Penyelesaian Sengketa Hak Asuh Anak (Hadhanah). (Studi Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor : 2558/Pdt.G/2013/Pa.Js dan Pengadilan Negeri Tangerang No. 282/Pdt.G/2014/Pn.Tng)

(1)

PENYELESAIAN SENGKETA HAK ASUH ANAK (HADHANAH). (Studi Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor : 2558/Pdt.G/2013/PA.Js dan Pengadilan

Negeri Tangerang No. 282/Pdt.G/2014/PN.TNG)”. SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah. (S.Sy)

Disusun oleh:

Akip Bustomi Muslih

1111043200040

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2016


(2)

(3)

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 29 Juni 2016


(4)

iv ABSTRAK

Akip Bustomi Muslih. NIM 1111043200040. Penyelesaian Sengketa Hak

Asuh Anak (Hadhanah). (Studi Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.

2558/Pdt.G/2013/PA.JS dan Pengadilan Negeri Tangerang No.

282/Pdt.G/2014/PN.TNG). Skripsi Progam Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum, Konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2016 M/1437 H. Terdiri dari xii + 79 halaman + 7 lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Pengadilan Negeri Tangerang dalam memutuskan perkara sengketa hak asuh anak. karena pada dua putusan yang penulis analisis terdapat kesamaan yaitu, pihak yang berhak mendapatkan hak asuh anak adalah pihak bapak. Sedangkan dalam beberapa ketentuan peraturan di Indonesia dan hukum Islam menjelaskan bahwa, pihak yang diutamakan untuk mendapatkan hak asuh anak adalah pihak ibu.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yang menekankan dengan pemahaman deskriptif. Penelitian ini berupa analisis terhadap kasus yang berkenaan dengan pelimpahan hak asuh anak kepada ayah kandungnya, yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Pengadilan Negeri Tangerang. Jenis data yang didapatkan berupa data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, studi pustaka dan dokumentasi.

Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa hak asuh yang diberikan kepada ayah pada dua putusan tersebut, dikarenakan pihak ibu dari

masing-masing kasus dapat dikategorikan berbuat nusyuz (durhaka/membangkang

terhadap suami), sibuk dengan urusannya sendiri dan sering menelantarkan kepentingan anak-anak. Sehingga demi kesejahteraan dan tumbuh kembang si anak, hak asuhnya diberkan kepada pihak ayah. .

Kata Kunci : Hadhanah (Hak Asuh Anak) , Analisis Penetapan

Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Pengadilan Negeri Tangerang

Pembimbing I : Dra. Hj. Maskufa, M.A

Pembimbing II : Arip Purkon, S.H.I, M.A


(5)

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, maha adil dan maha pengasih yang telah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada semua mahluk-Nya. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat yang telah banyak berkorban dalam mensyiarkan agama Islam sehingga kita dapat merasakan nikmatnya iman sampai saat ini.

Skripsi ini ditulis dalam rangka melengkapi syarat-syarat guna memperoleh gelar strata satu (SI), dalam konsentrasi Perbandingan Hukum, program studi Perbandingan Madzhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang berjudul: “Penyelesaian Sengketa Hak Asuh Anak

(Hadhanah).” (Studi Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.

2558/Pdt.g/2013/PA.JS dan Pengadilan Negeri Tangerang No.

282/Pdt.G/2014/PN.TNG)

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan, terutama disebabkan karena keterbatasan penulis sebagai manusia biasa. Tanpa Ridho Allah SWT, serta doa, dukungan, bimbingan, bantuan dan saran-saran dari berbagai pihak, maka skripsi ini tidak akan dapat diselesaikan. Tanpa adanya partisipasi mereka, upaya penulis dalam menyelesaikan studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta terutama dalam penyelesaian skripsi ini tentu akan terasa berat.


(7)

vii

Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si. Ketua Program Studi

Perbandingan Madzhab dan Hukum, ibu Siti Hanna, L.c, M.A Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum.

3. Ibu Dra Hj. Maskufa M.A dan bapak Arip Purkon, M.A. Dosen

pembimbing yang senantiasa ikhlas meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, koreksi, dan bimbingan yang sangat berarti demi kelancaran pembuatan skripsi ini, serta segala kesabaran dalam memberikan masukan kepada penulis sehingga skripsi ini bisa terselesaikan.

4. Staf Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Agama Jakarta Selatan

yang telah memberikan izin, arahan dan bantuan dalam melaksanakan observasi dan wawancara selama penulis mengadakan penelitian, khusus kepada bapak Muhammad Irfan, S.H, M.Hum, dan bapak Drs. Saifuddin, S.H, M.H, hakim yang telah bersedia diwawancarai dalam menggali informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang penulis bahas.

5. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang selama delapan


(8)

viii

ilmu yang diberikan dapat menjadi bekal hidup penulis dalam menghadapi samudra kehidupan dan dapat diamalkan dalam keseharian. Serta tidak lupa para pemimpin dan staf perpustakaan baik perpustakaan umum maupun perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

6. Teristimewa ucapan terima kasih penulis yang sedalam-dalamnya kepada

Ayahanda Muslih, S.Pd, Ibunda Opin Ropiah, adik-adik tercinta yang senantiasa memberikan banyak bantuan baik berupa moril atau materil, terima kasih pula atas doa, keridhoan dan pengorbanan kalian yang tak ternilai harganya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan baik, terutama motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini. Hanya allah SWT, yang mampu membalas segala pengorbanan kalian, semoga kalian selalu

dalam rahmat dan lindungan Allah SWT”. Amin

7. Sahabat-sahabatku, teman-teman tercinta seperjuangan jurusan

Perbandingan Hukum 2011, teman-teman FORSA, Tenis Meja UIN Jakarta, teman-teman Kos Rt. Rosyid dan kawan-kawan KKN Cintamanik 2014, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah rela bersama-sama mengukir sejarah selama delapan semester ini.


(9)

ix

Semoga segala kebaikan kalian semua dicatat oleh Allah SWT, serta diberikan balasan yang berlipat ganda dan menjadikannya amal jariyah yang tiada henti

mengalir kebaikannya hingga yaum al-akhir. Besar harapan penulis semoga skripsi

ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Jakarta, 29 Juni 2015


(10)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……….. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………. ii

LEMBAR PERNYATAAN ……… iii

ABSTRAK ……….. iv

HALAMAN PENGESAHAN ………. v

KATA PENGANTAR ……… vi

DAFTAR ISI ………... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Identifikasi Masalah ………... 8

C. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah ………... 8

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan ………... 9

E. Review Studi Terdahulu ……….. 10

F. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan ………... 13

G. Sistematika Penulisan ……….. 16

BAB II HADHANAH DALAM ISLAM DAN PERUNDANG- UNDANGAN DI INDONESIA A. Pengertian Hadhanah ……….. 18

B. Dasar Hukum Hadhanah………... 20

C. Syarat Bagi Pemegang Hadhanah……… 22


(11)

xi

E. Masa Hadhanah ……… 31

BAB III HAKIM DAN KONSEP PENEMUAN HUKUM

A. Syarat –syarat Untuk Diangkat Menjadi Hakim ………… 36

B. Kode Etik Hakim ………... 42

C. Kewajiban dan Fungsi Hakim ………. 45

D. Konsep Penemuan Hukum ……….. 48

E. Putusan Hakim dan Independensi Hakim Dalam

Menetapkan Putusan ….……….. 53

BAB IV ANALISIS PENYELESAIAN SENGKETA HAK ASUH ANAK DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN DAN PENGADILAN NEGERI TANGERANG

A. Duduk Perkara Putusan Hak Asuh Anak (hadhanah) di

Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Pengadilan Negeri

Tangerang ……… 57

B. Pertimbangan Hukum Hakim Tentang Hak Asuh Anak di

Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Pengadilan Negeri

Tangerang …...………... 60

C. Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta

Selatan dan Pengadilan Negeri Tangerang ………. 66

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ……… 75


(12)

xii

DAFTAR PUSTAKA ………. 77


(13)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Rumah tangga yang dibina oleh pasangan suami istri akan terwujud secara baik manakala keduanya saling memahami satu dengan yang lainnya. Konsep “sakinah”, diurai melalui bahasa hati “saling mengerti dan pengertian” berimplikasi pada suasana harmonis antara keduanya (suami istri). Selain “sakinah”, Islam memperkenalkan konsep “Mawaddah”, yaitu terjalinnya hasrat saling cinta mencinta diantara keduanya yang mengantarkan kepada sikap agresif satu sama lain. Pada tahapan berikutnya

disempurnakan “rahmah”, yang berarti saling menyayang dan itu merupakan

anugerah agung dari Allah karena predikat ini kelak akan langgengnya suatu

hubungan.1

Menjalani kehidupan rumah tangga, pada mulanya pasangan suami-istri penuh kasih sayang, seolah-olah tidak akan terjadi perpisahan. Namun pada kenyataannya rasa kasih sayang itu bila tidak dijaga bisa menjadi berkurang, bahkan bisa hilang berganti dengan kebencian, apabila kebencian sudah datang, dan suami-istri tidak dengan sungguh hati mencari jalan keluar dan memulihkan kembali kasih sayangnya, maka akan berakibat negatif bagi anak keturunannya. Oleh karena itu upaya kembali memulihkan kasih sayang merupakan suatu hal yang perlu dilakukan. Dan kasih sayang itu bisa beralih

1

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan (Analisa Perbandingan Antar Madzhab), (Jakarta : PT. Prima Heza Lestari, 2006) cet Ke 1, h. 91.


