syariah.
Peraturan tentang tata cara akad juga Allah mengaturnya dalam Al Qur’an
Surah Ar Ra’du ayat (19-20) yang artinya “maka apakah orang yang mengetahui
bahwa apa yang diturunkan Tuhan kepadamu adalah kebenaran, sama dengan orang
yang buta? hanya orang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang
yang memenuhi janji Allah dan tidak melanggar perjanjian.” Berdasarkan ayat ini
Allah Swt memerintahkan untuk memenuhi janji-janji yang telah disepakati dan tidak
melanggar perjanjian tersebut.
b. Hadits
35
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an.
Aturan mengenai akad juga diatur dalam hadits. Akad memiliki satu tempat yang
khusus dalam melengkapi suatu hubungan kerjasama ataupun kegiatan lainnya
antara para pihak. Hadits-hadits yang mengatur tentang akad antara lain, Hadits
Riwayat Imam Bukhari yang menyatakan “segala bentuk persyaratan yang tidak
ada dalam Kitab Allah (Hukum Allah) adalah batal, sekalipun sejuta syarat.”
Hadits ini menjelaskan bahwa syarat-syarat atau ketentuan yang terdapat dalam
akad yang diadakan oleh para pihak, apabila dalam syarat-syarat tersebut
bertentangan dengan Hukum Islam dan aturan dalam prinsip-prinsip syariah maka
syarat tersebut batal. Perjanjian harus dibuat berdasarkan ketentuan syariat.
Berdasarkan hadits lainnya dalam riwayat At Tirmidzi Rasulullah Saw
bersabda “kaum muslimin (dalam kebebasan) sesuai dengan syarat dan
kesepakatan mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.” 72 Hadits tersebut menyatakan bahwa perjanjian
didasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak, yaitu masing-masing pihak
ridho (rela), kehendak bebas masing-masing pihak pada isi akad tersebut. Akan
tetapi dalam akad tersebut tidak dibenarkan terdapat suatu kesepakatan yang
bertentangan dengan syariat.
Hadits yang mengatur tentang perjanjian juga terdapat dalam Hadits
Riwayat Abu Dawud Dan Hakim “dari Abu Hurairah, Rasulallah Saw.
72
Kitab Al Ahkam Nomor 1272. Selanjutnya lihat dalam Muhammad Syafi’i Antonio, Bank
Syariah dari Teori Ke Praktik , (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 11.
36
bersabda, “sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku pihak ketiga
dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati yang
lainnya.” 73 Hadits ini menyatakan bahwa dalam sebuah perjanjian antara para
pihak, maka Allah merupakan pihak ketiga dalam perjanjian tersebut selama
salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lainnya.
c. Ijtihad
Sumber Hukum Islam yang ketiga adalah ijtihad, 74 yaitu akal pikiran
manusia yang memenuhi syarat untuk berusaha, berikhtiar dengan seluruh
kemampuan
yang ada
padanya memahami
kaidah-kaidah hukum
yang
fundamental yang terdapat dalam Al Qur’an, Hadits dan merumuskannya menjadi
garis-garis hukum yang dapat diterapkan pada suatu kasus tertentu. 75
73
Hadits Riwayat Abu Daud Nomor 2936 dalam kitab Al Buyu dan Hakim. Selanjutnya lihat
dalam Muhammad Syafi’i Antonio, Op.Cit, h. 91.
74
Dasar hukum untuk menggunakan akal pikiran (ra’yu) untuk berijtihad dalam
pengembangan Hukum Islam adalah Al qur’an Surah An Nisa’ ayat 59, hadits Mu’adz bin Jabal yang
menjelaskan bahwa Mu’adz sebagai penguasa (ulil amri) di Yaman dibenarkan oleh Nabi
mempergunakan ra’yunya untuk berijtihad, Khalifah Umar bin Khattab beberapa Tahun setelah
Rasulullah wafat menggunakan ijtihad dalam memecahkan persoalan hukum yang ada dalam
masyarakat pada awal perkembangan Islam. Ijtihad beliau bahwa talak tiga yang diucapkan sekaligus
di suatu tempat pada suatu ketika, dianggap sebagai talak yang tidak mungkin rujuk (kembali) kecuali
salah satu pihak ( istri yang telah ditalak) menikah lebih dahulu dengan laki-laki lain. Garis hukum ini
ditentukan Umar untuk melindungi kaum perempuan karena di zamannya banyak suami yang dengan
mudahnya mengucapkan talak tiga pada istrinya. Lihat Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia Cetakan ke-18, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2012), h.175-176. Selanjutnya disebut Muhammad Daud Ali-II).
75
Ibid, h. 111-112.
37
Jumhur ulama mendefenisikan akad adalah “pertalian antara ijab dan qabul
yang dibenarkan oleh syara’ (Hukum Islam) yang menimbulkan akibat hukum
terhadap objeknya.” 76
Berdasarkan Dictionary of Business Term, akad yaitu “aqd or contract is
transaction involving two or more individuals whereby each becomes obligate to
the other, with reciprocal rights to demand performances of what is promised.”77
(terjemahan penulis: “akad atau kontrak adalah sebuah persetujuan yang
melibatkan dua pihak atau lebih untuk memenuhi kewajiban satu sama lain,
dengan hak yang bertimbal balik untuk melaksanakan apa yang diperjanjikan.”)
Ahmad Azhar Basyir memberikan defenisi akad sebagai “suatu perikatan
antara ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan
adanya akibat-akibat hukum pada objeknya.”
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Pasal 1 angka
13 menyebutkan bahwa akad adalah “kesepakatan tertulis antara Bank Syariah
atau Unit Usaha Syariah atau pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban
bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.”
Pengertian akad juga diatur dalam KHES Pasal 20 yang menyebutkan akad
adalah “kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk
melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.” Sedangkan Pasal
76
Wirdyaningsih dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia Cetakan Kedua, (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2006), h. 94.
77
Alexander Hamilton Institute, A Dictionary of Business Terms, 1987 selanjutnya lihat dalam
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama, (Jakarta:
Kencana, 2012), h. 72.
38
1 angka 4 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/16/PBI/2008 tentang Pelaksanaan
Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta
Pelayanan Jasa Bank Syariah memberikan defenisi akad yaitu “kesepakatan
tertulis antara bank dengan nasabah dan/atau pihak lain yang memuat hak dan
kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.”
Uraian pengertian akad tersebut di atas dapat diketahui bahwa akad dalam
Hukum Islam yaitu suatu pertalian antara ijab dan qabul yang dilakukan oleh para
pihak dalam akad sesuai dengan syariat Islam yang menimbulkan hak dan
kewajiban bagi para pihak serta akibat hukum yang timbul dari akad tersebut.
2. Rukun dan Syarat Akad
Rukun adalah “suatu unsur yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan
tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu.” 78 Sedangkan syarat adalah “sesuatu
yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada di luar hukum itu
sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada.” 79
Pendapat para ulama mengenai rukun dan syarat akad beraneka ragam.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa rukun akad hanya sighat al-‘aqd (pernyataan
untuk mengikatkan diri) yaitu ijab dan qabul dan syarat akad adalah al-‘aqidain
(subjek akad) dan mahallul ’aqd (objek akad), sebab al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd
bukan merupakan bagian dari perbuatan hukum akad (tasharruf akad). Ia berada
78
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), h. 1510. Selanjutnya lihat dalam Wirdyaningsih dkk, Op.Cit, h. 94.
79
Ibid
39
diluar perbuatan akad. Pendapat dari kalangan Mazhab Syafi’i dan Mazhab Maliki
bahwa al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd termasuk rukun akad karena kedua hal tersebut
merupakan salah satu tongggak utama dalam terwujudnya akad. 80
Ulama fiqih sebagian besar berpendapat bahwa rukun akad terdiri dari empat
komponen, yaitu: 81
a. Subjek Akad (al-‘aqidain)
Subjek akad adalah para pihak yang melakukan akad sebagai suatu perbuatan
hukum yang mengemban hak dan kewajiban. 82 Syarat-syarat yang harus
dipenuhi untuk dapat menjadi subjek akad adalah: 83
1) Aqil, yaitu orang yang berakal sehat;
2) Tamyiz, yaitu orang yang dapat membedakan baik dan buruk (dewasa);
3) Mukhtar, yaitu orang yang bebas dari paksaan. Suatu akad harus dilakukan
secara suka sama suka diantara para pihak, sebagaimana firman Allah Swt
dalam Al Qur’an Surah An Nisa’ ayat 29:
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil (tidak benar), kecuali dalam keadaan
berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu.”
b. Objek Akad (Mahallul ‘Aqd)
Objek akad akad merupakan sesuatu yang dijadikan objek dalam akad dan
menimbulkan akibat hukum. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam objek
akad adalah sebagai berikut: 84
1) . Objek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan
Suatu objek perikatan yang belum terwujud tidak boleh dijadikan objek
akad. Hukum dan akibat akad tidak mungkin terjadi pada sesuatu yang
belum ada. Akan tetapi hal ini terdapat pengecualian pada akad-akad
80
Al Kamal Ibnul Humam, Fath Al Qadir, juz IV/V, h. 74. Selanjutnya lihat dalam Rachmat
Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 45.
81
Teungku Muhammad Hasb Ash-Shiddieqy, Memahami Syariat Islam , Cetakan Kesatu,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), h.23. Lihat juga dalam Ascarya, Op.Cit, h. 35. Lihat juga
dalam Abdul Ghafur Anshori, Op.Cit, h. 21. Lihat juga dalam Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian
Syariah, Studi Tentang Teori Akad dalam Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h.
96.
82
Wirdyaningsih dkk, Op.Cit, h. 94.
83
Hamzah Ya’cub, Kode Etik Dagang Menurut Islam: Pola Pembinaan Hidup dalam
Berekonomi, (Bandung: Diponegoro, 1984), h.79.
84
Ghufron A Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Cetakan 1, (Jakarta: Raja Grafindo ,
2002), h. 86-89.
40
seperti salam dan istishna’, 85yang objeknya diperkirakan akan ada dimasa
yang akan datang. Pengecualian ini didasarkan pada istihsan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dalam kegiatan muamalat.
2) . Objek perikatan dibenarkan oleh syariah
Sesuatu yang tidak dibenarkan oleh syariat tidak dapat dijadikan objek
akad. Objek akad adalah benda-benda atau jasa-jasa yang dihalalkan oleh
syariat untuk ditransaksikan.
3) . Objek akad harus jelas dan dikenali
Benda yang menjadi objek akad harus diketahui dengan jelas oleh para
pihak baik itu fungsi, bentuk dan keadaannya. Apabila terdapat cacat harus
diberitahukan. Apabila objek akad berupa jasa harus dijelaskan sejauh
mana keahliannya.
4) . Objek akad dapat diserahterimakan
Objek akad harus dapat diserahterimakan secara nyata. Akan tetapi tidak
berarti harus diserahkan seketika, dapat diserahkan pada saat akad atau
pada waktu yang telah disepakati. Objek akad berada dibawah kekuasaan
sah pihak yang bersangkutan. Objek akad telah ada, jelas dan dapat
diserahkan.
c. Ijab dan Qabul (Sighat al-‘Aqd)
Ijab dan qabul merupakan ungkapan pihak-pihak yang melakukan akad.
Ijab yaitu pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan,
qabul yaitu pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Syarat-syarat yang
harus dipenuhi agar ijab dan qabul mempunyai akibat hukum, yaitu: 86
1) Ijab dan qabul harus dinyatakan oleh orang yang sekurang-kurangnya telah
mencapai umur tamyiz (dewasa) yang menyadari dan mengetahui isi
perkataan yang diucapkan hingga ucapannya itu benar-benar menyatakan
keinginan hatinya. Dengan kata lain dilakukan oleh orang yang cakap
melakukan tindakan hukum. Ijab dan qabul harus tertuju pada suatu objek
yang merupakan objek perjanjian.
85
Salam yaitu pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran
dilakukan di muka. Lihat Muhammad Syafi’i Antonio, Op.Cit, h. 108. Istishna’ yaitu kontrak
penjualan antara pembeli dan pembuat barang, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli.
Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut
spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Lihat Ibid, h. 113.
86
Ahmad Azhar Basyir, Op.Cit, h. 66.
41
2) Ijab dan qabul harus berhubungan langsung dalam suatu majelis apabila dua
belah pihak sama-sama hadir.
Para pihak yang melakukan ijab dan qabul juga harus memperhatikan tiga
syarat berikut, agar mempunyai akibat hukum: 87
a) Jala’ul ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas,
sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki.
b) Tawafuq, yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan qabul
c) Jazmul iradataini, yaitu antara ijab dan qabul menunjukkan kehendak
para pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa.
Pelaksanaan ijab dan qabul dapat dilakukan melalui empat cara, yaitu: 88
a) Lisan
Ijab dan qabul diucapkan secara lisan oleh para pihak dalam akad yang
saling berhubungan dan bersesuaian antara kehendak pihak yang satu
dengan yang lainnya dalam akad.
b) Tulisan
Para pihak dalam perjanjian membuat suatu tulisan yang menyatakan
suatu perikatan diantara mereka. Tulisan ini disebut dengan Surah
Perjanjian yang berisikan identitas para pihak, objek perjanjian, hak dan
kewajiban, mulai dan berakhirnya suatu perjanjian.
c) Isyarat
Suatu akad dapat dilakukan dengan isyarat. Hal ini dilakukan apabila
salah satu pihak dalam akad tersebut ada yang cacat misalnya tuna
wicara, asalkan para pihak memahami akad yang dilakukan.
d) Perbuatan
Ijab dan qabul dilakukan oleh para pihak dalam akad dengan suatu
perbuatan. Perbuatan ini disebut dengan ta’athi atau mu’thah (saling
memberi dan menerima).
d. Tujuan Akad (Maudhu’ul ‘Aqd)
Maudhu’ul ‘Aqd adalah tujuan dari akad yang dilakukan oleh para
pihak. Ahmad Azhar Basir mengemukakan bahwa tujuan akad harus jelas dan
dibenarkan oleh syara’ serta memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 89
87
Fathurrahman Djamil, Op.Cit, h. 253.
Ahmad Azhar Basyir, Op.Cit, h. 68-71.
89
Ibid, h. 99.
88
42
1) Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak
yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan, tujuannya hendaknya baru
ada pada saat akad diadakan.
2) Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya akad
3) Tujuan akad harus dibenarkan syara’
Setiap akad dalam Hukum Perjanjian Islam harus memperhatikan tujuan dari
akad dan harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’ sehingga tidak
menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak dalam akad tersebut.
Rukun dalam akad juga diatur dalam KHES Pasal 22 sampai Pasal 25 yang
menyatakan bahwa rukun akad terdiri dari:
1) Pihak-pihak yang berakad;
Pihak-pihak yang berakad adalah orang, persekutuan, atau badan usaha yang
memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum.
2) Objek akad;
Objek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan oleh
masing-masing pihak.
3) Tujuan pokok akad;
Akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha
masing-masing pihak yang mengadakan akad
4) Kesepakatan;
Yaitu adanya kesepakatan para pihak dalam akad.
Rukun yang membentuk suatu akad juga disertai dengan syarat-syarat akad.
Syarat-syarat akad menurut mazhab Hanafi terdiri dari tiga hal, yaitu: 90
1) Syarat shahih
Yaitu syarat yang sesuai dengan substansi akad, mendukung dan memperkuat
substansi akad dan dibenarkan oleh syara’, sesuai dengan kebiasaan
masyarakat (‘urf).
2) Syarat fasid
Yaitu syarat yang tidak sesuai dengan salah satu kriteria yang ada dalam
syarat shahih.
3) Syarat batil
90
517.
Wahbah Azzuhaili, Fiqih Islam Waa Adillatuhu Jilid 4, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h.
43
Yaitu syarat yang tidak mempunyai kriteria syarat shahih dan tidak memberi
nilai manfaat bagi salah satu pihak atau lainnya, akan tetapi menimbulkan
dampak negatif.
3. Asas-Asas Hukum Perjanjian Islam
Akad merupakan cerminan telah terjadinya kesepakatan dan hubungan
antara para pihak dalam perjanjian harus mencerminkan asas-asas akad yang diatur
baik dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum muamalah Islam. Akad
yang dilakukan dalam bank syariah memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi
karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam dan pertanggungjawaban
akad hingga pada yaumil qiyamah. 91 Penerapan hubungan dalam akad sudah
seharusnya dibuat oleh para pihak dalam akad berdasarkan pada asas-asas dalam
akad sehingga terhindar dari penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan
akad nantinya.
Sebelum menguraikan lebih lanjut mengenai asas-asas dalam akad, perlu
dijelaskan pengertian asas. Perkataan asas berasal dari terjemahan bahasa Arab
“asasun”, 92 bahasa Latin “principium”, bahasa Inggris “principle”, dan bahasa
Belanda “beginsel”, yang artinya landasan berfikir yang sangat mendasar, sesuatu
yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat. 93
Pengertian asas dalam bidang hukum dikemukakan oleh para ahli hukum
antara lain, asas adalah “kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berfikir
91
Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam, (Lahore: Islamic Publication, 1990).
Selanjutnya lihat dalam Muhammad Syafi’i Antonio, Op,Cit, h. 29.
92
Mohammad Daud Ali-II, Op.Cit, h. 126.
93
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), h. 70.
44
dan alasan pendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum.” Asas
hukum pada umumnya berfungsi sebagai rujukan untuk mengembalikan segala
masalah yang berkenaan dengan hukum. 94
Pendapat lain menyatakan “A principle is the broad reason which lies at
the base of a rule of law.” 95 (terjemahan penulis: Asas adalah pemikiran yang luas
atau umum yang mendasari adanya norma hukum). Ada dua hal yang terkandung
dalam makna asas tersebut yakni pertama, asas merupakan pemikiran,
pertimbangan, sebab yang luas atau umum, abstrak (the broad reason); kedua, asas
merupakan hal yang mendasari adanya norma hukum (the base of rule of law).
Oleh karena itu,
asas hukum tidak sama dengan norma hukum, walaupun
adakalanya norma hukum itu sekaligus merupakan asas hukum. 96
Hukum Perjanjian Islam mengatur mengenai asas-asas akad yang
dijadikan sebagai landasan dalam pembuatan dan pelaksanaan akad, asas-asas
tersebut sebagai berikut: 97
a. Al Hurriyah (kebebasan)
Para pihak diberikan kebebasan untuk melakukan suatu akad. Bentuk dan isi
akad ditentukan oleh para pihak. Jika telah disepakati maka akad tersebut
mengikat para pihak yang telah menyepakatinya baik segala hak dan
kewajibannya. Akan tetapi kebebasan dalam akad ini dibatasi oleh ketentuan
syariah. Sepanjang tidak bertentangan dengan syariah maka akad tersebut
boleh dilaksanakan. Dasar hukum asas ini diatur dalam Al Qur’an Surah Al
94
Mohammad Daud Ali-II, Loc.Cit, h. 126.
George Whitecross Paton, A Text Book of Jurisprudence, Second Edition, (Oxford: At The
Clarendon Press, 1951). Selanjutnya lihat dalam Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu
Kebutuhan yang Didambakan Cetakan Kesatu Edisi Kedua, (Bandung: Alumni, 2014), h. 158.
Selanjutnya disebut Tan kamello-II.
96
Ibid
97
Fathurahman Djamil, Op.Cit, h. 249. Lihat juga dalam Ahmadi Miru-I, Op.Cit, h. 17.
95
45
Baqarah ayat (256) yang artinya: “tidak ada paksaan untuk memasuki agama
(Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada yang sesat…..”
Kata-kata tidak ada paksaan mengandung makna Islam menghendaki suatu
perbuatan didasari kebebasan untuk bertindak sepanjang benar dan tidak
bertentangan dengan aturan Allah.
b. Al Musawah (persamaan atau kesetaraan)
Persamaan atau kesetaraan mengandung makna bahwa para pihak dalam akad
mempunyai kedudukan yang sama dalam menentukan isi dan pelaksaan akad.
Asas ini menunjukkan bahwa semua orang mempunyai kedudukan yang sama
didepan hukum (equality before the law), yang membedakan kedudukan
seseorang dengan yang lainnya di sisi Allah adalah derajat ketaqwaannya.
Sebagaimana firmna Allah Swt dalam Al Qur’an Surah Al Hujurat ayat (13)
yang artinya: “hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
c. Al ‘Adalah (keadilan)
Asas keadilan merupakan asas yang sangat penting dalam Hukum Islam.
Pentingnya kedudukan dan fungsinya, kata keadilan disebut di dalam Al
Qur’an lebih dari 1000 kali, terbanyak setelah lafadz Allah dan ilmu
pengetahuan. 98 Asas keadilan dalam akad sebagai dasar bagi para pihak dalam
akad agar melakukan yang benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan
serta memenuhi kewajibannya. Akad menghasilkan kesepakatan dan
keuntungan yang seimbang, tidak menimbulkan kerugian bagi salah satu
pihak. Firman Allah dalam Surah Shaad ayat (26), artinya: “wahai Daud,
sesungguhnya engkau kami jadikan khalifah di bumi, maka berilah keputusan
di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu,
karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orangorang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena
mereka melupakan hari perhitungan.”
d. Al Ridha (kerelaan)
Keridhaan dalam akad mengandung pengertian bahwa akad yang disepakati
didasarkan pada kerelaan, kesepakatan bebas dari para pihak dalam akad dan
tidak boleh ada unsur paksaan, tekanan, penipuan dan sesuatu yang tidak jelas
atau samar. Dasar hukum asas ini diatur dalam Al Qur’an Surah An Nisa’ ayat
(29), artinya: “hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan
98
Lihat A.M. Saefuddin, “Sistem Ekonomi Islam”, Panjimas Nomor 411 ,1983, h. 45.
Selanjutnya lihat Mohammad Daud Ali-II, Op.Cit, h. 128.
46
harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyanyang kepadamu.”
e. Ash Shidq (kebenaran dan kejujuran)
Akad dilakukan dengan kejujuran, tidak terdapat penipuan atau kebohongan
yang dapat berpengaruh terhadap keabsahan suatu akad. Akad yang di
dalamnya terdapat unsur penipuan maka pihak yang lainnya dapat
menghentikan akad tersebut. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an
surah Al Ahzab ayat (70) artinya
“hai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.”
f. Al Kitabah (tertulis)
Setiap akad yang telah disepakati sebaiknya dibuat secara tertulis sebagai
pembuktian apabila dikemudian hari terjadi sengketa. Khususnya bagi akadakad yang membutuhkan pengaturan yang banyak seperti akad pembiayaan,
wakaf, ekspor impor dan sebagainya. Akad secara tertulis juga diperlukan
adanya saksi-saksi.
g. Kemaslahatan atau kemanfaatan
Akad dalam Islam dibuat oleh para pihak bertujuan untuk kemaslahatan bagi
orang-orang yang telibat dalam perjanjian tersebut. Perjanjian tidak boleh
menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya.
h. Itikad Baik
Asas ini mengandung pengertian bahwa para pihak dalam suatu perjanjian
harus melaksanakan isi perjanjian atau prestasi berdasarkan itikad baik dari
para pihak untuk tercapainya tujuan perjanjian.
Pasal 21 KHES juga mengatur mengenai asas-asas dalam akad, akad
yang dilakukan berdasarkan asas:
a. Ikhtiyari/sukarela;
Setiap dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan karena
tekanan salah satu pihak atau pihak lain.
b. Amanah/menepati janji;
Setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan
yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar
dari cidera janji.
c. Ikhtiyati/kehati-hatian;
Setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dilaksanakan
secara tepat dan cermat.
