Kepribadian Tokoh Utama Dalam Kumpulan Cerpen Larutan Senja Karya Ratih Kumala: Analisis Psikologi Sastra

(1)

KEPRIBADIAN TOKOH UTAMA DALAM KUMPULAN

CERPEN LARUTAN SENJA KARYA RATIH KUMALA:

ANALISIS PSIKOLOGI SASTRA

SKRIPSI OLEH

MARYSKA SILALAHI 090701039

DEPARTEMEN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KEPRIBADIAN TOKOH UTAMA DALAM KUMPULAN

CERPEN LARUTAN SENJA KARYA RATIH KUMALA:

ANALISIS PSIKOLOGI SASTRA

OLEH

MARYSKA SILALAHI 090701039

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra dan telah disetujui oleh:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum. Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P. NIP. 19620419 198703 2 001 NIP. 19590907 198702 1 002

Departemen Sastra Indonesia Ketua,


(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Kepribadian Tokoh Utama dalam Kumpulan Cerpen Larutan Senja Karya Ratih Kumala: Analisis Psikologi Sastra” adalah benar hasil karya penulis. Judul yang dimaksud belum pernah dibuat, dipublikasikan atau diteliti oleh mahasiswa lain demi memperoleh gelar kesarjanaan. Semua sumber data yang diperoleh telah dinyatakan dengan jelas, benar sesuai aslinya. Apabila dikemudian hari, pernyataan yang saya buat ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan oleh Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Medan, Desember 2013 Penulis,

Maryska Slalahi NIM : 090701039


(4)

Abstrak

Sebagai gejala kejiwaan, psikologi dalam sastra mengandung fenomena-fenomena yang tampak lewat perilaku tokoh-tokohnya. Kepribadian merupakan suatu struktur yang dinamis dari sistem psikofisik individu yang menentukan tingkah laku dan pemikiran individu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kepribadian tokoh utama berdasarkan peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh-tokoh utama yang terdapat dalam kumpulan cerpen Larutan Senja karya Ratih Kumala. Untuk mendapatkan hasil tersebut dipergunakan teori psikologi sastra dengan penerapan teori-teori psikoanalisa Sigmund Freud. Metode penelitian yang dipergunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dengan mendeskripsikan data-data yang sudah diidentifikasi lewat proses pembacaan berulang-ulang. Dalam analisis deskriptif ini, data yang diperoleh dicatat dan dipilih berdasarkan masalah yang akan dibahas. Analisisnya dilakukan dengan menganalisis dan mendeskripsikan kepribadian tokoh utama dalam kumpulan cerpen. Kepribadian yang dimaksud dalam hal ini adalah kepribadian yang dipandang sebagai suatu struktur, yaitu id, ego, dan super ego. Kemudian dilanjutkan dengan menganalisis kecemasan yang dialami tokoh utama berdasarkan kepribadiannya. Berdasarkan hasil analisis tersebut ditemukan bahwa tokoh-tokoh utama memiliki kepribadian yang didominasi oleh id, ego, dan

super ego. Kepribadian tokoh yang didominasi oleh id biasanya mengalami kecemasan neurotik, kepribadian tokoh yang didominasi oleh ego biasanya mengalami kecemasan riel, dan kepribadian tokoh yang didominasi oleh super ego biasanya mengalami kecemasan moral.

Kata-kata kunci:


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan kasih karunia-Nya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi yang berjudul “Kepribadian Tokoh Utama dalam Kumpulan Cerpen Larutan Senja Karya Ratih Kumala: Analisis Psikologi Sastra” disusun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana dari Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan, baik moril maupun materil. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Dr. M. Husnan Lubis, M.A. selaku Pembantu Dekan I, Drs. Samsul Tarigan selaku Pembantu Dekan II, dan Drs. Yuddi Adrian Muliadi, M.A. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. selaku Ketua Departemen

Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P. selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu penulis.

3. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P., selaku Dosen Pembimbing II yang


(6)

telah banyak memberikan ilmu, waktu, dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu Dra. Rosliana Lubis, selaku dosen penasehat akademik dan seluruh Bapak dan Ibu dosen yang mengajar di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis selama menjadi mahasiswa. 5. Kedua orang tuaku yang terkasih dan tercinta, Ayahanda SP. Silalahi dan

Ibunda E. Simanungkalit yang telah banyak memberikan kasih sayang, pelajaran hidup bagi penulis dan turut serta dalam mendidik, mendoakan dan mendukung baik moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan ini.

6. Saudara-saudaraku yang terkasih, Kakak-kakak, Abang, dan Adik, yang selalu mendukung, mendoakan dan menjadi inspirasi bagi penulis dalam keadaan apa pun untuk tetap bersemangat, sehingga dapat menyelesaikan perkuliahan ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis membuka diri untuk menerima kritik dan saran yang membangun demi perkembangan ilmu humaniora yang lebih bermanfaat.

Medan, Desember 2013 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 3

1.3Batasan Masalah ... 4

1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian ... 5

1.4.2 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep ... 6

2.1.1 Kepribadian ... 6

2.1.2 Tokoh Utama ... 7

2.1.3 Kecemasan ... 8

2.2 Landasan Teori ... 9

2.3 Tinjauan Pustaka ... 12

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Sumber Data ... 15


(8)

3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 16

3.3 Metode Analisis Data ... 16

BAB IV KEPRIBADIAN TOKOH UTAMA 4.1 Kepribadian ... 18

4.1.1 Larutan Senja ... 19

4.1.2 Tahi Lalat Di Punggung Istriku ... 24

4.1.3 Dalu-Dalu . ... 31

4.1.4 Pada Sebuah Gang Buntu . ... 36

4.1.5 Obral Peti Mati . ... 40

4.1.6 Buroq . ... 43

4.2 Kecemasan Tokoh Utama ... 48

4.2.1 Larutan Senja ... 50

4.2.2 Tahi Lalat Di Punggung Istriku ... 52

4.2.3 Dalu-Dalu . ... 54

4.2.4 Pada Sebuah Gang Buntu . ... 56

4.2.5 Obral Peti Mati . ... 58

4.2.6 Buroq . ... 61

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 63

5.2 Saran ... 64 DAFTAR PUSTAKA


(9)

Abstrak

Sebagai gejala kejiwaan, psikologi dalam sastra mengandung fenomena-fenomena yang tampak lewat perilaku tokoh-tokohnya. Kepribadian merupakan suatu struktur yang dinamis dari sistem psikofisik individu yang menentukan tingkah laku dan pemikiran individu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kepribadian tokoh utama berdasarkan peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh-tokoh utama yang terdapat dalam kumpulan cerpen Larutan Senja karya Ratih Kumala. Untuk mendapatkan hasil tersebut dipergunakan teori psikologi sastra dengan penerapan teori-teori psikoanalisa Sigmund Freud. Metode penelitian yang dipergunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dengan mendeskripsikan data-data yang sudah diidentifikasi lewat proses pembacaan berulang-ulang. Dalam analisis deskriptif ini, data yang diperoleh dicatat dan dipilih berdasarkan masalah yang akan dibahas. Analisisnya dilakukan dengan menganalisis dan mendeskripsikan kepribadian tokoh utama dalam kumpulan cerpen. Kepribadian yang dimaksud dalam hal ini adalah kepribadian yang dipandang sebagai suatu struktur, yaitu id, ego, dan super ego. Kemudian dilanjutkan dengan menganalisis kecemasan yang dialami tokoh utama berdasarkan kepribadiannya. Berdasarkan hasil analisis tersebut ditemukan bahwa tokoh-tokoh utama memiliki kepribadian yang didominasi oleh id, ego, dan

super ego. Kepribadian tokoh yang didominasi oleh id biasanya mengalami kecemasan neurotik, kepribadian tokoh yang didominasi oleh ego biasanya mengalami kecemasan riel, dan kepribadian tokoh yang didominasi oleh super ego biasanya mengalami kecemasan moral.

Kata-kata kunci:


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kenyataan hidup seseorang dapat ditemui dalam karya sastra yang diperankan oleh tokoh cerita. Kepribadian yang dimiliki para tokoh dalam cerita menarik untuk dikaji. Ini searah dengan pendapat Harjana yang mengatakan bahwa karya sastra dipandang sebagai objek psikologi dapat dipahami oleh seseorang dengan mengamati tingkah laku tokoh-tokohnya dengan memanfaatkan bantuan psikologi sehingga mendapatkan gambaran tingkah laku tokoh sesuai dengan apa yang diungkapkan dalam teori-teori psikologi (dalam Yudiono, 1990: 59).

Penelitian karya sastra yang dikaitkan dengan psikologi penting dilakukan sebab psikologi membantu dalam mengumpulkan kepekaan peneliti pada kenyataan, mempertajam kemampuan pengamatan, dan memberi kesempatan untuk mempelajari pola-pola yang belum terjamah sebelumnya (Wellek dan Warren, 1993: 108). Sebagai gejala kejiwaan, psikologi dalam sastra mengandung fenomena-fenomena yang tampak lewat perilaku tokoh-tokohnya. Dengan demikian, karya sastra dapat diteliti dengan menggunakan tinjauan psikologi sastra karena antara sastra dan psikologi memiliki hubungan lintas yang bersifat tidak langsung dan fungsional.


(11)

Pengertian kepribadian tersebut hanya terbatas pada ciri-ciri yang dapat diamati dan mengabaikan kemungkinan bahwa ciri-ciri tersebut dapat berubah tergantung pada situasi. Dengan kata lain, pengertian tersebut lemah karena sifatnya evaluatif. Kepribadian pada dasarnya tidak bisa dinilai. Kepribadian dipandang sebagai organisasi yang menjadi penentu atau pengaruh tingkah laku. Kepribadian dipandang sebagai sesuatu yang unik atau khas pada setiap individu. Corak dan keunikan kepribadian individu ditentukan atau dipengaruhi oleh faktor-faktor bawaan dan lingkungan.

Kehidupan manusia yang mengalami persoalan hidup dan berbagai macam goncangan sosial, baik ekonomi, sosial maupun politik, mengantarkan manusia pada situasi dan persoalan hidup yang rumit. Situasi kecemasan dan ketakutan terhadap persoalan hidup yang dialami menjadikan perkembangan kepribadian individu berbeda satu sama lain. Ciri khas pada individu ini ditampilkan dalam kumpulan cerpen Larutan Senja karya Ratih Kumala.

Dalam sebuah penelitian, topik yang akan dikaji harus menarik dan bermanfaat. Adapun alasan penulis memilih kumpulan cerpen Larutan Senja

karya Ratih Kumala menjadi bahan analisis yaitu: (1) Persoalan-persoalan yang diangkat berdasarkan pada masalah kepribadian tokoh utama yang ditinjau dari segi pendekatan psikologi sastra, (2) Imajinasi dan pengalaman pengarang sangat luas tentang sebuah dunia kejiwaan manusia yang kelam. (3) Kepribadian tokoh dan isi cerita dalam setiap cerpennya menarik untuk dibahas.

Dalam kumpulan cerpen Larutan Senja karya Ratih Kumala, banyak ditampilkan tokoh yang memiliki sifat dan kepribadian yang berbeda sehingga


(12)

perilaku tokoh dalam menghadapi setiap peristiwa juga berbeda. Perlawanan untuk berjuang dalam hidup dari masing-masing tokoh utama dipengaruhi oleh sifat-sifat yang dimiliki oleh tokoh utama. Ada empat belas cerita yang terdapat dalam kumpulan cerpen ini. Setiap cerita yang disuguhkan memiliki tokoh utama yang semuanya berkutat dengan konfliknya masing-masing. Salah satu komentar seorang pengamat sastra tentang kumpulan cerpen tersebut misalnya:

Membaca cerita-cerita Ratih Kumala, kita seperti bertamasya tak henti-henti dengan kaki pincang. Kita tak akan sampai-sampai ke pusat makna. Begitu banyak labirin yang harus dilalui, begitu sedikit rambu yang diberikan. Itu membuat kita tegang, tetapi asyik. Minder tetapi harus terus-menerus menyelesaikan pemaknaan (Triyanto Triwikromo, 2006: 146).