(14)

2

menjadi kebencian. Akan tetapi perlu diingat bahwa kebencian itu kemudian

bisa pula menjadi kasih sayang.2

Islam hanya mengizinkan perceraian karena tidak ada jalan lain untuk keluar dari lingkaran ketegangan yang terus menerus dalam rumah tangga. Lagipula setelah dipertimbangkan bahwa bercerai adalah jalan yang terbaik bagi mereka, dari pada terus menerus hidup dalam perselisihan atau konflik

keluarga yang berkelanjutan pada suatu rumah tangga. Maka

diperbolehkanlah pasangan suami-istri tersebut untuk bercerai.3

Istilah “perceraian” terdapat dalam Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974

yang memuat ketentuan fakultatif 4bahwa “perkawinan dapat diputus karena

kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan. Jadi istilah “perceraian”

secara yuridis berarti putusnya perkawinan, yang mengakibatkan putusnya hubungan suami istri atau berhenti suami-istri. Perceraian berakibat hukum putusnya suatu perkawinan, putusnya suatu perkawinan itu ada dalam bentuk tergantung dari segi apa sebenarnya yang berkehendak untuk putusnya

perkawinan itu.5

Perceraian yang ada pada dasarnya merupakan suatu peristiwa hukum, yaitu suatu kejadian yang menimbulkan atau menghilangkan hak ataupun kewajiban. Sebagai peristiwa hukum, maka perceraian mempunyai hubungan erat dengan sikap-tindak dalam hukum yang berupa tanggung jawab

2

Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Analisis Yurisprudensi dengan pendekatan Ushuliyyah). (Jakarta : Kencana, 2004), cet. Ke 2, h. 97.

3

Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum

Nasional (Tangerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah, 2011),. Cet ke- 1, h.173. 4Fakultatif”

memiliki tidak diwajibkan atau sesuatu yang bersifat pilihan. 5


(15)

3

(responsibility) terhadap pihak lain. Pihak lain disini dapat menyangkut keturunan atau anak dan harta benda, dan mungkin juga bekas istri (yang

merupakan tanggung jawab bekas suami).6

Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan bahwa “setiap

perceraian harus dilakukan di Pengadilan Agama, setelah Pengadilan Agama

tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.7

Dengan tujuan bahwa setiap ada permohonan perceraian, seorang hakim tidak dapat langsung mengabulkan permohonan tersebut, seharusnya hakim mengajukan adanya perdamaian antara kedua belah pihak dengan harapan perceraian tersebut tidak terjadi, akan tetapi apabila perdamaian tidak terwujud maka hakim dapat mengabulkan permohonan perceraian tersebut.

Salah satu akibat yang tidak dapat dihindari ketika terjadinya suatu perceraian adalah akan adanya sengketa ataupun permasalahan, siapakah yang berhak mengasuh anak yang lahir dari hasil pernikahan suami dan istri, meskipun sebenarnya kedua orangtuanya berkewajiban untuk memberikan pendidikan kepada si anak sampai ia dewasa. Dalam KHI Pasal 105 dijelaskan bahwa “dalam hal apabila terjadi perceraian : apabila anak belum

mencapai usia mumayyiz atau usia 12 Tahun maka hak asuh terhadap anak

diberikan kepada ibunya”, atas ketentuan Pasal 105 KHI tersebut, apabila terjadi suatu perceraian dan pasangan tersebut memiliki anak yang masih

belum mumayyiz dibawah 12 tahun, maka hak asuh secara penuh ada pada

ibunya dan kewajiban ayahnya adalah menafkahi anak tersebut, sebagaimana

6 Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta :PT. Raja Graffindo Persada, 2003), h. 238.

7


(16)

4

dijelaskan dalam Pasal 104 KHI, sedangkan apabila telah mencapai umur

mumayyiz maka anak diberikan kebebasan untuk memilih apakah akan

tinggal bersama ayah ataupun ibunya.8

Keinginan untuk memperoleh anak merupakan tujuan yang mulia dan paling sehat dari suatu perkawinan. Suatu penelitian belakangan ini menunjukan bahwa selama berlangsungnya lima tahun pertama perkawinan itu, terdapat enam kali lipat banyaknya perceraian dikalangan pasangan suami istri tanpa anak bila dibandingkan dengan pasangan suami istri yang mempunyai anak. Dan dalam sepuluh tahun pertama berlangsungnya perkawinan itu, terdapat empat kali lipat besarnya perceraian pasangan tidak punya anak dibandingkan dengan yang punya anak. Akan tetapi tentu saja hal ini bukanlah berarti bahwa anak-anak bisa mencegah terjadinya perceraian antara suami istri. Kenyataan ini tiada lain memperlihatkan bahwa pasangan suami istri yang menginginkan anak akan mempunyai landasan yang sehat untuk hubungan mereka. Keinginan untuk memperoleh anak biasanya merupakan pertanda baik dan menunjukan gejolak emosional yang sehat.9

Secara yuridis, kedudukan anak dalam perkawinan diatur dalam Pasal

42 UU No.1 tahun 1974 yang memuat ketentuan definitif10 bahwa anak yang

sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang

8

Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh Al-Qadha,

(Jakarta: Rajawali Press, 2012), h. 208. 9

Sylvanus M. Duvall, Diambang Pernikahan (Jakarta : Mitra Utama : 1993), h. 11. 10


(17)

5

sah. Kemudian, menurut ketentuan limitatif 11 dalam Pasal 43 ayat (1) UU

No. 1 tahun 1974, anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Ini berarti bahwa UU No. 1 tahun 1974 tidak membenarkan pengakuan terhadap anak diluar

perkawinan yang diatur dalam Pasal 43ayat (1) UU No. 1 tahun 1974.12

Anak merupakan amanat di tangan kedua orang tuanya dan kalbunya yang masih bersih merupakan permata yang sangat berharga. Jika ia dibiasakan untuk melakukan kebaikan, niscaya dia akan tumbuh menjadi baik dan menjadi orang yang bahagia dunia dan akhirat. Sebaliknya, jika dibiasakan dengan keburukan serta ditelantarkan seperti hewan ternak, niscaya dia akan menjadi orang yang celaka dan binasa. Keadaan fitrahnya akan senantiasa siap untuk menerima yang baik atau yang buruk dari orang tua atau pendidiknya. Inilah barangkali pesan moral Islam kepada para orang tua berkaitan dengan pendidikan anak-anaknya. Orang tua sangat berkepentingan untuk mendidik dan mengarahkan putra-putrinya ke arah yang lebih baik dan memberi bekal berbagai adab dan moralitas agar mereka terbimbing menjadi anak-anak yang dapat dibanggakan oleh kedua orangtuanya kelak dihadapan Allah SWT.

Anak merupakan karunia dari Allah SWT, bahkan anak dianggap harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda lainnya. Anak sebagaimana amanah Allah harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak

11

Limitatif” memiliki arti sesuatu yang bersifat membatasi 12


(18)

6

sebagai manusia yang dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak-hak anak. Dilihat dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah pewaris dan sekaligus potret masa depan bangsa di masa mendatang, generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak

kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil kebebasan.13

Kesejahteraan anak adalah hak asasi anak yang harus diusahakan bersama. Pelaksanaan pengadaan kesejahteraan bergantung pada partisipasi yang baik antara obyek dan subyek dalam usaha pengadaan kesejahteraan anak tersebut. Berarti setiap anggota masyarakat dan pemerintah (yang berwajib) berkewajiban ikut serta dalam pengadaan kesejahteraan anak dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, akan membawa akibat yang baik pada keamanan dan stabilitas suatu masyarakat, yang selanjutnya akan mempengaruhi pembangunan yang sedang diusahakan dalam masyarakat tersebut. Oleh sebab itu usaha perlindungan anak merupakan suatu upaya

yang harus terus dikembangkan.14

Islam membagi status dari anak, sesuai dengan sumber asal anak itu sendiri. Sumber asal itulah yang akan menentukan „status’ seorang anak. Setiap keadaan menentukan kedudukannya, membawa sifatnya sendiri dan

13

Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam

(Jakarta : Kencana Prenada Grup, 2010) cet ke-1, h. 1. 14

Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1985), h. 33.


(19)

7

memberi haknya. Hukum mengenai status anak berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, yang demikian menjadikan sang anak dekat atau jauh dari ibu bapaknya, dengan adanya hubungan antara mereka yang sah atau yang tidak sah bahkan apakah hubungan yang pernah ada itu dibolehkan atau diharamkan. Hubungan antara anak dengan ibu-bapaknya mempunyai syarat-syarat yang membenarkan hubungan yang ada dan terdapat antara ibu bapaknya itu. Perkawinan menentukan status anak, maka sang anak

bergantung kepada perkawinan atau hubungan antara ibu dan bapak.15

Permasalahan hak asuh anak (hadhanah) menjadi isu penting ketika

terjadinya suatu perceraian, bagaimana hukum mengatur apabila terjadi

perceraian dan terjadi sengketa hak asuh anak (hadhanah) yang diajukan di

Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri.

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas penulis bermaksud

untuk meneliti tentang kasus sengketa hak asuh anak (hadhanah) yang

terjadi pada putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.

2558/Pdt.G/2013/PA.Js. dan Pengadilan Negeri Tangerang No.