47
d. Luzum/tidak berubah;
Setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan perhitungan yang cermat,
sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau maisir.
e. Saling menguntungkan;
Setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga
tercegah dari praktik manipulasi dan merugikan salah satu pihak.
f. Taswiyah/kesetaraan;
Para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara, dan
mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.
g. Transparansi;
Setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara terbuka.
h. Kemampuan;
Setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak, sehingga tidak
menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan.
i. Taisir/kemudahan;
Setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan kepada
masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai dengan
kesepakatan.
j. Itikad baik;
Akad dilakukan dalam rangka menegakkan kemaslahatan, tidak mengandung
unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya.
k. Sebab yang halal;
Akad yang dilakukan tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh
hukum dan tidak haram.
Asas-asas dalam akad tersebut diatas dijadikan dasar, pondasi dan tumpuan
dalam penegakan dan pelaksanaan akad. Sehingga akad-akad yang dibuat tetap
dalam aturan syariah sehingga membawa kemaslahatan bagi para pihak.
4. Hapusnya Perjanjian Dalam Hukum Perjanjian Islam
Akad yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian dapat berakhir
atau hapus. Hukum Perjanjian Islam mengatur bahwa perjanjian yang dibuat
parapihak akan berakhir apabila terjadi tiga hal berikut ini: 99
a. Berakhirnya masa berlaku akad
99
Abdul Ghafur Anshori, Op.Cit, h. 30.
48
Berakhirnya suatu perjanjian secara garis besar dapat dibagi dua, yakni arti
positif dan arti negatif. Dikatakan positif jika perjanjian itu berakhir karena para
pihak dalam perjanjian telah melaksanakan perjanjiannya. Sebaliknya dikatakan
negatif karena salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian. 100 Sedangkan
dalam terminasi akad adalah berakhirnya akad karena difasakh (diputus) oleh
para pihak, dalam arti akad tidak dilaksanakan karena suatu atau lain sebab.101
Wahbah Azzuhaili menggunakan istilah fasakh dalam arti luas mencakup
berbagai pemutusan akad. Secara umum fasakh dalam Hukum Islam
meliputi: 102
1) Fasakh terhadap akad fasid, yaitu akad yang tidak memenuhi syarat-syarat
keabsahan akad menurut ahli-ahli hukum Hanafi, meskipun telah memenuhi
rukun dan syarat terbentuknya akad.
2) Fasakh terhadap akad yang tidak mengikat (ghair lazim), baik tidak
mengikatnya akad tersebut karena adanya hak khiyar (opsi) bagi salah satu
pihak dalam akad tersebut maupun karena sifat akad itu sendiri yang sejak
semula memang tidak mengikat.
3) Fasakh terhadap akad karena kesepakatan para pihak untuk memfasakhnya.
4) Fasakh terhadap akad karena salah satu pihak tidak melaksanakannya
maupun karena akad mustahil dilaksanakan.
b. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad
Hapusnya akad terjadi apabila salah satu pihak dalam akad melanggar
ketentuan yang telah disepakati, atau salah satu pihak mengetahui jika dalam
100
Ahmadi Miru-I, Op.Cit, h. 130.
Muhammad Siraj, Nazhariyah al-Aqd fi al-Fiqh al-Islami: Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah
(Ttp: Sa’d Samak, t.t), h. 247. Selanjutnya lihat Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Studi
Tentang Teori Akad dalam Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 340.
102
Wahbah Az Zuhaili, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, Cetakan Kedelapan, (Damaskus:
Dar al-Fikr, 2005), h. 3147. Selanjutnya lihat Ibid, h. 341.
101
49
pembuatan akad tersebut terdapat unsur kekhilafan atau penipuan yang
menyangkut subjek maupun objek akad.
c. Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.
Hapusnya akad karena salah satu pihak dalam akad meninggal dunia, hal ini
berlaku pada akad untuk berbuat sesuatu yang membutuhkan adanya
kemampuan yang khusus. Apabila akad dalam hal memberikan sesuatu
misalnya dalam bentuk uang atau barang, maka akad tetap berlaku bagi ahli
warisnya.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, maka hapusnya akad dapat terjadi
karena berakhirnya masa berlaku akad, dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad dan
salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.
B. Tinjauan Umum Terhadap Perjanjian Baku
1. Pengertian Perjanjian Baku
Hubungan hukum yang terjadi antara para pihak dalam suatu kerjasama
dituangkan dalam sebuah perjanjian. Pada masa perkembangan saat ini pembakuan
syarat-syarat pada perjanjian dalam bentuk perjanjian baku merupakan hal yang tidak
dapat dihindari. Perjanjian dituangkan dalam format-format baku yang telah
ditetapkan secara sepihak oleh pengusaha atau pelaku usaha.
Istilah perjanjian baku disebut juga dengan kontrak baku ataupun kontrak
standard. Berdasarkan pustaka hukum asing terdapat beberapa istilah yang dipakai
untuk perjanjian baku, yaitu standaardvertrag, standardized contract, dalam bahasa
50
Inggris disebut standard forms of contract of adhesion, standard contract, standard
agreement.
103
Pengertian perjanjian baku dikemukakan oleh beberapa ahli hukum, Mariam
Darus Badrulzaman menyatakan perjanjian baku adalah “perjanjian yang isinya
dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.” 104
Ahmadi Miru berpendapat bahwa, perjanjian baku adalah “perjanjian yang
klausul-klausulnya telah ditetapkan atau dirancang oleh salah satu pihak.” 105
Menurut Dahlan dan Sanusi Bintang menyatakan: 106
“Didalam bisnis tertentu terdapat kecendrungan untuk menggunakan apa
yang dinamakan kontrak baku, berupa kontrak yang sebelumnya oleh pihak
tertentu (perusahaan) telah menentukan secara sepihak sebagian isinya
dengan maksud untuk digunakan secara berulang-ulang dengan berbagai
pihak (konsumen perusahaan) tersebut. Dalam kontrak standard tersebut
sebagian besar isinya untuk dinegosiasi lagi, dan sebagian lagi sengaja
dikosongkan untuk memberikan kesempatan negosiasi dengan pihak
konsumen yang baru diisi setelah diperoleh kesepakatan.”
Hondius memberikan defenisi perjanjian baku yaitu “perjanjian dengan
syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam perjanjian yang masih akan dibuat,
yang jumlahnya tidak tentu, tanpa membicarakan isinya terlebih dahulu.” 107
103
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standard) Perkembangannya di Indonesia
Beberapa Guru Besar Berbicara Tentang Hukum dan Pendidikan Hukum, (Bandung: Alumni, 1991),
h. 95. Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman-IV. Lihat juga dalam Abdul Kadir Muhammad,
Op.Cit, h. 6
104
Ibid, h. 96.
105
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Cetakan Kelima, (Jakarta: Raja
Grafindo, 2013), h. 39. Selanjutnya disebut Ahmadi Miru-II.
106
Dahlan dan Sanusi Bintang, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2003), h. 19.
107
Hondius, Syarat-Syarat Baku dalam Hukum Kontrak, termuat dalam W.M Kleyn,
Compedium Hukum Belanda, (s-Gravenhage: Yayasan Kerjasama Ilmu Hukum Indonesia-Belanda,
1978). Selanjutnya lihat dalam Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar,
(Jakarta:Diadit Media, 2002), h. 94.
51
Sutan Remy Sjahdeni mengartikan perjanjian baku sebagai perjanjian yang
hamper seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain
pada dasarnya tidak mempunyai eluang untuk merundingkan atau meminta
perubahan. Sjahdeni menekankan, yang dibakukan bukan formulir perjanjian
tersebut, melainkan klausul-klausulnya. 108
Pitlo mengemukakan bahwa perjanjian baku adalah “suatu “dwangkontract”
(perjanjian paksa), 109 karena kebebasan pihak-pihak yang dijamin oleh Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata sudah dilanggar. Pihak yang lemah terpaksa menerima karena
mereka tidak mempunyai pilihan lain.
Ketentuan dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menyatakan: 110
“Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang
telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku
usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, maka perjanjian baku
merupakan suatu perjanjian yang terjadi antara para pihak yang dibuat dalam bentuk
atau format yang sudah dibakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian, umumnya
108
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 120.
Mariam Darus Badrulzaman-III, Op.Cit, h. 37.
110
Berbagai literatur menggunakan istilah “kontrak baku” atau standard contract. UndangUndang Perlindungan Konsumen menggunakan istilah “klausula baku”.
109
52
pihak yang memiliki kedudukan yang lebih kuat. Pihak lainnya hanya menyetujui
perjanjian tersebut.
2. Ciri-Ciri Dan Syarat Perjanjian Baku
a. Ciri-Ciri Perjanjian Baku
Perjanjian baku merupakan perjanjian yang menjadi dasar atau patokan bagi
hubungan hukum yang terjadi antara para pihak dalam perjanjian yang isinya telah
dibakukan. Perjanjian baku dalam perkembangannya mengikuti dan menyesuaikan
dengan perkembangan masyarakat. Penggunaan perjanjian baku memiliki ciri-ciri
sebagai berikut: 111
1) Bentuk Perjanjian Tertulis
Kata-kata atau kalimat dalam perjanjian baku dibuat secara tertulis berupa
akta otentik atau akta dibawah tangan.
2) Format Perjanjian Dibakukan
Format perjanjian sudah dibakukan, ditentukan model, rumusan dan
ukurannya, sehingga tidak dapat diganti diubah atau dibuat dengan cara lain
karena sudah dicetak.
3) Syarat-Syarat Perjanjian Ditentukan Oleh Pengusaha
Syarat-syarat perjanjian ditentukan secara sepihak oleh pengusaha dan
cenderung menguntungkan pengusaha daripada konsumen, hal ini dapat
dilihat adanya pencantuman klausul eksonerasi.
4) Konsmen Hanya Menerima atau Menolak
Konsumen tidak dapat menawar isi perjanjian, hanya ada pilihan menerima
atau menolak perjanjian kerjasama.
5) Penyelesaian Sengketa Melalui Musyawarah/Peradilan
Perjanjian baku mencantumkan syarat mengenai penyelesaian sengketa.
6) Perjanjian Baku Menguntungkan Pengusaha
Perjanjian baku lebih cenderung menguntungkan pengusaha, berupa:
a) Efisiensi biaya, waktu dan tenaga;
b) Praktis, berupa blanko yang siap diisi dan ditandatangani;
c) Penyelesaian cepat karena konsumen hanya menyetujui atau menolaknya.
d) homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak.
111
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, h. 6-8.
53
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian baku memiliki ciri-ciri
sebagai berikut: 112
1) Perjanjian dibuat dalam bentuk tertentu berupa formulir yang sudah tercetak
2) Formulir itu dipersiapkan terlebih dahulu dan diperuntukkan kepada setiap
orang tanpa perbedaan
3) Isi perjanjian ditentukan secara sepihak oleh pihak yang memiliki kekuatan
posisi ekonomi
4) Pihak yang mengikatkan diri terhadap formulir itu tidak mempunyai
kebebasan mengubah kehendak pihak yang lain
5) Adanya suatu kepentingan yang sangat dibutuhkan oleh pihak yang posisi
ekonominya lemah
6) Pengaturan hak dan kewajiban yang tidak seimbang.
Berdasarkan ciri-ciri perjanjian baku tersebut di atas, perjanjian baku yang
terjadi antara para pihak, pelaku usaha cenderung mempunyai kedudukan dalam
menentukan isi perjanjian. Konsumen tidak memiliki kesempatan untuk ikut serta
dalam pembuatan isi perjanjian, sehingga kedudukan pelaku usaha lebih kuat
dalam pelaksanaan perjanjian, konsumen dalam posisi menerima atau menolak
perjanjian tersebut.
b. Syarat Perjanjian Baku
Syarat-syarat perjanjian bertujuan untuk mengatur hak dan kewajiban serta
tanggung jawab para pihak dalam perjanjian tersebut. Syarat perjanjian merupakan
ketentuan yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak dalam pelaksanaan perjanjian.
Syarat-syarat perjanjian baku meliputi ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 113
1) Cara mengakhiri perjanjian
2) Cara memperpanjang berlakunya perjanjian
112
Mariam Darus Badrulzaman-IV, Op.Cit, h. 65.
Ibid, h. 100.
