Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Hak Asuh Anak Oleh Pengadilan Agama (Studi Putusan Pengadilan Agama No. 50 PDT.G 2006 PA.Mdn)

33

BAB II
FAKTOR-FAKTOR YANG MENJADI PENYEBAB PEMBATALAN HAK
ASUH TERHADAP ANAK-ANAK YANG MASIH DIBAWAH UMUR
A. Pengertian Dan Syarat-Syarat Hak Asuh Anak
Pada kenyatannya seorang anak memerlukan orang lain dalam kehidupannya
sampai batas umur tertentu untuk membantunya dalam bertumbuh kembang baik
dalam perkembangan fisik maupun pembentukan akhlaknya. Hal ini diperlukan
karena si anak bisa saja tumbuh dengan tidak terpelihara dan tidak terarah seperti
yang diharapkan.
Anak merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian bagi elemen
masyarakat sebagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam sebuah keluarga dan
bagaimana ia diperlakukan, bahkan juga dalam kehidupan masyarakat dan negara
melalui kebijakan-kebijakan dalam mengayomi anak.27
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, anak dapat diartikan sebagai
manusia yang masih kecil. Selain itu, anak pada hakekatnya adalah seseorang yang
berada pada suatu masa tertentu dan mempuyai potensi untuk menjadi dewasa. 28 Oleh
karena itu anak masih banyak memerlukan bimbingan dari orang tua/keluarga baik
dalam pendidikan maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain anak
dapat juga dikatakan makhluk sosial sama seperti orang dewasa.


27

Aris Bintana, Hak dan Kedudukan Anak Dalam Keluarga Setelah Terjadinya
Perceraian,http://www.pdf-search-engine.com/html, diakses Mei 2012
28
Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1998, hal.30

33

Universitas Sumatera Utara

34

Pengertian anak dalam ilmu hukum terutama dalam hukum perdata tidak
diatur secara eksplisit namun pengertiannya selalu dikaitkan dengan kedewasaan.
Sedangkan dalam hal kedewasaan tidak memiliki keseragaman dalam berbagai
peraturan perundang-undangan. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang
diatur dalam Pasal 330 yaitu “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai
umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin”.29

Sedangkan dewasa menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 23
Tentang Perlindungan Anak ialah “anak merupakan seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.30 Dengan kata
lain batas kedewasaan anak berbeda-beda menurut peraturan perundang-undangan
yang mengaturnya. Di dalam hukum Islam usia dewasa ditandai dengan suatu
peristiwa biologis. Untuk kaum pria, ditandai dengan sebuah mimpi, yang lazim
disebut dengan mimpi basah. Untuk kaum wanita ditandai dengan peristiwa
menstruasi. Pada umumnya peristiwa ini dapat dirasakan atau dialami oleh pria pada
usia 15 sampai dengan 20 tahun, sedangkan untuk wanita terjadi pada usia 11 sampai
dengan 19 tahun.31 Dalam Pasal 98 ayat (1), BAB XIV KHI tentang pemeliharaan
anak disebutkan bahwa, batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa
adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum
pernah melangsungkan perkawinan. Artinya dewasa ketika anak tersebut sudah
29

Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Anak, Koperasi Praja Mukti
I, Jakarta, 2007.
31
Burhanuddin Rahmadi, Pengertian Dewasa Dan Aqil Baliqh Menurut Hukum Islam,

Lentera Nurani, Bandung, 2010, hal.18.
30

Universitas Sumatera Utara

35

berusia 21 tahun atau suadah kawin, tidak cacat atau gila dan dapat bertanggung
jawab atas dirinya.
Untuk lebih jelasnya pengertian anak dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Anak Kandung.
Anak kandung atau dapat juga dikatakan anak sah yang dilahirkan dari suatu
perkawinan yang sah menurut hukum. Dalam hukum perdata dinyatakan anak yang
sah ialah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. 32 Pada
dasarnya pengertian anak kandung atau anak sah sama menurut hukum Islam maupun
hukum perdata bahwa anak kandung ialah anak yang dilahirkan dari suatu
perkawinan yang sah. Dengan kata lain bahwa anak yang dilahirkan dalam suatu
ikatan perkawinan yang sah mempuyai status sebagai anak kandung dengan hak-hak
keperdataan yang melekat padanya serta berhak untuk memakai nama dibelakang
namanya untuk menunjukkan keturunan dan asal usulnya.33

2. Anak Angkat.
Hukum Islam telah lama mengenal adanya istilah anak angkat (tabbani)
ataupun adopsi, yang di era modern ini banyak terjadi di lingkungan sekitar kita.
Pengangkatan anak atau adopsi adalah suatu perbuatan mengambil anak orang lain ke

32

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kesindo Utama, Surabaya,

2006.
33

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata di Indonesia, Kencana Predana Media
Group, Jakarta, 2006, hal 78.

