Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Bab VII
Paradoks dan Manajemen Kreativitas

Melalui hasil studi dokumen film Indonesia, wawancara
dengan kurang lebih duapuluh (20) pembuat film, duaratus limapuluh
tiga (253) penonton, dua (2) pengusaha bioskop dan tiga (3) wakil
pemerintah; peneliti akhirnya sampai pada pemahaman dan
interpretasi atas temuan-temuan di sepanjang penelitian. Interpretasi
tersebut membawa peneliti pada gagasan-gagasan baru tentang apa
yang terjadi dengan film Indonesia. Hasil penelitian mengungkapkan
pengetahuan tentang proses produksi film Indonesia, apresiasi
penonton terhadap film tanah air, serta posisi-kontribusi dari
pengusaha bioskop dan pemerintah.
Pengetahuan baru yang penulis dapatkan itu, tidak semuanya
memiliki relasi langsung dengan pertanyaan besar di awal penelitian
serta kerangka awal pemahaman terhadap film Indonesia. Peneliti
menemukan munculnya situasi-situasi paradoks yang dihadapi selama
proses pembuatan film, apresiasi oleh penonton, pendapat ekshibitor
serta peran pemerintah. Oleh karena itu, untuk menambah
pemahaman tentang film Indonesia dan situasi-situasi paradoksal atas
kreativitas yang terjadi di dalamnya, peneliti kembali mencari literatur

tambahan untuk memahami lebih lanjut catatan-catatan interpretasi
yang telah ada di Bab tiga sampai enam. Berikut ini adalah catatan
penulis dari tambahan literatur tentang paradoks dan manajemen
kreativitas dalam bisnis/industri perfilman.

Paradoks Kreativitas
Kreativitas yang sudah dikenal sebagai ―divergent, impulsive,
and messy‖ (lihat Bab dua), rupanya memiliki paradoks-paradoks di
dalamnya. Kreativitas yang melekat dan dimiliki oleh (setiap) individu
261

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

membuatnya menjadi seorang yang ―jenius‖, bisa menciptakan sesuatu
yang baru, yang bermanfaat atau tidak bermanfaat bagi lingkungan
sekitarnya.
Kreativitas memiliki sifat menuntut hadirnya situasi yang
bersifat ―bebas‖, tidak dibatasi, dan fleksibilitas tinggi --karenanya
harus didukung sumber daya yang memadai. Namun dalam bisnis,
kreativitas diletakkan pada posisi yang harus bisa dilihat dan

dikendalikan dan dimonitoring. Ini adalah situasi yang disebut
paradoks.
Paradoks digambarkan sebagai situasi dilematis, polaritas, dan
bersaingnya nilai-nilai atau kontradiksi, yang seolah menghilangkan
apa yang disebut normal. Paradoks bisa jadi sulit dimengerti dan
dijelaskan. Paradoks kerap didefinisikan sebagai tegangan-tegangan
yang muncul dalam lingkup organisasi dan strategi, misalnya control

versus empowerment, centralized versus decentralized, work versus
home. Paradoks bisa berupa masalah-masalah tak terpecahkan, siklus
yang tak berhenti atau berulang, polarisasi (mempertentangkan)
individu ke dalam grup-grup. Mengelola paradoks berarti membangun
pola pikir di luar (mengatasi) logika. Memahami paradoks akan
memudahkan organisasi untuk mengatasi dan mengelolanya untuk
kinerja yang kebih baik.
Filosofi paradoks tertuang dalam manajemen dualitas yang
berakar pada konsep ―Yin-Yang‖ dalam filosofi Cina klasik.Filosofi ini
berasal dari dua buku tua Cina yaitu I Cing dan Tao De Ching. Filosofi
tersebut didasarkan pada premis bahwa segala sesuatu di dunia
mengandung dua eleman bertentangan, yang terpisah, berlawanan dan

saling melengkapi. Simbol ―Yin-Yang‖ berfungsi sebagai pengingat
bahwa paradoks itu sesungguhnya saling terkait dan saling tergantung.
Sering juga simbol ―Yin-Yang‖ dipandang sebagai penunjuk kesatuan
dalam kebertentangan atau keberlawanan, keseimbangan, dan
kesetimbangan. Namun ada variasi dalam simbol ―Yin-Yang‖. Proporsi
Yin-yang bisa bervariasi secara lebar, saling berinteraksi satu sama lain,
dan bekerja sama secara dinamis. Filososfi kuno ini mengingatkan kita
262

Paradoks dan Manajemen Kreativitas

bahwa tekanan-tekanan paradoks itu tidak hanya bertentangan tapi
juga bekerja sama satu dengan yang lainnya.
Dengan memadukan filosofi Barat dan Timur, organisasi dapat
menemukan solusi efektif dan trasformatif dalam menangani
kebutuhan-kebutuhan yang kompleks dan saling paradoks. Sebagai
contoh, ketika sebuah bisnis menghadapi paradoks antara
bertransformasi untuk masa depan, dengan mengamankan posisi pasar
hari ini, memimpin perubahan memerlukan sebuah perangkat-alat
yang baru. Kebangkrutan tingkat tinggi beberapa perusahaan seperti

Blockbuster Video dan Borders Bookstore, menggarisbawahi bahwa
ekonomi yang lambat memberi hanya sedikit ruang bagi model bisnis
yang sudah ketinggalan (Leslie, J.B., et.al, 2011).
Contoh perusahaan-perusahaan yang gagal itu memberi
pelajaran, karena tak sanggup beradaptasi dengan laju pesaing-pesaing
digital seperti Amazon, Google, Netflix dan sebagainya, perusahaanperusahaan tersebut hancur di tahap awal. Ini menjadi pelajaran bagi
semua. Abad digital bergerak pada fase yang sangat cepat, dan secara
cepat mengubah pemenang menjadi pihak yang kalah. Perusahaanperusahaan yang sukses di bidang percetakan, media, dan periklanan,
software dan industri-industri lain, merasakan tekanan ini hari ini dan
terus mencari cara untuk memberi respon. Mereka berusaha mencari
keunggulan dalam model-model bisnis digital dalam bisnis-bisnis baru
dan tetap berada sekangkah di depan ancaman. Mengubahnya menjadi
peluang bagi pertumbuhan masa depan. Logika ini sangat benar,
meskipun ada persoalan. Borders membuat investasi yang sangat besar
dalam penjualan buku online dan bacaan digital, sementara Polaraid,
penemu fotografi cepat menciptakan kamera megapiksel pertama di
dunia tahun 1990-an. Industri jam di Swiss telah melihat jam quarts
pertama di dunia tahun 1969. Masing-masing perusahaan ini bangkrut
dalam inovasi yang diciptakannya atau yang di dalamnya mereka telah
berinvestasi. Kegagalan bukan terletak pada ide, tapi pada eksekusi.