113
54
3) Penyelesaian sengketa melalui arbitrase
4) Penyelesaian sengketa melalui keputusan pihak ketiga
5) Syarat-Syarat tentang Eksonerasi
Menurut Abdulkadir Muhammad, syarat-syarat perjanjian baku, meliputi: 114
1)
2)
3)
4)
5)
Kewajiban dan hak pihak-pihak
Wanprestasi
Akibat Wanprestasi
Tanggung jawab dan eksonerasi
Penyelesaian sengketa
Sesuai dengan asas kebebasan berkontrak, setiap orang bebas membuat
perjanjian dengan mencantumkan syarat-syarat baku pada perjanjian. Pihak yang
menentukan syarat-syarat baku biasanya adalah pelaku usaha yang mempunyai
kedudukan ekonomi yang lebih kuat dibandingkan dengan konsumen. Disebabkan
karena kebutuhan ekonomi konsumen menerima syarat-syarat baku yang
ditawarkan pada saat mengadakan perjanjian. Ketentuan syarat-syarat baku dalam
perjanjian dapat dilakukan sebatas syarat-syarat baku tersebut tidak bertentangan
dengan kepatutan, kesusilaan dan undang-undang yang mengatur mengenai
pembatasan perjanjian baku.
3. Bentuk-Bentuk Perjanjian Baku
Perjanjian yang disepakati oleh para pihak dapat dibuat secara lisan dan
tulisan. Perjanjian baku terdapat dalam bentuk perjanjian tertulis. Isi perjanjian telah
dibuat terlebih dahulu oleh pelaku usaha untuk ditawarkan kepada pihak lainnya.
Perjanjian yang terjadi antara para pihak pada prinsipnya dapat dibuat secara bebas
oleh pihak-pihak dalam perjanjian tersebut. Akan tetapi kebebasan ini memiliki
114
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, h. 10.
55
batasan yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata “suatu perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik.” Pasal 1339 juga mengatur bahwa perjanjian tidak
hanya mengikat hal-hal yang dinyatakan di dalam perjanjian, tetapi juga yang
diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.
Perjanjian baku dalam prakteknya tumbuh karena keadaan menghendakinya
dan harus diterima sebagai kenyataan. 115 Perjanjian baku berlaku dalam aktifitas
masyarakat dalam berbagai bentuk. Menurut Mariam Darus Badrulzaman
berdasarkan segi terjadinya maupun berlakunya perjanjian-perjanjian standard dapat
digolongkan sebagai berikut: 116
a. Perjanjian baku (standard) umum
Perjanjian standard umum ialah perjanjian yang bentuk dan isinya telah
dipersiapkan terlebih dahulu oleh kreditur (seperti perjanjian kredit bank)
kemudian diberikan pada debitur. Dari segi formal debitur menyetujuinya,
akan tetapi dari segi materil debitur “terpaksa” menerimanya. Adanya
persesuaian kehendak adalah fiktif.
b. Perjanjian baku (standard) khusus
Perjanjian standard khusus dinamakan terhadap perjanjian standard yang
ditetapkan Pemerintah, baik adanya dan berlakunya perjanjian tersebut untuk
para pihak ditetapkan secara sepihak oleh Pemerintah dilihat dari bentuknya
sebagai perjanjian, maka seakan-akan terdapat unsur konsesualisme, akan
tetapi sebenarnya tidak ada.
Perjanjian baku yang digunakan di masyarakat dapat dibedakan menjadi
empat jenis, yaitu: 117
a. Perjanjian baku sepihak
115
Mariam Darus Badrulzaman-III, h. 38.
Ibid, h. 39-40.
117
Mariam Darus Badrulzaman-IV, h. 65.
116
56
Yaitu perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di
di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat disini adalah pihak kreditur yang
lazimnya mempunyai posisi ekonomi kuat dibandingkan pihak debitur.
b. Perjanjian baku timbal balik
Yaitu perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua belah pihak, misalnya
perjanjian baku yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditur) dan
pihak lainnya yaitu buruh (debitur). Kedua belah pihak lazimnya terikat dalam
organisasi misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
c. Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah
Yaitu perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatanperbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai
objek hak-hak atas tanah.
d. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan Notaris dan Advokat
Yaitu perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan
untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan
Notaris atau Advokat terebut.
Pendapat para pakar hukum mengenai perjanjian baku, ada yang menyetujui
perjanjian baku dan ada yang tidak menyetujui perjanjian baku. Sluyter
berpendapat bahwa dalam perjanjian baku kreditur menentukan isi perjanjian
secara sepihak melahirkan “legio particuliere wetgevers” (pembentuk undangundang swasta. 118
Stein menyatakan bahwa dasar berlakunya perjanjian baku adalah “de fictie
van will of vertrouwen”. Tidak ada kebebasan kehendak yang sungguh-sungguh
pada pihak-pihak, khususnya debitur. 119
Para pakar tidak menyetujui perjanjian baku, sebab: 120
a. Kedudukan pengusaha didalam perjanjian baku sama seperti pembentuk
undang-undang swasta (legio particuliere wetgevers), karenanya perjanjian
baku bukan merupakan perjanjian;
118
Mariam Darus Badrulzaman-III, Loc.Cit, h. 37
Ibid.
120
Rachmadi Usman, Op.Cit, h. 265.
119
57
b. Perjanjian baku merupakan perjanjian paksa (dwangkontract);
c. Negara-negara Common Law System menerapkan doktrin unconscionability.
Doktrin unconscionability memberikan wewenang kepada perjanjian demi
menghindari hal-hal yang dirasakan sebagai bertentangan dengan hati nurani.
Perjanjian baku dianggap meniadakan keadilan.
Sebaliknya beberapa pakar hukum menerima kehadiran perjanjian baku
sebagai suatu perjanjian, karena: 121
a. Perjanjian baku diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan
dan kepercayaan (fictie van vertouwen) yang membangkitkan kepercayaan
bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu;
b. Setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi dan
apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan
pada formulir perjanjian baku, tanda tangan itu membangkitkan kepercayaan
bahwa yang bertanda tangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang
ditandatanganinya.
c. Perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat, berdasarkan kebiaasaan
(gebruik) yang berlaku di masyarakat dan lalu lintas perdagangan.
Perjanjian baku apabila ditinjau berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1320 dan
Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian baku bertentangan dengan asas-asas hukum
yang diatur dalam pasal tersebut. Subekti mengemukakan bahwa asas
konsesualisme terdapat dalam Pasal 1320 jo 1338, pelanggaran terhadap pasalpasal tersebut membuat perjanjian tidak sah dan tidak mengikat sebagai undangundang. 122
121
Ibid, h. 256.
Mariam Darus Badrulzaman-III, Op.Cit, h. 37.
122
58
C. Penerapan Klausul Eksonerasi Dalam Pandangan Hukum Perjanjian Islam
1. Pengertian Klausul Eksonerasi
Istilah klausul eksonerasi 123 merupakan terjemahan dari bahasa Latin
“exonerare clausule”, bahasa Inggris “exemption clausule/exclusion clause”,
bahasa Belanda “exoneratie klausule” 124 Menurut Kamus Istilah Hukum Fockema
Andreae, bahwa exoneratieclausule yaitu “suatu syarat dalam suatu persetujuan
dimana satu pihak membebaskan diri dari pertanggungjawaban yang dibebankan
kepadanya oleh hukum yang mengatur.” 125
Menurut Rijken klausul eksonerasi adalah “Rijken definieert het als een
species van, wat hij noemt, de aansprakelijkheidsclausule, die iedere wettelijke of
contractuele aansprakelijkheid kan uitsluiten of beperken.”
(terjemahan penulis: Rijken mendefinisikan klausul eksonerasi sebagai bentuk,
yang dia sebut, klausa tanggung jawab, yang dapat mengecualikan tanggung jawab
hukum atau kontrak.) 126
Janssen dan Klein menyatakan bahwa klausul eksonerasi adalah:
“een exoneratie clausule aansprakelijkheid in het algemeen uitsluit of beperkt.”
123
Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan dan menggunakan istilah klausul eksemsi sebagai
terjemahan dari exemption clausule yang dipakai di dalam pustaka-pustaka hukum Inggris atau klausul
ekskulpatori sebagai terjemahan dari exculpatory clause yang dipakai dalam pustaka-pustaka hukum
Amerika Serikat, daripada mengambil alih dari istilah bahasa Belanda dengan menterjemahkan
exoneratie klausule menjadi klausul eksonerasi. Lihat Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak
dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia,
(Jakarta: Institute Bankir Indonesia, 1993), h. 73. Mariam Darus Badrulzaman menggunakan istilah
klausul eksonerasi, sebagaimana terjemahan dari istilah exoneratie klausule yang dipakai dalam bahasa
Belanda.
124
Mariam Darus Badrulzaman-III,
BAB II
PENERAPAN KLAUSUL EKSONERASI PADA PERJANJIAN DALAM
PANDANGAN HUKUM PERJANJIAN ISLAM
A. Tinjauan Umum Terhadap Hukum Perjanjian Islam
1. Pengertian Hukum Perjanjian Islam
Istilah perjanjian dalam Hukum Islam dikenal dengan akad. Secara
etimologis perjanjian dalam Bahasa Arab disebut dengan Mu’ahadah Ittifa’.66
Perjanjian dalam Al Qur’an disebut dengan 2 (dua) istilah, yaitu kata akad (al’aqdu)
dan kata ‘ahd (al-‘ahdu), Al Qur’an memakai kata pertama dalam arti perikatan atau
perjanjian, 67 sedangkan kata yang kedua berarti masa, pesan, penyempurnaan dan
janji atau perjanjian. 68 Istilah akad dapat disamakan dengan istilah perikatan atau
verbintenis, sedangkan al-‘ahdu dapat dikatakan sama dengan istilah perjanjian atau
overeenkomst, yang dapat diartikan sebagai suatu pernyataan dari seseorang untuk
mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu. 69 Akad berarti ikatan atau simpulan
baik ikatan yang nampak (hissyy) maupun tidak nampak (ma’nawy). 70
Pengertian akad di atas dapat diartikan sebagai suatu ikatan, penguatan atau
perjanjian atau kesepakatan yang diwujudkan dalam ijab (pernyataan penawaran atau
66
Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K.Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2004), h. 1.
67
Lihat Al Qur’an Surah Al Maidah ayat (1)
68
Lihat Al Qur’an Surah An Nahl ayat 91 dan Al Isra’ ayat 34.
69
Fathurahman Djamil, Op.Cit, h. 248.
70
Fayruz Abady Majd al-Din Muhammad Ibn Ya’qub al Qamus al-Muhit, jilid 1, (Beirut: D
Jayl), h.327. Selanjutnya lihat Rahmani Timorita Yulianti, “Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam
Hukum Kontrak Syariah”, Jurnal Ekonomi Islam La_Riba, Volume II, Nomor 1, Juli 2008.
31
32
pemindahan kepemilikan) dan qabul (pernyataan penerimaan kepemilikan) sebagai
sebuah komitmen yang dilaksanakan dengan nilai-nilai syariah yang diatur dalam
Hukum Islam berdasarkan pada sumber Hukum Islam.
Sumber Hukum Islam yaitu Al Qur’an, 71 Hadits dan Ijtihad, maka sumber
Hukum Perjanjian Islam didasarkan kepada ketiga sumber tersebut yaitu:
a. Al Qur’an
Al Qur’an merupakan sumber Hukum Islam yang utama sebagai sandaran
dan pedoman hidup bagi manusia (manhajjul hayyah). Al Qur’an mengatur
mengenai kaidah-kaidah dalam akad yang tercantum dalam firman Allah Swt Al
Qur’an surah Al Baqarah ayat (282), artinya:
“wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang piutang
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan
hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar.
Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah
orang yang berhutang mendiktekan, dan hendaklah dia bertaqwa kepada
Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikitpun daripadanya.”
Ayat Al Qur’an tersebut di atas, Allah Swt memerintahkan kepada orang-orang
beriman apabila terjadi utang piutang atau hubungan muamalah antara para pihak
71
Hukum-hukum yang terkandung dalam Al Qur’an adalah:
1. Hukum-hukum I’tiqadiyah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para subjek
hukum untuk mempercayai Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari
pembalasan, qada dan qadar.
