Penarikan Kembali Hibah Dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 249 PDT.G 2010 PA.MDN) Chapter III V

58

BAB III
DASAR-DASAR PERTIMBANGAN HUKUM DALAM PUTUSAN
HAKIMDI PENGADILAN AGAMA MEDANNO. 249/pdt.G/2010/PA.mdn

A. Pengadilan Agama dan Kewenangan Penyelesaian Sengketa Hibah
Pengadilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
di lingkungan Peradilan Agama yang merupakan peradilan bagi masyarakat
Indonesia yang beragama Islam, khususnya dalam perkara-perkara yang
berhubungan dengan perdata. Setiap pengadilan memiliki kompetensi absolut,
yaitu kekuasaan yang terkait dengan jenis perkara,termasuk jenis atau tingkatan
pengadilan yang masing-masing memiliki perbedaannya.102 Pengadilan Agama
berkuasa

atas perkara-perkara yang menjadi kewenangannya bagi penduduk

Indonesia yang beragama Islam. Atas dasar kekuasaan atau kompetensi absolut
ini, maka Pengadilan Agama diharuskan untuk meneliti setiap perkara yang
diajukan kepadanya.103
Dengan adanya kompetensi absolut tersebut, setiap badan peradilan

memiliki kekuasaan yurisdiksi yang ditentukan undang-undang dan menjadi
kewenangan mutlak bagi peradilan tersebut.Kewenangan mutlak inilah yang
disebut juga dengan kompetensi absolut atau yurisdiksi absolut.104
Pada dasarnya, kekuasaan absolut yang dimiliki Pengadilan Agama telah
diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan

102

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007),

hlm. 27.
103

Ibid.,hlm. 28.
M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenagan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2005), hlm. 102.
104

58
Universitas Sumatera Utara


59

Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang tersebut
di bawah ini:
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf:
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syariah.
Berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 di atas, maka
kekuasaan absolut Pengadilan Agama telah lebih luas dari kewenangan yang
diatur sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Dalam Pasal 49

undang-undang sebelumnya disebutkan bahwa Pengadilan Agama hanya
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara yang
berkaitan dengan kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Sedangkan pada
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 ditambahkan kewenangan untuk bidang
ekonomi syariah.
Selain itu, Pengadilan Agama juga memiliki kompetensi atau kekuasaan
relatif, yaitu kekuasaan pengadilan yang memiliki satu jenis dan satu tingkatan,
dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama
tingkatannya. Setiap Pengadilan Agama mempunyai wilayah hukum tertentu atau
yurisdiksi relatif tertentu, meliputi satu kotamadya atau satu kabupaten, atau
dalam keadaan tertentu sebagai pengecualian.Yurisdiksi relatif ini memiliki arti
penting sehubungan dengan kepentingan masyarakat dalam menentukan lokasi

Universitas Sumatera Utara

60

Pengadilan Agama yang dituju dalam mengajukan perkaranya dan sehubungan
dengan hak eksepsi tergugat.105
Sengketa hibah yang terjadi dalam masyarakat Islam di Indonesia, dapat

diselesaikan di Pengadilan Agama. Menurut aturan acara yang berlaku di
lingkungan Pengadilan Agama, permohonan penyelesaian kasus hibah terdiri dari
dua bentuk, yaitu:
1. Permohonan akte hibah, yaitu pemohon menginginkan putusan Pengadilan
Agama untuk mengesahkan hibahnya atau akte hibahnya.
2. Permohonan sengketa hibah, yaitu pemohon memperkarakan perjanjian
hibah yang telah dilakukan dengan memintakan pembatalan, pencabutan
atau bentuk gugatan lainnya.106
Pengadilan Agama, setelah memeriksa perkara, harus mengadilinya atau
memberikan putusan dan mengeluarkan produk hukumnya. Adapun produk
Pengadilan Agama sejak berlakunya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 terdiri
dari 2 (dua) hal, yaitu: (1) putusan dan (2) penetapan. Putusan disebut vonnis
(Belanda) atau al-qadaa’u (Arab) adalah produk Pengadilan Agama, karena
adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara, yaitu penggugat dan
tergugat.Putusan pengadilan selalu memuat perintah dari pengadilan kepada pihak
yang kalah untuk melakukan sesuatu atau untuk berbuat sesuatu atau untuk
menghukum sesuatu.107
Pada dasarnya, putusan pengadilan memiliki 3 (tiga) kekuatan, yaitu (1)
kekuatan mengikat, (2) kekuatan bukti, (3) kekuatan eksekusi.Suatu putusan


105

Roihan A. Rasyid, Op.Cit.,hlm. 25-26.
Wawancara dengan Drs. Abdurrakhman M, SH., MH, Hakim Pengadilan Agama
Medan, tanggal 2 Agustus 2015.
107
Roihan A. Rasyid, Op.Cit, hlm. 203.
106

Universitas Sumatera Utara

61

mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan bukti adalah setelah putusan
tersebut memperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht).108
Sedangkan penetapan disebut pula al-isbat (Arab) atau beschiking
(Belanda), yaitu produk Pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan
sesungguhnya, karena dalam kasus ini hanya ada pemohon yang mengajukan
permohonan untuk ditetapkan tentang sesuatu, sementara ia tidak berperkara
dengan lawan. Dalam arti yang lain, penetapan ini merupakan produk pengadilan

atas permohonan pemohon yang tidak berlawan, sehingga diktum penetapan tidak
berbunyi menghukum, tetapi hanya bersifat menyatakan (declaratoire) atau
menciptakan (constitutoire).
Dalam penyelesaian kasus hibah dalam dua bentuk permohonan, baik
putusan maupun penetapan, hakim di Pengadilan Agama dalam putusan
hukumnya merujuk pada beberapa ketentuan hukum, di antaranya:
1. Kompilasi Hukum Islam (KHI) berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991.
2. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang ditetapkan berdasarkan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 tahun 2008.
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
4. Undang-undang atau peraturan yang terkait dengan benda hibah dan
perjanjian hibah, di antaranya:
a.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

b.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pejabat Pembuat

Akta Tanah (PPAT).109

108

Ibid., hlm. 213

Universitas Sumatera Utara

62

Proses pembatalan hibah atau penarikan hibah, secara mendasar sama
dengan pengajuan gugatan dengan materi pokok pembatalan hibah. Sebuah
pengajuan gugatan terjadi manakala adanya suatu sengketa antara para pihak.
Dalam penyusunan suatu gugatan, lazimnyaterdiri dari 5 (lima) hal yang perlu
diperhatikan oleh para pihak di pengadilan, di antaranya:110
1. Setiap orang yang merasakanadanya kerugian, dapat mengajukan
gugatanterhadap pihak yang dianggap merugikan melalui pengadilan.
2. Gugatan dapat diajukan secara lisan maupun tertulis dan jika diperlukan
dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan.
3. Gugatan haruslah diajukan oleh yang berkepentingan.

