Persepsi Masyarakat Terhadap Perubahan Tata Guna Lahan Lapangan Merdeka Kota Medan

15

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Persepsi Masyarakat

2.1.1

Pengertian persepsi
Persepsi dalam psikologi diartikan sebagai salah satu perangkat psikologis

yang menandai kemampuan seseorang untuk mengenal dan memaknakan sesuatu
objek yang ada di lingkungannya. Menurut Robbins (2001), mengungkapkan bahwa
persepsi dapat didefinisikan sebagai proses dengan mana individu-individu
mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna
kepada lingkungan mereka. Dalam persepsi dibutuhkan adanya objek atau stimulus
yang mengenai alat indera dengan perantaraan syaraf sensorik, kemudian diteruskan
ke otak sebagai pusat kesadaran (proses psikologis). Selanjutnya, dalam otak

terjadilah sesuatu proses hingga individu itu dapat mengalami persepsi (proses-proses
psikologis) Robbins (2001).
Persepsi merupakan suatu proses seseorang mengorganisasikan dalam
pikirannya, menafsirkannya, mengalami, dan mengelola pertanda atas segala sesuatu
yang terjadi di lingkungannya (Hammer dan Morgan dalam Ibrahim, 2003). Menurut
Thoha (2008), persepsi berkaitan dengan peta kognitif individu bukanlah penyajian
fotografik dari suatu kenyataan fisik, melainkan agak bersifat konstruksi pribadi yang
kurang sempurna mengenai objek tertentu, diseleksi sesuai dengan kepentingan
utamanya dan dipahami menurut kebiasaan-kebiasaannya. Intinya persepsi adalah

15

16
suatu proses kognitif yang kompleks dan yang menghasilkan suatu gambar unik
tentang kenyataan yang barangkali sangat berbeda dari kenyataannya.
Persepsi, menurut Jalaludin (2009), adalah pengalaman tentang objek,
peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi
dan menafsirkan pesan. Menurut Ruch (2007), persepsi adalah suatu proses tentang
petunjuk petunjuk inderawi (sensory) dan pengalaman masa lampau yang relevan
diorganisasikan untuk memberikan kepada kita gambaran yang terstruktur dan

bermakna pada suatu situasi tertentu.
Atkinson dan Hilgard (2004), mengemukakan bahwa persepsi adalah proses
dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan pola stimulus dalam lingkungan.
Gibson dan Donely (1994), menjelaskan bahwa persepsi adalah proses pemberian arti
terhadap lingkungan oleh seorang individu. Dikarenakan persepsi bertautan dengan
cara mendapatkan pengetahuan khusus tentang kejadian pada saat tertentu, maka
persepsi terjadi kapan saja stimulus menggerakkan indera. Dalam hal ini persepsi
diartikan sebagai proses mengetahui atau mengenali obyek dan kejadian obyektif
dengan bantuan indera.
Persepsi timbul karena adanya respon terhadap stimulus. Stimulus yang
diterima seseorang sangat kompleks, stimulus masuk ke dalam otak, kemudian
diartikan, ditafsirkan serta diberi makna melalui proses yang rumit baru kemudian
dihasilkan persepsi (Atkinson dan Hilgard, 2004). Dalam hal ini, persepsi mencakup
penerimaan stimulus

(inputs), pengorganisasian stimulus dan penerjemahan atau

penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang dapat memengaruhi

17

perilaku dan membentuk sikap, sehingga orang dapat cenderung menafsirkan
perilaku.

2.1.2

Pembentukan persepsi
Proses pembentukan persepsi sebagai pemaknaan hasil pengamatan yang

diawali dengan adanya stimuli. Setelah mendapat stimuli, pada tahap selanjutnya
terjadi seleksi yang berinteraksi dengan" interpretation", begitu juga berinteraksi
dengan "closure". Proses seleksi terjadi pada saat seseorang memperoleh informasi,
maka akan berlangsung proses penyeleksian pesan tentang mana pesan yang
dianggap penting dan tidak penting. Proses closure terjadi ketika hasil seleksi tersebut
akan disusun menjadi satu kesatuan yang berurutan dan bermakna, sedangkan
interpretasi berlangsung ketika yang bersangkutan memberi tafsiran atau makna
terhadap informasi tersebut secara menyeluruh.

2.1.3

Bentuk-bentuk persepsi

Persepsi secara umum merupakan suatu tanggapan berdasarkan suatu evaluasi

yang ditujukan terhadap suatu obyek dan dinyatakan secara verbal, sedangkan
bentuk-bentuk persepsi merupakan pandangan yang berdasarkan penilaian terhadap
suatu obyek yang terjadi, kapan saja, dimana saja, jika stimulus memengaruhinya.
Persepsi yang meliputi proses kognitif mencakup proses penafsiran obyek, tanda dan
orang dari sudut pengalaman yang bersangkutan.
Kemampuan manusia sangatlah terbatas, sehingga manusia tidak mampu
memproses seluruh stimulus yang ditangkapnya. Artinya meskipun sering disadari,

18
stimulus yang akan dipersepsi selalu dipilih suatu stimulus yang mempunyai
relevansi dan bermakna baginya. Dengan demikian dapat diketahui ada dua bentuk
persepsi yaitu yang bersifat positif dan negatif:
1. Persepsi Positif
Persepsi positif, yaitu persepsi atau pandangan terhadap suatu obyek dan
menuju pada suatu keadaan dimana subyek yang mempersepsikan
cenderung menerima obyek yang ditangkap karena sesuai dengan
pribadinya.
2. Persepsi Negatif

Persepsi negatif, yaitu persepsi atau pandangan terhadap suatu obyek dan
menunjuk pada keadaan dimana subyek yang mempersepsi cenderung
menolak obyek yang ditangkap karena tidak sesuai dengan pribadinya.

Pengertian masyarakat dalam kamus Bahasa Inggris, masyarakat disebut
society asal katanya socius yang berarti kawan. Arti yang lebih khusus, bahwa
masyarakat adalah kesatuan sosial yang mempunyai kehidupan jiwa seperti adanya
ungkapan-ungkapan jiwa rakyat, kehendak rakyat, kesadaran masyarakat dan
sebagainya. Sedangkan jiwa masyarakat ini merupakan potensi yang berasal dari
unsur-unsur masyarakat meliputi pranata, status dan peranan sosial. Sehingga para
pakar sosiologi seperti Maclver, J.L Gillin memberikan pengertian bahwa masyarakat
adalah kumpulan individu-individu yang saling bergaul berinteraksi karena
mempunyai nilai-nilai, norma-norma, cara-cara dan prosedur yang merupakan

19
kebutuhan bersama berupa suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu
dan terikat oleh suatu identitas bersama (Soelaiman dalam Mussadun, 2000).
Jadi pengertian persepsi masyarakat dapat disimpulkan sebagai tanggapan
melalui pengetahuan lingkungan dari kumpulan individu-individu yang saling bergaul
dan berinteraksi karena mempunyai nilai-nilai, norma-norma, cara-cara dan prosedur

merupakan kebutuhan bersama berupa suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat
kontinyu dan terikat oleh suatu identitas bersama yang diperoleh melalui interpretasi
data indera.

