Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Hak Asuh Anak Oleh Pengadilan Agama (Studi Putusan Pengadilan Agama No. 50 PDT.G 2006 PA.Mdn) Chapter III V

58

BAB III
AKIBAT HUKUM DARI PENGALIHAN HAK ASUH ANAK AKIBAT
PUTUSAN PENGADILAN AGAMA No. 50/Pdt.G/2006/PA.Mdn

A. Kasus Posisi Putusan Pengadilam Agama No. 50/Pdt.G/2006/PA.Mdn
Kasus ini berawal dari telah ditetapkannya BG sebagai pengasuh anak-anak
dari orangtua bernama KC dan MI yang telah meninggal dunia. Anak-anak tersebut
bernama NR binti MI , perempuan, lahir tanggal 13 Nopember 1992, MRM bin MI ,
laki-laki, lahir tanggal 22 Pebruari 1994 dan MF bin MI, laki-laki, lahir tanggal 22
Agustus 1997. Penetapan BG sebagai pengasuh dari ketiga anak-anak tersebut di atas
ditetapkan

melalui

putusan

Mahkamah

Syariah


Meulaboh

Nomor

25/Pdt.P/2005/M.Sy-Mbo. Penetapan Mahkamah Syariah tersebut digugat oleh ibu
kandung dari KC yang bernama Hj. NS yang juga merupakan nenek dari ketiga anakanak tersebut di atas. Sedangkan BG adalah abang kandung dari MI yang merupakan
ayah dari ketiga anak tersebut di atas. Tentang duduk bahwa perkara penggugat
dalam surat gugatannya tertanggal 23 Januari 2006 telah mengajukan gugatan
pencabutan dan penunjukan wali yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan
Agama Medan tanggal 23 Januari 2006 dalam register perkara gugatan nomor
50/Pdt.G/2006/PA.Mdn yang isinya mengemukakan posita dan petitum sebagai
berikut :

58

Universitas Sumatera Utara

59


1. Bahwa Penggugat adalah ibu kandung dari KC yang telah meninggal dunia
pada tanggal 22 Agustus 1997, atau nenek kandung dari ketiga orang anakanak KC
2. Bahwa semasa hidupnya KC telah menikah dengan seorang laki-laki bernama
MI yang juga telah meninggal dunia pada tanggal 9 Agustus 2004 di
Kabupaten Pidie dan selamamasa perkawinan mereka telah dikaruniai anak 3
(tiga) orang masing-masing bernama: NR binti MI, Perempuan, Lahir tanggal
13 Nopember 1992, serta MRM bin

MI.,

Laki-laki,

Lahir tanggal 22

Pebruari 1994, dan MF Idris bin MI, Laki-laki, Lahir tanggal 22 Agustus
1997
3. Bahwa KC semasa hidupnya bekerja sebagai Pegawai
(PNS)

pada


SMA

Negeri

II

Negeri

Meulaboh, sedangkan

Sipil

MI semasa

hidupnya bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Departemen
Pertanian di Meulaboh
4. Bahwa setelah

KC dan MI, meninggal dunia, maka seyogyanya


tanggungjawab atas pengasuhan dan pemeliharaan anak-anak tersebut
berpindah

kepada

Penggugat

sebagai

nenek

kandungnya,

sekaligus

bertanggungjawab pula atas pengurusan pensiunan dan harta-harta yang
ditinggalkan oleh KC dan MI
5. Bahwa oleh karena tiga anak dari KC dan MI tersebut belum mencapai
usia dewasa dan belum cakap untuk bertindak di depan hukum sehingga


Universitas Sumatera Utara

60

diperiukan adanya wali yang akan bertanggungjawab mengurus diri
dan hartanya;
6. Bahwa demi untuk kepentingan pengurusan harta-harta dan pengurusan
TASPEN dan Pensiunan yang ditinggalkan oleh Almarhumah KC binti MC
dan Almarhum MI bin MG tersebut, maka Penggugat memohon agar
Penggugat ditetapkan dan ditunjuk sebagai wali dari tiga anak KC dan MI
yang masing-masing bernama: NR binti MI, Perempuan, Lahir tanggal 13
Nopember 1992, dan MRM bin MI, Laki-laki, Lahir tanggal 22Pebruari 1994,
serta MFI dris bin MI, Laki-laki Lahir tanggal 22 Agustus 1997
7. Bahwa ternyata Tergugat telah bermohon ke Mahkamah Syar'iyah Meulaboh
untuk ditetapkan sebagai pemegang hak perwalian atas anak-anak KC dan MI.
Dan Mahkamah Syar'iyah

Meulaboh


telah

mengabulkan

permohonan

Penggugat dan mengeluarkan Penetapan Nomor: 25/ Pdt.P / 2005 / M.Sy-Mbo
tanggal 5 September 2005
8. Banwa oleh karena tiga anak-anak KC dan MI tersebut tidak pernah ikut
bersama Tergugat, sehingga Tergugat tidak mungkin dapat melaksanakan
kewajibannya dan bahkan saat sekarang ini tiga anak tersebut tinggal bersama
dengan Penggugat, dan kelangsungan pendidikan dan pengasuhannya, maka
dengan demikian wajar jika Penggugat bermohon kepadu Majelis Hakim
kiranya dapat mencabut hak perwalian Tergugat dan selanjutnya menetapkan

Universitas Sumatera Utara

61

Penggugat sebagai pemegang hak perwalian dari 3 (tiga) orang anak KC dan

MI tersebut
9. Bahwa berdasarkan dalil-dalil dan alasan tersebut di atas, maka Penggugat
memohon kepada Bapak Ketua Pengadilan Agama Medan cq. Majelis Hakim
yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk berkenan menetapkan hari
sidang, memanggil Penggugat dan Tergugat guna disidangkan dan seianjutnya
menjatuhkan Putusan yang bunyi sebagai berikut:
a. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya
b. Mencabut hak perwalian Tergugat (BG ) terhadap anak-anak KCdan MI .
yang masing-masing bernama NR binti MI, Perempuan, Lahir tanggal 13
Nopember 1992, MRM bin MI. Laki-laki. Lahir tanggal 22 Pebruari 1994,
dan MFI dris bin MI. Laki-laki, Lahir tanggal 22 Agustus 1997 sesuai
dengan

Penetapan

Mahkamah

Syar'iyah

Meulaboh


Nomor:

25/Pdt.P/2005WI.Sy-Mbo tanggal 5 September 2005
c. Menetapkan dan menunjuk Penggugat sebagai wali dari anak-anak KC
dan MI yang masing-masing bernama; NR binti MI Perempuan, Lahir
tanggal 13 Nopember 1992, MRM bin MI , Laki-laki, Lahir tanggal 22
Pebruari 1994, dan MFI bin MI . Laki-laki, Lahir tanggal 22 Agustus 1997
d. Membebankan semua biaya perkara sesuai peraturan yang berlaku Atau:
Apabila Pengadilan berpendapat lain motion Putusan yang seadil-adilnya