Mereka bergerak terlalu lambat untuk menangkap peluang, dan
meremehkan skala perubahan yang diharuskan.
263

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Paradoks suksesnya adalah, di satu sisi seharusnya inovasi
membuat penciptanya berada di sisi terbaik untuk memimpin pasar
pada gelombang inovasi berikutnya, namun pada kenyataanya, justru
hal itu yang membuat mereka terpaku di masa lalu. Walaupun
perusahaan ini sadar bahwa pasar sedang berubah, dan oleh karenanya
tercipta peluang-peluang baru, mereka gagal mengeksekusi dan
menangkap peluangnya (Binns, A., and Smith, W., 2011). Sementara
lingkungan organisasi menjadi lebih global, dinamis dan kompetitif,
tuntutan-tuntutan yang saling berkontradiksi pun makin mengemuka.
Untuk memahami dan menjelaskan tegangan atau konflik yang
demikian, para akademisi dan praktisi makin memakai ―lensa paradoks‖
(Smith, W.K., and Lewis, M.W., 2010).
Banyak akademisi tertarik untuk meningkatkan kreativitas
dengan alasan yang baik, namun pertanyaan tentang cara

melakukannya menjadi sulit oleh adanya paradoks kreativitas.
Bagaimana memajukan kreativitas itu dipersulit oleh paradoks
kreativitas; temuan-temuan yang saling kontradiktif namun pada saat
yang sama betul (pemikiran konvergen menghambat kreativitas tetapi
juga diperlukan). Paradoks-paradoks seperti ini bisa dijinakkan dengan
membagi kreativitas dengan tujuh fase yang bergantung pada proses
kognitif yang berbeda-beda (pemikiran divergen vs konvergen) dan
properti/ciri pribadi (keterbukaan vs kompulsif) difasilitasi oleh kondisi
lingkungan yang berbeda (toleransi terhadap kesalahan dengan
tuntutan untuk akurat) mengarah pada jenis produk yang bermacammacam atau berbeda (sesuatu yang radikal vs yang novel yang biasanya
terkait kerangka pemikiran klasik).
Empat faktor ―P‖ dalam kreativitas (person, process, product,
dan place) untuk dipetakan ke dalam fase-fase tadi, menjadi sebuah
tantangan namun sekaligus memberikan analisis tentang metodenya
dan bagaimana aktivitas tersebut diterapkan pada pembelajaran.
Seorang pemimpin yang memahami tentang proses ini akan bertanya
pada dirinya sendiri: ―Bagaimana saya akan:
1. Meneguhkan kebutuhan pengakuan dan identitas tiap-tiap
orang tetapi juga mengarahkannya pada kebutuhan kolektif?
264


Paradoks dan Manajemen Kreativitas

2. Mendorong tim untuk mendukung satu sama lain, sementara
pada saat yang sama menantang satu dengan yang lain melalui
debat yang berkualitas.
3. Memajukan eksperimen, pembelajaran berkelanjutan, dan
kinerja yang tinggi?
4. Menentukan
bagaimana
struktur
–aturan,
hierarki,
perencanaan, dan sejenisnya—menyediakan batasan yang perlu
tanpa mematikan improvisasi?
5. Memadukan kesabaran dan rasa mendesak?
6. Menyeimbangkan inisiatif dari bawah dengan intervensi dari
atas?‖
Ketika diperhadapkan pada tantangan untuk membebaskan
inovasi dalam organisasi, banyak pemimpin gagal. Beberapa mencoba

menolong timnya untuk sukses dengan memberi kebebasan yang tak
terbatas, hanya untuk menemukan bahwa mereka sudah menciptakan
kekacauan dan kinerja yang tidak tinggi. Yang lain mencoba untuk
memajukan kreativitas karyawan mereka melalui program-program
dan aktivitas yang sudah ditentukan, yang biasanya hanya
menghasilkan hasil yang tidak istimewa (Hill, L.A., et.al., 2014).
Setelah mempelajari atau meneliti beberapa ahli yang dapat
dipercaya dalam memajukan inovasi organisasi, Linda Hill et. al. (2014)
berhasil mengidentifikasi inti dari kesulitannya. Pada inti memajukan
inovasi ada tegangan yang fundamental, atau yang disebut paradoks,
melekat pada peran pemimpin: para pemimpin perlu melepas atau
membebaskan talenta karyawan, tetapi juga memadukan talentatalenta yang bervariasi itu untuk mendapatkan hasil yang berguna dan
kohesif. Ini bisa tidak mungkin, tetapi bukti mendukung bahwa
keduanya itu penting. Peran seorang pemimpin dalam organisasi
menjadi sangat penting.
Ide dan kemungkinan bertumbuh melalui pelepasan, sementara
pemaduan bertujuan untuk memastikan bahwa usaha kolektif tiap-tiap
orang menghasilkan solusi yang bisa dikerjakan. Untuk berhasil perlu
kemampuan mengelola tegangan antara mode-mode yang terpisah ini
265


Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

dengan menyadari kapan masing-masing itu cocok atau tepat dan
dengan memadukannya di dalam siklus yang tidak pernah berakhir.
Bill Coughran, ketika masih menjadi SVP Engineering di grup
infrastruktur Google, membuat definisi yang baik tentang mengelola
tegangan-tegangan tersebut, sebagai berikut:
―Managing tensions in the organization is an ongoing issue...you
don‘t want an organization that just salutes and does what you
say. You want an organization that argues with you. And so you
want to nurture the bottoms-up, but you‘ve got to be careful
you don‘t just degenerate into chaos‖ (Hill, L.A., et.al., 2014).

Definisi mengenai inovasi –menciptakan sesuatu yang baru dan
berguna—mencerminkan paradoks ini. Mudah untuk memikirkan
banyak ide, tapi jauh lebih sulit memadukan ide-ide tersebut menjadi
sesuatu yang baru dan menyelesaikan masalah. Untuk memahami lebih
baik paradoks sentral dari ―melepas‖ dan ―memadukan‖ ini, dan
implikasinya dalam memimpin inovasi,sebuah literatur memecahnya

menjadi enam paradoks yang akan ditemui oleh setiap orang dalam
organisasi, yang diilustrasikan pada Gambar 7.1.