2.1.4 Skema persepsi
Persepsi terhadap lingkungan (environmental perception) merupakan persepsi
spasial yakni sebagai interpretasi tentang suatu setting (ruang) oleh individu yang
didasarkan atas latar belakang, budaya, nalar dan pengalaman individu tersebut.
Dengan demikian setiap individu dapat mempunyai persepsi lingkungan yang
berbeda terhadap objek yang sama karena tergantung dari latar belakang yang
dimiliki. Persepsi lingkungan yang menyangkut persepsi spasial sangat berperan
dalam pengambilan keputusan dalam rangka migrasi, komunikasi dan transportasi.
Respon manusia terhadap lingkungannya tergantung pada bagaimana individu
tersebut mempersepsikan lingkungannya (Sarwono, dalam Boedojo, 1986). Persepsi
terhadap lingkungan mempengaruhi hubungan individu dengan lingkungannya.
Menurut Walgito (2003), sikap individu terhadap lingkungannya dapat berupa: (1)
Individu menolak lingkungannya, yaitu bila individu tidak sesuai dengan keadaan
lingkungannya; (2) Individu menerima lingkungan, yaitu bila keadaan lingkungan

20

cocok dengan keadaan individu; (3) Individu bersikap netral atau status quo, apabila
individu tidak mendapat kecocokan dengan keadaan lingkungan, tetapi dalam hal ini
individu tidak mengambil langkah-langkah yang lebih lanjut, yaitu bagaimana
sebaiknya bersikap.
Ada dua jenis lingkungan dalam kaitannya antara manusia dengan kondisi
fisik lingkungannya (Sarwono, dalam Boedojo, 1986). Pertama adalah lingkungan
yang telah akrab dengan manusia yang bersangkutan. Lingkungan seperti ini
cenderung dipertahankan. Kedua adalah lingkungan yang masih asing, dimana
manusia terpaksa melakukan penyesuaian diri atau sama sekali menghindarinya.
Setelah manusia menginderakan objek di lingkungannya, ia memproses hasil
penginderaannya dan timbul makna tentang objek pada diri manusia yang dinamakan
persepsi dan selanjutnya menimbulkan reaksi. Untuk memahami proses yang terjadi
sejak individu bersentuhan melalui inderanya dengan objek di lingkungannya sampai
terjadi reaksi. Skema persepsi dapat dilhat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Skema Persepsi
Sumber: Paul A. Bell (dalam Sarwono, 2000)

21
Menurut skema tersebut tahap paling awal dari hubungan manusia dengan

lingkungannya adalah kontak fisik antara individu dengan objek-objek di
lingkungannya. Objek tampil dengan kemanfaatannya masing-masing, sedangkan
individu datang dengan sifat-sifat individualnya, pengalaman masa lalunya, bakat,
minat, sikap dan ciri kepribadiannya masing-masing.
Hasil interaksi individu dengan objek menghasilkan persepsi individu tentang
objek itu. Jika persepsi itu berada dalam batas-batas optimal maka individu dikatakan
dalam keadaan homeo statis yaitu keadaan yang serba seimbang. Keadaan ini
biasanya dipertahankan oleh individu karena menimbulkan perasaan-perasaan yang
paling menyenangkan. Sebaliknya, jika objek dipersepsikan sebagai di luar batasbatas optimal (terlalu besar, terlalu kuat, kurang keras, kurang dingin, terlalu aneh
dan sebagainya) maka individu itu akan mengalami stres dalam dirinya. Tekanantekanan energi dalam dirinya meningkat sehingga orang itu harus melakukan copying
untuk menyesuaikan dirinya atau menyesuaikan lingkungan pada kondisi dirinya.
Sebagai hasil coping ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, tingkah laku
coping ini menyebabkan stres berlanjut dan dampaknya bisa berpengaruh pada
kondisi individu dan persepsi individu. Kemungkinan kedua, tingkah laku coping
yang berhasil. Dalam hal ini terjadi penyesuaian antara diri individu dengan
lingkungannya (adaptasi) atau penyesuaian keadaan lingkungan pada diri individu
(adjusment).
Dampak dari keberhasilan ini juga mengenai individu maupun persepsinya.
Jika dampak dari tingkah laku coping yang berhasil terjadi berulang-ulang maka
kemungkinan terjadi penurunan tingkat toleransi terhadap kegagalan atau kejenuhan.


22
Disamping itu, terjadi peningkatan kemampuan untuk menghadapi stimulus
berikutnya. Kalau efek dari kegagalan yang terjadi berulang-ulang, kewaspadaan
akan meningkat. Namun pada suatu titik akan terjadi gangguan mental yang lebih
serius seperti keputusasaan, kebosanan, perasaan tidak berdaya, dan menurunnya
prestasi sampai pada titik terendah.

2.2

Tata Ruang dan Tata Guna Lahan
Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Tata Ruang (sekarang Undang-

undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang) menyebutkan “Perencanaan tata
ruang, struktur dan pola tata ruang yang meliputi tata guna tanah, tata guna air dan
tata guna sumber daya lainnya”. Sehubungan dengan hal tersebut maka penatagunaan
tanah adalah bagian yang tak terpisahkan dari penataan ruang, atau subsistem dari
penataan ruang. Pada saat ini penatagunaan tanah merupakan unsur yang paling
dominan dalam proses penataan ruang.
Selain itu penatagunaan tanah diselenggarakan berdasarkan Rencana Tata

Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, dan diselenggarakan sesuai dengan jangka waktu
yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. Di dalam
pelaksanaannya, kegiatan penatagunaan tanah meliputi perencanaan, pelaksanaan dan
pengendalian perlu dikoordinasikan dengan instansi-instansi terkait di pusat dan di
daerah agar penatagunaan tanah dapat diserasikan dengan rencana tata ruang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Tata Guna Tanah dengan Tata
Ruang saling terkait satu dengan lainnya sehingga apabila rencana tata ruang

23
berubah, maka rencana tata guna tanah pun berubah disesuaikan dengan perubahan
rencana tata ruang.

2.2.1 Tata ruang
Penataan Ruang diatur dengan Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang jo. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
dan penyelenggaraannya diatur dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan,
ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan
hidupnya. Sedangkan tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang,

baik direncanakan maupun tidak.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan tata ruang
merupakan pemanfaatan daratan, lautan dan udara bagi manusia dan makhluk lainnya
untuk hidup dan melakukan kegiatan bagi kelangsungan hidupnya, dimana
pemanfaatan ruang yang dimaksudkan tersebut di atas, dalam hal ini lebih ditekankan
pada pemanfaatan akan tanah. Dalam tata ruang terdapat suatu sistim proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang
yang disebut sebagai penataan ruang, yang penyelenggaraannya dapat dilaksanakan
oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.
Penyelenggaraan penataan ruang merupakan kegiatan yang meliputi
pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. Penataan
ruang terdiri dari 3 (tiga) yaitu: (1) Proses utama yakni proses perencanaan tata ruang

24
wilayah, yang menghasilkan rencana tata ruang wilayah (RTRW); (2) Disamping
sebagai pedoman untuk pelaksanaan kedepan, RTRW pada dasarnya merupakan
bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan
lingkungannya dapat

berjalan serasi, selaras, seimbang untuk

tercapainya

kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan
pembangunan. Proses yang kedua adalah proses pemanfaatan ruang, yang merupakan
wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri;
(3) Proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme perizinan
dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW
dan tujuan penataan ruang wilayahnya. Dengan demikian, selain merupakan proses
untuk mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan, penataan ruang sekaligus juga
merupakan produk yang memiliki landasan hukum (legal instrument) untuk
mewujudkan tujuan pengembangan wilayah.