Universitas Sumatera Utara

62

Menimbang, bahwa pada hari-hari sidang yang telah ditetapkan untuk
memeriksa perkara ini para pihak telah sama-sama dipanggil secara resmi dan patut,
terhadap panggilan tersebut Penggugat hadir inperson, sedangkan Tergugat tidak
pernah hadir meskipun telah dipanggil 3 (tiga) kali melalui Mahkamah Syar'iyah
Meulaboh masing-masing untuk sidang tanggal 23 Pebruari 2006, tanggal 29 Maret

2006, dan tanggal 19 April 2006, dan tidak pula mewakilkan kepada orang lain
sebagai kuasanya untuk menghadap di persidangan, dan ternyata Tergugat ada
mengirimkan surat dari Meulaboh tanggal 1 Pebruari 2006 yang menyatakan bahwa
Tergugat tidak keberatan dan menyetujui gugatan

Penggugat

serta

menyatakan

dalam berita acara kelas panggilan tanggal 8 Maret 2006 bahwa Tergugat tidak
dapat nadir di persidangan dan mohon agar perkara ini segera dapat diputus.
Menimbang,

bahwa meskipun demikian

Majelis Hakim telah berusaha

secara optimal mendamaikan Penggugat dengan memberi nasehat dan saran kepada

Penggugat untuk dapat berdamai dan menyelesaikan sengketanya secara musyawarah
dengan memberikan kesempatan yang cukup agar memikirkan segala sesuatu akibat
Putusan ini tetapi upaya perdamaian tersebut tidak tercapai, kemudian Majelis
Hakim telah memberikan penjelasan tentang konsekwensi penetapan

wali

sesuai ajaran Islam, atas penjelasan tersebut Penggugat telah menyatakan
kesanggupannya untuk memenuhi tanggungjawab sebagai pemegang hak perwalian
terhadap tiga orang anak yang dimohonkan hak kewaliannya tersebut atas.

Universitas Sumatera Utara

63

Menimbang, bahwa, setelah surat gugatan tersebut dibacakan yang isinya
sebagaimana tersebut di atas dengan penjelasan secara lisan secukupnya yang telah
dimuat dalam Berita Acara Sidang. Penggugat menyatakan tetap mempertahankan
gugatannya.
Dasar gugatan dari NS adalah bahwa ketiga anak-anak dari KC dan MD tidak

pernah ikut bersama Tergugat BG, sehingga tergugat BG tidak mungkin dapat
melaksanakan kewajibannya dan bahkan sampai saat gugatan ini diajukan tiga anak
tersebut tinggal bersama penggugat NS, dan kelangsungan pendidikan serta
pengasuhannya berada dibawah pengasuhan Penggugat NS. Maka menurut
penggugat NS wajar jika Penggugat bermohon kepada Majelis Hakim Pengadilan
Agama Medan kiranya dapat mencabut hak perwalian Tergugat BG dan selanjutnya
menetapkan penggugat NS sebagai pemegang hak perwalian dari tiga orang anakanak dari KC dan MI tersebut.
Pada prinsipnya posita atau petitum (putusan yang dikehendaki) dari
penggugat NS dapat dirangkumkan sebagai berikut :
1. Mencabut hak perwalian Tergugat BG terhadap anak-anak KC dan MI, yang
masing-masing bernama MR binti MI, MRM bin MI dan MFI bin MI sesuai
dengan penetapan Mahkamah Syariah Meulaboh Nomor 25/Pdt.P/2005/M.SyMbo

Universitas Sumatera Utara

64

2. Menetapkan dan menunjuk Penggugat NS sebagai wali dari anak-anak KC
dan MI yang masing-masing bernama MR binti MI, MRM bin MI dan MFI
bin MI.
Pada hari sidang yang telah ditetapkan untuk memeriksa perkara ini para
pihak telah sama-sama dipanggil secara resmi dan patut yakni Penggugat NS dan
Tergugat BG, terhadap panggilan tersebut penggugat hadir inperson, sedangkan
tergugat tidak pernah hadir meskipun telah dipanggil tiga kali melalui Mahkamah
Syariah Meulaboh masing-masing untuk sidang tanggal 23 Pebruari 2006, tanggal 29
Maret 2006 dan tanggal 19 April 2006, dan tidak pula mewakilkan kepada orang lain
sebagai kuasanya untuk menghadap di persidangan, dan ternyata tergugat ada
mengirimkan surat dari Meulaboh tanggal 1 Pebruari 2006 yang menyatakan bahwa
Tergugat BG tidak keberatan dan menyetujui gugatan Penggugat

NS serta

menyatakan dalam berita acara relas panggilan tanggal 28 Maret 2006 bahwa
tergugat tidak dapat hadir di persidangan dan mohon agar perkara ini segera dapat
diputus. Meskipun sudah ada persetujuan dari Tergugat BG untuk tidak keberatan
terhadap pengalihan, pengasuhan ketiga anak-anak dari KC dan MI kepada
Penggugat NS. Namun Majelis Hakim Pengadilan Medan berusaha secara optimal
mendamaikan penggugat dengan memberikan nasehat dan saran kepada penggugat
untuk dapat berdamai dan menyelesaikan sengketanya secara musyawarah dengan
memberikan kesempatan yang cukup agar memikirkan sesuatu akibat putusan ini.
Tetapi upaya perdamaian tersebut tidak dapat tercapai kemudian Majelis Hakim telah

Universitas Sumatera Utara

65

memberikan penjelasan tentang konsekuensi penetapan wali sesuai ajaran Islam, dan
atas penjelasan tersebut penggugat telah menyatakan kesanggupannya untuk
memenuhi tanggung jawab sebagai pemegang hak perwalian terhadap tiga orang anak
yang dimohonkan hak kewaliannya tersebut di atas.

B. Akibat Hukum Dari Pengalihan Hak Asuh Anak Akibat Putusan Pengadilan
Agama No. 50/Pdt.G/2006/PA.Mdn
Pengadilan Agama sebagai pengadilan khusus dilingkungan peradilan
Indonesia, yang khusus mengadili perkara-perkara yang terjadi diantara umat muslim
dalam segala bentuknya khususnya dibidang keperdataan Islam di seluruh Indonesia.
Pengadilan agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di
Indonesia disamping pengadilan yang lainnya yakni pengadilan negeri, pengadilan
militer, pengadilan tata usaha negara maupun pengadilan niaga yang bernaung
dibawah pengadilan negeri. Dalam perjalanan sejarahnya pengadilan agama
menempuh proses yang cukup panjang hingga dikeluarkan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 yang mengatur tentang tugas dan kewenangan pengadilan agama,
kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009. Dengan keluarnya undang-undang tersebut maka kedudukan
peradilan agama sama dan setingkat dengan peradilan lainnya dalam lingkup
peradilan nasional di Indonesia. Peradilan agama memiliki kewenangan untuk

