Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia D 902011106 BAB III

Bab III
Film Indonesia dari Masa ke Masa

Mengapa industri film di Indonesia tak sedahsyat
perkembangan industri film di negara lain? Apa yang terjadi dengan
industri film di Indonesia? Semua itu pasti ada alasannya. Penting
untuk menengok ke belakang, belajar dari sejarah bagaimana industri
perfilman mulai muncul hingga perkembangannya pada saat ini.
Tanpa trayektori yang jelas, sulit untuk mengungkap apa yang terjadi
dengan industri film nasional.
Tanpa pemikiran kritis atas sejarah perkembangannya, film
bisa menjadi alat untuk memanipulasi massa bahkan proses
pembodohan secara kolektif. Sejarah menunjukkan film tumbuh
sebagai kebutuhan kaum urban yang terbentuk dari kolonialisme dan
perubahan-perubahan dalam masyarakat. Film di satu sisi, merupakan
fenomena internasionalisasi dan perluasan wawasan, namun di sisi
lain, dalam rangka pencarian identitas-etnis-politis-religius film
dianggap sebagai sebuah ancaman (Sugiharto, B. dalam Nugroho, G.,
dan Herlina, D., 2015).
Film sebagai salah satu media massa memiliki power yang
serius, dan merupakan industri yang tetap bertahan dan bahkan

makin berkembang melebarkan pangsa pasarnya, pasca krisis 1998 di
Indonesia. Beberapa mass media bahkan menerima pendapatan dua
kali lipat selama periode krisis tersebut (Hill, 2007, dalam Heryanto,
A., 2014). Melalui sebuah penelitian, ditemukan bahwa 90%
penonton Indonesia menghabiskan sebagian besar waktunya di depan
televisi untuk menonton hiburan, opera sabun (sinetron), film, dan
reality show; seperti dikutip sebagai berikut:
―over 90% of Indonesians (over 10 years old) account
watching televisions as one of their main social and cultural
activities... between 60 to 80 percent of the content on
commercial televisions consists of entertainment such as

67

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

soap operas, movies, infotainment, and reality shows, for
which viewers spent the largest portion of their watching
time...‖ (Lim, 2011, dalam Heryanto, A., 2014:10)


Bagi para insan perfilman, film memberikan ruang
berekspresi, menuangkan karya-karya indah dan inspirasi mereka.
Bagi seorang Garin Nugroho misalnya, film seperti makanan yang
harus dicoba dengan berbagai ―rasa‖, film adalah media untuk belajar.
Sedangkan bagi Sheila Timothy, movie producer muda, film adalah
media mass-art yang sekaligus personal. Di samping itu, film juga
merupakan media berekspresi dengan begitu banyak creative chain
yang menantang.
Untuk memahami secara runut sejarah perfilman di Indonesia,
berikut ini akan diuraikan perkembangan film Indonesia ke dalam dua
tahapan yaitu ; (i) film Indonesia Sebelum Reformasi –dibagi lagi ke
dalam tiga periode yaitu era Penjajahan, era Orde Lama, dan era Orde
Baru --, serta (ii) film Indonesia sesudah/Pasca Reformasi, sesuai data
sekunder berupa catatan perfilman di buku-buku dan website tentang
film Indonesia yang ditemukan.

Sejarah Film Indonesia
Film Indonesia Sebelum Reformasi

Era Penjajahan (1900-1945)

Indonesia yang dikenal sebagai Hindia Belanda adalah negara
jajahan yang menjadi tujuan berbagai negara kolonial pada periode
1500-an. Pembangunan jaringan transportasi kereta api di Jawa sekitar
tahun 1850 sejalan dengan dinamika industri dan turisme yang
tumbuh di dunia, mempermudah digelarnya berbagai seni
pertunjukan tradisional seperti ludruk, wayang orang, dan komedi
stamboel. Keberadaan kereta api mendorong pertumbuhan komedi
stamboel untuk bisa berkeliling di Jawa, maka lahirlah perkumpulanperkumpulan lain seperti Opera Srie Pertama, Opera Bangsawan,dan
Indra Bangsawan. Sejarah seni pertunjukan Indonesia sesungguhnya
68

Film Indonesia dari Masa ke Masa

merupakan sebuah pertemuan muktikultur yang dipengaruhi oleh
beragam prospektif.
Sebelum muncul film bisu di tanah air, bentuk seni yang
muncul secara tradisional mula-mula di tanah Jawa adalah wayang
kulit, bahkan ketika film bisu mulai hadir pertama kali musik
pengiring di bioskop dari wayang kulit tetap dipentaskan. Pada akhir
abad ke-19 wayang orang mulai dipertontonkan di luar istana. Adalah

seorang patron seni Tionghoa bernama Gam Kan di Surakarta yang
memiliki hubungan dekat dengan Mangku Negara V. Pada saat itu
(1885) raja memberikan izin pertunjukan wayang wong di luar istana
pada 1885. Gam Kan menunjukkan sejarah kewirausahaan etnis
Tionghoa di tengah perubahan yang melahirkan peluang baru dalam
hal industrialisasi seni. Hal ini muncul bersamaan dengan
internasionalisasi yang datang membawa banyak bentuk seni
pertunjukan baru berikut cara menontonnya, mendistribusikan,
menuturkan, serta teknologinya (Nugroho, G., dan Herlina, D., 2015).
Tumbuhnya elemen-elemen modern melalui pendidikan,
industri, perkenalan dengan budaya Barat di kalangan elite kraton
memunculkan demokratisasi atau desakralisasi kesenian Jawa yang
sebelumnya tidak bisa tampil di luar keraton. Sebuah kekagetan
budaya menghadapi moderenisasi yang datang dalam beragam
bentuknya, dari kereta api, telepon hingga berbagai seni lainnya.
Istilah ―gambar idoep‖ menunjukan kehebohan di tengah hadirnya
peradaban baru. Film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada
tahun 1905 yang diimpor dari Amerika. Film-film impor ini berubah
judul ke dalam bahasa Melayu. Film cerita impor ini cukup laku di
Indonesia. Jumlah penonton dan bioskop pun meningkat. Daya tarik

tontonan baru ini ternyata mengagumkan.
Di Indonesia, film pertama kali diperkenalkan pada tanggal 5
Desember 1900 di Batavia (Jakarta). Pada masa itu film disebut
―Gambar Idoep‖. Pertunjukkan film pertama digelar di Tanah Abang,
sebuah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu dan
Raja Belanda di Den Haag. Pertunjukan pertama ini kurang sukses
karena harga karcisnya dianggap terlalu mahal. Sehingga pada 1
69

