Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia D 902011106 BAB VI

Bab VI
Sensor dan Ekhibisi

Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera
mendaftarkan film tersebut ke Lembaga Sensor Film untuk diperiksa
dan diberi ijin untuk ditayangkan. Ijin tersebut berupa surat tanda lolos
sensor dari LSF. Jika pembuat film sudah memperoleh ijin tersebut,
barulah film itu ia bawa ke ekshibitor (pengusaha bioskop) untuk
negosiasi penayangan filmnya di layar lebar.
Lembaga Sensor Film telah ada sejak era kolonialisme, jaman
penjajahan Belanda. Peraturan sensor atas film mulai diterapkan di
bioskop tahun 1900 karena berbagai konten yang dianggap tidak layak
disaksikan masyarakat pribumi, karena Belanda khawatir bagsa jajahan
akan memberontak. Sejak mulai beroperasinya Nederlandsche
Bioscope Maatschappij (Perusahaan Bioskop Belanda) di sebuah rumah
di Kebon Jahe, Tanah Abang di sebelah pabrik kereta/bengkel mobil
(Maatschappij Fuchss) 5 Desember 1900, enam tahun kemudian
dibuatlah peraturan sensor film.
Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Ordonansi pada
tahun 1916 yang mengatur tentang film dan cara penyelenggaraan
usaha bioskop atau ‖gambar idoep‖. Lembaga tersebut bernama

Commissie voor de Kuering van Films atau Komisi Pemeriksa Film
(KPF). Sebagaimana disebutkan dalam Film Ordonantie No. 276, sistem
penyensoran dilakukan pada pra-produksi, melalui deskripsi film. Jika
dianggap perlu, film dipertunjukkan kepada KPF.
Sejalan dengan perkembangan, bioskop makin menancapkan
jejaknya dan membawa pengaruh dalam kehidupan masyarakat Hindia
Belanda. Peraturan yang dibuat dan diterapkan secara longgar oleh
pemerintah kolonial, mengakibatkan banyak orang yang menganggap
bioskop telah membawa pengaruh buruk bagi rakyat pribumi,
229

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

termasuk mengubah pandangan inlanders terhadap tuan-tuan kulit
putih yang berkuasa (http://www.lsf.go.id/publik/content/, diunduh
tanggal 1 November 2016).

Sejarah Sensor Film di Indonesia
Melalui laman lembaga sensor film, penulis mendapatkan
informasi tentang perkembangan sensor atas film di Indonesia. Adalah

Sir Hesketch Bell yang memberikan kesaksian, lewat buku
Administration in the Far East (1926) dalam perjalanan di Asia, bahwa
tak satu pun manusia yang ditemuinya tak sependapat bahwa dampak
film sangat menyedihkan bagi kewibawaan orang Eropa di Timur Jauh.
Sebelum bioskop menyajikan bagian yang tidak baik dari masyarakat
kulit putih, banyak bangsa kulit berwarna tidak mengetahui kejatuhan
moral di kalangan terrtentu dalam masyarakat Barat. Penulis membagi
sejarah perkembangan sensor di Indonesia ke dalam tiga masa, yaitu (i)
masa penjajahan Belanda, (ii) masa penjajahan Jepang, dan (iii) masa
kemerdekaan, (iv) era pasca reformasi.

Masa Penjajahan Belanda
Menyadari pengaruh buruk film dan bioskop, terutama yang
dalam kacamata pemerintah kolonial yang dianggap menyerang
kewibawaan mereka secara psikologis. Film Ordonansi 276 tahun 1916
pun berkali-kali mengalami pembaharuan sebagaimana yang tertera
dalam Lembaran Negara No.377 (1919), No.688 (1919), dan No.742
(1922). Dalam Film Ordonantie No.377 (1919), disebutkan bahwa KPF
memiliki kewenangan:
1. mengizinkan film

2. mengizinkan pertunjukan film ke khalayak untuk sementara
3. menolak film seutuhnya atau sebagian.
Sebenarnya, Film Ordonantie Nomor 377 masih sama dengan Lembar
Negara No. 276, yaitu pada pra-produksi melalui deskripsi film, atau
230

Sensor dan Ekhibisi

jika dianggap perlu, film dipertunjukkan kepada KPF. Hanya saja,
terdapat tambahan berupa larangan antara lain adalah:
1. mengganggu ketertiban umum;
2. melanggar kesusilaan, tata krama; atau,
3. mengandung pengaruh yang merusak, seperti 'bahasa' atau
'perilaku' kasar; atau,
4. mempunyai pengaruh buruk terhadap penonton.
Masih pada tahun yang sama, dibuat aturan tambahan dalam Film
Ordonantie No. 742, yaitu anak-anak yang belum mencapai usia 15
tahun dilarang menonton film, kecuali:
1. KPF menyatakan bahwa film tersebut dianggap tidak merusak
anak;

2. ada pengumuman yang jelas pada semua tempat termasuk di
pintu masuk dan tertera pada karcis masuk bahwa film tersebut
layak bagi anak-anak (semua umur).
Pada tahun 1922, sebagaimana yang disebutkan dalam Lembar
Negara No. 688, ada tambahan peraturan dalam paragraf 6 Film
Ordonantie No. 377 (1919), yaitu: ‖Untuk membiayai administrasi dan
pengawasan, pemohon membayar uang yang jumlahnya akan
ditetapkan oleh Gubernur Jenderal kepada komisi sensor sebagai
imbalan untuk penyensoran setiap film yang diajukan.‖
Pada tahun 1925, melalui Film Ordonnantie 1925, Staadblad
No.477, yang diberlakukan 1 Januari 1926, dilakukan pembaharuan
seputar masalah KPF dengan meningkatkan sifatnya yang regional
menjadi sentral bagi seluruh Hindia Belanda. Komisi ini beranggotakan
15 orang, termasuk 4 wanita Eropa, 1 wanita pribumi, 4 orang
berkebangsaan bukan Eropa. Pada Film Ordonnantie No. 477, tahun
1925, disebutkan:
1. anak yang belum mencapai usia 17 tahun dilarang menonton
film kecuali kalau bukti pengizinan menyatakan bahwa
pertunjukan film tersebut tidak merusak anak;


231

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

2. KPF menolak film yang dianggap melawan ketertiban umum,
kesusilaan, atau dengan alasan lain merusak atau menentang
tatakrama untuk orang berusia lebih dari 17 tahun;
3. KPF memberi kesempatan kepada pemilik film yang filmnya
ditolak (sebagian atau seluruhnya) untuk mengajukan
keberatan atau keinginannya sebelum keputusan terakhir
diambil;
4. Bagian film yang ditolak akan dimusnahkan;
5. Kepala Pemerintahan setempat dapat melarang pertunjukan
hanya karena alasan ketertiban umum setempat;
6. Gubernur Jenderal dapat mengizinkan pertunjukan film yang
ditolak oleh komisi kepada orang atau lembaga tertentu untuk
tujuan riset ilmu pengetahuan atau untuk tujuan khusus yang
lain;

Film Ordonnantie 1925 tersebut diperbaharui lagi oleh Film

Ordonnantie 1926 (vide Staadblad No. 7), yang empat tahun kemudian
diperbaharui lagi oleh Film Ordonnantie 1930 (vide Staadblad No.
447).

