Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia D 902011106 BAB V

Bab V
Konsumsi Film Indonesia

Pada bagian ini peneliti akan menjelaskan hasil wawancara
dengan para penonton sebagai pengguna atau ―penikmat‖ film
Indonesia. Jika pada bagian sebelumnya telah diuraikan peran pembuat
film dalam industri perfilman di Indonesia, maka pada bagian ini akan
digali dan dijelaskan bagaimana masyarakat yang menonton hasil karya
para film maker tersebut mengapresiasinya. Untuk itu penulis telah
mekukan beberapa wawancara terpisah dengan beberapa narasumber
yang telah penulis kenal, atau yang baru dikenal saat menonton film
yang sama di bioskop. Penulis melontarkan beberapa pertanyaan
terstruktur yang telah penulis susun sebelumnya, namun dalam
menyikapi pertanyaan-pertanyaan tersebut, narasumber bisa saja
bertanya-balik dan melontarkan pertanyaan yang lain. Dengan
demikian, bentuk wawancara lebih cenderung bersifat semiterstruktur.
Wawancara dilakukan atas film-film Indonesia Pasca
Reformasi, sehubungan sulitnya mencari penonton yang berasal dari
masa atau rezim sebelumnya. Dengan demikian, analisis dan
interpretasi data pada penelitian ini memang difokuskan pada film
Indonesia kontemporer, yaitu era Pasca Reformasi. Wawancara telah

dilaksanakan terhadap duaratus lima puluh tiga (253) responden di
tujuh kota dan dua kabupaten yang mewakili kota-kota di Indonesia.
Rentang usia responden dimulai dari usia pelajar (SMA) dan mahasiswa
–antara 18-25 tahun-- untuk daerah Kota Bandung, Kabupaten
Jatinangor, Sumatera Utara (Kabupaten Sidikalang dan Kota Medan),
Kota Nias, dan Kota Salatiga. Sementara di kota-kota lain, narasumber
yang berhasil diwawancarai memiliki rentang usia antara 35-55 tahun,
yaitu dengan profesi karyawan atau ibu rumah tangga, yang berada di
kota Jakarta, Denpasar, dan Lombok.
199

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Wawancara bertujuan untuk menggali respon konsumen yaitu
penonton film layar lebar di Indonesia, dan melihat sejauh mana
apresiasi penonton terhadap film Indonesia. Apa saja komentarkomentar dan masukan mereka terhadap perfiman nasional saat ini,
dirangkum dan dijelaskan ke dalam beberapa tabel berikut ini.

Apa Kata Penonton?
Wawancara pertama dilakukan dengan teman-teman di

Jakarta. Pada awalnya, penulis hanya mewawancarai sahabat-sahabat
lama yang dulu satu kuliah di FE Unpar, yaitu Meita, Wifi, Toar,
Christine, dan Nelson. Kemudian dilanjutkan dengan teman-teman
dan saudara dari sahabat-sahabat penulis tersebut.
Wawancara kedua dan ketiga dilakukan dengan teman-teman
penulis yang berdomisili di Lombok dan Bali. Pada awal mula bertanya
pendapat mereka tentang film Indonesia, penulis berkomunikasi via
whatsapp. Berikutnya ketika penulis berkunjung ke Bali bulan
Desember 2015, penulis bisa bertemu langsung dan mengkonfirmasi
jawaban-jawaban mereka atas hasil wawancara. Sayang, pada
kunjungan tersebut penulis tidak sempat bertemu dengan temanteman di Lombok.
Wawancara keempat dilakukan penulis dengan keponakan
yang sedang kuliah di Jatinangor yaitu Natasha dan temantemannyavia Line. Hanya sedikit narasumber yang penulis dapatkan,
sebelas orang saja. Itupun dari mereka yang diwawancarai sangat
sedikit (hampir tidak ada) yang dapat meluangkan waktu nonton film
di bioskop, berhubung mereka semua sibuk kuliah. Setiap hari hanya
berkutat di asrama dan ruang kuliah saja. Mereka baru punya waktu
luang di akhir minggu atau hari libur yang biasanya dimanfaatkan
untuk pulang ke Bandung, atau kota lain, berkumpul dengan
keluarganya.