2. Hukum-hukum Akhlak, yaitu hukum –hukum Allah yang berhubungan dengan kewajiban untuk
menghiasi diri dengan sifat yang utama dan menjauhkan diri dari sifat tercela.
3. Hukum Amaliyah, yaitu hukum yang berkaitan dengan perbuatan, perkataan, perjanjian, hubungan
kerjasama antar sesama manusia. Hukum amaliyah ini dibagi dalam dua jenis yaitu (a) Ibadah,
yakni mengatur hubungan manusia dengan Allah dalam beribadah seperti sholat, puasa, zakat dan
ibadah haji. (b) Hukum muamalah, yakni mengatur hubungan manusia dengan manusia baik dalam
hal pribadi maupun kemasyarakatan (sosial). Lihat Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum
Islam Jilid I, (Yogyakarta: Balai Ilmu, 1980), h. 44-46.
33
hendaknya dituangkan dalam bentuk tulisan. Penulisan perjanjian dilakukan
dengan benar sesuai dengan apa yang diperjanjikan dan dilakukan atas dasar taqwa
kepada Allah Swt.
Pelaksanaan akad juga diatur dalam Al Qur’an surah Al Baqarah ayat (283),
artinya:
“dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seoraang
penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi jika
kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (utangnya), dan hendaklah ia bertaqwa kepada
Allah, Tuhannya.”
Berdasarkan ayat ini Allah Swt memerintahkan bahwa jika suatu perjanjian tidak
dibuat dalam bentuk tulisan, maka ada barang yang dijaminkan sebagai jaminan
terhadap utang piutang tersebut. Akan tetapi bila para pihak saling mempercayai satu
sama lain, hendaknya yang dipercayai itu menunaikan utangnya. Kesepakatan
tersebut dilakukan atas dasar taqwa kepada Allah Swt.
Pengaturan tentang akad juga terdapat dalam firman Allah pada Al Qur’an
Surah An Nahl ayat (91) yang artinya “dan tepatilah janji dengan Allah apabila kamu
berjanji dan janganlah kamu melanggar sumpah setelah diikrarkan, sedang kamu
telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu). Sesungguhnya Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat.” Hal yang sama juga diatur dalam Al Qur’an
surah Al Maidah ayat (1) yang artinya “hai orang-orang yang beriman, penuhilah
akad-akad itu…” Selain itu juga diatur dalam Al Qur’an Surah Al Isra’ ayat 34 yang
artinya
“…dan
penuhilah
pertanggungjawabannya.”
janji-janji,
karena
janji
itu
pasti
diminta
34
Berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an tersebut di atas, Allah Swt memerintahkan
agar orang-orang yang melakukan perjanjian harus menepati janji yang telah
disepakati antara para pihak. Sebab dalam perjanjian tersebut Allah sebagai saksi
diantara mereka, Allah mengetahui setiap perbuatan yang dilakukan dan perbuatan
tersebut akan dimintai pertanggungjawabannya.
Allah Swt juga berfirman dalam Al Qur’an Surah An Nisa’ ayat (29) yang
artinya “wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang
berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu.” Pada ayat ini Allah Swt
memberikan aturan bahwa dalam bermuamalah antara sesama manusia tidak
dilakukan dengan jalan yang batil dan menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.
Hubungan tersebut dilakukan atas dasar dan aturan yang sesuai dengan ketentuan
syariah.
Peraturan tentang tata cara akad juga Allah mengaturnya dalam Al Qur’an
Surah Ar Ra’du ayat (19-20) yang artinya “maka apakah orang yang mengetahui
bahwa apa yang diturunkan Tuhan kepadamu adalah kebenaran, sama dengan orang
yang buta? hanya orang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang
yang memenuhi janji Allah dan tidak melanggar perjanjian.” Berdasarkan ayat ini
Allah Swt memerintahkan untuk memenuhi janji-janji yang telah disepakati dan tidak
melanggar perjanjian tersebut.
b. Hadits
35
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an.
Aturan mengenai akad juga diatur dalam hadits. Akad memiliki satu tempat yang
khusus dalam melengkapi suatu hubungan kerjasama ataupun kegiatan lainnya
antara para pihak. Hadits-hadits yang mengatur tentang akad antara lain, Hadits
Riwayat Imam Bukhari yang menyatakan “segala bentuk persyaratan yang tidak
ada dalam Kitab Allah (Hukum Allah) adalah batal, sekalipun sejuta syarat.”
Hadits ini menjelaskan bahwa syarat-syarat atau ketentuan yang terdapat dalam
akad yang diadakan oleh para pihak, apabila dalam syarat-syarat tersebut
bertentangan dengan Hukum Islam dan aturan dalam prinsip-prinsip syariah maka
syarat tersebut batal. Perjanjian harus dibuat berdasarkan ketentuan syariat.
Berdasarkan hadits lainnya dalam riwayat At Tirmidzi Rasulullah Saw
bersabda “kaum muslimin (dalam kebebasan) sesuai dengan syarat dan
kesepakatan mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.” 72 Hadits tersebut menyatakan bahwa perjanjian
didasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak, yaitu masing-masing pihak
ridho (rela), kehendak bebas masing-masing pihak pada isi akad tersebut. Akan
tetapi dalam akad tersebut tidak dibenarkan terdapat suatu kesepakatan yang
bertentangan dengan syariat.
Hadits yang mengatur tentang perjanjian juga terdapat dalam Hadits
Riwayat Abu Dawud Dan Hakim “dari Abu Hurairah, Rasulallah Saw.
72
Kitab Al Ahkam Nomor 1272. Selanjutnya lihat dalam Muhammad Syafi’i Antonio, Bank
Syariah dari Teori Ke Praktik , (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 11.
36
bersabda, “sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku pihak ketiga
dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati yang
lainnya.” 73 Hadits ini menyatakan bahwa dalam sebuah perjanjian antara para
pihak, maka Allah merupakan pihak ketiga dalam perjanjian tersebut selama
salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lainnya.
c. Ijtihad
Sumber Hukum Islam yang ketiga adalah ijtihad, 74 yaitu akal pikiran
manusia yang memenuhi syarat untuk berusaha, berikhtiar dengan seluruh
kemampuan
yang ada
padanya memahami
kaidah-kaidah hukum
yang
fundamental yang terdapat dalam Al Qur’an, Hadits dan merumuskannya menjadi
garis-garis hukum yang dapat diterapkan pada suatu kasus tertentu. 75
73
Hadits Riwayat Abu Daud Nomor 2936 dalam kitab Al Buyu dan Hakim. Selanjutnya lihat
dalam Muhammad Syafi’i Antonio, Op.Cit, h. 91.
74
Dasar hukum untuk menggunakan akal pikiran (ra’yu) untuk berijtihad dalam
pengembangan Hukum Islam adalah Al qur’an Surah An Nisa’ ayat 59, hadits Mu’adz bin Jabal yang
menjelaskan bahwa Mu’adz sebagai penguasa (ulil amri) di Yaman dibenarkan oleh Nabi
mempergunakan ra’yunya untuk berijtihad, Khalifah Umar bin Khattab beberapa Tahun setelah
Rasulullah wafat menggunakan ijtihad dalam memecahkan persoalan hukum yang ada dalam
masyarakat pada awal perkembangan Islam. Ijtihad beliau bahwa talak tiga yang diucapkan sekaligus
di suatu tempat pada suatu ketika, dianggap sebagai talak yang tidak mungkin rujuk (kembali) kecuali
salah satu pihak ( istri yang telah ditalak) menikah lebih dahulu dengan laki-laki lain. Garis hukum ini
ditentukan Umar untuk melindungi kaum perempuan karena di zamannya banyak suami yang dengan
mudahnya mengucapkan talak tiga pada istrinya. Lihat Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia Cetakan ke-18, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2012), h.175-176. Selanjutnya disebut Muhammad Daud Ali-II).
75
Ibid, h. 111-112.
37
Jumhur ulama mendefenisikan akad adalah “pertalian antara ijab dan qabul
yang dibenarkan oleh syara’ (Hukum Islam) yang menimbulkan akibat hukum
terhadap objeknya.” 76
Berdasarkan Dictionary of Business Term, akad yaitu “aqd or contract is
transaction involving two or more individuals whereby each becomes obligate to
the other, with reciprocal rights to demand performances of what is promised.”77
(terjemahan penulis: “akad atau kontrak adalah sebuah persetujuan yang
melibatkan dua pihak atau lebih untuk memenuhi kewajiban satu sama lain,
dengan hak yang bertimbal balik untuk melaksanakan apa yang diperjanjikan.”)
Ahmad Azhar Basyir memberikan defenisi akad sebagai “suatu perikatan
antara ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan
adanya akibat-akibat hukum pada objeknya.”
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Pasal 1 angka
13 menyebutkan bahwa akad adalah “kesepakatan tertulis antara Bank Syariah
atau Unit Usaha Syariah atau pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban
bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.”
Pengertian akad juga diatur dalam KHES Pasal 20 yang menyebutkan akad
adalah “kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk
melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.” Sedangkan Pasal
76
Wirdyaningsih dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia Cetakan Kedua, (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2006), h. 94.
77
Alexander Hamilton Institute, A Dictionary of Business Terms, 1987 selanjutnya lihat dalam
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama, (Jakarta:
Kencana, 2012), h. 72.
38
1 angka 4 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/16/PBI/2008 tentang Pelaksanaan
Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta
Pelayanan Jasa Bank Syariah memberikan defenisi akad yaitu “kesepakatan
tertulis antara bank dengan nasabah dan/atau pihak lain yang memuat hak dan
kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.”
Uraian pengertian akad tersebut di atas dapat diketahui bahwa akad dalam
Hukum Islam yaitu suatu pertalian antara ijab dan qabul yang dilakukan oleh para
pihak dalam akad sesuai dengan syariat Islam yang menimbulkan hak dan
kewajiban bagi para pihak serta akibat hukum yang timbul dari akad tersebut.
2. Rukun dan Syarat Akad
Rukun adalah “suatu unsur yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan
tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu.” 78 Sedangkan syarat adalah “sesuatu
yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada di luar hukum itu
sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada.” 79
Pendapat para ulama mengenai rukun dan syarat akad beraneka ragam.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa rukun akad hanya sighat al-‘aqd (pernyataan
untuk mengikatkan diri) yaitu ijab dan qabul dan syarat akad adalah al-‘aqidain
(subjek akad) dan mahallul ’aqd (objek akad), sebab al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd
bukan merupakan bagian dari perbuatan hukum akad (tasharruf akad). Ia berada
78
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), h. 1510. Selanjutnya lihat dalam Wirdyaningsih dkk, Op.Cit, h. 94.
79
Ibid
39
diluar perbuatan akad. Pendapat dari kalangan Mazhab Syafi’i dan Mazhab Maliki
bahwa al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd termasuk rukun akad karena kedua hal tersebut
merupakan salah satu tongggak utama dalam terwujudnya akad. 80
Ulama fiqih sebagian besar berpendapat bahwa rukun akad terdiri dari empat
komponen, yaitu: 81
a. Subjek Akad (al-‘aqidain)
Subjek akad adalah para pihak yang melakukan akad sebagai suatu perbuatan
hukum yang mengemban hak dan kewajiban. 82 Syarat-syarat yang harus
dipenuhi untuk dapat menjadi subjek akad adalah: 83
1) Aqil, yaitu orang yang berakal sehat;
2) Tamyiz, yaitu orang yang dapat membedakan baik dan buruk (dewasa);
3) Mukhtar, yaitu orang yang bebas dari paksaan. Suatu akad harus dilakukan
secara suka sama suka diantara para pihak, sebagaimana firman Allah Swt
dalam Al Qur’an Surah An Nisa’ ayat 29:
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil (tidak benar), kecuali dalam keadaan
berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu.”
b. Objek Akad (Mahallul ‘Aqd)
Objek akad akad merupakan sesuatu yang dijadikan objek dalam akad dan
menimbulkan akibat hukum. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam objek
akad adalah sebagai berikut: 84
1) . Objek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan
Suatu objek perikatan yang belum terwujud tidak boleh dijadikan objek
akad. Hukum dan akibat akad tidak mungkin terjadi pada sesuatu yang
belum ada. Akan tetapi hal ini terdapat pengecualian pada akad-akad
80
Al Kamal Ibnul Humam, Fath Al Qadir, juz IV/V, h. 74. Selanjutnya lihat dalam Rachmat
Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 45.
