Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Bab VIII
Pemerintah Harus Campur Tangan

Interpretasi akhir atas hasil temuan membawa peneliti pada
klimaks. Istilah klimaks ini dilekatkan atas jenuhnya data (saturated)
setelah proses konfirmasi beberapa kali pada beberapa narasumber terkait
menunjukkan hasil atau temuan-temuan yang sama. Beberapa konsep baru
muncul dan menjadi perhatian serta pemikiran panjang penulis pada tahap
akhir penelitian yaitu penulisan disertasi. Tiga hal penting yang diperoleh
di tahap akhir, yang kemudian patut untuk disimak lebih lanjut adalah: (i)
pentingnya memahami paradoks kreativitas dalam industri atau bisnis
berbasis kreativitas, (ii) pentingnya strategi mengelola paradoks kreativitas
tersebut dalam menjalankan bisnis agar tujuan tercapai, dan (iii) peran
pemerintah yang diharapkan untuk mengembangkan industri atau bisnis
berbasis kreativitas di Indonesia, khususnya industri film Indonesia.
Sebelum penulis menjelaskan tentang peran pemerintah yang diharapkan,
terlebih dahulu akan dirangkum beberapa hal penting yang menjadi
kesimpulan dari penelitian ini.

Kesimpulan
Pembuatan film Indonesia senantiasa memunculkan situasi-situasi

paradoksal di sepanjang prosesnya. Situasi paradoks muncul sejak awal,
mulai dari pengembangan ide-ide kreatif dan membangun ide-ide tersebut
ke dalam suatu cerita yang bisa dibuat naskah (skrip)nya, lantas kemudian
dituangkan ke dalam adegan-adegan. Di setiap proses produksi sebuah
film, masing-masing aktor yaitu produser dengan penulis skrip, sutradara,
para pemain (aktor dan aktris), dan kru, semuanya mengalami tegangantegangan yang naik-turun ketika mendiskusikan ide-ide kreatif masingmasing. Adalah penting peran seorang produser sebagai movie-maker
289

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

memulai proses awal; bagaimana ia mengelaborasi semua ide-ide kreatif
di dalam timnya, bagaimana ia kemudian mengawal dan menjaga seluruh
proses kreatif tersebut dalam pembuatan filmnya, sampai monitoring
tahap akhir penyelesaian produksi film.

Paradoks dan Manajemen Kreativitas
Penulis melakukan abstraksi dan elaborasi beberapa faktor yang
muncul dan harus ada dalam pengelolaan kreativitas proses pembuatan
sebuah film–sesuai Gambar 7.4, yaitu (i) ide cerita yang baru, (ii) riset
yang memadai, (iii) skrip yang menarik, (iv) pemilihan aktor/aktris yang

sesuai, (v) sinematografi yang memuaskan, serta (vi) strategi pemasaran
yang inovatif. Faktor-faktor tersebut menurut penulis, menentukan
keunggulan dan kompetitif atau tidaknya sebuah film. Jika keenam faktor
tersebut dipenuhi, penulis yakin bahwa film yang dibuat akan menjadi
film yang unggul dan kompetitif. Di mana pemenuhan kreativitas film
tersebut akan nampak kebaruan dan orisinalitasnya, dan secara penetrasi
pasar penulis yakin film yang dihasilkan dengan memperhatikan atau
menjalankan keenam faktor tadi akan mampu masuk ke pasar dalam
negeri dan mendapatkan apresiasi yang cukup dari penonton.
Paradoks kreativitas telah menunjukkan pentingnya peran seorang
pemimpin yaitu produser dalam sebuah tim atau organisasi film. Untuk
dapat menghasilkan karya yang berkualitas dan tetap kreatif, penulis
mengusulkan kerangka tertentu yang harus dimiliki oleh seorang
produser, yang penulis namakan ―model pengelolaan paradoks kreativitas
dalam bisnis‖ (sesuai Gambar 7.9).Lima faktor yang harus ada pada seorang
pemimpin tersebut adalah, (i) pemimpin harus memberi kebebasan
kreativitas pada anggotanya, (ii) pemimpin harus memberikan ruang yang
fleksibel bagi ide-ide kreatif yang berbeda, namun tetap mengarahkan
pada tujuan akhir, (iii) pemimpin memberi ruang untuk diskusiargumentasi-negosiasi pada seluruh anggota timnya, (iv) pemimpin
menyediakan alokasi sumber daya yang fleksibel dan memadai, serta (v)