282/Pdt.G/2014/PN.TNG. Dua putusan tersebut membahas tentang gugatan perceraian dan permohonan hak asuh anak yang terjadi pada dua lembaga penegak hukum yang berbeda yaitu Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri akan tetapi pihak hakim pada dua Pengadilan tersebut memenangkan pihak yang sama dalam hal permohonan hak asuh anak, maka dari itu, penulis ingin mengamati apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim Pengadilan

15

Fuad Mohd Fakhrudidin, Masalah Anak dalam Hukum Islam (Jakarta : CV Pedoman Ilmu Jaya, 1991) Cet ke-2, h. 24.


(20)

8

Agama Jakarta Selatan dan Pengadilan Negeri Tangerang dalam menetapkan permasalahan hak asuh anak.

Guna tersistemasinya penulisan skripsi ini, maka penulis

mengemasnya dalam suatu judul : Penyelesaian Sengketa Hak Asuh Anak

(Hadhanah). (Studi Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor : 2558/Pdt.G/2013/PA.Js dan Pengadilan Negeri Tangerang No. 282/Pdt.G/2014/PN.TNG)”.

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana ketentuan yang terdapat dalam fikih dan undang-undang

yang berhubungan dengan perceraian.

2. Faktor apa yang menyebabkan terjadi perselisihan antara kedua belah

pihak sehingga berujung kepada perceraian.

3. Adanya perselisihan siapa yang berhak untuk mendapatkan hak asuh

anak setelah terjadi perceraian.

4. Kasus sengketa hak asuh anak yang terjadi pada dua lembaga penegak

hukum yaitu Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Pengadilan Negeri Tangerang.

C. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka masalah yang dibahas, dibatasi pada kasus sengketa hak asuh anak yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor : 2558/Pdt.G/2013/PA.Js. dan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor :282/Pdt.G/2014/PN. TNG.


(21)

9

2. Perumusan Masalah

a. Bagaimana pandangan fikih dan ketentuan undang-undang yang

berlaku di Indonesia mengenai hak asuh anak (hadhanah)?

b. Apa yang menjadi dasar pertimbangan majelis hakim Pengadilan

Agama Jakarta Selatan dengan nomer perkara :

2558/Pdt.G/2013/PA.Js dan Pengadilan Negeri Tangerang dengan nomer perkara : 282/Pdt.G/2014/PN. TNG dalam memutuskan

perkara hak asuh anak (hadhanah)?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penyusunan skripsi ini

adalah :

a. Untuk menemukan ketentuan dalam fikih dan undang-undang

yang berlaku di Indonesia, mengenai hak asuh anak

(hadhanah), dengan siapa si anak akan tinggal setelah terjadinya perceraian antara ibu-bapaknya dan yang paling berhak mendapat hak asuh atas anak.

b. Untuk mengidentifikasi dan menganalisis dasar pertimbangan

majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Pengadilan Negeri Tangerang dalam penetapan hak asuh anak (hadhanah).


(22)

10

a. Menemukan ketentuan yang digunakan Pengadilan Negeri dalam

memutuskan perkara hak asuh anak (hadhanah), karena tidak adanya

undang-undang yang secara khusus mengatur tentang hak asuh anak.

b. Bagi akademisi penelitian ini dapat menambah wawasan tentang cara

hakim memutuskan suatu perkara dan metode-metode yang digunakan hakim dalam menetapkan atau memutuskan.

c. Menambah kontribusi keilmuan bagi akademisi dalam rangka

menganalisis ketentuan dalam hukum Islam dan undang-undang

mengenai hak asuh anak (hadhanah).

d. Memberikan pemahaman yang benar kepada akademisi tentang aturan

aturan hukum hak asuh anak (hadhanah), agar sesuai dalam

penerapannya di masyarakat. E. Review Studi Terdahulu

Adapun penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain:

1. “Tuntutan Hak Asuh Anak oleh Suami” (Studi Putusan Pengadilan Agama Makassar, No.339/Pdt.g/2010/PA.Mks). Skripsi yang ditulis oleh Alfrianti Alimuddin (Mahasiswi Hukum Acara Universitas Hassanuddin Makassar th. 2013).

a. Isi

Skripsi tersebut memaparkan tentang sengketa hak asuh anak (hadhanah), yakni hak asuh anak yang belum mumayyiz diberikan kepada ayah, sedangkan dalam ketentuan KHI Pasal 105, yang berhak


(23)

11

mendapatkan hak asuh adalah ibunya. Pertimbangan majelis hakim Pengadilan Agama Makassar ialah pihak ibu yang sibuk bekerja sampai malam hari dan tidak ada waktu untuk mengasuh anak-anaknya.

b. Perbedaan

Perbedaan dengan materi yang akan dibahas oleh penulis ialah, faktor penyebab hak asuh anak diberikan kepada ayahnya, pada skripsi ini faktor utamanya adalah karena pihak ibu sibuk bekerja, sedangkan judul yang penulis bahas, faktor penyebab hak asuh diberikan kepada ayahnya dikarenakan pihak ibu tidak memiliki iktikad baik dalam mengurus anak dan tidak aktif bekerja, baik dalam perkara Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

2. “Pelimpahan Hak Asuh Anak Kepada Bapak (Studi Analisis Putuan

Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomer

1829/Pdt.G/2008/PAJT).” Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Zamahsyari (Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).

a. Isi

Skripsi ini membahas tentang analisis penulis terhadap putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur dengan nomer perkara No. 1829/Pdt.G/2008/PA.JT, yaitu menganalisis tentang faktor penyebab majlis hakim memberikan hak asuh anak kepada ayahnya, dengan demikian hal tersebut berlainan dengan ketentuan yang terdapat


(24)

12

dalam Pasal 105 KHI, yang menjelaskan bahwa, apabila usia anak masih dibawah umur maka hak asuh jatuh kepada ibunya.

b. Perbedaan

Perbedaan antara permasalahan yang penulis bahas dengan skripsi yang ditulis oleh Ahmad Zamahsyari terdapat pada poin pembanding dengan Pengadilan Negeri. Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Zamahsyari hanya membahas tentang analisis putusan hakim PA Jakarta Timur, sedangkan dalam skripsi ini penulis membandingkan sengketa hak asuh anak dengan kasus yang ada di Pengadilan Negeri dengan ketentuan kasus yang sama kemudian sumber hukum yang digunakan berbeda, akan tetapi hasil putusan keduanya sama.

3. “Hak Perwalian Anak Apabila Terjadi Perceraian (Studi di Pengadilan

Negeri dan Pengadilan Agama Semarang).” Tesis yang ditulis oleh

Masita Harumawarti, S.H (Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponogoro, 2007).

a. Isi

Tesis ini menjelaskan tentang bagaimana proses permohonan perwalian anak, pelaksanaan perwalian anak sebagai akibat dari perceraian dan analisis penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Semarang.

b. Perbedaan

Perbedaan utama dengan materi yang akan penulis bahas ialah perwalian dan hak asuh anak itu merupakan hal yang berbeda. Suatu


(25)

13

perwalian mencakup pribadi maupun harta benda si anak, dan seorang anak dapat dikatakan berada dibawah kekuasaan wali ketika berusia dibawah 18 tahun sebagaimana ketentuan dalam Pasal 50 UU Perkawinan dan penyebabnya ialah orangtua tidak mampu, orangtua

tersebut dalam pengampuan (curatele), orang tua bercerai dan apabila

orang tua meninggal, sedangkan hak asuh anak (hadhanah) dapat

timbul hanya karena adanya perceraian dan tidak mencakup kepada harta benda si anak dan usia anak yang dikatakan berhak untuk

mendapatkan hadhanah ialah dibawah 12 tahun, apabila diatas usia

tersebut, maka anak diberikan kekuasaan untuk tinggal bersama ayah ataupun ibunya. Sebagaimana dalam ketentuan Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, kemudian pertimbangan penulis menjadikan tesis ini sebagai review studi terdahulu dikarenakan materi perbandingan yang akan dibahas serupa yaitu Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. F. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan

1. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif yang menggambarkan data-data dan informasi berdasarkan fakta yang diperoleh secara

mendalam.16 Adapun data yang diperoleh meliputi transkip interview,

salinan putusan pada dua pengadilan dan lain-lain. Jenis data yang digunakan bersifat naratif, dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang

16Sudarwan Danim, Metode Penelitian Kualitatif, cet. Ke 5, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), h. 51.


(26)

14

menggunakan penalaran. Menganalisis perkara hak asuh anak (hadhanah)

yang sudah mendapat penetapan hukum, kemudian juga menganalisis isi (content analisyst) penetapan untuk melihat sejauh mana proses penyelesaian perkara oleh hakim dan penerapan peraturan

perundang-undangannya tentang hak asuh anak (hadhanah).

2. Sumber Data

a. Data Primer

1) Dokumen tentang putusan penetapan hak asuh anak (hadhanah)

perkara nomor: 2558/Pdt.G/2013/PA.Js yang diperoleh dari

Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan perkara No.

282/Pdt.G/2014/PN.TNG yang diperoleh dari Pengadilan Negeri Tangerang.

2) Hasil wawancara yang dilakukan kepada 2 orang Hakim, pada

Pengadilan Agama Jakarta Selatan yaitu Bapak Drs. Syaifuddin, S.H, M.H dan Pengadilan Negeri Tangerang yaitu Bapak Muhammad Irfan, S.H, M.Hum.

b. Data sekunder

1) Buku-buku yang berkaitan dengan hak asuh anak (hadhanah).

2) Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan.

3) Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum

Islam (KHI), khususnya yang berkaitan dengan hak asuh anak

(hadhanah).


(27)

15

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Dokumentasi, yakni mengkaji hasil penetapan hak asuh anak

(hadhanah) di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Pengadilan Negeri Tangerang

b. Wawancara mendalam (indept interview), yaitu tanya jawab lisan

antara dua orang secara langsung, dalam hal ini penulis melakukan wawancara langsung kepada hakim yang bersangkutan ataupun hakim

yang bertugas pada pengadilan tersebut.17 Tehnik ini digunakan untuk

mendapat informasi dengan cara mengajukan pertanyaan dan meminta penjelasan kepada hakim yang memutus perkara tersebut, dan pihak-pihak terkait.

4. Analisis Data

Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menggunakan

analisa isi (content analysist) yaitu menganalisa dengan cara menguraikan

serta mendeskripsikan sengketa hak asuh anak (hadhanah) dan

menganalisis pertimbangan hakim dengan menghubungkan hasil

wawancara, dalil tentang nash, aturan fikih, dan aturan

perundang-undangan tentang hak asuh anak (hadhanah). kemudian

membandingkannya satu sama lain.

17

Nasution, Metode Research (Penelitian Ilmiah), Cet. ke IV, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 27.


(28)

16

G. Sistematika Penulisan

Penulisan ini terbagi dalam 5 (lima) bab yang memberikan gambaran dan penjelasan mengenai berbagai akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 serta analisis yang dilakukan oleh penulis mengenai sengketa hak asuh anak yang terjadi di pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Pengadilan Negeri Tangerang.

Bab pertama membahas tentang pendahuluan yang terbagi kedalam 7 (enam) sub bab, yaitu perumusan latar belakang, permasalahan mengenai tulisan; pokok-pokok permasalahan yang akan dijawab melalui penulisan ini berdasarkan pada teori-teori dan fakta-fakta yang akan dipaparkan di bab selanjutnya; identifikasi masalah merupakan uraian yang terkait dengan segala masalah yang sedang di teliti; pembatasan dan perumusan masalah yang membahas tentang pokok permasalahan yang akan dibahas agar tidak keluar dari konteks permasalahan dan inti permasalahan; tujuan penulisan yang membahas mengenai akibat hukum putusnya perkawinan, dasar-dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara hak asuh anak; review studi terdahulu merupakan perihal yang membahas tentang tulisan-tulisan yang membahas tentang hak asuh anak, baik itu merupakan skripsi, tesis, artikel, dll; metodologi penulisan yang memberikan gambaran tentang berbagai sumber yang dijadikan bahan penulisan skripsi ini dan sistematika penulisan yang memaparkan urutan penulisan.


(29)

17

Bab kedua membahas tinjauan umum mengenai hukum hak asuh anak (hadhanah), pengertian, dasar hukum, syarat menjadi hadhinah dan hadhin,

pihak yang berhak mendapatkan hadhanah dan masa hadhanah sebagaimana

dijelaskan dalam ketentuan fikih dan ketentuan dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Bab ketiga membahas tentang suatu tinjauan umum mengenai peran hakim dalam menangani suatu perkara pada lembaga peradilan tertentu, diantaranya adalah tugas dan wewenang hakim, syarat untuk menjadi hakim, baik yang ada di peradilan umum ataupun peradilan agama, kode etik hakim, kewajiban dan fungsi hakim, konsep penemuan hukum, penetapan pengadilan

dan independensi hakim dalam menjatuhkan putusan.

Bab keempat merupakan sebuah pembahasan mengenai analisis putusan sengketa hak asuh anak yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Pengadilan Negeri Tangerang, diantaranya; duduk perkara kedua putusan; pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Agama Jakarta Selatan; serta analisis penulis terhadap dua putusan tersebut.

Bab kelima membahas tentang rangkuman dari hasil pembahasan melalui kesimpulan serta saran-saran mengenai permasalahan yang berkaitan


(30)

18

BAB II

HADHANAH DALAM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI

INDONESIA

A. Pengertian Hadhanah

Hadhanah berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara lain: hal memelihara, mendidik, mengatur, mengurus segala kepentingan/urusan

anak-anak yang belum mumayyiz (belum dapat membedakan baik dan

buruknya sesuatu atau tindakan bagi dirinya). Secara etimologi kata

hadhanah berarti “al-janb” yang berarti disamping atau dibawah ketiak”, atau bisa juga berarti melakukan sesuatu dekat tulang rusuk berarti

menggendong, atau meletakan sesuatu dalam pangkuan.1

Menurut ahli fikih seperti Muhammad Ibnu Ismail San’ani

mengatakan bahwa pemeliharaan anak atau hadhanah itu berasal dari kata

(نضح) yang memiliki arti mengasuh atau memelihara, seperti dalam

ungkapan(ى صلا نضح) ”dia mengasuh atau memelihara anak.2

Keterangan hak asuh anak dalam fikih digunakan dua kata namun

ditujukan untuk maksud yang sama yaitu kafalah dan hadhanah. Dalam arti

yang sederhana ialah “pemeliharaan atau pengasuhan”.3 Dalam arti yang lebih lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya

putus perkawinan. Hadhanah berarti meletakan sesuatu didekat tulang rusuk

1

Satria Efendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana 2004), h.166.

2

Al Imam Muhammad Ibnu Ismail San’ani, Subulussalam, Penerjemah :Abu Bakar Muhammad, (Bandung:Dahlan), Juz 3, h. 227.

3

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang ( Jakarta : Prenada Media, 2007), cet ke 2 h. 327.


(31)

19

atau dipangkuan, karena pada waktu menyusui anaknya seorang ibu meletakan anak itu dipangkuannya, seakan-akan ibu disaat itu melindungi dan memelihara anaknya sehingga “hadhanah” dijadikan istilah yang

maksudnya : pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabatnya itu.

Kompilasi Hukum Islam pasal 1 huruf g menyebutkan bahwa, yang

dimaksud dengan hadhanah/pemeliharaan anak ialah kegiatan mengasuh,

memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri,

secara khusus masalah hadhanah terdapat pada bab XIV dengan judul

pemeliharaan anak, bab ini menjelaskan hadhanah semenjak bayi sampai

sudah menjadi dewasa disamping menjelaskan status dan usia anak yang bisa

dilakukan hadhanah.4

Undang-Undang Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002 menjelaskan tentang hal yang berkaitan dengan pengasuhan, pada Pasal 37 ayat 1 bahwa suatu pengasuhan anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anaknya secara wajar, baik fisik, mental,

spiritual, maupun sosial.5

Hak asuh anak (hadhanah) berbeda maksudnya dengan pendidikan

“tarbiyyah”. Dalam hadhanah terkandung pengertian pemeliharaan jasmani dan rohani disamping terkandung pula pengertian pendidikan. Sedangkan pendidikan, yang diasuh mungkin saja terdiri dari keluarga si anak dan ia

merupakan pekerjaan professional. Hadhanah dilaksanakan dan dilakukan

4

Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam,

(Bandung: Pustaka Al Fikriis, 2010) h. 118. 5


(32)

20

oleh keluarga si anak, kecuali jika anak tersebut tidak memiliki keluarga serta ia bukan profesional; dilakukan oleh setiap ibu, serta anggota keluarga

kerabat yang lain. Hadhanah merupakan hak dari hadhin, sedangkan

pendidikan belum tentu merupakan hak pendidik.6 Sedangkan yang dimaksud

dengan pendidikan adalah kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang memungkinkan anak tersebut menjadi manusia yang memiliki kemampuan dan kecakapan sesuai dengan pembawaan bakat anak tersebut yang akan dikembangkannya ditengah-tengah masyarakat, sebagai landasan hidup dan penghidupannya. Setelah ia lepas dari tanggung jawab

orang tua.7

B. Dasar Hukum Hadhanah

Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa pada prinsipnya hukum merawat dan mendidik anak adalah kewajiban bagi kedua orang tua, karena

apabila anak yang masih kecil/belum mumayyiz, tidak dirawat dan diberikan

pendidikan dengan baik, maka akan berakibat buruk pada diri dan masa depan mereka, bahkan bisa mengancam eksistensi jiwa mereka. Oleh sebab itu, anak-anak tersebut wajib dipelihara, dirawat dan di berikan pendidikan dengan baik.

Dasar hukum hadhanah (pemeliharaan anak) adalah firman Allah

dalam surah At-Tahrim ayat 6 :

6

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Prenada Media, 2003), h.176. 7

Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1 Tahun 1974 sampai KHI, (Jakarta : Misaqa ghaliza, 2003), h. 293 & 294.


(33)

21

ا ّيأ اي

ني ّلا

ا مآ

ْم سفنأ ا ق

ساّ لا ا د ق ا ان ْم يلْ أ

ا ْيلع اجحْلا

ئَم

ن صْعي َّ دادش َغ

ن مْ ي ام ن لعْفي ْم مأ ام ّّا

Artinya : “Hai orang orang yang beriman perihalah dirimu dan

keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;

penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”

Pada ayat ini orang tua diperintahkan Allah SWT, untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan

-larangan-Nya, termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.8

Pemeliharaan anak juga mengandung arti sebuah tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup dari seorang anak oleh orang tua. Selanjutnya, tanggung jawab pemeliharaan berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut bersifat berkelanjutan sampai anak tersebut dikatakan sebagai seorang yang dewasa dan mampu berdiri sendiri.

