Persepsi Masyarakat Terhadap Perubahan Tata Guna Lahan Lapangan Merdeka Kota Medan

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Perkembangan wilayah kota yang dinamis membawa perubahan terhadap

kehidupan masyarakat kota itu sendiri. Perkembangan kota membawa perubahan
aktivitas masyarakat kota dalam bentuk fungsi kota yang tidak sekedar bertambah
secara kuantitatif tetapi juga semakin bervariasi dari waktu ke waktu. Salah satu
bagian fungsi dari kota adalah ruang terbuka publik, yaitu tempat bertemunya orangorang untuk berinteraksi secara bebas sesuai dengan kebutuhannya.
Peran ruang terbuka publik bagi masyarakat kota sangat penting, selain
menyangkut tata ruang fisik lingkungan, ruang publik juga mengemban fungsi dan
makna sosial dan kultural yang sangat tinggi. Namun, pertumbuhan kota yang cepat
menyebabkan tuntutan kebutuhan lahan perkotaan makin meningkat. Komersialisasi
dan Privatisasi lahan baik secara individual maupun badan hukum/lembaga telah
menyebabkan keberadaan dan kualitas ruang terbuka publik menjadi terganggu.
Beberapa dasawarsa terakhir, semakin banyak orang yang tinggal di kota-kota

yang padat, dimana pembangunan perkotaan selalu berubah dengan cepat, demikian
juga disemua kota-kota di Asia. Diantara semua jenis ruang yang berubah dengan
cepat dalam pembangunan kota-kota tersebut adalah ruang terbuka publik, seperti
jalan, pasar-pasar, lapangan, plaza dan berbagai jenis ruang terbuka publik lainnya
(Marcus dan Francis, 1998; Gastil & Ryan, 2004).

1

2
Ruang terbuka publik merupakan salah satu bagian yang tidak terelakkan dari
kehidupan manusia. Setiap disiplin ilmu seperti antropologi, sosiologi, political
science atau hukum memiliki definisi masing-masing terhadap ruang terbuka publik.

Pemerintah Inggris mendeskripsikan ruang publik sebagai suatu sistem kompleks
berkaitan dengan segala bagian bangunan dan lingkungan alam yang dapat diakses
dengan gratis oleh publik yang meliputi: jalan, square, lapangan, ruang terbuka hijau,
atau ruang private yang memiliki keterbukaan aksesibilitas untuk publik (Carmona,
Tisdell, Heath, & Oc, 2010).
Carmona, et al, (2010) menyatakan ada tiga kualitas yang menentukan
relativitas „ke-publik-an‟ suatu ruang yakni kepemilikan fungsi, akses dan kegunaan.

Selama memiliki kepemilikan fungsi yang netral, dapat diakses oleh publik dan
digunakan secara bersama-sama oleh individu atau kelompok yang berbeda, maka
dapat dikategorikan sebagai ruang terbuka publik. Ruang terbuka publik memiliki
banyak dampak positif untuk kehidupan kota. Menurut forum kota GreenSpace,
ruang publik terutama taman memiliki tiga nilai penting terhadap kota yakni nilai
sosial, nilai lingkungan dan nilai ekonomis. Taman menyediakan ruang di mana
orang bisa mendapatkan udara segar, berjalan-jalan, olahraga atau hanya menikmati
sekitarnya. Ruang hijau memberikan kesempatan masyarakat untuk belajar mulai dari
ilmu lingkungan, biologi, kesehatan, sosial, dan kesejahteraan. Pohon dan tanaman di
ruang hijau memainkan peran penting dalam meningkatkan kualitas udara dan
mengurangi polusi di lingkungan perkotaan.
Minimnya ruang terbuka publik dikhawatirkan terjadinya berbagai masalah
sosial kemasyarakatan sebagai akibat dari kurangnya kebersamaan dan sosialisasi