Masa Penjajahan Jepang
Pada tahun 1942, Pemerintahan Hindia Belanda bertekuk lutut
di hadapan tentara pendudukan Jepang. Film Commissie dibubarkan.
Penggantinya adalah Dinas Propaganda Tentara Pendudukan Jepang
yang disebut Sendenbu Eiga Haikyusha (Peredaran Film) pada bulan
Desember 1942. Beberapa peraturan baru dibuat, isinya adalah:
Film-film Hollywood dilarang kecuali berisi konten:
1. kejahatan barat
2. persahabatan dengan Asia
Film-film yang dibolehkan harus mempertunjukkan:
1. kehebatan militer Jepang
2. budaya dan moral khas bangsa Jepang
3. keinginan Pemerintah Jepang
232

Sensor dan Ekhibisi


Film-film yang diproduksi harus:
1. menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Jepang
2. menggambarkan hubungan yang baik antara Jepang dan Asia
3. menggambarkan semangat nasionalisme
4. memperlihatkan kehebatan tentara Jepang
5. memperlihatkan kekayaan alam demi kesiapan menghadapi
perang Pasifik.

Masa Kemerdekaan
Pada masa perjuangan fisik untuk mempertahankan Republik
Indonesia antara tahun 1945-1946, tidak ada lembaga yang menangani
penyensoran film. Baru pada tahun 1948 diberlakukan kembali Film
Ordonnantie 1940, yang lebih disempurnakan dan dimuat dalam
Staadblad No. 155, yang menyatakan bahwa urusan pengawasan film
dilakukan oleh ―Panitia Pengawas Film‖ (PPF) di bawah Directeur van
Binnenlandsche Bestuur. Dalam kawasan yang masih dikuasai oleh
Pemerintahan RI, khususnya di Yogyakarta, Dewan Pertahanan
Nasional menerbitkan surat keputusan dan membentuk ―Badan
Pemeriksaan Film‖ yang diangkat dan diberhentikan serta bertanggung

jawab kepada Menteri Penerangan RI.
Pada tahun 1951, pemerintah menetapkan film memiliki aspek
pendidikan dan budaya, sehingga PPF dipindah menjadi berada di
bawah Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan
K). Ketentuan tersebut sebagaimana yang dipaparkan dalam UndangUndang No. 23/ 1951, Tentang Penyerahan Urusan Penilikan Pilem
dari Kementerian Dalam Negeri Kepada Kementerian Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan, yang mulai diberlakukan pada tanggal 20
November 1951.
Dari Undang-undang No. 23 Tahun 1951, terlahir Keputusan
Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan RI, No. 40439/ Kab.
Tahun 1952. Keputusan Menteri ini memberi instruksi kepada Panitia
Pengawas Film (PPF), selain melaksanakan pasal 9 Film Ordonantie
No. 507 Tahun 1940, juga melarang film-film, adegan-adegan,
233

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

percakapan-percakapan, dan tulisan-tulisan atau inti moral dalam filmfilm yang bersifat:
1.
2.

3.
4.

menganjurkan perang;
melanggar codex perwira (azas kesatrian)
memperlihatkan usaha untuk merobohkan pemerintah sendiri;
memperlihatkan bahwa sesuatu tujuan atau maksud, baik
maupun buruk, dapat dicapai dengan memakai kekerasan yang
menggunakan senjata berlebih-lebihan, berulang-ulang.

Pemerintah RI menganggap bahwa bangsa Indonesia tidak
boleh terkontaminasi oleh propaganda pihak asing melalui film yang
dipertunjukkan untuk umum. Hal itu dikarenakan bangsa Indonesia
sedang berjuang untuk tetap ‗merdeka atau mati‘. Pemerintah
menganggap bisa saja berbagai pesan disisipkan ke dalam film, yang
akan mempengaruhi opini masyarakat, sehingga secara tidak sadar
mereka mulai berpihak kepada pihak Belanda/ penjajah.
Pada tanggal 5 Agustus 1964 telah diterbitkan Penetapan
Presiden Nomor 1/ 1964. Dalam Penetapan Presiden tersebut di
antaranya ada penegasan bahwa film yang dibuat di Indonesia, wajib

memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Menjadi pendukung dan pembela dasar-dasar ideologi
Pancasila dan Idologi negara Pancasila dan manifesto politik
beserta pedoman pelaksanaannya;
2. Dalam
menggambarkan
hal-hal
yang
mengandung
pemberitaan kebijaksanaan, pemerintah memelihara agar
supaya pemberitaan dan ulasan itu bersifat konstruktif dan
tetap berpedoman pada manifesto politik beserta pedoman
pelaksanaannya;
3. Memperlihatkan syarat-syarat ketertiban umum dan peraturan
yang berlaku.
4. Film yang diimpor harus memenuhi syarat-syarat:
a. Tidak bertentangan dengan ideologi Pancasila, kepribadian
bangsa Indonesia dan manifesto politik beserta pedoman
pelaksanaannya;
234


Sensor dan Ekhibisi

b. Tidak menjadi alat propaganda ideologi lain
c. Sesuai dengan syarat-syarat ketertiban umum di Indonesia.
Melalui Instruksi Presiden No. 012/ 1964, urusan film dialihkan
dari Kementerian PP dan K kepada Kementerian Penerangan. Sejauh
menyangkut PPF, pada tanggal 21 Mei 1965 ditindaklanjuti dengan
Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 46/SK/M/1965 yang
mengatur penyelenggaraan penyensoran film di Indonesia melalui
suatu lembaga yang bernama ―Badan Sensor Film‖ (BSF). Adapun
fungsi dan tugas BSF tetap menitikberatkan pada upaya
menghindarkan masyarakat dari pengaruh buruk film, dan
memperjelas eksistensi dan fungsi film untuk turut memantapkan
program membangun nasionalisme (nation and character building).
Pembaharuan di Masa Orde Baru Memasuki awal dasawarsa
1990-an, keinginan sebagian besar masyarakat agar dibenarkan adanya
beberapa stasiun televisi swasta untuk mendampingi TVRI semakin
tidak terbendung lagi. Untuk mengantipasi segala kemungkinan,
mulailah digiatkan persiapan dan penyelenggaraan jajak pendapat
tentang perlunya Undang-undang tentang Perfilman.
Pada tanggal 30 Maret 1992 ditetapkanlah Undang-Undang No.
8 Tahun 1992 tentang Perfilman. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun
1992 tersebut, dinyatakan bahwa ―sensor film adalah penelitian dan
penilaian terhadap film dan reklame film untuk menentukan dapat
atau tidaknya sebuah film dipertunjukkan dan/atau ditayangkan
kepada umum, baik secara utuh maupun setelah peniadaan bagian
gambar atau suara tertentu‖. Di dalam UU tersebut, film diarahkan
untuk:
1. melestarikan dan mengembangkan nilai budaya bangsa;
2. membangun watak dan kepribadian bangsa serta dapat
meningkatkan harkat dan martabat manusia;
3. membina persatuan dan kesatuan bangsa;
4. meningkatkan kecerdasan bangsa;
5. mengembangkan potensi kreatif di bidang perfilman;
235

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

6. menjaga keserasian dan keseimbangan di antara berbagai
kegiatan dan jenis usaha perfilman;
7. menjamin terpeliharanya ketertiban umum;
8. tidak merusak moral dan kesusilaan;
9. menjadi sarana hiburan yang sehat dengan demikian konten
film harus sesuai dengan norma-norma kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan tetap
berpedoman pada asas usaha bersama dan kekeluargaan, asas
adil dan merata, asas perikehidupan dalam keseimbangan, dan
asas kepercayaan pada diri sendiri.