Suatu ketika datang sepasang suami istri kepada Rasulullah SAW. Untuk meminta penetapan siapa yang lebih berhak untuk mengasuh anak, sedangkan mereka sudah bercerai. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Rasulullah SAW bersabda :

8


(34)

22

ْنع

دْ ع

ّّا

نْب

ْ ع

يض

ّّا

ا ْ ع

;

ّنأ

أ ْما

ْتلاق

( :

اي

س

ّّا

ّنإ

ي ْبا

ا

ناك

ي ْ ب

ل

ءاع

,

ييْدث

ل

ءاقس

,

ْجح

ل

ءا ح

,

ّنإ

ابأ

ي قّل

,

دا أ

ْنأ

ع تْ ي

ي م

اقف

ا ل

س

ّّا

ىلص

ه

يلع

ملس

تْنأ

ّقحأ

ب

ام

ْمل

ح ْ ت

)

ا

د ْحأ

,

بأ

د اد

,

حّحص

مكاحْلا

Artinya: “Dari Abdullah bin Ar Ra. Sesungguhnya seorang wanita datang

dan mengadu kepada Rasulullah , “ya Rasulullah sesungguhnya anak ini perut saya yang mengandungnya dan dari susu saya ia mandapat minuman, dan pangkuan sayalah yang menjadi penjaganya. Sedangkan ayahnya telah menceraikan saya, dan ia bermaksud memisahkan dia dari saya. Maka Rasulullah bersabda kepadanya: Engkau lebih berhak terhadap anakmu selama engkau belum kawin dengan orang lain. (Diriwayatkan oleh Abu Daud).9

Hadis diatas menjelaskan bahwa ibu yang lebih berhak untuk memelihara anaknya selama ia belum menikah dengan orang lain, dengan kata lain jika ibunya menikah, maka praktis hak asuh terhadap anaknya itu gugur lalu berpindah kepada ayahnya. Karena jika ibunya menikah lagi, besar kemungkinan perhatiannya akan beralih pada suaminya yang baru dan dikhawatirkan apabila hak asuh anak tetap diberikan kepada ibunya, maka anak akan mendapatkan perlakuan yang kurang baik sehingga akan lebih baik apabila hak asuh tersebut diberikan kepada ayahnya.

C. Syarat Bagi Pemegang Hak Hadhanah

Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang

disebut hadhin dan anak yang diasuh atau mahdun. Keduanya harus

9

Syaikh Nashiruddin al-Albani, Shahih Sunan Abi Dawud (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif li al-Nasyir wa al-Tawzi’ 1998) juz, II, h..32.


(35)

23

memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas pengasuhan itu. Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan ayah secara bersama berkewajiban untuk memelihara anak hasil dari perkawinan itu. setelah terjadinya perceraian dan keduanya harus berpisah, maka ibu dan ayah

berkewajiban untuk memelihara anak-anaknya.10

Adapun syarat-syarat sebagai pemegang hak hadhanah adalah seperti berikut:

a. Islam, terdapat perbedaan diantara para Ulama tentang boleh tidaknya

seorang anak diasuh oleh nonmuslim, Ulama madzhab Syafi’i dan Hambali mensyaratkan bahwa pengasuh harus seorang muslimah atau muslim, karena orang non-islam tidak punya kewenangan dalam mengasuh dan memimpin orang Islam, disamping itu juga dikhawatirkan pengasuh akan membawa anak masuk ke dalam agamanya. Apabila orang Islam tidak ada maka (menurut Imam

Hambali) diperbolehkan kepada kafir dzimmi karena kafir dzimmi lebih

dapat dipercaya dibandingkan kafir harbi. Akan tetapi, Ulama

madzhab Hanafi dan Maliki tidak mensyaratkan seorang pengasuh

harus muslimah, jika anak tersebut juga wanita.11

b. Baligh (dewasa), pengasuh itu haruslah orang yang sudah dewasa, karena seorang pengasuh yang masih kecil atau belum dewasa tidak bisa mengurus dirinya sendiri, apalagi mengurus orang lain, sehingga anak yang berada dalam asuhannya dikhawatirkan tidak akan tumbuh

10

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang, h. 328.

11

Abdurrahman al-Jaziry, Al-Fiqh Ala al-Madzahib Al-Arba’ah (Beirut: Dar al Fikr), jilid


(36)

24

dengan baik, oleh karena itu pengasuh harus orang yang lebih

dewasa.12

c. Berakal, jika orang yang tidak sempurna akal seperti gila, mereka tidak

diberikan kepercayaan untuk menjaga anak-anak. Mereka sendiri tidak dapat menjaga diri dengan baik, jadi bagaimana dapat memelihara anak-anak dan apa yang bersangkutan dengannya. Akan tetapi apabila gilanya orang tersebut hanya sementara saja seperti satu atau dua hari

dalam setahun, maka mereka masih memiliki hak hadhanah.

d. Mampu, mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan

mendidik mahdun (anak yang diasuh), dan tidak terikat dengan suatu

pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugas hadhanah jadi terlantar.13

e. Jujur, wanita fasik (jahat) bermoral rendah dan berakhlak buruk tidak

boleh mengasuh, sebab apabila dibawah asuhannya dikhawatirkan akan berpindah tingkah lakunya kepada anak yang diasuh. Imam

Taqiyuddin dalam “Kifayatul Akhyar” halaman 153, menganggap

jujur dan dipercaya itu cukup dilihat dari kenyataan, sebagaimana halnya dalam saksi perkawinan. Tetapi Ibnu Al Qayim membantah syarat ini, menurut pendapatnya adalah berkelakuan baik itu tidak termasuk dalam syarat, walaupun sahabat-sahabat Imam Muhammad

Idris As-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal mensyaratkannya.

12

Zakariya Ahmad Al-Barry, Hukum Anak-Anak dalam Islam, Penerjemah Chadijah Nasuiton, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977)h.57.

13

Satria Effendi, Problematika Hukum Kelurga Islam Kontemporer, (Jakarta; Kencana, 2004) h. 172.


(37)

25

f. Tidak kawin, hendaklah hadhinah tidak bersuamikan laki-laki yang

tidak ada hubungan mahram dengan si anak, jika ia menikah dengan

laki-laki yang ada hubungan mahram dengan si anak maka hadhinah

itu berhak melaksanakan hadhanah, seperti ia menikah dengan paman

anak tersebut, akan tetapi apabila hadhinah menikah lagi dengan

laki-laki yang tidak ada hubungan mahram dengan si anak maka hak

hadhanahnya gugur.14

g. Akhlak terpercaya, tiada hadhanah bagi orang yang tidak bisa

dipercaya merawat dan membina akhlak anak, seperti orang fasik, pemabuk, pezina atau perbuatan haram lainnya. Tetapi, menurut Ibnu Abidin ibu kandung yang fasik dan dapat merusak anak anak tetap berhak selama umur anak belum dapat memikirkan dan memahami sifat tercela ibunya, tetapi jika sudah berakal hak ibu dicabut. Dalam hal ini madzhab Malikiyah mensyaratkan tempat tinggal yang aman,

tiada hadhanah orang yang rumah atau lingkungan sekitarnya penuh

keburukan, karena dikhawatirkan dapat merusak anak atau hartanya dicuri atau dirampas. Menurut Muhyiddin al-Nawawi, orang fasik

tidak akan menunaikan hak hadhanah dan akan menghambat

perkembangannya sehingga anak tidak akan bahagia bersamanya,

sehingga tidak boleh diberikan kepadanya.15

14

Tihami dan Sahrani, sohari Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta : Rajawali Press, 2009) h.221.

15

Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh Al-Qadha,


(38)

26

h. Merdeka, seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan

tuannya, sehingga ia tidak ada kesempatan untuk mengasuh anak kecil. Ibnu Qayyim berkata : tentang syarat merdeka ini, tidaklah ada dalilnya yang meyakinkan hati. Hanya murid-murid dari tiga madzhablah yang menetapkannya. Dan Imam Malik bin Anas berkata tentang seseorang laki-laki yang merdeka yang punya anak dari budak perempuannya ; sesungguhnya ibunya lebih berhak selama ibunya tidak dijual, maka

hadhanahnya berpindah, dan ayahnya yang berhak atas anaknya.16

Kelompok madzhab Hanafiyah menyebutkan beberapa syarat yang harus dimiliki pengasuh. Syarat-syarat tersebut adalah seorang pengasuh

(suami atau istri) tidak melakukan riddah (seorang muslim), tidak fasik

(melakukan ibadah atau menjalankan ajaran agama dengan baik, dan tidak meninggalkan tempat (kota/rumah kediaman). Sementara kelompok Syafi’iyah menjelaskan bahwa terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi bagi seorang pengasuh, yaitu berakal, merdeka, muslim, penyayang, dapat dipercaya, berada ditempat kediaman asal dan tidak menikah lagi dengan

suami baru, kecuali suami pertama rela.17

D. Pihak yang Berhak Mendapatkan Hadhanah

Para Ulama berbeda pendapat tentang siapa yang berhak itu hadhin

(pengasuh) atau mahdhun (anak). Sebagian pengikut madzhab Hanafiyah

berpendapat bahwa hadhanah itu merupakan hak anak, sedangkan menurut

madzhab Syafi’iyah, madzhab Hambali, dan sebagian pengikut madzhab

16

Al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 2, (Darul Fattah: Kairo, tth) h.335. 17

Asep Saepudin Jahar, dkk. Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis (kajian perundang-undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional) (Jakarta :Prenada media group, 2013), h.35.