2.3

Perubahan Tata Guna Lahan

2.3.1

Definisi
Tata guna lahan (land use) merupakan pengaturan pemanfaatan lahan/aktifitas

pada suatu lingkup wilayah (baik tingkat nasional, regional, maupun kawasan) untuk
kegiatan-kegiatan tertentu. Kegiatan manusia seperti bekerja, berbelanja, belajar, dan
berekreasi, semuanya dilakukan pada kapling-kapling tanah yang diwujudkan sebagai
kantor, pabrik, gedung sekolah, pasar, pertokoan, perumahan, objek wisata, hotel, dan
lain sebagainya. Aktivitas di kapling tanah (lahan) tersebut dinamakan tata guna
lahan (Miro dalam Wismadi, dkk, 2008).

25
Pengertian konversi lahan atau perubahan tata guna lahan adalah alih fungsi
atau mutasi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian
sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lain (Tjahjati dalam Yusran,
2006). Sedangkan gejala perubahan pemanfaatan lahan sendiri menjadi gejala
alamiah dalam suatu evolusi kota. Bentuk perubahan ini tidak terjadi di setiap lokasi
secara seragam, karena setiap lahan memiliki tingkat kestrategisan dan potensi yang
berbeda (Legawa dalam Harjanti, 2002).
Evolusi kota sendiri terbentuk dari faktor-faktor internal seperti keputusankeputusan yang diambil oleh berbagai institusi dan individu, penyebab eksternal
(konteks ekonomi internasional) dan perkembangan sosial. Proses-proses dasar dapat
berjalan lambat ataupun cepat, dan berlaku dalam lingkup lokal maupun global. Pada
level yang berbeda, seperti yang terjadi dibeberapa kota besar di Eropa, evolusi
tersebut menjadi daya tarik bagi para imigran seperti di negara-negara yang memiliki
permasalahan utama ekonomi dan politik dimana sering memunculkan gejala
marginalisasi dan segregasi. Kondisi tersebut juga menjadi lahan subur untuk
munculnya aktivitas ekonomi, politik dan budaya, sehingga menimbulkan
diantaranya perubahan dan konversi industri, penilaian lahan kembali dan
pengembangan pusat pelayanan baru. Gejala di atas disebut dengan perubahan
kualitatif yang bertolak belakang dengan proses-proses pertumbuhan kuantitatif yang
murni (Albeverio,dkk, 2007).
Struktur dan bentuk kota-kota saat ini adalah hasil dari dinamika berbagai
faktor sosial, ekonomi, budaya, dan fisik baik secara umum maupun lokal (Lambin
dalam Hagoort, dkk, 2004). Oleh karenanya, dalam rangka efisiensi alokasi

26
pemanfaatan lahan diperlukan rencana yang merangkum kebutuhan seluruh sektor
kegiatan masyarakat, baik kebutuhan saat ini maupun kegiatan di masa mendatang.
Rencana tata ruang merupakan bentuk rencana yang telah mempertimbangkan
kepentingan berbagai sektor kegiatan masyarakat dalam mengalokasikan lahan/ruang
beserta sumber daya yang terkandung di dalamnya (bersifat komprehensif). Rencana
tata ruang sendiri merupakan pedoman pemanfaatan ruang/lahan atas pembagian
berbagai sektor kegiatan masyarakat tersebut (Dardak, 2005).
Sedangkan proses penataan ruang merupakan proses yang dilakukan dalam
rangka mencapai sebuah kestabilan dalam konteks keruangan. Sehingga setiap
aktifitas yang ada di dalamnya merupakan sebuah usaha yang dilakukan dan memiliki
titik fokus untuk mencapai sebuah kondisi keruangan dalam konteks problem solving,
future oriented dan resource allocation (Hardiansah, 2008).
Pada akhirnya perubahan tata guna lahan dapat didefinisikan sebagai upaya
manusia dalam merencanakan arahan perubahan penggunaan lahan dalam suatu
kawasan yang meliputi pembagian wilayah untuk pengkhususan fungsi-fungsi
tertentu yang merupakan rangkuman kebutuhan seluruh sektor kegiatan masyarakat
kedepan yang ditikberatkan pada pencapaian sebuah kondisi keruangan dalam
konteks problem solving, future oriented dan resource allocation.

2.3.2 Model perubahan tata guna lahan
Perubahan pemanfaatan lahan tidak terlepas dari perkembangan suatu daerah
menuju ke keadaan yang lebih padat yang sering diidentifikasikan sebagai perubahan
menuju ke arah perkotaan (urbanised area). Secara umum, kebalikan dari perkotaaan

27
disebut dengan pedesaan (rural area). Diakui atau tidak, tidak ada satu daerahpun
yang tertutup akan perubahan. Terlebih lagi memasuki era abad ke-21, dimana
interaksi dan komunikasi antar komponen-komponen pendukung

wilayah satu

dengan yang lainnya tidak lagi dibatasi jarak dan waktu. Batas-batas keruangan
wilayah memudar seiring inovasi-inovasi teknologi dan sistem regulasi pendukung
yang memungkinkan terjadinya percampuran sistem budaya yang tidak pernah terjadi
sebelumnya, pemanfaatan berbagai penemuan baru, pemindahan modal, dan
pergerakan sumber daya manusia (tenaga kerja) (Suartika, 2007).
Oleh karenanya, di dalam rencana tata ruang kawasan perkotaan perlu diatur
alokasi

pemanfaatan

ruang/lahan

untuk

berbagai

penggunaan

(perumahan,

perkantoran, perdagangan, ruang terbuka hijau, industri, sempadan sungai, dan
sebagainya) berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, keseimbangan, keserasian,
keterbukaan (transparansi) dan efisiensi, agar tercipta kualitas permukiman yang
layak huni (livable environment) (Algamar, 2003). Sedangkan dalam lingkup
perkotaan, pengelolaan kawasan dilaksanakan dengan mendayagunakan segenap
asset yang ada secara efektif, efisien dan berkelanjutan. Adapun aset yang tercakup
dalam pengelolaan kawasan perkotaan adalah keuangan (pembiayaan pembangunan),
penduduk (sumberdaya manusia), sosial (termasuk institusi publik), lahan,
lingkungan, serta unsur fisik (seperti bangunan

termasuk rumah, prasarana dan

sarana perkotaan).
Sedangkan pembedaan pola keruangan ini disebabkan oleh luas daerah kota,
unsur topografi, faktor sosial, faktor budaya, faktor politik dan faktor ekonomi yang
secara garis besar dibagi atas inti kota (core the city) dan selaput kota