Universitas Sumatera Utara

36

dalam keluarganya sendiri sehingga demikian antara orang yang mengambil anak

timbul suatu hubungan hukum.34
Sedangkan pengertian anak angkat dalam Pasal 171 huruf h Kompilasi
Hukum Islam (KHI) ialah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya seharihari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orangtua
kandung kepada orangtua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. Adopsi dinilai
sebagai perbuatan yang layak dilakukan oleh pasangan suami-isteri yang luasnya
rezekinya, namun belum dikaruniai anak. Namun anak angkat tersebut tidak memiliki
nasab (hubungan darah) dengan orang tua angkatnya, yang berarti pula bahwa anak
angkat tersebut tidak dapat menjadi ahli waris dari harta orang tua angkatnya, karena
dasar untuk mewarisi menurut hukum Islam adalah adanya hubungan darah (nasab).
Kedudukan anak angkat dalam hukum adat memiliki beberapa kedudukan
yang berbeda-beda karena sesuai dengan adat masing-masing. Namun pada dasarnya
dalam hukum adat, kedudukan anak angkat tidak memutuskan hubungan hukum anak
dengan keluarga aslinya.
3. Anak Tiri
Selain anak sah dan anak angkat ada juga anak tiri. Anak tiri terjadi dalam
keadaan apabila salah satu pihak atau keduanya membawa anak kandung masingmasing kedalam suatu perkawinan. Apabila pihak ibu membawa anak yang masih
dibawah umur maka segala biaya hidup si anak masih menjadi tanggung jawab ayah
kandungnya sesuai dengan putusan pengadilan sampai batas umur yang ditentukan.
34


Iman Jauhari, Op.Cit, hal 7.

Universitas Sumatera Utara

37

4. Anak Luar Nikah
Anak luar nikah dalam pengertian Hukum Islam maupun Hukum Perdata
ialah anak yang hanya mempunyai hubungan nasab ataupun hubungan perdata
dengan keluarga ibunya seperti yang terdapat dalam Pasal 43 ayat (1) Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa anak
yang lahir diluar perkawinan hanya mempuyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya.
Dalam Hukum Islam yang dikategorikan sebagai anak luar nikah ialah anak
yang lahir karena perbuatan zina (diluar nikah) dari seorang perempuan dan seorang
laki-laki. Dalam Hukum Adat tidak terlalu diatur mengenai anak luar nikah. Namun
pada dasarnya pengertian anak luar nikah menurut hukum adat adalah anak yang lahir
di luar perkawinan sesuai adat masing-masing.
5. Anak Piara/Anak Asuh.
Anak asuh ini biasanya anak yang kelangsungan hidupnya maupun kebutuhan
hidupnya ditanggung ataupun dibantu oleh orangtua asuh. Anak asuh ini juga dapat

tinggal bersama orangtua asuhnya ataupun bisa juga tetap tinggal dengan orangtua
kandungnya. Jika ia tinggal dengan orangtua asuhnya maka ia tidak memiliki
hubungan hukum dengan orangtua asuhnya. Sehingga dalam hal pewarisan anak asuh
tidak mendapat warisan kecuali orangtua asuh memberikan hibah ataupun wasiat.
Hak pengasuhan anak dalam hukum Islam dikenal dengan istilah hadhanah,
yangartinya adalah hak dan kewajiban orangtua untuk memelihara dan mendidik anak

Universitas Sumatera Utara

38

mereka dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan ini mencakup masalah ekonomi,
pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak.

35

Pemeliharaan dan pengasuhan anak berlaku antara dua unsur yang menjadi rukun
dalam hukumnya yaitu pengasuh yang disebut hadhin dan anak yang diasuh yang
disebut mahdhun. Keduanya harus memiliki dan memenuhi syarat wajib agar
pengasuhannya menjadi sah.36

Adapun syarat untuk anak-anak yang akan diasuh (mahdhun) adalah:
1. Masih berada dalam usia anak-anak dan tidak dapat berdiri sendiri dalam
mengurus hidupnya.
2. Tidak dalam keadaan akal yang sempurna dan oleh karena itu tidak dapat
mengurus hidupnya sendiri meskipun ia sudah dewasa.37
Anak juga tidak bisa dianggap sebagai harta benda yang dapat diperlakukan
tidak pantas karena anak juga memiliki nilai kemanusiaan yang tidak dapat
dihilangkan dengan alasan apapun. Adapun tahap-tahap pertumbuhan dan
perkembangan anak menunjukkan bahwa anak tersebut sedang dalam proses menuju
kelengkapan-kelengkapan dasar dalam dirinya yang akan mencapai kematangan
hidup seiring dengan bertambahnya usia.
Pendidikan yang dimaksud di atas ialah pengajaran yang diberikan orangtua
kepada anaknya yang membuat anak tersebut memiliki kemampuan dan kecakapan
35

Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1998, hal. 117.
Salman Hadawi Ahmad, Hadhonah dan Hadniah Dalam Hukum Islam, Pelita Ilmu,
Surabaya, 2007, hal.20.
37
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan

Undang-undang Perkawinan Indonesia, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 328-329.
36

Universitas Sumatera Utara

39

yang sesuai dengan karakteristik anak dan dapat mengembangkan bakat-bakat yang
dimilikinya di tengah-tengah masyarakat dengan tanggungjawab moral dan agama.
Pendidikan juga berkaitan dengan cara dan fungsi dari pemeliharaaan dan perbaikan
taraf kehidupan dan menciptakan tanggung jawab didalam masyarakat. Ada beberapa
nilai pendidikan yang harus diajarkan orangtua kepada anaknya, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.

Agar senantiasa mensyukuri nikmat Allah SWT
Tidak mensyarikatkan Allah dengan sesuatu yang lain

Berbuat baik kepada orangtua sebagai bukti kesyukuran anak
Memperlakukan orangtua dengan sebaik-baiknya
Setiap perbuatan betapapun kecilnya akan mendapatkan balasan dari Allah
SWT
6. Mentaati perintah Allah SWT
7. Tidak sombong dan angkuh
8. Sederhana dalam bersikap dan bertutur kata.38
Hak asuh juga mencakup tanggung jawab, bagaimana cara mengasuh,

memberi pelayanan yang semestinya didapat oleh si anak dan juga mencukupi
kebutuhan hidupnya. Selanjutnya tanggung jawab pemeliharaan berupa pengawasan
dan pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut bersifat kontinu sampai anak
tersebut mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah mampu
berdiri sendiri.39 Berdiri sendiri dalam hal ini dimaksudkan bahwa anak tersebut telah
mampu melaksanakan kewajibannya dan mengetahui tanggung jawab di dalam
hidupnya karena anak tidaklah sama dengan orang dewasa yang mempuyai
kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh
keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih

38

39

Ibid, hal. 240
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Zahir Trading, Medan, 1975, hal. 204.

