Catatan tentang Isu isu Perempuan dalam

1

Catatan tentang Isu-isu Perempuan dalam Perspektif Hukum dan
Perundang-undangan
Bivitri Susanti

Isu-isu perempuan dalam perspektif hukum dan perundang-undangan seringkali dipinggirkan
dan cenderung diabaikan karena ada anggapan mengenai kesetaraan kedudukan di muka
hukum. Namun dalam kenyataannya, hukum dan peraturan perundang-undangan yang tidak
peka gender akan mengakibatkan tekanan bagi perempuan karena adanya isu-isu khusus yang
tidak hanya berkaitan dengan kondisi biologis perempuan, tetapi juga peran gender perempuan
yang dibentuk dan diterapkan secara efektif oleh masyarakat. Hal-hal yang disampaikan oleh
pembicara-pembicara sebelumnya adalah ilustrasi yang baik untuk menggambarkan kondisi ini.
Dalam konteks perempuan yang menjadi kepala keluarga yang sudah disampaikan oleh Nani
Zulminarni misalnya. Di satu sisi, merekalah yang harus menghidupi dan mengambil keputusan
u tuk keluarga di te gah pera pere pua ya g tetap diharapka ada pada diri ereka.
Namun di sisi lainnya, hukum yang ada tidak memfasilitasi mereka dalam menjalankan kedua
peran itu dengan baik, misalnya karena adanya perbedaan pengupahan dan berbagai bentuk
diskriminasi lainnya di tempat kerja. Bahkan, mereka juga masih menjumpai tantangan dalam
mendapatkan hak-hak yang mereka butuhkan untuk menjadi kepala keluarga dengan efektif,
misalnya hak terkait dengan identitas anak yang kadang tak mudah didapat karena status dan

administrasi perkawinan.1
Begitu pula halnya dalam hal perempuan penyandang disabilitas, yang disampaikan oleh Aria
Indrawati. Bagi perempuan penyandang disabilitas, tantangannya menjadi berganda karena
adanya berbagai keterbatasan fisik maupun non-fisik, yang kerap juga berkaitan langsung dengan
aspek biologis perempuan.
Ada tiga hal yang ingin saya soroti dalam kesempatan yang baik ini. Pertama, mengenai
tantangan dalam proses pembuatan hukum dan kebijakan. Kedua, bentuk-bentuk ketidakadilan
bagi perempuan dalam hukum dan kebijakan. Ketiga, berangkat dari dua refleksi sebelumnya,
hal-hal yang harus dilakukan untuk mendorong perubahan.


Catatan singkat untuk presentasi pada Seminar Hari Perempuan Internasional 2018 Partai Demokrat, Jakarta, 19
Maret 2018.


Wakil Ketua dan Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (www.jentera.ac.id).

Lihat Cate “u er, Me eri Keadila Bagi Para Pe ari Keadila . “e uah lapora te ta g Pe gadila Aga a
Indonesia: Penelitian tahun 2007 tentang Akses dan Kesetaraan, Mahkamah Agung RI dan AusAid, 2008, diakses di
http://www.pekka.or.id/documents/Providing%29Justice_Indonesian.pdf, pada 8 Maret 2018. Lihat juga penelitian

Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Universitas Indonesia: Back to What Counts: Birth and Death in Indonesia A
Study to Institutionalize Civil Registration and Vital Statistics in Basic Service, Puskapa UI da KOMPAK,
6.

1

2

1.

Tantangan dalam Proses Pembuatan Hukum dan Kebijakan

Ada tiga tantangan yang perlu dikemukakandalam hal proses pembuatan hukum dan kebijakan.
Proses ini tentunya tidak terbatas pada tingkat nasional, tetapi juga di daerah.
a.

Pemahaman pembuat hukum dan kebijakan mengenai isu gender

Dalam suatu masyarakat yang masih kuat memegang pembagian peran berdasarkan gender
secara trandisional, tantangan dalam pemosisian isu perempuan dalam hukum dan perundangundangan menjadi semakin berat. Begitu banyak peran gender yang dilekatkan pada perempuan