Sumber: Hill, L., et.al., 2010

Gambar 7.1. Situasi Paradoksal dalam Proses Kreatif

Posisi sebelah kanan di setiap waktu akan bergantung pada
kondisi spesifik situasi saat ini, goal-nya akan selalu untuk
memanfaatkan
situasi
apapun
untuk
memampukan
atau
memberdayakan kolaborasi eksperimen, dan integrasi yang diperlukan
untuk inovasi. Pemimpin yang cenderung di posisi ―harness‖ tidak
akan pernah sempurna melepas irisan-irisan kejeniusan pada
266


Paradoks dan Manajemen Kreativitas

karyawannya; sementara yang ada pada sisi ―unleash‖ akan senantiasa
berhadapan dengan kekacauan dan tidak pernah menyelesaikan
masalah bagi kebaikan bersama.
Jenis kepemimpinan seperti ini tidaklah mudah, khususnya
bagi yang terbiasa dengan gaya top-down, atau yang memandang
konflik dan kehilangan kontrol itu sebagai situasi yang tidak
menyenangkan. Bahkan pemimpin-pemimpin inovastif yang mumpuni
juga menyadari betapa sulit untuk mendukung sisi yang satu dari
paradoks tersebut daripada sisi yang lain. Tugas untuk menciptakan
hal-hal yang baru dan berguna mengharuskan para pemimpin untuk
tiada henti mendefinisikan ulang kebutuhan organisasinya,
memodifikasikannya, dan menyesuaikan perilaku karyawannya.
Pemimpin organisasi harus mengembangkan kemampuan
memimpin dari tempat yang tepat pada tiap skala untuk moment dan
situasinya. Terlebih lagi, inovasi sejati itu pada hakekatnya sulit karena
prosesnya tidak teratur dan penuh tegangan. Setiap orang yang terlibat
harus terus-menerus bergumul dengan tegangan tersebut dan tekanan
yang dimunculkannya. Situasi paradoks itu tak akan pernah hilang –
ada di inti proses inovasi. Jadi, paradoks tersebut hanya bisa dikelola,
namun tidak pernah bisa diselesaikan dengan baik. Memahami
paradoks dan alasan kemunculannya mungkin menolong, tapi tidak
membuatnya mudah untuk ditangani. Itulah mengapa inovasi
organisasi itu mensyaratkan baik kerelaan maupun kemampuan orangorang di dalam organisasi.
Siapapun yang berharap untuk berinovasi harus mampu
berkolaborasi, bereksperimen, dan memadukan solusi-solusi yang
mungkin. Orang tersebut harus memiliki kemampuan untuk
menjalankan aktivitas-aktivitas tersebut dengan produktif. Dengan
adanya hambatan-hambatan inovasi, para pemimpin dan pengikutnya
harus rela bekerja keras untuk mencapai inovasi yang diinginkan.
Organisasi yang berhasil, mengembangkan kesadaran yang dalam
tentang komunitas dan menolong masing-masing anggota untuk
melewati dan mengalami tegangan atau tekanan tersebut, dan
267

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

mencegah organisasi tercerai-berai karena tekanan-tekanan yang
bertentangan tersebut.
Paradoks-paradoks tersebut menolong menjelaskan mengapa
memimpin inovasi itu mensyaratkan lebih dari sekedar kepemimpinan
konvensional yang penuh perintah dan kendali. Ini adalah cara
berpikir yang berbeda mengenai peran kepemimpinan. Andrew
Stanton, pemenang Academy Award untuk sutradara film ―Finding
Nemo‖ belajar dari mentornya, John Lasseter sebagai berikut:
What I realized. . .is, ‗Fine, I‘m not an auteur. I need to write
with other people, I need people to work against. It‘s not
about self-exploration – it‘s not about me – it‘s about making
the best movie possible.‘ And as soon as I admitted that, it
was amazing how the crew morale pivoted and suddenly
everyone had my back. If you own the fact that you don‘t
know what you‘re doing, then you‘re still taking charge,
you‘re still being a director…. I learned that from John
[Lasseter] on ‗Toy Story‘ – every time he got confessional and
said, ‗Guys, I think I‘m just spinning my wheels,‘ we‘d rise up
and solve the problem for him (Hill, L.A., et.al., 2014).

John Lasseter telah memberikan contoh bagaimana mengelola
kreativitas dalam pembuatan film ―Toy Story‖. Ia tidak segan-segan
membagikan kebingungan atau kehabisan idenya dengan tim, sehingga
yang terjadi kemudian adalah kerja sama yang baik dalam
mengeksplorasi dan mengelaborasikan ide-ide kreatif bersama.
Banyak pemimpin dalam organisasi perlu memikirkan ulang
apa yang mereka lakukan jika mereka menginginkan inovasi yang lebih
inovatif. Diperlukan seorang pemimpin yang kuat untuk melepas dan
memadukan inovasi. Kekuatan ini ada di dalam mengelola paradoks
ketimbang mengendalikan nasib.

Pengelolaan Kreativitas oleh Pembuat Film
Peneliti melihat selama Pasca Reformasi, masih ada pemainpemain lama yang bertahan terus untuk membuat film dan mendapat
apresiasi cukup baik dari penonton –sekalipun banyak pemain baru
268

Paradoks dan Manajemen Kreativitas

muncul. Pembuat film yang merupakan pemain lama dan mereka yang
baru muncul di era tahun 2000-an, mengelola kreativitasnya, serta
paradoks yang muncul di dalamnya, dalam memproduksi film dengan
berbagai cara. Beberapa cara yang digunakan tersebut penulis catat
sebagai berikut:
a. Membuat film yang diadaptasi dari novel yang sudah laris
duluan (punya fan-base).
Cara ini sebenarnya meniru konsep di negara lain, seperti
misalnya film ―Harry Potter‖, film ―Twilight‖ yang memiliki
tiga sekuel, film ―Maze Runner‖, dan yang terakhir cukup laris
juga adalah film ―Mockingjay‖. Di Indonesia, mulai sekitar
tahun 2008 film ―Laskar Pelangi‖ dan ―Ayat-ayat Cinta‖ laris
dijual di bioskop. Keduanya diadaptasi dari novel yang berjudul
sama. Film lain yang menyusul sesudah itu pada tahun 20102015 adalah film ―5 CM‖, film ―Tenggelamnya Kapal Van Der
Wick‖, film ―Habibie Ainun‖, ―99 Cahaya di Langit Eropa‖, dan
―Supernova‖. Seluruh film tersebut cukup laku di pasar layar
lebar.
b. Membuat sekuel atas film yang sudah laris duluan.
Cara ini sudah dipraktekkan sebelumnya dalam industri
sinetron di televisi swasta Indonesia dan hasilnya lumayan
berhasil. Film-film yang terbukti laris dengan cara ini, mulai
dari film ―Catatan Si Boy‖ yang dibuat sekuelnya sampai lima
kali di tahun 1980-1990. Kemudian film ―Get Married‖
produksi ―Starvision‖ yang juga dibuat sekuelnya sampai yang
kelima. Film sekuel lain adalah film ―Sang Pemimpi‖ yang
dibuat setelah film ―Laskar Pelangi‖, dan sama-sama mendapat
apresiasi yang cukup baik dari penonton. Film yang dirilis
belakangan namun laris di pasar internasional adalah film laga
berjudul ―The Raid‖ dan sekuelnya ―Berandal‖. Film ini tercatat
memenangkan berbagai penghargaan di luar negeri –di
antaranya Toronto International Film dan Dublin Film

