Isu Patriarki dan Isu Gender pada pada Perempuan dalam Birokrasi Lokal (Studi Kasus di Desa Karang Baru, Kecamatan Talawi Kabupaten Batubara)

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh (Dwi Windyastuti, 1999), dengan judul “Pengaruh
Sosialisasi Gender Pada Wanita Kelas Menengah Terhadap Kesadaran Politik”, pada
penelitian tersebut dijelaskan sikap apatisme perempuan terhadap politik karena memandang
politik identik dengan kekerasan. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Perempuan
dalam norma masyarakat yang sudah di bakukan menjadi sebuah budaya sehingga muncul
kesadaran palsu perempuan bahwa menjalankan peran domestik merupakan kewajiban
perempuan. Kesadaran palsu ini bahkan memunculkan sifat kebanggaan bagi perempuan
apabila dia mempunyai sifat feminim yang pada akhirnya menjadi landasan untuk
memojokkan perempuan pada kategori kodrat dalam aktivitas sosialnya. Kenyataannya
kekacauan pengertian antara sifat feminim dengan peran-peran publik sudah menjadi
keumuman yang diterima masyarakat. Posisi dalam ruang publik yang yang mempunyai nilai
sosial tinggi kenyataannya sulit untuk dicapai perempuan meskipun faktor pendidikan
perempuan tersebut telah memenuhi. Dalam penelitian menyatakan rendahnya kepekaan
gender menyebabkan

perempuan begitu

pesimis bahkan


cenderung fatalis akan

kemampuannya dalam mencapai karirnya. Faktor penghambat untuk setara dengan pria
antara lain kodrat alamiahnya yang sering dijadikan justifikasi tidak adanya peluang
perempuan. Bahkan sikap skeptis, pesimis b

ahkan fatalis menjadi kecenderungan

perempuan untuk tidak memperjuangkan persamaan hak di tempat kerja. Pada sisi lain
pemahaman terhadap institusi negara dalam hal ini produk UU yang memberikan
perlindungan kepada perempuan masih sangat rendah. Seluruh responden tidak memahami
adanya berbagai produk per UU yang sering mengabaikan keadilan perempuan.

Universitas Sumatera Utara

2.2. Konsep Budaya Patriarki
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebudayaan adalah: (1) Hasil
kegiatan dan penciptaan batin manusia seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. (2)
Keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakan untuk memahami

lingkungan serta pengalamannya untuk menjadi pedoman tingkah laku.
Patriarki adalah tatanan kekeluargaan yang sangat mementingkan garis turunan bapak
(KBBI:2001). Secara etimologi, patriarki berkaitan dengan sistem sosial, dimana ayah
menguasai seluruh anggota keluarganya, harta miliknya, serta sumber-sumber ekonomi. Ia
juga membuat semua keputusan penting bagi keluarga. Dalam sistem sosial, budaya dan juga
keagamaan, patriarki muncul sebagai bentuk kepercayaan atau ideologi bahwa laki-laki lebih
tinggi kedudukannya dibanding perempuan.
Patriarki juga dpat dijelaskan dimana masyarakat yang menempatkan kedudukan dan
posisi laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial,
budaya dan ekonomi Retno (2010).
Di negara-negara barat, Eropa barat termasuk indonesia, budaya dan ideologi patriarki
masih sangat kental mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat. Bila dilihat
secara garis besar, mayoritas penduduk Indonesia adalah masyarakat yang patrilineal yang
dalam hal ini, posisi ayah atau bapak (laki-laki) lebih dominan dibandingkan dengan posisi
ibu (perempuan).
Menurut Sastryani (dalam Aritonang, 2010) Patriarki adalah sistem pengelompokan
masyarakat sosial yang mementingkan garis keturunan bapak/laki-laki. Patrilineal adalah
hubungan keturunan melalui garis keturunan kerabat pria atau bapak. Pinem (dalam
Aritonang, 2010) Patriarki juga dapat dijelaskan dimana keadaan masyarakat yang
menempatkan kedudukan dan posisi laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dalam segala

aspek kehidupan sosial, budaya dan ekonomi. Di negara-negara barat, Eropa barat termasuk
Indonesia, budaya dan ideologi patriarki masih sangat kental mewarnai berbagai aspek
kehidupan dan struktur masyarakat. Bila dilihat dari garis keturunan, masyarakat Sumatera
Utara lebih cenderung sebagai masyarakat yang patrilineal yang dalam hal ini posisi ayah
atau bapak (laki-laki) lebih dominan dibandingkan dengan posisi ibu (perempuan). Contoh
suku yang menganut faktor budaya patriarki adalah Batak, Melayu dan Nias.