Kumpulan cerpen Larutan Senja (yang selanjutnya disingkat LS) mengajak kita sebagai pembacanya untuk berpetualang menyelami setiap kepribadian tokoh utama yang ditampilkan. Semakin sering membaca cerita-cerita dalam kumpulan cerpen ini, semakin kita ingin memahami lebih jauh mengenai nilai kehidupan melalui kepribadian tokoh-tokoh di dalamnya. Alasan tersebut melatarbelakangi penelitian ini dengan memfokuskan pada sastra bentuk cerpen dan pendekatan psikologi sastra untuk dapat memaparkan gambaran kepribadian dari masing-masing tokoh utama.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu:


(13)

2. Bagaimanakah bentuk kecemasan yang dialami oleh tokoh utama dalam kumpulan cerpen Larutan Senja berdasarkan kepribadiannya?

1.3 Batasan Masalah

Agar sebuah penelitian lebih terarah sehingga tujuan penelitian dapat tercapai, maka sebuah penelitian sangat membutuhkan batasan masalah. Kumpulan cerpen Larutan Senja karya Ratih Kumala menyentuh banyak aspek kehidupan dan unsur psikologi. Namun, hal yang ingin dikemukakan penulis dalam penelitian ini adalah mengenai kepribadian tokoh utama dalam setiap cerita yang akan dipilih untuk dianalisis dengan menerapkan teori psikologi sastra khususnya teori psikoanalisis Sigmund Freud.

Ada empat belas cerita yang terdapat dalam kumpulan cerpen LS dan penulis hanya akan menganalisis enam cerpen yang dijadikan sampel sebagai perwakilan dari keseluruhan cerita. Keenam cerpen yang dipilih berdasarkan pada penilaian peneliti karena peneliti menilai bahwa keenam cerpen tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitian ini. Adapun keenam judul cerpen yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu Larutan Senja, Tahi Lalat di Punggung Istriku, Dalu-Dalu, Pada Sebuah Gang Buntu, Obral Peti Mati, dan Buroq. Keenam cerpen yang akan dibahas tersebut memiliki kandungan psikologi yang sangat kental pada setiap tokoh utamanya sehingga dapat mewakili cerpen yang lainnya.


(14)

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan kepribadian tokoh utama dalam kumpulan cerpen

Larutan Senja berdasarkan analisis psikologi sastra.

2. Mendeskripsikan bentuk kecemasan yang dialami oleh tokoh utama dalam kumpulan cerpen Larutan Senja berdasarkan kepribadiannya.

1.4.2 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

1. Penelitian ini memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu sastra Indonesia terutama dalam pengkajian cerpen Indonesia modern dengan pendekatan psikologi sastra.

2. Memperluas khasanah ilmu pengetahuan terutama bidang bahasa dan sastra Indonesia, khususnya dalam analisis cerpen dengan tinjauan psikologi sastra.

b. Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian ini dapat memperluas cakrawala apresiasi pembaca umum, khususnya sastra Indonesia terhadap penganalisisan kepribadian seseorang.

2. Hasil penelitian ini dapat memperluas wawasan pembaca dalam mengetahui bentuk kecemasan yang dialami seseorang yang memiliki


(15)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Alwi, dkk, 2003: 588). Konsep memiliki arti sebagai berikut; (1) rancangan, (2) ide yang diabstrakkan dari peristiwa konkret, (3) gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, yang dipergunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (KBBI, 2007: 588). Dengan kata lain, konsep merupakan unsur penelitian yang menentukan arah pemikiran. Konsep digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan, menggambarkan, ataupun mendeskripsikan suatu topik pembahasan. Konsep yang dimaksud adalah gambaran dari objek yang akan dianalisis berupa kumpulan cerpen LS karya Ratih Kumala dalam tulisan ilmiah yang berjudul Kepribadian Tokoh Utama dalam Kumpulan Cerpen Larutan Senja Karya Ratih Kumala: Analisis Psikologi Sastra. Berdasarkan pengertian tersebut maka penelitian ini akan melibatkan beberapa konsep yang akan menjadi dasar pembahasan untuk bab selanjutnya, yaitu sebagai berikut.

2.1.1 Kepribadian

Sigmun Freud memandang kepribadian sebagai suatu struktur yang terdiri dari tiga sistem, yaitu id, ego, dan super ego (dalam Koswara, 1991: 11). Dengan kata lain, kepribadian adalah suatu struktur yang dinamis dari sistem psikofisik


(16)

individu yang menentukan tingkah laku dan pemikiran individu. Setiap individu atau pribadi manusia memiliki ciri khas sehingga individu satu dengan lainnya berbeda. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh sifat dan kebutuhan dari masing-masing individu.

Di sisi lain, individu dalam kehidupan di tengah-tengah masyarakat memiliki larangan-larangan atau peraturan untuk ketertiban interaksi sosial. Pertentangan yang terjadi antara sifat dan kebutuhan psikis seseorang dan peraturan sebagai pengendali tindakan manusia dalam masyarakat akan membentuk kepribadian seseorang sehingga memiliki ciri khas yang berbeda dengan individu lain. Oleh sebab itu, individu akan termotivasi untuk memiliki kepribadian sehingga dapat diterima di tengah-tengah masyarakat tanpa mengesampingkan kebutuhan yang diperlukan.

2.1.2 Tokoh Utama

Tokoh utama sering juga disebut dengan tokoh protagonis. Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh (Aminuddin, 2000: 79). Tokoh utama merupakan pemeran dalam suatu cerita yang memegang peran penting atau utama. Tokoh utama tidak selalu harus gagah perkasa, tapi harus selalu menjadi tokoh yang sentral.


(17)

2.1.3 Kecemasan

Kecemasan merupakan dampak dari konflik yang menjadi bagian dari kehidupan yang tidak dapat dihindari. Kecemasan adalah variabel penting dari hampir semua teori kepribadian. Kecemasan dipandang sebagai komponen dinamika kepribadian yang utama. Kecemasan adalah fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga individu dapat menyiapkan reaksi adaptif yang sesuai. Kecemasan digunakan ego sebagai isyarat mengenai adanya bahaya yang mengancam.

Freud mengklasifikasikan kecemasan ke dalam tiga tipe, yaitu sebagai berikut:

1. Kecemasan riel, yaitu kecemasan atau rasa takut pada bahaya-bahaya nyata dari luar.

2. Kecemasan neurotik, yaitu rasa takut jangan-jangan insting akan lepas kendali sehingga menyebabkan individu melakukan sesuatu yang mengakibatkan ia dihukum. Kecemasan bukanlah ketakutan pada insting-instng itu sendiri, melainkan ketakutan terhadap hukuman yang mungkin terjadi jika insting dipuaskan.

3. Kecemasan moral, yaitu rasa takut pada suara hati. Individu yang super egonya berkembang baik akan cenderung merasa bersalah jika melakukan sesuatu yang bertentangan dengan moral. Kecemasan moral juga mempunyai dasar realitas (http://liberty-aries.blogspot.com/2012/04/teori-psikologi-kepribadian-menurut.html).


(18)

2.2 Landasan Teori

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori psikologi sastra. Psikologi sastra adalah gabungan antara ilmu sastra dengan ilmu psikologi. Psikologi sastra merupakan kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan. Psikologi sastra memiliki tiga pendekatan yaitu: (1) pendekatan ekspresif yang mengkaji psikologi pengarang, (2) pendekatan tekstual yang mengkaji psikologi tokoh cerita, (3) pendekatan reseptif yang mengkaji psikologi pembaca (Endaswara, 2008: 99). Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan pendekatan tekstual, yaitu menganalisis aspek psikologis tokoh dalam karya sastra.

Beberapa konsep dasar dalam psikologi sastra yang dipaparkan oleh Siswantoro (2004: 18) adalah sebagai berikut:

1. Karya sastra sebagai produk dari suatu keadaan kejiwaan dan pemikiran pengarang yang dituangkan dalam bentuk penciptaan karya sastra.

2. Dalam menjiwai perwatakan tokoh kajian berdasarkan pada aspek makna, pemikiran, dan falsafah yang terlihat dalam karya sastra.

3. Karya sastra mampu menggambarkan kekalutan dan kekacauan batin manusia yang ditampilkan melalui tokoh dalam cerita.

4. Karya sastra sebagai ungkapan pengonkretan sesuatu yang bergejolak di dalam diri pencipta.

Psikologi sastra merupakan perwujudan getaran jiwa dalam bentuk tulisan. Tulisan tersebut mengisahkan tentang kepribadian seorang individu,


(19)

individu yang khas. Sastra digunakan oleh pengarang sebagai alat untuk menembus batin pribadi individu yang diwakilkan pada para tokoh untuk diangkat ke permukaan sehingga dapat dipahami oleh pembaca mengenai kejiwaan dari para tokoh yang ditampilkan oleh pengarang.

Analisis akan dilakukan dengan penerapan teori-teori psikologi khususnya psikoanalisis Sigmund Freud. Psikoanalisis adalah wilayah kajian psikologi sastra. Model kajian ini pertama kali dimunculkan oleh Sigmund Freud, seorang dokter dari Wina. Ia mengemukakan gagasannya bahwa kesadaran merupakan sebagian kecil dari kehidupan mental, sedangkan sebagian besarnya adalah ketaksadaran atau tak sadar. Ketaksadaran ini dapat menyublim kedalam proses kreatif pengarang.

Dalam kajiannya psikologi sastra berusaha mengungkap psikoanalisis kepribadian yang dipandang meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu: id, ego, dan

super ego. Id adalah sistem kepribadian yang asli, dan merupakan komponen kepribadian yang primitif yang dibawa sejak lahir. Dari id ini kemudian akan muncul ego dan super ego. Saat dilahirkan, id berisi semua aspek psikologis yang diturunkan seperti insting, impuls dan drives yang menggerakkan tingkah laku (Koswara, 1991: 32). Id berhubungan erat dengan proses fisik untuk mendapatkan energi psikis yang digunakan untuk mengoperasikan sistem dari struktur kepribadian lainnya.

Ego adalah bagian “eksekutif” dari kepribadian. Ia berfungsi secara logis/rasional berdasarkan prinsip kenyataan (reality principle) dan proses sekunder yaitu suatu proses logis untuk melihat pada kenyataan (reality testing)


(20)

dalam usahanya menemukan cara pemuasan dorongan id secara realistis (Koswara, 1991: 33). Fungsi ego ini adalah untuk menyaring dorongan-dorongan yang ingin dipuaskan oleh id berdasarkan kenyataan.

Super ego adalah sistem kepribadian yang merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakat yang diajarkan oleh orang tua kepada anak-anaknya berupa perintah dan larangan (Koswara, 1991:35). Dengan kata lain

super ego adalah sistem kepribadian yang menentukan apakah sesuatu benar atau salah, pantas atau tidak, susila atau tidak, dan dengan demikian pribadi dapat bertindak sesuai dengan moral masyarakat. Pada bagian ini terdapat nilai-nilai moral, yang memberikan batasan baik dan buruk. Nilai-nilai yang terdapat dalam

super ego mewakili nilai-nilai ideal. Oleh karena itu super ego selalu berorientasi pada kesempurnaan. Bersama-sama dengan ego, super ego mengatur dan mengarahkan tingkah laku manusia yang bermaksud memuaskan dorongan-dorongan dari id, yaitu melalui aturan-aturan dalam masyarakat, agama, atau keyakinan-keyakinan tertentu mengenai perilaku yang baik dan buruk.

Ketiga sistem kepribadian itu satu sama lain saling berkaitan serta membentuk totalitas dan tingkah laku manusia yang tak lain merupakan produk interaksi ketiganya. Pandangan Freud mengemukakan bahwa manusia digerakkan oleh energi diri tak sadar, yang berarti semua tokoh dapat dibahas melalui pendekatan psikoanalisis. Dengan cara memperhatikan detil dan perilaku dalam kaitannya dengan konteks naratif, maka dapat ditemukan hasrat yang terekspresi atau tersembunyi dari tokoh-tokoh tersebut.