269

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Festival-- dan masuk box-office di Amerika Serikat dan
mendapat total penjualan tiket lebih dari satu juta dolar.
c. Membuat film dengan ide cerita (tema) yang sedang laris.
Contoh tema yang sedang laris saat ini, misalnya tema tentang
percintaan remaja, agama dan masalah-masalah dalam studi
atau karir. Satu genre baru yang muncul Sesudah Reformasi
adalah drama romantis dari kalangan remaja. Bisa dipastikan
bahwa para penonton di Indonesia sebagian besar terdiri dari
para remaja di sekolah menengah dan mahasiswa. Mereka ini
sebelumnya tidak tergolong penonton film Indonesia di era
sebelum reformasi11, akan tetapi Sesudah Reformasi, kaum
remaja mendapati bahwa tontonan di televisi kurang variatif
dan terkesan monoton (hanya berisi sinetron untuk ibu-ibu
dan pembantu rumah tangga, atau tayangan musik dan video
klip saja) akhirnya kaum remaja pindah mencari tontonan di
tempat lain yaitu di bioskop. Film seperti ―Ada Apa Dengan
Cinta‖ (AADC) menjadi film pertama yang laris dan ditunggutunggu kelanjutannya oleh para remaja. Temanya sekarang
sudah lebih variatif, tidak lagi sekedar percintaan dan konflik
antarremaja saja, namun melebar ke arah keyakinan (agama)
dan studi di luar negeri. Saat ini tema-tema tersebut terbukti
paling disukai dan laris di pasar.
d. Film yang tidak terlalu rumit gaya ceritanya (ringan).
Para penonton film ―Guru Besar Tjokroaminoto‖ mengeluhkan
rumitnya penceritaan di sepanjang film dan lamanya durasi (2
jam 20 menit). Bagi orang dewasa dan orangtua, film karya
Garin Nugroho yang diproduseri Christine Hakim tersebut
sangat menarik dan bagus dari segi artistik. Setting jaman dulu
Penonton di era sebelum reformasi mayoritas terdiri dari orang tua, ibu-ibu dan
bapak-bapak, serta sebagian kecil dari anak-anak dan remaja. Penulis lahir di era Orde
Baru dengan terbatasnya jumlah bioskop di dalam negeri. Di sekitar tahun 19701980an misalnya, di Bandung hanya ada tiga bioskop yaitu Bandung Theatre, Vanda
Theatre, dan Majestic. Di tahun 1990an muncul Palaguna Theatre. Penonton lebih
banyak dari kalangan orang tua atau anak muda yang sudah kuliah dan bekerja.

11

270

Paradoks dan Manajemen Kreativitas

yang sesuai, akting para pemain jempolan, dan bahasa seni
Garin yang sangat kentara dalam dialog-dialognya membuat
film tersebut sarat makna dan pesan-pesan. Seperti menonton
sejarah bangsa tanpa harus baca buku sejarah. Namun ternyata,
untuk para remaja (yang ternyata jumlahnya menempati
urutan cukup besar dari total penonton) film tersebut masih
terlalu rumit dan monoton. Mereka sulit untuk cepat mengerti
dan merasakan keindahan dari film tersebut.
e. Film dengan tema yang tidak biasa namun kosmopolitan.
Masyarakat kita tampaknya masih terpesona dengan gaya
kosmopolitan ala film-film luar (Hollywood). Oleh karenanya,
film-film dengan tema ―gay‖ atau ―gigolo‖ yang dibuat oleh Nia
Dinata tampaknya cukup laris diminati. Fim-film yang
termasuk ke dalam tema yang tidak biasa tersebut contohnya
film ―Arisan‖, film ―Quickie Express‖ dan film ―Mereka Bilang
Saya Monyet‖ karya Djenar Maesa Ayu.
Beberapa contoh di atas mengungkapkan fenomena yang
diderita oleh kebanyakan film Indonesia, artistik dan inovatif namun
tidak laku di pasar dalam negeri. Film-film Garin sudah terbukti
banyak mendapat penghargaan dari berbagai festival film di luar
negeri, namun sampai saat ini film-filmnya tidak menghasilkan
penjualan yang bagus dan memberikan manfaat ekonomi bagi
pembuatnya.
Riwayat perjalanan industri film Indonesia selama lebih dari
seratus tahun telah memasuki babak baru yang ditandai oleh
munculnya generasi baru pembuat film yang berasal dari orang-orang
muda dengan latar belakang beragam. Kesamaan mereka ada dalam hal
kreatifitas dan keberanian untuk bereksplorasi, menghasilkan karyakarya berprestasi, yang berbeda dari mainstream sebelumnya. Generasi
yang baru ini tidak lantas menghilangkan pemain-pemain lama.
Beberapa pemain lama seperti rumah produksiStarvision dengan Chand
Parwez sebagai produser, atau Soraya Intercine Film dengan Sunil
Soraya (anak dari Ram Soraya) sebagai produser. Chand Parwez dan
271

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Ram Soraya, keduanya merupakan pemain lama. Ram Soraya
sebelumnya telah memproduseri beberapa film ―Warkop‖ bersama
Ram Punjabi. Film-film produksi mereka berada di puncak tangga
layar lebar di era Pasca Reformasi, misalnya ―Ayat-ayat Cinta‖, ―Get
Married‖, ―Tenggelamnya Kapal Van Der Wick‖, ―Single‖ dan lain-lain.
Film-film ini termasuk film-film yang laris dan dikemas secara inovatif.
Apresiasi penonton lokal saat ini sudah makin baik, terbukti
dari hasil pendapatan beberapa film yang luar biasa seperti apresiasi
untuk film ―Habibie dan Ainun‖, ―The Raid‖ dan ―Berandal‖, ―Laskar
Pelangi‖ dan ―Sang Pemimpi‖, ―Ayat-ayat Cinta‖, dan yang terakhir
―Surga Yang Tak Dirindukan‖. Paradoks kreativitas yang muncul dalam
industri film menjadi sebuah tantangan untuk munculnya ide-ide baru
yang lebih kreatif dan inovatif dari sebelumnya. Bagaimana
memadukan pengetahuan tentang seni-budaya dengan manajamen dan
bisnis menjadi sebuah kreatifitas baru di masa depan yang layak untuk
diusahakan dan diperjuangkan.
Satu contoh menarik untuk didiskusikan adalah film-film karya
Mira Lesmana. Penulis berpendapat bahwa Mira Lesmana adalah film
maker yang muncul di era Reformasi, yang berbeda dan turut
mengubah industri perfilman nasional melalui karya-karyanya. Mira
termasuk seorang pembuat film yang berhasil dari segi artistik dan
market, penulis menganggapnya telah berhasil mengelola inovasi
dengan baik dalam sebuah film. Ambil contoh beberapa filmnya seperti
―Laskar Pelangi‖ dan ―Ada Apa Dengan Cinta (AADC)‖ pertama dan
kedua, Mira telah berkolaborasi dengan Riri Riza dan kawankawannya dengan baik. Selain membawa perubahan dan inovasi dalam
bentuk ide cerita, pemilihan pemain, teknik penyutradaraan dan aspek
produksi film yang lain; Mira juga telah membuat inovasi dalam
strategi pemasaran dan cara berpromosi. Saat ini bisa kita lihat di
televisi, iklan Aqua yang menghadirkan sosok ―Cinta‖ sebagai pemeran
utama film ―Ada Apa Dengan Cinta‖ telah dimunculkan kembali untuk
mengembalikan ingatan penonton terhadap film ―AADC‖ empatbelas
tahun lalu! Mira dan Riri juga cukup aktif dan gencar bercerita tentang
pembuatan film ―AADC 2‖ di beberapa media sosial seperti Twitter dan
272

Paradoks dan Manajemen Kreativitas

Instagram. Cara-cara berpromosi seperti ini terbukti efektif untuk
menarik minat penonton menyaksikan film-film mereka. Beberapa
sayembara juga dilakukan untuk penonton mulai merencanakan tidak
lupa menyaksikan ―AADC 2‖ di bulan April 2016. Sungguh sebuah
langkah dan teknik berpromosi yang baik. Terbukti film ―AADC 2‖
mampu memperoleh penonton sebanyak 3,6 juta orang selama lima
minggu penayangan!