pemimpin memberi arahan dan menetapkan pasar yang dituju (termasuk
menyesuaikan pada selera konsumen yang dituju).
290

Pemerintah Harus Campur Tangan

Paradoks kreativitas bukan hanya ditemui di sepanjang proses
produksi sebuah film, namun juga ketika film tersebut selesai diproduksi
dan akan diputar, ditayangkan di layar lebar. Selanjutnya, pemimpin tetap
memiliki peran yang paling besar ketika bernegosiasi dengan banyak
pihak, seperti distributor maupun calon ekshibitor. Meskipun demikian,
hasil negosiasi tetap dapat memunculkan paradoks-paradoks, baik antara
pembuat film dengan ekshibitor maupun antara pembuat film dengan
penonton. Strategi pemasaran yang tepat serta pendanaan yang memadai
turut menentukan tercapai atau tidaknya tujuan awal pembuatan film.
Jelaslah kini, bahwa peran pemimpin, yaitu pembuat film atau
produser, dalam proses produksi sampai ekshibisi film sangat besar dan
menentukan. Bagaimana ia mengelola paradoks-paradoks kreativitas yang
senantiasa muncul, serta memilih strategi-strategi yang tepat untuk
mencapai tujuan bisnis (praktik bisnis) filmnya menjadi hal yang penting.


Peran Pemerintah
Hal terakhir yang penulis temukan dari penelitian ini adalah peran
pemerintah yang dinanti-nantikan oleh pembuat film. Pemerintah harus
tetap berperan sebagai regulator, namun sifatnya bukan lagi seperti di era
Orde Lama atau Orde Baru yang menerapkan kebijakan sensor ketat atas
pornografi –namun tak diterapkan secara adil— atau sensor untuk
kepentingan politik. Pemerintah di era Pasca Reformasi ini harus tetap
berperan melalui kebijakan-kebijakan yang mendukung tumbuhkembangnya industri film Indonesia.
Dalam sebuah wawancara dengan majalah Tempo, Mira Lesmana
mengatakan bahwa film Indonesia butuh ―ruang‖ butuh keterbukaan
untuk berkompetisi. Peran pemerintah yang mengekang dan membatasi
dinilai tidak banyak membantu. Dengan dicabutnya film Indonesia dari
daftar negatif investasi (DNI) melalui paket kebijakan ekonomi ke-10 oleh
Presiden Joko Widodo, dan pembaharuan atas Peraturan Presiden Nomor
39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Daftar Bidang
Usaha Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, maka
industri perfilman nasional saat ini berada di masa perubahan. Kebijakan
291


Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

baru oleh pemerintah di bulan Februari 2016 ini, dilihat Mira sebagai
peluang investor asing masuk ke dalam negeri. Ini bagus karena akan
mendorong rasa ingin belajar dari sineas-sineas lokal. Di samping itu,
menurutnya pemerintah juga harus menambah sekolah-sekolah film di
dalam negeri (Majalah Tempo, 21 Februari 2016).
Pemerintah juga diminta beberapa movie-maker, seperti Lala
Timothy, Angga Dwi Sasongko, dan Motulz, untuk menambah jaringan
bioskop kelas menengah ke bawah. Pemerintah dapat turut mendukung
perfilman nasional dengan cara mendirikan bioskop-bioskop di daerah –
melalui anggaran pemerintah daerah khususnya Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata—yaitu bioskop kelas B dan C. Bukan seperti bioskop berkelas A
yang dimiliki ―Grup XXI‖ dan ―CGV Blitz‖, melainkan bioskop kelas
menengah dan bawah. Diharapkan, jika bioskop yang dibangun oleh
pemerintah daerah itu dapat dibiayai dengan anggaran yang tidak terlalu
besar, namun ada minimal satu bioskop di setiap provinsi atau kota
madya, maka tiketnya bisa dijual lebih murah. Hal ini disebabkan bioskopbioskop daerah tersebut dapat diperlakukan sama seperti museum yang
berfungsi melestarikan budaya nasional.
Masyarakat di daerah dapat menyaksikan film-film Indonesia yang