28
(intergruments), dimana pada kedua daerah tersebut masih dapat dijumpai daerahdaerah kosong (interstices) (Bintarto dalam Yusran, 2006).
Menurut Bourne dalam Yusran (2006), ada beberapa faktor yang menjadi
penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan, yaitu: perluasan batas kota,
peremajaan di pusat kota, perluasan jaringan infrastruktur terutama jaringan
transportasi serta tumbuh dan hilangnya pemusatan aktifitas tertentu yang secara garis
besar berjalan dan berkembang secara dinamis dan natural terhadap alam yang
dipengaruhi antara lain:
1. Faktor manusia, yang terdiri dari kebutuhan manusia akan tempat tinggal,
potensi manusia, finansial, sosial budaya serta teknologi;
2. Faktor

fisik

kota,

meliputi

pusat

kegiatan

sebagai

pusat-pusat

pertumbuhan kota dan jaringan transportasi sebagai aksesibilitas
kemudahan pencapaian;
3. Faktor bentang alam yang berupa kemiringan lereng dan ketinggian lahan.

Adapun dalam mengatur dan mengkontrol terjadinya perubahan tata guna
lahan diperlukan suatu perangkat sistem pengelolaan. Keiser, Godschalk dan Chapin
dalam Suartika (2007) menawarkan dua model manajemen perubahan tata guna
lahan, yaitu:
1. Model yang merangkul kepentingan struktur lingkungan kehidupan hidup
manusia (human ecology) dan politikal ekonomi dalam suatu konsep yang
menggabungkan proses pengaturan pemanfaatan lahan dengan konsep
pembangunan berkelanjutan.

29
2. Model yang merangkul konsep partisipasi dan pemecahan masalah
(discourse planning model). Model ini tidak hanya mengakui kepentingankepentingan kelompok dominan yang telah disebutkan dalam game
theory, tetapi juga memberi peluang kepada pihak perencana, tenaga ahli
teknis dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya untuk berpartisipasi.

Menurut Gibson dalam Markvart (2009), konsep esensial dari pembangunan
berkelanjutan sendiri antara lain:
1. Suatu tantangan untuk berfikir dan berbuat secara konvensional;
2. Melakukan sesuatu untuk kesejahteraan jangka panjang maupun jangka
pendek;
3. Menyeluruh, meliputi semua permasalahan inti di dalam hal pengambilan
keputusan;
4. Suatu

pengenalan

tentang

hubungan

keterkaitan

dan

saling

ketergantungan, terutama antara manusia dan fondasi biofisik untuk
kehidupan;
5. Pentingnya

melakukan

pendekatan-pendekatan

terhadap

tindakan

pencegahan;
6. Suatu pengenalan terhadap batasan yang tidak dapat diganggu gugat serta
tidak habisnya peluang didalam menciptakan inovasi kreatifitas;
7. Suatu proses akhir yang selalu terbuka dan bukan merupakan suatu
pernyataan;

30
8. Suatu pemahaman yang baik antara budaya dan pemerintahan seperti yang
terjalin dengan ekologi, sosial dan ekonomi;
9. Seluruh ketergantungan yang bersifat universal dan kontekstual.

Menurut Camagni dalam Capello dan Nijkamp (2004), teori dan model
ekonomi perkotaan secara efisien diatur dalam 5 (lima) prinsip utama antara lain:
1. Prinsip Pengelompokkan: Kepadatan penduduk yang tinggi dan kegiatan
yang produksi mempercepat kemunculan seluruh gejala positif dan negatif
yang berasal dari kedekatan fisik, ekonomi kelompok, baik dalam bentuk
urbanisasi dan lokalisasi ekonomi yang dikenal sebagai elemen genetik
dalam keberadaan suatu kota;
2. Prinsip Aksesibilitas: Pemahaman interaksi saling menguntungkan antara
biaya transportasi dan penggunaan lahan langsung dan lebih banyak
kepada aplikasi yang rasional secara cepat di tingkat kota;
3. Prinsip Interaksi Spasial: Tingkat kepadatan yang tinggi di permukiman
dan kegiatan produksi yang hadir disetiap kota memfasilitasi kebutuhan
kontak, dan berakibat terhadap mekanisme interaksi spasial, dengan segala
dampak positif dan negatif yang terkait dengan mereka;
4. Prinsip Hirarki Perkotaan: Pembagian ruang bagi para pekerja jelas
tercermin dalam perbedaan pola sosio-ekonomi antar kota;
5. Prinsip Persaingan: Dalam kondisi kota sebagai lokasi utama kegiatan
produksi, prinsip persaingan menjadi sangat penting ditingkat perkotaan

31
serta membutuhkan ketentuan spesifik guna mendukung mekanisme
efisiensi perkotaan.

Sedangkan konsep dari partisipasi sendiri adalah berdasarkan pengalaman dan
wawasan yang berkembang harus diakui bahwa masyarakat lokal yang sebelumnya
selalu dipandang sebagai subjek, klien atau penerima yang pasif, secara jelas telah
banyak berkontribusi pada proses penelitian dan pengembangan. Menurut Chamber,
pendekatan partisipatif yang diterapkan saat ini dalam berbagai konteks sosial dan
ekologi, telah membentuk dan mempengaruhi program maupun kebijakan nasional,
penelitian regional dan internasional serta pembangunan diseluruh dunia (Byambaa,
2007).
Partisipasi tidak meningkatkan kinerja proyek akan tetapi merupakan
komponen utama pemberdayaan masyarakat dan membuat mereka mandiri untuk
belajar bertanggung jawab atas kehidupan dan mengambil kendali atas keadaan
untuk selanjutnya mengembangkan kapasitas untuk menolong dirinya sendiri dalam
suatu proses. Menurut Rolly, partisipasi menciptakan rasa percaya diri yang kuat dan
mampu meyakinkan diri mereka untuk dapat berhasil menggunakan sumber daya
yang tersedia untuk meningkatkan kualitas hidup mereka (Byambaa, 2007).
Pendekatan partisipatif merupakan hasil dari ketidakpuasan terhadap
pendekatan top-down di dalam proses perencanaan dan manajemen. Ketika
masyarakat tidak dilibatkan di dalam proses pengambilan keputusan ataupun
pemilihan metode pemecahan masalah sosial budaya yang sesuai dengan kebutuhan
mereka maka hasilnya adalah suatu kegagalan proyek (Rolly dalam Byambaa, 2007).

32
Menurut (Burke dalam Byambaa, 2007), proses perencanaan tidak lagi
merupakan domain eksklusif para ahli teknis, melainkan perlu dipikirkan siapa saja
yang harus terlibat, bagaimana bentuk keterlibatannya, fungsi masyarakat apa sajakah
yang harus dilayani dan bagaimana mengadaptasikan metode perencanaan ke proses
yang melibatkan berbagai kepentingan dan kelompok lebih luas.