Universitas Sumatera Utara

40

mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan yang
bersifat memaksa.40
Dari uraian di atas maka jelaslah anak masih harus memerlukan bimbingan
dan pengawasan sampai ia dewasa. Anak yang dikategorikan dewasa ialah anak yang
telah mencapai usia delapan belas tahun dan belum pernah menikah. Akan tetapi anak
tersebut dapat juga dikatakan dewasa jika ia belum mencapai usia delapan belas tahun
tetapi sudah menikah.
Beberapa ulama berpendapat bahwa sesungguhnya hak merawat, mendidik
anak adalah suatu kewajiban, akan tetapi terdapat juga perbedaan persepsi yang
mengatakan bahwa pengasuhan anak lebih diutamakan kepada ibunya dan menjadi
hak si ibu pula untuk menggugurkan haknya. Hal tersebut jarang terjadi karena pada
umumnya ibu sangat menginginkan anaknya berada dalam pengasuhannya terutama
jika terjadi perceraian. Hak pengasuhan ibu akan berakhir dengan sendirinya apabila
si ibu mengalami gangguan mental yang mengakibatkan ia tidak dapat mengasuh
anaknya ataupun si ibu meninggal dunia.41

B. Pengertian Hadhanah dan Syarat Menjadi Hadhinah (Pengasuh)
Pemeliharaan anak merupakan tanggung jawab kedua orangtuanya (suami
istri). Untuk masalah biaya pemeliharaan dan pendidikan anak merupakan tanggung
jawab ayahnya (suami), sedangkan hak memelihara terletak di tangan istri seperti
halnya firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi:
40
41

Sumardi Suryabrata, Pengembangan Alat Ukur Psikologis, Yogyakarta, 2000, hal. 3.
Ali M. Daud, Asas-Asas Hukum Islam, Rajawali Press, Jakarta, 2006, hal.37.

Universitas Sumatera Utara

41

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusunan. Dan kewajiban ayah
adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.
Seseorang tidak dibebani kecuali menurut kadar kesanggupannya. Janganlah
seorang ibu menderita sengsara karena anak-anaknya dan seorang ayah karena
anak-anaknya. Dan warispun berkewajiban demikian….42
Ayat di atas menganjurkan kedua orangtua untuk memperhatikan anakanaknya. Jika istri bertugas menyusui, merawat dan mendidik anak-anaknya, maka
kewajiban suami, selain menjadi kepala keluarga / imam dalam rumah tangganya,
juga berkewajiban memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya.
Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab mengabaikan
berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Dalam
hal pemeliharaan anak (hadhanah), nabi menunjuk ibulah yang paling berhak
memelihara anak sesuai dengan sabdanya :
“Dari Abdullah bin Umar r.a, bahwa seorang perempuan bertanya, “Ya
Rasulullah, sesungguhnya anakku ini adalah perutku yang mengandungnya
dan susuku yang menjadi minumannya, dan pengkuanku yang memeluknya,
sedang ayahnya telah menceraikan aku dan ia mau mengambilnya dariku”,
lalu Rasullah SAW bersabda kepadanya. “Engkau yang lebih banyak berhak
dengan anak itu, selama engkau belum menikah”. (HR. Ahmad, Abu Daud,
Baihaqi, Hakim dan dia mensahihkannya). 43
Kandungan dari hadist di atas adalah apabila terjadi perceraian antara suami
istri dan meninggalkan anak, selama ibunya belum menikah lagi, maka ibu
diutamakan untuk mengasuhnya, sebab ibu lebih mengetahui dan lebih mampu
mendidik anak-anaknya.

42

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, Toha Putra, Semarang, 1995, hal. 57
Imam Ahmad, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Bairut, Dar Al Kutub Al Ilmiah, Juz 2,
1993, hal. 246
43

Universitas Sumatera Utara

42

Bagi seorang hadhinah (pengasuh) yang menangani dan menyelenggarakan
kepentingan anak kecil yang diasuhnya yaitu adanya kecukupan dan kecakapan yang
memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat tertentu ini tidak dipenuhi satu
saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhinah-nya.
Untuk lebih jelas syarat-syarat hadhinah di atas adalah sebagai berikut :
1.

Berakal sehat, jadi bagi orang yang kurang akal atau gila, keduanya tidak sah
dan tidak boleh menangani hadhinah. Karena mereka tidak boleh mengurusi
dirinya sendiri, sebab orang yang kurang akal dan gila tentulah ia tidak dapat
mengurusi dirinya dan orang lain (dalam hal ini anak).

2.

Dewasa (baligh), bagi anak kecil tidak ada hak untuk menjadi hadhinah
(pengasuh), karena ia sendiri masih membutuhkan wali, sadangkan hadhinah
seperti wali dalam perkawinan maupun harta benda. Adapun untuk mengetahui
orang yang sudah sampai umur dewasa itu dapat diketahui dengan salah satu
tanda sebagai berikut :
a. Telah berumur 15 tahun
b. Bermimpi bersetubuh
c. Mulai keluar haid bagi perempuan
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang disebut dengan anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Dari rumusan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Universitas Sumatera Utara

43

Perlindungan Anak tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa yang disebut
dengan dewasa adalah seseorang yang telah berusia 18 (delapanbelas) tahun ke
atas.
3.