Universitas Sumatera Utara

66

memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara umat Islam dalam bidang
perkawinan, kewarisan dan perwakafan.56
Putusan Pengadilan Agama No. 50/Pdt.G/2006/PA.Mdn mengabulkan
gugatan tentang pencabutan hak perwalian yang pada awalnya berada di tangan
Tergugat BG kepada Penggugat NS dan ditetapkannya penggugat NS sebagai wali
dari

anak-anak

KC

dan

MI

melalui

Keputusan

Pengadilan

Agama

No. 50/Pdt.G/2006/PA.Mdn maka sejak tanggal keluarnya keputusan tersebut maka
hak pengasuhan atas anak-anak bernama MR binti MI, MRM bin MI dan MFI bin MI
dari orangtua bernama KC dan MI beralih dari tangan BG menjadi hak pengasuhan
dari NS. Keputusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (incracht
van gewijsde) karena Tergugat BG tidak melakukan upaya hukum

banding ke

Pengadilan yang lebih tinggi dalam hal ini adalah Pengadilan Tinggi Agama. Oleh
karena

itu

sejak

tanggal

dikeluarkannya

putusan

Pengadilan

Agama

No. 50/Pdt.G/2006/PA.Mdn maka hak perwalian (hadhanah) dari anak-anak KC dan
MI yang masing-masing bernama MR binti MI, MRM bin MI dan MFI bin MI
menjadi tanggung jawab dari NS selaku ibu dari KC sekaligus nenek dari ketiga
anak-anak tersebut.
Keputusan Pengadilan Agama No. 50/Pdt.G/2006/PA.Mdn sekaligus juga
membatalkan penetapan Tergugat BG melalui putusan Mahkamah Syariah Meulaboh
Nomor 25/Pdt.P/2005/M.Sy-Mbo tanggal 5 September 2005. Disamping itu putusan

56

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh, Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, Prenada Media, Jakarta, 2006, hal. 27

Universitas Sumatera Utara

67

pengadilan agama tersebut di atas juga mengalihkan hak-hak pengurusan harta-harta
dari anak-anak KC dan MI yang antara lain bernama MR binti MI, MRM bin MI dan
MFI bin MI dari Tergugat BG kepada Penggugat NS. Harta-harta tersebut antara lain
adalah pengurusan Tabungan Asuransi Pensiun (Taspen) dan pensiunan yang
ditinggalkan oleh KC dan MI yang sebelumnya berada di bawah pengurusan
Tergugat BG.
Putusan Pengadilan Agama No. 50/Pdt.G/2006/PA.Mdn dikatakan telah
memiliki kekuatan hukum yang tetap (incracht van gewijsde) karena dalam perkara
perebutan hak asuh anak tersebut Tergugat BG tidak melakukan upaya hukum
banding atas putusan Pengadilan Agama Medan tersebut. Putusan yang berkekuatan
hukum tetap adalah putusan pengadilan agama yang diterima oleh kedua belah pihak
yang berperkara, putusan perdamaian, putusan verstek yang terhadapnya tidak
diajukan verzet atau banding; putusan pengadilan tinggi agama yang diterima oleh
kedua belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi; dan Putusan Mahkamah Agung
dalam hal kasasi.
Menurut sifatnya ada 3 (tiga) macam putusan yang dikeluarkan oleh
pengadilan agama yaitu :
1. Putusan deklaratif, adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau
menyatakan apa yang sah, misalnya anak yang menjadi sengketa adalah anak
yang dilahirkan dari perkawinan yang sah, putusan yang menolak gugatan.

Universitas Sumatera Utara

68

2. Putusan konstitutif, adalah putusan yang bersifat menghentikan atau
menimbulkan hukum baru yang tidak memerlukan pelaksanaan dengan paksa,
misalnya memutuskan suatu ikatan perkawinan.
3. Putusan kondemnatoir, adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang
kalah untuk memenuhi suatu prestasi yang ditetapkan oleh hakim. Dalam
putusan yang bersifat kondemnatoir amar putusan harus mengandung kalimat
“menghukum tergugat (berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu, menyerahkan
sesuatu, membongkar sesuatu, menyerahkan sejumlah uang, membagi dan
mengosongkan).57
Pengadilan Agama No. 50/Pdt.G/2006/PA.Mdn merupakan suatu keputusan
yang bersifat kondemnatoir yang membutuhkan pelaksanaan putusan (eksekusi)
untuk dapat menegakkan keputusan majelis hakim yang telah diputuskan dalam
sidang terbuka untuk umum. Eksekusi putusan hadhanah tidak diatur secara tegas
dalam HIR dan RBg, atau peraturan perundang lainnya yang berlaku khusus bagi
pengadilan agama. Belum adanya hukum yang mengatur secara jelas mengenai
eksekusi putusan hadhanah, tidak berarti bahwa putusan hadhanah tidak bisa
dijalankan melainkan harus dapat dilaksanakan berdasarkan aturan hukum yang
berlaku secara umum.

57

Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, Grafindo Persada, Semarang, 2006, hal. 30

Universitas Sumatera Utara

69

Menurut M. Yahya Harahap dalamm praktek peradilan agama dikenal dua
macam eksekusi yaitu :
1. Eksekusi rill atau nyata sebagaimana yang diatur dalam Pasal 200 ayat (11) HIR,
Pasal 218 ayat (2) RBg dan pasal 1033 Rv yang meliputi penyerahan,
pengosongan, pembongkaran, pembagian dan melakukan sesuatu.
2. Eksekusi pembayaran sejumlah uang melalui lelang atau executorialverkoop
sebagaimana tersebut dalam Pasal 200 HIR dan Pasal 215 RBg.
Eksekusi yang terakhir ini dilakukan dengan menjual lelang barang-barang
debitur, atau juga dilakukan dalam pembahagian harta bila membahagian ini in
natura tidak disetujui oleh para pihak atau tidak mungkin dilakukan pembahagian in
antura dalam sengketa warisan atau harta bersama. Sejalan dengan perkembangan
kebutuhan praktek peradilan, eksekusi putusan di Pengadilan Agama tidak hanya
terbatas dalam bidang hukum benda. Dalam prakteknya sampai saat ini, eksekusi
putusan Pengadilan Agama juga telah merambah dalam eksekusi putusann hak
pemeliharaan atau penguasaan atas atau (hadhanah). Kalau boleh dikatakan
nampaknya eksekusi putusan hadhanah dapat digolongkan ke dalam jenis eksekusi
pertama (eksekusi rill : melakukan sesuatu). Namun demikian, eksekusi putusan
hadhanah seringkali mengalami kendala yang cukup signifikan karena objek
perkaranya mengenai orang, sehingga tingkat keberhasilannya terbilang cukup rendah
bila dibandingkan dengan eksekusi di bidang hukum kebendaaan. 58

58

Abdul Manan, Penerpan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Edisi
Revisi, Cet. 3, Jakarta, Pranata Media, 2005, hal. 25

