Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Hak Asuh Anak Oleh Pengadilan Agama (Studi Putusan Pengadilan Agama No. 50 PDT.G 2006 PA.Mdn)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang tidak dapat hidup secara
individual, manusia adalah makhluk yang hidup dalam satu hubungan antara sesama.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia harus mengadakan kontak dengan
manusia lain baik secara lahir maupun secara batin. Dengan adanya keterikatan
tersebut maka manusia memerlukan pasangan didalam hidupnya dan dari pasanganpasangan tersebut muncullah yang namanya perkawinan.
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang penting di dalam kehidupan
manusia dikarenakan dengan adanya perkawinan manusia dapat membangun suatu
rumah tangga dan dapat dibina sesuai dengan norma dan syariah agama. Selain dapat
menimbulkan hak dan kewajiban, perkawinan juga menimbulkan hubungan hukum
antara kedua belah pihak baik dari pribadi pasangan maupun dari keluarga kedua
belah pihak. Suatu perkawinan tidak hanya didasarkan pada ikatan lahir saja atau
ikatan batin saja, tetapi merupakan perwujudan ikatan lahir dan batin. Ikatan lahir
tercermin dari adanya akad nikah sedangkan ikatan batin adanya perasaan saling
mencintai antara kedua belah pihak.1
Dari perkawinan tersebut terciptalah yang namanya keluarga. Keluarga terdiri
dari ayah, ibu dan anak-anak. Keluarga adalah merupakan kelompok primer yang
1


Iman Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, Pustaka
Bangsa, Jakarta, 2003, hal.3

1

Universitas Sumatera Utara

2

paling penting dalam masyarakat. “Keluarga adalah sebuah grup yang terbentuk dari
hubungan antara laki-laki dan wanita, hubungan mana sedikit banyak berlangsung
lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak. Jadi keluarga dalam bentuk
yang murni merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri, dan anakanak yang belum dewasa.”2
Walaupun secara garis besar keluarga inti terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak
yang tinggal dalam satu rumah, tetapi dalam hal-hal tertentu pengertian ini tidak
dapat dipergunakan karena dalam kenyataannya ada keluarga yang tidak lengkap,
yaitu seperti tidak adanya ayah atau tidak adanya ibu yang hidup bersama dalam satu
rumah atau tidak adanya kedua orangtua.
Pengertian anak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah keturunan kedua,

manusia yang masih kecil, orang yang berasal atau dilahirkan oleh orang yang
termasuk dalam golongan pekerjaan (keluarga dan sebagainya), bagian kecil dari
suatu benda dan yang lebih kecil dari pada yang lain.3
Istilah anak mengandung banyak arti apalagi jika kata anak diikuti oleh kata
lain misalnya anak kandung, anak tiri, anak sah dan sebagainya. Dalam hal ini yang
menjadi bahasan adalah hak asuh anak dalam pengertian Hukum Islam yang
dihubungkan dengan keluarga dan hak asuhnya dalam keluarga jika kedua
orangtuanya telah meninggal. Anak dalam bahasa arab disebut “walad” satu kata

2

Hartomo, Arnicun Aziz, Ilmu Sosial Dasar, Bumi Aksara, Jakarta, 2008, hal, 79
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 2002, hal, 41.
3

Universitas Sumatera Utara

3


yang mengandung penghormatan sebagai makhluk Allah yang sedang menempuh
perkembangan ke arah abdi Allah yang saleh.
Dalam Instruksi Presiden Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi
Hukum Islam, batas usia dewasa diatur dalam Pasal 98 ayat (1) yang menyatakan
“Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 (dua puluh satu)
tahun sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah
melangsungkan perkawinan”.4 Kompilasi Hukum Islam juga membedakan anak yang
belum dewasa, antara yang belum mumayyiz (belum berumur 12 tahun) dan yang
telah mumayyiz.
Dalam Hukum Islam, hak asuh anak dapat diberikan kepada orangtua yang
masih hidup jika salah satunya meninggal atau kepada salah satu orangtua jika terjadi
perceraian. Jika tidak dalam keadaan dua-duanya yang dengan kata lain kedua orang
tua telah meninggal dunia maka dapat diberikan kepada keluarga yang terdekat.
Dalam Islam keluarga yang terdekat adalah garis keturunan ayah yang artinya hak
asuh anak dibawah umur tersebut jatuh kepada keluarga ayahnya.
Akan tetapi hak pengasuhan tersebut bisa saja jatuh kedalam keluarga ibunya
dengan putusan Pengadilan Agama jika wali dari pihak ayah lalai dalam
melaksanakan tugasnya sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang.
Pembatalan hak asuh ini dapat dimohonkan oleh kerabatnya dengan persyaratan
bahwa wali yang akan mengambil hak asuh adalah orang yang dewasa, sehat, adil

dan berkelakuan baik.
4

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

Universitas Sumatera Utara

4

Kata perwalian bisa juga diartikan dengan kata asuh ataupun pemeliharaan.
Secara etimologi pemeliharaan adalah “proses, cara, perbuatan memelihara (kan),
penjagaan, perawatan, pendidikan, penyelamatan, penjagaan harta kekayaan.”
Menurut Ash-Sha’ani, pemeliharaan dalam hukum Islam disebut dengan AlHadhanah yang merupakan masdar dari kata Alk Hadhanah yang artinya mengasuh
atau memelihara bayi (hadhanah ash syabiyya). Istilah Hadhanah berarti
“pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri, biaya pendidikannya dan
pemeliharaannya dari segala yang membahayakan jiwanya”5
Lain lagi dengan pengertian hadhanah menurut Sayyid Sabiq yang
menyatakan:
Hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil lakilaki ataupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz (dapat
membedakan yang baik dan yang buruk) tanpa perintah padanya,

menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaga dari sesuatu yang
menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar
mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan dapat memikul tanggung
jawab.6
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pengasuhan
terhadap anak-anak yang masih di bawah umur yang tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua dilakukan oleh suatu lembaga yang dinamakan perwalian
(Voogdij). Pada umumnya dalam setiap perwalian yang dikenal di dalam KUH
Perdata hanya ada seorang wali saja, kecuali apabila seorang wali ibu