4. Tuntutan hak yang terdapat dalam gugatan harus menjadi tuntutan hak
yang

ada

kepentingan

hukumnya,

sehingga

dapat

dikabulkan

apabilakebenaran gugatan tersebut dapat dibuktikan dalam sidang
pemeriksaan.
5. Adanya isi gugatan yang memenuhi persyaratan.Meskipun isi dari gugatan
tidak ada ketentuannya, tetapi mengharuskan adanya pokok gugatan yang
berisikan:

a.

Identitas para pihak.

b.

Dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yangdijadikan
dasardan alasan-alasan dari tuntutan.

c.

Tuntutan atau petitum ini harus jelas dan tegas.

109

Wawancara dengan Drs. Abdurrakhman M, SH., MH, Hakim Pengadilan Agama
Medan, tanggal 2 Agustus 2015.
110
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara Dan ProsesPersidangan.
(Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 26.


Universitas Sumatera Utara

63

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kasus yang ditangani
Pengadilan Agama MedanNo. 249/pdt.G/2010/PA.mdn, secara jelas berhubungan
dengan sengketa hibah, karena penggugat menginginkan putusan hukum yang
mengikat untuk pembatalan hibah atau penarikan kembali hibah yang diberikan
penggugat (pemberi hibah) kepada tergugat (penerima hibah). Dengan demikian,
Pengadilan Agama memiliki kewenangan untuk memutuskan keinginan pemohon
yang memperkarakan perjanjian hibah yang telah dilakukan dengan memintakan
pembatalaan atau penarikan hibah kembali.
B. Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Pengadilan Agama Medan No.
249/pdt.G/2010/PA.mdn
1.

Dasar-Dasar Hukum Dalam Materi Gugatan
Dalam materi pokok gugatan yang diajukan Penggugat, terdapat beberapa


dasar hukum formil yang digunakan untuk menguatkan gugatannya, di antaranya:
1. Pasal 101, 102 dan 103 Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 1997
tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pelaksanaan pembuatan
akta, yang menyebutkan:
Pasal 101:
(1) Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan
perbuatan hukum yang bersangkutan atau orang yang dikuasakan
olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2
orang saksi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam
suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai
kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen
yang ditunjukkan dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya
perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan.

Universitas Sumatera Utara

64

(3) PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan
dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta,
dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai
ketentuan yang berlaku.
Pasal 102:
Akta PPAT dibuat sebanyak 2 (dua) lembar asli, satu lembar disimpan
di Kantor PPAT dan satu lembar disampaikan kepada Kepala Kantor
Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, sedangkan kepada pihakpihak yang bersangkutan diberikan salinannya.
Pasal 103:
(1) PPAT wajib menyampaikan akta PPAT dan dokumen-dokumen lain
yang diperlukanuntuk keperluan pendaftaran peralihan hak yang
bersangkutan kepada KantorPertanahan, selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari kerja sejak ditandatanganinya akta yangbersangkutan.
(2) Dalam hal pemindahan hak atas bidang tanah yang sudah bersertipikat
atau Hak MilikAtas Satuan Rumah Susun dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. surat permohonan pendaftaran peralihan hak yang ditandatangani
oleh penerimahak atau kuasanya;
b. surat kuasa tertulis dari penerima hak apabila yang mengajukan
permohonan pendaftaran peralihan hak bukan penerima hak;
c. akta tentang perbuatan hukum pemindahan hak yang
bersangkutan yang dibuat oleh PPAT yang pada waktu
pembuatan akta masih menjabat dan yang daerah kerjanya
meliputi letak tanah yang bersangkutan;
d. bukti identitas pihak yang mengalihkan hak;
e. bukti identitas penerima hak;
f. sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun yang dialihkan;
g. izin pemindahan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat
(2);
h. bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunansebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
21 Tahun 1997, dalam halbea tersebut terutang;
i. bukti pelunasan pembayaran PPh sebagaimana dimaksud dalam
PeraturanPemerintah Nomor 48 Tahun 1994 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun1996, dalam hal pajak tersebut
terutang.

Universitas Sumatera Utara

65

(3) Dalam hal pemindahan hak atas tanah yang belum terdaftar, dokumen
sebagaimanadimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. surat permohonan pendaftaran hak atas tanah yang dialihkan yang
ditandatanganioleh pihak yang mengalihkan hak;
b. surat permohonan pendaftaran peralihan hak yang ditandatangani
oleh penerimahak atau kuasanya;
c. surat kuasa tertulis dari penerima hak apabila yang mengajukan
permohonanpendaftaran peralihan hak bukan penerima hak;
d. akta PPAT tentang perbuatan hukum pemindahan hak yang
bersangkutan;
e. bukti identitas pihak yang mengalihkan hak;
f. bukti identitas penerima hak;
g. surat-surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76;
h. izin pemindahan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat
(2);
i. bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunansebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
21 Tahun 1997, dalam halbea tersebut terutang;
j. bukti pelunasan pembayaran PPh sebagaimana dimaksud dalam
PeraturanPemerintah Nomor 48 Tahun 1994 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun1996, dalam hal pajak tersebut
terutang.
(4) Kantor Pertanahan wajib memberikan tanda penerimaan atas
penyerahan permohonanpendaftaran beserta akta PPAT dan berkasnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)dan (3) yang diterimakan kepada
PPAT yang bersangkutan.
(5) PPAT yang bersangkutan memberitahukan kepada penerima hak
mengenai telah diserahkannya permohonan pendaftaran peralihan hak
beserta akta PPAT danberkasnya tersebut kepada Kantor Pertanahan
dengan menyerahkan tanda terimasebagaimana dimaksud pada ayat
(4).
(6) Pengurusan penyelesaian permohonan pendaftaran peralihan hak
selanjutnyadilakukan oleh penerima hak atau oleh PPAT atau pihak
lain atas nama penerima hak.
(7) Pendaftaran peralihan hak karena pemindahan hak yang dibuktikan
dengan akta PPATharus juga dilaksanakan oleh Kepala Kantor
Pertanahan sesuai ketentuan yang berlakuwalaupun penyampaian akta
PPAT melewati batas waktu 7 (tujuh) hari sebagaimanadimaksud
pada ayat (1).

Universitas Sumatera Utara

66

(8) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (7) kepada PPAT yang
bersangkutandiberitahukan tentang pelanggaran ketentuan batas waktu
penyerahan akta tersebut.111
Dalam Pasal 101di atas menjelaskan tentang aturan tentang pembuatan
akta (hibah) pada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).Keabsahan
pembuatan akta tersebut juga mensyaratkan adanya saksi-saksi, menunjukkan
dokumen-dokumen, dan kewajiban PPAT membacakan dan menjelaskan isi
akta kepada para pihak yang membuat akta hibah.Sementara Pasal 102
menjelaskan tentang jumlah lembaran akta hibah yang dibuat di PPAT dan
salinan akta yang diberikan kepada para pihak yang terkait dengan
penyerahan hibah tersebut.
Sedangkan pada Pasal 103 menjelaskan ketentuan tentang persyaratan akta
atau dokumen-dokumen yang diperlukan pada saat pendaftaran peralihan hak,
termasuk peralihan hak atas tanah yang telah memiliki sertifikat, tanah yang
belum terdaftar dan ketentuan lainnya yang berhubungan dengan Kantor
Pertanahan, PPAT dan para pembuat akta hibah.
2.