dalam masyarakat yang cenderung mempunyai pandangan tradisional. Mulai dari apa yang
dianggap kodrati seperti soal-soal peran domestik dan reproduksi (seperti dalam hal
membesarkan anak yang di banyak kalangan dianggap semata hanya peran perempuan), sampai
peran sosial (seperti dala hal pekerjaa apa ya g pa tas u tuk pere pua ). Kese ua ya i i
dia ggap kodrati , ala iah, sehi gga sudah kerap tidak diperta yaka lagi dala keseharia .
Akibatnya, dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, peran gender ini masuk. Dan
akhir ya dikuatka da dilestarika dalam tatanan sosial masyarakat.
Kita di ruangan ini barangkali bisa menganggap diri tidak lagi tradisional, tetapi yang harus
diperhatikan adalah puluhan, bahkan mungkin ratusan, juta orang di luar sana, terutama di
kelompok-kelompok masyarakat di berbagai pelosok Indonesia. Tidak hanya di desa, tetapi juga
kelompon masyarakat perkotaan. Karena pandangan tentang gender tidak mengenal lokasi,
bahkan (sayangnya) juga tingkat pendidikan formal.
Karena itu pula, dalam penyusunan peraturan perundang-undangan-pun, tidak hanya di DPR RI,
tetapi juga di DPRD, maupun perangkat penyusun kebijakan di berbagai tingkat di Indonesia,
institusionalisasi peran tradisional gender ini terjadi, seringkali dengan mudah. Mengapa
udah ? Uta a ya kare a tidak a yak pa da ga ko tra, ahka terkada g dari pere pua
sendiri.
b.

Keterbatasan perempuan dalam mengakses proses pembentukan hukum dan kebijakan


Partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan hukum dan kebijakan masih banyak
menghadapi tantangan. Tantangan ini disebabkan antara lain oleh aturan main dalam
pembahasan maupun komitmen dari pembuatan kebijakan itu sendiri. Tantangan ini menjadi
berlipat-lipat dalam isu perempuan karena, di dalam organisasi-organisasi non-pemerintah, isu
gender juga masih menjadi tantangan. Dalam banyaknya isu, mulai dari KUHP sampai soal
perumahan atau perbankan, isu gender kerap masih kurang diperhatikan. Akibatnya, masukan
yang diberikan oleh kelompok-kelompok pemangku kepentingan juga kadang tidak menyentuh
isu perempuan. Kalaupun ada isu perempuan yang sangat terlihat (obvious), maka yang dianggap
harus memperjuangkannya adalah organisasi yang khusus bergerak di isu perempuan.

3

c.

Isu Perempuan dan Politik

Isu gender juga masih merupakan isu politik yang cenderung populer bagi sebagian kelompok
masyarakat. Sebab di dalamnya terkandung nilai-nilai keagamaan dan apa yang dianggap sebagai
nilai moral oleh kelompok-kelompok berpandangan konservatif. Misalnya saja, mengatur cara

perempuan berpakaian atau membatasi waktu bagi perempuan untuk ada di luar rumah, oleh
sebagian politisi dianggap isu yang baik untuk konstituennya. Dan hal ini tidak terbatas pada
partai-partai berbasis agama. Tergantung pada lokasinya (dan tokohnya), partai yang mengklaim
asio alis juga di e erapa daerah e doro g peratura daerah ya g diskri i atif.2

2.

Bentuk-Bentuk Ketidakadilan terhadap Perempuan dalam Hukum dan Kebijakan

a.

Substansi Hukum yang Diskriminatif

Huku
saya artika di si i se agai huku dala arti luas. Tidak ha ya ateril tetapi juga
formil. Tidak hanya aturan yang secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada
perempuan, tetapi juga proses hukum maupun administrasi yang berdampak pada perempuan.
Seperti diungkapkan di atas, tanpa adanya kepekaan dan pemahaman yang cukup mengenai
perempuan, pandangan yang bersifat diskriminatif justru dilembagakan dalam hukum dan
kebijakan.


(i)

Hukum dan kebijakan yang secara langsung mendiskriminasi perempuan
Ada berberapa atura ya g dia ggap
eli du gi perempuan, padahal dalam konteks
pa da ga
tradisio al da stereotyping yang keliru, justru mendiskriminasi
perempuan. Misalnya aturan untuk berpakaian atau aturan tentang waktu bepergian bagi
pere pua ya g di uat u tuk eli du gi pere pua , ta pa au e ggali le ih jauh
akar masalahnya pada bagaimana laki-laki memandang perempuan sebagai objek
seksual.
Bentuk lainnya misalnya kebijakan perusahaan yang tidak mengenal cuti haid bagi
pere pua atau tidak e gizi ka karyawa pere pua u tuk ha il.