5

Ash-Sha’ani, Subulus Salam, terjemahan Abubakar Muhammad, jilid 3, Al Ikhlas,
Surabaya, 1995, hal. 819.
6
Sayid Sabiq, Fiqh As Sunnah Jilid VIII, Alih Bahasa Drs. Moh, Thalib, Alma’rif, Bandung,
1993, hal. 160.

Universitas Sumatera Utara


5

(moerdervoogdes) kawin lagi, dalam hal mana suaminya menjadi medevoogd. Jika
salah satu dari orang tua tersebut meninggal, maka menurut KUH Perdata orang tua
yang lainnya dengan sendirinya menjadi wali bagi anak-anaknya. Perwalian ini
dinamakan perwalian menurut undang-undang (Wettelijke Voogdij). Seorang anak
yang lahir di luar perkawinan berada di bawah perwalian orang tua yang
mengakuinya. Apabila seorang anak yang tidak berada di bawah kekuasaan orang
tua, ternyata tidak mempunyai wali, hakim akan mengangkat seorang wali atas
permintaan salah satu pihak yang berkepentingan atau karena jabatannya (datieve
voogdij). Tetapi ada juga kemungkinan seorang ayah atau ibu dalam surat wasiatnya
(testament) mengangkat seorang wali bagi anaknya. Perwalian semacam ini disebut
dengan perwalian menurut

wasiat (TestamentairVoogdij). Seorang yang telah

ditunjuk untuk menjadi wali harus menerima pengangkatan tersebut, kecuali jika ia
mempunyai alasan-alasan tertentu menurut undang-undang dibenarkan untuk
dibebaskan dari pengangkatan tersebut. Perwalian menurut KUH Perdata diatur
dalam Pasal 330 ayat (3) yang berbunyi, “Mereka yang belum dewasa dan tidak

berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan cara
sebagaimana diatur dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan keenam bab ini”.
Di dalam perwalian menurut KUH Perdata dikenal beberapa asas yakni:
1. Asas tak dapat dibagi-bagi yang mengandung pengertian bahwa dalam setiap
perwalian hanya terdapat satu wali. Hal ini tercantum dalam Pasal 331 KUH

Universitas Sumatera Utara

6

Perdata. Asas tak dapat dibagi-bagi ini mempunyai pengecualian dalam dua hal
yaitu:
a. Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling
lama(langs tlevendeouder), maka kalau ia kawin lagi, maka suaminya menjadi
medevoogd atau wali penyerta, sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 351 KUH Perdata
b. Jika sampai ditunjuk pelaksanaan pengurusan (bewindvoerder) yang
mengurus barang-barang minderjarige (anak-anak di bawah umur) di luar
Indonesia berdasarkan Pasal 361 KUH Perdata.
2. Asas Persetujuan dari Keluarga yaitu asas yang menghendaki bahwa keluarga

harus dimintai persetujuan tentang adanya perwalian. Dalam hal keluarga tidak
ada maka tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga itu, sedang pihak keluarga
kalau tidak datang sesudah dilakukan panggilan dapat dituntut berdasarkan Pasal
524 KUH Perdata.
Ada tiga jenis perwalian yang dikenal dalam KUH Perdata yaitu:
a. Perwalian oleh suami atau isteri yang hidup lebih lama, Pasal 345 sampai dengan
Pasal 354 KUH Perdata.
Pasal 345 KUH Perdata menyatakan :
“Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia, maka perwalian
terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh

Universitas Sumatera Utara

7

orangtua yang hidup terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari
kekuasaan orangtuanya”.
Namun pada pasal ini tidak dibuat pengecualian bagi suami istri yang hidup
terpisah disebabkan perkawinan putus karena perceraian atau pisah meja dan
ranjang. Jadi, bila ayah setelah perceraian menjadi wali maka dengan

meninggalnya ayah maka si ibu dengan sendirinya (demi hukum) menjadi wali
atas anak-anak tersebut.
b. Perwalian yang ditunjuk oleh Bapak atau Ibu dengan surat wasiat atau akta
tersendiri.
Pasal 355 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa :
“Masing-masing orangtua, yang melakukan kekuasaan orangtua atau perwalian
bagi seorang anaknya atau lebih berhak mengangkat seorang wali bagi anak-anak
itu, jika kiranya perwalian itu setelah ia meninggal dunia demi hukum ataupun
karena penetapan Hakim menurut ayat terakhir Pasal 353, tidak harus dilakukan
oleh orangtua yang lain”.
Dengan kata, orangtua masing-masing yang menjadi wali atau memegang
kekuasaan orangtua berhak mengangkat wali kalau perwalian tersebut memang
masih terbuka.