(39)

27

Malikiyah berpendapat bahwa yang berhak terhadapt hadhanah itu adalah

hadhin (pengasuh).18

Menurut Imam Abu Hanifah, hak itu secara berturut-turut dialihkan dari ibu kepada ibunya ibu, ibunya ayah, saudara-saudara perempuan kandung, saudara-saudara perempuan seibu, saudara-saudara perempuan si ayah, anak perempuan dari saudara perempuan kandung, kemudian anak perempuan dari saudara seibu, dan demikian seharusnya hingga pada bibi dari pihak ibu dan ayah.

Imam Malik bin Anas berpendapat bahwa hak asuhan itu berturut-turut dialihkan dari ibu kepada ibunya dan seterusnya ke atas, saudara perempuan ibu sekandung, saudara perempuan ibu seibu, saudara perempuan nenek perempuan dari pihak ibu, saudara perempuan kakek dari pihak ibu, saudara perempuan kakek dari pihak ayah, ibu-ibunya ayah, ibu bapaknya ayah dan seterusnya.

Menurut Imam Muhammad Idris As-Syafi’i, hak atas asuhan, secara

berturut-turut adalah, ibu, ibunya ibu dan seterusnya hingga ke atas dengan syarat mereka itu adalah pewaris-pewaris si anak. Sesudah itu adalah ayah, ibunya ayah, ibu dari ibunya ayah dan seterusnya hingga ke atas, dengan syarat mereka adalah pewaris-pewarisnya pula. Selanjutnya adalah kerabat-kerabat dari pihak ibu, dan disusul kerabat-kerabat-kerabat-kerabat dari ayah.

Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa, hak asuh itu berturut-turut berada pada ibu, ibunya ibu, ibu dari ibunya ibu, ayah, kakek, ibu-ibu

18


(40)

28

dari pihak kakek, saudara perempuan kandung, saudara perempuan seibu, saudara perempuan seayah, saudara perempuan ayah sekandung, seibu dan seterusnya.19

Ulama tidak sepakat dalam keutamaan haknya. Apabila ibu yang

berhak dan memenuhi syarat melepaskan haknya, kepada siapa hak hadhanah

itu beralih, hal ini menjadi pembicaraan dikalangan ulama. Sebagian ulama

berpendapat hak hadhanah pindah kepada ayah, karena ibunya merupakan

cabang, sedangkan ayah bukan merupakan cabang daripada haknya. Pendapat kedua yang dianggap lebih kuat mengatakan bahwa ibu melepaskan haknya, maka hak tersebut pindah kepada ibu-ibunya, karena kedudukan ayah dalam

hal ini lebih jauh urutannya.20

Pada masyarakat Batak Toba di Medan menganut sistem kekerabatan patrillineal yaitu dalam hal orang tuanya bercerai maka yang lebih berhak atas pemeliharaan/hak asuh anak hidup anak adalah pihak suami/kerabat suami, karena masyarakat dengan sistem kekerabatan patrilineal semua anak-anak akan mengikuti dan meneruskan marga ayahnya, dan kedudukan ini tidak akan berubah walaupun orang tuanya sudah bercerai. Namun dalam hal anak masih balita (masih menyusui), hak pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang dibawah umur, umumnya akan jatuh ke tangan ibunya. Hal ini sesuai dengan ketentuan agama, adat dan juga peraturan per-undang-undangan yang berlaku sekarang, khususnya dalam Kompilasi Hukum Islam, hal ini

19

Muhammad Jawad Mughniyyah. Fiqih Lima Madzhab, Penerjemah :Masykur A.D,

dkk, Al-Fiqh Ala Madzhab Al-Khomsah, (Jakarta : PT Lentera Basritama, 1996), h. 415-416. 20


(41)

29

disebabkan oleh karena anak-anak dibawah umur masih memerlukan

perhatian dari ibunya.21

Kompilasi Hukum Islam menjelaskan dalam Pasal 156 bahwa yang

berhak mendapatkan hak asuh anak (hadhanah) adalah sebagai berikut;

a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari

ibunya, kecuali bila ibunya meninggal dunia, maka kedudukannnya digantikan oleh:

1. Wanita-wanita garis lurus ke atas dari ibu.

2. Ayah.

3. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah.

4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan.

5. Wanita-wanita kerabat menurut garis kesamping dari ibu,

6. Wanita-wanita kerabat menurut garis ke samping dari ayah.

b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih mendapatkan

hadhanah dari ayah atau ibunya;

c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin

keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan

hadhanah telah tercukupi, maka atas permintaan kerabat yang

bersangkutan Peradilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah

kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.

21

E. Sitorus, Hak Asuh Anak dalam Hukum Adat Batak Toba,


(42)

30

d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab

ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri (21 tahun).

e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah

anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c) dan (d).

f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya

menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan

anak-anak yang turut padanya.22

Meskipun dari banyak keterangan diatas yang menjelaskan bahwa pihak yang paling berhak mendapatkan hak asuh anak adalah ibu, akan tetapi pihak yang berkewajiban untuk memberikan nafkah bagi si anak adalah ayah, sebagaimana dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasa 105 c, yang berbunyi:

Biaya pemeliharaan (anak) ditanggung oleh ayahnya. Pasal 104.

(1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada

ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyususan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.

22

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h. 334-335.


(43)

31

(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama 2 tahun, dan dapat

dilakukan penyapihan dalam masa kurang 2 tahun dengan

persetujuan ayah dan ibunya.23

E. Masa Hadhanah

Tidak jumpai ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis yang menerangkan

dengan tegas tentang masa hadhanah. Namun , hanya terdapat isyarat-isyarat

yang menerangkan ayat tersebut. Karena itu, para Ulama berijtihad sendiri-sendiri dalam menetapkan dengan berpedoman pada isyarat itu. Seperti

menurut Imam Abu Hanifah, hadhanah anak laki-laki berakhir pada saat anak

laki-laki itu tidak ada lagi memerlukan penjagaan dan telah dapat mengurus keperluannya sehari-hari, seperti makan, minum, mengatur pakaian,

membersihkan tempatnya, dan sebagainya. Sedangkan masa hadhanah

wanita berakhir apabila ia telah baligh, atau telah datang masa haid

pertamanya.24

Menurut Imam Muhammad Idris As-Syafi’i, tidak ada batasan tertentu

bagi asuhan. Anak tetap tinggal bersama ibunya sampai dia bisa menentukan pilihan apakah tinggal bersama ibu atau ayahnya. Apabila si anak sudah sampai pada tingkat ini, dia diperintahkan untuk memilih apakah tinggal bersama ayah atau ibunya. Apabila seorang anak laki-laki memilih tinggal bersama ibunya, maka ia boleh tinggal bersama ibunya pada malam hari dan dengan ayahnya pada siang hari, agar si ayah bisa mendidiknya. Sedangkan bila si anak itu perempuan dan memilih tinggal bersama ibunya, maka ia

23

Abdul Manan dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2002), h. 78.

24


(44)

32

boleh tinggal bersama ibunya siang dan malam, tetapi bila si anak memilih untuk tinggal bersama ayah dan ibunya, maka dilakukan undian, bila si anak diam (tidak memberikan pilihan) maka dia ikut bersama ibunya.

Imam Malik bin Anas berpendapat: masa asuh anak laki-laki adalah

sejak ia dilahirkan hingga baligh, sedangkan anak perempuan hingga

menikah.

Menurut Imam Ahmad bin Hambal: masa asuh anak laki-laki dan perempuan adalah tujuh tahun, dan sesudah itu si anak diberikan kebebasan untuk memilih apakah akan tinggal bersama ayah atau ibunya, kemudian si anak tinggal bersama salah satu dari orang tuanya yang dipilih tersebut.

Berdasarkan keterangan diatas maka para ahli fikih pada umunya membagi masa pengasuhan itu kepada dua masa, yaitu :

a. Masa anak kecil ialah masa sejak anak dilahirkan sampai anak

berumur antara tujuh dan sembilan tahun terserah kepada pengasuh untuk menetapkan batas-batas umur itu, pada masa ini kepada anak belum dapat mengurus dirinya sendiri. Seorang anak memerlukan pelayanan, penjagaan dan didikan dari pengasuhnya. Pada masa ini kepada anak telah dapat secara berangsur-angsur ditanamkan

kepercayaan dan kecintaan kepada Allah sesuai dengan

kemampuannya sebagai anak-anak, bahkan agama menganjurkan agar

meng-iqamatkan anak yang baru lahir apabila ia perempuan dan

mengazankannya apabila ia anak laki-laki. Diantara tujuannya ialah agar kalimat yang mula-mula didengar anak-anak yang baru lahir itu


(45)

33

adalah kalimat-kalimat tauhid. Disamping itu telah mulai diajarkan tentang budi pekerti dengan mengemukakan contoh-contoh yang baik.

b. Masa kanak-kanak, masa ini dimulai sejak anak berumur tujuh atau

sembilan tahun dan berakhir pada waktu anak berumur sembilan atau sebelas tahun. Pada masa ini anak-anak telah dapat mengurus dirinya sendiri, telah mulai mencari teman dan pada umumnya telah masuk waktu untuk bersekolah. Karena itu ia telah boleh memilih pengasuh yang ia inginkan diantara pengasuhnya yang ada. Pada masa ini telah diajarkan latihan-latihan untuk mengerjakan kewajiban-kewajiban agama, seperti, solat, puasa dan sebagainya, sehingga apabila ia telah

baligh, ia tidak canggung lagi dan telah terbiasa mengerjakannya.25 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 47 menjelaskan “anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang

tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaannya.26

Kompilasi Hukum Islam menjelaskan tentang kapan berakhirnya masa

hadhanah :

a. Dalam Pasal 105 menjelaskan pemeliharaan anak yang belum

mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya

b. Pasal 98 ayat 1 menjelaskan batas usia anak yang mampu berdiri

sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak

25

Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang perkawinan, (Jakarta:PT. Bulan Bintang, 1974), h. 146-147.