Kompilasi Hukum Islam (KHI), pasal 213 yang menyebutkan, “Hibah yang
diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan
kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya.”112 Ketentuan
dalam pasal ini secara jelas menyebutkan bahwa persetujuan ahli waris

111

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dikuatkan
penjelasannya melalui Peraturan Menteri negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
112
Cik Hasan Basri, et.al.,Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem
Hukum Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 207.

Universitas Sumatera Utara

67

menjadi persyaratan utamakeabsahan pemberian hibah bagi pemberi hibah
yang sakit dan dekat dengan kematian.
3.

Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa orang sakit dibenarkan menghibahkan
hanya sepertiga hartanya, karena hibah di sini dipersamakan dengan wasiat
demikian orang yang menghibahkan semua harta dianggap tidak cakap
hukum, maka hibah yang dilaksanakan itu dipandang batal sebab tidak
memenuhi syarat untuk melakukan penghibahan prinsip pelaksanaan hibah
orang tua kepada anak-anaknya haruslah berpedoman ketentuan di atas.113

4.

Pendapat para ahli Hukum Islam, yang menyepakati bahwa seseorang dapat
menghibahkan semua hartanya pada orang yang bukan ahli warisnya, tidak
sah menghibahkan semua harta meskiptin untuk keperluan kebaikan jika
hibah itu diberikan kepada orang lain (selain ahli waris) atau suatu badan
hukum mayoritas pakar hukum Islam sepakat tidak ada batasnya tetapi jika
hibah diberikan kepada anak-anak disamakan dengan wasiat semua anak
harus mendapat bagian yang sama tidak boleh melebihi satu sarna lain,
apabila hal tersebut terjadi hibah dapat dibatalkan.114

5.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), pasal 1683 yang
berbunyi, "Hibah baru dianggap sah haruslah melalui ijab kabul dan jika
dalam hal pemberian hibah itu tidak sesuai dengan ketentuan Undang-undang
maka hibahnya adalah batal.”
Berdasarkan materi gugatan dan alat bukti yang disampaikan penggugat

dalam persidangan di Pengadilan Agama Medan ini, dapat disimpulkan bahwa
113

Salinan Putusan Akhir Hakim Pengadilan Agam Medan Nomor 249 Pdt. G/2010/PA
Mdn. Tanggal 5 Oktober 2010, hlm. 11.
114
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

68

Penggugat atau pemberi hibah berkeinginan membatalkan perjanjian hibah atau
menarik kembali hibah yang telah diberikan kepada Tergugat.Ada 3 (tiga) alasan
dibalik keinginan Penggugat untuk membatalkan atau menarik kembali hibah
tersebut.Pertama, tidak sahnya persyaratan yang ada dalam akta hibah yang telah
dibuat sebelumnya berdasarkan ketentuan dan peraturan yang berlaku, sehingga
surat akta hibah tersebut tidak cacat formil. Kedua, tidak adanya perhatian dan
kepedulian penerima hibah atau Tergugat terhadap sakit yang diderita oleh
pemberi hibah atau Penggugat sampai kasus ini dilimpahkan ke Pengadilan
Agama Medan. Ketiga, keperluan pembiayaan pengobatan pemberi hibah atau
Penggugat terhadap sakit yang dideritanya sampai persidangan kasus ini
berlangsung di Pengadilan Agama Medan.
2.

Putusan Akhir Hakim dan Dasar-Dasar Pertimbangan Hukumnya
Dalam persidangan kasus ini, majelis hakim memutuskan 5 (lima) putusan

akhirnya, yaitu:
(1) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
Berdasarkan putusan ini, maka gugatan penggugat untuk membatalkan
akta hibah atau menarik kembali harta hibah yang telah diberikan kepada
tergugat sebelumnya diterima keabsahannya.
(2) Menyatakan tidak sah hibah yang dilaksanakan pada tanggal 14 September
2002.
Putusan ini memberikan makna bahwa surat atau akta hibah yang dibuat
sebelumnya dinyatakan tidak memenuhi syarat-syarat formil yang sesuai
dengan aturan dan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana

Universitas Sumatera Utara

69

disebutkan dalam materi gugatan Penggugat dan dijelaskan dalam dasardasar hukum yang digunakan hakim.
(3) Menyatakan surat pemberian hibah tanggal 14 September 2002 yang
didaftarkan di Kantor Notaris NI, tanggal 21 Maret 2004 tidak
berkekuatan hukum.
Putusan ini secara jelas menyebutkan bahwa akta hibah yang didaftarkan
di kantor Notaris tidak sah, karena surat pemberian hibah sebelumnya
sebelum didaftarkan ke Notaris tidak memenuhi persyaratan hukum yang
sesuai dengan aturan dan perundang-undangan, sebagaimana disebutkan
dalam materi gugatan penggugat dan dasar-dasar hukum yang dirujuk
hakim.
(4) Menghukum para Tergugat dan Turut Tergugat untuk mengosongkan dan
menyerahkan objek perkara kepada Penggugat.
Putusan ini secara jelas menyebutkan bahwa sejak putusan ini ditetapkan,
maka kekuatan hukumnya mengikat para pihak.Akibat putusan ini
mengabulkan segala tuntutan Penggugat atau pemberi hibah, maka harta
hibah yang telah diserahkan sebelumnya kepada Penggugat atau penerima
hibah ditarik kembali atau dikembalikan kembali.
(5) Menghukum para Tergugat dan Turut Tergugat secara bersama-sama
membayar biaya perkara ini sebesar Rp.751.000,- (tujuh ratus lima puluh
satu ribu rupiah).115

115

Ibid.,hlm. 39.

Universitas Sumatera Utara

70

Putusan ini menjelaskan tentang biaya perkara yang dibebankan kepada
para pihak untuk membayarnya.Rincian dari jumlah biaya tersebut ditulis
pada lembaran akhir dari salinan putusan ini yang terdiri dari biaya
pendaftaran, biaya proses, biaya panggilan, biaya redaksi, dan biaya
materai. Rincian biaya tersebut telah diatur dalam pokok-pokok hukum
acara perdata Peradilan Agama, berdasarkan Pasal 182 HIR/193 R.Bg.
Sedangkan dasar-dasar pertimbangan hukum yang digunakan majelis
hakim Pengadilan Agama Medan dalam memutuskan 5 (lima) putusan akhir yang
disebutkan sebelumnya adalah sebagai berikut:
(1) Majelis hakim mendasari putusannya bahwa penerimaan barang dalam
transaksi hibah disamakan dengan penerimaan dalam transaksi jual beli,
berdasarkan Pasal 689 Kompilasi Hukum Ekonomi

Syariah

(KHES)

Edisi Revisi.
(2) Secara hukum, berdasarkan Pasal 714 Kompilasi Hukum Ekohomi Syariah
(KHES) Edisi Revisi, menentukan bahwa "Apabila orang tua memberi
hibah kepada anak-anaknya, rnaka ia berhak menarik kembali hibah
tersebut selama anak tersebut masih hidup". Atas dasar inilah, majelis
hakim memutuskan bahwa Penggugat atau ayah dapat menarik kembali
hibahnya yang telah diberikan kepada Tergugat atau anak-anaknya.
(3) Suatu akta di bawah tangan yang bersifat partai dalam hal ini dibuat oleh
dua pihak yang tidak dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum, ternyata
satu dari dua orang saksi tersebut tidak ikut menandatanganinya.