Mampu mendidik, tidak boleh menjadi pengasuh bagi orang yang buta atau
rabun, sakit menular atau sakit yang melemahkan jasmaninya untuk mengurus
kepentingannya (anak), tidak berusia lanjut yang bahkan ia sendiri perlu diurus,
bukan orang yang mengabaikan urusan rumah tangga sehingga merugikan anak
kecil yang diasuh atau bukan orang yang ditinggal bersama orang yang sakit
menular atau bersama orang yang suka marah kepada anak-anak, sekalipun
kerabat anak kecil itu sendiri, sehingga akibat dari kemarahannya itu tidak bisa
memperhatikan kepentingan anak secara sempurna dan menciptakan suasana
tidak baik bahkan bisa-bisa sifat yang semacam itu tertanam dalam sifat anak. 44

4.

Amanah dan berbudi, maksudnya adalah dapat dipercaya pemeliharaan dan
pendidikannya terhadap anak yang dipelihara. Oleh sebab itu bagi hadhinah
(pengasuh) yang khianat tidak boleh diberi beban untuk memelihara anak. Sesuai
dengan firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengkhianati Allah dan Rasul-Nya (Muhammad SAW) dan janganlah kamu
mengkhianati amanat-amanat (anak) yang dipercayai kepadamu, sedang kamu
mengetahui”. (Q.S al-Anfal 27)

44

Imam Sudiyat, Hukum Adat, Liberti, Yogyakarta, 1981, hal. 142-143

Universitas Sumatera Utara

44

Amanah ialah menahan diri dari melakukan sesuatu yang tidak halal dan tidak
terpuji. Dengan demikian jika seorang tidak memiliki jiwa amanah maka ia tidak
memiliki hak untuk memelihara atau mengasuh anak.45
5. Menurut Hukum Islam, anak kecil muslim tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang
non muslim, sebab hadhinah merupakan masalah perwalian. Sedangkan Allah
SWT tidak memperbolehkan orang mukmin di bawah perwalian orang kafir
sebagaimana firman Allah yaitu :
“…Janganlah orang-orang mu’min menjadikan orang-orang kafir sebagai
wali dengan meninggalkan orag-orang mu’min. Barang siapa berbuat
demikian, niscaya dia telah berlepas diri dari Allah dalam hal apapun, kecuali
jika kalian berpura-pura (dengan lisan, bukan dengan niat dan hati) kepada
mereka. (QS Ali’Imran ayat 28).
Apabila hadhanah diberikan kepada orang kafir ditakutkan bahwa anak kecil
yang diasuhnya itu akan dibesarkan dengan agama pengasuhnya, dididik dengan
agamanya. Hal ini merupakan bahaya yang paling besar bagi anak tersebut.
Diriwayatkan dalam sebuah hadist : “Keterangan dari Abu Hurairah Radliyallah
Anha Nabi Muhammad SAW bersabda : Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci,
sehingga lisannya pandai berbicara, ibu ayahnya yang akan membentuk dan
menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi” (H.R. Abu Ya’la Tabrani dan Baihaqi)46
“Dari rafi’ bin Sinan R.A bahwasanya ia masuk Islam akan tetapi istrinya
enggan masuk Islam, maka Rasulullah SAW mendudukkan ibu di satu pojok
dan ayah di satu pokok dan anak didudukkan diantara keduanya, lalu anak itu
condong kepada ibu, maka Nabi bersabda wahai Tuhan berilah Hidayah

45
46

Huzaimah Tahidu Yangga, Fiqih Anak, Al-Mawardi Prima,Cet. I Jakarta, 2004
Akhmad Al-Hasmi, Mukhtar Al-Hadist Annabawi, Beirut : Darul Alamiyah, tanpa tahun,

hal. 119

Universitas Sumatera Utara

45

kepadanya, lalu anak itu condong kepada ayahnya, lalu ayah mengambil anak
itu”.47
Berdasarkan nash-nash di atas dapat ditarik suatu pemahaman bahwa seorang
hadhinah yang kafir tidak boleh memelihara anak Muslim, karena masalah agama di
sini sangat penting.
6.

Keadaan wanita tersebut tidak bersuami
“Dari Abdullah bin Amr, bahwa seorang perempuan bertanya : Ya Rasullah,
sesungguhnya bagi anak laki-lakiku ini perutkulah yang menjadi bejananya,
lambungku yang menjadi pelindungnya dan air susuku yang menjadi
minumannya. Tetapi tiba-tiba ayahnya merasa berhak untuk mengambilnya
dariku. Maka Nabi bersabda : engkau lebih berhak terhadapnya, selama
engkau belum kawin dengan orang lain”48
Hadist ini berkenaan dengan si ibu tersebut apabila menikah dengan laki-laki

lain. Tetapi kalau kawin dengan laki-laki lain yang masih dekat kerabatnya dengan si
anak kecil tersebut, seperti paman dari ayahnya, maka hadhanahnya tidak hilang,
sebab paman itu masih berhak atas masalah hadhanah. Dan juga karena hubungannya
dengan kekerabatannnya dengan anak kecil tersebut sehingga dengan begitu akan
bisa bersikap mengasihi serta memperhatikan haknya, maka akan terjalinnya
hubungan yang sempurna di dalam menjaga si anak kecil itu, antara ibu dengan suami
yang baru.
7.

Merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk urusan-urusan dengan
tuannya, sehingga ia tidak ada kesempatan untuk mengasuh anak kecil.
Kekhawatiran ketika budak diperbolehkan mengasuh anak kecil, maka yang
47
48

Abu Bakar Muhammad, Terjemahan Subulus Salam, Al Ikhlas, Surabaya, hal. 825
Muhammad Rifai, dkk, Terjemahan Bulughul Maram, Wicaksana, Semarang, 1994, hal.