Universitas Sumatera Utara

70

Sampai saat ini eksekusi putusan hadhanah masih diperselisihkan. Sebagian
para ahli hukum yang mengatakan bahwa anak tidak dapat dieksekusi, sedangkan
sebagian lagi yang lain mengatakan bahwa putusan hadhanah dapat dieksekusi. Para
ahli hukum yang mengatakan bahwa eksekusi anak tidak boleh dilaksanakan
berlandaskan bahwa selama ini yurisprudensi yang ada tentang eksekusi semuanya
hanya dalam bidang hukum benda, bukan terhadap orang. Oleh karena itu, eksekusi
terhadap anak sesuai dengan kelazimannya yang ada maka tidak ada eksekusinya,
apalagi putusannya bersifat deklaratoir. Kenyataan yang ada selama ini, pelaksanaan
eksekusi anak yang bersifat sukarela, maksudnya tidak merupakan upaya paksa. 59
Sedangkan para ahli hukum yang memperbolehkan eksekusi terhadap anak
dapat dijalankan mengatakan bahwa perkembangan hukum yang dianut akhir-akhir
ini menetapkan bahwa masalah penguasaan anak yang putusannya bersifat
condemnatoir, jika sudah berkekuatan hukum tetap, maka putusan tersebut dapat
dieksekusi. Pengadilan mempunyai wewenang untuk menempuh upaya paksa dalam
melakukan putusan ini. Jadi, seorang anak yang dikuasai oleh salah satu orangtuanya/
keluarganya yang tidak berhak sebagai akibat putusan pengadilan agama karena
pengajuan gugatan dari salah satu pihak keluarga yang dinyatakan lebih berhak oleh
Pengadilan Agama melalui putusannya, maka Pengadilan Agama dapat mengambil
anak tersebut dengan upaya paksa dan menyerahkan kepada salah satu orangtua /
keluarga yang berhak untuk mengasuhnya. Pendapat para ahli hukum yang terakhir

59

H.S.A AL Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, Pustaka Amani,
2002, hal. 10

Universitas Sumatera Utara

71

adalah yang paling sesuai dengan kondisi kekinian karena lebih menjamin adanya
kepastian hukum, rasa keadilan dan kemanfaatan. Terlepas dari pendapat pro dan
kontra praktisi hukum, dicermati dengan seksama sebenarnya eksekusi putusan
hadhanah sudah sejalan dengan ketentuan Pasal 319 KUH Perdata alinea kedua yang
berbunyi bahwa jika pihak yang senyatanya menguasai anak-anak yang belum
dewasa itu menolak menyerahkan anak-anak itu, maka para pihak yang menurut
keputusan pengadilan harus menguasai anak tersebut, mereka boleh meminta melalui
juru sita dan menyuruh kepadanya melaksanakan keputusan ini.60
Prosedur hukum untuk menjamin keabsahan eksekusi putusan hadhanah
tersebut, maka eksekusi itu harus melalui prosedur hukum yang berlaku dan harus
pula memenuhi syarat-syarat eksekusi. Apabila eksekusi tidak dilaksanakan sesuai
dengan prosedur dan persyaratan yang ditetapkan, maka eksekusi tidak sah dan harus
diulang.
Adapun prosedur dan persyaratan eksekusi putusan hadhanah secara
kronologis dapat dirinci sebagai berikut :
1. Amar putusan hadhanah tersebut bersifat penetapan (condemnatoir)
2. Putusan hadhanah tersebut telah berkekuatan hukum tetap
3. Pihak yang kalah tidak bersedia untuk melaksanakan putusan dengan sukarela
4. Pihak yang menang mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan
Agama yang memutus perkara hadhanah

60

Masdoeki Arif dan M.H Tirta Hamidjaja, Masalah Perlindungan Anak, Akademika
Persindo, Jakarta, 2001, hal. 34

Universitas Sumatera Utara

72

5. Pengadilan Agama telah menetapkan sidang anmaning
6. Telah dilampaui tenggang waktu atau teguran sesuai dengan Pasal 207 RBg
7. Ketua Pengadilan Agama mengeluarkan surat perintah eksekusi
8. Pelaksanaan eksekusi di tempat termohon eksekusi yang dihukum untuk
menyerahkan anak
9. Pelaksanaan eksekusi dibantu oleh dua orang saksi yang memenuhi unsur
sebagaimana tersebut dalam Pasal 201 ayat (2) RBg
10. Jurusita mengambil anak tersebut secara baik-baik, sopan dan tetap berpegang
pada adat istiadat yang berlaku, kalau tidak diserahkan secara sukarela maka
diserahkan secara paksa.
11. Jurisita membuat berita acara eksekusi yang ditandatangani oleh jurusita
beserta dua orang saksi sebanyak rangkap lima. 61
Dalam perkara gugatan yang diajukan oleh NS terhadap Tergugat BG anakanak yang diperebutkan hak asuhnya tersebut tidak berada di bawah penguasaan
Tergugat BG tetapi berada dibawah pengawasan Penggugat NS dan dalam perkara
gugatan hak hadhanah tersebut Tergugat BG juga telah menyampaikan pernyataan
tertulis tentang persetujuannya (pernyataan tertulis tidak keberatan) atas pengalihan
hak asuh anak-anak dari KC dan MI tersebut dari Tergugat BG kepada Penggugat
NS.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam eksekusi putusan Pengadilan
Agama No. 50/Pdt.G/2006/PA.Mdn dalam pelaksanaanya tidak banyak menemui
61

Abdul Manan, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Prenedia Media, Jakarta, 2005, hal. 24

Universitas Sumatera Utara

73

hambatan yang berarti. Dengan kata lain eksekusi putusan Pengadilan Agama
tersebut dapat dilaksanakan dengan lancar dalam hal pemenuhan kepastian hukum
terhadap putusan pengadilan agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
tersebut.

Universitas Sumatera Utara

74

BAB IV
DASAR PERTIMBANGAN HUKUM MAJELIS HAKIM DALAM
MENETAPKAN HAK ASUH ANAK PADA PUTUSAN PENGADILAN
AGAMA NOMOR 50/PDT.G/2006/PA.MDN

A. Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Agama dalam
Perkara Perdata Berdasarkan Hukum Islam

Memeriksa

Pengadilan Agama sebagai peradilan khusus, mempunyai tugas dan
kewenangan tertentu seperti tersebut pada Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Pengadilan Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009,
Pasal 2 menyatakan : Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang :
1. Perkawinan
2. Kewarisan
3. Wasiat
4. Hibah
5. Wakaf
6. Zakat
7. Infaq
8. Shadaqoh