81
Teungku Muhammad Hasb Ash-Shiddieqy, Memahami Syariat Islam , Cetakan Kesatu,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), h.23. Lihat juga dalam Ascarya, Op.Cit, h. 35. Lihat juga
dalam Abdul Ghafur Anshori, Op.Cit, h. 21. Lihat juga dalam Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian
Syariah, Studi Tentang Teori Akad dalam Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h.
96.
82
Wirdyaningsih dkk, Op.Cit, h. 94.
83
Hamzah Ya’cub, Kode Etik Dagang Menurut Islam: Pola Pembinaan Hidup dalam
Berekonomi, (Bandung: Diponegoro, 1984), h.79.
84
Ghufron A Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Cetakan 1, (Jakarta: Raja Grafindo ,
2002), h. 86-89.
40
seperti salam dan istishna’, 85yang objeknya diperkirakan akan ada dimasa
yang akan datang. Pengecualian ini didasarkan pada istihsan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dalam kegiatan muamalat.
2) . Objek perikatan dibenarkan oleh syariah
Sesuatu yang tidak dibenarkan oleh syariat tidak dapat dijadikan objek
akad. Objek akad adalah benda-benda atau jasa-jasa yang dihalalkan oleh
syariat untuk ditransaksikan.
3) . Objek akad harus jelas dan dikenali
Benda yang menjadi objek akad harus diketahui dengan jelas oleh para
pihak baik itu fungsi, bentuk dan keadaannya. Apabila terdapat cacat harus
diberitahukan. Apabila objek akad berupa jasa harus dijelaskan sejauh
mana keahliannya.
4) . Objek akad dapat diserahterimakan
Objek akad harus dapat diserahterimakan secara nyata. Akan tetapi tidak
berarti harus diserahkan seketika, dapat diserahkan pada saat akad atau
pada waktu yang telah disepakati. Objek akad berada dibawah kekuasaan
sah pihak yang bersangkutan. Objek akad telah ada, jelas dan dapat
diserahkan.
c. Ijab dan Qabul (Sighat al-‘Aqd)
Ijab dan qabul merupakan ungkapan pihak-pihak yang melakukan akad.
Ijab yaitu pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan,
qabul yaitu pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Syarat-syarat yang
harus dipenuhi agar ijab dan qabul mempunyai akibat hukum, yaitu: 86
1) Ijab dan qabul harus dinyatakan oleh orang yang sekurang-kurangnya telah
mencapai umur tamyiz (dewasa) yang menyadari dan mengetahui isi
perkataan yang diucapkan hingga ucapannya itu benar-benar menyatakan
keinginan hatinya. Dengan kata lain dilakukan oleh orang yang cakap
melakukan tindakan hukum. Ijab dan qabul harus tertuju pada suatu objek
yang merupakan objek perjanjian.
85
Salam yaitu pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran
dilakukan di muka. Lihat Muhammad Syafi’i Antonio, Op.Cit, h. 108. Istishna’ yaitu kontrak
penjualan antara pembeli dan pembuat barang, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli.
Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut
spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Lihat Ibid, h. 113.
86
Ahmad Azhar Basyir, Op.Cit, h. 66.
41
2) Ijab dan qabul harus berhubungan langsung dalam suatu majelis apabila dua
belah pihak sama-sama hadir.
Para pihak yang melakukan ijab dan qabul juga harus memperhatikan tiga
syarat berikut, agar mempunyai akibat hukum: 87
a) Jala’ul ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas,
sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki.
b) Tawafuq, yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan qabul
c) Jazmul iradataini, yaitu antara ijab dan qabul menunjukkan kehendak
para pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa.
Pelaksanaan ijab dan qabul dapat dilakukan melalui empat cara, yaitu: 88
a) Lisan
Ijab dan qabul diucapkan secara lisan oleh para pihak dalam akad yang
saling berhubungan dan bersesuaian antara kehendak pihak yang satu
dengan yang lainnya dalam akad.
b) Tulisan
Para pihak dalam perjanjian membuat suatu tulisan yang menyatakan
suatu perikatan diantara mereka. Tulisan ini disebut dengan Surah
Perjanjian yang berisikan identitas para pihak, objek perjanjian, hak dan
kewajiban, mulai dan berakhirnya suatu perjanjian.
c) Isyarat
Suatu akad dapat dilakukan dengan isyarat. Hal ini dilakukan apabila
salah satu pihak dalam akad tersebut ada yang cacat misalnya tuna
wicara, asalkan para pihak memahami akad yang dilakukan.
d) Perbuatan
Ijab dan qabul dilakukan oleh para pihak dalam akad dengan suatu
perbuatan. Perbuatan ini disebut dengan ta’athi atau mu’thah (saling
memberi dan menerima).
d. Tujuan Akad (Maudhu’ul ‘Aqd)
Maudhu’ul ‘Aqd adalah tujuan dari akad yang dilakukan oleh para
pihak. Ahmad Azhar Basir mengemukakan bahwa tujuan akad harus jelas dan
dibenarkan oleh syara’ serta memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 89
87
Fathurrahman Djamil, Op.Cit, h. 253.
Ahmad Azhar Basyir, Op.Cit, h. 68-71.
89
Ibid, h. 99.
88
42
1) Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak
yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan, tujuannya hendaknya baru
ada pada saat akad diadakan.
2) Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya akad
3) Tujuan akad harus dibenarkan syara’
Setiap akad dalam Hukum Perjanjian Islam harus memperhatikan tujuan dari
akad dan harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’ sehingga tidak
menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak dalam akad tersebut.
Rukun dalam akad juga diatur dalam KHES Pasal 22 sampai Pasal 25 yang
menyatakan bahwa rukun akad terdiri dari:
1) Pihak-pihak yang berakad;
Pihak-pihak yang berakad adalah orang, persekutuan, atau badan usaha yang
memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum.
2) Objek akad;
Objek akad adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan oleh
masing-masing pihak.
3) Tujuan pokok akad;
Akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pengembangan usaha
masing-masing pihak yang mengadakan akad
4) Kesepakatan;
Yaitu adanya kesepakatan para pihak dalam akad.
Rukun yang membentuk suatu akad juga disertai dengan syarat-syarat akad.
Syarat-syarat akad menurut mazhab Hanafi terdiri dari tiga hal, yaitu: 90
1) Syarat shahih
Yaitu syarat yang sesuai dengan substansi akad, mendukung dan memperkuat
substansi akad dan dibenarkan oleh syara’, sesuai dengan kebiasaan
masyarakat (‘urf).
2) Syarat fasid
Yaitu syarat yang tidak sesuai dengan salah satu kriteria yang ada dalam
syarat shahih.
3) Syarat batil
90
517.
Wahbah Azzuhaili, Fiqih Islam Waa Adillatuhu Jilid 4, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h.
43
Yaitu syarat yang tidak mempunyai kriteria syarat shahih dan tidak memberi
nilai manfaat bagi salah satu pihak atau lainnya, akan tetapi menimbulkan
dampak negatif.
3. Asas-Asas Hukum Perjanjian Islam
Akad merupakan cerminan telah terjadinya kesepakatan dan hubungan
antara para pihak dalam perjanjian harus mencerminkan asas-asas akad yang diatur
baik dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum muamalah Islam. Akad
yang dilakukan dalam bank syariah memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi
karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam dan pertanggungjawaban
akad hingga pada yaumil qiyamah. 91 Penerapan hubungan dalam akad sudah
seharusnya dibuat oleh para pihak dalam akad berdasarkan pada asas-asas dalam
akad sehingga terhindar dari penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan
akad nantinya.
Sebelum menguraikan lebih lanjut mengenai asas-asas dalam akad, perlu
dijelaskan pengertian asas. Perkataan asas berasal dari terjemahan bahasa Arab
“asasun”, 92 bahasa Latin “principium”, bahasa Inggris “principle”, dan bahasa
Belanda “beginsel”, yang artinya landasan berfikir yang sangat mendasar, sesuatu
yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat. 93
Pengertian asas dalam bidang hukum dikemukakan oleh para ahli hukum
antara lain, asas adalah “kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berfikir
91
Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam, (Lahore: Islamic Publication, 1990).
Selanjutnya lihat dalam Muhammad Syafi’i Antonio, Op,Cit, h. 29.
92
Mohammad Daud Ali-II, Op.Cit, h. 126.
93
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), h. 70.
44
dan alasan pendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum.” Asas
hukum pada umumnya berfungsi sebagai rujukan untuk mengembalikan segala
masalah yang berkenaan dengan hukum. 94
Pendapat lain menyatakan “A principle is the broad reason which lies at
the base of a rule of law.” 95 (terjemahan penulis: Asas adalah pemikiran yang luas
atau umum yang mendasari adanya norma hukum). Ada dua hal yang terkandung
dalam makna asas tersebut yakni pertama, asas merupakan pemikiran,
pertimbangan, sebab yang luas atau umum, abstrak (the broad reason); kedua, asas
merupakan hal yang mendasari adanya norma hukum (the base of rule of law).
Oleh karena itu,
asas hukum tidak sama dengan norma hukum, walaupun
adakalanya norma hukum itu sekaligus merupakan asas hukum. 96
Hukum Perjanjian Islam mengatur mengenai asas-asas akad yang
dijadikan sebagai landasan dalam pembuatan dan pelaksanaan akad, asas-asas
tersebut sebagai berikut: 97
a. Al Hurriyah (kebebasan)
Para pihak diberikan kebebasan untuk melakukan suatu akad. Bentuk dan isi
akad ditentukan oleh para pihak. Jika telah disepakati maka akad tersebut
mengikat para pihak yang telah menyepakatinya baik segala hak dan
kewajibannya. Akan tetapi kebebasan dalam akad ini dibatasi oleh ketentuan
syariah. Sepanjang tidak bertentangan dengan syariah maka akad tersebut
boleh dilaksanakan. Dasar hukum asas ini diatur dalam Al Qur’an Surah Al
94
Mohammad Daud Ali-II, Loc.Cit, h. 126.
George Whitecross Paton, A Text Book of Jurisprudence, Second Edition, (Oxford: At The
Clarendon Press, 1951). Selanjutnya lihat dalam Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu
Kebutuhan yang Didambakan Cetakan Kesatu Edisi Kedua, (Bandung: Alumni, 2014), h. 158.
Selanjutnya disebut Tan kamello-II.
96
Ibid
97
Fathurahman Djamil, Op.Cit, h. 249. Lihat juga dalam Ahmadi Miru-I, Op.Cit, h. 17.
95
45
Baqarah ayat (256) yang artinya: “tidak ada paksaan untuk memasuki agama
(Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada yang sesat…..”
Kata-kata tidak ada paksaan mengandung makna Islam menghendaki suatu
perbuatan didasari kebebasan untuk bertindak sepanjang benar dan tidak
bertentangan dengan aturan Allah.
b. Al Musawah (persamaan atau kesetaraan)
Persamaan atau kesetaraan mengandung makna bahwa para pihak dalam akad
mempunyai kedudukan yang sama dalam menentukan isi dan pelaksaan akad.
Asas ini menunjukkan bahwa semua orang mempunyai kedudukan yang sama
didepan hukum (equality before the law), yang membedakan kedudukan
seseorang dengan yang lainnya di sisi Allah adalah derajat ketaqwaannya.
Sebagaimana firmna Allah Swt dalam Al Qur’an Surah Al Hujurat ayat (13)
yang artinya: “hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
c. Al ‘Adalah (keadilan)
Asas keadilan merupakan asas yang sangat penting dalam Hukum Islam.