690

Universitas Sumatera Utara

46

terjadi adalah terlantarnya anak asuh karena bagaimanapun sang budak harus
bekerja dan mengabdi pada tuannya. Ketidakoptimalan pengasuhan terhadap
anak, akan mengakibatkan tidak sempurnanya pemeliharaan atau asuhan
sebagaimana mestinya
Sebagaimana telah diketahui bahwa yang dimaksud dengan hadhanah adalah
kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa dan mampu
berdiri sendiri. Dari pengertian hadhanah tersebut telah dapat dipahami bahwa masa
atau batas umur hadhanah adalah bermula dari saat ia lahir, yaitu saat di mana atas
diri seorang anak mulai memerlukan pemeliharaan, perawatan maupun pendidikan,
kemudian berakhir bila si anak tersebut telah dewasa dan dapat berdiri sendiri serta
mampu mengurus sendiri kebutuhan jasmani maupun rohaninya.
Ketentuan yang jelas mengenai batas berakhirnya masa hadhanah tidak ada,
hanya saja ukuran yang dipakai adalah tamyiz dan kemampuan untuk berdiri sendiri.
Jika anak telah dapat membedakan mana sebaiknya yang perlu dilaksanakan dan
mana yang perlu ditinggalkan, tidak membutuhkan pelayanan perempuan dan dapat
memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri, maka masa hadhanah adalah sudah habis
atau selesai.
Menurut Ulama’ Syafi’iyyah:
“Masa pemeliharaan anak (hadhanah) tidak ditentukan, akan tetapi anak kecil
tetap pada ibunya sampai tamyiz dan mampu memilih salah satu dari kedua
orangtuanya. Maka ketika ia sampai pada usia dapat memilih, ia disuruh
memilih antara ibu atau ayahnya, apabila anak laki-laki memilih ibu, maka ia
tinggal bersama ibunya di malam hari dan pada ayahnya di siang hari. Yang
demikian itu agar terjamin pendidikannya. Apabila anak perempuan memilih

Universitas Sumatera Utara

47

ibunya maka baginya tinggal bersama ibunya di malam hari maupun siang
hari. Apabila anak kecil itu memilih tinggal bersama ayah ibunya, maka
diundi di antara mereka. Dan apabil ia diam, tidak memilih salah satu dari
mereka maka ia berada pada ibunya”.49
Menurut Ulama’ Hanafiyyah :
“Masa hadhanah itu tujuh tahun bagi anak laki-laki dan sembilan tahun bagi
anak perempuan
Menurut Ulama’ Malikiyyah:
“Masa hadhanah itu mulai anak lahir sampai baligh dan bagi anak perempuan
sampai ia kawin”.
Menurut Ulama’ Hanabillah :
“Masa hadhanah itu tujuh tahun bagi anak laki-laki dan anak perempuan dan
sesudahnya anak itu di suruh memilih di antara kedua orang tuanya. Maka ia
bersama orang yang ia pilih dari merdeka.50
Dari pendapat beberapa ulama’ di atas dapat dikatakan bahwa masa hadhanah
itu mulai sejak lahir dan berakhir apabila anak sudah dewasa dan mampu berdiri
sendiri serta mampu mengurusi sendiri kebutuhan pokoknya. Jadi dalam hal ini
adanya perbedaan pendapat hanyalah mengenai batasan dewasa (mampu berdiri
sendiri) dan batasan usia tamyiz. Mereka berbeda pendapat mengenai hal ini karena
memang

tingkat kedewasaan dan kemampuan berdiri sendiri serta usia tamyiz

semestinya tidak bisa ditentukan secara pasti dengan menggunakan standar usia,

49

Muhammad Jawad Mugniyyah, Al-Akhwal Al-Syahsiyyah, Dar Al-Ilmi Al-Malayiyyah,
Bairut, tanpa tahun, hal. 95
50
Rusnandar Maqmun, Ilmu Fiqih, Pustaka Al-Haura, Bandung, 2012, hal.25.

Universitas Sumatera Utara

48

mengingat banyaknya faktor yang dapat mempengaruhinya, seperti pendidikan,
kebiasaan, lingkungan dan sebagainya.
Pendapat tersebut

adalah bahwa dalam hal terjadinya perceraian, maka

hadhanah terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Sebelum tamyiz, dimana bagi seorang anak ibunyalah yang berhak untuk
menangani masalah hadhanah selama ibunya belum menikah dengan orang
lain. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Dari Abdullah bin Umar RA,
sesungguhnya seorang perempuan berkata : Ya Rasulullah sesungguhnya anak
ini di dalam perutku ia bertempat, dari putingku ia minum, dan ia selalu ku
rawat dan berkumpul denganku. Dan sesungguhnya ayahnya telah
menceraikanku dan ia menghendaki akan mengambil anak itu dariku, maka
Rasul berkata kepada perempuan itu : engkau lebih berhak selagi engkau
belum menikah lagi (H.R Ahmad, Abu Dawud dan disahihkan oleh hakim).
2. Setelah anak tersebut tamyiz sampai ia dewasa, atau mampu berdiri sendiri.
Dalam usia tamyiz itulah bagi diri si anak mempunyai hak kebebasan untuk
memilih antara ikut ayah atau ibunya, karena dalam usia tersebut, anak sudah
mempunyai kecenderungan untuk memilih siapa yang ia lebih senangi. Hal
tersebut berdasarkan apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW : “Dari
ABi Hurairah R.A sesungguhnya seorang perempuan berkata : “Ya,
Rasulullah sesungguhnya suamiku menghendaki bepergian bersama anakku.
Dan benar-benar ia memberi kemanfaatan bagiku mengambil air dari