3
antarwarga. Masyarakat tidak lagi memiliki ruang bersama untuk saling berinteraksi,
komunikasi antar warga, anak-anak tidak lagi memiliki tempat bermain di ruang luar,
sehingga budaya kebersamaan dan toleransi semakin terkikis. Ruang publik menurut
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahwa Ruang
Terbuka Hijau (RTH) paling sedikit 40% dari total luas wilayah kota dengan proporsi

30% untuk (RTH) dan 10% untuk ruang terbuka publik yang secara institusional
harus disediakan oleh pemerintah di dalam peruntukan lahan di kota-kota di
Indonesia.
Sejalan dengan pertumbuhan pembangunan tersebut terjadi perubahan kualitas
hidup dan cara penggunaan ruang terbuka publik di dalam kota yang menunjukkan
kebutuhan masyarakat terhadap ruang terbuka publik telah berubah. Dibanyak kotakota Asia orang lebih memilih untuk memiliki rumah dan perabotan yang lebih baik,
ruang publik yang lebih nyaman adalah taman tema, dan fasilitas hiburan konsumtif
lainnya (Siu, 2008). Kecenderungan untuk menghilangkan ruang terbuka publik dan
meningkatnya komunitas berpagar telah menjadi pertentangan dengan kehidupan
sosial yang solider dan harmonis, menuju “akhir dari budaya publik” (Sennett, 1995).
Hal di atas bertentangan dengan konsep normatif ruang terbuka di dalam kota
sebagai bagian yang integral dengan ruang yang merupakan ruang tempat berinteraksi
sosial, integrasi budaya, ekspresi demokrasi dan harmonisasi politik (Carr, 1992).
Demikian juga kualitas lingkungan di dalam kota tidak hanya ditentukan oleh elemen
fisik-fungsional saja tetapi juga harus memenuhi kebutuhan sosial, budaya, psikologi
dan ideologi (Rapuano & Wigginton, 1994). Dalam buku Project for Public Places,
sebuah ruang publik yang baik harus memperhatikan 4 faktor utama yakni: (1) Akses

4
dan linkage; (2) Tujuan dan aktivitas; (3) Kenyamanan dan tampilan; dan (4)

Keramahan (Carmona, Tisdell, Heath, & Oc, 2010).
Li (2003) mengungkapkan bahwa pembangunan ruang terbuka di Dalian, Cina
adalah bagian dari kebijakan regenerasi Kota Dalian dengan pertimbangan utama
adalah menyediakan kepada penduduk ruang terbuka untuk menikmati kehidupan dan
meningkatkan kualitas lingkungan kota. Beberapa kebijakan tentang ruang terbuka
publik antara lain adalah kebijakan tata guna lahan bagi ruang terbuka publik,
jaringan pedestrian di pusat kota, fungsi komersil dan aktivitas di ruang terbuka
publik, penataan fasade bangunan, penataan parkir, dan manajemen ruang terbuka
publik.
Banyak kota terutama kota-kota besar menghadapi permasalahan yang
berkaitan

dengan

pesatnya

pertambahan

penduduk


yang

tercermin

pada

perkembangan dan munculnya daerah terbangun. Kedua hal inilah sebenarnya yang
menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan lahan sebagai ruang untuk manusia
hidup dan menyelenggarakan berbagai kegiatan usahanya (Sujarto, 1992). Dengan
demikian area perkotaan akan selalu menarik untuk dijadikan pusat kegiatan
intelektual, kebudayaan, dan perdagangan karena fasilitas infrastruktur di perkotaan
lebih lengkap dibandingkan dengan pedesaan. Tidak mengherankan jika kota akan
mengalami pertumbuhan perekonomian yang pesat dan mempengaruhi percepatan
perkembangan fisik kawasan.
Tidak dapat dihindari bahwa percepatan perkembangan fisik kawasan akan
mempengaruhi kota yang tercermin pada kehidupan ekonomi dan sosio-politik, pada
sifat-sifat fisik, dan tata ruangnya (Branch, 1996) dengan kata lain terjadi pergeseran