(21)

Dalam kumpulan cerpen LS terdapat sejumlah peristiwa-peristiwa mengancam yang dialami manusia di lingkungannya. Lingkungan tempat orang hidup memang kadang kala bisa mengancam dan membahayakan. Dalam menghadapi ancaman biasanya orang merasa takut, karena kewalahan menghadapi stimulasi berlebihan yang tidak berhasil dikendalikan oleh ego, maka

ego diliputi kecemasan. Freud membedakan kecemasan menjadi tiga, yaitu kecemasan realitas, kecemasan neurotik, dan kecemasan moral atau perasaan bersalah (dalam Koswara, 1991:45). Fungsi kecemasan adalah memperingatkan individu tentang adanya bahaya. Ketika timbul kecemasan, maka ia akan memotivasi individu untuk melakukan sesuatu. Kecemasan adalah suatu konsep terpenting dalam psikoanalisis dan juga memainkan peranan yang penting dalam perkembangan kepribadian.

2.3 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka bertujuan untuk mengetahui keaslian karya ilmiah, karena pada dasarnya suatu penelitian berasal dari acuan yang mendasarinya. Tinjauan pustaka dilakukan sebagai titik tolak untuk mengadakan suatu penelitian. Untuk mengetahui keaslian penelitian ini, dipaparkan beberapa tinjauan pustaka yang telah dimuat dalam bentuk skripsi. Tinjauan pustaka tersebut sebagai berikut.

Penelitian tentang tokoh sudah pernah dilakukan oleh Juli Artaty Hutabarat (USU, 2009) dalam skripsinya yang berjudul Kepribadian Dan Trauma Tokoh Dalam Novel Simfoni Bulan Karya Feby Indirani Analisis Psikosastra.


(22)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kondisi kepribadian tokoh-tokoh dan bagaimana dampak trauma terhadap kepribadian anak dalam novel

Simfoni Bulan. Untuk mengetahui tujuan itu akan dikumpulkan data dari novel

Simfoni Bulan dengan menggunakan metode pembacaan heuristik dan hermeneutik degan teknik catat pada kartu data. Setelah data terkumpul, data tersebut dianalisis dengan menggunakan teori psikologi sastra yang dikemukakan oleh Sigmund Freud. Dari hasil analisis dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam novel Simfoni Bulan terdapat kepribadian dan trauma pada tokoh-tokohnya (Fredo Hasugian

--Ratu Verawati (USU, 2008) dengan judul Perilaku Menyimpang Tokoh Utama Dalam Novel Gerhana Kembar Karya Clara NG: Tinjauan Psikosastra. Skripsi ini bertujuan untuk mengungkapkan dan memaparkan perilaku menyimpang tokoh utama dan untuk menguraikan aspek-aspek kejiwaan tokoh utama dalam novel Gerhana Kembar. Data dikumpulkan dari novel Gerhana Kembar dengan menggunakan metode membaca heuristik dan hermeneutik. Dari analisis data disimpulkan hal-hal berikut ini: 1. Perilaku menyimpang yang dilakukan tokoh utama dalam novel Gerhana Kembar adalah perilaku seks menyimpang yaitu lesbian. 2. Faktor penyebab dua tokoh utama dalam novel

Gerhana Kembar menjadi lesbian karena faktor psikologi dan faktor lingkungan. 3. Pengorbanan seorang lesbian kepada keluarganya lebih utama daripada kebahagiaan yang akan diperoleh dengan pasangan lesbiannya. Novel Gerhana Kembar karya Clara Ng diciptakan atas dasar pengamatannya dan dorongan


(23)

moralnya kepada kaum lesbian di Indonesia (Indra Satria Luhur -- http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/17494.html).

Lissa Ernawati (USU, 2007) dalam skripsi yang berjudul Novel Rojak Karya Vira Basuki: Analisis Psikosastra. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan memaparkan keadaan psikologis tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel Rojak dan unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel tersebut. Untuk mencapai tujuan itu telah dikumpulkan data dari novel Rojak dengan menggunakan metode membaca heuristik dan juga hermeneutik. Dari analisis data, diperoleh hasil sebagai berikut: Dalam novel Rojak tergambar keadaan psikologis tokoh-tokohnya, ditinjau dari segi kesepian, frustasi, dan kepribadian. Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa karakter manusia suatu saat dapat berubah apabila berada dalam keadaan emosi yang tidak stabil. Di mana perubahan karakter itu dapat membuat kita menjadi lebih baik atau buruk, tergantung bagaimana kita menyikapinya (Indra Satria Luhur -- http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/17494.html).

Berdasarkan tinjauan pustaka tersebut di atas, dapat diketahui bahwa ada beberapa penelitian terdahulu yang sama dengan penelitian ini yaitu dalam analisis psikologi sastra. Adapun yang membedakan antara penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah judul buku yang dijadikan sebagai objek penelitian. Dengan demikian, orisinilitas penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.


(24)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Sumber Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa kata-kata atau kalimat-kalimat dan bukan angka-angka. Dalam penelitian kualitatif, data formal adalah kata-kata, kalimat, dan wacana (Ratna, 2004: 47). Data yang dimaksud adalah kata-kata, kalimat, dan wacana yang terdapat pada kumpulan cerpen LS

karya Ratih Kumala.

Adapun yang menjadi sumber data yang akan dianalisis adalah:

Judul : Larutan Senja

Pengarang : Ratih Kumala

Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama Tebal Buku : 145 hal + v

Cetakan : Pertama

Tahun Terbit : 2006

Warna Sampul : Kuning dan hijau

Gambar Sampul : Terdapat gambar perawakan manusia setengah badan dan terdapat dua lubang kecil dan besar di bagian dada dan di bagian perutnya. Gambar dibuat dengan garis-garis hitam membentuk lukisan.


(25)

Sumber data di atas merupakan data yang akan dianalisis sebagai data utama atau disebut juga dengan sumber data primer. Selain data primer terdapat juga data sekunder yang juga diperlukan seorang peneliti. Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku sastra, artikel dari internet, dan sebagainya yang relevan dengan penelitian.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pustaka, menyimak, dan mencatat. Teknik pustaka dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data. Teknik simak dan catat yakni dilakukan dengan menyimak secara cermat, terarah, dan teliti sumber data primer yang merupakan karya sastra berupa teks kumpulan cerpen yaitu

Larutan Senja. Hasil penyimakan terhadap sumber data tersebut kemudian dirangkum dan dicatat untuk digunakan dalam penyusunan laporan penelitian sesuai dengan maksud dan tujuan yang hendak dicapai.

Dalam data yang dicatat itu, disertakan pula kode sumber datanya untuk pengecekan ulang terhadap sumber data ketika diperlukan dalam rangka analisis data (Subroto, 1992:41-42).

3.3 Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan untuk menganalisis kumpulan cerpen

LS ini adalah analisis deskriptif. Dalam analisis deskriptif ini, data yang diperoleh dicatat dan dipilih berdasarkan masalah yang akan dibahas. Cara kerjanya adalah


(26)

dengan mendeskripsikan data-data yang sudah diidentifikasi lewat proses pembacaan berulang-ulang. Analisis tersebut didasari oleh teori-teori pendukung yang berhubungan dengan topik penelitian yaitu penerapan teori psikoanalisa Sigmund Freud. Dengan mendeskripikan analisis secara benar dan terperinci maka akan dicapai kesimpulan yang akurat sebagai hasil penelitian.


(27)

BAB IV

KEPRIBADIAN TOKOH UTAMA

4.1 Kepribadian

Dalam teori psikoanalisis, kepribadian dipandang sebagai suatu struktur atau sistem yakni id, ego, dan super ego, ketiga sistem kepribadian ini satu sama lain saling berkaitan serta membentuk suatu totalitas (Koswara, 1991: 32). Dengan kata lain, tingkah laku manusia merupakan hasil interaksi dari ketiga sistem tersebut. Meskipun ketiga sistem kepribadian itu berhubungan dengan rapat sehingga sulit untuk memisah-misahkan pengaruhnya terhadap tingkah laku manusia, namun Freud menggaris bawahi bahwa ketiga sistem kepribadian tersebut tidaklah dipisahkan secara tegas. Perkembangan ketiga sistem itu bervariasi pada setiap individu yang berbeda. Berikut akan dijelaskan hubungan antara id, ego, dan super ego pada tiga tipe individu menurut pakar psikologi.

Pada individu pertama, id mendominasi ego yang lemah dan super ego

yang plinplan sehingga ego tidak mampu menyeimbangkan antara gigihnya tuntutan id. Akibatnya, individu ini terus-menerus memuaskan kesenangannya tanpa memandang apa yang mungkin atau tidak layak. Individu kedua, yang memiliki rasa bersalah serta perasaan inferior dan ego yang lemah, akan mengalami sederetan konflik karena ego tidak bisa mengendalikan tuntutan antara super ego

dan id yang saling bertentangan, tetapi sama kuat. Sedangkan individu ketiga, yang memiliki ego kuat dan merangkul tuntutan-tuntutan, baik dari id maupun super ego, sehat secara psikologis dan mampu memegang kendali atas prinsip kesenangan dan prinsip moralistis (Feist dan Feist, 2010: 35).

Berdasarkan ketiga sistem kepribadian yang telah diuraikan oleh Freud dalam teori psikoanalisis, kepribadian tokoh utama dalam kumpulan cerpen


(28)

4.1.1 Larutan Senja

Dalam cerpen Larutan Senja, tokoh Dia, yaitu seorang penemu kecil, mengalami tekanan secara psikis. Dia merasa tertekan karena tuhan selalu tahu mengenai penemuan-penemuannya. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut ini.

Dia tahu, saat dia membuat larutan itu, selamanya dia harus tutup mulut. Menjaga sebongkah rahasia dan tak boleh bercerita. Karena jika bocor, maka tuhan akan mencuri larutan itu dari dia guna memperkaya mainan-mainan ciptaannya yang dinamakan ‘dunia’ (LS, 2006: 35). Ketegangan yang dialami oleh tokoh Dia menghasilkan energi psikis yang berasal dari id. Energi psikis ini mendorong tokoh dia merencanakan sesuatu untuk menjatuhkan tuhan. Tujuan dari semua perilaku adalah rasa nyaman (pleasure) yaitu: penurunan ketegangan atau pelepasan energi (Lawrence dkk, 2010: 76). Hal tersebut berarti bahwa manusia bertindak sesuai dengan prinsip kesenangan untuk mengurangi ketegangan yang dirasakannya. Prinsip kesenangan sangat dipengaruhi oleh id, meskipun dalam prosesnya id membutuhkan ego

untuk mengekspresikannya dan super ego untuk mengontrol perilaku agar sesuai dengan aturan-aturan moral. Id beroperasi menurut prinsip kesenangan, ego

beroperasi menurut prinsip realitas, dan super ego beroperasi menurut prinsip kesempurnaan, dan jika salah satu dari ketiga sistem tersebut memiliki energi yang lebih besar dari pada yang lainnya maka sistem itulah yang akan mendominasi kepribadian seorang individu.

Dalam cerpen Larutan Senja, tokoh Dia didominasi oleh sistem id, yaitu saat dia membuat rencana untuk menjatuhkan tuhan dan membalaskan rasa


(29)

memperindah ‘dunia’ ciptaan tuhan, namun dia akan memberikan larutan itu pada tuhan dengan harga yang tinggi, seperti dalam kutipan berikut.

Kali ini, ia akan benar-benar menyimpan rahasia temuannya. Kali ini, memang dia sengaja membuat larutan untuk melengkapi ‘dunia’ milik tuhan. Jika larutan ini diteteskan, ‘dunia’ akan jadi begitu mengagumkan dan lebih indah. Tapi dia tak akan memberikan larutan ini untuk tuhan. Dia akan diam saja, menjadikannya rahasia. Walaupun dia tahu, entah bagaimana caranya tuhan akhirnya pasti akan mengetahui rahasianya, dan jika sudah begini tuhan pasti akan berniat membelinya. Dia tak akan menjual larutan ini. Kalaupun dia jual, dia akan menjualnya dengan harga tinggi (LS, 2006: 39).