Universitas Sumatera Utara

Pada tatanan kehidupan sosial, konsep patriarki sebagai landasan ideologis, pola
hubungan gender dalam masyarakat secara sistematik dalam praktiknya dengan pranatapranata sosial lainnya. Faktor budaya merupakan salah satu penyebeb meningkatnya angka
kekerasan terhadap perempuan. Hal ini dikarenakan terlalu diprioritaskannya laklaki
(maskulin).
Perbedaan gender sebetulnya tidak menjadi masalah selama tidak melahirkan
ketidakadilan jender. Namun ternyata perbedaan jender baik melalui mitos-mitos, sosialisai,
kultur, dan kebijakan pemerintah telah melahirkan hukum yang tidak adil bagi perempuan.
Pada masyarakat patriarki, nilai-nilai kultur yang berkaitan dengan seksualitas perempuan
mencerminkan ketidaksetaraan jender menempatkan perempuan pada posisi yang tidak adil.
Sikap masyarakat patriarki yang kuat ini mengakibatkan masyarakat cenderung tidak
menanggapi atau berempati terhadap segala tindak kekerasan yang menimpa perempuan.

Sering dijumpai masyarakat lebih banyak komentar dan menunjukkan sikap yang
menyudutkan perempuan
2.3.Konsep Gender
Secara sederhana gender dapat diartikan, perbedaan peran laki-laki dan perempuan
sebagai hasil konstruksi sosial dari budaya yang diyakini oleh suatu masyarakat yang
selanjutnya membentuk identitas laki-laki perempuan serta pola perilaku yang menyertainya.
Pengertian ini memberikan ruang yang sangat dominan terhadap dinamika sosial budaya
masyarakat untuk turut mempengaruhi perbedaan peran laki-laki dan perempuan. Sejalan
dengan pendapat ini (Nugroho, 2008: 19).
Gender sendiri dipahami sebagai sebuah konstruksi sosial tentang relasi laki-laki dan
perempuan yang dikonstruksikan oleh system di mana keduanya berada. Dalam kenyataan
konstruksi social ini dikonstruksikan oleh kekuasaan, baik kekuasaan politik, ekonomi,
social, cultural, bahkan fisikal karena sebagaimana halnya kenyataan kekuasaan adalah
identik dengan kepemimpinan. Salah satu tugas kekuasaan dan paralel dengan tugas
kepemimpinan adalah membawa kelompoknya ke dalam sebuah masa depan yang baru yang
lebih baik. Tugas ini bukan saja bermakna bahwa tugas pemimpin adalah membuat visi, misi,
dan strategi bagi kelompoknya, melainkan juga mendefenisikan konsep-konsep dasar bagi
kelompoknya.

Universitas Sumatera Utara


Istilah “gender” dengan pemaknaan seperti dikemukakan di atas pertama kali
diperkenalkan oleh Stoller (1968). Untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan
pada pendefenisian yang bersifat sosial budaya dengan pendefenisian yang berasal dari ciriciri fisik biologis. Dewasa ini dikenal beberapa teori gender, antara lain : teori nurture
teori nature, teori equilibrium, dan Syndrome Cindrella Complex.
Teori nurture memandang perbedaan perempuan dan laki-laki adalah hasil konstruksi
sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu
menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam
kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Konstruksi sosial
menempatkan perempuan dan laki-laki berbeda dalam banyak hal. Teori Equilibrium,
menitikberatkan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan laki-laki dan
perempuan. Keduanya di pandang harus bekerjasama dalam kemitraan yang harmonis dalam
kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan bernegara. Keragaman peran disebabkan karena
adanya berbagai factor, antara lain: biologis, etnis, aspirasi, minat, pilihan atau budaya yang
pada hakekatnya merupakan realitas kehidupan manusia.Konsep gender ini digunakan untuk
melihat posisi wanita dalam birokrasi yang pada dasarnya wanita berada dalam posisi kedua
seperti budaya patriakat yang kepemimpinan wanita di ragukan keberadaannya. Sejarah yang
memandang bahwa perempuan berada di posisi kedua masih menjadi permasalahan yang
kompleks dalam pemerintahan.