Pemetaan Kreativitas
Pengelolaan kreativitas (dan paradoks) yang terjadi di
dalamnya, oleh para pembuat film, serta hasil temuan-temuan
sebelumnya, mendorong penulis untuk memetakan lebih lanjut proses
pengelolaan kreativitas tersebut ke dalam kerangka literatur tentang
hal tersebut yang telah penulis ketahui. Duapuluh (20) film hasil karya
beberapa movie-maker dipilih sebagai representasi. Beberapa
pertanyaan yang digunakan sebagai bahan pertimbangan adalah
pertanyaan-pertanyaan yang ditawarkan oleh Smith, W.K, dan Lewis,
M.W. (2010) sebagai berikut:
1. Apakah proses pengelolaan kreativitas telah meneguhkan
kebutuhan pengakuan dan identitas tiap-tiap orang tetapi juga
mengarahkannya pada kebutuhan kolektif?
2. Mendorong tim untuk mendukung satu sama lain, sementara
pada saat yang sama menantang satu dengan yang lain melalui
debat yang berkualitas?
3. Memajukan eksperimen, pembelajaran berkelanjutan, dan
kinerja yang tinggi?
4. Menentukan
bagaimana
struktur
–aturan,
hierarki,
perencanaan, dan sejenisnya—menyediakan batasan yang perlu
tanpa mematikan improvisasi?
5. Memadukan kesabaran dan rasa mendesak?
6. Menyeimbangkan inisiatif dari bawah dengan intervensi dari
atas?
273

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Di samping pertanyaan-pertanyaan tersebut, peneliti juga
menggunakan beberapa definisi kreativitas seperti yang dijelaskan
berikut ini. Kreatif yang didefinisikan sebagai ide-ide yang bersifat
baru atau memiliki keutamaan (novelty), orisinal, dan bermanfaat
(memberi pesan-pesan yang baik, bermakna), digunakan untuk menganalisis beberapa film Pasca Reformasi yang dibuat oleh beberapa
movie-maker di bawah ini. Definisi baru atau novel, dilekatkan pada
film dengan ide cerita atau cara menuangkan cerita yang berbeda,
berasal atau diadopsi dari cerita novel tapi harus mengandung ide-ide
kebaruan. Definisi orisinal, diartikan sebagai ide-ide baru yang belum
pernah ada sebelumnya, murni kreativitas pembuatnya. Ini bisa
dilekatkan pada ide cerita, latar (setting), dialog-dialog, ilustrasi musik,
dan sebagainya.Penulis bertukar pendapat dengan beberapa pakar serta
pengamat film dan budaya di Bandung mengenai analisis dan pemetaan
ini.
Hasil analisis dan pemetaan duapuluh film Pasca Reformasi,
berdasarkan diskusi dengan tiga pakar, tampak pada Tabel 7.1.
Tabel 7.1. Analisis Kreativitas Film-film Pasca Reformasi
No

1
2
3

4
5

Judul Film

Produser/
Sutradara

Puisi Tak
Terkuburkan
Petualangan
Sherina
Denias:
Senandung di
Atas Awan
Jelangkung

Garin Nugroho

Virgin (Ketika
Keperawanan
Dipertanyakan)

Hanny R,
Saputra,
Chand Parwez
Servia, dkk
Sheila Timothy
Chand Parwez
S.
Chand Parwez
S.
Raam Punjabi,

6
7

Tabula Rasa
Get Married

8

Si Jago Merah

9

Kuntilanak 2

274

Mira Lesmana
Nia
Zulkarnaen
dkk
Jose Purnomo

Jumlah
Penonton
---

Baru
Novel
ty


Orisinal

Bernilai
(Value)





1.400.0
00













1.300.0
00



--

--

1.100.0
00



--

--

27.829
1.389.4
54
44.684





--


--

--



--

1.200.0

--

--

--

200.000

Paradoks dan Manajemen Kreativitas
No

Judul Film

10 Bulan Terbelah di
Langit Amerika
11 Sang Pemimpi (LP
2)
12 Penghuni Lain
13 Sokola Rimba
14 Lima Elang

15 Siti
16 Miracles: Jatuh
dari Surga
17 The Raid
18 Habibie dan Ainun

19 5CM

20 Aach... Aku Jatuh
Cinta

Produser/
Sutradara
Rizal
Mantovani
Rizal
Mantovani
Mira Lesmana
Roman Malik
Mira Lesmana
/ Riri Riza
Santy
Harmayn,
Salman Aristo/
Rudy
Soejarwo
Ifa Isfansyah
Ichwan
Persada
Ario Sagantoro
/ Gareth Evans
Damoo
Punjabi dan
Manoj Punjabi
/ Faozan Rizal
Sunil dan Ram
Soraya, Rizal
M.
Raam Punjabi,
Garin Nugroho

Jumlah
Penonton
00

Baru
Novel
ty

Orisinal

Bernilai
(Value)

838.383

--



--

1.742.2
42
16.045
39.443



--



-√

-√

-√

121.764







9.030
8.207








--

759.895













2.392.2
10

--

--

--

20.757





--

4.488.8
89

Relasi Kreativitas dengan Penetrasi Pasar
Keduapuluh fim di Tabel 7.1. dilihat kesesuiannya dengan
kriteria ―kreatif‖ menurut para ahli serta menjawab atau tidak
menjawab pertanyaan 1-6 tentang pengelolaan kreativitas. Film-film
tersebut telah diobservasi langsung dengan cara ditonton, bertanya
pada yang pernah menonton, atau dibaca sinopsisnya,untuk kemudian
didiskusikan.
Hasil dari analisis dan pemetaan, dilanjutkan kepada pencarian
relasi film tersebut dengan kriteria tingkat kreativitasnya (level of
creativity) dan tingkat kemampuan penetrasi pasarnya (level of
275

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

marketability). Peneliti mencari data tambahan berupa jumlah
perolehan pendapatan atas film yang berasal dari tiket yang terjual.
Analisis dan pemetaan ini, didefinisikan sebagai relasi tingkat
kreativitas dan tingkat kemampuan penetrasi pasar dari sebuah film.
Berikut ini adalah hasil analisis dan pemetaan keduapuluh film
representatif Pasca Reformasi, dalam relasinya dengan tingkat
kreativitas dan kemampuan penetrasi pasar, seperti tampak pada
Gambar 7.2.