Universitas Sumatera Utara

71

(4) Hibah dinyatakan batal demi hukum jika bertentangan dengan syaratsyarat dan rukun hibah dimana surat hibah dibuat tidak dihadapan 2 (dua)
orang saksi, dan salah seorang saksi tidak menandatangani surat hibah
dimaksud. Atas dasar fakta persidangan yang menyebutkan ketiadaan 2
(dua) orang saksi tersebut saat surat hibah dibua, maka majelis
menyimpulkan ketidak absahan transaksi hibah yang dilakukan oleh para
pihak dalam kasus sengketa hibah ini.
(5) Akta di bawah tangan tidak melekat daya pembuktian luar, sehingga daya
kekuatan pembuktian formilnya maupun nilai kekuatan pembuktiannya
hanya menjadi bukti permulaan tulisan atau tidak mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna dan mengikat. Sedangkan legalisasi atau
waarmerking atas tandatangan para pihak tidak mempunyai daya kekuatan
formil

seperti

yang

dimiliki

akta

otentik.

Maka,

meskipun

penandatanganan akta di bawah tangan dilegalisasi, tetapi tetap terbuka
hak para pihak untuk memungkiri isi surat tersebut.
(6) Ternyata surat hibah tersebut tidak ditandatangani dihadapan Notaris atau
pejabat untuk itu, sehingga surat hibah tersebut menjadi cacat formil. (vide
Pasal 1874 a KUHPerdata).
(7) Salah-satu

syarat

formil

suatu

akta

di

bawah

tangan

adalah

penandatanganan. Daya pembuktiannya formilnya tidak bersifat mutlak
karena daya formilnya itu sendiri tidak dibuat di hadapan pejabat
umum.Oleh karena itu, keterangan yang tercantum di dalamnya tidak
mutlak untuk kepentingan orang lain, kemungkinan dapat menguntungkan

Universitas Sumatera Utara

72

dan merugikan kedua belah pihak, karena isi keterangan yang tercantum
dalam akta bawahtangan tersebut belum pasti merupakan persesuaian
keterangan kedua belah pihak karena masing-masing pihak berhak
mengingkari isi dan tandatangan. Oleh karenanya selagi ada pengingkaran,
eksistensinya bukan sebagai alat bukti yang sah.
(8) Berdasarkan pertimbangan-pertirnbangan hukum di atas, maka majelis
hakim berkesimpulan bahwa Penggugat telah dapat membuktikan
kebenaran dalil-dalil gugatannya tentang ketidaksahan surat hibah tersebut
dimana surat hibah tersebut tidak memenuhi persyaratan formil.
(9) Akibat obyek perkara saat ini dikuasai oleh Para Tergugat, maka
sepatutnya

para

Tergugat

dihukum

untuk

mengosongkan

dan

menyerahkan harta perkara kepada Penggugat. 116
Berdasarkan putusan dan dasar-dasar pertimbangan hukum yang
digunakan para hakim Pengadilan Agama Medan yang memutuskan keabsahan
penarikan kembali hibah oleh pemberi hibah atau membatalkan akta hibah yang
telah dibuat sebelumya, maka dapat disimpulkan beberapa hal penting, di
antaranya:
1.

Putusan ini telah memiliki kekuatan mengikat dan kekuatan bukti, karena
telah memiliki kekuatan hukum yang tetap (in kracht), sehingga para pihak
yang disebutkan dalam putusan akhir majelis hakim tersebut wajib
melaksanakannya.

2.

Putusan akhir hakim telah memenuhi landasan hukum yang diatur dalam
undang-undang yang berlaku di Indonesia, terutama yang terkait dengan
116

Ibid.,hlm. 37-38.

Universitas Sumatera Utara

73

keabsahan akta hibah atau transaksi hibah dan aturan yang membolehkan
penarikan kembali hibah oleh orang tua kepada anaknya.
3.

Kelemahan dari putusan ini adalah tidak menyebutkan harta hibah yang telah
diberikan sebelumnya dari pemberi hibah atau Penggugat kepada penerima
hibah atau Tergugat dalam amar putusan yang ditetapkan majelis
hakim.Meskipun dalam pembuktian persidangan, para saksi Penggugat telah
menyebutkan harta-harta yang dimiliki oleh Penggugat, namun tidak secara
jelas menyebutkan apakah harta yang disebutkan tersebut merupakan harta
hibah atau sebagiannya saja.

C. Akibat Hukum Dari Putusan Hakim di Pengadilan Agama Medan No.
249/pdt.G/2010/PA.mdn
Putusan hakim di Pengadilan Agama Medan telah menetapkan bahwa
Penggugat dapat melakukan penarikan kembali hibah yang telah diberikan
kepadaTergugat atau penerima hibah.Dalam sengketa hibah ini, penggugat atau
pemberi hibah adalah orang tua dari penerima hibah atau anak-anaknya. Dengan
putusan Pengadilan Agama Medan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap,
maka pihak yang dikalahkan atau Tergugatakan memiliki akibat hukumnya. Di
antara akibat hukum dari putusan hakim di Pengadilan Agama Medan No.
249/pdt.G/2010/PA.mdn.adalah sebagai berikut:
1.

Peralihan Kepemilikan Harta Hibah
Putusan hakim Pengadilan Agama Medan yang mengabulkan penarikan

kembali harta hibah berdampak pada peralihan kepemilikan harta hibah yang telah
ditarik kembali. Penerima hibah sebelumnya atau tergugat secara hukum wajib
menyerahkan segala akta atau surat kepemilikan dari harta hibah yang dimiliki

Universitas Sumatera Utara

74

sebelumnya sebelum putusan ini. Dengan kata lain, seluruh harta yang telah
dihibahkan pemberi hibah pada waktu dulu akan menjadi hak miliknya sendiri.
Dalam pengembalian harta hibah,dilakukan terlebih dahulu dengan
mengosongkan obyek hibah tersebut.Seandainya obyek hibah tersebut telah
dibalik nama atau telah disertifikatkan atas nama penerima hibah, maka sertifikat
tersebut dinyatakan tidak berlaku lagidan pemberi hibah dapat mengajukan
permohonan balik nama dengan meminta Penetapan Pembatalan Akta Hibah dari
Pengadilan Agama.Pemberi hibah dapat mengajukan permohonan kepada Badan
Pertanahan Nasional (BPN) agar sertifikat objek sengketa dimohonkan
pembatalannya, sehingga tidak berlaku lagi dengan melampirkan surat
pembatalan hiba dari Pengadilan Agama Dengan demikian, sertifikat obyek
sengketa tersebut kembali juga diatas namakan pemberi hibah, selama harta hibah
tersebut belum dipindah tangankan kepada orang lain atau dijual kepada orang
lain.
Melalui Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), pemberi hibah juga dapat
mengajukan

permohonan pengalihan hak milik dari harta hibah yang

ditariknyaberdasarkan

surat

pembatalan

hibah

dari

Pengadilan

Agama.