5
fungsi ruang. Kelangsungan hidup suatu kota secara ekonomis lebih kuat dan lebih

sulit terkena pengaruh bila suatu kota memiliki fungsi jamak. Hal ini sejalan dengan
peningkatan kebutuhan ruang untuk menampung kegiatan akibat pertumbuhan
ekonomi. Faktor itulah yang menyebabkan sebagian besar kota-kota berupaya untuk
melakukan diversifikasi basis ekonominya.
Berbicara tentang ruang publik dalam pengertian politis (political public
sphere), berarti bagaimana diskusi publik yang terbentuk dari kepentingankepentingan individu dihubungkan dengan kekuasaan negara. Ruang publik politis
adalah ruang publik yang menjembatani antara kepentingan publik dan negara, yang
mana publik mengorganisasi dirinya sebagai pemilik opini publik berdasarkan prinsip
demokrasi (Habermas, 2002). Ruang publik (politis) ini pada esensinya merupakan
ruang demokrasi bagi publik untuk menyampaikan aspirasinya terhadap pemerintah
sebagai penanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan (kekuasaan). Artinya
bahwa ruang publik tersebut berasal dari kepentingan publik, oleh kepentingan
publik, dan untuk kepentingan publik itu sendiri, tanpa campur tangan dari pihakpihak tertentu, seperti pribadi atau kelompok, maupun dari pihak pemerintah. Jadi,
esensi ruang publik adalah nilai-nilai demokrasi yang mementingkan kepentingan
bersama (publik). Nilai demokrasi maksimal inilah yang menjadi inti suatu ruang
publik politis.
Guna menjaga keseimbangan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan fisik
kota serta aspek-aspek kehidupan yang lainnya, perlu adanya suatu pedoman yang
dapat mengendalikan serta mengarahkan perkembangan fisik lingkungan kawasan.
Agar pemahaman masyarakat terhadap Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK)


6
dapat optimal dan tepat sasaran maka perlu diatur kembali agar lebih operasional di
lapangan. Menurut Permendagri No. 2/1987, Keputusan Menteri Nomor 33 Tahun
1992 dan Perda No. 7/1999 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Umum Tata
Ruang Kota memuat rumusan tentang kebijaksanaan pengembangan kota, rencana
pemanfaatan ruang kota, rencana struktur utama tingkat pelayanan kota, rencana
sistem utama transportasi, rencana sistem utama jaringan utilitas kota, rencana
pemanfaatan air baku, indikasi unit pelayanan kota dan rencana pengelolaan
pembangunan kota.
Perkembangan Kota Medan sebagai kota metropolitan begitu pesat dan
mengagumkan. Data BPS Kota Medan tahun 2011 menunjukkan jumlah penduduk
mencapai 2.778.902 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 10.482,5 jiwa/km2,
dengan laju pertumbuhan ekonomi Kota Medan pada tahun 2012 mencapai 7,9
persen dengan PDRB sebesar Rp 93,1 triliun. Tetapi sayang perkembangan tersebut
tidak diikuti dengan tersedianya sarana ruang terbuka publik yang memadai.
Salah satu ruang terbuka publik di kawasan pusat Kota Medan adalah
Kawasan Lapangan Merdeka Medan. Kawasan Lapangan Merdeka Medan
merupakan bagian awal terbentuknya Kota Medan yang diawali sebagai daerah
perkebunan tembakau Deli. Setelah tahun 1927 area seluas kurang lebih 175m x

275m akhirnya ditetapkan sebagai taman kota (Passchier, 1995). Di lapangan ini
terjadi beberapa peristiwa bersejarah dan hingga saat ini Lapangan Merdeka dan
sekitarnya merupakan kawasan di pusat Kota Medan dengan konsentrasi bangunan
bersejarah yang sangat tinggi, sebagai hasil peninggalan arsitektur pada zaman
kolonial Belanda.