Gambar 7.2. Relasi Kreativitas dengan Penetrasi Pasar

Penjelasan atas masing-masing kuadran (K.1 sampai K.4)
diuraikan sebagai berikut:
Kuadran 1 (K.1):
Film-film Indonesia yang termasuk ke dalam kuadran ini
adalah jenis film yang dinilai cukup tinggi kreativitasnya,
namun tidak atau belum memperoleh apresiasi yang baik dari
penonton. Film-film tersebut adalah: ―Puisi Tak Terkuburkan‖,
―Denias: Senandung di Atas Awan‖, ―Tabula Rasa‖, ―Sokola
Rimba‖, ―Lima Elang‖, ―Miracles: Jatuh dari Surga‖, :Aach.. Aku
Jatuh Cinta‖.
Pada saat didiskusikan, film-film tersebut dinilai tidak
memenuhi selera penonton karena, (i) sulit dicerna (terutama
276

Paradoks dan Manajemen Kreativitas

film garapan Garin Nugroho, sekalipun sudah berkolaborasi
dengan Raam Punjabi di film nomor 20) penonton kita lebih
suka film yang ―ringan‖, (ii) tidak menggunakan aktor/aktris
terkenal, dan (iii) terlalu biasa untuk penonton remaja yang
butuh hiburan happy ending gaya Hollywood.
Kuadran 2 (K.2):
Film-film Indonesia yang termasuk ke dalam kuadran ini
adalah jenis film yang dinilai cukup baik, bahkan ada yang
sangat baik, kemampuan penetrasi pasarnya. Namun, tidak
semua dari film-film itu memiliki tingkat kreativitas yang
tinggi. Film-film tersebut adalah: ―Petualangan Sherina‖,
―Jelangkung‖, ―Get Married‖, ―Bulan Terbelah di Amerika‖,
―Sang Pemimpi‖, ―The Raid‖, dan ―Habibie Ainun‖.
Penulis menonton semua film-film tersebut, kecuali film
―Jelangkung‖. Ketika mendiskusikannya dengan sesama
penonton, penulis sepakat bahwa film-film tersebut rata-rata
memenuhi kriteria kreativitas yaitu, (i) tampak adanya ide-ide
baru (keutamaan), (ii) ada orisinalitas, dan (iii) memiliki nilainilai yang bermanfaat (menyampaikan pesan yang sarat makna)
kepada penonton.
Kuadran 3 (K.3):
Film-film Indonesia yang termasuk ke dalam kuadran ini
adalah jenis film yang dinilai kurang kreatif dan tidak (belum)
memiliki kemampuan untuk penetrasi pasar. Film-film yang
masuk ke dalam kategori ini adalah : ―Si Jago Merah‖, dan
―Penghuni Lain‖. Penulis melihat bahwa kolaborasi Chand
Parwez dengan Iqbal Rais sebagai sutradara kurang
memberikan hasil yang optimal. Tidak seperti film-film
produksi ―Starvision‖ yang lain –yang mulai berkualitas dan
kreatif—di film ini ide cerita tentang anak-anak kos yang
kesulitan bayar uang kuliah dan uang kos tidak tersampaikan
dengan baik. Padahal film itu sudah menggunakan aktor-aktor
terkenal seperti Ringgo Agus di periode tersebut. Sayang, ide
277

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

cerita dan penyyutradaraan kurang digarap dengan baik. Film
kedua yaitu ―Penghuni Lain‖ yang digarap oleh Roman Malik,
merupakan film horor –yang mengikuti trend film horor lain
pada saat ini—yang juga kurang menarik. Alasan penonton
yang pada saat itu turut menyaksikan pemutarannya di bioskop
adalah karena aktor/aktrisnya kurang terkenal (Febi Febiola
mungkin sudah tidak seterkenal dulu) dan ceritanya memang
kurang menarik.
Kuadran 4 (K.4):
Film-film Indonesia yang termasuk ke dalam kuadran ini
adalah jenis film yang dinilai sedang-sedang saja kreativitasnya,
namun memiliki kemampuan penetrasi pasar yang cukup baik.
Film-film tersebut adalah: ―Virgin: Ketika Keperawanan
Dipertanyakan‖, ―Kuntilanank 2‖, dan ―5 CM‖. Film ―Virgin:
Ketika...‖ dinilai memiliki tingkat kreativitas yang cukup,
karena sekalipun film-film yang serupa dengan cerita ini sudah
ada sebelumnya, namun film ―Virgin...‖ berhasil menyajikan
sesuatu yang lain kepada penonton khususnya yang berusia
remaja. Penceritaan dalam film ini disampaikan dengan cukup
baik. Selain itu, aktor/aktris yang memainkan peran-peran di
dalamnya, adalah para model yang sudah terkenal dan mereka
berhasil membawakan peran masing-masing dengan baik
sehingga memperoleh nominasi di Festival Film Bandung dan
Festival Film Indonesia.
Menurut peneliti,movie-maker yang sudah bisa mengelola
paradoks kreativitasnya dengan baik yang dibuktikan dengan
tercapainya tingkat kreativitas yang tinggi sekaligus perolehan apresiasi
dari penonton yang juga tinggi (dianggap mampu melakukan penetrasi
pasar). Ada tiga movie-maker yang berhasil mengelola paradoks
kreativitas tanpa mengorbankan kreativitas, dan tetap melakukan
strategi untuk masuk ke dalam pasar, seperti gambar di atas. Moviemaker terpilih tersebut adalah Chand Parwez, Mira Lesmana, dan Joko
Anwar, seperti tampak pada Tabel 7.2.
278

Tabel 7.2. Manajemen Bisnis Film Berorientasi Kreativitas

Paradoks dan Manajemen Kreativitas

279

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Hasil rangkuman pada Tabel 7.2 tersebut dituangkan ke dalam
kriteria (faktor-faktor) yang harus ada dalam sebuah manajemen bisnis
perfilman di Indonesia seperti tampak pada Gambar 7.3 dan 7.4.
E
K
S

PRODUKSI:
Syuting di
lokasi, proses
PRE-PRODUKSI: sinematografi
Konfirmasi Ide,
Riset, Seleksi
Kru

POSTPRODUKSI:
editing di
laboratorium

PEMASARAN

H

dan
DISTRIBUSI

B

I

DEVELOPMENT:

Membangun
Ide

Gambar 7.3. Proses Produksi Film Indonesia (Sumber : Manurung, E.M., 2016)
IDE CERITA
BARU
STRATEGI
PEMASARAN
INOVATIF

RISET
YANG
MEMADAI

FILM
INDONESIA
UNGGUL DAN
KOMPETITIF
SINEMATOGRAFI
MEMUASKAN

SKRIP
MENARIK
PEMILIHAN
AKTOR
YANG
SESUAI

Sumber : Manurung, E.M., 2016

Gambar 7.4. Model Pengelolaan Kreativitas yang Baik pada Bisnis Film Indonesia
(K-2)