2.3.3

Perubahan guna lahan mikro
Sebagaimana yang telah diuraikan bahwa tata guna lahan (landuse)

merupakan pengaturan pemanfaatan atau lahan/aktifitas pada suatu lingkup wilayah
(baik tingkat nasional, regional maupun kawasan untuk kegiatan-kegiatan tertentu).
Perubahan guna lahan mikro dimaksudkan terhadap perubahan lahan yang
lebih sempit dari bagian suatu kota, dapat berupa suatu blok area, taman kota ataupun
suatu ruas jalan tertentu dari bagian kota.
Perubahan guna lahan mikro terjadi pada area ruang yang lebih sempit dan
dalam skala manusia, membuat dampak yang ditimbulkannya langsung bisa diserap
dan ditanggapi oleh pengguna. Oleh karena itu perlu alat kendali seperti RTBL
(Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan) sehingga perubahan yang terjadi tidak
menimbulkan ketidaknyamanan bagi masyarakat pengguna dan sistem perkotaan
yang ada.
Perencanaan ruang-ruang publik kota akan muncul pada produk Tata Ruang
Kota yang lebih detail, misalnya pada Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan
(RTBL) yang merupakan bagian dari rencana yang lebih makro seperti RDTRK dan
RUTRK. Perencanaan ruang publik biasanya tidak akan didesain selama perencanaan

33
yang lebih makro belum ada. Hal inilah yang perlu dipahami oleh pengelola Kota dan
masyarakat pada umumnya (Anggriani N, 2010).

2.4

Persepsi Masyarakat Terhadap Perubahan Tata Guna Lahan
Menurut Sari (2009), pertumbuhan penduduk yang terus meningkat

menjadikan kebutuhan ruang semakin tidak terbatas. Aktifitas masyarakat baik dari
segi ekonomi, sosial, maupun yang lainnya dari waktu ke waktu berdampak pada
meningkatnya kebutuhan penggunaan lahan. Fenomena ini berkembang di wilayah
perkotaan dan menjadikan eksplorasi ruang yang kurang terkendali. Meskipun
banyak ruang yang sudah diatur dalam berbagai bentuk kebijakan, namun tidak
semua bentuk perkembangan keruangan terwadahi, apalagi dengan keberadaan lahan
yang bersifat statis dan harga lahan yang semakin tinggi memicu persaingan dan
konflik dalam memanfaatkan ruang.
Salah satu studi kasus terjadinya perubahan tata guna lahan disuatu lokasi
adalah Lapangan Merdeka Kota Medan. Dulunya taman ini adalah merupakan kebun
tembakau serta rawa-rawa.
Lapangan Merdeka (dulu bernama Medan Esplanade) adalah ruang terbuka
publik yang memiliki sejarah yang menyertai permulaan Kota Medan dari awal
hingga saat sekarang ini. Dimulai dari perpindahan ibukota (pada saat itu Sumatra
Timur) dari Labuhan Deli ke tanah konsesi Kesultanan Deli di Kesawan, Belanda
mulai mengembangkan infrastruktur untuk menunjang seluruh aktivitas perkebunan
yang mereka kembangkan (Gambar 2.2).

34

Gambar 2.2 Kondisi Lapangan Merdeka Sebelum Kemerdekaan
Sumber: http://www.medanmagazine.com/medan-esplanade/

Kota Medan sebagai cikal bakal kota perkebunan memiliki hasil tembakau
yang sangat bagus kualitasnya di pasar perdagangan Eropa. Banyaknya permintaan
mendorong para investor untuk datang dan memiliki hak perkebunan di Tanah Deli.
Merunut pada pola perencanaan wilayah dunia Barat, Belanda membuat satu
distrik yaitu Esplanade, sebagai titik sumbu seluruh bangunan disekelilingnya.
Disekitarnya Belanda mulai membangun De Javasche Bank (Bank Indonesia), stasiun
kereta api, kantor perhubungan udara (Kantor Pos), Hotel De Boer (Hotel Dharma
Deli) dan balai kota (Old City Hall).
Belanda sering mengadakan pertunjukan pawai di lapangan ini, pawai
miniatur perahu dalam skala menengah, pasar malam, dan liga sepak bola.
Esplanade mulai berganti nama menjadi Lapangan Merdeka, sejak
diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia. Di lapangan tersebut dengan penaikan
bendera merah putih, dan diabadikan dengan monumen yang sampai sekarang masih

35
ada, yang terletak pada sisi barat lapangan merdeka dan berhadapan dengan stasiun
kereta api.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Lapangan Merdeka tetap
dipertahankan sebagai ruang terbuka Kota Medan. Berbagai kegiatan seperti upacara
kenegaraan, olahraga, pertunjukan, pameran, dan kegiatan rekreasi lainnya tetap
dilaksanakan sampai saat ini.
Dalam perkembangan berikutnya, sesuai kebutuhan disamping monumen
yang ada telah dibangun juga podium atau pendopo tempat upacara resmi, di sisi
Barat ada Kantor Informasi Pariwisata dan Kantor Pembantu Lantas di sisi Utara.
Sejak tahun 2002, terlihat tekanan-tekanan berbagai kepentingan baik dari
pihak swasta maupun pihak pemerintah daerah yang hendak memanfaatkan ruang di
Lapangan Merdeka. Dibangunnya Merdeka Walk dan pemindahan kios-kios buku
bekas ex-Titi Gantung ke sisi Timur Lapangan Merdeka menunjukkan hal itu.

2.5

Ruang Publik
Istilah ruang publik (public space) pernah dilontarkan Lynch dengan

menyebutkan bahwa ruang publik adalah nodes dan landmark yang menjadi alat
navigasi di dalam kota (Lynch, 1960). Gagasan tentang ruang publik kemudian
berkembang secara khusus seiring dengan munculnya kekuatan civil society. Dalam
hal ini filsuf Jerman, Jurgen Habermas, dipandang sebagai penggagas munculnya ide
ruang publik (Sulfikar, 2010). Jurgen Habermas memperkenalkan gagasan ruang
publik pertama kali melalui bukunya yang berjudul The Structural Transformation of