Ketidakadilan Gender
Perbedaan gender yang berlaku pada akhirnya menyebabkan ketidakadilan gender
yang dominan masih dirasakan oleh perempuan dan termanifestasi ke dalam beberapa
bentuk yaitu:

2.3.1Gender dan Marginalisasi Perempuan
Bentuk ketidakadilan gender yang berupa proses marginalisasi perempuan adalah
proses pemiskinan/peminggiran yang menyebabkan kemiskinan terhadap jenis kelamin

Universitas Sumatera Utara

tertenntu dalam hal ini perempuan yang disebabkan oleh perbedaan gender (Narwoko &
Suyanto 2010:341). Sebagai contoh, pekerjaan khusus perempuan seperti : guru kanakkanak dan pekerja pabrik mengakibatkan perempuan diupah dengan rendah.
2.3.2. Gender dan Subordinasi Pekerjaan Perempuan
Subordinasi adalah anggapan bahwa perempuan tidak penting terlibat dalam
pengambilan keputusan politik. Perempuan tersubordinasi oleh faktor-faktor yang
dikonstruksikan secara sosial. Menurut Moser (1993), pembagian peran gender merupakan
salah satu faktor utama yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat. Anggapan
sementara perempuan itu irasional dan emosional sehingga perempuan tidak cocok untuk
memimpin dan tidak penting. Perempuan diidentikkan dengan jenis-jenis pekerjaan

tertentu (Handayani & Sugiarti 2008: 16). Bentuk subordinasi akibat perbedaan gender
berbeda menurut tempat dan waktu. Pada masyarakat jawa misalnya, dulu ada anggapan
bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya akan ke dapur
juga. Bahkan pada keluarga yang memiliki keuangan yang terbatas, maka pendidikan akan
diprioritaskan untuk anak laki-laki.
2.3.3. Gender dan Stereotip atas pekerjaan perempuan
Stereotip adalah pelabelan terhadap suatu kelompok tertentu yang selalu berakibat
merugikan pihak lain dan menimbulkan ketidakadilan. Stereotip gender telah memberikan
pelabelan negatif terhadap perempuan. hal ini disebabkan oleh pelebelan yang sudah
melekat pada laki-laki adalah manusia yang kuat, rasional, jantan, berani, dan perkasa.
Sedangkan perempuan adalah mahluk yang lembut, cantik, emosional dan keibuan.
Dengan munculnya pelabelan seperti diatas tentu saja akan muncul banyak
stereotip yang dikonstruksi secara sosial sebagai hubungan sosial tentang perbedaan lakilaki dan perempuan. Oleh karena sifat lemah lembut dan keibuannya perempuan sering
diidentikkan dengan pekerjaan-pekerjaan di rumah (sektor domestik). Akibat adanya

Universitas Sumatera Utara

stereotip (pelabelan) ini banyak tindakan-tindakan yang seolah-olah sudah merupakan
kodrat.
2.3.4. Gender dan Beban Ganda