Tokoh Dia sebenarnya tahu bahwa bagaimanapun dia menyembunyikan rahasia dari tuhan, cepat atau lambat tuhan pasti segera mengetahuinya, entah bagaimana caranya. Namun tokoh Dia sengaja menciptakan sebuah larutan untuk memperindah ‘dunia’ milik tuhan dan merahasiakannya. Perilakunya ini seperti sengaja mengolok-olok tuhan. Tokoh Dia sengaja ingin mempermainkan tuhan yang memiliki julukan ‘yang mahatahu’.

Keinginanya untuk menjatuhkan dan membalas tuhan berawal dari pengalaman buruknya. Tuhan mengembangkan ‘dunia’ ciptaanya dengan larutan-larutan yang dibeli dengan harga murah dari tokoh dia. Tokoh Dia merasa kesal karena tuhan selalu mendapatkan pujian pada setiap laporan hasil temuannya di pertemuan rutin ‘kelompok penemu’, seperti terdapat dalam kutipan berikut.

Tapi ada satu hal yang tidak diketahui oleh para penemu itu; tuhan tidak murni menciptakan dunia sendirian. Sudah lebih dari sepuluh kali tuhan datang ke rumahnya dan membeli larutan-larutan temuannya untuk memperlengkan ‘dunia’ miliknya. Dan para penemu itu memberi tepukan riuh untuk tuhan, bukan untuk dirinya yang sebenarnya penemuannya telah memperlengkap ‘dunia’ milik tuhan (LS, 2006: 37).

Padahal yang dilakukan tuhan tak lain hanya meneteskan ‘larutan gerak’ ciptaanya ke ‘dunia’. Tuhan membeli larutan-larutan itu darinya dengan harga murah. Mengesalkan sekali! Harganya tak sebanding


(30)

dengan salut yang tuhan dapatkan dari para anggota kelompok penemu (LS, 2006: 38).

Keinginan tokoh Dia yang ingin menjatuhkan tuhan tampak saat dia dengan angkuhnya menolak tawaran tuhan yang ingin membeli ‘larutan senja’ miliknya. Tokoh Dia semakin nampak memperolok tuhan ketika tuhan yakin dia akan datang pada tuhan untuk menjual larutannya itu, namun dia tidak melakukannya. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut.

Benar dugaannya, sekeras apa pun dia berahasia tuhan tetap tahu bahwa dia telah menemukan ‘larutan senja’. Dan seperti biasa, tuhan ingin membelinya.

“Tidak!” katanya tegas, apalagi saat tuhan menyebutkan harga yang biasa dia bayar untuk larutan-larutannya yang lalu. tuhan pulang, berpikir bahwa tak akan lama lagi dirinya akan menghubungi tuhan dan menjual ‘larutan senja’ pada tuhan. Tapi dia sama sekali tak melakukan itu (LS, 2006: 40).

Dorongan-dorongan id yang mendominasi kepribadian tokoh Dia terlihat dalam perilakunya yang biasanya hanya diam saja menanggapi sindiran-sindiran tuhan menjadi sangat tegas saat menolak tawaran tuhan dan bahkan ingin mendapatkan posisi yang sama dengan tuhan.

“Lalu berapa yang kau mau?”

Nah… dia menang! Pertanyaan inilah yang ditunggu-tunggunya keluar dari mulut tuhan. Dia tersenyum nakal, berpikir berapa harga yang harus dia tawarkan untuk ‘larutan senja’ miliknya kepada tuhan. Dan… ya, dia tahu berapa harganya. “Aku menginginkan sebagian ‘dunia’,” katanya (LS, 2006: 40)

“Kalau begitu aku akan membayar mahal untuk ‘larutan senja’-mu. Sebutkan harganya. Akan ku bayar berapa pun, tapi jangan mimpi kau bisa mendapatkan sebagian ‘dunia’-ku.”


(31)

seperti biasanya. Dia biasanya begitu diam dengan sindiran-sindiran tuhan, tapi kali ini dia begitu tegas. Dia bahkan ingin disamaratakan posisinya dengan tuhan (LS, 2006: 41).

Id selalu berupaya untuk meredam ketegangan dengan cara memuaskan naluri-naluri primitif. Hal ini nampak pada perilaku tokoh Dia yang sengaja ingin menjatuhkan dan memperolok tuhan untuk membalas rasa kesalnya. Tokoh Dia merasa senang melihat kekecewaan tuhan yang tidak mendapatkan ‘Lautan Senja’ darinya.

Beberapa waktu berlalu, semua anggota ‘kelompok penemu’ selalu bertanya tentang perkembangan ‘dunia’. Tapi sudah beberapa kali pertemuan rutin diadakan, dan tuhan sama sekali tidak menunjukkan perkembangan ‘dunia’ di depan forum. Semua kecewa, tak ada tepukan riuh bagi tuhan apalagi salaman. Setiap dia lewat di depan tuhan, dia hanya tersenyum. Merasa menang (LS, 2006: 41).

Tokoh Dia merasa puas dapat membalaskan rasa kesalnya pada tuhan. Tidak ada lagi tepukan riuh karena ‘dunia’ ciptaan tuhan sudah beberapa kali tidak menunjukkan perkembangan apa-apa. Dia menikmati kekecewaan tuhan dan merasa menang dari tuhan.

Selain itu, hal yang menunjukkan bahwa id mendominasi kepribadian tokoh Dia nampak dalam perilakunya di akhir cerita. Tokoh Dia tidak terima saat tuhan mendapatkan penghargaan atas ciptaannya yang bernama ‘dunia’. Keindahan senja yang melengkapi ‘dunia’ ciptaan tuhan membuat kagum seluruh anggota ‘kelompok penemu’. Tokoh Dia tahu tuhan telah mencuri catatan formula ‘larutan senja’. Kesenangan yang dirasakannya selama tuhan belum mendapatkan ‘larutan senja’ hilang seketika dan semakin menyebabkan ketegangan.


(32)

Ini tidak adil, pikirnya. Tuhan telah mencuri formula ‘larutan senja’. Dengan nekad dia maju ke forum dan berteriak lantang, “kau telah mencuri ‘larutan senja’-ku!” (LS, 2006: 42).

“kau tidak mau mengaku juga? Baiklah akan ku teteskan larutan ini di ‘dunia’-mu!” penemu kecil itu mengancam, dia mengeluarkan sebotol larutan yang berwarna kehitaman dan siap meneteskan larutan itu ke ‘dunia’.

“Jangan!Larutan apa itu?” Tanya tuhan dengan panik.

“larutan yang akan membuat dunia tak sempurna, tak lagi indah!” “HAH?!” para penemu yang lain kembali tercekat. Semua berdesis, berbisik-bisik, menduga-duga apa yang telah terjadi antara tuhan dan penemu kecil macam dia.

“JANGAN!” kata tuhan yang masih berusaha mencegah dia meneteskan larutan kehitaman itu ke ‘dunia’.

“Kalau begitu akui bahwa sebagian ‘dunia’-mu adalah ciptaanku!” “Tidak!” ujar tuhan, “dunia adalah ciptaanku!” tuhan tetap bersikeras. “baik kalau itu maumu.” Lalu dia meneteskan larutan itu ke ‘dunia’ (LS, 2006: 42).

Ketiga sistem kepribadian id, ego, dan super ego bekerja sama membentuk kepribadian seorang individu. Dorongan-dorongan id dalam diri tokoh Dia adalah ingin menjatuhkan tuhan dan membalaskan rasa kesalnya pada tuhan. Dorongan

id ini dalam prosesnya membutuhkan ego untuk mengarahkannya kepada pengurangan-pengurangan ketegangan secara nyata atau sesuai dengan kenyataan. Dalam kepribadian tokoh Dia, id mendominasi ego dan super ego-nya yang lemah. Ego dalam kepribadian tokoh Dia tidak dapat menekan tuntutan dari id

sehingga tokoh Dia merencanakan pembalasan rasa kesalnya dengan sengaja menciptakan ‘larutan senja’ untuk memperindah ‘dunia’ ciptaan tuhan. Namun harga untuk ‘larutan senja’ itu adalah tuhan harus memberikan sebagian ‘dunia’


(33)

dan tuhan pasti akan sangat keberatan jika sebagian ‘dunia’ diberikan kepadanya. Kekecewaan yang dirasakan oleh tuhan membuatnya merasa senang dan id-nya terpuaskan. Tidak lama setelah itu tuhan berhasil mencuri catatan formula ‘larutan senja’ dan membuatnya sendiri. Keindahan senja yang melengkapi ‘dunia’ milik tuhan membuat tuhan mendapatkan penghargaan, dan hal ini menyebabkan ketengangan kembali dirasakan oleh tokoh Dia. Dorongan-dorongan yang kuat dari id membuatnya melakukan hal yang nekat. Dia maju ke forum dan berteriak lantang bahwa tuhan telah mencuri ‘larutan senja’-nya. Tokoh Dia ingin agar tuhan mengakui bahwa sebagian dunia adalah ciptaanya di depan forum itu. Namun tuhan tidak mau mengakui itu dan akhirnya dia meneteskan larutan berwarna hitam yang membuat ‘dunia’ menjadi tidak sempurna dan tidak indah lagi. Id yang mendominasi ego dan super ego dalam kepribadian tokoh Dia menyebabkannya terus-menerus memuaskan kesenangannya tanpa peduli pada konsekuensi dari tindakannya itu.

4.1.2 Tahi Lalat Di Punggung Istriku

Cerpen Tahi Lalat di Punggung Istriku menceritakan sepasang suami-istri yang pada awal kehidupan rumah tangganya sangat harmonis berubah menjadi dingin hanya karena sebuah tahi lalat di punggung sang istri. Tokoh Aku (suami) sangat menyukai tahi lalat di punggu istrinya. Seperti dalam kutipan berikut:

Ada tahi lalat di punggung istriku. Cantik sekali. Tepat di sebelah kiri atas punggung, mendekati pundak. Itu adalah tahi lalat terseksi yang pernah kulihat. Perempuan-perempuan mungkin bisa punya bermacam tahi lalat yang cantik; di dada, di pinggir ketiak, di atas bibir, di dagu, tapi tak ada yang secantik tahi lalat di punggung istriku (LS,2006: 45).


(34)

Saat itulah aku melihat pemandangan yang membuatku takjub; tahi lalat di punggung istriku. Tahi lalat yang sangat cantik. Seketika, aku jatuh cinta lebih dalam pada istriku karena tahi lalat itu (LS, 2006: 46). Kecintaan tokoh Aku (suami) pada tahi lalat di punggung istrinya membuatnya semakin mencintai istrinya. Menurut Freud, super ego terbentuk melalui internalisasi nilai-nilai atau aturan-aturan oleh individu dari sejumlah figur yang berperan, berpengaruh, atau berarti bagi individu tersebut (dalam Koswara, 1991: 35). Bagi tokoh Aku (suami), figur yang berperan dan memiliki nilai untuk dirinya adalah istrinya yang memiliki tahi lalat di punggung. Tokoh aku pernah hampir selingkuh. Seorang kolega tokoh Aku (suami) membawakan seorang perempuan berperawakan seperti model dan berwajah kebarat-baratan sebagai iming-iming pelicin proyek kerja. Akan tetapi tokoh Aku (suami) segera membatalkan niatnya karena teringat dengan tahi lalat di punggung istrinya.