36
the Public Sphere: an Inquire Into a Category of Bourjuis Society yang diterbitkan
sekitar tahun 1989.
Ruang publik diartikan sebagai ruang bagi diskusi kritis yang terbuka bagi
semua orang. Pada ruang publik ini, warga privat (private person) berkumpul untuk
membentuk sebuah publik dimana nalar publik ini akan diarahkan untuk mengawasi
kekuasaan pemerintah dan kekuasaan negara. Ruang publik mengasumsikan adanya
kebebasan berbicara dan berkumpul, pers bebas, dan hak secara bebas berpartisipasi
dalam perdebatan politik dan pengambilan keputusan. Lebih lanjut, ruang publik
dalam hal ini terdiri dari media informasi seperti surat kabar dan jurnal. Disamping
itu, juga termasuk dalam ruang publik adalah tempat minum dan kedai kopi, balai
pertemuan, serta ruang publik lain dimana diskusi sosio-politik berlangsung.
Secara sederhana, yang dimaksud ruang publik adalah ruang yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat umum sepanjang waktu, tanpa dipungut bayaran
(Danisworo, 2004). Lebih lanjut Danisworo mengatakan bahwa ruang publik tidak
selalu berupa ruang terbuka hijau, akan tetapi suatu ruang dengan perkerasan seperti
jalan raya maupun pelataran parkir, dapat menjalankan fungsi publik karena ruang
tersebut dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum setiap waktu tanpa dipungut
bayaran.
Menurut Carr dkk (1992) terdapat 3 (tiga) kualitas utama sebuah ruang publik,
yaitu: tanggap (responsive), demokratis (democratic), dan bermakna (meaningful).
Yang dimaksud tanggap (responsive) berarti bahwa ruang tersebut dirancang dan
dikelola dengan mempertimbangkan kepentingan para penggunanya. Sedangkan
demokratis (democratic) berarti bahwa hak para pengguna ruang publik tersebut

37
terlindungi, pengguna ruang publik bebas berekspresi dalam ruang tersebut, namun
tetap memiliki batasan tertentu karena dalam penggunaan ruang bersama perlu ada
toleransi diantara para pengguna ruang. Pengertian bermakna (meaningful) mencakup
adanya ikatan emosional antara ruang tersebut dengan kehidupan para penggunanya.
Sementara itu, secara spasial ruang publik didefinisikan sebagai tempat
dimana setiap orang memiliki hak untuk memasukinya tanpa harus membayar uang
masuk atau uang lainnya. Ruang publik dapat berupa jalan (termasuk pedestrian),
tanah perkerasan (pavement), public squares, dan taman (park). Hal ini berarti bahwa
ruang terbuka hijau (open space) publik seperti jalan dan taman serta ruang terbuka
non-hijau publik seperti tanah perkerasan (plaza) dan public squares dapat
difungsikan sebagai ruang publik
Sejak tahun 1960-an di Amerika dan Eropa telah tumbuh gerakan menentang
pendekatan perencanaan dan perancangan teknis-rasional yang dominan pada masa
itu, serta juga memperjuangkan terbentuknya praktek pofesional baru yang memiliki
unsur moral dan politik, berkeadilan sosial, dan memberi kekuasaan pengambilan
keputusan pada masyarakat (citizen empowerment). Gerakan ini kemudian
menghasilkan beberapa paradigma perencanaan dan perancangan partisipatif seperti
Community Architecure (Christopher dan Rossi, 2003).
Arsitektur

merupakan

produk

budaya

yang

tidak

terlepas

dari

manusia/masyarakat yang membuat dan menggunakannya. Perancangan arsitektur
baik dalam skala bangunan/rumah tinggal maupun skala lingkungan/kawasan kota
sudah seharusnya berorientasi pada kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat yang akan
menggunakannya. Community architecture dalam proses perancangan maupun

38
pembangunan sebuah lingkungan/kawasan kota menjadi dasar dalam menggerakkan
dan mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Karena masyarakat dan kehidupannya
merupakan realita sosial yang tidak boleh diabaikan, mereka merupakan potensi
sekaligus pengguna setiap karya arsitektur, sehingga antara masyarakat dan
rancangan arsitektur seharusnya memiliki kesesuaian. Dengan demikian program
community based development merupakan bagian penting dari tugas seorang
arsitek/perancang kota agar dalam setiap memulai rancangan memiliki dimensi
sosiologi yang mampu menganalisis secara kritis pola perilaku masyarakat serta
bagaimana menterjemahkannya menjadi sebuah produk arsitektur.
Community based development mengisyaratkan pentingnya pembangunan
yang didasarkan pada kebutuhan masyarakat. Di sisi lain pola seperti itu
memungkinkan partisipasi masyarakat dapat dikembangkan secara optimal.
Partisipasi merupakan pemberdayaan (engagement) dari kelompok sasaran (affected
group) dalam satu atau lebih siklus project/program/kegiatan: desain, implementasi,
monitoring, dan evaluasi.
Masyarakat diajak untuk berperan dan didorong untuk berpartisipasi karena
masyarakat dianggap: (1) Mereka mengetahui sepenuhnya tentang permasalahan dan
kepentingannya/kebutuhan mereka; (2) Mereka memahami sesungguhnya tentang
keadaan lingkungan sosial dan ekonomi masyarakatnya; (3) Mereka mampu
menganalisis sebab akibat dari berbagai kejadian di masyarakat; (4) Mereka mampu
merumuskan solusi unuk mengatasi permasalahan dan kendala yang dihadapi; (5)
Mereka mampu memanfaatkan sumberdaya pembangunan (SDA, SDM, dana, sarana
dan teknologi) yang dimiliki untuk meningkatkan produksi dan produktivitas dalam

39
rangka

mencapai

sasaran

pembangunan

masyarakatnya

yaitu

peningkatan

kesejahteraan masyarakat; (6) Anggota masyarakat dengan upaya meningkatkan
kemauan dan kemampuan SDMnya sehingga berlandaskan pada kepercayaan diri dan
keswadayaan yang kuat mampu mengurangi dan bahkan menghilangkan sebagian
besar keterganungan terhadap pihak luar.
Disamping itu, penataan ruang kota yang disusun, sebagian besar masih
berupa rencana umum (RUTRK) yang belum menyentuh secara detail tentang ruang
publik, meskipun kita sering berdiskusi tentang ruang publik. Masih sedikit
Pemerintah kota yang menyusun Rencana Teknis Ruang Kota (RTRK), atau Rencana
Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) yang sudah mempertimbangkan tiga
dimensional ruang publik (Anggriani, 2010).
Penanganan ruang publik membutuhkan biaya tinggi sehingga menjadi
masalah dari segi pembiayaan, sehingga penerapannya boleh dikatakan setengah hati.
Sekarang ini penanggung jawab pengelolaan ruang publik seolah-olah hanya
dipundak Pemerintah Kota, sementara beban yang harus ditanggung masih sangat
banyak. Ruang publik, kualitas ruang kota dan tingkat sosial masyarakat merupakan
benang merah yang tidak bisa putus. Hildebrand Frey dalam Anggriani (1999)
mengaitkan kebutuhan kota dengan kebutuhan dasar manusia dan hirarki A.Maslow
sebagai berikut:
1. Pada tingkatan dasar (basic level), fasilitas kota yang disediakan adalah
semua kebutuhan fisik masyarakat antara lain: tempat tinggal dan tempat
kerja, pendapatan yang memadai, pendidikan dan kursus, transportasi dan