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Januari 1901, harga karcis dikurangi hingga 75% untuk merangsang
minat penonton. (http://filmindonesia.org, diunduh tanggal 19 April
2015)
Personifikasi manusia Eropa dalam film-film tersebut
menimbulkan banyak kritik dari orang Eropa terhadap pemerintah
kolonial. Kritik tersebut didasarkan pada kecemasan akan
terbentuknya citra negatif orang Eropa di mata pribumi. Ini
disebabkan dalam film-film tersebut orang-orang Eropa
dipersonifikasikan sebagai orang yang suka menyelesaikan masalah di

luar hukum, jago berkelahi dan tembak-menembak, serta pergaulan
bebas antara laki-laki dan perempuan. Konferensi sinematografi di
Paris, Perancis yang membicarakan bahaya moral dan politik film di
beberapa negeri jajahan menceritakan kekhawatiran yang sama yang
dirasakan oleh penguasa kolonial di Hindia Belanda. Penonton
dikhawatirkan tidak dapat memisahkan antara film dan kenyataan.
Pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan perfilman pada
tahun 1916 untuk pertama kalinya mengenai pembentukan komisi
sensor di empat kota yakni Medan, Batavia, Semarang dan Surabaya.
Peraturan itu semata-mata hanya menempatkan kekuasaaan peran
individu dalam mengambil keputusan sebagai anggota komisi sensor
film. Kriteria sensor terhadap sebuah film juga tidak ada dalam
peraturan yang diterbitkan berikutnya pada 1925. Sistem sensor ini
terus menjadi polemik, bahkan ketika rezim pemerintahan telah
berganti. Mekanisme sensor yang begitu ketat membuat persentase
film tidak lolos sensor meningkat dari tahun ke tahun (Arief dkk,
2010, dalam Nugroho, G. dan Herlina, D.,
2015).
Film cerita lokal yang pertama
diproduksi berjudul ―Loetoeng Kasaroeng‖

(1926) diproduksi oleh ―NV Java Film
Company‖. Diproduseri dan disutradarai oleh
L. Heuveldorp, film ini merupakan film bisu
pertama (silent) yang diproduksi di Hindia
(Gambar diambil dari wikipedia) Belanda berlatar legenda Sunda.
70

Film Indonesia dari Masa ke Masa

Adalah Wiranatakusumah, Bupati Bandung saat itu, yang
ingin mengembangkan kesenian Pasundan yang sebelumnya
dipertunjukkan melalui sandiwara dan pementasan wayang. Film
lokal berikutnya adalah ―Eulis Atjih‖ yang diproduksi oleh perusahaan
yang sama. Setelah film kedua ini diproduksi, kemudian muncul
perusahaan-perusahaan film lainnya seperti ―Halimun Film Bandung‖
yang membuat ―Lily Van Java‖ dan Central Java Film Coy (Semarang)
yang memproduksi ―Setangan Berlumur Darah‖. Akan tetapi film-film
tersebut bukanlah film lokal yang diproduksi pertama kali oleh bangsa
Indonesia, hanya ide ceritanya saja yang diadaptasi atau dianggap
bersumber (asli) dari Indonesia.

Film Loetong Kasaroeng menunjukkan percampuran antara
wayang, sandiwara,dan film serta persoalan-persoalan daya hidup seni
tradisi yang sangat dinamis. Pertunjukan besar pertama tanggal 5
Desember 1960 dilakukan di Tanah Abang, dengan harga karcis 2
gulden Belanda untuk kelas 1, f1 untuk kelas 2, dan f 0,50 untuk kelas
3 (Biran, M.Y. dalam Nugroho, G. dan Herlina, D., 2015). Selang
beberapa waktu mulai didirikan bioskop permanen di beberapa kota,
seperti Jakarta dan Bandung. Bioskop menyasar segmen yang berbeda
dari masyarakat kulit putih (Eropa), Tionghoa, dan pribumi. Para
penonton lebih suka film cerita daripada film dokumenter. Ini sejalan
dengan bentuk kesenian yang telah mereka kenal sebelumnya yaitu
wayang orang dan komedi stamboel (pertunjukan keliling).
Industri film lokal sendiri baru bisa membuat film bersuara
pada tahun 1931. Film ini diproduksi oleh Tans Film Company
bekerja sama dengan Kruegers Film Bedrif di Bandung dengan judul
―Atma de Vischer‖. Selama kurun waktu enam tahun (1926-1931) ada
duapuluh satu film (bisu dan bersuara) diproduksi. Jumlah bioskop
meningkat dengan pesat. Majalah film pada masa itu, ―Filmrueve‖
tahun 1936 mencatat adanya 227 bioskop. Film sebagai hiburan pada
masa penjajahan berelasi dengan dua hal, krisis produksi dan daya

beli. Di tengah depresi tahun 1930 justru muncul film ―Terang
Boelan‖ yang melahirkan sistem bintang film/Star System.

71

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Film pada masa penjajahan Jepang tahun 1942-1945, memberi
perspektif baru tentang kesadaran dan pentingnya pengetahuan
tentang film, khususnya dalam hubungannya dengan film cerita.
Penjajahan Jepang berusaha membuat film propaganda dengan tiga
kebijakan penunjang: (i) pembuatan lembaga khusus produksi film
cerita dan dokumenter yaitu Nippon Eigasha dan Nichei, (ii)
pembuatan lembaga yang berisi tokoh-tokoh film Indonesia saat itu
untuk membantu proses pembuatan, publikasi, dan penyebaran film,
serta (iii) kebijakan yang mengatur upaya distribusi film baik melalui
layar bioskop maupun pertunjukan keliling (Arief dkk, dalam
Nugroho, G. dan Herlina, D., 2015).
Ahli dari Jepang didatangkan ke Indonesia untuk membina
perfilman. Bunjin Kurata, seorang sutradara film terkenal,

ditempatkan sebagai pimpinan film cerita di Nippon Eigasha. Di
lembaga ini, pribumi mendapat kesempatan memegang peranan
penting seperti sutradara, juru kamera, editor, dan sebagainya. Ini
adalah kesempatan baru karena sebelumnya di perusahaan milik
Tionghoa dan Belanda semua posisi itu ―diharamkan‖ untuk orang
pribumi. Nippon Eigasha mengharuskan semua pribumi yang menjadi
karyawannya mengikuti pelatihan sehingga orang pribumi punya
kesempatan untuk belajar membuat film dengan baik (Biran dalam
Nugroho, G. dan Herlina, D., 2015).
Pada awal era produksi film, produser Belanda lebih fokus
pada representasi etnografis Hindia Belanda sebagai jajahan mereka
(De Klerk, dalam Nogroho, G., dan Herlina, D., 2015). Sedangkan
produser Tionghoa lokal lebih cenderung membangun representasi
fiksional Hindia Belanda dengan dipengaruhi gaya film Hollywood
dan Shanghai yang mereka impor pertama kali tahun 1924 (Arief dkk,
2010, dalam Nugroho, G., dan Herlina, D., 2015).
Beberapa aktor dan aktris terkenal jaman Hindia Belanda yang
beretnis Tionghoa antara lain Fifi Young, Ferry Kock, dan Tan Tjeng
Bok. Pada 1920-1930-an sebagian besar penonton bioskop adalah
masyarakat Eropa yang lebih menyukai film Eropa dan Hollywood.