Saat dia berbalik dengan tubuhnya yang setengah telanjang, aku melihat dia juga punya tahi lalat di punggung. Aku langsung teringat pada istriku, ia juga punya tahi lalat di punggungnya. Jauh lebih cantik dari tahi lalat perempuan ini, pikirku. Aku membatalkan semua, berpakaian lalu keluar dari hotel menuju mobil yang kuparkir di halaman. Perempuan itu marah-marah melihatku meninggalkannya dalam keadaan telanjang dan tak disentuh. Kolegaku berusaha menahanku dan membujukku dengan wajah khawatir proyek tak diloloskan, bahkan meminta maaf berkali-kali. Aku pulang, bercinta dengan istriku habis-habisan. Dan besoknya, proyek itu kuloloskan (LS, 2006: 47).

Salah satu fungsi dari super ego adalah sebagai pengendali dorongan-dorongan naluri id agar dorongan-dorongan tersebut disalurkan dengan cara atau bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat. Super ego dalam kepribadian tokoh Aku (suami) menjalankan perannya dengan baik. Tokoh Aku (suami) yang


(35)

tadinya hampir menerima pelicin dari koleganya agar dia meloloskan sebuah proyek, akhirnya lebih memilih istrinya dari pada wanita panggilan itu.

Kehidupan rumah tangga tokoh Aku (suami) yang harmonis dengan istrinya pada suatu hari mendadak jadi kacau. Tahi lalat yang biasanya dia lihat di punggung istrinya tiba-tiba menghilang entah ke mana. Tokoh Aku (suami) yang sangat terobsesi dengan tahi lalat di punggung istrinya sangat kaget mendapati tahi lalat itu sudah tidak ada lagi.

Aku sangat jatuh cinta pada istriku karena tahi lalat itu. Birahiku meluap-luap setiap aku teringat atau melihat tahi lalat itu. Hingga suatu malam, saat kami akan bercinta dan aku mulai menciumi punggung istriku, aku tak menemukan titik hitam sekecil apapun di punggungnya. Aku kaget bukan kepalang (LS, 2006: 47).

Kecintaan tokoh Aku (suami) pada tahi lalat di punggung istrinya pada awalnya membuat kehidupan rumah tangganya indah. Karena kecintaannya itu juga, mendadak rumah tangganya menjadi kacau. Hanya karena tahi lalat di punggung istrinya hilang, tokoh Aku (suami) menjadi tidak bergairah lagi pada istrinya.

“Aku tidak pernah punya tahi lalat di punggung,” sanggahnya.

“Tidak mungkin. Ada kok, yang biasa aku ciumi itu lho…!” aku mulai gemas dan kesal.

“Tidak ada, Pa. Aku tidak pernah punya tahi lalat di punggung!”

Malam itu kami batal bercinta. Itu adalah kali pertama aku tak bergairah setelah dua puluh tujuh tahun kami menikah. Aku kesal dan langsung beranjak tidur. Istriku juga kesal, kami tidur saling memunggungi setelah berpakaian lengkap. Aku pejamkan mataku rekat-rekat berharap itu cuma mimpi (LS, 2006: 48).

Kekesalan tokoh Aku (suami) terus berlanjut karena selama berhari-hari dia tidak menemukan tahi lalat di punggung istrinya lagi. Setiap dia menanyakan


(36)

pertanyaan yang sama, istrinya juga selalu menjawab dengan jawaban yang sama bahwa tahi lalat itu tidak pernah ada. Hingga beberapa kali dia dan istrinya gagal bercinta dan saling kesal hanya karena sebuah tahi lalat di punggung. Super ego

bisa jadi bekerja pada level yang amat primitif dan relatif tidak bisa menguji realitas-yaitu memodifikasi tindakannya tergantung kepada situasi (Lawrence dkk, 2010: 87). Dengan kata lain, tuntutan super ego terhadap kesempurnaan menjadi tidak realistis.

Lalu kupikir, mungkin tahi lalat itu betul-betul pindah tempat. Maka aku mencari di setiap sudut tubuh istriku. Berharap jika menemukan tahi lalat itu ingin ku bujuk untuk kembali ke tempat semula. Mulailah, setiap hari aku menelanjangi istriku, menyusuri tubuhnya dan akhirnya terpaksa menyetubuhi istriku denga berahi yang setengah, karena setengahnya lagi rasanya telah pergi bersama dengan hilangnya tahi lalat itu. Aku betul-betul penasaran sekaligus sangat merasa kehilangan atas tak adanya tahi lalat di punggung istriku (LS, 2006: 49).

Tuntutan kesempurnaan super ego dalam kepribadian tokoh Aku (suami) menjadi sangat tidak realistis. Tokoh Aku (suami) menginginkan tahi lalat di punggung istrinya yang hilang segera kembali. Dia bahkan sampai berpikir ingin membujuk tahi lalat itu kembali ke tempatnya semula, di punggung istrinya, jika sekiranya tahi lalat itu pindah tempat. Namun tokoh Aku (suami) tidak berhasil menemukan tahi lalat itu hingga akhirnya dia merasa putus asa.

Perasaan kecewa dan putus asa yang dialami oleh tokoh Aku (suami) terhadap situasi itu menyebabkan taraf ketegangannya meninggi. Pada bagian ini dorongan-dorongan dari id dalam kepribadian tokoh Aku (suami) mulai mendominasi.


(37)

booking sebuah hotel berbintang lima. Perempuan tinggi semampai bak model dengan dada besar itu berdiri di hadapanku dengan telanjang, kuminta ia berbalik. Ku pandangi tahi lalat di punggungnya, tak sama. Sesaat aku mengamati dan berharap kalau-kalau itu adalah tahi lalat istriku, tetapi bukan. Betapa aku sangat merindukan tahi lalat di punggung istriku. Malam itu aku bercinta semu dengan perempuan itu, menciumi punggung wanita panggilan itu hingga membuatnya tertawa geli. Membayangkan aku bercinta dengan istriku yang masih memiliki tahi lalat di punggungnya. Lalu pulang dan tidur hingga siang. Aku absen kerja (LS, 2006: 50).

Meskipun dorongan-dorongan dari id dalam kepribadian tokoh Aku (suami) membuatnya mencari wanita panggilan untuk meredakan ketengangan yang dirasakannya, namun dia tetap teringat pada istrinya. Tokoh Aku (suami) bercinta dengan wanita panggilan itu sambil membayangkan bahwa wanita itu adalah istrinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh super ego dalam diri tokoh Aku (suami) masih menjalankan peranannya.

Kucoba menatap wajahnya rekat-rekat, mencari sisa-sisa kemudaan di antara wajahnya yang mulai merenta. Sebetulnya istriku masih cantik, tubuhnya juga tak lantas jadi gembrot. Garis wajahnya yang mulai tegas menunjukkan dia perempuan yang matang. Tapi kenapa aku tak bergairah padanya? Aku sama sekali tak terberahi. Sekali lagi, aku mengelus punggungnya dengan lembut, membuat istriku sedikit bergerak dalam tidurnya (LS, 2006: 50).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa super ego dalam diri tokoh Aku (suami) masih dapat mempengaruhi ego dalam mengendalikan id. Tokoh Aku (suami) tak lantas ingin meninggalkan istrinya meskipun dia tidak bergairah lagi terhadap istrinya itu. Dia masih tetap menginginkan istrinya meskipun setengah hatinya terasa hilang bersamaan dengan hilangnya tahi lalat yang sangat disukainya.

Tokoh Aku (suami) mengalami sederetan koflik karena ego dalam kepribadiannya lemah. Ego pada diri tokoh Aku (suami) tidak dapat


(38)

mengendalikan tuntutan antara super ego, yaitu keinginan untuk mencapai kesempurnaan dengan menemukan kembali tahi lalat istrinya agar dia dapat mencintai istrinya lagi dengan sepenuh hati, dan id, yaitu keinginan atau dorongan seksualnya, yang saling bertentangan dalam dirinya.

Sementara itu di lain pihak tokoh Aku (istri), juga mengalami hal yang sama. Tokoh Aku (istri) merasa cemburu pada tahi lalat yang ada di punggungnya. Dia merasa suaminya lebih mencintai tahi lalat itu dari pada dirinya.

Hingga suatu hari, aku tak pernah lagi diciumnya. Dia hanya menciumi punggungku. Dia lupa mencium bibirku atau keningku atau pipiku. Aku harus memintanya dulu untuk mencium bibirku, jika tidak dia tak akan ingat. Setiap ada kesempatan, dia selalu mencium punggungku. Aku mulai membenci tahi lalat di punggungku, aku cemburu (LS, 2006: 51).

Dari kutipan di atas tampak bahwa dorongan dari id mendominasi kepribadian tokoh aku (istri). Rasa benci dan cemburu pada tahi lalat di punggungnya menyebabkan tengangan pada dirinya.

Untuk meredakan ketegangan itu, tokoh Aku (istri) kemudian berencana menghilangkan tahi lalat di punggungnya. Bersama dengan Ratri, seorang perempuan paruh baya yang tak pernah menikah, tukang pijat langganannya, tokoh aku (istri) pergi menemui dokter kulit untuk menghilangkan tahi lalat di punggungnya itu.

“Angkat?”

“Iya, pakai laser. Ada lho teknologi seperti itu. ”Lalu ratri menjelaskan bahwa tetangganya yang punya tahi lalat di hidung juga mengangkatnya dengan laser. Harganya memang sedikit mahal, tapi


(39)

Ratri ke dokter kulit untuk mengangkat tahi lalat di punggung (LS, 2006: 52).

Dari kutipan di atas, terlihat tokoh Aku segera membuat keputusan untuk mengangkat tahi lalat di punggungnya tanpa memikirkan konsekuensi yang akan terjadi setelahnya. Hal itu dilakukan untuk melepaskan ketegangan dari pengaruh

id atau naluri primitif pada dirinya, yaitu rasa cemburu pada tahi lalat di punggungnya.

Ternyata keputusan tokoh Aku (istri) mengangkat tahi lalat di punggung itu menyebabkan keadaan rumah tangganya menjadi kacau. Suaminya kecewa mendapati tahi lalat itu sudah tidak ada lagi. Tokoh Aku (istri) juga berbohong dengan mengatakan bahwa dia tidak pernah punya tahi lalat di punggung karena takut suaminya akan marah besar jika dia berkata yang sebenarnya. Tokoh Aku (istri) berpikir suaminya akan segera melupakan tahi lalat itu, namun ternyata tidak. Suaminya tetap mencari tahi lalat itu. Hingga suatu hari tokoh Aku (istri) menemukan sesuatu yang ganjil pada suaminya dan seketika dia merasa menyesal telah mengangkat tahi lalat itu dan membohongi suaminya. Dalam hal ini super ego mulai memegang kendali kepribadian tokoh Aku (istri).

Suatu pagi, saat aku mencuci pakaian suamiku yang hari itu absen kerja karena tidur hingga siang, kucium parfum perempuan di baju kemejanya. Ada rambut ikal panjang pula yang menempel di celana dalamnya. Pasti suamiku selingkuh! Pasti!

Aku menangis, tiba-tiba merasa menyesal telah membuang tahi lalat itu. Hari-hari kujalani dengan tanpa gairah. Suamiku pulang-pergi ke kantor dengan dingin. Dia tak pernah menyentuhku, tak juga menyentuh punggungku. Tak menciumku pula (LS, 2006: 52).

Pengaruh hilangnya tahi lalat di punggungnya itu membawa dampak yang buruk, suaminya selingkuh dan tak bergairah lagi. Karena dorongan yang begitu


(40)

kuat dari id dan energi ego yang lemah menyebabkan tokoh Aku (istri) ingin segera melepaskan ketegangan yang dirasakannya. Namun setelah tokoh Aku (istri) berhasil meredam ketegangannya, dia kemudian menyesali perbuatannya dan merasa bersalah pada suaminya. Konflik yang dialami tokoh Aku (istri) terjadi karena ego tokoh aku (istri) tidak dapat mengendalikan tuntutan antara id, yaitu keinginan untuk melenyapkan tahi lalat yang membuatnya merasa cemburu, dan super ego, yaitu rasa bersalah karena menlenyapkan tahi lalat yang sangat disukai oleh suaminya dan rasa bersalah karena telah berbohong pada suaminya.