Wawancara kelima dilakukan oleh penulis terhadap responden
di Bandung, yaitu teman-teman mengajar di Unpar dan mahasiswa di
200

Konsumsi Film Indonesia

Fakultas Ekonomi Unpar. Selain itu, penulis juga mewawancarai
teman-teman yang bekerja di tempat lain seperti Tomas dan Saut, yang
dulu sama-sama kuliah di Fakultas Ekonomi Unpar. Cukup banyak
responden yang penulis dapatkan, ada sejumlah 55 orang.
Wawancara keenam dan ketujuh penulis lakukan terhadap
keponakan penulis yang berdomisili di Kabupaten Sidikalang,
Sumatera Utara. Berhubung penulis tidak bisa berkunjung ke sana,
wawancara dilakukan melalui whatsapp dan telepon. Cukup banyak
responden yang menjawab pertanyaan penulis, ada limapuluh orang.
Di Sidikalang rupanya belum ada bioskop, jika ingin menonton mereka
harus berangkat ke Kota Medan yang jaraknya sekitar tiga jam
perjalanan atau lebih.
Berikutnya penulis melakukan wawancara terhadap Timothy –
anak penulis yang pertama—dengan teman-temannya di jurusan

Hubungan Internasional UKSW, Salatiga. Di awal, penulis melakukan
wawancara via Line (media sosial), kemudian disambung dengan tatap
muka ketika penulis kebetulan berkunjung ke kos Timothy bulan
November 2015. Sayangnya, di Salatiga sekarang tidak ada lagi bioskop.
Timothy dan teman-teman harus berangkat ke Solo untuk menonton
film ―The Fifth Wave‖.
Wawancara kedelapan dilakukan terhadap responden di Nias,
yaitu beberapa mahasiswa Fakultas Ekonomi Unpar yang berasal dari
Nias. Wawancara dilakukan di kampus Fakultas Ekonomi Program
Studi DIII, Jalan Aceh nomor 53 Bandung. Dari sembilan orang yang
diwawancarai, hanya dua saja yang bisa menonton film ke bioskop
karena tempat tinggalnya dekat ke pusat kota. Sisanya yang tujuh
orang hanya bisa menyaksikan film Indonesia di televisi berhubung
daerah tempat tinggal mereka sangat jauh dengan pusat Kota Nias.
Biarpun begitu mereka semua yang menonton dari televisi saja, cukup
bangga dan menggemari film Indonesia.

201

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia


Wawancara dengan Penonton di Jakarta:
―tidak punya waktu untuk menonton...‖
Tabel 5.1. Wawancara dengan 23 Penonton di Jakarta (3-4 Oktober 2015)
No

Nama

Umur
/ Jns
Klmn

FI
Atau
FA

1

Meita


P-45

FA

2
3

Siska
Billy Y

PL-

FA
FA

Genre
yang
disukai
Action,
Thriller,

Drama
Drama
Action

4

Yoseph

L-

FA

Action

5
6
7

LLP-


FA
FA
FA

L-

9
10
11
12
13
14

Harsono
Cliff
Vidya M
Andrienan
to S
Andreas A
Christine

Siska Tjoa
Toar
Christine
Nelson

15
16

8

Mengapa tidak
suka Film
Indonesia

Frekuensi
menonton
setahun

Kurang inovatif


< 10 kali
< 10 kali
< 10 kali

Action
Thriller
Komedi

Alurnya flat/datar
Kurang Inovatif
Kurang inovatif,
ending ketebak,
jadul/kuno
Kurang inovatif
Kurang inovatif
cerita kurang jelas

FA

Thriller


Kurang inovatif

< 10 kali

LPPL-48
P-44
P-47

FA
FA
FA
FA
FA
FA

Kurang Inovatif
Kurang inovatif
Ending ketebak
Pilihan terbatas
Kurang inovatif
Ending ketebak