74

Universitas Sumatera Utara

75

9. Ekonomi Syari’ah62
Jenis-jenis perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama
1. Perkawinan
Bidang hukum perkawinan atau hukum keluarga meliputi perkara-perkara :
a. Ijin poligami beserta penetapan harta dalam perkawinan poligami
b. Ijin kawin apabila orangtua calon suami / istri tidak mengijinkan sementara
calon suami / istri di bawah usia 21 tahun
c. Dispensasi kawin bagi calon suami / isteri yang beragama Islam dan belum
mencapai usia 19 dan 16 tahun
d. Penetapan wali adlol jika wali calon isteri menolak menikahkannya
e. Permohonan pencabutan penolakan perkawinan oleh KUA
f. Permohonan pencegahan perkawinan
g. Pembatalan perkawinan
h. Permohonan pengesahan nikah / istibat nikah
i. Pembatalan penolakan perkawinan campuran (perkawinan antar warga
Negara yang berbeda)
j. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami isteri
k. Cerai talak (perceraian yang diajukan suami)
l. Cerai gugat (perceraian yang diajukan isteri)
m. Talak khuluk (perceraian yang diajukan oleh isteri dengan membayar tebusan
kepada suami)
62

Mohd. IdrisRamulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, Hal. 87

Universitas Sumatera Utara

76

n. Li’an yaitu cerai talak atas dasar alasan isteri berzina dengan pembuktian
beradu sumpah antara suami isteri
o. Syiqaq yaitu cerai gugat atas dasar alasan perselisihan suami isteri dengan
penunjukan hakam (juru damai) dari keluarga kedua belah pihak
p. Kewajiban nafkah dan mut’ah bagi bekas isteri
q. Gugatan harta bersama termasuk hutang untuk kepentingan keluarga
r. Gugatan penyangkalan anak
s. Permohonan / gugatan pengakuan anak
t. Gugatan hak pemeliharaan anak
u. Gugatan nafkah anak
v. Permohonan pencabutan kekuasaan orangtua terhadap pemeliharaan anak
w. Permohonan perwalian
x. Gugatan pencabutan kekuasaan wali
y. Pembebasan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang dibawah
kekuasaanya
z. Pengangkatan anak oleh WNI yang beragama Islam terhadap anak WNI yang
beragama Islam 63
2. Kewarisan
a. Permohonan penetapan ahli waris dan bagiannya masing-masing
b. Gugatan waris
c. Akta dibawah tangan mengenai keahli warisan
63

Budi Susilo, Prosedur Gugatan Cerai, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2007, hal. 12

Universitas Sumatera Utara

77

d. Akta komparasi tentang pembagian harta waris di luar sengketa
3. Wasiat
a. Gugatan pengesahan wasiat
b. Gugatan pelaksanaan wasiat
c. Gugatan pembatalan wasiat
4. Hibah
a. Gugatan pengesahan hibah
b. Gugatan pembatalan hibah
5. Wakaf
a. Sengketa sah tidaknya wakaf
b. Sengketa pengelolaan harta wakaf
c. Sengketa keabsahan dan kewenangan nadilir wakaf
d. Gugatan sengketa wakaf oleh kelompok (class action)
6. Zakat, infaq dan Shadaqah
a. Sengketa antara Muzakki dengan BAZIZ
b. Sengketa antara Pejabat pengawas dengan BAZIZ
c. Sengketa antara Mustahik dengan BAZIZ
d. Sengketa antara pihak-pihak yang berkepentingan baik sendiri maupun class
action dengan BAZIZ

Universitas Sumatera Utara

78

7. Ekonomi syariah
Yang dimaksud “Ekonomi Syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syaria’ah antara lain meliputi :
a. Bank Syaria’ah
b. Lembaga Keuangan Makro Syari’ah
c. Asuransi Syari’ah
d. Reasuransi Syari’ah
e. Reksadana Syari’ah
f. Obligasi Syari’ah
g. Sekuritas Syari’ah
h. Pembiayaan Syari’ah
i. Pegadaian Syari’ah
j. Dana pension Syari’ah
k. Bisnis Syari’ah
Perkara-perkara di bidang Ekonomi Syari’ah tersebut di atas meliputi sengketasengketa sebagai berikut :
a. Sengketa akibat beda menafsiri akad pernikahan
b. Sengketa sah tidaknya akan perjanjian
c. Sengketa berakhirnya suatu akad perjanjian
d. Gugatan atas pelanggaran akad perjanjian

Universitas Sumatera Utara

79

1. Hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah
ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 menyatakan :
“Hukum acara yang berlaku pada pengadilan di lingkungan pengadilan agama
adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang
ini”.
a. Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama
1) Asas Personalitas Keislaman
Arti asas personalitas keislaman adalah orang yang tunduk dan yang dapat
ditunjukkan kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama, hanya
mereka yang mengaku dirinya pemeluk agama Islam. Penganut agama
lain di luar Islam tidak tunduk kepada kekuasaan lingkungan Peradilan
Agama.
Asal personalitas keislaman diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 49 ayat (1)
Undang-undang 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun
2009. Ketundukan personalitas muslim kepada lingkungan Peradilan
Agama, “bukan” ketudukannya yang bersifat umum meliputi semua

Universitas Sumatera Utara

80

bidang hukum perdata, tetapi ketundukan personalitas muslim kepadanya,
hanya bersifat “khusus” sepanjang bidang hukum “tertentu”.
Dalam asas personalitas keislaman yang melekat pada Undang-Undang
Peradilan Agama tersebut, dijumpai beberapa penegasan yang melekat
membarengi asas dimaksud :
a) Pihak-pihak yang bersengketa harus sama-sama pemeluk agama Islam
b) Perkara perdata yang disengketakan harus mengenai perkara-perkara
di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, shadaqah dan
ekonomi syari’ah
c) Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut
berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya
berdasarkan hukum Islam
Jika hubungan hukum yang terjadi bukan berdasar hukum Islam,
sengketanya tidak tunduk menjadi kewenangan lingkungan Peradilan
Agama. Misalnya, hubungan hukum ikatan perkawinan antara suami isteri
adalah hukum Barat. Sekalipun suami isteri beragama Islam, asas
personalitas keislaman mereka ditiadakan oleh landasan hukum yang
mendasari perkawinan. Oleh karena itu, sengketa perkawinan yang terjadi
antara mereka tidak tunduk menjadi kewenangan Pengadilan Agama, tapi
jatuh menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.

Universitas Sumatera Utara

81

2) Asas Wajib Mendamaikan Terutama dalam Perkara Perceraian
Asas kewajiban hakim untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara,
sangat sejalan dengan tuntutan dan ajaran Islam. Islam selalu menyuruh
menyelesaikan setiap perselisihan dan persengketaan melalui pendekatan
Islam (fa aslihu baina akhwaikum). Sebab sebagaimanapun adilnya suatu
putusan, namun akan tetap lebih baik dan lebih adil hasil perdamaian.
Dalam suatu putusan yang bagaimanapun adilnya, harus ada pihak yang
“dikalahkan” dan “dimenangkan”. Tidak mungkin kedua pihak sama-sama
dimenangkan atau sama-sama dikalahkan. Seadil-adilnya putusan yang
dijatuhkan Hakim, akan tetap dirasa tidak adil oleh pihak yang kalah.
bagaimanapun zalimnya putusan yang dijatuhkan, akan dianggap dan
dirasa adil oleh pihak yang menang. Lain halnya dengan perdamaian, hasil
perdamaian yang tulus berdasar kesadaran bersama dari pihak yang
bersengket, terbebas dari kualifikasi “menang” dan “kalah”. Mereka samasama menang dan sama-sama kalah. Sehingga kedua belah pihak pulih
dalam suasana rukun dan persaudaraan, tidak dibebani dendam kesumat
yang berkepanjangan.
Usaha perdamaian dalam sengketa perceraian menurut Pasal 82 UndangUndang Peradilan Agama, harus dilakukan

pada setiap sidang

pemeriksaan selama perkara belum diputuskan.