Universitas Sumatera Utara

8

c. Perwalian yang diangkat oleh Hakim
Pasal 359 KUH Perdata menentukan :

“Semua minderjarig yang tidak berada dibawah kekuasaan orangtua dan yang
diatur perwaliannya secara sah akan ditunjuk seorang wali oleh Pengadilan”.
1. Orang-orang yang berwenang menjadi Wali
a. Wewenang menjadi Wali
Pada Pasal 332 b ayat (1) KUH Perdata menyatakan “perempuan bersuami
tidak boleh menerima perwalian tanpa bantuan dan izin tertulis dari
suaminya”.
Akan tetapi jika suami tidak memberikan izin maka dalam Pasal 332 b ayat
(2) KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa bantuan dari pendamping
(bijstand) itu dapat digantikan dengan kekuasaan dari hakim.
Selanjutnya Pasal 332 b ayat (2) KUH Perdata menyatakan :
“Apabila si suami telah memberikan bantuan atau izin itu apabila ia kawin
dengan perempuan itu setelah perwalian bermula, sepertipun apabila si
perempuan tadi menurut Pasal 112 ayat Pasal 114 dengan kuasa dari hakim
telah menerima perwalian tersebut, maka si wali perempuan bersuami atau
tidak bersuami, berhak melakukan segala tindakan-tindakan perdata
berkanaan dengan perwalian itu tanpa pemberian kuasa atau bantuan ataupun
juga dan atau tindakan-tindakan itupun bertanggung jawab pula”.

Universitas Sumatera Utara


9

b. Wewenang Badan Hukum Menjadi Wali
Biasanya kewenangan perhimpunan, yayasan dan lembaga-lembaga sebagai
wali adalah menunjukkan bapak atau ibu, maka dalam Pasal 355 ayat (2)
KUH Perdata dinyatakan bahwa badan hukum tidak dapat diangkat sebagai
wali. Tetapi hal ini akan berbeda kalau perwalian itu diperintahkan oleh
pengadilan.
Pasal 365 a ayat (1) KUH Perdata dinyatakan bahwa “dalam hal sebuah badan
hukum diserahi perwalian maka panitera pengadilan yang menugaskan
perwalian itu ia memberitahukan putusan pengadilan itu kepada dewan
perwalian atau kejaksaan”.
Sesungguhnya

tidak

hanya

panitera

pengadilan

saja

yang

wajib

memberitahukan hal itu tetapi juga pengurus badan hukum tersebut dan sanksi
akan dipecat sebagai wali kalau kewajiban memberitahukan itu tidak
dilaksanakan. Sedangkan kejaksaan atau seorang pegawai yang ditunjuknya,
demikian pula dewan perwalian, sewaktu-waktu dapat memeriksa rumah dan
tempat perawatan anak-anak tersebut.
c. Yang tidak mempunyai kewajiban menerima pengangkatan menjadi wali
1) Seorang yang dianggap sebagai seorang wali adalah salah seorang
orangtua
2) Seorang isteri yang diangkat menjadi wali

Universitas Sumatera Utara

10

3) Perkumpulan, yayasan atau lembaga sosial lainnya kecuali kalau
perwalian

itu

diberikan

atau

diperintahkan

kepadanya

atas

permohonannya sendiri atau atas pertanyaan mereka sendiri
d. Yang dapat meminta pembebasan untuk diangkat sebagai wali
Dalam Pasal 377 ayat (1) KUH Perdata, menyebutkan :
1) Mereka yang akan melakukan jawatan negara berada di luar Indonesia
2) Anggota tentara darat dan laut dalam menunaikan tugasnya
3) Mereka yang akan melakukan jabatan umum yang terus menerus atau
untuk suatu waktu tertentu harus berada di luar propinsi
4) Mereka yang telah berusia di atas 60 tahun
5) Mereka yang terganggu oleh suatu penyakit yang lama akan sembuh
6) Mereka yang tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda
dengan anak yang dimaksud, padahal dalam daerah hukum tempat
perwalian itu ditugaskan atau diperintahkan masih ada keluarga sedarah
atau semenda yang mampu menjalankan tugas perwalian itu.
Menurut Pasal 377 ayat (2) KUH Perdata dinyatakan bahwa “si bapak dan si
ibu tidak boleh meminta supaya dilepaskan dari perwalian anak-anak mereka,
karena salah satu alasan tersebut di atas”.

Universitas Sumatera Utara

11

Menurut Pasal 379 KUH Perdata disebutkan ada 5 golongan yang
digolongkan atau tidak boleh menjadi wali, yaitu :
a. Mereka yang sakit ingatan (krankzninngen)
b. Mereka yang belum dewasa (minderjarigen)
c. Mereka yang berada di bawah pengampunan
d. Mereka yang telah dipecat atau dicabut (onzet) dari kekuasaan orangtua
atau perwakilan atau penetapan pengadilan
e. Para ketua, ketua pengganti, anggota, panitera, panitera pengganti,
bendahara, juru buku dan agen balai harta peninggalan, kecuali anak-anak
atau anak tiri mereka sendiri.
2. Mulai Perwalian
Dalam Pasal 331 a KUH Perdata, disebutkan
a. Jika seorang wali diangkat oleh hakim, dimulai dari saat pengangkatan jika ia
hadir dalam pengangkatan itu. Bila ia tidak hadir maka perwalian itu dimulai
saat pengangkatan itu diberitahukan kepadanya
b. Jika seorang wali diangkat oleh salah satu orangtua, dimulai dari saat orangtua
itu meninggal dunia dan sesudah wali dinyatakan menerima pengangkatan
tersebut
c. Bagi wali menurut undang-undang dimulai dari saat terjadinya peristiwa yang
menimbulkan perwalian itu, misalnya kematian salah seorang orangtua.