< 10 kali
< 10 kali
< 10 kali
< 10 kali
< 10 kali
< 10 kali

Wifi

P-44

FA

Action
Drama
Thriller
Thriller
Komedi
Drama
Drama
kolosal

Ending ketebak

< 10 kali

Sepupu
Wifi

P-40

FA

Action

Kurang inovatif

< 10 kali

Kurang inovatif,
ending cerita
ketebak, udah males
nonton FI

< 10 kali

Drama,
komedi,
FA
action,
thriller
Keterangan: FA: FilmAsing FI:Film Indonesia
17
23

Temanteman Wifi
(7)

P/L
(3540)

< 10 kali
< 10 kali
< 10 kali
< 10 kali

Meita, Toar, Christine, Nelson, dan Wifi adalah teman-teman
penulis satu fakultas di Unpar (angkatan 1987-1991, jurusan Akuntansi
dan Manajemen) yang sekarang berdomisili di Jakarta. Ketika kami
kuliah dulu, kami punya hobi yang sama: menonton film di bioskop.
Sekarang ini ketika penulis bertanya, hobi mereka masih belum
berubah, pulang bekerja ingin refreshing dengan cara makan bersama
atau nonton bersama di bioskop. Sebagian sudah berumah tangga dan
memiliki 1-2 anak, dua yang lain masih single. Pada tanggal 3 Oktober
202

Konsumsi Film Indonesia

2015, penulis berkesempatan bertemu dengan Meita dan makan sore di
sebuah restoran di Plaza Semanggi, di seberang kantor Meita. Hari itu
sebenarnya penulis membuat janji untuk bertemu dengan Wifi dan
Sisca juga, hanya saja, keduanya batal ke tempat/restoran yang
disepakati berhubung ada pekerjaan kantor yang harus diselesaikan.
Penulis pada saat itu berbincang-bincang tentang film
Indonesia. Meita tidak menampik bahwa film Indonesia masa kini
sudah banyak berbeda dengan masa lalu, namun dalam banyak hal,
teknik penggarapan dan lain-lain masih harus dikembangkan dan
diperbaharui lagi. Tambahan wawancara berikutnya (dari temanteman Meita di kantor dan di gereja) didapatkan penulis melalui
whatsapp keesokan harinya, tanggal 4 Oktober 2015.
Dari hasil bincang-bincang dengan Meita dan temantemannya, penulis menemukan bahwa teman-teman di Jakarta yang
sebaya dengan penulis lebih banyak yang menyukai makan bersama
ketimbang nonton bersama di bioskop. Alasannya, antara lain karena:
menonton tidak harus di bioskop, di rumah via DVD atau siaran
televisi swasta juga bisa. Di samping itu, jarak satu lokasi ke lokasi lain
di Jakarta cukup jauh, sehingga untuk membuat janji menonton
bersama di satu tempat akan menyulitkan orang lain yang lokasinya
cukup jauh. Perlu effort dan perjuangan yang cukup besar untuk
membuat janji bertemu di Jakarta. Makan bersama sudah pasti
menyenangkan, tapi menonton bersama belum tentu menyenangkan
jika film yang ditonton ternyata bukan film yang bagus.
Jika ada momen dan kesempatan untuk menonton bersama,
mereka biasanya cukup selektif, hanya mau menonton film-film bagus
saja. Film yang dikategorikan bagus biasanya film yang sudah ada
resensi box office sebelumnya di luar negeri, atau film yang mendapatkan penghargaan (award). Film asing sudah terbukti lebih bagus
menurut mereka ketimbang film Indonesia. Mereka sangat jarang
menonton film Indonesia, bahkan beberapa menyatakan tidak pernah
menonton film Indonesia.
Di Jakarta, bioskop tersedia cukup banyak tersebar di beberapa
wilayah. Ada 61 bioskop (ditambah 17 bioskop di Bekasi) ―Grup XXI‖
203