Universitas Sumatera Utara

82

Berdasarkan

Pasal

130

HIR,

Majelis

Hakim

bahwa

berusaha

mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara sebelum memulai
pemeriksaan perkara. Untuk mengimplementasikan pasal ini, para pihak
diwajibkan menempuh proses mediasi di luar siding yang teknik
pelaksanaanya diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2008 tentang Mediasi.
Dalam perkara perceraian (tentang status), jika mediasi berhasil dan para
pihak telah damai, maka pihak penggugat atau pemohon harus mencabut
perkaranya. Dalam perkara sengketa harta benda, jika mediasi berhasil
dan para pihak mencapai perdamaian, maka dibuatlah akta banding dan
Majelis menjatuhkan putusan perdamaian.
Dengan dicapai perdamaian antara suami isteri dalam sengketa perceraian,
bukan hanya keutuhan ikatan perkawinan saja dapat diselamatkan, tetapi
sekaligus dapat diselamatkan kelanjutan pemeliharaan dan pembinaan
anak-anak secara normal. Kerukunan antara keluarga kedua belah pihak
dapat berlanjut. Harta bersama dalam perkawinan dapat lestari menopang
kehidupan rumah tangga. Suami isteri dapat terhindar dari gangguan
pergaulan sosial kemasyarakatan. Mental dan pertumbuhan kejiwaan
anak-anak terhindar dari perasaan terasing dan rendah diri dalam
pergaulan hidup. Memperhatikan itu semua, upaya mendamaikan sengketa

Universitas Sumatera Utara

83

perceraian, merupakan kegiatan yang terpuji dan lebih diutamakan
dibanding dengan upaya mendamaikan persengketaan di bidang yang lain.

3) Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan
Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan dalam Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, datur
pada Pasal 57 ayat 3 jo. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang kekuasaan kehakiman : “Peradilan dilakukan dengan
sederhana, cepat dan biaya ringan”.
Maksud dari pengertian asas ini dipertegas dalam penjelasan Pasal 4 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang berbunyi : “Ketentuan ini
dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan. Yang
dimaksud dengan “sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian
perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif. Yang dimaksud
dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat dipikul oleh
rakyat. Namun demikian dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara
tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.
Prosedur dan proses hukum acara perdata dalam sangat berbelit-belit
dengan system “dag vaarding” atau “schriijtelijke procedur” dan sistem
“procureur” (procureur stelling) atau “verplichte rechtbijstand” dengan

Universitas Sumatera Utara

84

berbagai bentuk putusan sela atau interiocuter vonnis. Tanpa bantuan
advokat atau pengacara, tidak mungkin seorang dapat membela dan
mempertahankan hak dan kepentingannya. Semua proses pemeriksaan
mesti secara tertulis. Lain halnya dengan hukum acara perdata yang diatur
dalam HIR atau RBG Prosedur dan prosesnya sangat sederhana dengan
sistem langsung secara lisan atau “mondelinge procedur” dan
“onmiddlelijkeheid van procedure” di persidangan. Tahap pemeriksaan
pembuktian

tidak

memerlukan

bentuk-bentuk

putusan

sela.

Kesederhanaan ini yang dipertahankan asas peradilan sederhana, cepat
dan biaya ringan. Demikian pula hukum acara mufakat dalam fiqih Islam.
Penerapan asas ini tidak boleh mengurangi ketepatan pemeriksaan dan
penilaian menurut hukum dan keadilan. Kesederhanaan, kecepatan
pemeriksaan, jangan dimanipulasi untuk membelokkan hukum, kebenaran
dan keadilan. Semua harus “tepat” menurut hukum (due to law).
4) Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum Kecuali Pemeriksaan Perkara
Perceraian
Pasal 59 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2007 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
berbunyi :

Universitas Sumatera Utara

85

a) Sidang pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk umum, kecuali apabila
undang-undang menentukan lain dan jika hakim dengan alasan-alasan
penting yang dicatat dalam berita acara persidangan, memerintahkan
bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan
dengan sidang tertutup
b) Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat
(1)

mengakibatkan

seluruh

pemeriksaan

secara

keseluruhan

pemeriksaan beserta penetapan atau putusannya batal demi hukum
c) Rapat permusyawaratan hakim bersifat rahasia
Penerapan asas persidangan terbuka untuk umum dikecualikan dalam
pemeriksaan perkara perceraian. Mengenai pengecualian ini, Pasal 59 ayat
(1) sendiri sudah membuka kemungkinan untuk itu dalam rumusan :
“Kecuali apabila undang-undang menentukan lain”. Hal ini sesuai dengan
doktrin hukum yang mengajarkan “lex specialis drogat lex generalis”.
Ketentuan khusus menyampingkan ketentuan umum. Kedadaan inilah
yang diatur dalam Pasal 80 ayat (2) Undang-Undang Peradilan Agama
tersebut jo Pasal 17 Undang-Undang Nomor 33 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975. Pasal-pasal ini menyampingkan ketentuan asas
umum yang diatur Pasal 59 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 jo. Pasal 17 Undang-Undang

Universitas Sumatera Utara

86

Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang 04 Tahun 2004 yang berbunyi
: “Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup”.
Pelanggaran atas Pasal 33 PP Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 80 ayat 2
Peradilan Agama mengakibatkan pemeriksaan batal demi hukum. Sebab
nilai yang terkandung dalam ketentuan itu menyangkut asas ketertiban
umum atau orde publik, oleh karena itu dia mutlak bersifat “imperatif”.
Satu-satunya cara yang dapat dibenarkan hukum untuk pemeriksaan
sidang tertutup dalam perkara perceraian, hanya menjangkau selama
proses

pemeriksaan

saja.