Universitas Sumatera Utara

49

sumurnya Abi’ Inabah, maka datang suaminya. Nabi bersabda : hai anak…ini
ayahmu dan ini ibumu, maka peganglah dengan tangan mana yang kau maui,
maka pergilah ibu dengan anak tersebut” (H.R Ahmad dan Imam empat
disahihkan oleh Tirmidzi)51
Dari kedua hadist tersebut dapat dikatakan bahwa masa hadhanah
(pemeliharaan anak) yang belum mumayyiz menjadi kewajiban bagi ibu. Apabila
anak tadi sudah mumayyiz, maka diberi kebebasan untuk memilih diantara keduanya
(ayah/ibu), siapa baginya yang merasa dapat memelihara, memberi keamanan, dan
mengayomi baginya (anak).
Dalam penelitian ini kedua orangtua dari anak tersebut telah meninggal dunia,
dan permasalahannya adalah bahwa keluarga pihak perempuan (nenek) dan keluarga
pihak laki-laki (paman) saling berebut terhadap anak-anak yang telah menjadi yatim
piatu tersebut. Dalam hal ayah dan ibu dari anak-anak tersebut telah meninggal dunia
maka ada ketentuan yang harus diikuti siapa yang paling berhak untuk menjadi
hadhinah terhadap anak-anak yang telah ditinggal oleh karena kedua orangtuanya
telah meninggal dunia. Hadhinah dan hadhanah terhadap anak-anak yang telah
ditinggal oleh kedua orangtuanya karena telah meninggal dunia menjadi hak dari
keluarga kedua orangtua tersebut. Yang memiliki hak secara berurutan sesuai dengan
kedudukan keluarga dari anak-anak tersebut untuk memperoleh hak asuhnya.
Pengasuhan disamping hak dari anak asuh juga merupakan hak dari pengasuh.
Anak asuh berhak mendapatkan pengasuhan dari pengasuhnya karena ia memerlukan
51

Ismail MS, Pengantar Ilmu hadits, Angkasa, Bandung, 2006, hal.32.

Universitas Sumatera Utara

50

pemeliharaan, bimbingan, petunjuk, pelajaran dan sebagainya yang sangat diperlukan
untuk menghadapi kehidupan terutama sebagai seorang muslim pada masa yang akan
datang. Demikian pula halnya pengasuh ia berhak atas pengasuhan anak asuhnya
karena ia termasuk orang yang menginginkan kebahagiaan dan kemaslahatan
anaknya pada masa yang akan datang. Sebagian ahli figh berpendapat bahwa
pengasuhan anak yang paling baik adalah apabila dilaksanakan oleh kedua
orangtuanya yang masih terikat tali perkawinan. 52
Tugas mengasuh lebih diutamakan pada ibunya sampai anak itu mumayyiz.53
Setelah anak mumayyiz maka anak tersebut diserahkan kepada pihak yang lebih
mampu, baik dari segi ekonomi maupun dari segi pendidikan diantara keduanya.
Jikalau keduanya mempunyai kemampuan yang sama maka anak itu diberi hak untuk
memilih yang mana diantara kedua, ayah dan ibunya yang ia sukai untuk tinggal
bersama. Atas dasar inilah, maka para ahli fiqh di atas memperlihatkan bahwa kerabat
ibu lebih didahulukan dari pada kerabat ayah dalam menangani masalah hadhanah.
Berikut ini pendapat beberapa ahli fiqh mengenai urutan orang-orang yang berhak
dalam hadhanah, dengan ketentuan apabila orang yang menempati urutan terdahulu
terdapat suatu halangan yang mencegahnya dari hak hadhanah, maka hak tersebut
berpindah kepada orang yang menempati urutan berikutnya. Dalam hal ini halangan
yang dimaksud adalah bahwa hak asuh (hadhanah) dari anak-anak tersebut tidak

52

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Cet I,
Jakarta : 1974, hal. 31
53
Muhammad Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, PT Hidakarya Agam, Jakarta, 1957,
hal. 146

Universitas Sumatera Utara

51

dapat lagi dilaksanakan oleh kedua orangtuanya karena telah meninggal dunia. Oleh
karena itu apabila kedua orang tua dari anak tersebut telah meninggal dunia maka
hadhanah dari anak-anak tersebut secara berurutan dapat dialihkan / beralih kepada
orang yang menempati urutan berikutnya yang berhak atas hak asuh anak tersebut.
Adapun urutan dari hak asuh dan pengasuh atas anak-anak yang telah ditinggalkan
oleh kedua ayah ibunya karena meninggal dunia adalah sebagai berikut :
Menurut Ulama’ Syafi’iyyah :
“Ibu, kemudian ibunya ibu, apabila tidak ada, dengan syarat ada hubungan
waris, kemudian ayah, kemudian ibunya ayah, kemudian ibunya ibu, apabila
tidak ada dengan syarat ada hubungan waris kemudian kerabat dekat dari arah
perempuan, kemudian kerabat dekat dari arah laki-laki”.
Menurut Ulama’ Hanafiyyah :
“Pindahnya hak hadhanah dari ibu kepada ibunya, kemudian ibunya ayah,
kemudian saudara perempuan sekandung, kemudian saudara perempuan
seibu, kemudian saudara perempuan seayah, kemudian anak perempuan
saudara perempuan sekandung, kemudian anak perempuan saudara
perempuan seibu demikian itu hingga sampai kepada bibi (darai ibu) dan bibi
(dari ayah).
Menurut Ulama’ Malikiyyah :
“Pindahnya (hak hadhanah) dari ibu kepada ibunya, jika tidak ada kemudian
bibi dari ibu sekandung kemudian bibi dari ibu yang seibu, kemudian bibinya
ibu (dari arah ibu), kemudian bibinya ibu (dari ayah), kemudian ibu ibunya
ayah, kemudian ibunya ayahnya ayah dan seterusnya.54
Uraian diatas adalah pendapat beberapa ulama mengenai urut-urutan orang
yang berhak dalam hadhanah (mengasuh anak). Sayyid Syabiq dalam bukunya Fiqh
Sunnah menambahkan mengenai anak yang tidak mempunyai kerabat satupun, yaitu :
“Maka apabila sudah tidak ada satupun kerabatnya, maka hakim bertanggung
jawab untuk menetapkan siapakah orang yang patut menangani hadhanah
ini”.
54