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

dan 10 bioskop dari ―Grup Blitz Megapleks‖ dan ―CGV Blitz‖. Harga
tiket masuk bervariasi bergantung pada lokasi dan hari menonton,
rata-rata untuk hari biasa (Senin-Kamis) harga tiketnya antara
Rp.25.000-40.000, hari Jumat Rp 35.000-50.000, dan hari
Sabtu/Minggu antara Rp 40.000-60.000. Untuk bioskop dengan jenis
premiere (lux) harga tiket berkisar antara Rp 60.000-100.000
tergantung harinya. Harga tiket masuk di bioskop pinggir Jakarta
(Depok, Bekasi) akan lebih murah dari bioskop yang berlokasi di pusat
kota Jakarta. Di samping itu, lokasi bioskop di dalam mall terkenal juga
akan lebih mahal daripada bioskop yang tidak di dalam mall. Dari
semua responden yang diwawancarai tidak ada kesulitan untuk
membeli tiket masuk.
Duapuluh tiga responden yang mewakili penonton di Jakarta
100% menyukai film asing. Film-film bergenre action, drama dan
thriller merupakan jenis film yang paling disukai. Genre action memiliki rating tertinggi, yaitu disukai sebanyak 30% penonton, genre
drama 26%, dan genre thriller juga 26%. Sisanya menyukai film
dengan genre komedi. Responden yang mewakili penonton di Jakarta
menyatakan bahwa film Indonesia kurang menarik karena pilihannya
terbatas, kurang inovatif, ending cerita sudah bisa ditebak, dan alurnya
datar. Menonton bioskop menjadi sebuah kegiatan yang harus dirancang jauh-jauh hari untuk mereka yang bekerja full-time di Jakarta.
Berikut adalah dokumentasi wawancara dengan Meita, Wifi,
dan teman-temannya di Jakarta:

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar 5.1. Meita dkk.

204

Gambar 5.2. Wifi dkk.

Konsumsi Film Indonesia

Wawancara dengan Penonton di Lombok:
―film Indonesia... apa itu?‖
Yaya dan Vivi adalah dua teman penulis yang saat ini
berdomisili di Lombok dan pinggir kota Lombok. Yaya dan Vivi
merupakan sahabat penulis saat sekolah di SD (SDK Paulus III
Bandung) yang kemudian tinggal dan berwirausaha di Kota Lombok –
kami berjumpa lagi ketika reuni SD. Berikut adalah hasil wawancara
dengan teman-teman di Lombok.
Tabel 5.2. Wawancara dengan 2 Penonton di Lombok: Karyawan, Pengusaha
(Tanggal 3 Oktober 2015)
No

Nama

Umur
/ Jns
Klmn

FI
Atau
FA

24

Yaya

L-47

FA

25

Vivi

P-46

FA

Genre
yang
disukai
Action,
Thriller
Drama

Mengapa tidak
suka Film
Indonesia
Kurang inovatif,
skenario jelek.
Kurang inovatif,
akting payah.

Frekuensi
menonton
setahun
< 10 kali
< 10 kali

Keterangan: FA: Film Asing FI:Film Indonesia

Baik Yaya maupun Vivi sebagai perwakilan responden di
Lombok, keduanya lebih menyukai film asing. Film-film bergenre
drama, action, dan thriller (suspense) merupakan jenis film yang paling
disukai. Mereka menyatakan bahwa film Indonesia kurang inovatif,
aktingnya payah, dan skenario jelek. Mereka menyatakan jarang
menonton film ke bioskop. Tidak ada dokumentasi dalam bentuk foto
yang bisa penulis dapatkan dan lampirkan pada laporan ini. Di samping
itu, saat penulis melakukan wawancara, belum ada bioskop di Lombok.
Baru pada tanggal 13 Oktober 2015 penulis menemukan berita di
website Cinema 21 bahwa bioskop ―LEM XXI‖ telah dibuka di Lombok
dengan harga tiket seperti bioskop di Jakarta.