40
memungkinkan untuk mengadakan komunikasi dengan fasilitas-fasilitas
dan pelayanan-pelayanan kota.
2. Pada tingkatan kedua, hal-hal yang harus diperhatikan oleh kota adalah
keselamatan (safety), keamanan (security) dan perlindungan (protection),
unsur visual, fungsi, susunan dan kontrol terhadap lingkungan yang harus
bebas dari polusi, kebisingan, kecelakaan, dan krimininalitas.
3. Tingkatan yang ketiga adalah menciptakan lingkungan sosial yang
kondusif. Suatu tempat yang penghuninya mempunyai pertumbuhan yang
baik, anak-anak mereka bisa saling mengadakan sosialisasi, mereka
merasa sebagai bagian dari komunitas dan merasa memiliki terhadap
lingkungannya.
4. Tingkatan yang keempat, bahwa fasilitas kota harus memberikan kesan
yang cocok (appropriate image), reputasi yang baik serta gengsi yang
dapat menggambarkan penghuninya. Disamping dapat memberikan rasa
percaya diri yang kuat, status dan martabat yang tinggi bagi mereka.
5. Pada tingkat diatasnya (kelima), fasilitas kota harus dapat memberi
kesempatan penghuninya untuk berkreasi sendiri, membentuk ruang
pribadi yang mengekspresikan pribadi mereka. Disamping itu, secara
bersama-sama mereka juga dapat menciptakan daerah dan lingkungannya
sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka sendiri.
6. Tingkat yang terakhir, bahwa fasilitas kota harus berupa karya desain yang
bagus, sebagai tempat yang estetis, secara fisik dapat memberi kesan yang
mendalam, merupakan suatu tempat budaya dan karya seni yang bermutu.

41
2.5.1

Pengertian ruang terbuka publik di pusat kota
Ruang Terbuka Publik di Pusat Kota dalam istilah Inggris disebut "place"

berasal dari kata latin "platea" yang berarti ruang terbuka publik atau jalan yang
diperlebar seperti pada "plaza" di Spanyol atau "piazza" di Italia atau kata yang lebih
khusus seperti "square". Paul Zucker (1959) menyatakan bahwa square adalah
tempat orang-orang berkumpul untuk bersosialisasi, melindungi mereka dari hirukpikik lalu-lintas, membebaskan mereka dari tekanan kesibukan di pusat kota.
Kualitas hidup di dalam kota merupakan hasil interaksi antara manusia dan
lingkungan kota mereka (Das, 2008). Penelitian terkini di berbagai kota di dunia telah
melihat suatu masalah yang sama bagi ruang terbuka publik di dalam kota, yaitu
meningkatnya perubahan lingkungan dan fungsi ruang terbuka publik. Termasuk di
dalamnya privatisasi, komersialisasi dan pembatasan ruang terbuka publik,
menimbulkan dampak meningkatnya segregasi, isu keamanan, terbentuknya
kelompok eksklusif dan berbagai masalah sosial lainnya (Turner, 2002; Atkinson,
2003).
Mengacu pada (Miethe dikutip dari Williams & Green, 2001), alasan terbesar
orang enggan ke ruang publik adalah ketakutan akan tindak kejahatan. Selain itu,
beberapa faktor penyebab sebuah ruang publik gagal adalah ketiadaan tempat
berkumpul atau istirahat, akses masuk yang jelek atau tak terjangkau, sarana
pendukung tidak berfungsi, dan ketiadaan „nilai kebersamaan‟ pada ruang publik.
Karena itu, sebuah ruang publik harus dikelola dengan tepat, baik dari proses
penyediaan, desain, hingga perawatan.

42
Michael Webb (1990) beranggapan bahwa square adalah mikrokosmos dari
kehidupan, menawarkan daya tarik, peristirahatan, pasar dan upacara rakyat, tempat
untuk berjumpa teman dan menghabiskan waktu. Moughtin (1992) menemukan
bahwa square adalah areal yang dibingkai oleh bangunan-bangunan untuk
memamerkan bangunan tersebut sebagai karya agung. Selanjutnya dinyatakan bahwa
sebuah kota harus memilki ruang untuk penempatan bangunan umum, tempat
bertemu yang utama, tempat untuk perayaan atau upacara umum yang besar, tempat
untuk pertunjukan, restoran dan cafe, tempat untuk berbelanja, pasar dan etalase,
tempat dimana bangunan kantor mengelompok, tempat akomodasi rumah tinggal,
tempat yang berhubungan dengan simpul-simpul transportasi.
Krier (1992) menyatakan bahwa suatu square harus dapat berfungsi sebagai
tempat aktifitas komersial seperti pasar, kegiatan budaya, tempat berdirinya kantor
pelayanan umum, balai kota, gelanggang remaja, perpustakaan, teater, balai konser,
cafe, bar, dan lain-lain. Jika memungkinkan square di pusat kota harus dapat
berfungsi 24 jam sehari.
Di samping itu budaya populer merambah masyarakat perkotaan dimana
proses ekonomi mereka didorong oleh media massa yang bermain dengan citra
(image) dan penampilan. Proses kapitalisasi menjadi salah satu pendorong bagi
konsumsi kota yang terkesan terus meningkat.
Karena itu, budaya populer adalah alat untuk memanipulasi tidak saja sekedar
memediasi dan mendefinisikan realitas, tetapi juga secara implisit menyediakan
serangkaian nilai (Bigsby, 1976). Nilai-nilai tradisional masyarakat diadopsi dalam
kebudayaan pop dalam masyarakat kota yang haus akan citra yang lebih modern.

43
Dari beberapa pengertian tentang square dapat disimpulkan bahwa square
bukanlah suatu ruang terbuka publik biasa yang ada di daerah urban, melainkan suatu
ruang terbuka publik di pusat kota dengan suatu ciri khas tersendiri. Tidak semua
ruang terbuka publik di daerah urban dapat digolongkan kepada square. Dalam tesis
ini pengertian square diterjemahkan menjadi Ruang Terbuka Publik di Pusat Kota,
yaitu ruang terbuka yang mempunyai ciri antara lain, sebagai berikut:
1. Berada di pusat kota;
2. Berupa ruang terbuka yang cukup luas (Kostof, 1992), merujuk Laws of
Indies yang mengatur ukuran minimum square (61 x 91 m);
3. Menjadi pusat kegiatan publik di pusat kota (Moughtin, 1992);
4. Pilihan utama masyarakat kota untuk tempat berkumpul, disekitarnya
terdapat bangunan-bangunan publik dan atau bangunan religius,
merupakan bagian dari bentukan arsitektur yang ada disekelilingnya
(Kostof, 1992);
5. Mempunyai

signifikansi

sejarah,

dapat

mengakomodasi

parkir,

dimungkinkan;
6. Melakukan kegiatan komersial non-formal, kadangkala ia berisi suatu
monumen utama, patung atau air mancur (Marcus,1998).