280

I
S
I

Paradoks dan Manajemen Kreativitas

Sejak awal proses pembangunan (development) ide cerita,
penulisan skrip, pemilihan sutradara, sampai proses berlangsungnya
syuting (pemililhan lokasi, aktor/aktris, kru dll.) di tahap produksi, sang
produser perlu untuk terus mendorong timnya dan menghidupkan
suasana yang memungkinkan timbulnya ide-ide kratif yang selalu baru
dan mutakhir. Jangan terjebak trend (kondisi pasar) masa kini sehingga
kreativitas terlupakan. Kreativitas pribadi harus didorong untuk terus
muncul, dan didiskusikan dalam kelompok.
Penulisan skrip yang kurang baik, atau pemilihan tokoh (aktor,
aktris) yang kurang menjiwai perannya, tidak bisa melakukan penokohan
dengan baik misalnya, akan membuat gagalnya produksi film unggul
Indonesia. Itu sebabnya, saat ini banyak produser yang menuangkan ide
cerita berdasarkan novel yang sudah laris, ada fan-base-nya. Aspek
sinematografi seperti tempat atau lokasi pembuatan film, pengambilan
gambar, pengaturan cahaya, dan suara, harus dibuat maksimal. Film yang
bagus/unggul adalah film yang tidak akan dilupakan begitu saja oleh
penontonnya. Film itu harus dikemas apik dan menarik supaya yang
menonton puas. Apalagi masyarakat Indonesia sudah terbiasa dan dimanja
dengan film-film Hollywood yang relatif sangat maju secara teknologi,
karenanya sinematografi yang memuaskan adalah syarat yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Proses editing film di laboratorium menjadi syarat
yang cukup menentukan.
Di tahap pasca produksi, editing film di laboratorium dan proses
distribusi serta pemasarannya wajib dicermati dan dilakukan terobosanterobosan terbaru untuk mengundang jumlah penonton lebih banyak lagi
di penayangan film tersebut kelak di layar lebar.
Strategi pemasaran film masa kini haruslah benar-benar dicermati
dan direncanakan dengan baik, jauh-jauh hari, persiapannya harus benarbenar matang. Film ―Ada Apa dengan Cinta 2‖ merupakan contoh
pemasaran yang baik. Mira Lesmana sang produser dan Riri Riza sang
sutradara, kerap menceritakan proses pembuatan film tersebut di media
sosial mereka (seperti twitter dan instagram), sehingga calon-calon
penonton yang membaca menjadi tertarik untuk menonton film tersebut.
281

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Ditambah lagi dengan kuis dan hadiah menarik bagi para
followers yang bisa menebak jalan cerita atau apapun yang ditanyakan
tentang film tersebut. Tampaknya Mira dan Riri tahu betul siapa sasaran
calon penonton film ―AADC 2‖ dan bagaimana terus menarik mereka
untuk menanti-nantikan dan menyambut peluncuran film ―AADC 2‖ di
bioskop dengan antusias. Gaya berpromosi dengan bahasa yang ringan ala
remaja, serta soal-soal kuis yang mengedepankan nuansa cinta dan
romantisme tokoh-tokoh utama di ―AADC 2‖, tampaknya sangat pas
dengan penonton yang disasar. Belum lagi, ketika para pemain ―AADC 2‖
road show ke beberapa kota dan mendatangi langsung para penggemarnya
di bioskop, membuat penonton lain atau penonton yang sama ingin terus
menonton dan menonton lagi. Strategi yang diterapkan Mira Lesmana dan
kawan-kawan ini merupakan contoh strategi pemasaran film yang sangat
pas untuk masa kini.
Contoh strategi pemasaran lain yang juga baik adalah strategi
yang diterapkan oleh Falcon Pictures untuk film ―My Stupid Boss‖ yang
baru-baru ini tayang di layar lebar. Hampir setiap hari masyarakat
Indonesia melihat promosinya di televisi, media sosial,cinema XXI, baliho
dan sebagainya. Promosi di televisi juga menggunakan berbagai cara,
bukan hanya dalam bentuk kuis seperti yang biasa dilakukan, tapi juga
masuk ke beberapa infotainment yang bukan sekedar acara gosip, seperti
―Hitam Putih‖ dan tayangan-tayangan berita. Di beberapa tayangan berita
publikasi penayangan film ―My Stupid Boss‖ di bioskop juga didukung
oleh Bapak Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), Gubernur DKI Jakarta.
Promosi film ―My Stupid Boss‖ terkesan ―gila-gilaan‖, ini tidak
mengherankan karena di saat yang sama film tersebut bersaing dengan
―AADC 2‖ dan film Hollywood ―X-Men: Apocalypse‖.
Ibu Catherine Keng, Corporate Secretary ―Grup XXI‖ mendukung
cara berpromosi seperti itu dan mengatakan bahwa sudah saatnya film
Indonesia dikemas dengan baik dari sisi produksi maupun pemasarannya.
Meskipun harus mengeluarkan biaya pemasaran yang cukup tinggi,
namun Falcon Pictures berhasil mendapatkan keuntungan yang cukup
banyak dari perolehan jumlah tiket terjual sebanyak 2.687.000 penonton.
282

Paradoks dan Manajemen Kreativitas

Selain melakukan interpretasi terhadap kuadran dua (K.2) dan
menuangkannya ke dalam sebuah model manajemen (pengelolaan)
kreativitas yang baik dalam industri/bisnis film Indonesia yang tampak
pada Gambar 7.4, peneliti juga menelusuri alasan-alasan di balik
munculnya pemetaan film-film yang menurut peneliti kurang baik
pengelolaan paradoks kreativitasnya, yaitu yang muncul pada kuadran
satu, tiga, dan empat. Hasil analisis dituangkan pada Gambar 7.5., 7.6., dan
7.7.
IDE CERITA
BARU

SINEMATOG
RAFI
MEMUASKAN

FILM
INDONESIA
KREATIF
NAMUN
KURANG
KOMPETITIF

RISET YANG
MEMADAI

SKRIP YANG
BAIK

Gambar 7.5. Model Pengelolaan Kreatifitas K-1 (Sumber : Manurung, E.M., 2016)

283

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

FILM INDONESIA
YANG TIDAK
UNGGUL DAN
TIDAK KOMPETITIF

IDE CERITA
MENIRU YANG
SUDAH ADA

Sumber : Manurung, E.M., 2016

Gambar 7.6. Model Pengelolaan Kreatifitas K-3

PEMILIHAN
AKTOR YANG
SESUAI

STRATEGI
PEMASARAN
INOVATIF

FILM
INDONESIA
YANG KURANG
KREATIF
NAMUN LAKU
(KOMPETITIF)

SINEMATOGRAFI
MEMUASKAN

Sumber : Manurung, E.M., 2016

Gambar 7.7. Model Pengelolaan Kreatifitas K-4 ()