Dengan demikian membuat film nasional untuk kalangan minoritas
72

Film Indonesia dari Masa ke Masa

nyaris mustahil, berhubung penonton sulit didapat. Tahun tersebut
ekonomi memang sedang depresi, ditambah lagi kemajuan teknologi
dalam perfilman yang membuat film bisu menjadi film yang bisa
berbicara, membuat film sulit diproduksi dan dipasarkan.
Situasi yang serba sulit tersebut tidak menyurutkan semangat
pembuat film. Albert Balink membuat dua film bagus yang laku di
pasaran yaitu ―Pareh‖ di tahun 1935, dan ―Terang Boelan‖ di tahun
1937, yang dibintangi oleh Roekiah dan Raden Mochtar. Film ini
tidak saja disukai masyarakat pribumi yang mayoritas namun juga
oleh orang Eropa dan Tionghoa. Film ini menjadi tonggak
keberhasilan film-film berikutnya. Sebelumnya ada satu film berjudul
―Njai Siti‖ atau ―De Stem Des Bloeds‖ yang diputar 22 Maret 1930.
Sistem bintang film (Star system) mulai booming. Aktor-aktris drama
panggung mulai merambah ke dunia film. Formula cerita seputar
romansa, pemandangan indah, perkelahian, comic relief, dan lagu
Melayu populer. Di saat yang sama, importir film dari Tiongkok
punya strategi lain yaitu mendatangkan film bergenre laga (silat) dan
mistik (siluman). Kedua strategi baru ini, yaitu film-film bernuansa
romansa-laga-mistik berhasil mengembalikan minat penonton ke
bioskop (Suwardi, 2009; Biran, 2009, dalam Nugroho, G., dan Herlina,
D., 2015).
Kehadiran teknologi baru yaitu film berbicara ini, membuat
importir tidak bisa memutar film-film baru di bioskop seperti Glodok
dan Mangga Dua di Batavia. Dimulailah investasi baru di beberapa
bioskop bicara yaitu ―Thalia Talkie Jakarta‖, ―National Talkie
Yogyakarta‖, dan ―Djambi Talkie‖. Dalam himpitan depresi ekonomi
dan kehadiran teknologi baru inilah industri film nasional mula-mula
dibangun. Produksi film nasional mulai meningkat dari 5 film di
tahun 1939, menjadi 14 film di tahun 1940, dan kemudian 30 film di
tahun 1941. Segmentasi penonton pelan-pelan berubah dan mulai
berimbang antara penonton Eropa-Tionghoa yang mayoritas, bergeser
ke arah penambahan jumlah penonton pribumi yang sebelumnya
minoritas.

73

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Era Orde Lama (1945-1965)
Iklim kemerdekaan seharusnya memberi ―nafas baru‖ yang
lebih segar dalam perfilman nasional. Namun demikian, ternyata
situasi politik yang sering tidak stabil menyebabkan situasi kurang
kondusif. Era pemerintahan Soekarno mencirikan kepentingan politik
yang sangat berbeda yang berimplikasi pada kebijakan yang berbeda
pula pada industri film. Pada era Soekarno, perang dingin antara
Amerika Serikat dan Uni Soviet turut mempengaruhi politik di
Indonesia. Soekarno berpendapat, budaya populer seperti musik,
sastra, dan film seharusnya mencerminkan identitas bangsa, sehingga
semua aliran kebarat-baratan ditolak. Semangat nasionalisme yang
diawali dengan kemunculan film ―Terang Boelan‖ menunjukkan
berbagai upaya untuk melahirkan film yang serba Indonesia, baik
dalam hal pemilihan artis, modal, ide cerita dan tema.
Diakuinya kemerdekaan Indonesia secara internasional (1949)
dan perginya Belanda secara formal dari negeri ini, menempatkan
situasi tahun 1949-1951 pada masa transisi. Pertumbuhan ekonomi
mulai meningkat menjadi tujuh persen. Berbagai momentum
perfilman nasional terjadi, mulai dari lahirnya Perusahaan Film
Nasional (Perfini) dan Persatuan Indonesia (Persari) di tahun 1950.
Untuk lebih mempopulerkan film Indonesia, Djamaluddin Malik
mendorong adanya Festival Film Indonesia (FFI) pertama pada tanggal
30 Maret-5 April 1955, setelah sebelumnya duet Usmar Ismail dan
Djamaluddin
Malik
mendirikan PPFI (Persatuan
Produser Film Indonesia).
Film ―Lewat Jam
Malam‖ karya Usmar Ismail
tampil sebagai film terbaik
dalam festival ini. Film ini
merupakan karya terbaik
Usmar Ismail, dan sekaligus
terpilih mewakili Indonesia
dalam Festival Film Asia II di
(diambil dari wikipedia)

74

Film Indonesia dari Masa ke Masa

Singapura. Sebuah film yang menyampaikan kritik sosial yang sangat
tajam mengenai para bekas pejuang setelah kemerdekaan.
Film-film penting lainnya dalam periode ini adalah, ―The
Long March‖ (Darah dan Doa, Umar Ismail, 1950), ―Si Pintjang‖
garapan Kotot Suwardi (1951), dan ―Turang‖ garapan Bachtiar Siagian
(1957). Film ―Darah dan Doa‖ ini dianggap sebagai film asli pertama
buatan Indonesia karena diproduksi oleh PERFINI dan yang
mengerjakan semuanya orang Indonesia asli (pribumi), bahkan Usmar
Ismail
disebut Soekarno sebagai ―sutradara Indonesia yang
sesungguhnya‖. Usmar Ismail sempat mengenyam pendidikan
sinematografi di Amerika Serikat pada tahun 1952. Tahun 1956
ditandai dengan munculnya film musikal pertama di Indonesia yaitu
film ―Tiga Dara‖.

Gambar 3.1. Film ―Darah Dan Doa‖
(diambil dari wikipedia)

Gambar 3.2. Film ―Tiga Dara‖
(diambil dari wikipedia)

Tahun-tahun berikutnya ketika perfilman Indonesia
menghadapi krisis di tahun 1957, PPFI menutup studio-studionya dan
kembali ke Jakarta. Pertumbuhan ekonomi turun dari 7% menjadi
1,9% per tahun. Di masa krisis ekonomi dan perseteruan berbagai
partai politik di dalam negeri –ada 29 partai waktu itu—tidak
menyurutkan Soekarno menjadi pemimpin Asia-Afrika melawan
kolonialisme. Tahun 1955 Soekarno mampu menginisiasi konferensi
75

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Asia-Afrika pertama
di Bandung. Bersamaan dengan itu
diselenggarakan pula Festival Film Asia Afrika (FFAA), tanggal
pelaksanaan FFAA tersebut yaitu tanggal 30 April ditetapkan sebagai
Hari Film Nasional di era Soekarno.
Tahun 1963 Soekarno mencetuskan ajaran Nasakom
(nasionalis, agama, dan komunis) untuk membangun demokrasi
terbuka terhadap beragam aliran, agama, dan ideologi. Pada tahun
tersebut pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden (PP) No.
11/1963 tentang larangan musik ―ngak-ngik-ngok‖ yang tidak lain
merujuk segala jenis musik Barat. ―Koes Besaudara‖ yang bersikeras
menampilkan musiknya pada akhirnya harus mendekam di penjara
Glodok selama beberapa waktu. Dunia sastra Indonesia pun
mengalami berbagai polemik, perbedaan ideologi politik yaitu ―Perang
Pena‖ yang terjadi antara seniman penganut paham realis-sosialis yang
memiliki semboyan ―seni untuk rakyat‖ melawan ―seniman
gelanggang merdeka‖.
Mengingat kondisi baru di republik yang sangat rapuh,
inisiatif Soekarno untuk menyatukan berbagai kepentingan dalam
demokrasi terpimpin banyak mendapatkan tentangan dari dalam dan
luar negeri. Amerika Serikat menjadi salah satu negara adidaya yang
sangat takut partai komunis di Indonesia tumbuh menjadi satu partai
terbesar. Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) yang memakan
korban jutaan jiwa menjadi puncak kekerasan yang bukan hanya
simbolik, namun juga fisik, yang ditengarai diinisiasi oleh negara
adidaya saat itu. Kejadian ini dipublikasikan dalam salah satu edisi
majalah TIME tahun 1965 --belakangan dicoba-lukiskan oleh Garin
Nugroho dalam filmnya ―Puisi Tak Terkuburkan‖ (tahun 1999). Pasca
1965 Indonesia menjadi mitra kuat AS dan sekutunya.