Wawancara dengan Penonton di Bali:
―rindu film Indonesia, yang benar-benar Indonesia‖
Di Bali hanya tersedia lima bioskop, semuanya ada di Kota
Denpasar dan merupakan ―Grup XXI‖. Yanthy Sipayung adalah sahabat
205

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

penulis sejak kuliah di Unpar, setelah menikah ia tinggal dengan
suaminya di Denpasar, Bali. Ia dan rekan-rekan sekerjanya dapat
penulis wawancarai pada awal bulan Oktober tahun 2015 melalui
komunikasi media sosial (whatsapp) yang disambung dengan
pertemuan langsung di akhir bulan Desember di Kuta, Bali.
Di Bali sekarang sudah ada lima bioskop --ketika penulis
terakhir menonton sekitar tahun 2012/2013 di Bali baru ada dua
bioskop: di ―Galeria XXI‖ Ngurah Rai dan di ―Beach Walk XXI‖ Kuta.
Yanthy dan kawan-kawan merupakan responden dari kalangan pekerja
dan pengusaha dengan rentang usia 35-55 tahun. Kebanyakan sudah
berkeluarga, namun ada beberapa yang belum. Mereka lebih nyaman
dengan nama singkatan saja. Berikut adalah rangkuman wawancara
dengan mereka:
Tabel 5.3. Wawancara dengan 51 Penonton di Denpasar, Bali: Karyawan dan
Pengusaha (Tanggal 2-3 Oktober 2015)
No

26
27
28

YS
HAH
DS

Umur/
Jns
Klmn
P-45
L-49
P-55

29
30

PYCOP
SB

P-35
P-47

FI
FA

Drama
Drama

31

IGAY

P-32

FA

Drama

32

AAKS

L-33

FA

Komedi

206

Nama

FI
Atau
FA
FA
FA
FA

Genre
yang
disukai
Drama
Laga

Mengapa tidak
suka Film
Indonesia
Kurang totalitas
Kurang inovatif
Lokasi syuting
FA menawan,
akting jempolan,
cerita diadaptasi
dari novel
Justru suka FI
Wardrobe dan
akting berlebihan, tdk natural.
Gak ada soul.
Kurang
research.
Kurang inovatif,
kurang
mendidik
Sinematografi
kurang bagus,
kayak sinetron,
edit kurang,
cerita standar,
angle kamera
monoton.

Frekuensi
menonton
setahun
< 10 kali
< 10 kali
< 10 kali

< 10 kali
< 10 kali

< 10 kali

< 10 kali

Konsumsi Film Indonesia
No

Nama

33

HL

Umur/
Jns
Klmn
P-47

FI
Atau
FA
FA

Genre
yang
disukai
Thriller

34
35

RGK
FTMS

P-42
P-42

FA
FA

Komedi
Drama

36

RA

P-35

FA

Komedi

37
38
39

FHS
IS
KS

L-46
P-47
P-46

FA
FI
FA

Laga
Drama
Drama

40

YC

P-40

FA

Drama

41

LS

P-40

FA

Drama

42

PF

P-46

FA

Drama

43

PAS

LP-39

FA

Laga

44

FJ

P-35

FA

Drama

45

PSM

L-35

FA

Laga

46

AS

P-42

FA

Drama

47

LT

P-41

FA

Drama

48

IF

P-35

FA

Thriller

Mengapa tidak
suka Film
Indonesia
Kurang
profesional,
cerita membosankan, akting
kurang, tidak
punya karakter/
ciri khas
Ending ketebak
FA lebih banyak
kisah nyata
Suara dan
gambar tidak
sejernih FA
Kurang inovatif
FI juga bagus
FA lebih intelek
dan berbobot
Semua kurang:
inovasi, jadul,
ending ketebak.
Kurang inovatif

Frekuensi
menonton
setahun
< 10 kali

Ending ketebak,
jadul, cerita
tidak sinkron
masak org
miskin
wajahnya
terawat dan
sering ke salon?
Jadul, dana
kurang, setting
lokasi kurang
FA efeknya
bagus
Kurang inovatif,
latah. FA lebih
serius membuat
Kurang inovatif,
ending ketebak
Film Asing lebih
kreatif dari segi
ide maupun
animasi
All