UU Perfilman Tahun 1992 melahirkan Peraturan Pemerintah
No. 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film (LSF). PP No. 7 Tahun
1994 berisi tentang kewenangan LSF sebagai berikut:
1. meluluskan sepenuhnya suatu film dan reklame film untuk
diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan
kepada umum;
2. memotong atau menghapus bagian gambar,adegan, suara dan
teks terjemahan dari suatu film dan reklame film yang tidak
layak untuk dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada
umum;
3. menolak suatu film dan reklame film yang tidak layak untuk
untuk diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau
ditayangkan kepada umum;
4. menetapkan penggolongan usia penonton;
5. menyimpan dan/ atau memusnahkan potongan film hasil
penyensoran dan film serta rekaman video impor yang sudah
habis masa hak edar;

Era Pasca Reformasi
Kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi mengubah
dinamika masyarakat dan persepsi mereka tentang sensor film. Pada
tahun 2009 pemerintah memperbarui Undang-undang Perfilman
236

Sensor dan Ekhibisi

dengan melahirkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2009. Pasal 1 UU
Perfilman 2009, menyebutkan bahwa:
―Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial
dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah
sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat
dipertunjukkan.
Perfilman adalah berbagai hal yang berhubungan dengan film.
Budaya bangsa adalah seluruh sistem nilai, gagasan, norma,
tindakan, dan hasil karya bangsa Indonesia di seluruh wilayah
nusantara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Kegiatan perfilman adalah penyelenggaraan perfilman yang
langsung berhubungan dengan film dan bersifat nonkomersial.
Usaha perfilman adalah penyelenggaraan perfilman yang
langsung berhubungan dengan film dan bersifat komersial.
Masyarakat adalah warga negara Indonesia nonpemerintah
yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang
perfilman.
Iklan film adalah bentuk publikasi dan promosi film.
Insan perfilman adalah setiap orang yang memiliki potensi dan
kompetensi dalam perfilman dan berperan dalam pembuatan
film.
Sensor film adalah penelitian, penilaian, dan penentuan
kelayakan film dan iklan film untuk dipertunjukkan kepada
khalayak umum.‖

Film-film yang dilarang berdasarkan UU No. 33 Tahun 2009
pasal 6, adalah jenis film yang:
1. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan
perjudian serta penyalahagunaan narkotika, psikotropika,
dan zat adiktif lainnya;
2. menonjolkan pornografi
3. memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok,
antarsuku, antar-ras, dan/atau antargolongan
4. menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai
keagamaan;
5. merendahkan harkat dan martabat manusia.
237

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Pada UU Nomor 33 Tahun 2009 ini, penonton digolongkan ke
dalam rentang usia sebagai berikut: (i) Semua Umur (SU), (ii) 13 tahun
atau lebih, (iii) 17 tahun atau lebih, dan (iv) 21 tahun atau lebih.
Adapun aturan yang berkenaan dengan sensor film tertera pada Bab VI
Pasal 57 yang menyebutkan bahwa:
1. Setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan atau
dipertunjukkan wajib memperoleh surat tanda lulus sensor.
2. Surat tanda lulus sensor sebagaimana dimaksud pada ayat
satu (1) diterbitkan setelah dilakukan penyensoran yang
meliputi:
a. penelitian dan penilaian tema, gambar, adegan, suara,
dan teks terjemahan suatu film yang akan diedarkan dan/
atau dipertunjukkan kepada khalayak umum;
b. penentuan kelayakan film dan iklan film untuk diedarkan
dan/atau dipertunjukkan kepada khalayak umum; dan
c. penentuan penggolongan usia penonton film.
3. Penyensoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
dengan prinsip memberikan perlindungan kepada
masyarakat dari pengaruh negatif film dan iklan film.
Pada Pasal 58, juga disebutkan bahwa:
1. Untuk melakukan penyensoran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 57 Ayat (2) dan Ayat (3) dibentuk lembaga
sensor film yang bersifat tetap dan independen.
2. Lembaga Sensor Film sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia.
3. Lembaga Sensor Film bertanggung jawab kepada presiden
melalui menteri.
4. Lembaga Sensor Film dapat membentuk perwakilan di ibu
kota provinsi.
Pasal 59 menegaskan bahwa:
238

Sensor dan Ekhibisi

"Surat tanda lulus sensor sebagaimana dimaksud dalam Pasal
57 Ayat (1) diterbitkan oleh lembaga sensor film"

Prinsip penyensoran juga dapat dilihat pada Pasal 60 yang
berbunyi:
1. Lembaga Sensor Film sebagaimana dimaksud dalam Pasal
58 ayat (1) melaksanakan penyensoran berdasarkan
pedoman dan kriteria sensor film yang mengacu kepada
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal
7.
2. Lembaga Sensor Film melaksanakan penyensoran
berdasarkan prinsip dialog dengan pemilik film yang
disensor.
3. Lembaga Sensor Film mengembalikan film yang
mengandung tema, gambar, adegan, suara, dan teks
terjemahan yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria
sensor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pemilik
film yang disensor untuk diperbaiki.
4. Lembaga Sensor Film mengembalikan iklan film yang tidak
sesuai dengan isi film sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 21 ayat (2) kepada pemilik iklan film untuk
diperbaiki.
5. Lembaga Sensor Film dapat mengusulkan sanksi
administratif kepada pemerintah terhadap pelaku kegiatan
perfilman atau pelaku usaha perfilman yang melalaikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan 7.
Selanjutnya, Pasal 61 disebutkan bahwa:
1.
2.

3.

Lembaga Sensor Film memasyarakatkan penggolongan usia
penonton film dan kriteria sensor film.
Lembaga Sensor Film membantu masyarakat agar dapat
memilih dan menikmati pertunjukan film yang bermutu
serta memahami pengaruh film dan iklan film.
Lembaga Sensor Film mensosialisasikan secara intensif
pedoman dan kriteria sensor kepada pemilik film agar
dapat menghasilkan film yang bermutu.
239

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

UU Perfilman Tahun 2009 memberi arahan dan amanat bahwa
LSF senantiasa mengedepankan prinsip dialog dalam menjalankan
penyensoran. Bahkan LSF sangat membuka ruang konsultasi pra-sensor
bagi kreator yang hendak mendiskusikan filmnya. Dialog pra-sensor
sudah berjalan secara efektif, yang pada akhirnya ketika film disensor
sudah bersih dari konten yang tidak diperkenankan oleh Undangundang. Dialog pra-sensor, tidak dikenakan biaya apapun.
Saat ini Lembaga Sensor Film dipimpin olej Dr. Ahmad Yani
Basuki, M. Si., dan Wakil Ketua Drs. Dody Budiatman, disertai
beberapa staf. Kepengurusan LSF ini masa kerjanya dimulai sejak tahun
2015-2019. Kantor Sekretariat LSF berlokasi di Gedung Film lantai 6,
Jl. M.T. Haryono Kav.47-48 Jakarta. Sayangnya, ketika penulis mampir
ke sana pada bulan Agustus-Oktober 2015, tidak ada yang bisa dan
bersedia diwawancarai.
Penulis hanya mendapatkan informasi tentang rekapitulasi
jumlah film yang lolos sensor dalam periode empat tahun terakhir
melalui laman LSF (http://lsf.go.id). Statistik menunjukkan bahwa
jumlah film di televisi yang masuk sensor dan lolos terus meningkat
selama empat tahun terakhir. Sementara, jumlah film di bioskop yang
lolos sensor relatif stabil pada periode tersebut. Data tersebut
ditunjukkan pada Gambar 6.1 dan Tabel 6.1.