7
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031, menyatakan
bahwa salah satu kawasan RTNH di Kota Medan adalah Lapangan Merdeka sebagai
tempat berkumpul sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang tertuang dalam
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 13 Tahun 2011. Lapangan Merdeka Medan
saat ini terdefinisi sebagai ruang terbuka publik kota yang pada arealnya terdapat
adanya pengelolaan swasta untuk kepentingan usaha.
Dengan meningkatnya aktivitas masyarakat di Lapangan Merdeka kota
menjadi lebih aman dan terkontrol sebagai tempat warga berinteraksi, ekonomi dan
budaya, dengan penekanan utama pada aktivitas sosial, namun, disaat yang sama,
Lapangan Merdeka juga telah mengakomodasi segregasi sosial, ketika ruang terbuka
bersejarah ini kini terbagi menjadi beberapa zona dengan segmen pasar dari kelas
sosial berbeda (Nasution, 2010).
Bangunan-bangunan disekitarnya sampai saat ini merupakan cerita masa lalu

yang bisa diangkat kembali untuk dijadikan identitas kawasan yang diambil sejarah
kota Medan sebagai kota perkebunan dan Kota Medan sebagai kota kolonial dalam
perkembangnnya. Beberapa bangunan sampai saat ini masih terlihat kontinuitasnya
dan persistensinya misalnya Gedung London Sumatera, Kantor Pos, Stasiun Kereta
Api dan beberapa bangunan yang mempunyai nilai sejarah yang kuat dan ikut
membentuk Lapangan Merdeka sebagai kawasan kolonial saat itu. Keberadaan
bangunan yang berada disekitar Lapangan Merdeka dipertegas dengan beberapa
lorong yang ada disekitar Lapangan Merdeka dengan kekentalan gaya kolonialnya.
Ruang terbuka publik merupakan bagian dari pembangunan wilayah di
perkotaan yang sangat penting untuk diperhatikan. Koridor “Merdeka Walk”

8
(Lapangan Merdeka) merupakan wilayah yang memiliki nilai historis yang tinggi,
baik dari bangunan maupun lingkungannya sendiri. Perkembangan pembangunan
yang pesat menuntut adanya suatu pelestarian baik preservasi maupun konservasi.
Namun seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan jaman, konsep dan
praktik nilai-nilai (kondisi-kondisi) Lapangan Merdeka Medan sebagai ruang publik
terbuka, perlahan-lahan mulai berubah dan dimuati dengan nilai-nilai (kondisikondisi) ruang publik kontemporer yang banyak diintervensi oleh kepentingan
pemerintah dan pemilik modal (pasar) yang dimediasi oleh media massa, sehingga
keberadaannya bisa terancam dari segi fungsi dan maknanya. Pemerintah Kota

Medan justru telah mengijinkan adanya aktivitas dalam pengelolaan kawasan
Lapangan Merdeka yang lebih condong kepada bisnis seperti Merdeka Walk diikuti
dengan perjanjian yang dikenal dengan BOT (Build Operate Transfer) selama 20
tahun (setelah habis masanya dapat diperpanjang kembali).
Perkembangan kawasan Lapangan Merdeka Medan erat kaitannya dengan
perilaku masyarakat melalui persepsinya dalam merespon lingkungan mengingat
masyarakat merupakan pakar lokal, pemegang informasi, dan usable knowledge yang
amat berguna dalam pengelolaan dan perencanaan pembangunan (Lindblom dalam
Hadi, 2005).
Senada dengan Lindblom, Jurgen Habermen (Haberman, dalam Hadi et al,
2005)

mengemukakan

perlunya

menggunakan

pendekatan


perilaku

dalam

perencanaan pembangunan yang menggunakan bahasa keseharian yang mengambil
informasi dan menerjemahkan pengetahuan tentang perilaku manusia termasuk nilai,
rasa, dan penilaian internal sebagaimana masyarakat bertingkah laku. Intisari