Konsep kemitrasejajaran dalam pendekatan gender telah mempengaruhi berbagai
aspek kehidupan, maka peran perempuan mengalami perubahan yang cukup cepat. Namun
perlu dicermati bahwa perkembangan perempuan tidaklah mengubah peranannya yang
lama yaitu peran dalam lingkup domestik. Adanya anggapan bahwa perempuan bersifat
memelihara, rajin dan tidak akan menjadi kepala rumah tangga, berakibat semua pekerjaan
domestik menjadi tanggung jawab perempuan. Perempuan menerima beban ganda, selain
harus bekerja di sektor domestik, mereka masih harus bekerja membantu suami dalam
mencari nafkah (Handayani & Sugiarti 2008: 17). Dari hasil penelitiannnya, Moser (1993)
menyimpulkan bahwa setidaknya ada tiga peran gender (gender role) yang berlaku di
masyarakat. Dari tiga peran gender tersebut Moser berhasil mengungkap bahwa beban
kerja perempuan ternyata lebih berat dibandingkan beban kerja laki-laki. Karena adanya
anggapan bahwa kaum perempuan adalah memelihara rumah tangga, maka akibatnya
semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab kaum perempuan walaupun sudah
berada di ruang publik.
2.3.5. Gender dan kekerasan terhadap perempuan.
Kekerasan adalah tindakan merugikan yang dirasakan perempuan karena adanya
perbedaan gender. Kekerasan yang terjadi dapat berupa kekerasan fisik maupun non fisik.
Jika diperhatikan bahwa kekerasan yang terjadi pada perempuan adalah disebabkan oleh
keyakinan gender. Perempuan menjadi rentan menerima kekerasan karena posisinya yang
timpang di hadapan masyarakat baik secara sosial, ekonomi maupun politik. Posisi

perempuan umumnya dilihat lebih rendah daripada laki-laki. Kekerasan terhadap
perempuan sering terjadi karena dominasi laki-laki terhadap perempuan.

Universitas Sumatera Utara

2.4. Konsep Birokrasi Menurut Max Weber
Istilah birokrasi berasal dari bahasa Prancis“bureau” yang berarti kantor atau meja
tulis, dan kata Yunani “kratein” yang berarti mengatur (M. Mas’ud Said, 2007:1). Menurut
Max Weber seperti yang dikutip M. Mas’ud Said (2007:2) menyatakan : “Birokrasi adalah
sistem administrasi rutin yang dilakukan dengan keseragaman, diselenggarakan dengan caracara tertentu didasarkan aturan tertulis oleh orang-orang yang berkompeten di bidangnya”.
Max Weber menyatakan pendapatnya bahwa terdapat tiga macam ‘legitimate
domination’ yang menunjukkan dalam kondisi seperti apa sehingga seseorang atau
sekelompok

orang

mampu

mendominasi


sejumlah

besar

orang

lainnya. Ketiga

macam legitimate domination tersebut adalah: (a) traditional domination, (b) charismatic
domination, dan (c) legal-rational domination.
a.

Traditional Domination (Dominasi Tradisional)
Dominasi ini mendasarkan pada tradisi yang ada dan berlaku di tengah-tengah

masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian legitimasi yang diperoleh elit tentu saja
didasarkan pada tradisi yang ada dan berlaku. Dalam dominasi tradisional dapat diketemukan
massa dengan kepercayaan yang mapan terhadap kesucian tradisi yang ada. Sehingga pada
gilirannya individu-individu yang terpilih sebagai pemimpin yang berkuasa bukan dilihat dari
kharisma atau kemampuan yang dimilikinya, tetapi semata-mata atas dasar kesepakatan

bersama anggota-anggota masyarakat yang sudah mentradisi.
Dalam dominasi tradisional ini hubungan yang terjadi antara elit dan massa tidak
jarang merupakan sebuah hubungan yang lebih bernuansa personal. Kesempatan massa untuk
direkrut sebagai staf administrasi dilihat berdasarkan pada pertimbangan loyalitas pribadi
bukan berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Hal ini menunjukkan bahwa massa
mempunyai kesetian yang tinggi terhadap penguasa, dan sebaliknya penguasa juga
mempunyai kewajiban untuk memenuhi segala kebutuhan massa. Akan tetapi walaupun
terdapat ikatan yang sangat kuat antara massa dan elit penguasa, masih saja terdapat
keleluasaan bagi penguasa secara pribadi mempergunakan otoritasnya sesuai dengan
kehendaknya.