4.1.3 Dalu-Dalu

Cerpen Dalu-Dalu menceritakan kisah seorang tokoh Aku yang dituduh sebagai seorang ‘lekra’1

1Lembaga Kebudayaan Rakyat yang didirikan 17 Agustus 1950 di Jakarta.Merupakan organisasi kebudayaan yang berada di bawah naungan PKI (Partai Komunis Indonesia).Setelah kegagalan

. Hanya karena ia dapat memainkan biola dan berdendang musik keroncong, orang-orang menyebutnya ‘lekra’. Saat itu tahun 1966, satu tahun setelah kejadian jendral yang disiksa dan dibuang ke Lubang Buaya. Kejadian itu berdampak luar biasa di Banyuwangi, sebuah suara yang menjadi komando menuduh siapa saja yang terlihat mencurigakan dengan sebutan ‘lekra’, dan tokoh Aku adalah salah seorang yang mendapatkan sebutan itu hingga dia dipecat secara tidak hormat dari tempatnya bekerja di koperasi kabupaten. Sebutan ‘lekra’ yang dituduhkan kepada tokoh Aku menyebabkan kehidupannya yang tadinya tercukupi menjadi jatuh miskin.


(41)

Tokoh Aku adalah seorang pribadi yang sabar. Ego dalam kepribadian tokoh Aku berperan dengan baik. Ego tokoh Aku dapat mengendalikan tuntutan id

dan tuntutan super ego. Dengan kata lain, tokoh Aku sehat secara psikologis. Kepribadian tokoh Aku yang didominasi oleh ego dapat dilihat dari kutipan berikut.

Tetapi mereka telah menyebut ‘lekra’ pada orang yang salah. Padaku. Aku hanyalah seorang seniman yang bertahan hidup dengan mengabdikan diri untuk koperasi Kabupaten.

Hari itu aku lupa tanggalnya. Yang kuingat, tangis anakku tak juga berhenti sedari subuh menjelang senja. Sore itu aku pulang dalam hampa; statusku tak lagi bekerja. Aku adalah penjara yang memenjarakan dirinya sendiri. Apa yang akan kukatakan pada anak istriku di rumah nanti; dipecat dengan tidak hormat! Padahal gajiku waktu itu sudah lumayan. Tiga ratus lima puluh per bulan dan beras waktu itu seharga lima rupiah per kilo. Uang perakan berharga sepuluh dan lima rupiah masih berlaku, kuingat salah satunya bergambar keluarga berencana. Aku sudah bisa berkendara motor, hidupku sudah lumayan. Kini aku tak punya lagi sumber penghasilan. Mungkin nanti akan kujual motor ini, aku memutar otak hingga tiba di rumah (LS, 2006: 56).

Dari kutipan di atas terlihat tokoh Aku pasrah disebut sebagai ‘lekra’. Meskipun tidak terima disebut ‘lekra’, dia tidak melakukan tindakan memberontak untuk membela dirinya. Dorongan id dalam kepribadiannya dapat ditekan oleh ego. Bahkan saat dipecat dengan tidak hormat, saat itu ketengangan terjadi dalam dirinya. Dia tetap tenang dan terus berpikir apa yang akan dilakukan untuk mendapatkan penghasilan. Pada bagian ini terlihat pengaruh super ego yang juga dapat dikendalikan oleh ego tokoh Aku. Meskipun dia dipecat dengan tidak hormat, tokoh Aku tidak lantas merasa inferior (rendah diri), tapi segera memikirkan cara untuk mendapatkan penghasilan.


(42)

Selain itu yang menujukkan pribadi tokoh Aku yang didominasi oleh ego juga tampak ketika ia menyaksikan pembakaran buku yang dianggap tak bernorma. Tokoh Aku yang seorang seniman tentu sangat menyukai buku. Melihat buku-buku dibakar di depannya membuatnya merasa sia-sia.

Ada pula bakar-bakaran! Bertumpuk buku itu dibakar! Sempat ku baca sekilas dua sekitar seminggu sebelumnya saat mereka membakar segala buku dan apa pun yang mereka anggap tak bernorma. Kesemua berbahasa Inggris, beberapa lagi buku seorang bernama Pramoedya. Katanya ia cukup ternama, tapi buku-buku itu dilarang. Mereka sengaja melahapnya dengan api di siang hari. kucuri sempat beberapa dan kubaca, walaupun hanya sekilas dua tapi kukembalikan lagi ke sana; ke kelompok buku yang siap dilahap si jago merah. Ah, pikirku… betapa sia-sia. Tapi aku tak seberani itu, untuk mencuri dan membacanya di rumah (LS, 2006: 57).

Kutipan di atas menunjukkan dorongan id pada tokoh Aku dapat dikendalikan oleh ego karena super ego juga berperan dalam menekan dorongan

id. Tokoh Aku yang sangat ingin membaca buku-buku yang akan dibakar karena dianggap tak bermoral hanya berani mengambilnya sekilas dan kemudian mengembalikannya lagi. Keinginannya yang kuat untuk membaca buku itu adalah dorongan dari id, kemudian keputusannya untuk mengembalikan buku itu adalah dorongan dari super ego dan ego yang kemudian mengontrol dorongan-dorongan dari id dan super ego pada keadaan yang realistis.

Kejadian lain yang menunjukkaan bahwa tokoh Aku matang secara psikologis adalah ketika dia sudah memberitahukan pada istrinya bahwa ia dipecat dengan tidak hormat. Saat itu anaknya tidak berhenti menangis, namun tokoh Aku tidak segera kalut. Dengan sabar dia menggantikan istrinya menggendong anaknya agar tidak menangis lagi.


(43)

“Anak kita tak mau diam,” kata istriku, dia sara mengetahui keadaan orang tuanya. Kugendong orok menangis itu, timang-timang di depan halaman. Malam telah pekat sempurna, sepi yang menggema bahkan seperti tak mau menyapa. Aku sendiri dendang pada malam yang pekat sepi. Malam-malam… dalu-dalu. Kulagukan untuk buah hatiku (LS, 2006: 59).

Id dalam kepribadian seorang individu beroperasi menurut prinsip kesenangan, artinya id selalu mengejar kesenangan dan menghindari rasa sakit. Dari kutipan di atas tokoh Aku tidak didominasi oleh dorongan id. Meskipun pada saat itu tokoh Aku sedang mengalami ketengangan karena baru saja dipecat secara tidak hormat, namun dorongan dari id untuk melepaskan ketegangan itu dapat dikendalikan oleh ego. Ego yang beroperasi menurut prinsip realitas dalam kepribadian seorang individu mengekspresikan dan memuaskan hasrat id sesuai dengan tuntutan realitas dan tuntutan super ego. Dalam kepribadian tokoh aku,

ego berhasil menjalankan fungsinya. Ketegangan yang dirasakan oleh tokoh aku tidak lantas membuat id tokoh aku mendominasi kepribadiannya. Ego menekan ketegangan itu dan mengalihkannya kepada sesuatu yang lebih rasional dan lebih manusiawi, yaitu membantu istrinya menjaga dan mendiamkan tangis anaknya yang tidak mau berhenti.

Kepribadian tokoh Aku yang didominasi oleh ego membentuk pribadi yang sabar dan matang secara psikologis terhadap dirinya. Tingkah laku tokoh Aku dalam cerpen Dalu-Dalu sangat tenang. Meskipun dia mengalami kekecewaan yang bertubi-tubi, dia tetap tenang dan tidak kehilangan rasionalitasnya.

Sebutan ‘lekra’ yang ditujukan padanya sangat mempengaruhi kehidupan tokoh Aku. Kekecewaan yang dirasakan oleh tokoh Aku menyebabkan


(44)

ketengangannya memuncak. Namun, ego tokoh Aku dapat mengendalikan dan menekan ketegangan yang dirasakannya dengan menyeimbangkan dorongan id

dan tuntutan super ego.

Mereka menyebutku ‘lekra’! kelak mereka memasang tanda pada KTP-ku, menandakan bahwa aku ‘lekra’, padahal bukan. Aku benar-benar tak percaya, hampir saja ingin kubanting biola itu jika tak ingat betapa ia adalah kesayanganku. Jantung hatiku, jantung hitam Blambangan (LS, 2006: 59).

Dari kutipan di atas, dapat dilihat betapa tokoh Aku sebenarnya sangat kecewa dengan sebutan ‘lekra’ yang ditujukan padanya hanya karena sebuah biola. Meskipun sempat terlintas di pikirannya untuk membanting biola itu untuk melampiaskan amarah, tapi hal tersebut tidak segera dilakukannya. Ego yang bersifat logis, rasional, dan toleran terhadap tegangan dapat mengendalikan dorongan id. Energi id mendorong tokoh Aku untuk membanting biolanya. Dengan menyeimbangkan pengaruh super ego, yaitu perasaan sayang pada biolanya, ego dapat menekan dorongan dari id sehingga tokoh Aku tidak jadi membanting biola kesayangannya itu.

Dominasi ego yang kuat pada kepribadian tokoh Aku dapat menyeimbangkan tuntutan-tuntutan id akan kesenangan dengan tuntutan-tuntutan

super ego akan kesempurnaan. Tokoh aku sehat secara psikologis dan mampu memegang kendali atas prinsip kesenangan dan prinsip moralitas. Sesulit apa pun keadaan yang dihadapi oleh tokoh Aku, dia tetap berusaha tenang menghadapinya.


(45)

4.1.4 Pada Sebuah Gang Buntu

Cerpen Pada Sebuah Gang Buntu menceritakan tokoh Aku yang memiliki keluarga kecil dan tinggal di sebuah kamar kos yang sempit pada sebuah gang buntu. Penghasilan tokoh Aku yang hanya seorang buruh di pabrik plastik dan suaminya yang seorang tukang ojek tidak cukup untuk mengontrak rumah, hanya cukup untuk makan saja dan menyewa kamar kost sempit di gang buntu tersebut. Kepribadian tokoh Aku didominasi oleh id. Hal itu terlihat pada kutipan berikut.

Aku ini sebetulnya bodoh atau apa? Kuliah tak kuselesaikan, malah kawin lari dengan laki-laki tak bermasa depan. Waktu itu bapak ibuku marah bukan main. Sudah dua kali lebaran aku coba datang untuk mohon maaf dari orang tuaku tapi bapakku tak kunjung melunak walaupun Ibu menerima kami yang mungkin saja karena kasihan. Kini aku bisa membenarkan perkataan keluargaku yang membodoh-bodohi kepandiranku yang tidak bisa berpikir logis saat jatuh cinta (LS, 2006: 100)

Tokoh Aku yang lebih memilih kawin lari daripada menyelesaikan kuliahnya menunjukkan bahwa tokoh Aku adalah seorang individu yang impulsif. Dorongan-dorongan id yang begitu kuat dalam dirinya tidak dapat ditekan oleh ego.

Setelah menikah dengan suaminya, akhirnya tokoh Aku dapat merasakan akibat dari kebodohannya. Kesulitan hidup yang dirasakan tokoh Aku semakin menambah ketegangan yang dirasakannya. Tokoh Aku mulai merasa lelah setiap hari harus mengurusi anak dan suaminya, belum lagi pekerjaan rumah tangganya dan pekerjaannya di pabrik. Tekanan akan tuntutan hidup dan kehamilannya yang kedua membuat tokoh Aku semakin temperamen.

Dengan suamiku, Mas Iwan, entah kenapa pada kehamilanku yang kedua ini aku jadi sering eneg pada aromanya. Aku tak suka dengan aroma tubuhnya, aku tak suka dia dekat-dekat aku saat habis mandi.


(46)

Aku tak suka bau keringatnya yang bercampur dengan deodoran murahan. Maka aku tak mau menyentuhnya saat malam-malam tiba. Aku emosional seperti gadis saat pre-menstruation-syndrome yang selalu marah. Aku tak sepenuh hati melayaninya (LS, 2006: 100). Pengaruh dari kehamilan keduanya semakin menampakkan dominasi id dalam kepribadian tokoh Aku. Tokoh Aku tidak menyukai aroma tubuh suaminya sehingga dia tidak sepenuh hati lagi saat melayani suaminya. Dia menjadi emosional dan mudah marah.