Pentingnya kedudukan dan fungsinya, kata keadilan disebut di dalam Al
Qur’an lebih dari 1000 kali, terbanyak setelah lafadz Allah dan ilmu
pengetahuan. 98 Asas keadilan dalam akad sebagai dasar bagi para pihak dalam
akad agar melakukan yang benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan
serta memenuhi kewajibannya. Akad menghasilkan kesepakatan dan
keuntungan yang seimbang, tidak menimbulkan kerugian bagi salah satu
pihak. Firman Allah dalam Surah Shaad ayat (26), artinya: “wahai Daud,
sesungguhnya engkau kami jadikan khalifah di bumi, maka berilah keputusan
di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu,
karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orangorang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena
mereka melupakan hari perhitungan.”
d. Al Ridha (kerelaan)
Keridhaan dalam akad mengandung pengertian bahwa akad yang disepakati
didasarkan pada kerelaan, kesepakatan bebas dari para pihak dalam akad dan
tidak boleh ada unsur paksaan, tekanan, penipuan dan sesuatu yang tidak jelas
atau samar. Dasar hukum asas ini diatur dalam Al Qur’an Surah An Nisa’ ayat
(29), artinya: “hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan
98
Lihat A.M. Saefuddin, “Sistem Ekonomi Islam”, Panjimas Nomor 411 ,1983, h. 45.
Selanjutnya lihat Mohammad Daud Ali-II, Op.Cit, h. 128.
46
harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyanyang kepadamu.”
e. Ash Shidq (kebenaran dan kejujuran)
Akad dilakukan dengan kejujuran, tidak terdapat penipuan atau kebohongan
yang dapat berpengaruh terhadap keabsahan suatu akad. Akad yang di
dalamnya terdapat unsur penipuan maka pihak yang lainnya dapat
menghentikan akad tersebut. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an
surah Al Ahzab ayat (70) artinya
“hai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.”
f. Al Kitabah (tertulis)
Setiap akad yang telah disepakati sebaiknya dibuat secara tertulis sebagai
pembuktian apabila dikemudian hari terjadi sengketa. Khususnya bagi akadakad yang membutuhkan pengaturan yang banyak seperti akad pembiayaan,
wakaf, ekspor impor dan sebagainya. Akad secara tertulis juga diperlukan
adanya saksi-saksi.
g. Kemaslahatan atau kemanfaatan
Akad dalam Islam dibuat oleh para pihak bertujuan untuk kemaslahatan bagi
orang-orang yang telibat dalam perjanjian tersebut. Perjanjian tidak boleh
menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya.
h. Itikad Baik
Asas ini mengandung pengertian bahwa para pihak dalam suatu perjanjian
harus melaksanakan isi perjanjian atau prestasi berdasarkan itikad baik dari
para pihak untuk tercapainya tujuan perjanjian.
Pasal 21 KHES juga mengatur mengenai asas-asas dalam akad, akad
yang dilakukan berdasarkan asas:
a. Ikhtiyari/sukarela;
Setiap dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan karena
tekanan salah satu pihak atau pihak lain.
b. Amanah/menepati janji;
Setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan
yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar
dari cidera janji.
c. Ikhtiyati/kehati-hatian;
Setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dilaksanakan
secara tepat dan cermat.
47
d. Luzum/tidak berubah;
Setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan perhitungan yang cermat,
sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau maisir.
e. Saling menguntungkan;
Setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga
tercegah dari praktik manipulasi dan merugikan salah satu pihak.
f. Taswiyah/kesetaraan;
Para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara, dan
mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.
g. Transparansi;
Setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara terbuka.
h. Kemampuan;
Setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak, sehingga tidak
menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan.
i. Taisir/kemudahan;
Setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan kepada
masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai dengan
kesepakatan.
j. Itikad baik;
Akad dilakukan dalam rangka menegakkan kemaslahatan, tidak mengandung
unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya.
k. Sebab yang halal;
Akad yang dilakukan tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh
hukum dan tidak haram.
Asas-asas dalam akad tersebut diatas dijadikan dasar, pondasi dan tumpuan
dalam penegakan dan pelaksanaan akad. Sehingga akad-akad yang dibuat tetap
dalam aturan syariah sehingga membawa kemaslahatan bagi para pihak.
4. Hapusnya Perjanjian Dalam Hukum Perjanjian Islam
Akad yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian dapat berakhir
atau hapus. Hukum Perjanjian Islam mengatur bahwa perjanjian yang dibuat
parapihak akan berakhir apabila terjadi tiga hal berikut ini: 99
a. Berakhirnya masa berlaku akad
99
Abdul Ghafur Anshori, Op.Cit, h. 30.
48
Berakhirnya suatu perjanjian secara garis besar dapat dibagi dua, yakni arti
positif dan arti negatif. Dikatakan positif jika perjanjian itu berakhir karena para
pihak dalam perjanjian telah melaksanakan perjanjiannya. Sebaliknya dikatakan
negatif karena salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian. 100 Sedangkan
dalam terminasi akad adalah berakhirnya akad karena difasakh (diputus) oleh
para pihak, dalam arti akad tidak dilaksanakan karena suatu atau lain sebab.101
Wahbah Azzuhaili menggunakan istilah fasakh dalam arti luas mencakup
berbagai pemutusan akad. Secara umum fasakh dalam Hukum Islam
meliputi: 102
1) Fasakh terhadap akad fasid, yaitu akad yang tidak memenuhi syarat-syarat
keabsahan akad menurut ahli-ahli hukum Hanafi, meskipun telah memenuhi
rukun dan syarat terbentuknya akad.
2) Fasakh terhadap akad yang tidak mengikat (ghair lazim), baik tidak
mengikatnya akad tersebut karena adanya hak khiyar (opsi) bagi salah satu
pihak dalam akad tersebut maupun karena sifat akad itu sendiri yang sejak
semula memang tidak mengikat.
3) Fasakh terhadap akad karena kesepakatan para pihak untuk memfasakhnya.
4) Fasakh terhadap akad karena salah satu pihak tidak melaksanakannya
maupun karena akad mustahil dilaksanakan.
b. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad
Hapusnya akad terjadi apabila salah satu pihak dalam akad melanggar
ketentuan yang telah disepakati, atau salah satu pihak mengetahui jika dalam
100
Ahmadi Miru-I, Op.Cit, h. 130.
Muhammad Siraj, Nazhariyah al-Aqd fi al-Fiqh al-Islami: Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah
(Ttp: Sa’d Samak, t.t), h. 247. Selanjutnya lihat Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Studi
Tentang Teori Akad dalam Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 340.
102
Wahbah Az Zuhaili, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, Cetakan Kedelapan, (Damaskus:
Dar al-Fikr, 2005), h. 3147. Selanjutnya lihat Ibid, h. 341.
101
49
pembuatan akad tersebut terdapat unsur kekhilafan atau penipuan yang
menyangkut subjek maupun objek akad.
c. Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.
Hapusnya akad karena salah satu pihak dalam akad meninggal dunia, hal ini
berlaku pada akad untuk berbuat sesuatu yang membutuhkan adanya
kemampuan yang khusus. Apabila akad dalam hal memberikan sesuatu
misalnya dalam bentuk uang atau barang, maka akad tetap berlaku bagi ahli
warisnya.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, maka hapusnya akad dapat terjadi
karena berakhirnya masa berlaku akad, dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad dan
salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.
B. Tinjauan Umum Terhadap Perjanjian Baku
1. Pengertian Perjanjian Baku
Hubungan hukum yang terjadi antara para pihak dalam suatu kerjasama
dituangkan dalam sebuah perjanjian. Pada masa perkembangan saat ini pembakuan
syarat-syarat pada perjanjian dalam bentuk perjanjian baku merupakan hal yang tidak
dapat dihindari. Perjanjian dituangkan dalam format-format baku yang telah
ditetapkan secara sepihak oleh pengusaha atau pelaku usaha.
Istilah perjanjian baku disebut juga dengan kontrak baku ataupun kontrak
standard. Berdasarkan pustaka hukum asing terdapat beberapa istilah yang dipakai
untuk perjanjian baku, yaitu standaardvertrag, standardized contract, dalam bahasa
50
Inggris disebut standard forms of contract of adhesion, standard contract, standard
agreement.
103
Pengertian perjanjian baku dikemukakan oleh beberapa ahli hukum, Mariam
Darus Badrulzaman menyatakan perjanjian baku adalah “perjanjian yang isinya
dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.” 104
Ahmadi Miru berpendapat bahwa, perjanjian baku adalah “perjanjian yang
klausul-klausulnya telah ditetapkan atau dirancang oleh salah satu pihak.” 105
Menurut Dahlan dan Sanusi Bintang menyatakan: 106
“Didalam bisnis tertentu terdapat kecendrungan untuk menggunakan apa
yang dinamakan kontrak baku, berupa kontrak yang sebelumnya oleh pihak
tertentu (perusahaan) telah menentukan secara sepihak sebagian isinya
dengan maksud untuk digunakan secara berulang-ulang dengan berbagai
pihak (konsumen perusahaan) tersebut. Dalam kontrak standard tersebut
sebagian besar isinya untuk dinegosiasi lagi, dan sebagian lagi sengaja
dikosongkan untuk memberikan kesempatan negosiasi dengan pihak
konsumen yang baru diisi setelah diperoleh kesepakatan.”
Hondius memberikan defenisi perjanjian baku yaitu “perjanjian dengan
syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam perjanjian yang masih akan dibuat,
yang jumlahnya tidak tentu, tanpa membicarakan isinya terlebih dahulu.” 107
103
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standard) Perkembangannya di Indonesia
Beberapa Guru Besar Berbicara Tentang Hukum dan Pendidikan Hukum, (Bandung: Alumni, 1991),
h. 95. Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman-IV. Lihat juga dalam Abdul Kadir Muhammad,
Op.Cit, h. 6
104
Ibid, h. 96.
105
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Cetakan Kelima, (Jakarta: Raja
Grafindo, 2013), h. 39. Selanjutnya disebut Ahmadi Miru-II.
106
Dahlan dan Sanusi Bintang, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2003), h. 19.
107
Hondius, Syarat-Syarat Baku dalam Hukum Kontrak, termuat dalam W.M Kleyn,
Compedium Hukum Belanda, (s-Gravenhage: Yayasan Kerjasama Ilmu Hukum Indonesia-Belanda,
1978). Selanjutnya lihat dalam Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar,
(Jakarta:Diadit Media, 2002), h. 94.
51
Sutan Remy Sjahdeni mengartikan perjanjian baku sebagai perjanjian yang
hamper seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain
pada dasarnya tidak mempunyai eluang untuk merundingkan atau meminta
perubahan. Sjahdeni menekankan, yang dibakukan bukan formulir perjanjian
tersebut, melainkan klausul-klausulnya. 108
Pitlo mengemukakan bahwa perjanjian baku adalah “suatu “dwangkontract”
(perjanjian paksa), 109 karena kebebasan pihak-pihak yang dijamin oleh Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata sudah dilanggar. Pihak yang lemah terpaksa menerima karena
mereka tidak mempunyai pilihan lain.
Ketentuan dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menyatakan: 110
“Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang
telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku
usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, maka perjanjian baku
merupakan suatu perjanjian yang terjadi antara para pihak yang dibuat dalam bentuk
atau format yang sudah dibakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian, umumnya
108
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 120.
Mariam Darus Badrulzaman-III, Op.Cit, h. 37.
110
Berbagai literatur menggunakan istilah “kontrak baku” atau standard contract. UndangUndang Perlindungan Konsumen menggunakan istilah “klausula baku”.
109
52
pihak yang memiliki kedudukan yang lebih kuat. Pihak lainnya hanya menyetujui
perjanjian tersebut.
2. Ciri-Ciri Dan Syarat Perjanjian Baku
a. Ciri-Ciri Perjanjian Baku
Perjanjian baku merupakan perjanjian yang menjadi dasar atau patokan bagi
hubungan hukum yang terjadi antara para pihak dalam perjanjian yang isinya telah
dibakukan. Perjanjian baku dalam perkembangannya mengikuti dan menyesuaikan
dengan perkembangan masyarakat. Penggunaan perjanjian baku memiliki ciri-ciri
sebagai berikut: 111
1) Bentuk Perjanjian Tertulis
Kata-kata atau kalimat dalam perjanjian baku dibuat secara tertulis berupa
akta otentik atau akta dibawah tangan.