berkualitas dari masa ke masa, tanpa harus dibebani dengan biaya yang
mahal. Mereka bisa mendapatkan pengetahuan tentang sejarah bangsa,
dan literasi serta cita-rasa (selera) masyarakat tentang film Indonesia pun
dapat ditingkatkan. Selera penonton yang selama ini dikatakan ―cemen‖
dan cheesy, pelan-pelan barangkali bisa diubah dan diperbaiki.
Masyarakat yang tinggal di pelosok-pelosok daerah pun dapat turut
menikmati film-film Indonesia berkualitas yang sedang tayang di bioskopbioskop ternama, tidak lama sesudah film tersebut turun dari layar lebar
―XXI‖ dan ―CGV Blitz‖. Pemerintah juga dapat berperan dalam
memberikan dan meningkatkan literasi tentang film di sekolah-sekolah,
karena salah satu fungsi film adalah media pendidikan. Murid-murid di
tingkat SD, SMP, dan SMA, dapat mencari dan menambah pengetahuan
tentang budaya bangsa melalui film nasional. (Kompas, 4 Maret 2016).
Kebijakan-kebijakan dan aturan yang masih membatasi, seperti
sensor film dianggap tidak membebaskan. Di era teknologi informasi yang
292

Pemerintah Harus Campur Tangan

sedemikian modern, sensor habis-habisan di bioskop dan televisi tidak
akan berguna. Kemunculan beberapa situs seperti Netflix dan Hooq adalah

salah satu penyebabnya, di situs-situs tersebut pengguna telepon pintar
bebas menikmati berbagai jenis film dalam dan luar negeri tanpa sensor.
Beberapa movie maker seperti Riri dan Mira mengusulkan sensor
dilakukan oleh masyarakat sendiri dengan bimbingan orangtua.
Sebagai penutup, penulis berpendapat bahwa peran pemerintah
masih belum maksimal, belum sepenuhnya berpihak pada pembuat film
nasional. Berdasarkan hasil wawancara dengan wakil pemerintah yaitu
Asisten Deputi Riset dan Pengembangan BEK, penulis mendapatkan
interpretasi bahwa peran pemerintah saat ini masih di tahap awal, masih
perlu dikembangkan lebih lanjut. Kebijkaan oleh pemerintah masih perlu
ditambah. Pemerintah masih terkesan sebagai the outsider. Pemerintah
harus lebih menegakkan Undang-Undang Perfilman yaitu UU Nomor 33
Tahun 2009, khususnya pasal yang mengatur tentang proporsi minimal
60% untuk film Indonesia ditayangkan di layar lebar dalam negeri.
Aturannya sudah ada, namun pelaksanaannya tidak konsisten. Film asing
masih tetap mendominasi layar lebar di tanah air. Pemberian sangsi bagi
pengusaha bioskop yang melanggar aturan tersebut adalah hal yang patut
dipertimbangkan untuk dilakukan, demi keberpihakan pada industri film
Indonesia.
Di samping itu. penulis melihat masih adanya dominasi pengusaha