(ii)

2

Hukum yang tidak berbunyi diskriminatif tetapi menimbulkan dampak bagi perempuan,

baik karena aspek biologis maupun peran sosial (gender) perempuan

Lihat antara lain: Michael Buehler, The Politics of Shari'a Law: Islamist Activists and the State in
Democratizing Indonesia, (Cambridge University Press, 2016).

4

Dalam beberapa peraturan kadang tercantum peraturan yang seakan netral, misalnya
kalimat pada sebuah Peraturan Daerah tentang Pelarangan Pelacuran yang menyatakan
bahwa orang ya g erkeliara di ala hari da disa gka pela ur dapat dike aka
sanksi. Meskipun tidak ada istilah pere pua , pada u u ya pela ur ditafsirka
sebagai perempuan pekerja seks komersial.
Catatan lainnya misalnya dalam hal bantuan hukum, meskipun telah ada UU Bantuan
Hukum, belum ada fokus pada isu perempuan, baik dalam hal pengguna bantuan hukum
perempuan maupun isu perempuan. Padahal banyak kasus perempuan berhadapan
dengan hukum yang membutuhkan bantuan hukum. Mereka menjadi memiliki
kekhususan karena, misalnya saja, di saat adanya prosedur administratif untuk
mendapatkan bantuan hukum, kadang beberapa syarat tidak terpenuhi karena status
perkawinan ataupun anak yang masih perlu dibereskan. Di luar soal administratif,
seringkali perempuan-perempuan yang sesungguhnya harus mendapatkan bantuan

hukum, tidak mengetahui hak-hak yang bisa didapatkannya berdasarkan UU Bantuan
Hukum.
(iii)

Hukum formal (acara) maupun prosedur administratif yang tidak peka pada persoalan
perempuan atau bahkan membuka ruang bagi kekerasan terhadap perempuan dalam
proses hukum.
Salah satu contoh pentingnya adalah tantangan yang dihadapai oleh perempuan kepala
keluarga yang tidak mempunyai surat nikah dan karenanya juga akta kelahiran bagi
anaknya sehingga menyulitkan aksesnya bagi pelayanan publik secara umum.3
Selain itu, dalam proses peradilan MaPPI FHUI juga mencatat paling tidak dua hal tindakan
diskriminatif terhadap perempuan yang kerap terjadi dalam proses peradilan. Pertama,
dalam hal alat bukti yang digunakan pada kasus kekerasan seksual yang terjadi di ruang
tertutup/tidak ada saksi selain korban. Kedua, dijadikannya riwayat seksual korban atau
stereotype sebagai dasar meringankan atau membebaskan terdakwa.4
Sebagai catatan, saat ini telah ada Peraturan Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 2017
tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum yang telah
diterbitkan pada tanggal 4 Agustus 2017. Namun masih banyak pekerjaan rumah lainnya

3

4

Lihat pengalaman PEKKA yang sebagian didokumentasikan dalam Sumner, supra note 1.

Penelitian MaPPI mencatat banyak hal lainnya dalam konteks analisis putusan peradilan yang diskriminatif
terhadap perempuan, namun saya hanya mengutip dua hal yang terkait hukum acara peradilan. Lihat Lidwina Inge
Nurtjahyo dan Choky R. Ramadhan, eds. Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Peradilan Pidana: Analisis
Konsistensi Putusan, (Badan Penerbit FHUI bersama MaPPI dan LBH APIK: Depok, 2016).

5

yang harus dilakukan; dan tidak hanya berkaitan dengan hakim namun juga aparat
penegak hukum lainnya.5
b.

Keterbatasan banyak perempuan untuk berjuang mendapatkan haknya
Perlu dipahami pula, masih banyak keterbatasan perempuan dalam memperjuangkan
haknya. Mulai dari ketidaktahuan mengenai cara-cara dan organsisasi (termasuk partai
politik) yang memperjuangkan isu perempuan sampai pada ketidakpahaman mengenai
isu mana yang perlu disikapi.


c.