Sebagaimanaketentuan yang terdapatpadaPasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah
No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang berbunyi:
“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui
jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan
perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak
melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang
dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”

Universitas Sumatera Utara

75

Dalam persidangan di Pengadilan Agama, harta hibah yang disengketakan
biasanya telah dicek terlebih dahulu status kepemilikannya. Saat harta hibah ada
indikasi akan dijual oleh penerima hibah, maka pada saat di pengadilan,
penggugat dapat mengajukan sita jaminan untuk menjamin gugatan tersebut,
sehingga harta tersebut tidak dapat dijual. Seandainya harta tersebut dalam bentuk
kas atau giro di bank, maka dapat dilakukan pemblokiran.Namun, jika harta
tersebut sudah dijual setelah diajukan gugatan, maka pihak penerima hibah dan
pihak ketiga turut bertanggung jawab terhadap harta hibah yang diperjual belikan
tersebut.117 Dengan demikian, saat terjadinya persidangan, objek hibah yang
disengketakan akan diperjelas kepemilikannya, sehingga pada saat putusan hakim
yang mengabulkan penarikan hibah kembali tidak menimbulkan masalah di
kemudian hari pada saat pemberi hibah melakukan pengalihan kembali
kepemilikan harta yang telah dihibahkannya.
2.

Pembatalan Akta Hibah dari Notaris
Sebagaimana disebutkan dalam pertimbangan hukum hakim dalam

putusannya bahwa akta di bawah tangan tidak melekat daya pembuktian luar,
sehingga daya kekuatan pembuktian formilnya maupun nilai kekuatan
pembuktiannya hanya menjadi bukti permulaan tulisan atau tidak mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat.Meskipun adanya legalisasi
atas tandatangan para pihak dari akta di bawah tangan, maka tidak mempunyai
daya kekuatan formil seperti yang dimiliki akta otentik.
Sebuah akta dikatakan otentik, manakala dibuat di hadapan pejabat yang
berwenang. Dalam arti yang lain, otentik itu bermakna sah.Notaris sebagai pejabat
117

Wawancara dengan Drs. Abdurrakhman M, SH., MH, Hakim Pengadilan Agama
Medan, tanggal 2 Agustus 2015.

Universitas Sumatera Utara

76

yang berwenang membuat akta, maka akta yang dibuat di hadapan notaris adalah
akta otentik atau akta tersebut sah.118Dalam Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama, menyebutkan secara jelas tentang akta otentik dan akta di bawah tangan,
yaitu :
Pasal 165 HIR/285 R.Bg.
“Akta otentik yaitu suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undangundang oleh atau di hadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk
membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak
dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari padanya,
tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu, dan juga tentang yang
tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja; tetapi yang tersebut
kemudian itu hanya sekadar diberitahukan itu langsung berhubung dengan
pokok yang disebutkan dalam akta tersebut.”
Pasal 286 R.Bg
(1) Dipandang sebagai akta di bawah tangan yaitu surat daftar, surat
urusan rumah tangga dan surat yang ditandatangani dan dibuat dengan
tidak memakai bantuan seorang pejabat umum.
(2) Tanda tangan di bawah surat di bawah tangan disamakan suatu cap
jari yang dibuat di bawah surat itu dan disahkan oleh keterangan yang
bertanggal dari seorang notaris atau pejabat umum lainnya, yang akan
ditunjukkan dengan ordonansi. Keterangan itu harus menyatakan
bahwa ia kenal orang yang membuat (cap jempol itu, atau bahwa
orang itu telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta itu telah
dibacakan dengan terang kepada orang yang membuat cap jari itu, dan
bahwa setelah itu cap jari itu dibuat di hadapan notaris atau pejabat
umum dimaksud.
(3) Surat itu dibukukan oleh notaris atau pejabat umum itu.
(4) Keterangan dan hal membukukan itu dibuat menurut peraturan tentang
itu, yang sudah atau akan ditetapkan dengan ordonansi.119
Berdasarkan definisi kedua akta di atas, maka akibat hukum dari putusan
hakim dalam kasus sengketa hibah ini adalah pembatalan akta hibah yang
sebelumnya dilegalisir oleh Notaris berdasarkan akta di bawah tangan yang
memiliki kelemahan persyaratan dari sahnya hibah.Akta hibah yang telah dibuat
118

A. Kohar, Notaris dalam Praktek Hukum, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 3.
M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah
Syar’iyah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 36.
119

Universitas Sumatera Utara

77

oleh Notaris itu dianggap batal berdasarkan putusan pengadilan yang sudah tetap
(in kracth). Akta hibah yang dibuat Notaris adalah sebagai penguatan
hukum/kekuatan hukum antara pemberi dan penerima hibah selama pemberi dan
penerima hibah tersebut memberikan keterangan-keterangan yang benar dan
sesuai prosedur yang berlaku.120
Sesungguhnya, akta di bawah tangan yang dilegalisir oleh Notaris akan
mempunyai kekekuatan sebagai alat bukti, sepanjang para pihak mengakuinya
atau tidak ada penyangkalan dari salah satu pihak. Jika para pihak mengakuinya,
maka akta di bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna sebagaimana akta otentik.Jika salah satu pihak menyangkal akta
tersebut dan penilaian penyangkalan atas bukti tersebut diserahkan kepada hakim,
maka tidak memiliki kekuatan.121
Notaris tidak dapat menolak legalisasi akta yang dibuat dalam kesepakatan
para pihak yang sesuai kehendak mereka dalam perjanjian hibah. Namun, jika
akta yang dibuat Notaris, dibatalkan keabsahannya oleh hakim, maka notaris tidak
mempunyai tanggung jawab apa-apa, karena notaris tidak bertanggung jawab atas
kesepakatan yang dibuat oleh para pihak.Secara moril, tiada ada tanggung jawab
notaris, karena Notaris dapat melegalisir hibah di bawah tangan, selama disetujui
oleh para pihak yang membuatnya, disertai oleh saksi-saksi dari para pihak dan
bukan hanya saksi dari notaris.122
Kualitas tanda tangan dalam akta di bawah tangan dan cap jari dalam akta
di bawah tangan yang disahkan Notaris memiliki kekuatan hukum. Hal ini telah
120
121
122

Wawancara dengan Fitri Andriani, SH., MKn., tanggal 5 Agustus 2015.
Ibid.

Wawancara dengan Siti Rambah Muliati Sembiring, SH., MKn., tanggal 10 Agustus 2015.