Sumber: LSF, 2016

Gambar 6.1. Statistik Sensor di Indonesia Tahun 2013-2016

240

Tabel 6.1. Rekapitulasi Data Lulus Sensor Tahun 2016

Sensor dan Ekhibisi

241

Sumber: LSF, 2016

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Perdebatan Sensor Film di Indonesia
Sensor senantiasa menjadi perdebatan dari masa ke masa.
Beberapa wawancara pendahuluan di tahun 2007 telah penulis
lakukan dengan Ibu Titie Said10 (almarhum) yang menjabat Ketua
Badan Sensor Film di tahun tersebut, serta Bapak Slamet Rahardjo dan
Riri Riza yang mewakili pembuat film.
Penulis ingin tahu mekanisme sensor film di Indonesia Pasca
Reformasi, dan bagaimana tanggapan para pembuat film atas
mekanisme sensor itu. Penulis membaca di surat kabar dan majalah
Cinemags bahwa sensor film sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi di
era Pasca Reformasi ini. Riri Riza termasuk salah satu movie-maker
yang menolak adanya sensor atas film Indonesia. Berikut ini adalah
kutipan wawancara-wawancara tersebut, yang sengaja disajikan dalam
kondisi ―mentah‖ untuk memberi gambaran proses coding (Manurung,
E.M., 2008).

10

Elvy

: jadi maksud Ibu, film Indonesia bukan public
domain tapi domain-nya negara, ya, bu?

Titie

: Ngga juga, 45 itu –kita ini ada 45 orang—16 dari
masyarakat, dari berbagai instansi dan departemen,
10 dari organisasi, ada organisasi keagamaan, ada
organisasi perempuan, ada organisasi para pakar.

Elvy

: jadi, biarpun di-regulate tapi toh menampung
aspirasi dari masyarakat, begitu maksud ibu?

Titie

: Iya, iya, jadi semua itu menampung aspirasi. Oh,
regulasi itu perlu!Amerika tidak punya Undangundang koq, tapi karena mereka itu sudah maju dan
satu persepsi, maka bisa. Persepsinya satu, kalo anak
ngga boleh, orang tua juga ngga ngasih. Dia beli di
toko-toko porno misalnya, ya ngga boleh, ditangkap,
ada sanksinya. Biarpun yang jual anak-anak, kalo
ketahuan bisa ditangkap, ada peraturannya ada
sanksinya. Makanya kita perlu lembaga ini... Sebab

Wawancara dengan Titie Said di Gedung Film Jakarta, 3 Mei 2007. Ibu Titie Said
adalah seorang penulis senior dan menjabat sebagai Ketua Badan Sensor Film (BSF) di
Indonesia periode ... Beliau meninggal bulan Oktober 2011.

242

Sensor dan Ekhibisi

kalo anda melihat, wah kalau saya biarkan,
audzubilah… ada adegan-adegan yang wow… Jadi
kalo masuk bioskop, klasifikasi itu harus ada!
Elvy

: jadi tugas-tugas menyensor itu apa aja, sih, bu?

Titie

: pertama mereka (para pembuat film) harus daftar
dulu ke Direktorat Film, kemudian disaring dulu di
sana, baru ke sini, di sinilah kita melakukan
sensornya, 1 kelompok itu 5 orang, siapa dengan
siapa itu tidak ada yang tahu kecuali saya, saya anu
ngga hafal, itu sudah satu bulan sebelumnya
dikelompokkan. Mereka tonton satu demi satu,
kemudian di sensornya saya turut melihat, ceritanya
apa, genrenya apa, drama, komedi, atau apa? Horor?

Elvy

: Ok bu, jadi alasan penyensoran masih tetap ada
sampai saat ini, lebih karena keadaan masyarakat
kita yang belum siap?

Titie

: Iya, dan masyarakatnya juga berbagai-bagai.
Seniman muda teriak: kebebasan, tetapi yang agamis
juga menolak: hargai keyakinan saya… Nah, ini juga
yang susah memicu perubahan-perubahan..

Elvy

: kalo LSF ini pernah di-review atau ada yang mereview ngga, sih, bu? Saya baca di cinemags, di
Singapur tuh ada review board-nya per berapa
tahun direview, kita punya ngga badan seperti itu,
yang mereview entah aturan mainnya atau orangorangnya di LSF?

Titie

: yah, kalo mau direview, peraturan-peraturan kan
selalu ada… tapi kita kan payungnya Undangundang. Setelah tahun 1992, baru nanti akan direvisi
selama belasan tahun ini kan waktu cepet sekali,
pasti sudah banyak berubah. Seperti yang
kukatakan, dulu hanya ada satu TV dengan belasan
bioskop, sekarang ada 14 bioskop di Jakarta dan 98
televisi lokal, TV komunitas aku ndak tahu karena
ngga didaftar, jadi banyak sekali dan ini terbalik
keadaannya dengan jaman dulu. Sekarang bioskop
malah hanya sedikit.

243

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Elvy

: Kita punya UU No. 8 Tahun 1992, dan PP No 7
Tahun 1994 tentang LSF. Maksud ibu direvisi,
apanya?

Titie

: Sesudah PP masih ada Peraturan Menteri juga, kalo
mau direvisi yah semuanya. Kita kan payungnya
UU, jadi mulai dari Undang-undangnya dulu.
Sekarang inipun, sebenarnya sudah mulai ada
perubahan-perubahan, misalnya dulu tugas LSF
hanya di Jakarta. Sekarang, sejak ada TV lokal, maka
di daerah pun harus ada yang namanya sensor, iya
kan? Mau ubah nama LSF jadi LKF atau apapun,
mau mengklasifikasi umur dan sebagainya, intinya
kan tetap sama, harus ada yang melarang, sudah jadi
Lembaga Klasifikasi pun kita masih bisa menolak
koq, kalo ternyata film itu tidak cocok klasifikasi
umur penontonnya. Gitu…

Elvy

: Jadi LSF sekarang sedang mencari bentukan yang
‗pas‘ ya bu, supaya semua pihak diuntungkan?

Titie

: Iya, tapi ya ngga bisa, tetap aja harus ada yang
menyensor. Coba aja lihat tontonan sekarang, ada
―Buser‖, ada kriminal dan segala macam. Itu apa? Itu
kan merefleksikan keadaan masyarakat di suatu
tempat, pada suatu saat? Jadi gimana, anak-anak
yang menonton itu terus dapat apa? Demokrasi
kayak gimana, anak-anak menentukan tontonannya
sendiri? Ngga bisa, orang tuanya juga ngga bisa
diandalkan, lha wong anak-anak sekarang ditinggal
sendirian koq di rumah. Trus di sinetron, kenapa
banyak ibu-ibu yang kalo ngomong matanya harus
mendelik? Di sinetron kan mata ibu-ibu pada
mendelik semua… (interupsi telepon..) jadi film itu
bisa mempengaruhi budaya, karena bisa mengubah
pola pandang, pola pikir kita. Gitu, jadi film dalam
arti semua ya –dvd, vcd, segala macam tontonan—
bisa mengubah mindset kita.