2.5.2

Arti penting ruang publik
Karakteristik ruang publik sebagai tempat interaksi warga masyarakat sangat

penting dalam menjaga dan meningkatkan kualitas kawasan perkotaan. Ruang publik
di Indonesia memiliki arti yang sangat penting dan strategis secara hukum, yaitu

44
dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan
Ruang. Sedangkan dalam Pasal 28 ditegaskan perlunya penyediaan Ruang Terbuka
Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH) di dalam suatu kota.
Ruang Terbuka Hijau adalah ruang terbuka yang pemanfaatannya lebih
bersifat pengisian hijauan tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah atau
budidaya tanaman. Ruang Terbuka Hijau dinyatakan sebagai ruang-ruang dalam kota
atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk taman kota, taman kampus, taman
rumah, jalur hijau, hutan kota dan bantaran sungai (Instruksi Mendagri No. 14 Tahun
2008).
Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka
(open spaces) suatu wilayah perkotaan yang disi oleh tumbuhan, tanaman dan
vegetasi guna mendukung manfaat langsung dan/tidak langsung yang dihasilkan oleh
RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan dan keindahan
wilayah perkotaan tersebut (Sumarmi, 2006).
Secara umum ruang terbuka publik di perkotaan terdiri dari Ruang Terbuka
Hijau (RTH) dan Ruang terbuka Non Hijau (RTNH), Ruang Terbuka Hijau (RTH)
perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka suatu wilayah perkotaan yang diisi
oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi guna mendukung fungsi ekologis, sosial
budaya dan arsitektural yang dapat memberi manfaat ekonomi dan kesejahteraan bagi
masyarakatnya, seperti antara lain (Gambar 2.3): (1) Fungsi Ekologis, RTH dapat
meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara dan
pengatur iklim mikro; (2) Fungsi Sosial Budaya, keberadaan RTH dapat memberikan
fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi dan sebagai tetenger (landmark)

45
kota; (3) Fungsi Arsitektural, RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan
kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota dan jalur hijau jalan; (4)
Fungsi Ekonomi, RTH sebagai pengembangan sarana wisata hijau perkotaan yang
dapat mendatangkan wisatawan.

Gambar 2.3 Tipologi RTH
Sumber: PERMEN PU No. 05/PRT/M/2008

Gambar 2.4 menjelaskan bagaimana bentuk RTNH yang dapat digunakan
sebagai ruang publik.

Gambar 2.4 Penyediaan RTNH di Kawasan Perkotaan
Sumber: PERMEN PU No.12/PRT/M/2009

46
Ruang terbuka non-hijau merupakan ruang yang secara fisik bukan berbentuk
gedung dan tidak dominan ditumbuhi tanaman ataupun permukaan berpori, dapat
berupa perkerasan atau badan air ataupun kondisi tertentu lainnya (misalnya :Badan
lumpur, pasir, gurun, cadas, kapur, dan lain sebagainya). Secara defenitif, ruang
terbuka non-hijau dapat dibagi menjadi ruang terbuka perkerasan (paved), ruang
terbuka biru (badan air) serta Ruang terbuka kondisi tertentu lainnya (Permen-PU
Nomor 12/PRT/M/2009).
Ruang terbuka hijau (RTH) kota dari tahun ke tahun mengalami kesan yang
sangat negatif, karena luas RTH dari tahun ke tahun yang semakin menurun. Selama
30 tahun terakhir terbuka hijau di kota-kota besar Indonesia seperti Jakarta, Bandung,
Medan, Surabaya dan Semarang cenderung terus menyusut
Lebih jauh perancangan dan pengembangan ruang publik merupakan hal yang
signifikan untuk kota maupun perkotaan karena:
1. Ruang publik merupakan konstruksi sosial dari ruang.
Ruang disekitar kita baik ruang tempat bermukim hingga ruang yang kita
kunjungi ketika berpergian, merupakan bagian dari realitas sosial. Perilaku
spasial yang ditentukan dan menentukan ruang sekitar kita merupakan
bagian yang terintegrasi dengan eksistensi sosial kita.
2. Ruang publik menciptakan batasan spasial.
Pembentukan batasan spasial menjadi prasyarat utama dalam perancangan
kota (Cullen, 1971). Sebagai nodal dan landmark, ruang publik berguna
untuk menavigasi kota (Lynch, 1960). Jalan dan ruang terbuka seperti
lapangan menjadi huruf-huruf yang akan digunakan untuk membaca dan

47
merancang ruang perkotaan (Krier, 1979). Menciptakan batasan ruangruang yang hidup dan aktif dilihat sebagai kondisi yang penting untuk
keberhasilan penyediaan ruang publik. Hal ini menjadi sangat penting bagi
perancangan kota untuk menciptakan ruang publik positif, dimana ruang
dibatasi oleh bangunan, bukan dibatasi oleh apa yang tertinggal dari suatu
pembangunan (Alexander et al, 1987).
3. Adanya reintegrasi dari pembagian sosio-spasial.
Ruang publik menjadi mediator antara ruang privat yang mendominasi
wilayah kota dan memainkan peran penting dalam pembagian
sosiospasial. Tanpa adanya proses mediasi, maka pergerakan spasial di
dalam kota menjadi sangat terbatas. Sama seperti kondisi yang
berkembang di abad pertengahan di kota-kota Mediterania dimana
permukiman dipisahkan oleh dinding dan gerbang. Kondisi saat ini pun
memperlihatkan banyaknya permukiman yang dijaga keamanannya serta
jaringan jalan yang ada banyak dikotak-kotakkan dan dibatasi aksesnya.
4. Adanya integrasi kota menuju fragmentasi fungsional.
Pada jaman modern, integrasi fungsional kota cenderung menghilang dan
memudar. Perkembangan ukuran ruang kota telah membawa pada
spesialisasi ruang, dimana terjadi pemisahan hubungan simbolis dan
fungsional dari lingkungan publik dan privat. Teknologi transportasi telah
memungkinkan masyarakat untuk hidup dan bekerja di luar kota serta
ruang pusat kota dapat dihindari dari tingginya jumlah penduduk.
Kemampuan untuk menjangkau seluruh ruang perkotaan telah mengurangi

48
kontak fisik antara penduduk kota dan lingkungan terbangunnya, seperti
yang telah berlangsung sepanjang sejarah (Sennett, 1994). Ruang publik
kota cenderung menjadi ruang residual yang digunakan untuk parkir
kendaraan atau untuk kegiatan pariwisata dan perdagangan. Lebih lanjut,
sejumlah tempat di kota dibuka untuk publik dan dilihat sebagai milik
publik, seperti restoran, museum, perpustakaan, dan bioskop. Tempattempat ini memegang peranan yang penting dan signifikan. Dengan cara
yang sama seperti pusat perbelanjaan berfokus pada perdagangan dan
restoran memiliki fungsi tertentu serta jam operasional yang dibatasi oleh
aturan tersendiri.

2.6

Kaitan Kajian Teori terhadap Kegiatan Penelitian
Pemerintah Kota Medan baru saja menyelesaikan suatu proses penataan ruang

sebagai upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap keberadaan ruang publik,
salah satu diantaranya adalah kawasan Lapangan Merdeka Medan.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2011-2031 sebagai hasil dari
kegiatan tersebut seharusnya sudah mengelola ruang wilayah secara serasi, selaras,
seimbang, berdaya guna, berhasil guna, berbudaya dan berkelanjutan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dan menjaga semua
kepentingan secara terpadu yang dilaksanakan secara bersam