Universitas Sumatera Utara

78

diatur dalam Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, yaitu Pasal 287 R.Bg. yang
menyebutkan:
(1) Jika orang yang berkepentingan berkehendak, maka dapat juga, di luar
hal yang dimaksud dalam ayat kedua, pasal di atas (286 R.Bg.), surat
di bawah imigan yang ditandatangani dilengkapi dengan sebuah
keterangan yang bertanggal dari seorang notaris atau pejabat umum
lainnya, yang akan ditunjuk dengan ordonansi. Keterangan itu harus
menyatakan, bahwa ia mengenal orang yang membubuhkan tanda
tangan itu, atau bahwa orang itu sudah dikenal kepadanya, bahwa isi
akta itu telah dibacakan dengan terang kepada orang yang
membubuhkan tanda tangan itu, dan bahwa sesudah itu dibuat tanda
tangan di hadapan notaris atau pejabat umum dimaksud.
(2) Bagi hal itu berlaku aturan dalam ayat ketiga dan keempat pasal di
atas (286 R.Bg.)123
Dalam pengurusan akta hibah di Notaris, seharusnya mengikuti prosedur
dan syarat yang harus dipenuhi.Ada beberapa syarat yang wajib disertakan dalam
pengurusan akta hibah di Notaris.Pertama, sertifikat harus dicek bersih terlebih
dahulu di kantor Badan Pertanahan Nasional setempat atau dapat berupa Surat
Keputusan (SK) Camat. Kedua, melampirkan foto copy kartu tanda penduduk
pemberi hibah, baik suami maupun isteri. Ketiga,melampirkan kartu tanda
penduduk penerima hibah.Keempat, melampirkan bukti Pajak Bumi dan
Bangunan tahun terakhir.124 Di samping syarat-syarat tersebut, dalam pembuatan
akta hibah dipersyaratkan pemberi dan penerima hibah masih hidup. Seandainya
pemberi hibah adalah suami atau isteri telah meninggal dunia, maka Notaris dapat
menolak pembuatan akta hibah yang dilakukan..125

123

M. Fauzan, Op.Cit., hlm. 37.
Wawancara dengan Notaris Hafizo, SH., MKn., tanggal 1 Agustus 2015.
125
Ibid.

124

Universitas Sumatera Utara

79

BAB IV
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENARIKAN KEMBALI
HIBAH DAN PENGGUNAAN HIBAH UNTUK HAL-HAL YANG
BERTENTANGAN DENGAN KEMASLAHATAN HIDUP MANUSIA

A. Penarikan Kembali Hibah Dalam Tinjauan Hukum Islam
1.

Menurut Fikih Islam
Penarikan kembali hibah dalam hukum Islam pada dasarnya haram untuk

dilakukan, karena permintaan barang yang telah dihadiahkan merupakan
perbuatan yang sangat buruk. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya: “Orang yang meminta kembali benda-benda yang telah diberikan
sama dengan anjing yang muntah kemudian memakan kembali
muntahnya itu.” (HR. Muttafaq Alaih)126
Hadis di atas memberikan perumpamaan orang yang meminta kembali
harta yang diberikannya seperti seekor anjing yang muntah dan memakan kembali
muntahnya. Perumpamaan seperti binatang tersebut merupakan sesuatu yang
sangat tidak menyenangkan. Dalam riwayat lain, menurut Imam Bukhari,
Rasulullah SAW juga bersabda:
Artinya: “ Tak ada perumpamaan yang paling jelek menurut kami kecuali
perumpamaan orang yang meminta kembali benda-benda yang
telah diberikannya seperti anjing yang muntah kemudian dia
memakan kembali muntahnya itu.”
Dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas RA., Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: “Haram bagi seorang Muslim memberi sesuatu kepada
orang lain, kemudian memintanya kembali, kecuali pembayaran
ayah kepada anaknya.”127
126

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 213.

79
Universitas Sumatera Utara

80

Menurut

Musthafa Dib

al-Bugha,

pada dasarnya hukum hibah

berketetapan mengikat. Artinya, orang yang menghibahkan harta tidak berhak
untuk meminta kembali hibahnya setelah hukumnya berlaku. Namun, adapula
pengecualian dalam hibah orangtua (al-ashl) kepada anak (al-far’). Dalam hal
seperti ini, orangtua berhak meminta kembali hibahnya setelah hukumnya tetap.
128

Dalil yang berkaitan dengan ini sebagai berikut:
Artinya: Sabda Rasulullah SAW., “Orang yang mengambil kembali
hibahnya seperti orang yang menelan muntahnya.” Dalam
riwayat lain disebutkan, “Kami tidak memiliki kejelekan
semacam itu: orang yang mengambil hibahnya kembali seperti
anjing yang menelan muntahnya.” (HR. Bukhari)
Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa menelan muntah adalah

haram. Begitu pula yang menyerupainya, yaitu meminta kembali hibah. Makna
“anjing” dalam riwayat yang lain menunjukkan betapa kerasnya keharaman dan
larangannya. Hal ini dikuatkan juga oleh sabda Rasulullah, “Kami tidak memiliki
kejelekan semacam itu.” Artinya, perbuatan seperti ini bukanlah kebiasaan dan
akhlak, sehingga hal ini diharamkan bagi kita.
Hadis lain yang juga dijadikan dasar pemikiran ini adalah sabda
Rasulullah SAW., “Tidak halal bagi seseorang yang memberikan suatu pemberian
atau menghibahkan sesuatu, kemudian dia mengambilnya kemvali, kecuali
seorang ayah (yang meminta kembali) atas apa yang ia berikan kepada anaknya,”
(HR. Tirmidzi).

127

Ibid.
Musthafa Dib al-Bugha, Fiqh Al-Mu’awadhah/Buku Pintar Transaksi Syariah:
Menjalin Kerja Sama Bisnis dan Menyelesaikan Sengketanya Berdasarkan Panduan Islam
(terjemahan), (Jakarta: Penerbit Hikmah, 2010), hlm. 128.
128

Universitas Sumatera Utara

81

Makna “ayah” dalam hadis tersebut merupakan qiyas atau perumpamaan
seluruh asal (nenek moyang), sebagaimana halnya anak yang diserupakan seluruh
keturunan (furu’). Ada beberapa ketentuan hukum yang terkait dengan harta hibah
yang dimiliki anak hubungannya dengan penarikan kembali hibah tersebut oleh
orangtuanya, di antaranya:
a.

Orangtua tidak dapat meminta kembali harta yang ia hibahkan kepada
anaknya jika harta hibahnya telah keluar dari kekuasaannya dan hak
milik harta tersebut telah hilang darinya. Dalam arti yang lain, harta
hibah yang telah dijual, diwakafkan atau dihibahkan kepada orang lain
atau barang tersebut telah diambil oleh orang lain, maka orang tua
tidak dapat meminta kembali harta tersebut dari anaknya.

b. Jika seorang anak menyewakan, menggadaikan atau menghibahkan
kepada seseorang, tetapi belum diambil, maka hal tersebut tidak
menghalangi orangtua untuk mengambil kembali hibahnya, karena
harta hibah tersebut masih dalam penguasaan anak dan hak miliknya
pun masih di tangan sang anak.
c.