< 10 kali

< 10 kali
< 10 kali
< 10 kali

< 10 kali
< 10 kali
< 10 kali
< 10 kali

< 10 kali

< 10 kali

< 10 kali
< 10 kali

< 10 kali
< 10 kali

< 10 kali

207

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
No

49
50

MR
RN

Umur/
Jns
Klmn
P-36
L-35

51
52
53

MK
AD
LB

P-47
P-48
L-45

FI
FA
FA

Drama
Komedi
Thriller

54
55
56
57

SC
ER
GT
C

P-46
P-41
P-45
P-35

FA
FA
FA
FA

Drama
Laga
Komedi
Drama

58

TAS

P-39

FA

Laga

59
60
61

NMI
RP
YS

P-46
L-35
P-44

FA
FA
FA

Drama
Laga
Drama

62
63

AW
MR

P-46
L-42

FA
FA

Drama
Laga

64

KA

P-43

FA

Drama

65
66

TR
TK

P-35
P-46

FA
FA

Komedi
Drama

208

Nama

FI
Atau
FA
FA
FA

Genre
yang
disukai
Thriller
Laga

Mengapa tidak
suka Film
Indonesia
Ending ketebak
Tidak sesuai
dengan norma
agama. Ceritanya aneh,
masak naga
parkir di depan
rumah
Lain-lain
Ending ketebak
Film Indonesia
ceritanya aneh,
mengada-ada,
gampang
ditebak
Ending ketebak
Ending ketebak
Kurang inovatif
Cerita dan
akting pemain
tidak bagus
Ending ketebak,
tidak ada pesan
yang berarti dari
ceritanya
Ending ketebak
Ending ketebak
Kurang inovatif,
cerita tidak
menarik
Kurang inovatif
Penceritaan dan
teknik kurang
menarik secara
emosional
maupun
intelektual
Film asing lebih
intelektual dan
berbobot
Ending ketebak
Aktor kurang
menjiwai peran,
jalan cerita
dipaksakan

Frekuensi
menonton
setahun
< 10 kali
< 10 kali

< 10 kali
< 10 kali
< 10 kali

< 10 kali
< 10 kali
< 10 kali
< 10 kali

< 10 kali

< 10 kali
< 10 kali
< 10 kali

< 10 kali
< 10 kali

< 10 kali

< 10 kali
< 10 kali

Konsumsi Film Indonesia
No

Nama

67

LJ

Umur/
Jns
Klmn
P-35

FI
Atau
FA
FA

Genre
yang
disukai
Komedi

68
69

CW
MT

P-37
P-37

FA
FA

Drama
Drama

70
71
72
73
74
75
76

SYD
MYN
SZ
NC
YA
SRB
LR

P-44
P-48
L-43
P-39
P-37
P-34
P-42

FA
FA
FA
FA
FA
FA
FI

Komedi
Drama
Laga
Komedi
Drama
Drama
Drama

Mengapa tidak
suka Film
Indonesia
Cerita ngalorngidul, ekspresi
berlebihan,
kurang
mendidik, tidak
nyambung,
perlu film
tentang
kebiasaan2
yang membangun dan
mengangkat
bangsa
Kurang inovatif
FI monoton, FA
banyak pilihan
cerita. FI ikutikutan kalo ada
yang lagi
booming.Perlu
komedi yang
lebih berkelas,
tidak urakan.
Perlu tokoh
yang manusiawi
dan membumi,
tidak judging.
Buat cerita yang
humanis ,
angkat
kekayaan
budaya
Indonesia.
Kurang inovatif
Kurang inovatif
Kurang inovatif
Kurang inovatif
Ending ketebak
Kurang inovatif
Film Indonesia
cenderung
copy-paste,
mana yang laku
itu diulang terus
sampai bosan.