Ahmad Muhammad, Ulumul Hadits, Pustaka Setia, Bandung, 2008, hal15.

Universitas Sumatera Utara

52

C. Penyebab Pembatalan Hadhanah (Hak Asuh Anak)
Sebagaimana yang telah diterangkan dalam uraian di atas bahwa hadhanah
(hak asuh anak) yang paling berhak diberikan kepada kedua orangtua yaitu ibu dan
ayah kandungnya. Apabila ibu kandung berhalangan karena sesuatu hal (dicabut hak
asuhnya) oleh pengadilan maka hak asuh anak tersebut jatuh kepada ayah
kandungnya. Apabila ayah kandungnya berhalangan karena dicabut hak asuhnya oleh
pengadilan maka hak asuh atas anak secara berurutan menurut Ulama’ Syafi’iyyah
diberikan kepada : 55
1. Nenek (Ibu dari ibu kandung anak tersebut)
2. Nenek (Ibu dari ayah kandung anak tersebut)
3. Paman (abang atau adik kandung dari ibu kandung anak tersebut)
4. Paman (abang atau adik kandung dari ayah kandung anak tersebut)
Dari uraian tersebut di atas maka apabila ayah atau ibu kandung dari anak
tersebut berhalangan tetap (dicabut hak asuhnya) oleh pengadilan atau telah
meninggal dunia maka yang paling berhak pertama sekali untuk memperoleh hak
asuh atas anak tersebut adalah nenek (ibu dari ibu kandung anak tersebut). Apabila
nenek (ibu dari ibu kandung anak tersebut) tidak ada, telah dicabut hak asuhnya oleh
pengadilan atau meninggal dunia maka hak asuh atas anak-anak tersebut beralih
kepada nenek (ibu dari ayah kandung anak tersebut). Apabila nenek (ibu dari ayah
kandung anak tersebut) tidak ada, dicabut hak asuhnya oleh pengadilan atau telah

55

Umar Syahdana, Hak Pengasuhan Anak Menurut Hukum Islam Ditinjau Dari Hukum
Islam, Cahaya Ilmu, Surabaya, 2006, hal. 21

Universitas Sumatera Utara

53

meninggal dunia maka hak asuh atas anak tersebut beralih kepada paman (abang atau
adik kandung dari ibu kandung anak tersebut). Apabila paman (abang atau adik
kandung dari ibu kandung anak tersebut) tidak ada, dicabut hak asuhnya oleh
pengadilan atau telah meninggal dunia maka hak asuh atas anak tersebut beralih
kepada paman (abang atau adik kandung dari ayah kandung anak tersebut). Dalam
hal hak asuh atas anak tersebut telah dialihkan tidak berdasarkan urutan hak asuh atas
anak sebagaimana telah diuraikan di atas, maka pihak yang merasa lebih berhak dapat
mengajukan permohonan kepada pihak yang telah memperoleh hak asuh atas anakanak tersebut untuk mengembalikan anak-anak tersebut kepada pihaknya yang
berdasarkan ketentuan lebih berhak dalam mengurus / mengasuh anak-anak yang
ditinggalkan oleh kedua orangtuanya tersebut.
Permohonan untuk meminta kembali anak-anak tersebut dari pihak keluarga
yang lain untuk dikembalikan kepada pihak keluarga yang lebih berhak atas anakanak tersebut dapat dilakukan terlebih dahulu dengan cara musyawarah mufakat
secara

kekeluargaan.

Musyawarah

mufakat

secara

kekeluargaan

ini

lebih

mengedepankan ikatan persaudaraan (silaturahmi) antara kedua keluarga suami istri
yang telah meninggal dunia tersebut. Sehingga kemungkinan besar dapat ditempuh
solusi yang lebih baik tanpa harus menempuh jalur tuntutan ke pengadilan (litigasi).
Dalam kasus yang terdapat dalam penelitian ini anak-anak tersebut telah
berada di dalam pengasuhan dari keluarga ayah kandung anak tersebut yaitu paman
(adik dari ayah kandung anak tersebut). Paman tersebut memperoleh hak asuh atas