Universitas Sumatera Utara

b.

Charismatic Domination (Dominasi Karismatik)
Merupakan dominasi yang mendasarkan pada kharisma yang melekat pada diri

seseorang. Perihal kharisma, Weber memberi pengertian sebagai “suatu sifat tertentu dari
suatu kepribadian seorang individu berdasarkan mana orang itu dianggap luar biasa dan
diperlakukan sebagai seseorang yang mempunyai sifat unggul atau paling sedikit dengan
kekuatan-kekuatan yang khas dan luar biasa”. Elit atau penguasa yang kemunculannya
didasarkan pada kharisma yang dimiliki, pada umumnya akan berupaya menunjukkan bukti
tentang keelitannya dengan cara menunjukkan kemampuannya untuk melakukan hal-hal yang
tidak mampu dilakukan oleh orang awam, pada umumnya merupakan hal-hal yang bersifat
ajaib. Semakin mampu seorang individu menunjukkan bukti-bukti yang hebat dan relatif
langka, maka akan semakin tinggi pula legitimasi yang akan diperolehnya sebagai elit yang
berkuasa.
c.

Legal-Rational Domination
Dominasi ini pada hakekatnya didasarkan pada kesepakatan anggota masyarakat

terhadap seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi. Individu yang berperan
sebagai elit di masyarakat yang memberlakukan dominasi tipe ini diakui keberadaanya atas
kemampuan yang dimilikinya dan persyaratan menurut peraturan yang berlaku. Demikian
pula dengan seleksi bagi individu-individu yang dapat menduduki posisi elit ini juga diatur
secara tegas oleh peraturan yang secara resmi berlaku. Persyaratan-persyaratan yang diajukan
untuk menduduki posisi tertentu belum tentu sama dengan posisi lain yang dibutuhkan,
karena semakin tinggi posisi yang dituju, persyaratan yang harus dipenuhi juga semakin
tinggi pula begitu pula dengan kemampuan yang dimiliki juga harus semakin besar. Sebagai
akibat dari kesepakatan-kesepakatan tersebut, maka individu-individu yang tidak memiliki
kemampuan akan sulit untuk dapat menduduki posisi tertentu sebagai elit. Hanya individuindividu yang mempunyai kemampuan dan dipandang telah memenuhi persyaratan yang bisa
mendapatkan legitimasi.
Menurut weber tipe ideal birokrasi itu ingin menjelaskan bahwa suatu birokrasi atau
administrasi itu mempunyai suatu bentuk yang pasti dimana semua fungsi dijalankan dalam
cara-cara yang rasional. Menurut weber tipe ideal birokrasi yang rasional itu dilakukan dalam
cara-cara sebagai berikut:
1. Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala
ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya. Pejabat

Universitas Sumatera Utara

tidak bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya
termasuk keluarganya.
2. Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan ke
samping. Konsekuensinya ada jabatan atasan dan bawahan, dan ada pula yang
menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil.
3. Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda
satu sama lainnya.
4. Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas (job
description) masing-masing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan
tanggungjawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak.
5. Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, idealnya hal tersebut
dilakukan melalui ujian yang kompetitif.
6. Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai dengan
tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat bisa memutuskan untuk
keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya
bisa diakhiri dalam keadaan tertentu.
7. Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan
senioritas dan merita sesuai dengan pertimbangan yang objektif.
8. Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya untuk
kepentingan pribadi dan keluarganya.
9. Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang
dijalankan secara disiplin. Butir-butir tipe ideal tersebut tidak semuanya bisa
diterapkan dalam kondisi tertentu oleh suatu jenis pemerintahan tertentu. Seperti
persyaratan tentang pengangkatan pejabat dalam jabatan tertentu berdasarkan
kualifikasi profesionalitas cocok untuk kondisi birokrasi tertentu, tetapi banyak
sekarang tidak bisa diterapkan. Karena banyak pula negara yang mengangkat pejabat
berdasarkan kriteria subjektivitas, apalagi ada yang didasarkan atas intervensi politik
dari kekuatan partai politik tertentu.

Universitas Sumatera Utara