Universitas Sumatera Utara

12

Berdasarkan pasal 362 KUH Perdata maka setiap wali yang diangkat kecuali
badan hukum harus mengangkat sumpah dimuka balai harta peninggalan.
3. Wewenang Wali
a. Pengawasan atas diri pupil (orang yang menentukan perwalian)
Dalam Pasal 383 ayat (1) KUH Perdata,
“Setiap wali harus menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan terhadap
pribadi si belum dewasa sesuai dengan harta kekayaannya dan ia harus
mewakilinya dalam segala tindakan-tindakan”.
Artinya wali bertanggung jawab atas semua tindakan anak yang menjadi
perwaliannya. Dalam ayat (2) pasal tersebut ditentukan, “si belum dewasa
harus menghormati walinya.” Artinya si anak yang memperoleh perwalian
berkewajiban menghormati si walinya.
b. Pengurusan dari Wali
Pasal 1383 ayat (1) KUH Perdata juga menyebutkan :
…”pun ia harus mewakilinya dalam segala tindakan-tindakan perdata.”
Namun demikian pada keadaan tertentu pupil dapat bertindak sendiri atau
didampingi oleh walinya, misalnya dalam hal pupil itu akan menikah.
Barang-barang yang termasuk pengawasan wali.
Menurut Pasal 385 ayat (2) KUH Perdata, barang-barang tersebut adalah
berupa barang-barang yang dihadiahkan atau diwariskan kepada pupil dengan

Universitas Sumatera Utara

13

ketentuan barang tersebut akan diurus oleh seorang pengurus atau beberapa
pengurus.
c. Tugas dan Kewajiban Wali
Adapun kewajiban wali adalah :
1) Kewajiban memberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan
Pasal 368 KUH Perdata apabila kewajiban ini tidak dilaksanakan wali
maka ia dapat dikenakan sanksi berupa wali dapat dipecat dan dapat
diharuskan membayar biaya-biaya dan ongkos-ongkos.
2) Kewajiban mengadakan inventarisasi mengenai harta si anak yang
diperwakilannya (Pasal 386 ayat (1) KUH Perdata).
3) Kewajiban-kewajiban untuk mengadakan jaminan (Pasal 1335 KUH
Perdata).
4) Kewajiban wali untuk menjual perobatan rumah tangga minderjarigen dan
semua barang bergerak dan tidak memberikan buah atau hasil atau
keuntungan kecuali barang-barang yang diperbolehkan disimpan innatura
dengan izin Weeskamer (Pasal 389 KUH Perdata).
5) Kewajiban untuk mendaftarkan surat-surat piutang negara jika ternyata
dalam harta kekayaan minderjarigen ada surat piutang negara (Pasal 392
KUH Perdata).
6) Kewajiban untuk menanam (belegen) sisa uang milik menderjarigen
setelah dikurangi biaya penghidupan tersebut.

Universitas Sumatera Utara

14

d. Berakhirnya Perwalian
Berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua keadaan, yaitu :
1) Dalam hubungan dengan keadaan si anak, dalam hal ini perwalian
berakhir karena :
a) Si anak telah menjadi dewasa (meerderjarig)
b) Matinya si anak
c) Timbulnya kembali kekuasaan orangtuanya
d) Pengesahan seorang anak di luar kawin yang diakui
2) Dalam hubungan dan tugas wali, dalam hal ini perwalian dapat berakhir
karena :
a) Ada pemecatan atau pembebasan atas diri si wali
b) Ada alasan pembebasan dan pemecatan dari perwalian (Pasal 380
KUH Perdata).
Syarat utama untuk pemecatan adalah karena mementingkan kepentingan
anak minderjarig itu sendiri. Alasan lain yang dapat memintakan pemecatan atas
wali di dalam Pasal 382 KUH Perdata menyatakan :
1. Jika wali berkelakuan buruk
2. Jika dalam melaksanakan tugasnya wali tidak cakap atau menyalahgunakan
kecakapannya
3. Jika wali dalam keadaan pailit

Universitas Sumatera Utara

15

4. Jika wali untuk dirinya sendiri atau keluarganya melakukan perlawanan
terhadap si anak tersebut.
5. Jika wali dijatuhi hukuman pidana yang telah berkekuatan hukum tetap
6. Jika wali alpa memberitahukan terjadinya perwalian kepada Balai Harta
Peninggalan (Pasal 368 KUH Perdata)
Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai hukum materiil bagi lingkungan
Peradilan Agama maupun Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang perubahan
kedua dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang tentang Peradilan Agama belum
memberikan jawaban secara limitatif terhadap beberapa permasalahan hukum dalam
menetapkan pengasuhan anak yang belum mumayyiz dan yang sudah mumayyiz
ketika kedua orang tuanya bercerai atau meninggal dunia.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) setidaknya ada dua pasal menentukan
pengasuhan anak yaitu Pasal 105 dan 156. Pasal 105 menentukan tentang pengasuhan
anak pada dua keadaan. Pertama ketika anak masih dalam keadaan belum mumayyiz
(kurang dari 12 tahun) pengasuhan anak ditetapkan kepada ibunya. Kedua ketika
anak tersebut mumayyiz (usia 12 tahun ke atas) dapat diberikan hak kepada anak
untuk memilih diasuh oleh ayah dan ibunya. Adapun Pasal 156 mengatur tentang
pengasuhan anak ketika ibu kandungnya meninggal dunia dengan memberikan urutan
yang berhak mengasuh anak. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tidak