Jika harta hibah yang dimiliki oleh anak tersebut bertambah, baik
yang sifatnya menyatu maupun terpisah, maka tidak menghalangi hak
orangtua untuk meminta atau menariknya kembali. Bahkan,
orangtuanya dapat meminta pula tambahannya yang bersifat menyatu.

d. Jika harta hibah yang dimiliki oleh anak tersebut tambahannya bersifat
terpisah dari barang hibah, ada dua ketentuan hukum. Jika tambahan
tersebut telah ada saat dihibahkan, ayahnya dapat memintanya

Universitas Sumatera Utara

82

kembali. Namun, jika tambahan tersebut ada setelah dihibahkan,
tambahan tersebut tidak bisa dipinta. Oleh sebab itu, tambahannya
tetap menjadi milik penerima hibah, karena ada saat harta tersebut
menjadi miliknya.
e.

Jika hak milik atas harta yang dihibahkan kepada anak telah hilang,
kemudian harta tersebut kembali lagi menjadi miliknya, maka sang
ayah tidak berhak memintanya kembali, karena perbedaan sebab
berposisi sama dengan perbedaan barang.129

Dalam pandangan mazhab Hanafiah, tetapnya hukum hibah tidaklah
bersifat mengikat. Jika penerima hibah telah mengambil harta yang dihibahkan
kepadanya dengan cara yang sah, secara asal ia telah memiliki barang tersebut
secara tidak mengikat. Ini berarti pula bahwa pemberi hibah berhak meminta
kembali hibahnya selama tidak ada sebab yang menghalanginy untuk memintanya
kembali dan menetapkannya menjadi kepemilikan terikat.Mazhab Hanafiah
merujuk pada beberapa dalil.130Dalil yang berasal dari Alquran adalah:
Artinya: “Apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan,
maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau
balaslah

(penghormatan

itu,

yang

sepadan)

dengannya.

Sungguh, Allah memperhitungkan segala sesuatu. “ (QS. AnNisa’: 86)131

129

Ibid.,hlm. 129.
Ibid.,
131
Lajnah Pentashih Mushaf Alquran, Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an dan
Terjemah, edisi tahun 2002, (Jakarta: Penerbit Al-Huda, 2005), hlm. 92.
130

Universitas Sumatera Utara

83

Sedangkan dalil-dalil yang digunakan mazhab Hanafiah yang berasal dari
hadis adalah:
Artinya: “Rasulullah SAW bersabda, seseorang berhak atas harta yang ia
hibahkan selama ia belum diberi balasan atas hibahnya tersebut“
(HR. Ibnu Majah).
Begitu pula sabda Rasulullah SAW, siapa yang menghibahkan sesuatu,
maka ia paling berhak atas harta hibahnya tersebut selama pemberiannya belum
dibalas. Artinya: “Diriwayatkan dari Umar, Utsman, Ali, Abdullah bin Umar, Abu
Al-Darda’, Fadlalah bin ‘Ubaid, dan yang lainnya, mereka berpendapat, mereka
berpendapat demikian. Selain itu, tidak diriwayatkan bahwa sahabat lain
menyalahinya. Oleh karena itu, hal ini menjadi kesepakatan di antara mereka.
Penerima hibah dituntut untuk membalas kebaikan pemberi hibah
berdasarkan tuntutan syariat. Allah SWT berfirman, “Tidak ada balasan bagi suatu
kebaikan kecuali kebaikan (pula), “ (QS. Ar-Rahman: 60). Dalam hadis lainnya,
Rasulullah juga bersabda, “Saling berbagi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan
saling mencintai.” (HR. Malik). Begitu pula sabda Rasulullah SAW berikut ini:
Artinya: “Siapa yang berbuat baik kepada kalian, maka balaslah kebaikan
tersebut.

Apabila

kalian

tidak

memiliki

sesuatu

untuk

membalasnya, maka undanglah dia, sehingga kalian yakin telah
membalasnya, “(HR. Abu Dawud).
Menurut Syaikh Muhammad bin Shalilh Al-Utsaimin, ada beberapa syarat
bagi seorang ayah untuk menarik atau mengambil kembali harta yang dihibahkan
kepada anaknya, di antaranya:

Universitas Sumatera Utara

84

1. Harta tersebut tidak menimbulkan mudharatbagi anaknya.
2. Harta tersebut tidak dibutuhkan anaknya.
3. Ayah anak tersebut dalam kondisi merdeka (bukan budak).
4. Agama orang tua tersebut lehih tinggi dari agama anaknya.
5. Tidak mengambil harta tersebut untuk anak yang lainnya.132
Dalam pandangan mazhab Hanafiah, meminta atau menarik kembali hibah
(al-ruju’) yang telah diberikan secara umum,hukumnya makruh mendekati
haram.Hal tersebut termasuk sikap yang hina dan terdapat dalil-dalil yang tidak
menghendaki hal itu terjadi. Untuk mengambil atau menarik kembali harta hibah,
ada persyaratan hukum yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Tidak ada penghalang yang menghalanginya.
2. Adanya kerelaan di antara pemberi dan penerima atau ada ketetapan
hakim. Jika kedua syarat ini tidak ada, maka orang yang menerima hibah
tersebut berhak untuk mengembalikan barang yang telah dhibahkan
kepadanya. 133
Disyaratkannya saling rela atau adanya keputusan hakim, karena hal
tersebut dapat membatalkan akad setelah akad tersebut sah. Pembatalan akad
tidak dapat dibatalkan, kecuali dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan
umum, yaitu hakim atau dilakukan keduanya (pemberi dan penerima hibah),
karena mereka memiliki kekuasaan atas diri mereka sendiri.
Para ulama berbeda pendapat tentang hibah yang ditarik kembali oleh
orang tua. Menurut Imam Malik, orang tuadibolehkan menarik kembali hibah
132

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Panduan Wakaf, Hibah dan Wasiat
(Terjemahan), (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2008), hlm. 149.
133
Musthafa Dib al-Bugha, Op.Cit.,hlm. 133.

Universitas Sumatera Utara

85

yang telah diberikan kepada anaknya. Namun, jika

barang yang dihibahkan

tersebut telah berubah keadaannya, maka hibah tersebut tidak dapat ditarik
kembali.Dalam pandangan Imam Abu Hanifah, orang tua tidak dibolehkan
menarik kembali hibah yang telah diberikan kepadaanaknya atau kepada setiap
orang yang mempunyai hubungan keluarga dengannya. Dia hanya boleh menarik
kembali hibahnya yang diberikan kepada orang lain.134
2.