Penerapannya,

hanya

meliputi

proses

pemeriksaan jawab-menjawab, pemeriksaan pembuktian jangkauan
tertentu pemeriksaan sidang tertutup dalam perkara perceraian, tidak
meliputi pengucapan putusan. Apabila sudah tidak saat proses
pemeriksaan sidang pada tahap pengucapan putusan kembali ditegakkan
asas persidangan terbuka yang tercantum dalam Pasal 81 ayat (1) Undangundang Nomor 50 Tahun 2009 jo. Pasal 34 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 yang berbunyi : “Putusan Pengadilan mengenai
gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”.
b. Tahap-tahap Pemeriksaan Perkara
Proses pemeriksaan perkara perdata di depan sidang dilakukan melalui tahaptahap dalam hukum acara perdata, setelah Hakim terlebih dahulu berusaha

Universitas Sumatera Utara

87

dan tidak berhasil mendamaikan para pihak yang bersengketa, maka tahaptahap pemeriksaan tersebut ialah :
1) Pembacaan Gugatan
Pada tahap pembacaan gugatan ini terdapat 3 kemungkinan dari
Penggugat / Pemohon :
a) Mencabut gugatan
b) Mengubah gugatan
c) Mempertahankan gugatan
2) Jawaban Tergugat
Pada tahap ini ada beberapa kemungkinan dari Tergugat, yaitu :
a) Eksepsi / tangkisan
b) Mengaku bulat-bulat
c) Mungkin mutlak
d) Mengaku dengan klausula
e) Referte
f) Rekonpensi (gugat balik)
3) Replik (dari Penggugat)
Dalam tahap ini Penggugat mungkin mempertahankan dan menambah
keterangan yang dianggap perlu untuk memperjelas dalil-dalil atau
mungkin Penggugat merubah sikap dengan membenarkan jawaban /
bantahan Tergugat.

Universitas Sumatera Utara

88

4) Duplik Tergugat
Setelah menyampaikan repliknya, kenudian Tergugat diberi kesempatan
untuk menanggapi pula. Dalam tahap ini, mungkin Tergugat bersikap
seperti Penggugat dalam replik tersebut
5) Pembuktian
Pada tahap ini baik Penggugat maupun Tergugat diberi kesempatan yang
sama untuk mengajukan bukti-bukti, baik berupa saksi-saksi maupun alat
bukti lainnya secara bergantian yang diatur oleh Hakim. Macam-macam
alat bukti dalam perkara perdata, yaitu :
a) Alat bukti surat
b) Alat bukti saksi
c) Alat bukti persangkaan
d) Alat bukti pengakuan
e) Alat bukti sumpah
f) Alat bukti pemeriksaan setempat
6) Kesimpulan pada Pihak
Pada tahap ini, baik Penggugat maupun Tergugat diberi kesempatan untuk
mengajukan

pendapat

akhir

yang

merupakan

kesimpulan

hasil

pemeriksaan selama sidang berlangsung menurut pandangan masingmasing.

Universitas Sumatera Utara

89

7) Putusan Hakim
Pada tahap ini, Hakim merumuskan duduk perkaranya dan pertimbangan
hukum mengenai perkara tersebut disertai dengan alasan-alasan dan dasardasar hukumnya, yang akhirnya dengan putusan Hakim mengenai perkara
yang diperiksanya itu. Putusan dilihat dari fungsinya dalam mengakhiri
sengketa ada 2 macam :
a. Putusan akhir (eind vonnis)
b. Putusan sela (tussen vonis)
c. Hukum acara khusus dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 64
Dalam buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan,
Bagian Kedua, Bidang Terknis Peradilan, Peradilan Agama, halaman 216-234 diatur
hal-hal yang ringkasnya sebagai berikut : 65
1. Dalam bidang Perkawinan
Beberapa perkara berikut dapat diajukan dan diperiksa serta diputus secara
voluntoir, maksudnya : berbentuk permohonan yang hanya terdiri dari pihak
Pemohon saja dan tidak terdapat sengketa. Padahal menurut asasnya perkara
terdiri dari dua pihak yang sedang bersengketa atau disebut perkara contentiosa.
Perkara voluntoir tersebut adalah :
64

Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta,
Encana, 2005, hal. 172
65
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 20

Universitas Sumatera Utara

90

a. Permohonan dispensasi umur kawin
b. Permohonan izin kawin
c. Permohonan penetapan wali adhol
d. Permohonan penetapan perwalian
e. Permohonan penetapan asal-usul anak
2. Bidang Perceraian
a. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 2006 dan
Undang-Undang

Nomor

50

tahun

2009

memberi

kemudahan

dan

perlindungan kepada isteri dalam hal di Pengadilan Agama mana perceraian
diajukan
1) Suami mengajukan cerai talak di Pengadilan Agama yang di daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon (isteri) (Pasal 66 (2)).
2) Isteri mengajukan cerai gugat di Pengadilan Agama yang di daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat (isteri) (Pasal 73 (2)).
b. Dalam perkara perceraian tidak ada pihak yang kalah atau menang, sehingga
biaya perkara dibebankan kepada Penggugat atau Pemohon (Pasal 89 ayat (1))
c. Pemeriksaan perkara perceraian dalam sidang tertutup Pasal 68 (2) dan 80).
Hal ini dimaksudkan untuk menjaga rahasia pribadi para pihak
d. Permohonan penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersamasama dengan permohonan cerai talak / gugat cerai ataupun sesudahnya (Pasal
66 ayat (5) Pasal 86 ayat (1))

Universitas Sumatera Utara

91

e. Untuk melindungi isteri maupun anak, Hakim Pengadilan Agama baik
diminta atau tidak, dalam perkara perceraian dapat menghukum pihak suami
untuk memberi nafkah isteri maupun anaknya (Pasal 44 c Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 78 a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
Pasal 45 ayat (2) dan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
jo. Pasal 78 huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006.
f. Hak bekas isteri maupun anaknya atas bagian bekas suaminya yang Pegawai
Negeri, dapat dituntut dan diputus dalam perkara perceraiannya (Peraturan
Pemerintah Nomor 10 tahun 1989 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1990).
3. Bidang Waris, Wasiat dan Hibah yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam
a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 menganut asas personalitas
keislaman, oleh karena itu Pengadilan Agama berwenang memeriksa dan
mengadili perkara waris / wasiat apabila pewaris (si mayit) beragama Islam.
b. Hibah yang dilakukan oleh orang Islam kepada orang Islam lainnya apabila
timbul sengketa adalah menjadi kewenangan Pengadilan Agama.

Universitas Sumatera Utara

92

c. Bagi orang yang menghendaki surat keterangan ahli waris misalnya untuk
mengambil deposito di Bank dapat dibuat akta di bawah tangan kemudian
diminta pengesahan (gawaasmarker) kepada Ketua Pengadilan Agama.
d. Akta comparisi pembagian harta waris di luar sengketa dapat dilakukan
berdasarkan Pasal 107 Undang-Undang Peradilan Agama jo. 236 a HIR.
4. Sengketa Milik
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo. Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 menyatakan :
a. Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa dalam perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa
tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum.
b. Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa
tersebut sengketa oleh Pengadilan Agama besama-sama perkara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49.
5. Pemeriksaan dan Penyelesaian Perkara Perceraian Hak-hak Anak
Pemeriksaan dan penyelesaian perkara perceraian di Pengadilan Agama
berdasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum acara perdata umum dan ketentuan
khusus yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-