Karena temperamennya, suami tokoh Aku menampakkan gelagat yang membuatnya curiga. Suatu hari tokoh Aku mengikuti suaminya keluar dan melihat suaminya pergi ke hotel krusek bersama dengan seorang perempuan. Tokoh Aku terus mengikuti suaminya sampai ke depan kamar hotel itu.

Mereka masuk ke sebuah hotel krusek. Bukan main, demi melihat itu jantungku tak bisa berhenti berdebar kencang, keringat sebesar biji jagung bercampur dengan amarah dan kesal di dalam dada. Setelah sekitar sepuluh menit, aku mengumpulkan keberanian dan menghela nafas berulang-ulang lalu melangkahkan kakiku, menuju ke kamar itu (LS, 2006: 101).

Aku mengetuk kamar, setelah lima menit di depannya dan aku terus memaksa dengan ketokan semakin keras, akhirnya pintu dibuka… oleh suamiku sendiri yang hanya bercelana pendek dan perempuan itu di ranjang menutupi ketelanjangannya dengan selimut (LS, 2006: 102). Dari kutipan di atas dominasi id dalam kepribadian tokoh Aku semakin terlihat. Ketegangan yang diarasakannya karena melihat suaminya bersama perempuan lain masuk ke kamar hotel, semakin meningkat. Untuk meredakan ketegangan yang dirasakannya, tokoh Aku mendatangi kamar hotel itu dan menggedor pintunya.


(47)

dalam kepribadian tokoh aku, Ego tokoh Aku tidak berhasil mengendalikan tuntutan buta dari id, dan super ego tokoh Aku juga tidak berhasil mempengaruhi

ego. Akhirnya hubungan tokoh Aku dan suaminya menjadi tidak harmonis.

Selanjutnya kami cekcok mulut, lebih tepat lagi aku memberondongnya dengan kata-kata kasarku. Dia malu dan menarikku pulang setelah men-stater motornya di parkiran. Kami melanjutkan rebut-ribut di kamar kos.

Dia menyalahkan aku yang tak bisa memenuhi hasrat kelaki-lakiannya. Aku menuduhnya bahwa dia memang sering berhubungan badan dengan pelacur. Katanya, dia baru mulai begitu sejak aku hamil yang kedua ini sebab aku tak mau melayaninya, aku tak percaya.

Aku tak peduli walau suamiku coba menenangkanku dan mengingatkanku akan adanya rasa malu, tapi aku tak peduli, aku makin kalap dan mencakarnya (LS, 2006: 102).

Id berfungsi melepaskan rangsangan, ketegangan dan energi. Id selalu mencari pelepasan ketegangan yang bersifat segera melalui tindakan, tanpa peduli apakah tindakan itu tepat dan benar untuk dilakukan. Karena dorongan id yang besar mendominasi kepribadian tokoh Aku, tokoh Aku melakukan tindakan-tindakan yang berasal dari naluri primitifnya. Tokoh Aku memberondong suaminya dengan kata-kata kasar, menuduh suaminya telah lama selingkuh, tidak percaya pada kata-kata suaminya, bahkan sampai mencakar suaminya. Hal itu dilakukannya untuk melepaskan ketegangan yang dirasakannya dan mendapatkan rasa puas.

Pengaruh ego dan super ego yang lemah dalam kepribadian tokoh aku tidak dapat mengendalikan dorongan-dorongan primitif dari id. Tokoh Aku semakin kalap ketika suaminya tak juga pulang berhari-hari setelah mereka bertengkar.


(48)

Aku masih menunggu suamiku pulang tapi dia tak kunjung datang. Aku tak tahan lagi. Aku capek. Kuambil Baygon semprot, kubuka tutupnya. Apakah lebih baik aku mati saja? Hidup di dunia ini tak lagi berguna. Aku tak bisa menyenangkan anakku, tak bisa memenuhi kebutuhannya. Aku ingin mati saja (LS, 2006: 103).

Kutipan di atas menunjukkan kekalapan tokoh Aku yang sudah mencapai puncaknya. Dia ingin bunuh diri. Dorongan id yang semakin mendominasi kepribadiannya membuat hasratnya ingin segera mengakhiri ketegangan yang diarasakannya.Sesuai dengan prinsipnya, id selalu ingin mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit. Tokoh Aku ingin menghindari rasa sakit (ketegangan)nya dengan cara bunuh diri.

Oleh karena sifatnya yang tidak realistis dan hanya mencari kepuasan, id

bekerja dengan tidak logis dan mampu memuaskan pikiran-pikiran yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Id tidak mampu membuat keputusan atas nilai dasar atau membedakan hal-hal yang baik dengan yang buruk. Demikian juga yang terjadi pada kepribadian tokoh Aku yang terlihat pada kutipan berikut.

Tapi… bunuh diri itu kan dosa… lagipula… aku sedang mengandung… bukankah itu berarti aku membunuh bayiku sendiri? Dosaku jadi berlipat-lipat. Tapi… bukankah bayi ini baru berusia tiga bulan, kata orang nyawanya belum ada sebelum empat bulan sepuluh hari… lagi pula… kalau dia dilahirkan, apa bayi ini bisa hidup senang? Belum tentu aku bisa menyenangkannya, mungkin juga gara-gara kulahirkan dia akan jadi orang susah. Aku tidak inginkan itu. Masih kupandangi Baygon di tanganku, kuelus jabang bayiku diperut yang belum lagi terlihat besar. Maafkan ibu, Nak… Dan… aku menegak isi botolnya (LS, 2006: 104).

Tokoh Aku menyadari bahwa tindakan bunuh diri itu adalah dosa dan tidak dibenarkan. Di sini super ego menjalankan perananya, yaitu memperingati tokoh Aku akan rasa berdosa. Akan tetapi karena pengaruh id sangat mendominasi


(49)

menyebabkan ego tidak mampu menyeimbangkan antara keinginan id tokoh Aku, yaitu keinginan untuk bunuh diri, dengan perasaan berdosa dari super ego. Akhirnya tokoh Aku lebih memilih untuk mati daripada harus hidup susah.

4.1.5 Obral Peti Mati

Cerpen ini menceritakan seorang tokoh Aku yang berprofesi sebagai pembuat dan penjual peti mati di lingkungan tempat tinggalnya. Namun, sudah berbulan-bulan lamanya tidak ada satu peti pun yang terjual. Sementara itu persediaan makanan dalam rumah tokoh Aku semakin menipis dan biaya sekolah anaknya juga sudah menunggak tiga bulan. Hal ini mendorong tokoh Aku melakukan sebuah gagasan yaitu mengobral harga peti matinya sebesar 50%. Meskipun istrinya marah-marah dan merasa hal tersebut sangat konyol dan memalukan, tapi demi mendapatkan penghasilan tokoh Aku tetap melaksanakan gagasannya itu.

Dalam psikologi Freudian, super ego mewakili aspek-aspek moral dan ideal dari kepribadian serta dikendalikan oleh prinsip-prinsip moralistis dan idealis yang berbeda dari prinsip kesenangan dari id dan prinsip realitas dari ego

(Feist dan Feist, 2010: 34). Tokoh utama dalam cerpen Obral Peti Mati ini memiliki kepribadian yang didominasi oleh super ego. Tokoh Aku dalam menjalankan perannya sebagai kepala keluarga bekerja dengan giat demi mendapatkan penghasilan untuk anak istrinya.

Inilah pekerjaanku selama dua puluh tahun; membuat peti mati dan menjualnya. Sisa-sisa kayu dari peti mati yang kubuat kujual sebagai kayu bakar di pasar, kadang aku juga membantu para tetangga untuk


(50)

memperbaiki kebocoran di rumah mereka. Tapi akhir-akhir ini tak ada benar-benar kerja yang bisa kulakukan (LS, 2006: 126).

Dari kutipan di atas terlihat bahwa semua pekerjaan yang dapat ia lakukan akan dikerjakannya. Selama dua puluh tahun pekerjaan tetapnya hanya membuat dan menjual peti mati. Karena peti matinya tidak setiap hari bisa terjual, maka dia mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak tetap demi menambah pemasukan untuk kelangsungan hidup keluarganya. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah sudah berbulan-bulan lamanya belum ada peti mati yang terjual, dan tokoh Aku juga tidak mendapatkan pekerjaan sampingan.

Tidak adanya pekerjaan sampingan dan peti mati buatanya pun sudah berbulan-bulan belum ada yang terjual, membuat tokoh Aku harus bepikir keras untuk mendapatkan pemasukan. Bisnis peti mati yang ia jalankan mengharuskannya menunggu sampai ada seseorang yang tertimpa kemalangan sampai meninggal dan akhirnya menghuni peti mati buatannya itu. Namun saat itu teknologi dan berbagai macam suplemen kesehatan adalah yang menjadi musuh utamanya.

Sayang, sudah berbulan-bulan tidak ada satu petipun yang bergerak. Ini berarti tidak ada kematian yang menghampiri. Aku mengutuki teknologi dan segala suplemen instan, segala yang membuat manusia awet muda dan panjang umur, segala yang membuat rejekiku mampat. Aku membencinya! Semua yang membuat aku tak bisa cukup memberi makan anak istri. Lalu aku berpikir keras, apa yang bisa kulakukan? (LS, 2006: 127).

Seperti halnya id, super ego juga bisa bekerja pada level yang amat primitif. Tuntutan super ego akan kesempurnaan terkadang menjadi tidak realistis. Hal inilah yang dialami oleh tokoh Aku. Keadaan ekonomi yang mendesak


(51)

teknologi yang berkembang serta suplemen-suplemen kesehatan yang membuat manusia awet muda menghambatnya. Tokoh Aku sangat membenci hal itu karena membuatnya tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarganya.

Akhirnya tokoh Aku menemukan sebuah gagasan agar peti matinya menarik perhatian orang. Ia mengobral peti mati buatannya menjadi setengah harga. Meskipun tampak tidak masuk akal dan istrinya tidak menyukai gagasan itu, tokoh Aku tetap menjalankan gagasannya tersebut dan berharap akan berhasil.

Aku meminta sisa cat dan papan tripleks yang sudah tak lagi terpakai dari tetangga, kutuliskan; OBRAL PETI MATI. Walaupun istriku tak habis mengomel, tapi aku melakukan hal konyol ini karena aku ingin mencukupi kebutuhan keluargaku. Tak tanggung-tanggung, aku memberi diskon hingga 50% dari harga normal (LS, 2006: 127).

Super ego memiliki dua subsistem, suara hati dan ego ideal. Freud tidak membedakan kedua fungsi ini secara jelas, tetapi secara umum, suara hati lahir dari pengalaman-pengalaman mendapatkan hukuman atas perilaku yang tidak pantas dan mengajari kita tentang hal-hal yang sebaiknya tidak dilakukan, sedangkan ego ideal berkembang dari pengalaman mendapatkan imbalan atas perilaku yang tepat dan mengarahkan kita pada hal-hal yang sebaiknya dilakukan (Feist dan Feist, 2010: 34). Dari kutipan di atas terlihat bahwa tokoh Aku memiliki ego ideal dalam super ego-nya. Dia melakukan hal yang terlihat aneh bagi orang-orang demi mendapatkan penghasilan untuk keluarganya. Dia merasa harus mengobral peti mati buatannya untuk mendapatkan penghasilan karena jika tidak kebutuhan hidup keluarganya tidak dapat tercukupi. Jadi, jelas bahwa kepribadian tokoh Aku dalam cerpen ini didominasi oleh super ego.