9
pemikiran kedua tokoh tersebut adalah adanya krisis dalam kegiatan perencanaan
yang salah satunya disebabkan oleh tidak adanya keharmonisan antara pemikiran
perencana dengan prilaku dan persepsi masyarakat pengguna produk perencanaan
terebut.
Dalam konteks studi ini maka perlu dikaji bagaimana persepsi masyarakat
kota Medan terhadap perubahan tata guna lahan Lapangan Merdeka di Kota Medan.
Sehingga diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam penentuan kebijakan
penataan Lapangan Merdeka sebagai ruang publik kedepannya. Dengan mengetahui
persepsi masyarakat berarti mengetahui nilai-nilai dan prilaku yang ada pada
masyarakat sehingga dapat menjadi masukan bagi perencana dan pemangku
kepentingan Kota Medan, khususnya dalam penataan Lapangan Merdeka
kedepannya.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang dikaji dalam
penelitian ini adalah bagaimana persepsi masyarakat terhadap perubahan tata guna
lahan di Lapangan Merdeka Kota Medan.

1.3 Landasan Teori
Persepsi, menurut Jalaludin (2009) adalah pengalaman tentang objek, peristiwa,
atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan
menafsirkan pesan. Menurut Ruch (2007) persepsi adalah suatu proses tentang
petunjuk petunjuk inderawi (sensory) dan pengalaman masa lampau yang relevan

10
diorganisasikan untuk memberikan kepada kita gambaran yang terstruktur dan
bermakna pada suatu situasi tertentu.
Atkinson dan Hilgard (2004) mengemukakan bahwa persepsi adalah proses
dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan pola stimulus dalam lingkungan.
Gibson dan Donely (1994) menjelaskan bahwa persepsi adalah proses pemberian arti
terhadap lingkungan oleh seorang individu. Dikarenakan persepsi bertautan dengan
cara mendapatkan pengetahuan khusus tentang kejadian pada saat tertentu, maka
persepsi terjadi kapan saja stimulus menggerakkan indera. Dalam hal ini persepsi
diartikan sebagai proses mengetahui atau mengenali obyek dan kejadian obyektif
dengan bantuan indera.
Menurut Walgito (2003) sikap individu terhadap lingkungannya dapat berupa:
(1) Individu menolak lingkungannya, yaitu bila individu tidak sesuai dengan keadaan
lingkungannya; (2) Individu menerima lingkungan, yaitu bila keadaan lingkungan
cocok dengan keadaan individu; (3) Individu bersikap netral atau status quo, apabila
individu tidak mendapat kecocokan dengan keadaan lingkungan, tetapi dalam hal ini
individu tidak mengambil langkah-langkah yang lebih lanjut, yaitu bagaimana
sebaiknya bersikap.
Menurut Sari (2009) pertumbuhan penduduk yang terus meningkat
menjadikan kebutuhan ruang semakin tidak terbatas. Aktifitas masyarakat baik dari
segi ekonomi, sosial, maupun yang lainnya dari waktu ke waktu berdampak pada
meningkatnya kebutuhan penggunaan lahan. Fenomena ini berkembang di wilayah
perkotaan dan menjadikan eksplorasi ruang yang kurang terkendali. Meskipun
banyak ruang yang sudah diatur dalam berbagai bentuk kebijakan, namun tidak

11
semua bentuk perkembangan keruangan terwadahi, apalagi dengan keberadaan lahan
yang bersifat statis dan harga lahan yang semakin tinggi memicu persaingan dan
konflik dalam memanfaatkan ruang.

1.4

Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menemukan kesimpulan tentang bagaimana persepsi masyarakat terhadap
perubahan tata guna lahan Lapangan Merdeka di Kota Medan.
2. Menemukan faktor-faktor penting dan berperan sehubungan dengan persepsi
masyarakat sebagai masukan bagi perencanaan Lapangan Merdeka
kedepannya.