Universitas Sumatera Utara

93

Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 serta
Kompilasi Hukum Islam, dapat diringkas sebagai berikut :
a. Cerai talak
1) Cerai talak dijatuhkan oleh pihak suami yang petitumnya memohon untuk
diizinkan menjatuhkan talak terhadap isterinya
2) Cerai talak yang dijatuhkan oleh suami yang telah riddah (keluar dari
agama Islam), produk putusannya bukan memberikan izin kepada suami
untuk mengikrarkan talak, akan tetapi talak dijatuhkan oleh Pengadilan
Agama.
3) Prosedur pengajuan permohonan dan proses pemeriksaan cerai talak agar
dipedomani Pasal 66 s/d Pasal 72 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Pasal 14 s/d Pasal 36
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
4) Gugatan penguasaan anak dan harta bersama dapat diajukan bersamasama dengan permohonan cerai talak
5) Selama proses pemeriksaan cerai talak sebelum sidang pembuktian, isteri
dapat mengajukan rekonvensi mengenai pengasuhan anak, nafkah anak,
nafkah madhiyah, nafkah iddah, mut’ah dan harta bersama.
6) Selama proses pemeriksaan cerai talak, suami dalam permohonannya
dapat mengajukan permohonan provisi, demikian juga isteri dalam

Universitas Sumatera Utara

94

gugatan rekonvensinya dapat mengajukan permohonan provisi tentang
hal-hal yang diatur dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975.
7) Pengadilan Agama secara ex officio dapat menetapkan kewajiban nafkah
iddah atas suami untuk isterinya, sepanjang isterinya tidak terbukti berbuat
nusyuz, dan menetapkan kewajiban mufah (ex Pasal 41 huruf c UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 149 huruf a dan Pasal 151
Kompilasi Hukum Islam)
8) Dalam pemeriksaan cerai talak, Pengadilan Agama sedapat mungkin
berupaya mengetahui jenis pekerjaan suami yang jelas dan pasti dan
mengetahui perkiraan pendapatan rata-rata perbulan untuk dijadikan dasar
pertimbangan menetapkan nafkah anak, mut’ah, nafkah madhiyah dan
nafkah iddah.
9) Agar memenuhi asas manfaat dan mudah dalam pelaksanaan putusan,
penetapan mut’ah sebaiknya berupa benda bukan uang, misalkan rumah
atau tanah atau benda lainnya
10) Dalam hal Termohon tidak hadir di persidangan dan perkara akan diputus
verstek, Pengadilan harus melakukan sidang pembuktian mengenai
kebenaran adanya alasan perceraian yang didalilkan oleh Pemohon.
11) Untuk keseragaman, amar putusan cerai talak berbunyi :

Universitas Sumatera Utara

95

“Memberi izin kepada pemohon (nama…..bin…..) untuk menjatuhkan
talak satu raj’i terhadap Termohon (nama ...binti….) di depan sidang
Pengadilan Agama….”.
12) untuk menghindari terjadinya talak bid’i, Pengadilan Agama sebaiknya
menunda sidang ikrar talak, apabila si isteri dalam keadaan haid kecuali
bila isteri rela dijatuhi talak.
13) Untuk keseragaman amar putusan cerai talak yang diajukan oleh suami
yang riddah (keluar dari agama Islam) sebagaimana tersebut dalam huruf
b)
b. Cerai gugat
1) Cerai gugat diajukan oleh isteri yang petitumnya memohon agar
Pengadilan Agama memutuskan perkawinan Penggugat dengan Tergugat
2) Prosedur pengajuan gugatan dan pemeriksaan cerai gugat agar dipedomani
Pasal 73 s/d Pasal 86 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan UndangUndang Nomor 50 Tahun 2009 jo. Pasal 14 s/d Pasal 36 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
3) Gugatan hadhanah, nafkah anak, nafkah isteri, mufah, nafkah iddah dan
harta bersama.
4) Selama proses pemeriksaan cerai gugat, isteri dalam gugatannya dapat
mengajukan gugatan provisi, begitu pula suami yang mengajukan

Universitas Sumatera Utara

96

rekonvensi dapat pula mengajukan gugatan provisi tentang hal-hal yang
diatur dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
5) Pengadilan agama secara ex officio dapat menetapkan kewajiban nafkah
iddah terhadap suami, sepanjang isterinya tidak terbukti telah berbuat
nusyuz (ex Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974)
6) Dalam pemeriksaan cerati gugat, Pengadilan Agama sedapat mungkin
berupaya untuk mengetahui jenis pekerjaan dan pendidikan suami yang
jelas dan pasti dan mengetahui perkiraan pendapatan rata-rata per bulan,
untuk dijadikan dasar pertimmbangan dalam menetapkan nafkah madhiah,
nafkah iddah dan nafkah anak.
7) Cerai gugat atas alasan taklik talak harus dibuat sejak awal bahwa perkara
tersebut perkara gugat cerai atas alasan taklik talak, agar selaras dengan
format laporan perkara.
8) Dalam hal Tergugat tidak hadir di persidangan dan perkara akan diputus
dengan verstek, Pengadilan harus melakukan sidang pembuktian
mengenai kebenaran alasan perceraian yang didalilkan oleh Penggugat.
c. Talak Khuluk
Talak khuluk ialah gugatan dari isteri untuk bercerai dari suaminya. Proses
penyelesaian gugatan tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur cerai gugat.

Universitas Sumatera Utara

97

d. Syiqaq
1) Dalam proses pemeriksaan dan penyelesaian gugat cerai atas dasar alasan
pertengkaran terus menerus ex Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 ditambah Pasal 116 KHI, Pengadilan Agama harus
memedomani Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,
dilakukan pembuktian saksi kemudian didengar keterangan keluarga atau
orang dekat suami isteri. Keterangan keluarga atau orang dekat dari suami
dan isteri bila difungsikan sebagai bukti, harus disumpah.
2) Gugatan atas alasan syiqaq harus dibuat sejak awal bahwa perkara tersebut
perkara syiqaq, bukan perubahan dari gugat cerai atas dasar pertengkaran
terus menerus yang kemudian dijadikan perkara syiqaq.
3) Pemeriksaan dan penyelesaian gugat cerai atas dasar syiqaq harus
berpedoman pada Pasal 76 Undang-Undang

Peradilan Agama yaitu

memeriksa saksi-saksi dari keluarga atau orang-orang dekat dengan suami
isteri, setelah itu Pengadilan Agama mengangkat keluarga suami atau
isteri atau orang lain sebagai hakam. Hakam merupakan musyawarah,
hasilnya diserahkan kepada Pengadilan Agama sebagai dasar putusan.
4) Hasil musyawarah hakam dapat dijadikan bukti awal oleh Majelis Hakim
di dalam menjatuhkan putusan.

Universitas Sumatera Utara

98

e. Li’an
1) Pemeriksaan dan penyelesaian cerai gugat yang diajukan isteri atas dasar
alasan suami zina, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku pada
gugat cerai biasa, yaitu dilakukan pembuktian dengan saksi atau sumpah
pemutus, atau atas dasar putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap bahwa suaminya melakukan tindak pidana zina.
2) Pemeriksaan dan penyelesaian cerai talak yang diajukan suami atas dasar
alasan isteri berzina, dapat dilakukan berdasar hukum acara sebagaimana
tersebut dalam huruf a di atas atau dengan cara li’an (ex Pasal 87, 88
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-U