Frekuensi
menonton
setahun
< 10 kali

< 10 kali
< 10 kali

< 10 kali
< 10 kali
< 10 kali
< 10 kali
< 10 kali
< 10 kali
< 10 kali

Keterangan: FA: Film Asing FI:Film Indonesia

209

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

Sebanyak limapuluh satu responden yang mewakili penonton
di Bali memberikan testimony yang unik, karena mereka ternyata
cukup kritis (lebih kritis dari penonton di kota lain!) mengemukakan
pendapatnya. Cita rasa terhadap seni yang cukup tinggi tercermin
dalam jawaban-jawaban mereka. Bukan hanya isi cerita yang masih
dianggap kurang mewakili budaya asli Indonesia, namun juga dari sisi
penggarapan dan teknik pembuatan banyak dikritisi. Sebanyak 7,8%
menyatakan menyukai film Indonesia biarpun sering diulang-ulang
sampai bosan 53% menyukai film bergenre drama, sisanya menyukai
komedi (18,7%) dan laga/action (19,6%). Sebenarnya mereka senang
juga menonton di bioskop, tapi karena harga tiket saat ini Rp 60.000
saja untuk weekday dan Rp 100.000 ketika weekend maka, menurut
Yanthy (mewakili teman-temannya) mereka tidak bisa sering-sering
menonton di bioskop.
Mengapa responden di Denpasar Bali sangat kritis dengan film
Indonesia saat ini? Di samping akting dan wardrobe pemain yang
dirasa berlebihan, tidak natural, dan ending cerita yang sering bisa
ditebak; mereka memberi banyak masukan untuk film Indonesia. Di
antaranya adalah, film Indonesia diminta untuk mengangkat budaya
khas Indonesia, ceritanya lebih membumi dan tidak perlu menghakimi
(judging). Film Indonesia harus lebih humanis, mengandung pesan
yang bermanfaat, pilihan setting lokasi yang lebih baik, angle kamera
harus lebih jago, proses editing dan teknologi harus lebih bagus,
komedinya harus berkelas dan tidak urakan. Bobot intelektual harus
ditingkatkan. Dapat dilihat bahwa, responden di Bali sangat
menghargai budaya asli Indonesia. Tidak berarti bahwa mereka tidak
menyukai film Indonesia, hanya saja, mereka ingin budaya asli
Indonesia dikemas dengan kreatif dan tampilan yang lebih baik.
Berikut adalah dokumentasi dengan Yanthy dan temantemannya di Bali:

210

Konsumsi Film Indonesia

Gambar 5.3. Yanthy dkk.

Gambar 5.4. Penulis dengan Yanthy-Wijaya

Wawancara dengan Penonton di Jatinangor:
―tiket mahal, kuliah padat‖
Natasha (Tasha) adalah keponakan penulis yang sedang kuliah
di Fakultas Kedokteran Unpad, Jatinangor. Ia dan sahabat-sahabatnya
adalah penyuka film, namun kurang menyukai menonton film
Indonesia. Pada saat Tasha masih SMA di Bandung, ia kerap nonton di
bioskop dengan teman-teman atau keluarga. Kondisi berubah ketika
Tasha kemudian pindah ke Jatinangor untuk melanjutkan kuliah di
Unpad. Berikut adalah petikan wawancara dengan Tasya dan kawankawan yang telah dirangkum dalam satu tabel.
Tabel 5.4. Wawancara dengan 11Penonton di Jatinangor:
Mahasiswa Kedokteran Unpad (4-5 Oktober 2015)
No

Nama

77
78

Natasha
Levina
Felicia
Dellaneira
Setiadi
Yolanda
Ardelia
Reisia P.
B.