2) Format Perjanjian Dibakukan
Format perjanjian sudah dibakukan, ditentukan model, rumusan dan
ukurannya, sehingga tidak dapat diganti diubah atau dibuat dengan cara lain
karena sudah dicetak.
3) Syarat-Syarat Perjanjian Ditentukan Oleh Pengusaha
Syarat-syarat perjanjian ditentukan secara sepihak oleh pengusaha dan
cenderung menguntungkan pengusaha daripada konsumen, hal ini dapat
dilihat adanya pencantuman klausul eksonerasi.
4) Konsmen Hanya Menerima atau Menolak
Konsumen tidak dapat menawar isi perjanjian, hanya ada pilihan menerima
atau menolak perjanjian kerjasama.
5) Penyelesaian Sengketa Melalui Musyawarah/Peradilan
Perjanjian baku mencantumkan syarat mengenai penyelesaian sengketa.
6) Perjanjian Baku Menguntungkan Pengusaha
Perjanjian baku lebih cenderung menguntungkan pengusaha, berupa:
a) Efisiensi biaya, waktu dan tenaga;
b) Praktis, berupa blanko yang siap diisi dan ditandatangani;
c) Penyelesaian cepat karena konsumen hanya menyetujui atau menolaknya.
d) homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak.
111
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, h. 6-8.
53
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian baku memiliki ciri-ciri
sebagai berikut: 112
1) Perjanjian dibuat dalam bentuk tertentu berupa formulir yang sudah tercetak
2) Formulir itu dipersiapkan terlebih dahulu dan diperuntukkan kepada setiap
orang tanpa perbedaan
3) Isi perjanjian ditentukan secara sepihak oleh pihak yang memiliki kekuatan
posisi ekonomi
4) Pihak yang mengikatkan diri terhadap formulir itu tidak mempunyai
kebebasan mengubah kehendak pihak yang lain
5) Adanya suatu kepentingan yang sangat dibutuhkan oleh pihak yang posisi
ekonominya lemah
6) Pengaturan hak dan kewajiban yang tidak seimbang.
Berdasarkan ciri-ciri perjanjian baku tersebut di atas, perjanjian baku yang
terjadi antara para pihak, pelaku usaha cenderung mempunyai kedudukan dalam
menentukan isi perjanjian. Konsumen tidak memiliki kesempatan untuk ikut serta
dalam pembuatan isi perjanjian, sehingga kedudukan pelaku usaha lebih kuat
dalam pelaksanaan perjanjian, konsumen dalam posisi menerima atau menolak
perjanjian tersebut.
b. Syarat Perjanjian Baku
Syarat-syarat perjanjian bertujuan untuk mengatur hak dan kewajiban serta
tanggung jawab para pihak dalam perjanjian tersebut. Syarat perjanjian merupakan
ketentuan yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak dalam pelaksanaan perjanjian.
Syarat-syarat perjanjian baku meliputi ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 113
1) Cara mengakhiri perjanjian
2) Cara memperpanjang berlakunya perjanjian
112
Mariam Darus Badrulzaman-IV, Op.Cit, h. 65.
Ibid, h. 100.
113
54
3) Penyelesaian sengketa melalui arbitrase
4) Penyelesaian sengketa melalui keputusan pihak ketiga
5) Syarat-Syarat tentang Eksonerasi
Menurut Abdulkadir Muhammad, syarat-syarat perjanjian baku, meliputi: 114
1)
2)
3)
4)
5)
Kewajiban dan hak pihak-pihak
Wanprestasi
Akibat Wanprestasi
Tanggung jawab dan eksonerasi
Penyelesaian sengketa
Sesuai dengan asas kebebasan berkontrak, setiap orang bebas membuat
perjanjian dengan mencantumkan syarat-syarat baku pada perjanjian. Pihak yang
menentukan syarat-syarat baku biasanya adalah pelaku usaha yang mempunyai
kedudukan ekonomi yang lebih kuat dibandingkan dengan konsumen. Disebabkan
karena kebutuhan ekonomi konsumen menerima syarat-syarat baku yang
ditawarkan pada saat mengadakan perjanjian. Ketentuan syarat-syarat baku dalam
perjanjian dapat dilakukan sebatas syarat-syarat baku tersebut tidak bertentangan
dengan kepatutan, kesusilaan dan undang-undang yang mengatur mengenai
pembatasan perjanjian baku.
3. Bentuk-Bentuk Perjanjian Baku
Perjanjian yang disepakati oleh para pihak dapat dibuat secara lisan dan
tulisan. Perjanjian baku terdapat dalam bentuk perjanjian tertulis. Isi perjanjian telah
dibuat terlebih dahulu oleh pelaku usaha untuk ditawarkan kepada pihak lainnya.
Perjanjian yang terjadi antara para pihak pada prinsipnya dapat dibuat secara bebas
oleh pihak-pihak dalam perjanjian tersebut. Akan tetapi kebebasan ini memiliki
114
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, h. 10.
55
batasan yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata “suatu perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik.” Pasal 1339 juga mengatur bahwa perjanjian tidak
hanya mengikat hal-hal yang dinyatakan di dalam perjanjian, tetapi juga yang
diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.
Perjanjian baku dalam prakteknya tumbuh karena keadaan menghendakinya
dan harus diterima sebagai kenyataan. 115 Perjanjian baku berlaku dalam aktifitas
masyarakat dalam berbagai bentuk. Menurut Mariam Darus Badrulzaman
berdasarkan segi terjadinya maupun berlakunya perjanjian-perjanjian standard dapat
digolongkan sebagai berikut: 116
a. Perjanjian baku (standard) umum
Perjanjian standard umum ialah perjanjian yang bentuk dan isinya telah
dipersiapkan terlebih dahulu oleh kreditur (seperti perjanjian kredit bank)
kemudian diberikan pada debitur. Dari segi formal debitur menyetujuinya,
akan tetapi dari segi materil debitur “terpaksa” menerimanya. Adanya
persesuaian kehendak adalah fiktif.
b. Perjanjian baku (standard) khusus
Perjanjian standard khusus dinamakan terhadap perjanjian standard yang
ditetapkan Pemerintah, baik adanya dan berlakunya perjanjian tersebut untuk
para pihak ditetapkan secara sepihak oleh Pemerintah dilihat dari bentuknya
sebagai perjanjian, maka seakan-akan terdapat unsur konsesualisme, akan
tetapi sebenarnya tidak ada.
Perjanjian baku yang digunakan di masyarakat dapat dibedakan menjadi
empat jenis, yaitu: 117
a. Perjanjian baku sepihak
115
Mariam Darus Badrulzaman-III, h. 38.
Ibid, h. 39-40.
117
Mariam Darus Badrulzaman-IV, h. 65.
116
56
Yaitu perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di
di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat disini adalah pihak kreditur yang
lazimnya mempunyai posisi ekonomi kuat dibandingkan pihak debitur.
b. Perjanjian baku timbal balik
Yaitu perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua belah pihak, misalnya
perjanjian baku yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditur) dan
pihak lainnya yaitu buruh (debitur). Kedua belah pihak lazimnya terikat dalam
organisasi misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
c. Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah
Yaitu perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatanperbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai
objek hak-hak atas tanah.
d. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan Notaris dan Advokat
Yaitu perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan
untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan
Notaris atau Advokat terebut.
Pendapat para pakar hukum mengenai perjanjian baku, ada yang menyetujui
perjanjian baku dan ada yang tidak menyetujui perjanjian baku. Sluyter
berpendapat bahwa dalam perjanjian baku kreditur menentukan isi perjanjian
secara sepihak melahirkan “legio particuliere wetgevers” (pembentuk undangundang swasta. 118
Stein menyatakan bahwa dasar berlakunya perjanjian baku adalah “de fictie
van will of vertrouwen”. Tidak ada kebebasan kehendak yang sungguh-sungguh
pada pihak-pihak, khususnya debitur. 119
Para pakar tidak menyetujui perjanjian baku, sebab: 120
a. Kedudukan pengusaha didalam perjanjian baku sama seperti pembentuk
undang-undang swasta (legio particuliere wetgevers), karenanya perjanjian
baku bukan merupakan perjanjian;
118
Mariam Darus Badrulzaman-III, Loc.Cit, h. 37
Ibid.
120
Rachmadi Usman, Op.Cit, h. 265.
119
57
b. Perjanjian baku merupakan perjanjian paksa (dwangkontract);
c. Negara-negara Common Law System menerapkan doktrin unconscionability.
Doktrin unconscionability memberikan wewenang kepada perjanjian demi
menghindari hal-hal yang dirasakan sebagai bertentangan dengan hati nurani.
Perjanjian baku dianggap meniadakan keadilan.
Sebaliknya beberapa pakar hukum menerima kehadiran perjanjian baku
sebagai suatu perjanjian, karena: 121
a. Perjanjian baku diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan
dan kepercayaan (fictie van vertouwen) yang membangkitkan kepercayaan
bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu;
b. Setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi dan
apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan
pada formulir perjanjian baku, tanda tangan itu membangkitkan kepercayaan
bahwa yang bertanda tangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang
ditandatanganinya.
c. Perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat, berdasarkan kebiaasaan
(gebruik) yang berlaku di masyarakat dan lalu lintas perdagangan.
Perjanjian baku apabila ditinjau berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1320 dan
Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian baku bertentangan dengan asas-asas hukum
yang diatur dalam pasal tersebut. Subekti mengemukakan bahwa asas
konsesualisme terdapat dalam Pasal 1320 jo 1338, pelanggaran terhadap pasalpasal tersebut membuat perjanjian tidak sah dan tidak mengikat sebagai undangundang. 122
121
Ibid, h. 256.
Mariam Darus Badrulzaman-III, Op.Cit, h. 37.
122
58
C. Penerapan Klausul Eksonerasi Dalam Pandangan Hukum Perjanjian Islam
1. Pengertian Klausul Eksonerasi
Istilah klausul eksonerasi 123 merupakan terjemahan dari bahasa Latin
“exonerare clausule”, bahasa Inggris “exemption clausule/exclusion clause”,
bahasa Belanda “exoneratie klausule” 124 Menurut Kamus Istilah Hukum Fockema
Andreae, bahwa exoneratieclausule yaitu “suatu syarat dalam suatu persetujuan
dimana satu pihak membebaskan diri dari pertanggungjawaban yang dibebankan
kepadanya oleh hukum yang mengatur.” 125
Menurut Rijken klausul eksonerasi adalah “Rijken definieert het als een
species van, wat hij noemt, de aansprakelijkheidsclausule, die iedere wettelijke of
contractuele aansprakelijkheid kan uitsluiten of beperken.”
(terjemahan penulis: Rijken mendefinisikan klausul eksonerasi sebagai bentuk,
yang dia sebut, klausa tanggung jawab, yang dapat mengecualikan tanggung jawab
hukum atau kontrak.) 126
Janssen dan Klein menyatakan bahwa klausul eksonerasi adalah:
“een exoneratie clausule aansprakelijkheid in het algemeen uitsluit of beperkt.”
123
Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan dan menggunakan istilah klausul eksemsi sebagai
terjemahan dari exemption clausule yang dipakai di dalam pustaka-pustaka hukum Inggris atau klausul
ekskulpatori sebagai terjemahan dari exculpatory clause yang dipakai dalam pustaka-pustaka hukum
Amerika Serikat, daripada mengambil alih dari istilah bahasa Belanda dengan menterjemahkan
exoneratie klausule menjadi klausul eksonerasi. Lihat Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak
dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia,
(Jakarta: Institute Bankir Indonesia, 1993), h. 73. Mariam Darus Badrulzaman menggunakan istilah
klausul eksonerasi, sebagaimana terjemahan dari istilah exoneratie klausule yang dipakai dalam bahasa
Belanda.
124
Mariam Darus Badrulzaman-III,