Universitas Sumatera Utara

16

memberikan

perubahan

yang

berarti

mengenai

penyelesaian

permasalahan

pengasuhan anak.
Hak-hak yang harus dimiliki anak antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Hak anak sebelum dan sesudah dilahirkan
Hak anak dalam kesucian keturunannya
Hak anak dalam pemberian nama yang baik
Hak anak dalam menerima susuan
Hak anak dalam mendapatka asuhan, perawatan dan pemeliharaan
Hak anak dalam kepemilikan harta benda dan hak kewarisan untuk
kelangsungan hidupnya
7. Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran7
Secara etimologi hak memiliki arti milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan
untuk berbuat sesuatu karena telah ditentukan undang-undang, aturan dan sebagainya.
Mengutip pendapat Agustinus yang dipandang sebagai dasar permulaan psikologi
anak mengatakan bahwa anak tidaklah sama dengan orang dewasa karena anak
mempuyai kecenderungan melakukan penyimpangan hukum dan ketertiban yang
disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan.
Anak-anak lebih mudah belajar dari apa yang dilihatnya.
Selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 menyebutkan bahwa:
1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas
tahun) adalah hak ibunya.
2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

7

Adbur Rozak Husein, Hak Anak Dalam Islam, Fikahati Aneska, Jakarta, 1993, hal. 21.

Universitas Sumatera Utara

17

Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam tersebutlah yang menjadi dasar bagi para
hakim Pengadilan Agama dalam mengambil keputusan dan menetapkan hukum
kepada siapa orang yang mempuyai hak untuk memelihara anak dalam sengketa yang
menyangkut lingkungan peradilan di Indonesia.
Sebagaimana yang terjadi dalam perkara hak asuh anak dibawah umur yang
melibatkan kedua keluarga dikarenakan anak yang akan diasuh tersebut adalah anak
yatim piatu yang kedua orang tuanya telah meninggal dunia. Hal ini bermula dari
gugatan yang dilakukan oleh Nyonya NS yang merupakan nenek dari pihak ibu dari
anak-anak yang masih dibawah umur yang masing-masing bernama NR, RM dan
MFI yang tergugatnya ialah paman dari pihak ayah yang juga merupakan adik
kandung ayah anak-anak tersebut yang bernama Tuan BG.
Gugatan ini dimasukkan oleh Nyonya NS pada tanggal 23 Januari 2006 yang
terdaftar atas nomor 50/Pdt.G/2006/PA.Mdn yang isinya untuk mengajukan
penunjukan menjadi wali atas anak-anak yang dibawah umur tersebut yang kedua
orang tuanya telah meninggal dunia yang masing-masing bernama Nyonya KC dan
Tuan MI keduanya meninggal pada tahun dan tanggal yang berbeda-beda.
Akan tetapi pada tahun 2005 Tuan BG (paman) telah mendapatkan penetapan
dari Mahkamah Syariah Meulaboh Nomor 25/Pdt.P/2005/M.Sy-Mbo,

yang

menyatakan bahwa ketiga anak-anak tersebut berada dibawah pengasuhan Tuan BG
sampai dengan batas umur yang dianggap dewasa dan bertanggung jawab atas segala

Universitas Sumatera Utara

18

biaya pendidikan dan semua kehidupan pokok si anak dan juga mengatur harta
bendanya.
Putusan Mahkamah Syariah itu tidak sesuai dengan keinginan sang nenek
yaitu Nyonya NS merasa bahwa anak-anak tersebut kurang mendapat perhatian dan
tidak terurus oleh pamannya dikarenakan domisili dari keduanya berbeda. Anak-anak
tersebut tinggal dan bersekolah di Medan sementara sang paman berdomisili di
Meulaboh. Hal inilah yang mendasari Nyonya NS untuk mengajukan gugatan
pembatalan hak asuh terhadap pamannya karena menurut sang nenek, anak-anak
yang diasuh harus tinggal bersama dengan yang mengasuh. Jika tidak tinggal bersama
sudah pasti pamannya dapat melaksanakan kewajibannya sebagai wali. Dia juga
berpendapat bahwa ketika kedua orang tua anak-anak tersebut meninggal dunia maka
tanggungjawab dan pengasuhan dan pemeliharaan anak-anak itu jatuh kepada dirinya
sebagai nenek kandungnya.
Selain membahas mengenai hak asuh Nyonya NS juga meminta untuk pihak
pengadilan agama untuk menjadi pengurus dari harta benda dan dana pensiun yang
ditingalkan oleh kedua orangtuanya. Oleh karena itu dia memohon untuk di tunjuk
sebagai wali dari ketiga anak tersebut.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka penelitian akan membahas lebih lanjut
tentang akibat hukum pembatalan hak asuh anak yang ditetapkan oleh Mahkamah
Syariah No. 25/Pdt.P/2005/M.Sy-Mbo, yang telah dibatalkan oleh pengadilan agama
melalui putusan No.50/Pdt.G/2006/PA.Mdn. Oleh karena itu penelitian ini

Universitas Sumatera Utara

19

mengambil judul “Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Hak Asuh Anak oleh
Pengadilan Agama (Studi Putusan Pengadilan Agama No. 50/Pdt.G/2006/PA.Mdn)

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu:
1. Apakah faktor-faktor yang menjadi penyebab pembatalan hak asuh terhadap
anak-anak yang masih dibawah umur?
2. Bagaimanakah akibat hukum dari pengalihan hak asuh anak akibat Putusan
Pengadilan Agama No. 50/Pdt.G/2006/PA.Mdn?
3. Apakah dasar pertimbangan hukum yang diambil oleh hakim dalam
menetapkan hak asuh anak pada putusan Pengadilan Agama Nomor
50/Pdt.G/2006/PA.Mdn?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang tersebut diatas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya pembatalan hak asuh
anak dibawah umur.
2. Untuk mengetahui akibat hukum dari pengalihan hak asuh anak akibat
Putusan Pengadilan Agama No. 50/Pdt.G/2006/PA.Mdn.