Beberapa movie-maker berbeda pendapat dengan Titie Said
(alm.) mengenai eksistensi badan sensor atau lembaga sensor film di
Indonesia. Kutipan atas wawancara-wawancara terdahulu telah penulis
lakukan untuk kepentingan triangulasi data. Berikut ini adalah
244

Sensor dan Ekhibisi

kutipan-kutipan wawancara dengan Bapak Slamet Rahardjo, Riri Riza,
dan Ariani Darmawan di tahun 2007 (Manurung, E.M., 2008).
Elvy

: Jadi menurut bapak, film itu domain-nya siapa,
domain negara?

Slamet : Negara itu ngga ada urusannya dengan film. Kalau
kita percaya antara State, Nation, People, itu beda
dong! Bahwa sebuah negara dalam batas wilayah
nasional, dan kerja samanya dengan negara lain
yang disebut global, maka sangatlah naïf jika kita
menganggap bahwa Nation itu tidak ada. Itu kan
berarti kita ditipu mati-matian, seolah-olah
borderless-lah, nationless-lah, yah kalo begitu
caranya mana pernah ada Kancil menang ama
Harimau? Itu mah hutan belantara yang diberikan,
itu yang namanya persaingan bebas yang tanpa
ukuran. Nah, saya menolak globalisasi dari awal,
saya tidak menginginkan persaingan bebas, yang
saya inginkan adalah persaingan yang fair. Jadi
bukan free market atau free competition, tapi fair
market, fair competition. Harus tetap ada yang
mengatur...
Elvy

: Jadi, maunya peran pemerintah sekarang, lebih ke
arah apa?

Riri

: Pemerintah lebih bagus memikirkan persoalanpersoalan yang lebih urgent, misalnya pendidikan.
Memfasilitasi film-film Indonesia yang dianggap
perlu, sementara, pada saat yang sama, pemerintah
juga harus menyediakan penghubung supaya
kebijakan-kebijakan yang telah ada, misalnya antar
industri-industri, perpajakan, hak cipta, dan
industri-industri lain yang sudah ada dan berkaitan
dengan film. Film itu keterkaitannya dengan
industri lain, banyak sekali. Pemerintah harus bisa
memastikan bahwa industri film, berada pada
keadaan yang diuntungkan, misalnya kebijakan film
impor, kan sudah ada UU-nya? Kalau mau,
pemerintah bisa datang ke sana, bilang, bisa ngga ya
ini kan sudah aturan tentang impor, tentang
penanaman modal, harus dilakukan pembenahan.
Bikin dong sistem pinjaman lunak untuk
kebudayaan. Datang juga ke Dirjen Pajak, dan

245

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Gubernur atau Kepala Daerah Provinsi masingmasing, bicara soal pajak, untuk melakukan apa
yang namanya.. misalnya seperti ‗tax holiday‘ atau
pengurangan pajak. Misalnya bicara seperti ini,
bagaimana kalau pajak tontonan dikurangi dari 20%
menjadi 10%, pasti akan memicu produktifitas
orang-orang film. daripada menyumbang pajak 20 %
tapi cuma 2 kali, mendingan kan menyumbang
pajak 10% tapi 10 kali?
Elvy

: yang menentukan pembagian 40 : 40 (yang 20%
untuk pajak) antara pengusaha bioskop dengan
produser, itu siapa?

Riri

: Yah, itu adalah aturan baku. Udah dari sononya
kaya gitu, sama seperti di Amerika, di mana-mana.
Karena tidak ada peraturan mengenai itu, maka
bioskop bikin aturan sendiri, di sini bioskop kan
cuma satu? Dan organisasi film itu mandul, ada yang
namanya persatuan perusahaan film Indonesia, itu
juga mandul, ngga bisa turun ke jalan bersama-sama
dan ngomong ke twenty-one : gue maunya gini! Dan
juga karena pemerintahnya mandul.

Elvy

: Padahal kondisi perfilman kita saat ini sudah mulai

profitable ya, mas. Masa, ngga punya bargaining
power ?
Riri

: karena bargaining power kami lemah sekali,
mestinya sih bisa dan ada yang punya peran lebih
dari itu.

Catatan untuk proses coding transkrip wawancara: warna kuning untuk kode
peran pemerintah dalam sensor film (yang sudah ada dan yang diharapkan),
warna hijau untuk kode butuh penggalian informasi lebih lanjut (meragukan).

Jika Ibu Titie Said (alm.) sangat mementingkan peran lembaga
sensor dalam menyeleksi semua film yang akan tayang baik di bioskop
maupun televisi untuk menjaga moral masyarakat dan harkat/budaya
bangsa; maka Bapak Slamet Rahardjo dan Riri Riza berbeda pendapat.
Mereka lebih menginginkan peran negara sebagai regulator yang
berpihak pada para pembuat film sebagai pelaku, bukan lagi sematamata menjalankan sensor moral atau sensor politik.
246

Sensor dan Ekhibisi

Setelah film lolos sensor dan mendapat surat keterangan dari
LSF, film tersebut dapat segera dibawa ke ekshibitor yaitu pengusaha
bioskop untuk dinegosiasikan penayangannya pada layar lebar. Seperti
yang dikemukakan Riri Riza --yang kemudian ditegaskan kembali oleh
Ifa Isfansyah-- pembagian keuntungan masih tetap sama antara
pembuat film dengan pengusaha bioskop sampai saat ini, yaitu 40 : 40
: 20 (catatan 20% untuk pajak tontonan).

Ekshibitor di Indonesia
Layar lebar di Indonesia yang lebih dikenal dengan istilah
―bioskop‖ mengalami beberapa perkembangan. Dulu, bioskop tidak
semewah sekarang, bangunannya lebih sederhana dan dimiliki oleh
pengusaha kelas menengah di Indonesia. Namun seiring perkembangan
jaman, bioskop-bioskop tersebut akhirnya bangkrut. Bioskop kini
muncul dengan berbagai perbaikan, bangunannya lebih megah dan
mewah.

Gambar 6.2. Gedung ―Sylva‖ sisa-sisa peninggalan bioskop yang pernah
berjaya (dokumentasi MI/Khoirul Hamdani)

Sejak era Orde Baru, muncul bioskop dengan nama ―Studio 21‖
di Jakarta. Gedung bioskop ―Kartika Chandra‖ diubah ruangannya
menjadi beberapa layar, yang disebut dengan cinepleks. ―Studio 21‖
pertama di ―Kartika Chandra‖ ini dibangun oleh Sudwikatmono (alm.)
dengan Raam Punjabi. Nama ―21‖ diambil dari nomor kavling di Jalan
M.H. Thamrin lokasi bioskop tersebut. Saat ini, gedung ‗Studio 21‖
tersebut telah berubah menjadi gedung pencakar langit ―BII Tower‖.
247

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Tahun 1999, Sudwikatmono melepas kepemilikan atas ―Grup 21‖ itu
pada rekannya yaitu Benny Suherman dan Harris Lesmana
(http://news.detik.com/kolom/1542254/, diunduh tanggal 2 November
2016.
Sampai awal tahun 2016, bioskop di Indonesia sudah berjumlah
1.000 layar, dan dipastikan akan bertambah terus hingga 2.000 layar di
tahun 2018. Pemain baru bermunculan, bukan hanya ―Grup XXI‖ saja,
kini hadir ―Bliz Megapleks‖ dan ―Cinemaxx‖ dengan teknologi baru
dan pilihan film-film non-Hollywood seperti film-film Asia (disebut
bioskop independen). Bisnis di bidang layar lebar akan berkembang
dan bergairah. Bertambahnya layar lebar menjadi dorongan positif bagi
bisnis dan industri film di Indonesia (Metro News, 4 Juni 2015).