284

Paradoks dan Manajemen Kreativitas

Film yang merupakan produk budaya sekaligus industri kreatif,
harus dikelola sesuai dengan masanya. Pengelolaan film di masa kini, era
Pasca Reformasi, tidak bisa disamakan dengan masa lalu. Produk budaya
seperti film, harus mampu dilihat dari perspektif manajemen kontemporer
juga.Kreatifitas sebagai modal utama, harus senantiasa dipertahankan dan
didorong terus-menerus ke arah timbulnya inovasi, terobosan-terobosan
yang baru. Dari segi proses produksinya maupun distribusi dan
pemasarannya. Inovasi tidak berhenti di proses produksi dan penceritaan
sebuah film saja, namun juga masuk/harus sampai ke lini berikutnya yaitu
lini distribusi dan promosi. Sejumlah anggaran harus dipikirkan oleh pihak
produser dan timnya.
Produk budaya tetap mengedepankan kreatifitas dan inovasinya,
tanpa mengabaikan aspek ekonominya. Aspek ekonomi dikelola dengan
cara menata-ulang fungsi-fungsi yang belum lengkap saat ini, yaitu
distribusi dan pemasaran. Strategi pemasaran juga menjadi hal yang tidak
boleh luput dari rencana kegiatan dan anggaran produksi film di
Indonesia. Inovasi-inovasi yang dilakukan oleh movie-maker memang
sudah mulai nampak, seperti yang telah dilakukan Mira Lesmana dan
kawan-kawan. Namun demikian, karena berlangsung secara beragam,
terpisah dan sendiri-sendiri, dirasakan kebutuhan yang cukup penting
juga tentang ekonomi pasar dan manajemen budaya bagi para moviemaker.
Membicarakan film kini, tak lagi sebatas produk budaya yang sarat
makna dan kreatifitas, namun juga harus bisa memberikan keuntungan
secara material/ekonomi. Dengan demikian, industri film Indonesia di
masa depan dapat memberikan harapan yang semakin menjanjikan bagi
para pembuat dan penikmatnya. Para film maker harus banyak belajar
tentang target pasar, siapa penonton yang dia sasar untuk menyaksikan
filmnya? Harus bagaimana ia dan timnya meramu film mereka supaya
berhasil dan memuaskan bagi penonton? Perlu effort dan kerelaan untuk
belajar dalam tim secara terus-menerus bagi insan perfilman untuk
meresapi pengelolaan film sebagai produk budaya sekaligus benda
ekonomi, supaya makin dihasilkan karya-karya yang unggul dan
berkualitas sekaligus laku di pasar nasional.
285

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Manajemen Bisnis Film Berorientasi Kreativitas
Sebagai sebuah industri yang unik, penuh dinamika dan sangat
lentur, perlakuan atas film akan berbeda dari industri manufaktur yang
lain. Film yang merupakan industri kreatif akan memerlukan proses bisnis
dan manajemen bisnis yang berbeda pula. Tidak seperti industri
manufaktur klasik lain yang menekankan biaya dan efisiensi, proses bisnis
film yang berorientasi pada kreativitas dan berinovasi dalam pasar akan
memerlukan pendekatan atau model proses bisnis tersendiri.
Manajemen bisnis proses (BPM) merupakan salah satu
pendekatan untuk menganalisis dan meningkatkan keberhasilan proses
bisnis. BPM bukan hanya digunakan untuk meningkatkan kinerja dan
mengurangi biaya namun juga memfasilitasi hambatan timbulnya resiko
dan pengelolaan pengetahuan. Banyak perusahaan tanpa disadari telah
mengurangi atau bahkan membunuh kreativitas dan inovasi demi (atas
nama) pengurangan biaya atau efisiensi. Seidel dan Rosemann (2008)
melakukan sejumlah studi kasus pada beberapa industri kreatif –seperti
film, visual effects production, dan sebagainya. Melalui kerangka awal
yang penulis peroleh (di Bab dua) tentang bisnis berorientasi kreativitas,
ditemukan bahwa faktor-faktor yang dibutuhkan untuk meminimalisir
resiko kreatif –yang belum dijelaskan Seidel dkk di Gambar 2.1.— belum
menggali lebih lanjut tentang pengelolaan paradoks kreativitas. Untuk
menyempurnakan kerangka Seidel dkk, peneliti telah mengembangkan
kerangka proses bisnis yang berorientasi pada kreativitas tersebut,
menyesuaikan dengan paradoks kreativitas yang senantiasa muncul, dan
menyempurnakannya seperti yang ditampilkan di Gambar 7.9. Kerangka
awal dari Seidel dkk ditunjukkan kembali di Gambar 7.8.

286

Paradoks dan Manajemen Kreativitas

Meningkatkan
Kinerja Tanpa
Mengorbankan
Kreativitas
Kebebasan
Kreativitas

Menjaga
Proses Kreatif,
Melakukan
Kontrol

Orientasi
Kreativitas
Pada Bisnis

Mengelola
Resiko
Menjadi
Kreatif

Mendukung
Alokasi
Sumber Daya
yang Fleksibel

Menjaga dan
Meningkatkan

Kreativitas

Gambar 7.8. Tahapan Orientasi Kreativitas BPM oleh Seidel, S., Roseman,
M.(2008).
Pemimpin
memberi
kebebasan dan
fleksibilitas
terhadap ide-ide
kreatif
Menetapkan pasar
yang dituju,
menyesuaikan
dengan perilaku
konsumen

Mengelola
Paradoks
Kreativitas Dalam
Bisnis

Pemimpin memberi
ruang berdiskusiargumentasibernegosiasi pada
anggota tim sambil
mengarahkan terus
pada tujuan

Alokasi Sumber
Daya yang
Fleksibel

Sumber: Manurung, E.M., 2016

Gambar 7.9. Model Pengelolaan Paradoks Kreativitas dalam Bisnis

Pada kerangka model pengelolaan kreativitas dalam bisnis di
Gambar 7.9, penulis mengusulkan faktor-faktor yang harus ada dalam diri
287

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

seorang pemimpin (dalam hal industri film adalah produser) untuk dapat
mengarahkan proses kreatif kepada tujuan yang diinginkan. Ide-ide kreatif
di awal sangat mungkin berubah, namun tujuan yang ingin dicapai yakni
benang merah penceritaan dan pesan yang ingin disampaikan oleh sebuah
film akan tetap sama. Oleh karenanya penulis berpendapat peran seorang
pemimpin dalam memelihara fleksibilitas terhadap ide-ide kreatif dan
memberikan ruang untuk berdiskusi (argumentasi) dan bernegosiasi
adalah sangat penting. Model pengelolaan paradoks kreativitas ini dibuat
untuk mencapai tujuan bisnis atau industri perfilman di Indonesia, yang
menjadi contoh kasus dalam penelitian disertasi ini, yaitu film Indonesia
yang unggul dan kompetitif (diapresiasi oleh penonton di Indonesia).

288