Era Orde Baru (1966-1998)
Pada era Soeharto, seluruh film karya sutradara yang
berhubungan dengan LEKRA dilenyapkan, dan banyak aktifisnya
yang dibuang ke Pulau Buru tanpa melalui proses peradilan. Data base
perfilman ikut lenyap. Trauma komunisme dan propaganda kestabilan
76

Film Indonesia dari Masa ke Masa

ekonomi dan politik menandai dibangunnya kekuatan militerisme di
era Soeharto. Dengan politik panglima ini, sistem kontrol dan sensor
diberlakukan terhadap berbagai aktifitas kehidupan termasuk
perfilman. Semua organisasi film dan penyiarannya dikontrol melalui
mekanisme di Departemen Penerangan. Sementara itu, Televisi
Republik Indonesia (TVRI) menjadi media propaganda pemerintah
serta strategi mengelola identitas serta nasionalisme Indonesia.
Jaman ini berhasil menelurkan para sutradara populer dengan
ciri khas masing–masing. Sjuman Djaya salah satu sineas yang berasal
dari dunia sastra, ia aktif berkegiatan di komunitas Seniman Senen,
kemudian melanjutkan sekolah film di Moskow. Pertama memasuki
dunia film ketika cerpennya yang berjudul ―Keroncong Kemayoran‖
diangkat ke layar lebar. Dia menjadi Direktur Film Departemen
Penerangan. Ia mendirikan sendiri perusahaan filmnya, ―PT Matari
Film‖. Contoh filmnya adalah ―Si Doel Anak Modern‖ dan ―Kerikilkerikil Tajam‖. Ia adalah sutradara yang paling banyak memenangi
Piala Citra. Semua filmnya menonjolkan keunggulan detail artistik
yang tinggi seperti properti, komposisi warna, irama dramatis hingga
penjiwaan para pemain.
Kebijakan politik represi Orde Baru sangat mempengaruhi
berbagai sektor kehidupan, termasuk di dunia perfilman Indonesia.
Banyak film layar lebar dibuat berdasarkan pesanan politik
pemerintah. Film anti-komunisme yang paling kontroversial adalah
Penghianatan G30S. Malam setiap pemutaran film ini dilakukan sudah
dapat dipastikan menjadi malam horor bagi anak–anak karena mereka
diharuskan menonton film yang penuh dengan kekerasan. Salah satu
sebabnya PPFN tidak mau mengambil resiko jika film ini gagal di
pasar atau tidak mendapat perhatian penonton. Di samping itu, film
propaganda pemerintahan Orde Baru yang berkisah tentang
keberhasilan Soeharto dalam memimpin Divisi Siliwangi
menyelesaikan masalah adalah ―Bandung Lautan Api‖. Film antikomunisme berupaya menempatkan PKI sebagai dalang kerusuhan
massa di tahun 1965, dan setelahnya, dan kelahiran Surat Pemerintah
Sebelas Maret (Supersemar) sebagai alat legitimasi pengambilalihan
kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto.
77

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Soeharto membawa Indonesia ke dunia internasional melalui
PBB. Di dunia seni dan hiburan, seluruh buku dan bentuk seni atau
pun sejarah yang berkaitan dengan Blok Timur dihapuskan dan
dilarang diajarkan, disimpan, dan diedarkan. Buku–buku karya Karl
Max dilarang beredar, dan lahirlah penulisan ―sejarah baru‖. Melalui
Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing dan Penanaman Modal Domestik, Indonesia mendapatkan
banyak utang dari Dana Moneter Internasional (IMF). Liberalisasi
ekonomi terjadi. Di bawah kendali Orde Baru, Indonesia mengalami
pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Jika periode sebelumnya
terutama tahun 1966 ditandai dengan hiperinflasi lebih dari 600
persen, maka memasuki dekade berikutnya laju inflasi dapat ditekan
hanya 10 persen pada tahun 1970.
Meskipun pembangunan dan pertumbuhan ekonomi berjalan
dengan pesat, namun pada era Orde Baru ini justru pembangunan
budaya cukup ditelantarkan. Ada beberapa film tentang perjuangan
revolusi dan para pahlawan, namun film-film yang mencirikan
budaya bangsa sebagai identitas hampir tidak ada. Film-film asing
menggempur perfilman nasional, tetapi pemerintah tidak ambil
peduli. Era Orde Baru justru membuka keran impor film sebanyakbanyaknya. Tindakan pro-Amerika melalui impor film tidak
terbendung lagi (Sen, 1994, dalam Nugroho, G. dan Herlina, D., 2015).
Importir masuk pada puncak kejayaan Orde Baru terutama pada
dekade 1980-an yang menunjukkan tidak kurang dari 700 film impor
masuk ke Indonesia, suatu jumlah yang cukup fantastis. Dua puluh
tahun sesudahnya hanya film dari AS yang diimpor dan diputar di
bioskop Indonesia, yang dikelola oleh importir film sekaligus
pengusaha bioskop di Indonesia.
Perhatian yang begitu minim terhadap budaya bangsa ini
menurut Ariel Heryanto dalam bukunya ―Identity and Pleasure: The
Politics of Indonesian Screen Culture‖ adalah karena dominasi
paradigma tertentu selama Orde Baru dan sesudahnya yang membuat
hyper-nationalist and history amnesia, seperti kutipan berikut ini:
―on the one hand Indonesia‘s intellectual framework has
been fixed too much and for too long on nation-state

78

Film Indonesia dari Masa ke Masa

building and modernization, or the impediments to them –
militarism, human right abuse, rampant corruption, violent
ethno-religious conflicts, and lately Islamist militants.‖
(Heryanto, A., 2014:7,17).

Kurangnya pembelajaran serius tentang budaya populer
Indonesia, menurut Ariel adalah karena perhatian lebih difokuskan
pada budaya populer dalam hubungannya dengan modernisasi di
Indonesia. Situasi negara-negara tetangga pada masa itu memang tidak
jauh berbeda. Ada tiga alasan lain yang menyebabkan studi/penelitian
tentang budaya populer di Indonesia sangat miskin dan sangat
terlambat, yaitu karena : (i) lambatnya perkembangan industrialisasi
di Indonesia, (ii) paradigma dominan (yang salah) yang selama ini
dipelajari tentang sejarah Indonesia, dan (iii) bias maskulinitas dalam
pembelajaran secara umum.
Dewan Produksi Film Nasional (DPFN) bertugas untuk
menentukan kebijakan, persetujuan atas naskah, penentuan artis,
karyawan, biaya produksi, dan produser pelaksana. Konten film
nasional sangat dibatasi, tidak boleh menampilkan kritik terhadap
penguasa dan wajah buruk negeri ini. Tidak heran jika kemudian,
tema-tema picisan yang berkutat pada kisah cinta, seksualitas (porno),
dan kekerasan tumbuh subur. Badan sensor yang sebenarnya masih
terikat dengan peraturan sensor lama membiarkan pelanggaran
tersebut terjadi. Seluruh artis, produser dan sutradara yang berafiliasi
dengan PKI tidak diizinkan berkarya lagi dan seluruh karya mereka
dihancurkan. Semua orang yang ingin bekerja di dunia film harus
menjadi anggota asosiasi profesi perfilman. Penerimaan anggota
melalui proses selesksi yang memastikan mereka sama sekali tidak
berafiliasi dengan PKI.
Tahun 1970, laju urbanisasi sangat luar biasa, film menjadi
hiburan paling populer. Terjadinya urbanisasi menuntut beragam
bentuk hiburan baru menjadikan kondisi ekonomi dan sosial yang
melahirkan kebangkitan kebudayaan popular seperti komik, novel,
musik hingga film. Hal ini melahirkan paradoks yakni sensor yang
anarkis versus tumbuhnya keberagaman ekpresi budaya populer.
79