Universitas Sumatera Utara

20

3. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum yang diambil oleh hakim
dalam penetapan pengadilan tentang pembatalan hak asuh pada anak pada
putusan Pengadilan Agama Nomor 50/Pdt.G/2006/PA.Mdn.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian merupakan pencerminan yang konkrit dari kegiatan ilmu dalam
suatu proses ilmu pengetahuan.

8

Penelitian hukum dilakukan untuk mencari

pemecahan atas isu hukum yang timbul.9 Bertitik tolak dari tujuan penelitian yang
disebut diatas, maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat dan
kegunaan secara teoritis dan praktis dibidang hukum, yang akan dijabarkan sebagai
berikut:
1. Secara Teoritis.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan hukum
pada umumnya dan ilmu pengetahuan hukum Islam tentang hak pengasuhan anak di
bawah umur pada khususnya. Disamping itu juga dapat menambah litelatur dalam
memperkaya khasanah kepustakaan di bidang hukum keperdataan dan juga
kenotariatan.

8

Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal.

9

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2007,

10.
hal. 41.

Universitas Sumatera Utara

21

2. Secara Praktis.
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada masyarakat umum
dan juga sebagai bentuk sumbangan pemikiran dan masukan bagi para pihak yang
berkepentingan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas
Sumatera Utara khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Magister
Kenotariatan Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul ini belum
pernah dilakukan. Akan tetapi, ditemukan beberapa judul tesis yang berhubungan
dengan topik dalam tesis ini antara lain:
1. Syarifah Tifanny, Mahasiswa Magister Kenotariatan, dengan judul tesis
“Pengasuhan Anak Setelah Terjadinya Perceraian (Studi Kasus Putusan
Pengadilan Agama Binjai)”.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah
a. Apa yang manjadi hak-hak anak serta apa kewajiban orangtua terhadap
anaknya dalam hukum Islam?
b. Bagaimana menentukan hak pengasuhan anak (hadhanah) di Pengadilan
Agama Binjai jika terjadi perceraian?
c. Bagaimana eksekusi putusan perkara-perkara hadhanah di Pengadilan
Agama Binjai?

Universitas Sumatera Utara

22

2. Nur Fatimah G, Mahasiswa Magister Kenotaritan, dengan judul tesis “ Kajian
Yuridis Hak Pemeliharan Anak Setelah Terjadinya Perceraian Menurut
Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Studi Kasus
Terhadap Putusan Pengadilan No. 101/Pdt.G/2009/PN/MDN)”.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah
a. Apa faktor terjadinya perceraian dan akibatnya terhadap hak pemeliharaan
anak?
b. Bagaimana upaya yang ditempuh para pihak untuk memperoleh hak
pemeliharaan (hak asuh anak)?
c. Apa dasar pertimbangan hukum yang dilakukan dalam penetapan hak
pemeliharaan anak?
3. Rosmaliana, Mahasiswa Magister Kenotariatan, dengan judul tesis “Akibat
Hukum Yang Timbul Dari Perceraian Orangtua Terhadap Pengasuhan Anak
Ditinjau Dari Undang-undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak dan Kompilasi Hukum Islam”.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah
a. Apa merupakan dasar pertimbangan hukum hakim dalam menentukan
tanggung jawab pengasuhan anak setelah perceraian?
b. Bagaimana akibat hukum dari tidak terlaksananya hak dan kewajiban
terhadap anaknya setelah perceraian kedua orangtuanya?

Universitas Sumatera Utara

23

c. Bagaimana upaya yang tepat dilakukan oleh suami atau istri apabila salah
satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya terhadap anak sesuai
putusan pengadilan?
Dari judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian yang
dilakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya sehingga
penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Ilmu pengetahuan dan perkembangannya tidak terlepas dari teori hukum
sebagai landasan dan pedoman. Tugas teori hukum adalah untuk menjelaskan nilainilai hukum dan postulat-postulatnya sehingga dasar-dasar filsafatnya yang paling
dalam sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas
dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum itu sendiri.10
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau suatu proses itu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. 11 Sedangkan fungsi teori
dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan
serta menjelaskan gejala-gejala yang diamati.12 Kerangka teori yang dimaksud ialah
kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat mengenai suatu kasus ataupun
10

W. Friedman, Teori dan Filsafat Umum, Raja Grafindo, Jakarta, 1996, hal. 2
J.J.J.M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 6
12
Lexy J. Molloeng, Metodelogi Penelitian Kuantitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993,

11

hal. 35

Universitas Sumatera Utara

24

permasalahan yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teori,
yang mungkin akan disetujui ataupun tidak dan merupakan masukan eksternal bagi
peneliti.13
Berdasarkan pengertian teori dan kegunaannya tersebut di atas maka
penelitian ini menggunakan teori perlindungan hukum terhadap anak yatim piatu,
dimana perlindungan tersebut diaplikasikan dalam bentuk Hadhanah yang dalam
ilmu fiqih disebut Ahkam Al Hadhonah yang berarti mengasuh.14 Mengasuh (hadhn)
dalam pengertian ini tidak dimaksudkan dengan menggendongnya dibagian samping
ataupun dibagian dada. Secara terminologis, hadhanah adalah menjaga anak yang
belum bisa mengatur dan merawat dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga
dirinya dari hal-hal yang dapat membahayakan dirinya. Pengertian perlindungan
hukum disini adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada anak yang masih
dibawah umur (dibawah 12 tahun) atau yang mumayyiz (sudah berumur 12 tahun ke
atas) yang dipandang masih belum dewasa sesuai dengan ketentuan yang terdapat
dalam kompilasi hukum Islam yang diberikan oleh pihak-pihak yang berwenang yang
oleh undang-undang ditunjuk untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak
tersebut.15
Hadhanah (pengasuhan anak) hukumnya wajib, karena anak yang masih
memerlukan pengasuhan ini akan mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan
13