79
80
81

Umur/
Jns
Klmn
P-19
P-19

FI
Atau
FA
FA
FA

Genre
yang
disukai
Thriller
Drama

Mengapa tidak
suka Film
Indonesia
Kurang inovatif
Kurang inovatif

Frekuensi
menonton
setahun
< 10 kali
< 10 kali

P-19

FA

Drama,

Alay

< 10 kali

Drama,

Ending ketebak

< 10 kali

Thriller,
Action

Ending ketebak,
kurang Inovatif,

< 10 kali

P-19
L-18

FA

211

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia
82
83
84

Johanna
Regina
Ali Akbar

P-19

FA

L-19

FA

Thriller,
Drama
Komedi,
Laga
Komedi

Newa
P-19
FA
Fauziah
85 Yogi
L-19
FA
Laga
Subandra
86 Rievanda
P-19
FA
Drama,
Ayu N.
Komedi
Thriller,
87 Dimas
L-21
FA
Action
Hari
Keterangan: FA: Film Asing FI:Film Indonesia

Kurang inovatif,
Alay
Kurang inovatif

< 10 kali

Ending ketebak,
lebay
Kurang inovatif,
ending ketebak
Kurang inovatif

< 10 kali

Kurang inovatif

< 10 kali

< 10 kali

< 10 kali
< 10 kali

Sebelas responden yang mewakili penonton di Jatinangor
semuanya (100%) lebih menyukai film asing. Film-film bergenre
thriller, drama, dan action menempati urutan tertinggi jenis film yang
disukai. Mereka menyatakan bahwa film Indonesia kurang menarik
karena kurang inovatif, ending cerita bisa ditebak, dan alay/lebay
(dibuat-buat). Semuanya jarang menonton film Indonesia di bioskop,
sibuk kuliah.
Salah satu sebabnya, karena bioskop sangat terbatas di
Jatinangor, hanya ada satu yaitu yang berlokasi di dalam mall Jatos.
Letaknya cukup jauh dari kampus Unpad. Karena mereka rata-rata
tinggal di asrama di dalam kampus, maka untuk pergi menonton adalah
suatu kegiatan yang butuh pengorbanan, karenanya jarang sekali
dilakukan. Pada saat akhir minggu atau hari libur pun, Tasha dan
kawan-kawan lebih senang pulang ke Bandung dan kota kelahiran
masing-masing yang lain.

Gambar 5.5. Natasha dkk (Jatinangor)
(milik pribadi)

212

Konsumsi Film Indonesia

Wawancara dengan Penonton di Bandung:
―film asing masih lebih bagus, tiket mahal, mending unduh
film Korea di laptop...‖
Penulis juga melakukan wawancara dengan beberapa penonton
di Bandung, yang terbanyak berasal dari kalangan mahasiswa di
Fakultas Ekonomi Unpar. Sisanya, ada beberapa teman sejak kuliah dan
beberapa teman pengajar. Wawancara di Bandung, tempat tinggal
penulis, ternyata tidak semudah yang penulis perkirakan. Ini
disebabkan mayoritas mahasiswa yang menjadi narasumber ternyata
tidak semua dapat dan mau menonton film di bioskop. Kendala utama
adalah masalah keuangan, juga padatnya jadwal kuliah. Ternyata dari
51 orang mahasiswa yang diwawancarai, menyatakan bahwa mereka
lebih suka download film dari youtube dan menonton dari laptop di
kampus, berhubung ada fasilitas wifi! Itupun bukan film Indonesia
yang ditonton, tapi film Korea. Menonton hanya sesekali jika ditraktir
pacar atau teman yang sedang ulang tahun.
Bagi empat narasumber lain yaitu teman-teman penulis yang
sudah bekerja tidak ada kendala keuangan untuk pergi menonton film
di bioskop. Masalahnya hanya dari segi waktu saja, pekerjaan membuat
mereka kekurangan waktu untuk menonton. Itu saja.
Berikut adalah cuplikan wawancara dengan responden di
Bandung, yang dirangkum pada tabel di bawah ini:
Tabel 5.5. Wawancara dengan 55 Penonton di Bandung
Mahasiswa dan Karyawan (4-7 Oktober 2015)
No
88
89
90
91

Nama
Herlina
Irawati
Febryan
Aditya
Evianna
Dian P.
Jefry

Umur/
Jns
Klmn

FI
Atau
FA

Genre
yang
disukai

Mengapa tidak
suka Film
Indonesia

Frekuensi
menonton
setahun

P

FI

Drama

Kurang inovatif