26

R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, edisi revisi.


(46)

34

bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan

Kekuasaan orang tua itu berlaku sejak saat lahirnya seorang anak (dalam hal anak luar kawin yang disahkan). Sejak hari pengesahannya itu berakhir pada saat anak itu menjadi dewasa atau telah menikah dan pada waktu perkawinan orang tuanya telah meninggal dunia atau karena perceraian. Adapula kemungkinan menurut Pasal 229 KUH Perdata (BW) selama perkawinan bapak dan ibunya, setiap anak sampai mereka itu dewasa tetap bernaung dibawah kekuasaan mereka, sejauh mereka tidak dibebaskan

atau dilepaskan dari kekuasannya itu.27

Pada prinsipnya hadhanah hukumnya adalah wajib, karena anak yang

dipelihara (al-mahdun) akan mengalami masa depan yang tidak pasti jika

kewajiban hadhanah diabaikan oleh individu atau masyarakat. Kewajiban

memelihara, mengasuh mendidik dan memenuhi kebutuhan anak, adalah dalam tanggung jawab sosial masyarakat sebagai upaya menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan dan pertumbuhan fisik dan psikologis anak.

Hadhanah menjadi hak anak-anak masih kecil, karena ia masih membutuhkan pengawasan, penjagaan dan pelaksanaan urusannya, dari orang yang mendidiknya, yaitu orang tuanya. Jika terjadi perpisahan antara ibu dan ayahnya, sedangkan mereka memiliki anak, maka ibunya lebih berhak daripada ayahnya, selama tidak ada alasan pencegahan pencabutan

27

Masita Harumawati, “Hak Perwalian Anak Apabila Terjadi Perceraian (Studi di Pengadilan Negeri Semarang dan Pengadilan Agama Semarang), “(Tesis S2 Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Kenotariatan UNDIP Semarang, 2007), h.27.


(47)

35

hadhanah, maupun karena alasan anak sudah mampu memilih, apakah akan

ikut ibu atau ayahnya.28 Dengan demikian permasalahan hak asuh anak

merupakan suatu yang wajar dalam hal terjadinya perceraian, dikarenakan sifat rasa ingin memiliki terhadap anak hasil dari pernikahan, maka dalam hal ini Pengadilan dapat memutuskan siapakah pihak yang paling berhak mendapatkan hak asuh anak tersebut.

Pasal 38 ayat 1 Undang-Undang No 23 Tahun 2002 menyebutkan bahwa suatu pengasuhan anak, dilaksanakan tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan mental. Dan ayat 2 yang menjelaskan bahwa pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 , diselenggarakan melalui kegiatan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, danpendidik secara berkesinambungan, serta dengan memberikan bantuan biaya dan/atau fasilitas lain, untuk menjamin tumbuh kembang anak secara optimal, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial, tanpa mempengaruhi

agama yang dianut anak.29

28

Andi Syamsu Alam dan M Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam,

(Jakarta : Kencana Prenada Grup, 2010) cet ke-1 h. 127. 29


(48)

36

BAB III

HAKIM DAN KONSEP PENEMUAN HUKUM A. Syarat-syarat Untuk Diangkat Menjadi Hakim

Qadi/hakim merupakan unsur yang sangat penting dalam

melaksanakan hukum syara’. Qadi merupakan orang yang bertanggungjawab

sepenuhnya, menjaga dan mempertahankan hukum syara’ dalam rangka

menegakan kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, Islam mensyaratkan

dengan ketat untuk diangkat sebagai qadi/hakim. Tujuannya adalah untuk

memastikan orang yang memegang jabatan benar-benar orang yang berwibawa, luas pengetahuannya dan bisa dipercaya. Agar tujuan ini dapat tercapai, Islam telah menetapkan beberapa syarat yang wajib dipenuhi dalam

mengangkat seorang qadi.1

Para ahli memberikan syarat-syarat dalam mengangkat seorang hakim, walaupun ada perbedaan dalam syarat-syarat tersebut. Syarat yang dimaksud adalah sebagi berikut:

1. Laki-laki merdeka

Menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, anak kecil dan wanita

tidak sah menjadi hakim, namun madzhab Hanafi membolehkan

wanita menjadi hakim dalam masalah pidana dan qishas karena kedua

hal tersebut kesaksiannya tidak dapat diterima.

2. Berakal (mempunyai kecerdasan)

1

Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, (Jakarta:kencana, 2007), h. 21.


(49)

37

Syarat yang disepakati oleh seluruh Ulama. Hakim harus orang yang cerdas, bijaksana, mampu memperoleh penjelasan dan menanggapi

sesuatu yang musykil.

3. Beragama Islam

Adapun alasan mengapa ke-Islaman seseorang menjadi syarat seorang hakim, karena ke-Islaman adalah syarat untuk menjadi saksi atas seorang muslim, demikian menurut jumhur Ulama. Karenanya, hakim nonmuslim tidak boleh mengutus perkara orang muslim.

Imam Abu Hanifah berpendapat lebih rinci, yakni membolehkan mengangkat hakim nonmuslim untuk memutus perkara orang nonmuslim karena orang yang dipandang cakap untuk menjadi saksi

harus pula cakap menjadi hakim. Tetapi, tidak boleh seorang kafir

dzimmi memutus perkara orang muslim karena kafir dzimmi tidak

boleh menjadi saksi bagi orang muslim.2

4. Adil

Seorang hakim harus terpelihara dari perbuatan-perbuatan haram, dipercaya kejujurannya, baik diwaktu marah atau tenang, dan perkatannya harus benar. Sebagaimana Firman Allah dalam Surah Al Hujuraat ayat 6:

لا جب ام ق ا ْيصت ْنأ ا ّي تف إ ب قساف ْمكءاج ْنإ ا ماء نْي ّلا ا ّيأي

نيمدان م تْلعفام ىلعا ح ْصت ف

2

Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia, Dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut, (Malang:UIN-Malang Press, 2008), h.12.


(50)

38

Artinya: ’’Wahai orang-orang beriman, Jika datang kepadamu orang fasik yang membawa sesuatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum kerana kebodohan(kejahilan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu."

Terdapat perbedaan pendapat antara madzhab Hanafi dan Syafi’i

dalam permasalahan ini. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa putusan

hakim yang fasik adalah sah bila sesuai dengan syara’ dan

undang-undang. Sedangkan madzhab Syafi’i tidak membolehkan mengangkat

orang fasik menjadi hakim karena tidak dapat diterima sebagai saksi

5. Mengetahui segala pokok hukum dan cabang-cabangnya

Hakim harus mengetahui pokok-pokok dan cabang-cabang hukum agar memperoleh jalan untuk perkara yang diajukan padanya. Dalam

hal ini, Imam Abu Hanifah membolehkan mukallid menjadi hakim

sesuai pendapat Al-Ghazali karena mencari orang yang adil dan ahli

ijtihad sangat sulit dengan ketentuan telah diangkat oleh penguasa.3

6. Mendengar, melihat dan tidak bisu.

Hal ini penting bagi seorang qadi karena akan memberikan arahan dan

menanyakan segala hal kepada pihak-pihak yang berperkara. Jika ia tidak bisa mendengar dan bisu, maka ia tidak akan dapat mencari fakta-fakta hukum dan mengetahui tentang pembuktian, sehingga putusan yang dijatuhkan akan menyimpang dari persoalan yang

3

Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia, Dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut, h.13.


(1)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

• Bahwa,menurut adat Batak anak secara biologis milik ayahnya, namun secara

sosiologis anak tersebut milik semua kerabat ayahnya, sekiranya ayah kandungnya tidak bertanggung jawab adalah tabu anak tersebut diurus,diasuh dan dipelihara marga lain,tetapi harus diasuh,dipelihara dan dididik marganya sendiri;

•Bahwa, dalam perkembangan hukum modern, Pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memilih hal terbaik mengenai pengasuhan anak, namun secara norma hukum Adat Batak hak pengasuhan anak menjadi hak ayahnya dan keluarga ayahnya yang satu marga .