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80
Agus Purnomo, Penetapan Hak Hadhanah Kepada Ayah Bagi Anak Yang Belum Mumayiz,
Pustaka Ilmu, Jakarta, 2010, hal. 49
15
Sunaryanto Putra, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Belum Dewasa Menurut
Hukum Islam, Citra Media, Jakarta, 2011, hal. 5
14

Universitas Sumatera Utara

25

pengasuhan dan perawatan, sehingga anak harus dijaga agar tidak sampai
membahayakan. Selain itu ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari
segala hal yang dapat merusaknya.
Dari pengertian Hadhanah (pengasuhan anak) yang diuraikan di atas maka
dapat dikatakan bahwa Hadhanah meliputi beberapa hal penting :
1. Hak bagi pengasuh yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan
2. Hak-hak atas anak yang diasuh oleh pengasuh
3. Hak memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berada dalam
pengasuhan oleh pengasuh
4. Hak pihak tertentu (selain ibu dan ayah) yang dapat menggantikan
pengasuhan dari anak tersebut
Jika masing-masing hak itu dapat disatukan dan diwujudkan, maka itulah
yang akan menjadi jalan keluar yang terbaik bagi semuanya dan jika terjadi
pertentangan maka yang harus didahulukan adalah kepentingan si anak daripada
kepentingan yang lainnya.
Apeldoorn menyatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur tata tertib
dalam masyarakat secara damai dan adil untuk mencapai kedamaian hukum dan
harus diciptakan masyarakat yang adil dengan mengadakan penumbangan antara
kepentingan yang bertentangan satu sama lain dan setiap orang harus memperoleh
hak-haknya sesuai dengan hukum yang berlaku dalam hal mewujudkan keadilan.16

16

R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 57.

Universitas Sumatera Utara

26

Begitu juga dengan anak karena setiap anak berhak mendapatkan keadilan dan
perlindungan dari kedua orang tuanya dan juga dari keluarga terdekatnya. Menurut
Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki mengatakan bahwa “masa kanak-kanak
merupakan sebuah periode penumbuhan benih, pendirian tiang pancang, pembuatan
fondasi yang dapat juga disebut dengan periode pembentukan watak, kepribadian dan
karakter dari seorang manusia agar mereka memiliki kekuatan dan kemampuan serta
mampu berdiri tegar dalam meniti kehidupan” 17 . Anak merupakan elemen yang
sangat penting dalam kehidupan mulai dari lingkup yang paling kecil yaitu keluarga
sampai dengan lingkup yang paling besar yaitu negara. Dalam memperlakukan anak
juga harus dengan cara yang berbeda-beda karena sifat dana karakter anak tidak bisa
disamaratakan.
Menurut ajaran Hukum Islam, anak merupakan amanah dari Allah yang tidak
bisa dianggap sebagai harta yang bisa diperlakukan sembarangan oleh orang tua.
Sebagai amanah, anak harus dilindungi, dijaga, diperlihara. Anak juga manusia yang
memiliki nilai kemanusian yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apapun juga.
Adapaun tahap-tahap dan proses dalam perkembangan dan pertumbuhan anak
merupakan hal yang wajar dan harus didampingi karena itu merupakan proses
menuju kematangan hidup seorang anak.
Disinilah peran penting orang tua, pengasuh dan pemelihara anak bekerja
karena mereka harus mengontrol dan menjaga anak-anak yang mereka asuh. Seorang
anak akan bagus perkembangan karakternya bila ia diasuh dengan kasih sayang dan
17

Abdur Rozak Husein, Hak Anak Dalam Islam, Fikahari Aneska, Jakarta, 1992, hal. 70

Universitas Sumatera Utara

27

dalam lingkungan keluarga yang bahagia dan pengertian. Kepribadian dan karakter
dari seorang manusia agar mereka kelak memiliki kemampuan dan kekuatan serta
mampu berdiri tegar dalam meniti kehidupan.18
Untuk itu diperlukan orang tua ataupun orang yang dapat mengasuh si anak
dengan baik dan benar karena anak merupakan pribadi yang masih sangat labil
apalagi jika lingkungan tempat tinggalnya tidak mendukung ia untuk menjadi pribadi
yang baik. “Demi pertumbuhan anak yang baik orang tua ataupun orang yang
mengasuhnya harus memenuhi kebutuhan jasmani seperti makan, minum dan tidur.
Kebutuhan keamanan dan perlindungan, kebutuhan untuk dicintai oleh orang tuanya,
kebutuhan harga diri (adanya penghargaan) dan kebutuhan menyatakan diri baik
secara tertulis maupun secara lisan.”19
2. Konsepsi
Konsepsi adalah suatu bagian terpenting dari teori, karena konsep adalah
bagian penghubung yang menerangkan suatu yang sebelumnya hanya baru ada
dipikiran. “Peranan konsep dalam pemeliharaan adalah untuk menghubungkan dunia
teori dan observasi antara bisnis dan realistis.”20
Konsepsi yang dimaksud disini adalah kerangka konsepsional merupakan
bagian yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan

18
19

Ibid, hal. 21
R.I.Suhartini C, Cara Mendidik Dalam Keluarga Masa Kini, Bhatara Karya, Jakarta, 1986,

hal. 47
20

Masri Singaribun dkk, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1999, hal. 34

Universitas Sumatera Utara

28

penulis.

