Watak Tokoh Utama dalam Kumpulan Cerpen Kacamata Tanpa Bingkai Karya Sori Siregar: Analisis psikologi Sastra

SINOPSIS
1. Kacamata Tanpa Bingkai
Paman Cortinez mengalihkan pandangannya dari layar tv. Lalu mencari
kacamatanya yang tadi diletakkannya di atas meja. Setelah memakai lagi
kacamatanya itu dan duduk tenang-tenang mengahadap layar tv, ia kelihatan
sungguh-sungguh sekali memperhatikan apa yang dilihatnya. Nah, ini suatu
pembaharuan, teriaknya ketika melihat sebuah adegan yang menarik hatinya. Itu
suatu pembaharuan menurut paman? Tanyaku. Ya. Aku kira itu hanya
perulangan—suatu ulangan yang pernah terjadi.
Paman Cortinez merasa sepuluh tahun lebih muda bila menggunakan
kacamata tampa bingkai, sedangkan Aku sebaliknya. Aku akan lebih muda
sepuluh tahun jika dia menggunakan kacamata berbingkai. Orang-orang yang ada
disekitar mereka pun tidak luput dari bahan pembicaraan mereka berdua. Kami
lalu berdiaman. Mungkin karena tidak yakin pada apa yang baru kami ucapkan
sendiri. Buatku, hal itu adalah suatu gejala yang berbahaya. Tidak percaya dengan
apa yang diuacapkan sendiri. Aku tidak tahu apakah Paman Cortinez juga
merasakan seperti itu. Ya, mungkin saja kami tidak percaya dengan apa yang baru
kami ucapkan. Karenanya kami berdua terus menatap dengan sungguh-sungguh
(atau berpura-pura sungguh-sungguh) ke layar tv.
2


Nasihat
Aku tidak berani menatap wajahnya. Nasihat beruntun yang diberikannya

tidak pernah kuminta. “jangan takut mengoreksi diri sendiri. Introspeksi itu perlu.
Kalau kita hanya berani mengemukakan kelemahan orang lain, tapi tidak mau

59
Universitas Sumatera Utara

melakukan introspeksi, sama artinya dengan menganggap diri kita sempurna.”
Aku mengangguk dengan kemuakan yang mulai merayap. Kemudian ia tertawa
pelan. Pada saat itu aku tiba-tiba berani memandang wajahnya. Keh, keh, keh ia
tertawa sinis. Aku masih menatap wajahnya. Begitu ia kembali serius aku
kehilangan keberanian untuk melanjutkan tatapanku.
Setelah itu nasihatnya berhenti. “Parulian,” kudengar ia menyebut
namaku. Aku menoleh dan menatap wajahnya. “masih kau dengar nasihatku?.”
“masih, paman.” “bagus.” Masih belum puas dengan berondongan nasihatnya
yang membosankan—walaupun tujuannya sangat baik itu—ia melanjutkan lagi.
Pamanku tersenyum. Mungkin ia membaca yang tersimpan di dadaku.
“Aku


tahu

nasihat-nasihat

yang

kuberikan

sejak

kemarin

memang

membosankanmu. Tapi, aku juga tahu, nasihatku yang terakhir sangat berarti
bagimu. Artinya, nilai-nilai keyakinan agama yang ditanamkan almarhum ayahmu
masih menyala dalam dirimu. Itulah modalmu untuk memasuki kehidupan yang
penuh dengan berbagai warna ini.
Aku tertawa. Geli. Aku sendiri tidak tahu mana yang dituduhkan

kepadaku, judi atau alkohol. Lalu siapa pula yang menyebarkan kabar yang tidak
menyenangkan itu kepada atasanku? “Terima kasih, Kris,” ujarku. “tenang
sajalah, tidak aka nada apa-apa. Percayalah.” Ketika ia akan membuka mulut lagi
aku member isyarat agar ia tidak usah melanjutkan

nasihatnya, karena aku

merasa telah cukup memperoleh nasihat berharga dari pamanku.

60
Universitas Sumatera Utara

3

Status
Status sosialku telah kulemparkan ke dalam kolam. Aku bebas dari

kungkungan atribut resmi. Ternyata banyak pihak-pihak yang tidak atau kurang
setuju. Aku telah melemparkan status sosialku ke dalam kolam dan ikan telah
merebutnya beramai-ramai. Salah satu diantaranya telah berhasil merebut bekas

statusku dan karena itu otomatis ia menjadi mahluk yang terhormat. Tokoh Aku
yang telah mencapai segalanya merasa bosan dengan sorotan orang-orang atau
media-media disekitarnya sehingga tokoh Aku melepaskan atribut resmi yang
dimilikinya. Banyak orang yang menyayangkan akan keputusan tokoh Aku
tersebut, akan tetapi tokoh Aku telah yakin akan keputusan yang telah diambilnya.
Namun pada akhirnya tokoh aku menyesal telah melepasnya dan akan sangat
susah untuk merebutnya kembali.
4

Sebuah Berita

Semula Aku tidak berniat menjadi orang radio akan tetapi ingin menjadi
seorang angkasawan. Aku memiliki sikap masa bodoh terhadap perkajaannya
karena atasan yang sangat birokratis dalam pekerjaannya dan harus menjadi
pengikut disiplin yang mati, namun dengan sikap seperti itu aku dapat berhasil
dalam pekerjaannya. Ketika suatu malam aku bekerja dan ditemani seorang
operator. Tiba-tiba datang seorang anak dengan membawa sebuah surat memasuki
kamar kontrol dengan nafas tersengal-sengal dan dengan wajah tak gembira. Anak
itu datang untuk meminta tolong kepada penyiar agar menyiarkan kabar tentang
ibunya yang sedang sakit keras kepada ayahnya. Aku sangat ingin menolong anak

itu, namun karena produser tidak member izin untuk menyiarkan, dengan terpaksa

61
Universitas Sumatera Utara

aku harus mengikuti peraturan yang sudah ditentukan. Dua hari kemudian anak
itupun datang kembali dengan wajah yang lebih sedih lagi. Anak itu memberikan
selembar kertas, lalu menangis. Aku membaca surat itu, lalu menatap matanya
dan aku sangat merasa berdosa karena tidak menyiarkan berita tentang ibunya
yang sakit keras. Dalam surat itu aku membaca bahwa ibunya telah meninggal
dunia, setelah tiga hari sakit keras. Malam itu kami menyiarkan kabar
meninggalnya ibu dari anak itu. Kemudian aku kembali kekamar penyiaran
dengan menghapus dengan menghapus mataku. Aku telah melakukan dosa diluar
sadarku.

5

Bisu
Kata “bisu” telah kami keramatkan. Yang saya maksud dengan kami


adalah saya sendiri dan Gorga. Setelah keramat kami lalu menganggapnya sakti.
Betapa tidak. Dengan membisu kami telah banyak tertolong. Tokoh Aku dan
tokoh gorga yang mempunyai sikap yang sama tentang hal-hal yang terjadi di
sekitarnya yaitu membisu. Bisu berkesan bagi dua orang sahabat yang tega
melupakan atau tidak menggunakan indera yang telah di milikinya. Tokoh Aku
merasa lebih aman dalam menjalani hidup jika dia terus membisu. Sedangkan
tokoh Gorga telah sadar bahwa membisu membuatnya seperti hidup di alam mati,
sehingga dia memilih untuk merubah prinsipnya yang membisu menjadi terbuka.

62
Universitas Sumatera Utara