(52)

4.1.6 Buroq

Cerpen ini menceritakan seorang yang bernama Qatrun bermimpi bertemu dengan Muhammad yang berdiri di atas buroq. Qatrun yang biasa dipanggil dengan Cimeng oleh orang-orang di sekitarnya bermimpi bertemu dengan Muhammad pada suatu sore yang gerimis di bulan Ramadhan. Qatrun/Cimeng adalah seorang pemuda yang memiliki banyak tatto di kulitnya dan memiliki kios tatto. Tetangga-tetangganya menganggap dia sampah masyarakat karena setiap malam dia dan beberapa temannya berkumpul di depan kios tattonya menghabiskan berbotol-botol minuman keras. Meskipun dia mengaku beragama Islam, dia tak pernah salat dan puasa pun tidak. Telah sepuluh hari bulan Ramadhan dan ia baru tiga kali benar-benar berpuasa. Bukan karena merasa wajib, tapi karena ia malas keluar dari rumah sewanya untuk membeli makanan. Hari ketiga dia berpuasa adalah saat dia bermimpi bertemu dengan Muhammad. Hal ini membuatnya heran dan bertanya-tanya.

Pencerita mimpi siang itu sangat baik pada dirinya. Tentu saja ia jatuh heran, dirinya yang selama ini menganggap dunia brengsek maka dia harus menjadi seorang brengsek pula, tiba-tiba menjadi orang terpilih yang bertemu Muhammad dalam mimpinya. Ia tak tahu apa artinya, tapi mimpi itu sangat jelas. Hanya ada satu yang tidak jelas; wajah Muhammad (LS, 2006: 134).

Qatrun/ Cimeng yang merasa dirinya adalah orang bejat yang tidak pernah salat tentu saja tidak pernah menyangka akan memimpikan Muhammad. Kepribadian Qatrun/ Cimeng didominasi oleh pengaruh id. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut.


(53)

orderan tindik di lidah seorang anak usia SMA yang katanya ingin

trendy (LS, 2006: 139).

Id merupakan sistem kepribadian yang hanya mengejar kesenangan. Demikian juga dengan id dalam kepribadian Qatrun/Cimeng, pada bulan Ramadhan dia tidak peduli dengan aturan-aturan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat di tempat tinggalnya, dia tetap menerima orderan pembuatan tindik pada seorang anak SMA.

Freud mengemukakan bahwa manusia termotivasi oleh dorongan-dorongan utama yang belum atau tidak mereka sadari (Feist dan Feist, 2010: 27). Sebab itulah psikoanalisis digunakan untuk tujuan mengungkapkan ketidaksadaran dalam kehidupan mental. Tanpa disadari, ternyata ketika berusia tujuh tahun Qatrun/Cimeng juga pernah memimpikan hal yang sama, yaitu bertemu dengan Muhammad.

Ia mengingat-ingat, apakah saat itu pagi atau senja. Usianya baru tujuh tahun tapi ia sudah sanggup berpuasa penuh. Ibunya yang tiba-tiba muncul dari balik pintu menyapanya dengan lembut, “Qatrun, salat Asar dulu sana. Sebentar lagi Magrib, lho.” Kini ia tahu, dirinya terbangun pada sebuah sore yang gerimis di bulan suci. Ia tak segera bergegas, mengingat-ingat mimpinya satu menit yang lalu. Sebuah gambaran yang jelas. Mimpi yang jelas, hanya satu yang tidak begitu jelas; sebuah wajah. Wajah Muhammad dalam mimpinya (LS, 2006: 135).

Ketika berumur tujuh tahun, Qatrun adalah seorang anak yang taat pada agamanya. Alam tidak sadar merupakan tempat dari segala dorongan, desakan maupun insting yang tidak disadari tetapi dapat berpengaruh pada perkataan, perasaan, dan tindakan seseorang. Alam tidak sadar juga merupakan penjelasan dari makna yang ada di balik mimpi. Qatrun/Cimeng tidak sadar bahwa sebenarnya dia memimpikan hal yang sama dua kali, yaitu ketika dia masih


(54)

seorang bocah yang taat pada agamanya, kemudian ketika dia berubah menjadi seorang pemuda yang tidak peduli pada sekitarnya.

“Kau… bermimpi bertemu Muhammad?” Ustaz tersentak, ia harus mengakui ada sedikit rasa iri menyelip. Bahkan dirinya yang sudah berumur dan selama ini menganggap cukup taat belum pernah bermimpi bertemu Muhammad.

“Bagaimana ia?”

“Ia berdiri di atas buroq dengan wajah yang tidak begitu jelas tetap menatap ke arah kami.”

“Aku dan sekelompok orang. Tetapi mereka tidak ada yang percaya kalau dia Muhammad. Hanya aku dan seorang laki-laki beraroma minuman keras yang berdiri di sebelahku yang percaya.” (LS, 2006: 136).

Menjelang Magrib, akhirnya laki-laki yang dipanggil Cimeng itu memutuskan untuk berjalan ke mini market dekat rumah sewanya dan membeli roti tawar untuk makan. Sepanjang itu pula ia masih tetap mengingat-ingat mimpinya atdi. Ada sekelompok orang di situ, namun hanya dirinya dan seorang bocah yang percaya bahwa lelaki yang berdiri di atas buroq itu adalah Muhammad (LS, 2006: 137).

Perubahan Qatrun dari seorang anak yang penurut dan taat menjadi seorang yang tidak peduli pada sekitarnya disebabkan oleh masa kecilnya yang banyak mengalami tekanan psikis. Sejak kecil Qatrun sering menyaksikan kekerasan ayah pada ibunya.

Saat pulang, tak jarang ayahnya tak hanya membawa pakaian kotor, tetapi juga aroma sangit keringat akibat tak mandi beberapa hari bercampur minuman keras, penat yang sangat, serta sedikit uang sisa mabuk—dan mungkin berjudi juga ke pusat pelacuran- hasil menyupir truk. Itu bukan pemandangan baru bagi Qatrun. Maka itu aroma minuman keras akrab di hidungnya yang masih muda. Jika Ibu bertanya habis dari mana, tangan ayahnya melayang ke pipi Ibu, meninggalkan bekas merah. Sedang dirinya sendiri akan terbangun dan mengintip dari balik tirai pintu ayahnya sedang memukuli ibunya (LS, 2006: 138).


(1)

memilih tinggal di dunianya sendiri dan melakukan apa pun sesuai dengan keinginannya sendiri. Dalam hal ini pengaruh id yang berperan dalam kepribadiannya membuatnya bersikap seperti itu. Saat dewasa Qatrun memang mewujudkan keinginannya meninggalkan rumah. Dia menjadi seorang pemuda yang pekerjaannya membuat tatto dan tindik. Tanpa disadarinya dia juga memimpikan hal yang sama seperti saat dia berumur tujuh tahun, yaitu mimpi bertemu dengan Muhammad yang berdiri di atas buroq.


(2)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terhadap kumpulan cerpen Larutan Senja karya Ratih Kumala, dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut:

1. Psikoanalisis Sigmund Freud memandang kepribadian sebagai suatu struktur yang terdiri dari id, ego, dan super ego dan tingkah laku seorang individu ditentukan oleh ketiga sistem kepribadian tersebut.

2. Setiap tokoh utama dalam kumpulan cerpen Larutan Senja menampilkan kepribadian yang didominasi oleh id, ego, dan super ego. Tokoh yang didominasi oleh id biasanya hanya mencari kesenangan dan kepuasan. Tokoh yang didominasi oleh ego biasanya sehat secara psikologis dan selalu mampu bersikap tenang. Tokoh yang didominasi oleh super ego biasanya sering merasa bersalah dan merasa rendah diri.

3. Kecemasan yang dialami oleh tokoh utama adalah kecemasan riel, kecemasan neurotik, dan kecemasan moral.

4. Tokoh yang didominasi oleh id biasanya mengalami kecemasan neurotik. Tokoh yang didominasi oleh ego biasanya mengalami kecemasan riel. Tokoh yang didominasi oleh super ego biasanya mengalami kecemasan moral.


(3)

5.2 Saran

Kumpulan cerpen Larutan Senja menunjukkan nilai bahwa karya sastra memiliki makna yang berlimpah. Ratih Kumala sebagai pengarang dengan wawasan intelektualnya yang luas mampu melukiskan kondisi individu ke dalam bentuk situasi yang paradoksal dan ironis, sehingga memberikan gambaran tentang zaman yang semakin berubah. Pengarang mampu melukiskan kondisi dan situasi para tokoh-tokohnya dengan kreatif dan imajinatif, sehingga gambaran psikologis setiap tokoh menarik. Berdasarkan kualitas dan kreatifitas pengarang dalam melukiskan cerita yang imajinatif, maka kumpulan cerpen Larutan Senja ini tepat untuk dijadikan sebagai objek penelitian dari beragam unsur sosial lainnya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, dkk. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Aminuddin. 1990. Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa

dan Sastra. Malang: Yayasan Asah Asih Asuh.

Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Brata, Surya. 1982. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali Pers.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra:Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Presindo.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra: Teori, Langkah dan Penerapannya. Yogyakarta: Media Presindo.

Feist, Jess dan Gregory Feist, 2010. Teori Kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika.

Koswara, E. 1991. Teori-teori Kepribadian. Bandung: Eresco.

Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pervin, Lawrence dkk. 2010. Psikologi Kepribadian: Teori dan Penelitian. Jakarta: Kencana.

Pradopo, Rahmad Djoko. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita.

Pradopo, Rahmad Djoko, dkk. 2003. Beberapa Teori Sastra: Metode Kritik dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Semi, Atar. 1993. Metodologi Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa. Siswantoro. 2004. Metode Penelitian Sastra Analisis Psikologi. Surakarta:

Sebelas Maret University Press.

Subroto. 1992. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Grafindo Persada. Sutopo, H.B. 2002. Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.


(5)

Surachmad. 1990. Dasar dan Teknik Research: Pengantar Metodologi Ilmiah. Bandung: Sinar Harapan.

Teeuw, A. 1985. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: PT. Pustaka Jaya.

Wellek, Rene dan Warren Austin. 1993. Teori Kesusastraan (Terjemahan Melani Budianto). Jakarta: PT. Gramedia.

Yudiono, KS. 1990. Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa. Internet

Aries. 2013 http://liberty-aries.blogspot.com/2012/04/teori-psikologi-kepribadian-menurut.html. 15 April.

Hasugian, Fre

20 Juli.

Luhur, Indra Satria. 2013.


(6)

SINOPSIS

1. Larutan Senja

Cerpen ini menceritakan tentang seorang penemu “dia” yang tidak memiliki obsesi- obsesi besar dan target pada penemuan-penemuannya. Namun, hasil penemuan-penemuan sederhananya ternyata dapat melengkapi dan memperindah penemuan tuhan yang dinamakan ‘dunia’ sehingga tuhan sering membeli hasil ciptaan sederhanya itu dengan harga murah. Ternyata semakin lama tokoh “dia” merasa kesal pada tuhan sebab tuhan selalu mendapatkan pujian dan tepukan yang riuh dalam setiap pertemuan anggota kelompok penemu, sedangkan dia tidak. Tokoh “dia” juga kesal sebab tuhan tidak pernah menyebutkan namanya sebagai penemu yang juga berperan dalam perkembangan ‘dunia’ dalam setiap pertemuan. Hingga akhirnya tokoh “dia” menciptakan sebuah ‘larutan senja’ yang memang sengaja untuk memperindah ‘dunia’ milik tuhan. Akan tetapi tokoh “dia” akan menjual larutan itu dengan harga yang tinggi, yaitu dia ingin agar tuhan memberikan sebagian ‘dunia’ padanya.

2. Tahi Lalat di Punggung Istriku

Cerpen ini menceritakan tokoh “aku” yaitu seorang suami yang sangat mencintai istrinya. Hal yang paling dia sukai dari istrinya adalah tahi lalat di punggung istrinya. Begitu sukanya pada tahi lalat itu tokoh “aku” sangat hapal di mana letak tahi lalat itu sekalipun istrinya berpakaian lengkap, dan setiap bertemu istrinya tokoh “aku” selalu menyentuh dan mencium tahi lalat itu. Tahi lalat itu membuat tokoh “aku” sangat bergairah. Hingga suatu hari saat sedang bercinta