Konsep

diartikan

sebagai

kata

yang

menyatakan

abtraksi

yang

digeneralisasikan dari hal-hal khusus yang disebut dengan defenisi operasional.21
Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindari perbedaan
pengertian mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan
juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Dengan adanya
penegasan kerangka konsepsi, maka akan diperoleh suatu pandangan dalam
menganalisis masalah yang akan diteliti baik dipandang dari aspek yuridis maupun
aspek sosiologis. 22 Oleh karena itu, dalam penelitian ini dirumuskan serangkaian
kerangka konsepsi atau defenisi operasional sebagai berikut:
1. Anak adalah orang yang belum mampu berdiri sendiri atau yang belum
berusia 21 tahun dan sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun
mental dan belum melangsungkan perkawinan23
2. Pengasuhan adalah upaya atau tatacara yang dilakukan orang tua atau bagian
dari keluarga si anak untuk memberi kesempatan bagi anak tumbuh dan
berkembang serta memiliki karakter dan tingkah laku yang baik.
3. Hak asuh adalah hak untuk melakukan pengasuhan dan memberikan
perlindungan serta pemeliharaan terhadap anak-anak yang masih belum
dewasa baik yang mumayyiz maupun yang belum mumayyiz.

21

Sumardi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 3
Ibid, hal. 5
23
Kompilasi Hukum Islam
22

Universitas Sumatera Utara

29

4. Pembatalan hak asuh adalah perbuatan yang menganggap pengasuhan tersebut
adalah suatu peristiwa yang tidak sesuai dengan yang diinginkan dan
menyebabkan terlantarnya anak-anak yang diasuh.
5. Hak pemeliharaan anak (Hadhanah) adalah tugas menjaga dan mengasuh atau
mendidik bayi atau anak kecil sejak lahir sampai mampu menjaga dan
mengatur dirinya sendiri.24
6. Pengadilan Agama ialah bagian dari peradilan umum yang berwenang
mengadili permasalahan hukum yang menyangkut hubungan hukum bagi
warga negara Indonesia yang beragama Islam.

G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Penelitian adalah pencarian atas sesuatu secara sistematis dengan penekanan
bahwa pencarian ini dilakukan terhadap masalah-masalah yang dapat dipecahkan.25
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis yaitu penelitian yang
menggambarkan tentang penerapan hukum serta tata cara pelaksanaannya di dalam
lingkungan masyarakat yang berdasarkan teori dan konsep yang bersifat umum untuk
menjelaskan seperangkat data, atau menunjukkan komporasi atau hubungan
seperangkat data dengan seperangkat data lainnya.26

24
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Prenada
Media, Jakarta, 2004. Hal. 166
25
Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998, hal. 13.
26
Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997,
hal. 38.

Universitas Sumatera Utara

30

Deskriptif artinya memberikan gambaran secara jelas dan sistematis mengenai
masalah yang akan diteliti. Sedangkan analisis ialah menjelaskan secara cermat dan
menyeluruh tentang pelaksanaan hak asuh anak dibawah umur ketika kedua orang
tuanya telah meninggal dunia.
Jenis penelitian yang digunakan ialah dengan memakai pendekatan yuridis
normatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat
dalam undang-undang maupun peraturan lainnya yang digunakan sebagai dasar untuk
melakukan penelitian yang berawal dari premis umum dan kemudian berakhir pada
suatu kesimpulan khusus.
Penggunaan pendekatan yuridis normatif dilakukan karena penelitian ini
merupakan penelitian kepustakaan atau dokumen yang permasalahannya diteliti
denganmenggunakan aspek hukum yang berlaku di masyarakat.
2. Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan untuk mendukung penelitian ini adalah
bahan-bahan hukum yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tertier.
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum yang diperoleh dari undang-undang, putusan pengadilan dan
peraturan-peraturan yang terkait dengan objek penelitian.

Universitas Sumatera Utara

31

b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan-bahan yang ada kaitannya dengan bahan hukum primer yang berupa
literatur dari bahan bacaan berupa buku, artikel, hasil-hasil seminar dan
jurnal-jurnal hukum serta komentar-komentar atas putusan pengadila.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan yang diambil dari majalah, surat kabar, kamus hukum, kamus besar
bahasa Indonesia dan bahan penunjang lainnya yang bisa saja didapat diluar
bidang ilmu hukum.
3. Alat Pengumpulan Data
Data yang dilumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
dilakukan dengan cara melakukan penelitian kepustakaan (library research) untuk
mendapatkan konsepsi atau doktrin, pemikiran konseptual dan penelitian yang
dilakukan pihak lain yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan.
Pemikiran dan gagasan dapat diperoleh melalui peraturan perundangundangan yang berlaku, litelatur dari para ahli yang relawan dengan penelitian dan
juga artikel-artikel serta jurnal dan majalah ilmiah ataupun dokumen-dokumen yang
berupa putusan yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini.
4. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara analisis kualitatif dimana metode ini
melakukan analisa dan evaluasi dari data hukum primer, data hukum sekunder dan
data hukum tersier sehingga memberikan jawaban yang jelas atas permasalahan dan

Universitas Sumatera Utara

32

tujuan dari penelitian. Sedangkan penafsiran data dilakukan secara kualitatif yaitu
dengan cara data-data yang sudah dikumpulkan kemudian dianalisis dan ditafsirkan
secara logis dan sistematis dengan mengguanakan metode deduktif. Atas dasar
pembahasan dan analisis inilah dapat diperoleh suatu kesimpulan terhadap penelitian
yang dilakukan.

Universitas Sumatera Utara