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Sekitar periode itu, satu karcis bisa ditonton untuk dua orang.
Ada film Jepang tentang pendekar buta bertongkat bermata satu
―Zatoichi‖, film Belanda tentang penyanyi kecil ―Hance‖, film koboy
Italia ―Django‖, atau pun film ―Primus‖ tentang lumba–lumba dari
Australia. Tidak heran jika pemeran Django, Franco Nero, Si Buta dari
Gua Hantu (1970), dan ―Ratapan Anak Tiri‖ (1973) begitu populer.
Namun, tetap saja film–film Hollywood, India, dan Hongkong yang
mendominasi. Sensor lebih terbuka pada adegan seks sehingga
banyak karya berbau seks laku di pasar. TVRI menjadi medium global
baru. Anak–anak dibawa melanglang dunia dengan film–film seperti
Daktari, The Saint, Jungle Jim, Gentle Ben, Bonanza, dan Hawaii Five
0. Untuk pertama kalinya masyarakat mengenal iklan di televisi yang
bertajuk ―Siaran Niaga‖.
Televisi nasional ini menawarkan satu bentuk budaya populer
bagi masyarakat Indonesia. Siaran pertama yang menyiarkan peristiwa
Asian Games merupakan awal perkenalan penonton Indonesia dengan
dunia internasional. Pada tahun 1968, terdapat 40 persen acara TVRI
produksi lokal dan sisanya merupakan produk impor. Selama 1969–
1981, TVRI menyiarkan tidak kurang dari 87 film serial bertemakan
superhero. Beberapa serial impor bertema keluarga juga disiarkan
seperti ―Little House on The Prairie‖. Setelah 21 tahun mengudara,
TVRI akhirnya berhasil membuat film serial bulanan yaitu ―Si Unyil‖
dan ―Si Huma‖. Bulan April tahun 1985, akhirnya TVRI juga berhasil
membuat serial remaja berjudul ACI (Aku Cinta Indonesia). Wahyu
Sihombing yang berangkat dari dunia teater memproduksi karya–
karya drama televisi yang legendaris, yaitu ―Losmen‖ (1986) dan ―Dr.
Sartika‖ (1989). Dedi Setiadi adalah sutradara film televisi yang karyakaryanya cukup fenomenal antara lain ―Jendela Rumah Kita‖(1988)
dan ―Siti Nurbaya‖ (1991).
Keberadaan TVRI ini ditunjang oleh kehadiran teknologi
satelit. Pada tahun 1986 pemerintah secara resmi mengumumkan
kebijakan open sky yang mengijinkan lembaga swasta dan penduduk
menggunakan antena parabola. Di akhir 1980-an, 15 transponder
digunakan untuk saluran non–Indonesia, termasuk siaran publik
South East Asian dan saluran internasional seperti CNN yang justru
80

Film Indonesia dari Masa ke Masa

menghasilkan pendapatan yang lumayan bagi pemerintah. Satu
penelitian yang dipublikasikan pada tahun 1986 menunjukkan bahwa
meski hampir seluruh penduduk Indonesia (95 persen) menonton
TVRI, tetapi di satu provinsi hanya 45 persen responden yang
menonton TVRI. Omzet pemasangan iklan pada tahun 1971
berjumlah sekitar Rp 2,5 miliar dengan persebaran sebagai berikut: di
surat kabar 49 persen, bisokop 13 persen, TVRI 11 persen, majalah 1,5
persen, radio 3,5 persen, luar ruang 9 persen, dan lainya 14 persen
(Nugroho, G., dan Herlina, D., 2015).
Di tengah gelombang persaingan asing yang sangat luar biasa,
muncul perusahaan iklan modern milik orang Indonesia yaitu ―Inter
Vista‖ yang didirikan oleh Nuradi. Siaran ―Manasuka Siaran Niaga‖ di
TVRI ini menyediakan media periklanan yang baru. Aspek lain
pertumbuhan industri iklan memberikan pengaruh pada beberapa
aspek perfilman Indonesia yaitu: pertama, estetika iklan dalam aspek
visual memberikan pengaruh cara masyarakat mengkonsumsi dunia
sekitarnya serta menuntut film mampu berkompetisi dalam memikat
masyarakat dengan kekuatan visual. Kedua, kemampuan iklan
menggunakan teknologi terkini yang mahal memberikan kesempatan
bagi tenaga profesional film Indonesia belajar teknologi baru.
Di tahun 1980-an, produksi film lokal meningkat, dari 604
judul film di tahun 1970-an menjadi 721. Jumlah aktor dan aktris pun
meningkat pesat. Begitu pula penonton yang mendatangi bioskop.
Tema-tema komedi, seks, horor dan mistik, mendominasi produksi
film di tahun-tahun tersebut. Sejumlah film dan bintang film
mencatat sukses besar dalam meraih penonton. Film-film ―Warkop‖
adalah film yang merajai layar lebar dan layar televisi. Film ―Catatan
Si Boy‖ dan ―Lupus‖ bahkan dibuat beberapa kali dengan sekuelnya,
karena sukses meraih untung dari jumlah penonton yang mencapai
rekor. Tapi yang paling monumental dalam hal jumlah penonton
adalah film ―Pengkhianatan G30S/PKI‖ yang penontonnya (meskipun
ada campur tangan pemerintah Orde Baru) sebanyak 699.282 orang,
yang masih sangat sulit untuk ditandingi oleh film-film lokal lainnya.

81

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Fenomena yang menarik dalam budaya populer di Indonesia
adalah lahirnya majalah Aktuil bersama majalah anak muda dan
hiburan lainnya seperti Varia Nada dan Top. Ciri khas Aktuil di
antaranya adalah selalu terdapat poster di setiap edisinya, stiker kaos
yang diseterika, hingga chord lagu–lagu populer. Setelahnya ada
majalah ―Hai‖ bagi kaum remaja dengan setting yang sama yaitu
selipan poster dan stiker kaos serta chord lagu populer.
Banyak film Indonesia pada tahun 1970–1985 diadaptasi dari
produk budaya populer, baik itu komik, novel, maupun musik. Film
Indonesia tumbuh dalam globalisme dan seluruhnya dikontrol serta
disensor oleh pemerintah era kepemimpinan Soeharto. Namun
demikian, ini adalah era keemasan sejarah popularitas sinema
Indonesia, seperti ―Kampus Biru‖ (1976), ―Ali Topan Anak Jalanan‖
(1977), ―Badai Pasti Berlalu‖ (1977), ―Catatan Si Boy‖ (1987),
―Pengemis dan Tukang Becak‖ (1978), dan ―Dua Tanda Mata‖ (1984).
Di era ini beberapa sutradara membuat genre baru perfilman
Indonesia, yaitu Wim Umboh dengan film drama cinta, Sjuman Djaya
dengan film sosial, Teguh Karya dengan film artistik, Nya Abbas Akup
dengan komedi satir, dan Imam Tantowi atau S. Badrun dengan film
laganya (Nugroho, G., dan Herlina, D., 2015).
Tahun 1985 harga minyak mulai turun dan utang luar negeri
meningkat, budaya populer dan industri lokal mulai mati. Teknologi
komunikasi global serta produk ekspresi, lalulintasnya semakin tidak
bisa dikontrol oleh Soeharto. Periode krisis ini (1986) melahirkan film
―Seputih Hatinya Semerah Bibirnya‖ garapan Slamet Raharjo yang
memulai karir sebagai aktor. Puncak era ini adalah film ―Tjoet Nja
Dhien‖ (1986) karya Eros Djarot yang berhasil masuk Director Choice
Cannes Film Festival.
Era Orde Baru tampaknya terus–menerus khawatir dengan
film yang dianggap dapat mempengaruhi penontonnya. Pemerintah
Indonesia mewarisi ketakutan pemerintah kolonial yaitu sensor yang
ditetapkan pemerintahan Hindia Belanda di tahun 1916 yang
berlebihan dalam menyikapi keberadaan media film. Pada tahun 1977
pemerintah mengesahkan pedoman sensor melalui surat keputusan
82