Tiga Bioskop Terbesar
Sampai saat ini layar bioskop terbanyak dimiliki oleh ―Cinema
XXI‖ yaitu sebanyak 853 layar di 152 lokasi di Indonesia, dan masih
akan menambah terus jumlah layarnya di tahun berikutnya. ―Grup
XXI‖ menurut Ibu Catherine Keng, menyambut baik kehadiran pemain
baru dan berharap pemain-pemain baru ini membuka bioskop di
daerah-daerah yang belum tersentuh bioskop selama ini (Keng, C.,
2015).
Perusahaan ―XXI‖ atau Cineplex 21 Group –sebenarnya tidak
berbeda, keduanya dalam satu kepemilikan yang sama—berdiri sejak
tahun 1986. Grup ini sejak semula sudah bekerja sama dengan
perusahaan ―IMAX‖ di Amerika Serikat yaitu spesialis layar super
besar. Saat ini, ―Grup XXI‖ sudah memiliki enam bioskop ―IMAX‖. Satu
kekurangan bioskop ini adalah jarang, hampir tidak pernah,
menayangkan film indie atau film Asia.
Dua pemain baru dalam usaha ekshibitor, adalah ―Blitz
Megaplex‖ dan ―Cinemaxx‖, memberikan alternatif ruang menonton
baru bagi para penonton. ―Blitz‖ yang dimiliki oleh industri hiburan CJ
Korea, berencana membangun sejumlah bioskop di delapan lokasi di
248

Sensor dan Ekhibisi

Indonesia. Kota-kota baru yang dituju adalah Surabaya, Bandung,
Tangerang, Karawang, Cirebon, Jakarta dan Yogyakarta. ―Blitz‖
menargetkan 150 layar di 20 lokasi selama dua tahun ke depan.
Jaringan bioskop baru ―Cinemaxx‖ yang dimiliki oleh ―Lippo
Group‖ juga menyediakan dana sebesar enam triliun rupiah dalam
rangka membangun 1.000 layar bioskop di 85 kota di Indonesia untuk
lima tahun ke depan. Sampai saat ini ―Cinemaxx‖ memiliki limapuluh
satu layar di sepuluh lokasi. Bulan Juni tahun 2015, layar ditambah
enam di ―Lippo Plaza‖ Yogyakarta. Menurut Brian Riady (2015)
perusahaannya bertekad untuk menjadi jaringan bioskop terbesar yang
disukai anak muda di Indonesia.
Ketiga bioskop terbesar di Indonesia ini memiliki ciri khas
masing-masing. Sebagai pemain lama, ‖Grup XXI‖ memiliki jenis
ruangan sedang yang kurang lebih memuat 150 orang. ―XXI‖ memiliki
studio ―IMAX‖ dengan dolby atmos audio. Pendatang baru yaitu ―Blitz
Megapleks‖ memiliki ruangan yang lebih luas serta layar yang
ukurannya jumbo, khusus di studio ―Sphere X Blitz‖ memiliki layar
super jumbo (seukuran lapangan basket) dengan audio 360 derajat.
Masih dalam grup yang sama, ―CGV Blitz‖ juga memiliki studio 4DX
yang lebih modern. ―Cinemaxx‖ memiliki studio dengan audio dolby
atmos seperti halnya ―Cinema XXI‖. Selain itu, ada fasilitas online
sehingga penonton bisa membeli tiket tanpa mengantre sekalipun tidak
menjadi anggota (non-member). Beberapa contoh ruangan di bioskopbioskop tersebut ditunjukkan pada Gambar 6.3 sampai 6.5.

sumber: kabarbuton.com
Gambar 6.3. Ruang Bioskop Cinemaxx

249

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Dua bioskop memiliki ruang (studio) premium dengan harga
tiket yang lebih mahal. Gambar 6.3 dan 6.4 adalah contohnya.

Sumber: http://forum.detik.com

Gambar 6.4 Velvet Studio di Blitz Megapleks

Sumber: http://forum.detik.com

Gambar 6.5 Studio Premiere di Cinema XXI

Harga tiket di bioskop bervariasi, bergantung hari ketika
menonton dan jenis studio. Studio standar ―Cinema XXI‖, ―Cinemaxx‖,
dan ―CGV Blitz‖ harganya antara Rp 25.000 sampai Rp 40.000 untuk
hari biasa, dan Rp 40.000 sampai Rp 70.000 untuk akhir minggu. Jenis
studio atau kelas premium harga tiket lebih mahal. Harga tiket kelas
premier berkisar antara Rp 50.000 sampai Rp 100.000. Studio ―Velvet
Class‖ milik ―CGV Blitz‖ memiliki harga tiket paling mahal, yaitu Rp
220.000.
Selain tiga bioskop terbesar, Indonesia juga memiliki beberapa
bioskop kecil yaitu ―New Star Cineplex‖ di Jawa Timur; ―Bali Cineplex‖
250

Sensor dan Ekhibisi

di Provinsi Bali; bioskop ―88‖ di Pekanbaru Riau; ―Golden Theatre‖ di
Kediri, ―Sarinah Cineplex‖ di Malang; ―E-Plaza Cinema‖ di Semarang;
―Rajawali Cinema‖ di Purwokerto; ―Gajah Mada Cinema‖ di Tegal;
―Borobudur Cineplex‖
di Pekalongan; ―Hollywood Cinema‖ di
Kendari; dan Bioskop ―Raya‖ di Padang (http://telusur.metrotvnews.
com/news-telusur/ObzOgjek-ruwetnya-membangun-bioskop).

Masalah Ekshibisi di Indonesia
―Grup XXI‖ yang menjadi ekshibitor terbesar di Indonesia
menjadi masalah terbatasnya pasar di dalam negeri untuk movie maker.
Hal ini ditunjukkan pada jumlah yang tertera pada tabel di bawah yaitu
sebanyak 83% bioskop di Indonesia dimiliki oleh ―Grup 21‖, ―XXI‖, dan
―Premiere‖. ―Blitz Megaplex‖ memiliki sisanya sebesar 4,8 persen,
sedangkan gabungan bioskop independen yang tersebar di seluruh
Indonesia hanya sekitar 12% persen saja dari total keseluruhan bioskop
di Indonesia. Dari segi layarnya, ―Grup 21‖ dan ―XXI‖ memiliki layar
sebanyak 81,8 % dari total 902 layar di seluruh Indonesia. Sisanya
sebesar 9,5% dimiliki oleh ―Blitz‖ dan 8,6% dimiliki bioskop-bioskop
independen. Bioskop-bioskop independen hanya memiliki sedikit layar
yaitu satu atau dua layar saja dalam satu bioskop, sehingga jumlah layar
keseluruhan masih kalah dibandingkan jumlah layar ―Blitz Megaplex‖,
bahkan ―XXI‖.
Tabel 6.2. Proporsi Jumlah Bioskop, Layar, dan Kursi

Grup 21 : Blitz : Independen

Undang-Undang Perfilman menetapkan bahwa kuota minimal
penayangan film Indonesia adalah sebesar 60% dari total jam
penayangan, untuk periode enam bulanan di seluruh bioskop di
251

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Indonesia. Pada kenyataannya hampir semua bioskop melanggar
Undang-Undang ini. Data tahun 2013 di bawah ini menunjukkan
bioskop ―21‖ dan ―XXI‖ hanya memenuhi 80% saja dari target 60%,
sedangkan bioskop ―Blitz‖ hampir mencapai target yaitu sebesar 98%,
dan bisokop independen adalah satu-satunya pasar eksebisi yang makin
meningkatkan pemutaran film Indonesia.
Tabel 6.3. Realisasi Jumlah Jam Pertunjukkan Film Indonesia Dibandingkan
Kuota Minimal