• Bahwa,sesuai dengan Undang-Undang, Hakim berwenang memberikan putusan yang

menyimpang dari norma-norma hukum yang bersifat mengatur demi kepentingan dan kebaikan si anak namun harus sesuai dengan hukum dan norma-norma dalam masyarakat;

• Bahwa, secara psikologi mengenai adat Batak tidak bisa menerima alasan perceraian

dari perempuan, sangat tabu kalau perceraian diajukan pihak perempuan, makanya harus berjuang agar anak tidak lari kepada pihak lain karena anak tidak bisa dipisahkan dengan marganya dan itu dianggap tabu;

• Bahwa, hubungan anak dengan ibu yang tidak diberi marga berisiko sangat rendah dan bila terjadi perceraian tidak ada konpensasi dan pembicaraan, putus begitu saja;

• Bahwa,dalam adat Batak siapapun yang mengajukan perceraian kurang baik, kalau yang mengajukan pihak perempuan dianggap tabu dan akan dicemooh dan bila suaminya menganggap istrinya kurang baik dia akan mengembalikan istrinya tersebut;

• Bahwa,kalau ayahnya tidak bertanggung jawab terhadap anaknya, dalam adat kekerabatan Batak yang akan mengurus anak tersebut adalah kerabat ayahnya; --

Menimbang, bahwa dengan fakt-fakta hukum dan pendapat akhli hukum Adat Batak

Dr. BARITA LH SIMANJUNTAK adalah tepat 2 orang anak-anak Penggugat dengan Tergugat diserahkan hak untuk mengasuh, memelihara dan mendidiknya kepada Tergugat sebagai ayah kandungnya sampai anak-anak tersebut berusia dewasa atau sudah menikah,tanpa mengurangi hak Penggugat untuk mengunjunginya sewaktu-waktu diperlukan sesuai dengan kesepakatan Penggugat dengan Tergugat, demi kepentingan pertumbuhan psikologis anak-anak tersebut ;

---Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(2)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Menimbang, bahwa “baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan “ , (Vide pasal 41 huruf a Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan);

---Menimbang, bahwa Penggugat dalam kesimpulannya mengutip Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.102 K/SIP/1973 tanggal 24 April 1975 “Berdasarkan Yurisprudensi mengenai Perwalian Anak,patokannya ialah ibu kandung yang diutamakan, khususnya bagi anak-anak yang masih kecil karena kepentingan kesejahteraan anak yang menjadi kriterianya”;

Menimbang, bahwa Yurisprudensi No.102 K/SIP/1975 tanggal 24 April 1975 tersebut tidak dapat diterapkan dalam perkara gugatan aquo karena Yurisprudensi tersebut menyangkut hak Perwalian anak dibawah umur, sedangkan fakta hukum membuktikan Penggugat dan Tergugat sebagai ibu dan ayah kandung dari anak-anaknya tidak pernah dicabut kekuasaannya terhadap anaknya melalui keputusan Pengadilan(vide pasal 47 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan);

Menimbang , bahwa demikian pula pendapat akhli dari Penggugat

MIRA DAMAYANTI AMIR akhli psikologi anak pada pokoknya berpendapat bahwa anak-anak yang masih dibawah umur idealnya tetap berada dibawah asuhan, pemeliharaan dan didikan kedua orang tua kandungnya demi kepentingan perkembangan psikologi anak,namun dalam kondisi tidak normal dimana orang tua kandungnya bermasalah dan bercerai maka Pengadilan berwenang menetapkan berdasarkan fakta-fakta dipersidangan,siapa diantara kedua orang tua yang paling tepat diberikan hak untuk mengasuh,memelihara dan mendidik anak-anak tersebut

;--Menimbang, bahwa dengan pertimbangan tersebut diatas maka petitum gugatan poin 4 tentang nafkah anak-anak sebesar Rp.40.000.000,00 perbulan haruslah dinyatakan ditolak karena tidak cukup beralasan hukum;

Menimbang, bahwa dengan pertimbangan tersebut diatas gugatan Penggugat hanya dikabulkan untuk sebagian dan menolak selain dan

Menimbang, bahwa perkawinan yang putus karena perceraian, segala akibat hukumnya secara limitatif telah ditentukan hal-hal yang wajib dilakukan kedua belah pihak atau salah satu pihak, apabila selama perkawinan timbul atau terjadi peristiwa-peristiwa baru

Hal 37 dari 39 hal. Putusan nomor.282/Pdt.G/2014/PN.TNG

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(3)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

yang menyertainya seperti lahirnya anak-anak,atau kewajiban-kewajiban lainnya yang bersifat yuridis maupun

Menimbang, bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus (vide pasal 45 UU No 1 Tahun 1974 tentang

Menimbang, bahwa undang-undang memerintahkan perlunya tindakan administratif, yaitu Panitera Pengadilan Negeri Tangerang atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk wajib mengirimkan satu helai salinan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, tanpa meterai kepada Pegawai Pencatat ditempat perceraian itu terjadi, in casu Kantor Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan Kota Tangerang Selatan dan Pegawai Pencatat mendaftar putusan perceraian dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu,dan menerbitkan Akta Perceraian;

Menimbang,bahwa ternyata perkawinan Penggugat dengan Tergugat dilangsungkan dan didaftarkan di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Depok, untuk itu salinan putusan juga dikirimkan ke Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Depok;

Menimbang,bahwa kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut menjadi tanggungjawab Panitera yang bersangkutan apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau istri atau keduanya,(vide pasal 35 ayat 1, 2 dan 3 PP No.9 Tahun 1975) ;

Menimbang, bahwa perceraian dianggap terjadi beserta akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh pegawai pencatat, (vide pasal 34 ayat 2 PP No.9 Tahun 1975) ;

Menimbang, bahwa tindakan administratif lainnya berupa laporan tentang perceraian wajib dilakukan para pihak, kepada Instansi Pelaksana paling lambat 60 hari sejak putusan Pengadilan tentang perceraian yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perceraian dan menerbitkan Kutipan Akta Perceraian,(vide pasal 40 ayat 1 dan 2 UU No.23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan) ;

---Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(4)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Menimbang, bahwa berkenaan dengan uraian pertimbangan tersebut, Tergugat berada pada pihak yang kalah, kepadanya dibebani untuk membayar biaya perkara yang jumlahnya dicantumkan dalam amar putusan dibawah ini;

Mengingat, Undang Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975,Undang Undang No 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan dan peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan ;

---M E N G A D I L I

1 Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian; ---2 Menyatakan perkawinan Penggugat dengan Tergugat yang dilaksanakan dihadapan

pemuka Agama Kristen Protestan Pdt.B.D.F Sidabutar di Gereja Huria Batak Protestan, sebagaimana Kutipan Akta Perkawinan Nomor : 268/I/2004 tanggal 13 Desember 2004, dikeluarkan Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota

Depok, putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya;

---3 Menyatakan anak-anak Penggugat dan Tergugat bernama : Jordyn Manuella Dametia Napitupulu (perempuan), lahir di Tangerang tanggal 16 Agustus 2009 dan

Gary Nathaniel Napitupulu (laki-laki),lahirdi Tangerang tanggal 5 April 2010, yang masih berusia dibawah umur, hak untuk mengasuh , mendidik , memelihara diserahkan kepada Tergugat sampai anak - anak tersebut beranjak dewasa atau telah menikah dan mandiri, tanpa mengurangi hak Penggugat untuk mengunjunginya sewaktu-waktu diperlukan sesuai dengan kesepakan Penggugat dengan Tergugat, demi kepentingan pertumbuhan psikologis anak-anak tersebut;

4 Memerintahkan kepada Panitera/Sekretris Pengadilan Negeri Tangerang atau pejabat yang ditunjuk, untuk mengirimkan sehelai salinan putusan ini tanpa meterai yang telah berkekuatan hukum tetap kepada Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Tangerang Selatan untuk didaftarkan dalam sebuah daftar untuk itu dan menerbitkan akta cerai, dan mengirimkan pula Kepada Kepala Kantor Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Depok dan dicatat pada bagian pinggir dari daftar catatan perkawinan;

---5 Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;

---Hal 39 dari 39 hal. Putusan nomor.282/Pdt.G/2014/PN.TNG

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(5)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

6 Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara dihitung berjumlah sebesar Rp.791.000,- (tujuh ratus sembialn puluh satu ribu rupiah) ; Demikian diputuskan dalam sidang permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang, pada hari Senin, tanggal 9 Februari 2015, oleh I Made Suraatmaja,S.H,M.H, Hakim Ketua Majelis, Indri Murtini,S.H, dan Ratna Mintarsih,S.H,M.H, hakim-hakim anggota majelis;

Putusan telah dibacakan dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, Senin 16 Februari 2015 oleh Majelis Hakim tersebut, dibantu Teti Ismiati,S.H, Panitera Pengganti, dihadiri kuasa hukum Penggugat dan Tergugat

.---Hakim-Hakim Anggota Hakim Ketua Majelis

INDRI MURTINI,S.H. I MADE SURAATMAJA,S.H,M.H.

RATNA MINTARSIH,S.H,M.H. Panitera Pengganti

TETI ISMIATI, S.H.

Perincian :

1 Biaya Pendaftaran/PNBP … Rp. 30.000,-2 Biaya ATK/Pemberkasan…...Rp. 50.000,-3 Biaya Panggilan …...Rp. 700.000,- 4 Redaksi Putusan…………...Rp. 5.000,-5 Materai Putusan...Rp.

6.000,-Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(6)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

JUMLAH ...Rp. 791.000,-( tujuh ratus sembilan puluh satu ribu rupiah).---

Hal 41 dari 39 hal. Putusan nomor.282/Pdt.G/2014/PN.TNG

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id