Film Indonesia dari Masa ke Masa

menteri. Sensor pemerintah menyangkut tentang seks, kekerasan, dan
perlindungan budaya bangsa. Namun peraturan tersebut tidak sertamerta mengisolasi masyarakat dari pengaruh budaya asing yang
memasuki Indonesia melalui film. Salah satu contoh film terkait
persepsi seks dan ideologi adalah ―Kanan Kiri Oke‖. Di tahun 1981
melalui suatu seminar, kalangan perfilman membentuk Kode Etik
Produksi Film Nasional yang bertujuan menjaga susila manusia
Indonesia.
Periode 1970–1985 ini adalah sekaligus periode ketidakpuasan
terhadap rezim Soeharto yang berujung reformasi di tahun 1997. Saat
itu, terjadi monopoli dalam peredaran film yang dilakukan oleh adik
Soeharto, yaitu Soedwikatmono. Sempat terjadi perlawanan terhadap
monopoli jaringan bioskop ―21‖ di bawah Soedwikatmono hingga
dibawa ke meja hijau. Perlawanan ini didukung pula oleh kritikus
ternama seperti JB Kristanto dan Marselli Sumarno. Di saat yang sama
Fakultas Sinematografi IKJ dengan Gatot Prakoso sebagai inisiator
mengusung film pendek independen. Kemudian, mahasiswa mulai
memelopori gerakan sinema independen dengan memutar film ke
berbagai daerah dan kelompok masyarakat dengan nama ―Sinema
Gerilya‖ dan ―Sinema Ngamen‖.
Ketergantungan politik Indonesia kepada AS sangatlah besar.
Tuntutan liberalisme perdagangan tidak terbendung lagi. Berbagai
bentuk budaya populer asing masuk menerjang sehingga produk lokal
kalah bersaing. Kehadiran film impor semakin bertambah ketika
pemerintah orde baru menjalin kembali hubungan baik dengan
pemerintah AS. Di kemudian hari dibentuk MPEAA (Motion
Pictures Export Association of America) yang mengatur kuota dan
sensor film yang menyebabkan film Hollywood dalam bentuk
gulungan pita dan video agak sulit masuk ke Indonesia. Indonesia
berkomitmen memperbesar keanggotaan AFI Eropa Amerika dan
Asirevi menjadi importir film. Menteri Penerangan menambah dua
lisensi kepada importer film yang efektif berlaku setelah undang–
undang film terbaru selesai. Pemerintah Indonesia mengijinkan
perusahaan indonesia bekerja sama dengan perusahaan asing untuk
kegiatan penerjemahan dan menduplikasi film dan video Indonesia.
83

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Persetujuan baru tersebut memberikan dampak perubahan
yang fundamental terhadap perfilman Indonesia melalui Undang–
Undang Perfilman Tahun 1992. Cengkraman AS sungguh dasyat,
bahkan MPEAA diperbolehkan membuka jaringan bioskop sendiri di
Indonesia. Sejak 1992 tidak ada lagi proteksi pemerintah untuk
melindungi penayangan film–film nasional di bioskop dan berakibat
pada kehancuran perfilman nasional yang kian total. GATT pada
tahun 1994 mengeluarkan pasal 21 yang memperbolehkan proteksi
film sebagai bagian budaya yang dapat mempengaruhi kedaulatan
budaya. Bioskop membutuhkan film untuk ditayangkan, sementara
film lokal tidak punya cukup stok. Akibat monopoli yang luar biasa,
produksi film merosot dan pengusaha bioskop di daerah perlahan
sekarat. Ada beberapa pengusaha bioskop yang akhirnya menutup
usahanya. Peredaran video legal dan bajakan mulai tumbuh.
Tabel 3.1. Produksi Film Nasional, Impor Film dan Kuota Film Impor
(1986–1998)
TAHUN

FILM NASIONAL

FILM IMPOR

1986
63
179
1987
58
180
1988
53
180
1989
88
136
1990
112
112
1991
112
151
1992
41
150
1993
28
145
1994
34
160
1995
26
160
1996
34
151
1997
32
154
1998
4
61
Sumber : Kurnia (2009) dalam Garin, N. dan Herlina, D., 2015

KUOTA FILM
IMPOR
180
180
180
170
170
160
160
160
160
160
160
160
160

Pemerintahan yang represif melahirkan pengontrolan yang
sangat besar atas sensor dan ruang berekspresi. Berikut adalah data
sekunder tentang kronologis sensor di Indonesia yang menunjukkan
kronologis dibentuknya lembaga sensor sebagai kepanjangan
pemerintahan yang berkuasa pada masa itu, yang bertujuan untuk
mengendalikan semua tontonan yang dipublikasikan pada masyarakat.
84

Film Indonesia dari Masa ke Masa

Intinya, sensor adalah semacam alat pemerintah menyeleksi mana
yang boleh ditonton masyarakat yang tidak membahayakan posisi
penguasa saat itu.
Fungsi lembaga sensor sampai era 1990-an ketika undangundang perfilman muncul, tak jauh berbeda dengan fungsi sensor di
era Penjajahan, ketika Pemerintah Jepang melakukan pendidikan
tentang Jepang sebagai penguasa Asia. Baru pada Pemerintahan Gus
Dur (Presiden Abdurachman Wahid almarhum) fungsi lembaga
sensor direvisi, posisinya dipindahkan dari Departemen Penerangan di
era Orde Baru ke Departemen Pendidikan Nasional di era reformasi.
Yang menarik di era Orde Baru ini selain keberadaan Lembaga
Sensor Film (LSF) di Indonesia sebagai satu-satunya lembaga
pengontrol dan pengendali terhadap perfilman Indonesia, adalah
hadirnya televisi nasional yaitu TVRI. TVRI juga memiliki peran
penting terhadap pembentukan budaya populer. TVRI melakukan
intervensi yang cukup besar pada pembentukan selera masyarakat
terhadap tontonan. Pada dekade 1980-an TVRI masih rutin
menayangkan beberapa film seri impor. Beberapa film impor yang
paling disukai pemirsa adalah Remington Steel, ChiPs, dan Muppet
Babies, ada juga serial film keluarga di Minggu siang yaitu ―Little

House on The Prairie‖.