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES)
Dalam Kompilasi Hukum Islam, hanya disebutkan satu pasal yang

berkaitan dengan penarikan kembali hibah yang telah diberikan, khususnya
keabsahan penarikan hibah oleh orang tua kepada anaknya. Ketentuan ini terdapat
dalam Pasal 212, yaitu “Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua
kepada anaknya. “
Di samping itu, terdapat 3 (tiga) pasal dalam Kompilasi Hukum Islam
yang mengatur tentang ketentuan wali dan hubungannya dengan hibah. Di
antaranya sebagai berikut:
1. Wali dapat menghibahkan harta yang dihibahkan kepada orang muwalla,
yaitu

seseorang

yang

belum

cakap

melakukan

perbuatan

hukum.Penyerahan ini dapat dilakukan secara langsung kepada muwalla
atau dititipkan kepada orang lain. 135 Hal ini sebagaimana disebutkan pada

134

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 14, alih bahasa M. Thalib, (Bandung: Al-Ma’arif,
1996), hlm. 191.
135
Muwallaadalahseseorangyang
belumcakapmelakukanperbuatanhukum,ataubadanusahayangdinyatakantaflis/pailitberdasarkan
putusanpengadilanyangtelah memperoleh kekuatanhukumtetap (Pasal 1 ayat 6).Sedangkan
Waliadalahseseorangataukurator badanhukumyangditetapkanoleh pengadilan untuk melakukan
perbuatanhukum,baikdidalammaupundiluarpengadilan,untukkepentinganterbaikbagimuwalla (Pasal 1

Universitas Sumatera Utara

86

Pasal 699, “Wali dapat menghibahkan mauhub kepada muwalla, baik
diterima langsung maupun dititipkan kepada pihak ketiga.”
2. Wali juga memiliki kewenangan sebagai kuasa untuk pengambilan hibah
yang diberikan kepada seorang anak yang belum cakap bertindak, agar
hibah yang diberikan tersebut transaksi hibahnya menjadi sempurna.
Ketentuan ini disebutkan dalam Pasal 700, “Suatu hibah yang diberikan
kepada seorang anak bisa dinyatakan transaksi hibah telah terjadi dengan
sempurna, bila walinya atau orang yang dikuasakan untuk memelihara dan
mendidik anak itu mengambil hibah tersebut.”
3. Wali tidak memiliki kewenangan sebagai kuasa untuk mengambil hibah
bagi penerima hibah dari anak yang telah cakap bertindak (mumayyiz).
Agar transaksi hibah yang dilakukan menjadi sempurna, maka anak yang
telah memenuhi masa ini dapat mengambil sendiri barang hibah yang
diserahkan. Ketentuan ini terdapat dalam pasal 701, yaitu “Apabila si
penerima hibah adalah seorang anak yang sudah cakap bertindak
(mumayiz), maka transaksi hibah itu dianggap telah sempurna bila anak itu
sendiri yang mengambil langsung hibah itu, meskipun ia mempunyai
seorang wali.”
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)136 juga
dijelaskan beberapa ketentuan mengenai penarikan kembali hibah. Sebelum

ayat 7).Ditjen Badilag, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Mahkamah Agung RI.,
2013), hlm. 2.
136
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) ditetapkan berdasarkan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 02 tahun 2008 yang dijadikan pedoman bagi hakim pengadilan di
lingkungan Peradilan Agama yang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang

Universitas Sumatera Utara

87

terjadinya penarikan hibah, penerima hibah harus telah menjadi pemilik harta
yang dihibahkan kepadanya setelah terjadinya penerimaan harta hibah tersebut
dan pemberi hibah dapat menarik kembali hibah tersebut atas keinginannya
sendiri sebelum harta hibah itu diserahkan. Jika penghibah melarang penerima
hibah untuk mengambil hibahnya setelah transaksi hibah, maka hal tersebut telah
dianggap bahwa pemberi hibahmenarik kembali hibah yang telah diberikannya.
Ketentuan-ketentuan ini sebagaiman dijelaskan berikut ini:
Pasal 709
Peralihan kepemilikan mauhub bih kepada mauhub lah terjadi sejak
diterimanya mauhub bih.
Pasal 710
Wahib dapat menarik kembali hibahnya atas keinginannya sendiri sebelum
hartahibah itu diserahkan.
Pasal 711
Apabila wahib melarang penerima hibah untuk mengambil hibahnya
setelah akad hibah, berarti ia menarik kembali hibahnya itu.137
Dalam penarikan hibah juga dipersyaratkan adanya persetujuan penerima
hibah atau keputusan pengadilan. Tanpa adanya persetujuan atau keputusan tetap
pengadilan dan pemberi hibah tetap melakukan penarikan kembali harta hibah
tersebut, maka pemberi hibah akan dianggap melakukan perampasan harta orang
lain. Hal ini sesuai dengan ketentuan berikut ini:
Pasal 712
Penghibah dapat menarik kembali harta hibahnya setelah penyerahan
dilaksanakan, dengan syarat si penerima menyetujuinya.

berkaitan dengan ekonomi syari’ah. Ditjen Badilag, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta:
Mahkamah Agung RI., 2013), hlm. xxxii.
137
Ditjen Badilag, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Mahkamah Agung RI.,
2013), hlm. 217.

Universitas Sumatera Utara

88

Pasal 713
Apabila wahib menarik kembali mauhub yang telah diserahkan tanpa ada
persetujuan dari mauhub lah, atau tanpa keputusan Pengadilan, maka
wahib ditetapkan sebagai perampas barang orang lain, dan apabila barang
itu rusak atau hilang ketika berada di bawah kekuasaannya, maka ia harus
mengganti kerugian.138
Hubungan antara Pasal 712 dengan Pasal 713, secara jelas terkait dengan
aspek persetujuan dalam hal penarikan hibah. Meskipun orang tua dapat menarik
hibah yang diberikan kepada anaknya secara hukum, tetapi penarikan tersebut
harus memenuhi dua hal.Pertama, persetujuan dari orang yang menerima hibah
tersebut

(anak).Kedua,

adanya

putusan

tetap

dari

pengadilan

atau

mahkamah.Berdasarkan persetujuan dari penerima hibah inilah yang dijadikan
hakim untuk memutuskan segala perkara yang berkaitan dengan penarikan hibah
orang tua dari anaknya. Tanpa adanya persetujuan anak sebagai penerima hiba
orang tuanya, maka orang tua akan dianggap merampas harta yang dimiliki anak
tersebut, meskipun ha

Dokumen yang terkait

Penerapan Klausul Eksonerasi Dan Akibat Hukumnya Dalam Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Pada Bank Syariah (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor 967 Pdt.G 2012 Pa.Mdn) Chapter III V

1 3 100

Tinjauan Yuridis Atas Pembatalan Perkawinan Serta Akibat Hukumnya (Studi Putusan No.1009 PDT.G 2009 PA.Mdn Pada Pengadilan Agama Kelas I-A Medan)

1 2 14

Kedudukan Janda Terhadap Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Terhadap Putusan Perkara Pengadilan Agama Nomor 646 Pdt.G 2010 Pa.Mdn.) Chapter III V

0 0 46

Penarikan Kembali Hibah Dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 249 PDT.G 2010 PA.MDN)

0 0 16

Penarikan Kembali Hibah Dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 249 PDT.G 2010 PA.MDN)

0 0 2

Penarikan Kembali Hibah Dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 249 PDT.G 2010 PA.MDN)

0 0 28

Penarikan Kembali Hibah Dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 249 PDT.G 2010 PA.MDN)

0 0 29

Penarikan Kembali Hibah Dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 249 PDT.G 2010 PA.MDN)

0 0 4

Pertimbangan Hukum Kekerasan dalam Rumah Tangga Dijadikan Dasar Perceraian (Studi Putusan Pengadilan Agama Medan NO. 1572 PDT.G 2011 PA.MDN) Chapter III V

0 0 54

Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Hak Asuh Anak Oleh Pengadilan Agama (Studi Putusan Pengadilan Agama No. 50 PDT.G 2006 PA.Mdn) Chapter III V

0 3 56