Sumber:http://filmindonesia.or.id

Sumber: filmindonesia.or.id

Gambar 6.6. Grafik Jumlah Jam Penayangan Film Indonesia
di Bawah Kuota Minimal

Sekalipun Undang-Undang Perfilman telah direvisi di tahun
2009, dan diatur bahwa jumlah jam tayang film Indonesia di bioskop
harus memenuhi syarat kuota minimal 60%, pada kenyataannya
undang-undang baru tersebut belum dilaksanakan sepenuhnya. Film
maker Indonesia terkendala dengan aturan yang ditetapkan oleh
252

Sensor dan Ekhibisi

pengusaha bioskop, yaitu jika dalam waktu satu sampai tiga hari --atau
paling lama seminggu-- film tersebut tidak mendatangkan penonton
dalam jumlah yang cukup, maka film Indonesia harus segera turun dari
layar lebar. Pada akhirnya, movie-maker mencoba mencari jalan keluar
dengan membuat ―ruang‖ pemutaran sendiri. Sebagai contoh, ruang
yang dimaksud disebut ―art-house‖ seperti yang sudah ada di salah satu
studio ―XXI‖ di Bandung dan Jakarta.

Selera Penonton Menurut Ekshibitor
Pada bagian ini, penulis memiliki maksud yang sama yaitu
melakukan pemeriksaan silang antara data dari wawancara dengan
penonton, dengan informasi atau persepsi para ekhibitor, pengusaha
bioskop. Sebuah workshop di Jakarta baru-baru ini membahas tentang
industri film dan pemasarannya. Workshop berjudul ―The Art of Film
Marketing‖ ini diadakan oleh MPA bekerja sama dengan APROFI.
Workshop ini dihadiri oleh beberapa narasumber yang berasal dari
industri film internasional –yaitu Walt Disney Pictures Asia dan
perusahaan konsultan sosial media ―We Are Social‖— dan narasumber
nasional (BEK), movie-maker dan komunitas pecinta film.

Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 6.7. Beberapa Narasumber di Workshop
―The Art of Film Marketing‖ Oleh MPAA, Jakarta

253

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Diskusi berjalan cukup menarik dan beberapa komentar dari
para film maker terkait film-film tidak laris yang mereka buat muncul.
Salah satunya berasal dari Bapak Ardi yang membuat film berjudul
―Trio Macan‖. Semula ia memperkirakan film tersebut akan laris,
seperti film ―Chery Belle‖ yang ia buat sebelumnya, namun Bapak Ardi
keliru. Berikut adalah kutipan diskusi dengan beliau:
―Penonton digiring seleranya oleh Hollywood. Setelah film
―Chery Belle‖ yang cukup laris, saya membuat film
berikutnya yaitu ―Trio Macan‖, ternyata film tersebut
gagal.... tidak laku di pasaran‖ (Ardi, 18 November 2015).

Menurut Ardi, yang sebelumnya berprofesi sebagai pembuat
sinetron, membuat film layar lebar tidak sama dengan membuat
sinetron. Selera penonton lebih sulit diprediksi. Ardi mengira, setelah
filmnya yaitu ―Chery Belle‖ akan mudah memasarkan film berikutnya
―Trio Macan‖, namun ternyata tidak demikian. Selera penonton terhadap film Ardi berikutnya tidak sehebat apresiasi terhadap film ―Chery
Belle‖. Rupanya para penonton yang kerap memenuhi studio di
bioskop adalah penonton dari kalangan remaja.
Berikut ini adalah penjelasan dari Catherine Keng tentang
apresiasi penonton di Indonesia terhadap film nasional yang dianggap
terbatas (segmented) ini, sebagai berikut:
―Fim Indonesia itu sangat segmented, tidak seperti film asing,
sangat universal. Dengan demikian film Indonesia pangsa
pasarnya tertentu, tidak bisa dipasarkan di semua layar.
Contoh: film ―Bombe‖ sangat laku di ―Makasar XXI‖ bisa
tahan 2,5 bulan tapi tidak di tempat lain‖ (Keng, C., 18
November 2015).

Ibu Catherine sebagai perwakilan ―Grup XXI‖ lebih melihat
peran pembuat film dalam membentuk selera penonton, seperti contoh
film ―Bombe‖ yang dikatakan hanya laku di Makasar. Lebih lanjut
Catherine menuturkan secara pribadi bahwa film nasional masih kalah
diapresiasi ketimbang film asing yang sangat banyak jumlah
penontonnya (di atas sepuluh juta orang). Sedangkan film Indonesia
yang paling laku sekalipun, hanya mencapai penonton terbanyak
sebesar lebih dari empat sampai lima juta orang. Hal tersebut
254

Sensor dan Ekhibisi

membuktikan bahwa penonton kita memang lebih apresiatif terhadap
film asing daripada film lokal. Tetapi hal tersebut menurut Catherine
tidak menutup kemungkinan bertambahnya apresiasi dari penonton
lokal di masa depan, dengan cara memproduksi film seperti film
―Bombe‖ yaitu film yang mengangkat budaya lokal, yang akan laku di
daerahnya masing-masing.
Lebih lanjut dikemukakan Ibu Catherine sebagai Corporate
Secretary XXI, programming adalah jantung dari bioskop. Seleksi awal
diputar atau tidaknya sebuah film adalah berdasarkan kriteria sebagai
berikut: (i) apakah film tersebut merupakan mass-market product? atau
(ii) art-house product? atau (iii) untuk wilayah tertentu saja? Menurutnya, tidak setiap film harus diputar di banyak layar. Selain kriteriakriteria tersebut, pihak ekshibitor juga akan melihat trailer dan teaser
serta portofolio pembuat film. Ekshibitor hanya akan memberi waktu
untuk melihat animo penonton selama 1-3 hari, karena antrean film
sangat panjang. Bioskop, menurut Ibu Catherine, punya andil untuk
mengembalikan penonton dalam negeri menonton film Indonesia.

Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 6.8. Bersama Catherine Keng

Gambar 6.9. Bersama Dian Soenardi

Informasi Jumlah Penonton
Peneliti menemui kesulitan mencari data penonton atau
jumlah penonton film Indonesia Pasca Reformasi (tahun 1999-2015).
255

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Website film Indonesia tidak mengeluarkan data tentang itu, dan
ketika peneliti menanyakan pada beberapa movie-maker, seperti Lala
Timothy dan Ifa Ifansyah, mereka pun tidak tahu berapa persisnya
jumlah penonton yang menikmati film yang mereka buat dan tayang di
layar lebar.
Dari waktu ke waktu, catatan dan informasi tentang penonton
tidak terdokumentasi dengan baik. Data yang didapatkan melalui
catatan perfilman Indonesia di website filmindonesia,or.id hanya
menyebutkan judul-judul film yang paling laku saja, bukannya filmfilm yang gagal atau dilarang diputar di dalam negeri. Contohnya, film
―Loetoeng Kasaroeng‖ yang rilis pertama kali di tahun 1926 disebutsebut sebagai film yang sangat laris di Bandung, tapi itupun tak pernah
ada catatannya. Film ―Terang Boelan‖ yang rilis tahun 1937 di Jakarta
juga disebut J.B. Kristanto—dalam bukunya: ―Katalog Film Indonesia‖- sebagai film box-office pertama di tanah Hindia, yang laku dijual ke
RKO Singapura senilai SGD 200.000 (Irwansyah, A., 2015).