Sesudah kemunculan TVRI, pada tahun 1980–1990 budaya
pop menemukan media baru yaitu video. Media tersebut membawa
publik bisa terhubung dengan film dalam jarak yang semakin dekat,
sekaligus menciptakan kemungkinan pola distribusi film yang baru.
Pada era video yang sangat praktis dan murah, khususnya lewat
perdagangan gelap, maka anak muda pelaku film Indonesia mampu
mengakses film yang sebelumnya hanya bisa dibaca di buku–buku
pelajaran atau ditonton di luar Indonesia. Film yang paling disukai
adalah film superhero untuk anak–anak dan film silat mandarin.
Setelah persewaan video menjadi tren, TV kabel mulai muncul.
Teknologi lain yang kemudian muncul adalah piringan video dengan
gambar lebih sempurna, suara lebih stereo dan harga yang lebih
murah. Kehadiran teknologi baru ini berakibat signifikan pada
85

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

turunnya produksi film nasional. Karena lebih murah dan praktis,
penonton mulai lebih suka menonton film dari rumah. Kehadiran
video ini juga menimbulkan masalah baru seputar hak cipta dan
sensor. Media impor semakin membanjiri imaji penonton Indonesia.
Ironisnya, beragam format video dan laser disc sangat cepat
mati dan berubah dalam waktu sangat pendek. Masuknya percepatan
teknologi baru berkait film dari beragam format video, laser disc
hingga parabola dalam rentang waktu sangat pendek merefleksikan
tidak adanya strategi pemerintah Indonesia terhadap standarisasi
teknologi.
Pada 1970–1980 sebagian besar komik lokal dipengaruhi oleh
aliran Amerika. Liberalisme perdagangan mendorong produsen komik
Jepang menyebarluaskan terbitannya ke seluruh dunia. Popularitas
komik Jepang semakin menjadi–jadi ketika versi kartunnya disiarkan
di televisi swasta Indonesia. Pada tahun 1991 RCTI mulai
menayangkan film kartun ―Doraemon‖. Ketika komik lokal bergeser
oleh manga dan anime situasi yang rumit juga terjadi pada industri
musik nasional. Musik barat yang mulai masuk di era 1970-an
semakin mendapat tempat di hati masyarakat kelas atas Indonesia.
Musik dijadikan penanda selera dan gengsi kelas sosial. Kontrol
pemerintah sangat ketat di musik lokal, yaitu musik dangdut.
Keberatan pemerintah terhadap musik pop kadang sulit dimengerti
oleh masyarakat awam, salah satunya adalah kasus pelarangan lagu
―Hati yang Luka‖ (1989). Sensor yang ketat diberlakukan untuk
budaya populer nasional, sedangkan produk asing dibiarkan masuk
tanpa batas yang mengaliri jalur–jalur yang pada dekade sebelumnya
dikuasai oleh produk lokal.
Keberlangsungan
film
senantiasa
terkait
dengan
perkembangan teknologi hiburan dan cara mengadaptasinya karena
berkembang sangat cepat. Tuntutan hiburan waktu senggang dalam
rumah menjadi begitu tinggi ketika banyak waktu di dalam rumah
tidak cukup produktif. Tahun 1995 –1996 direktur TPI memberi saran
untuk membuat seri televisi anak–anak di televisi. Usulan program
tersebut disetujui. Produser dan konseptor menggagas sebuah program
86

Film Indonesia dari Masa ke Masa

dengan judul ―Anak Seribu Pulau‖. Tahun 1997 John Hopkins
University bekerja sama dengan TPI membuat film untuk televisi
dengan tema pendidikan kesehatan. Industri televisi yang tidak
pernah berhenti berproduksi di berbagai bentuk krisis menjadi
pelarian pekerja film dari krisis film Indonesia. Film dalam periode ini
tidak lagi menjadi anak emas industri hiburan.
Meski dalam kondisi sekarat, beberapa karya seperti ―Cinta
dalam Sepotong Roti‖, ―Daun di Atas Bantal‖ karya Garin Nugroho
mampu memenangkan berbagai penghargaan di festival film
internasional. Pertengahan tahun 1990-an, film-film nasional yang
tengah menghadapi krisis ekonomi harus bersaing keras dengan
maraknya sinetron di televisi-televisi swasta. Praktis semua aktor dan
aktris panggung dan layar lebar beralih ke layar kaca. Apalagi dengan
kehadiran Laser Disc, VCD dan DVD yang makin memudahkan
masyarakat untuk menikmati film impor.

Film Indonesia Pasca Reformasi
Tahun 1997, para pemuda turun ke jalan, mereka melancarkan
aksi protes terhadap pemerintahan Orde Baru yang mencoba
mempertahankan status quo. Mereka berteriak: ―Reformasi!‖, generasi
muda di negeri ini tak bisa tinggal diam menerima semua bentuk
hegemoni kekuasaan, yang disertai kekerasan dan penindasan pada
masa Orde Baru. Penculikan terhadap aktivis mahasiswa di beberapa
Perguruan Tinggi ternama di Jakarta, tidak memadamkan semangat
reformasi ini. Makin banyak putera daerah turun ke jalan dan
berbondong-bondong ke Jakarta. Mereka ingin perubahan terjadi.
Perubahan memang terjadi. Pemerintahan yang baru di era
Presiden B.J. Habibie dan Presiden Gus Dur (alm) mulai melakukan
reformasi. Perubahan terjadi bukan hanya dalam aspek politik dan
ekonomi, namun juga di bidang perfilman nasional. Produksi film
Indonesia yang mengalami titik terendah di tahun 1988-1999 tidak
lantas menyebabkan matinya kreativitas. Aksi reformasi justru
menjadi
tonggak
munculnya
perubahan-perubahan
yang
berlandaskan kreatifitas dan kebebasan. Di tahun yang sama, tahun
87

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

1997/1998, film ―Kuldesak‖ menandai munculnya film Indonesia
dengan genre baru yaitu gabungan empat film pendek garapan
―Sinema Independen Indonesia‖. Terjadi perubahan dari segi cerita,
yang lebih natural, karena dibuat oleh anak-anak muda untuk anakanak muda, sesuatu yang jarang terjadi sebelumnya. Film tersebut
mendapatkan penghargaan di Forum Film Bandung (FFB) dan Festival
Film Asia Pasifik (FFAP) di tahun 1999.
Tahun 1999, biarpun hanya empat film yang diproduksi
namun film-film itu diapresiasi dengan sangat baik, dua di antaranya
adalah ―Petualangan Sherina‖ garapan Mira Lesmana dan Riri Riza,
serta film ―Puisi Tak Terkuburkan‖ garapan Garin Nugroho. Film
―Petualangan Sherina‖ adalah film anak-anak pertama di layar lebar
dengan isi/cerita yang segar dan natural, berhasil mendapat berbagai
penghargaan di FFB, FFI, dan FFAP. Sedangkan film ―Puisi Tak
Terkuburkan‖ adalah film Indonesia pertama dengan format beta cam
digital, dan mendapat penghargaan di Silver Video Leopard Award,
New York, dan Festival Film di Singapura tahun 2002.
Berselang sepuluh tahun kemudian terjadi aksi yang
mengejutkan dari para insan perfilman yang menamakan dirinya
―Masyarakat Film Indonesia‖ (MFI). Tanggal 3 Januari 2007 mereka
yang tergabung dalam MFI ini melakukan ―aksi protes‖ pengembalian
piala Citra secara simbolik di ―Teater Kecil‖ Taman Ismail Marzuki,
Jakarta. Piala-piala yang dikembalikan adalah piala yang mereka
peroleh pada tahun 2004-2006. MFI protes dengan hasil penjurian FFI
2006 yang menetapkan film ―Ekskul‖ sebagai film terbaik, karena film
tersebut dianggap telah melanggar hak cipta. Mereka yang hadir dan
mengembalikan piala-piala Citra-nya antara lain: Mira Lesmana, Riri
Riza, Dian Sastro, Nikolas Saputra, Tora Sudiro, dan Chand Parwez
(Manurung, E.M., 2008).
Film ―Ekskul‖ garapan Indika Entertainment dengan sutradara
Nayato Fio dianggap tidak sah dalam memenangkan piala Citra FFI.
Masyarakat Film Indonesia (MFI) protes karena banyak film lain yang
dianggap lebih bermutu daripada film ―Ekskul‖. MFI meminta
sejumlah badan perfilman pemerintah bentukan Orde Baru
88