Kualitas Peradilan dan Aparat Penegak Hukum

Kualitas peradilan secara umum sangat mempengaruhi bagaimana penerapan hukum
dalam konteks isu perempuan. Sistem peradilan yang masih korup dan banyak
dipengaruhi oleh perilaku korupsi dan kepentingan tertentu, akan sangat meminggirkan
kepentingan kelompok yang marjinal, dan ini termasuk kelompok perempuan.
Hal ini ditambah dengan ketidakpahaman aparat penegak hukum (tidak hanya hakim!)
mengenai isu perempuan. Akibatnya, hukum yang seharusnya melindungi
perempuanpun, ditafsirkan secara diskriminatif. Untuk memberikan gambaran saja,
penelitian MaPPI menunjukkan adanya beberapa pola putusan yang diskriminatif
terhadap perempuan, di antaranya:6
 Pe afsira Tidak Me i ulka Pe yakit atau Hala ga u tuk Me jala ka
Pekerjaan atau Mata Pencaharian atau Kegiatan Sehari-hari pada Pasal
Kekerasan Fisik yang Terjadi antara Suami Isteri dalam Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
 Penafsiran Sanksi Penelantaran dalam Rumah Tangga
 Penggunaan Pasal 55 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga Dalam Pertimbangan Putusan Majelis Hakim
 Pe afsira U sur Persetu uha pada Pasal Kejahata “eksual dala Kita
Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Perlindungan Anak
 Pe afsira U sur Kekerasa atau A a a Kekerasa pada Pasal Kejahata
Seksual dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
 Pe afsira U sur ‘elasi Kuasa pada Pasal Kejahata Pe a ula dala
Undang-Undang Hukum Pidana

Lihat antara lain: Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, ya g
disusun oleh Dewan Perwakilan Daerah RI, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dan Forum
Pengada Layanan, 2016.

5

6

Nurcahyo dan Ramadhan, supra note 4..

6







3.

Pe afsira U sur Tidak Berdaya Dala Pasal 6 Da
Kita U da gUndang Hukum Pidana
Alat Bukti yang Digunakan Pada Kasus Kekerasan Seksual yang Terjadi di Ruang
Tertutup/Tidak Ada Saksi Selain Korban
Adanya Putusan-Putusan Terkait Riwayat Seksual Korban atau Stereotype
Sebagai Dasar Meringankan atau Membebaskan Terdakwa

Apa yang Harus Kita Lakukan?

Perde ata
e ge ai apakah peru aha harus dilakuka dari atas atau dari awah?
asih
terus saja terjadi. Namun sesungguhnya perubahan dari atas dan dari bawah atau dari luar dan
dari dalam tidak perlu dihadap-hadapkan dan dipertentangan. Keduanya harus dilakukan dalam
konteks peran masing-masing. Untuk itu, dalam konteks seminar hari ini, usulan yang ingin saya
sa paika ditujuka teruta a ke atas, yaitu dala posisi Partai De okrat se agai partai
politik yang memperjuangkan isu-isu dalam masyarakat untuk dibawa ke ranah hukum dan
kebijakan.
a.

Penyebarluasan pemahaman mengenai isu perempuan dengan lebih baik bagi para
pembuat kebijakan.
Perlu ada lebih banyak sesi berbagi pengalaman dan pengetahuan dalam bentuk yang
bisa digunakan dalam konteks pembuatan hukum dan kebijakan. Pengetahuan saja tentu
tidak akan cukup, sangat penting dalam bagi pembuat kebijakan untuk berinteraksi
langsung atau mendengar pengalaman dari perempuan, dalam isu-isu yang berkaitan
dengan hukum, pada semua sektor (tidak hanya hukum).

b.

Affirmative Action
Perlakuan khusus sementara bagi perempuan juga harus diterapkan secara konsisten.
Tidak hanya dalam hal jumlah rata-rata tetapi juga dalam posisi-posisi pengambil
keputusan penting.

c.

Pembangunan jaringan dengan organisasi dan individu yang terkait dengan isu
perempuan.
Organisasi pembuat dan penreap hukum dan kebijakan, termasuk partai politik seperti
Partai Demokrat harus membangun paling tidak dua infrastruktur yang dapat
meningkatkan pemosisian isu perempuan dalam hukum dan kebijakan. Untuk itu, paling
tidak ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, penting untuk memiliki database
pemangku kepentingan perempuan, yang dapat dipanggil dalam setiap pembuatan
kebijakan untuk dimintakan masukan. Kedua, membangun jaringan dengan organisasiorganisasi pemangku kepentingan (seperti PEKKA dan Pertuni), untuk membangun

7

adanya komunikasi 2 arah: penyebaran informasi dari sisi pembuat kebijakan dan
komunikasi tentang kebijakan dari pemangku kepentingan.

Jakarta, 19 Maret 2018