Sumber: dokumentasi Indonesia Cinematheque

Gambar 6.10. Film ―Terang Boelan‖ (dokumentasi Indonesia Cinematheque)

Saat Indonesia sudah merdeka penuh, film―Krisis‖ (1953) karya
Usmar Ismail disebut menjadi yang terlaris di Indonesia sesudah film
―Terang Boelan‖. Selain itu, catatan dari ―PT Perfin‖ menunjukkan film
―Ratapan Anak Tiri‖ (1973) yang menjadi film terlaris di Jakarta
dengan jumlah penonton 467.831; itupun hanya berasal dari penonton
di Jakarta saja. Film berikutnya yang juga laris menurut ―PT Perfin‖
adalah film ―Pengkhianatan G-30-S PKI‖(1984) dengan data yang tidak
256

Sensor dan Ekhibisi

cukup meyakinkan, yaitu sekitar 699.000 orang. Ini terbawa sampai
sekarang. Jumlah perolehan penonton yang dipublikasikan pengusaha
bioskop (seperti Grup XXI) biasanya terbatas hanya untuk film-film
yang pendapatannya menguntungkan saja. Tabel 6.4. memperlihatkan
data film-film yang penulis dapatkan yang terbatas pada film yang
menguntungkan saja, yaitu film yang meiliki jumlah penonton paling
banyak.
Tabel 6.4. Film-film Indonesia Terlaris Tahun 2009-2015
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42

Judul Film
Laskar Pelangi
Habibie dan Ainun
Ayat-ayat Cinta
Ketika Cinta Bertasbih
5 CM
The Raid
Sang Pemimpi
Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijk
Comic 8
The Raid 2: Berandal
Get Married 2
Surga Yang Tak Dirindukan
Garuda di Dadaku
Casino Kings Part 1
Sang Pencerah
99 Cahaya di Langit Eropa
Soekarno
Cinta Brontosaurus
Perempuan Berkalung Sorban
Negeri 5 Menara
Surat Kecil Untuk Tuhan
Arwah Goyang Karawang
Setan Budeg
Coboy JuniorThe Movie
Hafalan Shalat Delisa
Di Balik 98
Marmut Merah Jambu
Dalam Mihrab Cinta
Pocong Juga Pocong
Merah Putih
Perahu Kertas
Cahaya Di Langit Eropa Part 2
Assalamualaikum Beijing

Tahun
2008
2012
2008
2009
2012
2012
2011
2013
2014
2014
2009
2015
2009
2015
2010
2013
2013
2013
2009
2012
2011
2011
2009
2013
2011
2015
2014
2010
2011
2009
2012
2014
2014

Jumlah Penonton
4.631.841
4.488.889
3.581.947
3.100.906
2.392.210
1.844.817
1.742.242
1.724.110
1.624.067
1.434.272
1.199.161
1.424.652
1.371.131
1.208.989
1.206.000
1.189.709
960.071
892.915
793.277
772.397
748.842
727.540
700.000
683.604
668.731
648.947
640.682
632.105
622.689
611.572
596.231
587.042
560.465

257

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
No
43
44
45
46
47
48
49

Judul Film
Tahun
Jumlah Penonton
TandaTanya
2011
552.612
Purple Love
2011
520.786
Taman Lawang
2013
526.761
Di Bawah Lindungan Ka’bah
2011
520.267
True Love Never Dies
2010
518.527
Pocong Rumah Angker
2010
503.450
Supernova: Ksatria, Putri, dan 2014
501.258
Bintang Jatuh
50
Soegija
2012
459.465
(diunduh dari: http://showbiz.liputan6.com/read/2294952, 31 Agustus 2016)

Interpretasi Atas Temuan
Beberapa interpretasi diperoleh dari temuan-temuan di Bab
enam ini.Interpretasi pertama dari bagian tentang sensor adalah, masih
ditemukannya aturan-aturan ketat di dalam Undang-Undang
Perfilman Nomor 33 Tahun 2009 tentang berbagai larangan atas filmfilm yang bernuansa pornografi, narkotika, dan lain-lain. Namun pada
kenyataannya, aturan ini tidak dilaksanakan secara merata. Film-film
asing dibiarkan masuk dengan adegan-adegan yang dipenuhi nuansanuansa yang dilarang tersebut. Pembuat film masa kini seperti Riri
Riza dan Ifa Isfansyah menolak sensor macam itu. Mereka
menginginkan sensor lebih diterapkan untuk kebijakan film impor,
yaitu pembatasan film impor oleh pemerintah. Penulis
menginterpretasikan bahwa sensor yang dibuat pemerintah melalui
LSF membatasi kreativitas pembuat film di dalam negeri. Di sisi lain,
film impor bebas masuk dengan segala macam cerita di dalamnya tanpa
sensor yang seketat film produksi dalam negeri. Ini adalah paradoks
pertama yang penulis temukan dalam pelaksanaan sensor di Indonesia.
Interpretasi kedua tentang ekshibitor (pengusaha layar lebar) di
Indonesia adalah mengenai dominasi kekuasaan pengusaha bioskop
menetapkan pembagian keuntungan dan masa tayang di layar
lebarnya. Penulis menginterpretasikan temuan ini bahwa ternyata
pengusaha bioskop bisa memperoleh keuntungan yang sama dari
penjualan tiket atas sebuah film seperti pembuat film tersebut, padahal
pengusaha bioskop sama sekali tidak pusing memikirkan ide-ide kreatif
258

Sensor dan Ekhibisi

dan mengeluarkan banyak biaya atau pengorbanan dalam proses
pembuatannya. Ini adalah paradoks kedua yaitu paradoks pembagian
keuntungan dan masa tayang akibat dominasi kekuasan di tangan
ekshibitor.
Interpretasi ketiga diperoleh ketika dilakukan pemeriksaan
silang antara komentar penonton dengan pendapat ekshibitor dan
pembuat film tentang selera penonton. Umumnya, pembuat film
berpendapat mayoritas penonton Indonesia masih dijajah seleranya
oleh film-film Hollywood, dan biasanya penonton itu mengharapkan
jenis-jenis film yang ringan atau cheesy. Namun ternyata, ada juga
penonton yang mengapresiasi film-film ―berat‖ seperti film ―Siti‖ –
kalau film tersebut memang dinyatakan berat oleh pembuatnya. Tidak
semua penonton dapat dikategorikan sebagai penonton yang senang
film-film ringan yang membuat mereka harus berpikir keras. Beberapa
pernyataan Lala seperti film-film block-buster ala Hollywood memang
ada benarnya, di samping pemilihan aktor dan aktris terkenal untuk
mendukung film yang bersangkutan. Namun, sekalipun Lala (pembuat
film) sudah membuat film ―Tabula Rasa‖ yang menurutnya merupakan
film berjenis ringan --film tersebut menceritakan realitas masyarakat
kecil yang gampang ditemui dalam situasi sehari-hari—ternyata tetap
saja tidak atau belum tentu dapat diapresiasi dengan baik oleh
penonton. Itu adalah paradoks ketiga.
Interpretasi yang keempat penulis peroleh dari pernyataan Ibu
Catherine bahwa film Indonesia masih sangat segmented sehingga
kurang laku, sementara film asing lebih