bioskop di tahap ekshibisi (penayangan) film Indonesia di layar lebar.
Dominasi tercermin baik di tahap negosiasi pembagian keuntungan hasil
penjualan tiket sesudah dipotong pajak, maupun saat negosiasi ―jatah‖
penayangan atau masa tunggu sampai film diturunkan dari layar lebar.
Penulis berpendapat, posisi pengusaha bioskop sebagai ekshibitor lebih
kuat dan punya power, daripada pembuat film yang sudah berjuang keras
untuk memproduksi karya kreatifnya. Penulis berpendapat, atas aturanaturan itu, pemerintah juga harus campur tangan.
Penulis melihat bahwa situasi paradoksal dan dilematis memang
betul-betul terjadi sampai kegiatan distribusi dan ekshibisi film di
penghujung. Dominasi power oleh ekshibitor dan aturan –UU Perfilman-yang tidak ditegakkan adalah buktinya. Di satu sisi peran pemerintah
293

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

sebagai regulator tidak atau belum menunjukkan peran yang signifikan, di
sisi lain pengusaha bioskop justru menjadi sangat dominan dan
diuntungkan sekalipun tidak memiliki peran sebagai regulator.

Rekomendasi
Penulis mengusulkan beberapa rekomendasi yang patut

dipertimbangkan dan dilakukan pemerintah segera, demi menyelamatkan
dan mengembangkan industri perfilman Indonesia. Rekomendasirekomendasi itu adalah:
1. pemerintah memberi insentif pajak berupa pembebasan pajak
pada pembuat film yang telah berhasil meraih penghargaan di
kancah internasional. Ini sama seperti para atlet yang
mengharumkan nama Indonesia di kompetisi olahraga di luar
negeri,
2. kebijakan pertama tersebut diikuti dengan langkah berikutnya dari
pemerintah, yaitu memberi insentif untuk film Indonesia yang
artistik dan memenangkan festival film di luar negeri, tapi belum
tentu laku di dalam negeri. Pemerintah bisa membeli hak edar
film-film pemenang festival tersebut untuk memberikan apresiasi
yang sepadan atas jerih-payah pembuatnya,
3. langkah kedua juga diterapkan untuk kasus lain, yaitu film
berjenis pendidikan dan film untuk anak-anak yang sangat langka.
Pemerintah juga harus memberi insentif dalam bentuk
penghapusan pajak atau pembelian hak edar atas karya film
pendidikan dan film anak yang masih sangat kurang diminati para
pembuat film, karena jumlah penonton yang minoritas. Film
seperti ―Denias: Senandung di Atas Awan‖ atau ―Garuda di

Dadaku‖, merupakan film yang layak diberi apresiasi dan insentif
oleh pemerintah karena memiliki pesan yang baik untuk anakanak Indonesia. Film pertama memberi makna tentang pentingnya
sekolah dan belajar, dan film kedua mengajarkan anak-anak untuk
menyalurkan minat dan bakat dalam berolahraga dan
294

Pemerintah Harus Campur Tangan

menekuninya, sehingga memperoleh hasil yang baik dari
ketekunan tersebut.
4. pemerintah harus menegakkan aturan tentang proporsi 60% dari
film yang diputar di layar lebar adalah film Indonesia, dengan
demikian aturan ekshibitor tentang masa tayang waktu 1-3 hari
uji-coba (karena film asing sudah antre) untuk menentukan film
mana yang harus segera diturunkan dari layar lebar tidak relevan
lagi,
5. pemerintah dapat mulai meningkatkan literasi film pada
penonton/masyarakat, dengan cara menayangkan film Indonesia
yang berkualitas dari masa ke masa di sekolah-sekolah
(dimasukkan sebagai media pendidikan),

6. pemerintah daerah mulai membuat bioskop-bioskop kelas B dan C
di daerahnya, yang berfungsi seperti museum dalam melestarikan
budaya bangsa. Film-film sejarah atau yang sarat makna tentang
kekayaan budaya bangsa Indonesia serta pluralisme, dapat diputar
di situ dengan harga tiket yang sangat terjangkau, lebih baik lagi
jika gratis. Ini sekaligus akan memperbaiki selera penonton dalam
negeri.

295