1.5

Batasan Penelitian
Untuk mempertegas batas penelitian tesis ini, maka perlu dibuat batasan-

batasan penelitian yang mencakup hal-hal: (1) Responden adalah penduduk kota
Medan dengan umur serendahnya 26 tahun dan pernah mengunjungi Lapangan
Merdeka Kota Medan. Dengan demikian mayoritas umur responden ketika terjadi
perubahan tata guna lahan signifikan di Lapangan Merdeka Kota Medan (2005)
sekurangnya adalah sekitar 18 tahun; (2) Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif
dengan menggunakan alat berupa lembaran-lembaran kuesioner yang telah dirancang
sesuai tujuan penelitian; (3) Skala pengukuran yang digunakan untuk mengetahui
persepsi masyarakat adalah Skala Likert; (4) Obyek studi adalah Lapangan Merdeka
yang terletak di Kecamatan Medan Barat Kota Medan yang ada sekarang ini.

12

1.6 Kerangka Berpikir
Kerangka berfikir dalam tesis ini secara garis besar memberikan gambaran yang
menjelaskan proses penelitian melalui tahap-tahap yang tersusun secara sistematis
seperti pada Gambar 1.1.
Latar Belakang
Perubahan tata Guna Lahan
Lapangan Merdeka Sebagai
Ruang Publik

Rumusan Permasalahan
Pengelolaan Kawasan
Lapangan Merdeka lebih
condong kepada bisnis dan
nilai-nilai Lapangan Merdeka
Medan sebagai ruang publik
terbuka, perlahan-lahan mulai
tergerus.

Data Sekunder
a.Studi
literatur/buku
b.Hasil penelitian
sejenis

Tujuan Penelitian
Mengetahui persepsi
masyarakat terhadap perubahan
tata guna lahan Lapangan
Merdeka

Hasil Penelitian

Kesimpulan/Saran

Gambar 1.1 Kerangka Berpikir

Data Primer
a.Kuesioner
b.Pengukuran

a. Masyarakat

13

1.7

Struktur Penulisan
Struktur penulisan yang akan digunakan dalam proses penyusunan tesis ini

terdiri dari:
1. Bab I. Pendahuluan
Bab ini menjelaskan latar belakang, rumusan masalah, landasan teori, tujuan
penelitian, batasan penelitian, kerangka berpikir dan struktur penulisan.
2. Bab II. Tinjauan Pustaka
Bab ini membahas mengenai tinjauan pustaka terkait dengan penelitian yang
terdiri dari kajian tentang teori persepsi masyarakat, teori perubahan tata
guna lahan, persepsi masyarakat terhadap perubahan tata guna lahan,
manajemen strategi dan kaitan-kajian teori terhadap kegiatan penelitian.
3. Bab III. Metodologi Penelitian
Bab ini membahas mengenai metodologi penelitian yang secara garis besar
akan membahas tentang metode penelitian itu sendiri, penetapan populasi
dan sampel, identifikasi variabel penelitian, teknik pengumpulan data, teknik
pengolahan data, teknik analisis data, serta tahapan penelitian secara umum.
4. Bab IV. Gambaran Umum Wilayah Studi
Bab ini membahas tentang kondisi kawasan kajian secara umum, yaitu
kondisi umum Kota Medan dan kondisi tata guna lahan di Kecamatan
Medan Barat.
5. Bab V. Hasil dan Pembahasan
Bab ini membahas hasil penelitian berdasarkan karakteristik responden dan
hasil penjaringan persepsi masyarakat terhadap perubahan tata guna lahan

14
lapangan Merdeka dan pembahasan hasil penelitian serta strategi yang
digunakan Pemerintah Kota Medan dalam mengelola Lapangan Merdeka
sebagai ruang publik berdasarkan teori-teori terkait.
6. Bab VI. Kesimpulan dan Rekomendasi
Bab ini memuat kesimpulan studi yang dibuat dan saran saran.