Film Indonesia dari Masa ke Masa

dibubarkan, yaitu Lembaga Sensor Film (LSF) dan Badan
Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) karena dinilai tidak
melakukan tugasnya dengan baik. Film ―Ekskul‖ yang menjadi
pemenang piala Citra tahun tersebut dinyatakan melanggar hak cipta
karena menggunakan ilustrasi musik dari film yang lain. Mereka juga
meminta agar Undang-Undang tentang Perfilman Indonesia yaitu UU
No. 8 Tahun 1992 dicabut dan diganti dengan Undang-Undang yang
baru (Kompas, 1 April 2007).
Riri Riza8 menyatakan sudah saatnya insan perfilman
menyatakan sikap, karena pemerintah terlalu mengontrol perfilman,
film sebagai produk budaya senantiasa dikekang penguasa dan tidak
diberi kebebasan berekspresi. Kreasi dan kreatifitas para sineas juga
kurang dihargai, terbukti dengan lolosnya film ―Ekskul‖ yang
dianggap melanggar hak cipta ilustrasi musik sebagai film Indonesia
terbaik tahun 2006. Kutipan wawancara dengan Riri Riza tentang ini
adalah:
―Ketika fungsi film atau paradigma tentang film masih
dilihat seperti masa Orde Baru --film harus begini, harus
begitu, tidak boleh begini atau begitu, dsb-- itu berbahaya.
Yang paling prinsip, adalah ini melanggar hak asasi,
melanggar hukum yang paling utama yaitu UUD dan
Amandemennya, yang mengakui kebebasan berekspresi,
mengembangkan rasa seni....‖ (Wawancara dengan Riri
Riza, 11 April 2007).

Di samping itu, MFI juga menyoroti peran lembaga
pemerintah yang mengurusi perfilman yang dianggap masih sama
dengan bentukan lembaga/departemen penerangan di era Orde Baru,
yaitu Lembaga Sensor Film (LSF), dan Badan Pertimbangan Perfilman
8

Mohammad Rivai Riza atau Riri Riza merupakan sutradara, penulis naskah, dan
produser film Indonesia yang mulai berkiprah sejak reformasi. Ia sering berkolaborasi
dengan Mira Lesmana dan mendapatkan beberapa penghargaan danbox-office atas
karya-karya mereka. Debutnya pertama kali adalah film ―Kuldesak‖ yang rilis tahun
1998. Disusul dengan beberapa film lain seperti ―Petualangan Sherina‖ (2000), ―Ada
Apa Dengan Cinta?‖ (2002), ―Gie‖ (2005), ―Laskar Pelangi‖ (2008), ―Sokola Rimba‖
(2013), dan ―Pendekar Tongkat Emas‖ (2014). Beberapa penghargaan yang pernah
diraih antara lain: Citra Award for Best Film, Citra Award for Best Writing , dan Citra
Award for Best Director.

89

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Nasional (BP2N). MFI minta lembaga-lembaga tersebut dibubarkan
dan diganti dengan lembaga lain yang melibatkan insan perfilman
sebagai pelaku. MFI juga meminta pemerintah, yaitu DPR-RI,
mencabut UU Nomor 8 Tahun 1992 yang mengatur perfilman
Indonesia dan menggantinya dengan undang-undang yang baru.
Mereka menilai sektor pendidikan hingga pencanangan strategi
kebudayaan tidak dikelola dengan jelas dan baik oleh pemerintah
(Kompas, 1 April 2007).
Riri Riza berpendapat bahwa Departemen Penerangan harus
dibubarkan, dan memang sudah dibubarkan. Akan tetapi, spiritnya
masih terlihat di Lembaga Sensor Film (LSF) yang mengeluarkan ijin
peredaran dan penyiaran film Indonesia. Seharusnya, reformasi juga
diberlakukan untuk lembaga-lembaga pemerintah yang menangani
urusan dan kebijakan tentang perfilman di Indonesia. Hal ini
tercermin dalam kutipan wawancara sebagai berikut:
―Deppen yang memayungi itu kemudian dibubarkan, ada
pemindahan area pemikiran dari film sebagai pertahanan ke
arah Kesra atau Kebudayaan (sekarang disebut Parsenbud
atau Budpar), tapi UU No. 8 Th 1992 tetap sama. Sepertinya,
Budpar tetap menginginkan arah perfilman seperti yang
dilakukan Deppen di masa lalu.‖ (Wawancara dengan Riri
Riza, 11 April 2007).

Garin Nugroho, seorang movie-maker yang lebih senior,
menekankan bahwa pada era Sesudah Reformasi politik berubah.
Reformasi memberikan ruang bagi para movie-maker untuk
berdialog. Mahasiswa bisa bawa poster, bisa protes pada penguasa,
mereka punya ruang untuk menyampaikan sesuatu, masih lebih baik
situasinya kini dibandingkan dulu di era Orde Baru. Jika dulu
militerisme dan anarkisme yang berkuasa, maka sekarang yang lebih
berkuasa adalah
konsumerisme, benda-benda dan hiburan di
sekeliling kita. Hanya saja, perilaku sensor tetap sama, ruang gerak
untuk berkreativitas senantiasa dibatasi pemerintah. Berikut
penggalan wawancara dengan Garin Nugroho:
―Ya, politik pasti berubah. Sekarang, bedanya ada pada
konsumerisme. Kalo dulu kan militerisme dan anarkisme,
sekarang dari masyarakat-nya, sensor dari masyarakat.

90

Film Indonesia dari Masa ke Masa

perilaku sensor, yah hampir sama. Cuma dulu itu tidak bisa
berdialog, sekarang bisa berdialog. Sekarang bisa protes,
mahasiswa dating pun sekarang ngga apa-apa. Biar pun
memang mereka yang tetap memutuskan... Dulu kan tidak,
harus punya keberanian untuk melawan.‖ (Wawancara
dengan Garin Nugroho, 5 Juni 2007).

Aksi MFI ini mendapat tanggapan. Deddy Mizwar yang kala
itu menjabat sebagai ketua BP2N mengusahakan untuk menarik
kembali semua piala Citra hasil penjurian FFI tahun 2006. Dewan juri
kemudian dipilih kembali, dan memasukkan unsur sineas yang
dianggap mumpuni seperti Garin Nugroho dan memin