Universitas Sumatera Utara

54

anak-anak

itu

melalui

keputusan

Mahkamah

Syariah

Meulaboh

Nomor

25/Pdt.P/2005/M.Sy-Mbo, yang menyatakan bahwa ketiga anak-anak tersebut berada
dibawah pengasuhan Tuan BG yang merupakan paman (adik dari ayah kandung anak
tersebut) sampai dengan batas umur yang dianggap dewasa dan bertanggung jawab
atas segala biaya pendidikan dan semua kehidupan pokok si anak dan juga mengatur
harta bendanya. Keputusan Mahkamah Syariah Meulaboh di atas telah bertentangan
dengan ketentuan yang telah digariskan oleh Ulama’ Syafi’iyyah, dimana keluarga
yang paling berhak untuk memperoleh hak asuh atas anak-anak tersebut, selain dari
ayah dan ibu kadungnya adalah nenek (ibu kandung dari ibu anak-anak tersebut).
Sedangkan keputusan Mahkamah Syariah Meulaboh telah menetapkan bahwa paman
(abang kandung dari ayah anak-anak tersebut) yang memperoleh hak asuh dari anakanak tersebut. Selain bertentangan dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh
Ulama’ Syafi’iyyah keputusan Mahkamah Syariah Meulaboh tersebut juga
bertentangan dengan prinsip hadhanah. Hadhanah pada prinsipnya

adalah

merupakan hak pengasuhan atas anak-anak dari orangtua yang telah meninggal dunia,
baik mumayyiz (di atas 12 tahun) maupun yang belum mumayyiz (masih belum
berumur 12 tahun), yang seharusnya pengasuh tersebut berada dekat dengan anakanak yang diasuhnya, memberikan perhatian dan pendidikan yang cukup kepada
mereka dan berada satu tempat tinggal bersama mereka.
Paman (abang kandung dari ayah anak-anak tersebut)

tidak berada satu

tempat tinggal dengan anak-anak yang diasuhnya, karena pengasuh berada di

Universitas Sumatera Utara

55

Meulaboh sedangkan anak-anak yang diasuhnya berada di kota Medan. Jarak yang
begitu

jauh antara

Meulaboh dengan

Medan

menjadi penghalang untuk

dilaksanakannya prinsip hadhanah (hak asuh atas anak) yang baik dan benar
berdasarkan ketentuan / syariat yang terdapat dalam Islam. Paman (pengasuh anak
tersebut) dengan jarak tempat tinggal yang begitu jauh tidak mungkin dapat
melakukan bimbingan, didikan, perhatian yang sempurna terhadap anak-anak yang
diasuhnya karena tempat tinggal pengasuh berjarak cukup jauh dengan tempat tinggal
anak-anak yang diasuhnya. Sedangkan dalam prinsip hadhanah yang paling
diutamakan adalah bagaimana memberikan perhatian, pendidikan dan kasih sayang
yang seutuhnya dari pengasuh kepada anak-anak yang diasuhnya. Oleh karena itu
ketetapan Mahkamah Syarih Meulaboh tersebut dipandang sebagai penyimpangan
dari asas hadhanah sesuai dengan ketentuan dan syariat Islam.
Dengan terjadinya penyimpangan atas prinsip hadhanah berdasarkan syariat
Islam maka terbuka kemungkinan untuk dilakukannya pengalihan hak asuh atas anak
tersebut kepada pihak yang lebih berhak atas anak-anak tersebut. Nenek (ibu kandung
dari ibu anak-anak tersebut) sebagai keluarga yang paling berhak atas anak-anak
tersebut berdasarkan ketentuan yang digariskan oleh Ulama’ Syafi’iyyah mengajukan
gugatan ke Pengadilan Agama Medan dalam upaya mengalihkan hak asuh atas anak
tersebut dari paman (abang dari ayah anak-anak tersebut) kepada nenek (ibu kandung
dari ibu anak-anak tersebut) dengan alasan bahwa paman (pengasuh) bertempat
tinggal tidak sama dengan tempat tinggal anak-anak yang diasuhnya tersebut

Universitas Sumatera Utara

56

sehingga kemungkinan besar prinsip hadhanah tidak dapat dilaksanakan dengan baik
dan benar oleh paman tersebut.
Penyebab pembatalan hadhanah (hak asuh atas anak dari ayah dan ibu yang
telah meninggal dunia) adalah sebagai berikut :
1. Hadhanah (hak asuh atas anak) tersebut tidak diberikan kepada keluarga yang
paling berhak berdasarkan urutan yang telah ditetapkan oleh ketentuan dan
syariat yang terdapat dalam Islam tetapi diberikan kepada pihak keluarga yang
urutan haknya berada dibawah urutan keluarga yang lebih berhak.
2. Pengasuh yang diberikan hak asuh anak-anak tersebut tidak mempunyai
waktu dan tidak cakap untuk melaksanakan hadhanah dengan baik dan benar
meskipun pengasuh tersebut memiliki hak untuk mengasuh anak-anak dari
orangtua yang telah meninggal dunia tersebut.
3.

Anak-anak yang berada dibawah pengasuhan dari pengasuh (hadhinah) yang
telah ditunjuk merasa tidak nyaman dalam pengasuhan dari pengasuh tersebut,
meskipun pengasuh (hadhinah) memiliki hak dalam mengasuh anak-anak
tersebut.

4. Anak-anak yang mumayyiz (sudah berumur 12 tahun ke atas) memiliki hak
untuk memilih sendiri pengasuhnya (hadhinah) meskipun kepadanya telah
ditunjuk pengasuh yang lebih berhak atas hak asuh terhadap dirinya.
Pengalihan pengasuh yang dipilih oleh mumayyiz (anak-anak yang sudah

Universitas Sumatera Utara

57

berumur 12 tahun ke atas) tersebut merupakan hak yang harus dipatuhi sesuai
ketentuan dan syariat yang terdapat dalam Islam.
5. Penetapan pengasuh (hadhinah) yang telah ditunjuk untuk mengasuh anakanak dari ayah dan ibu yang telah meninggal dunia tersebut dapat saja
dibatalkan penetapannya oleh pengadilan apabila dipandang pengasuh
tersebut tidak cakap / tidak layak karena sifat dan karakternya sehingga
mengakibatkan anak-anak yang berada dalam asuhannya tidak merasa
nyaman dan tentram.

Universitas Sumatera Utara