Pengaruh Penambahan Serat Polypropylene Terhadap Kuat Awal Beton Type SCC (Self Compacting Concrete)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarkan penelitian Ozawa, dkk (1989) menyimpulkan bahwa Flow ability &
karakteristik kuat tekan pada beton SCC paling optimal adalah dengan penggunaan 1020% Fly Ash dari berat semen. Pada pada penelitian ini, semen di substitusi sebesar 10%
menggunakan Fly Ash.
Berdasarkan penelitian Rusyandi, dkk (2012) mengenai perancangan beton Self
Compacting Concrete (beton memadat sendiri) dengan penambahan fly ash dan
structuro sebagai superplastizer mendapatkan kesimpulan, yaitu (1) Penggunaan fly ash
dapat digunakan sebagai filler atau bahan pengganti semen dalam pembuatan rancangan
Self Compacting Concrete. (2) Penggunaan admixture Strcturo dalam batas nilai tertentu
sangat dominan pengaruhnya terhadap workability campuran beton SCC maupun
kekuatan dan mutu beton yang dihasilkan. Sifat water reducer yang tinggi pada
Structuro dapat menjaga nilai fas tetap rendah dengan tidak mengurangi workabilitas
campuran beton yang diharapkan.
Menurut penelitian Sugiharto, dkk (2006) mengenai penelitian peningkatan
kekuatan awal beton pada self compacting concrete. Hasil penelitian menunjukan
penggunaan Filler sebesar 2% dan Glenium Ace-80 sebagai Superplasticizer sebesar
2.5% sudah mampu mencapai criteria self compatible sekaligus kuat tekan awal yang
baik pula karena nilai water-binder ratio tetap dijaga pada nilai yang rendah.
Menurut penelitian Yuri, dkk (2015) mengenai pengaruh penambahan serat
polypropylene terhadap mekanisme beton normal. Peningkatan hasil pengujian kuat
tarik belah & kuat lentur beton normal dengan serat polypropylene tertinggi terjadi pada
variasi serat 1,0 kg/m3 berturut-urut sebesar 40,22% dan 35,19%. Maka, pada penelitian
ini peneliti menggunakan variasi serat lebih kecil dari 1,0 kg/m3 karena pada beton SCC
jumlah serat yang digunakan lebih sedikit dibanding dengan beton normal.
6
Universitas Sumatera Utara
2.1. Pengertian Beton
Menurut (SNI-03-2847-2002), pengertian beton adalah campuran antara semen
Portland atau semen hidraulik lainnya, agregat halus, agregat kasar, dan air, dengan atau
tanpa bahan tambahan yang membentuk massa padat. Beton disusun dari agregat kasar
dan agregat halus. Agregat halus yang digunakan biasanya adalah pasir alam maupun
pasir yang dihasilkan oleh industri pemecah batu, sedangkan agregat kasar yang dipakai
biasanya berupa batu alam maupun batuan yang dihasilkan oleh industri pemecah batu.
Menurut Soetjipto dan Ismoyo (1978), Beton dalam konstruksi teknik
didefinisikan sebagai batu buatan yang dicetak pada suatu wadah atau cetakan dalam
keadaan cair atau kental yang kemudian mampu untuk mengeras secara baik. Beton
terdiri dari agregat halus, agregat kasar dan suatu bahan pengikat. Bahan pengikat yang
lazim dipakai umumnya adalah bahan pengikat yang bersifat hidrolik dalam arti akan
mengikat dan mengeras secara baik kalau dicampur dengan air.
2.2. Beton Self Compacting Concrete
Beton Self Compacting Concrete (SCC) adalah beton inovatif yang mampu
“mengalir” dan memadat sendiri oleh gravitasi dan berat sendirinya dengan penggetaran
sedikit atau bahkan tanpa bantuan alat getar sama sekali. Beton SCC mampu mengisi
seluruh area cetakan dan padat bahkan pada area dengan tulangan yang cukup rapat.
Beton SCC memiliki beberapa keuntungan diantaranya :
•
Pengerjaan lebih mudah
•
Waktu pengerjaan singkat
•
Mengurangi jumlah pekerja
•
Permukaan lebih mulus
•
Desain struktur tidak terbatas
•
Mengurangi tingkat kebisingan dan getar
•
Lingkungan kerja lebih nyaman
7
Universitas Sumatera Utara
Untuk mendapatkan beton SCC dengan deformabilitas tinggi dan kemungkinan
segregasi yang rendah maka diatur agar beton (1) mempunyai kadar agregat yang
rendah, (2) faktor air-binder yang rendah dan (3) menggunakan superplasticizer. Dengan
campuran yang mudah berdeformasi tapi tetap dapat mempertahankan kekentalannya
(viskositas) maka beton SCC akan memadat sendiri dan tidak mengalami segregasi.
(Paul & Antoni, 2007)
Okamura dan Ozawa (1995) mengusulkan metode mix design yang sederhana
untuk mendapatkan campuran beton dengan tingkat workabilitas dan kekuatan awal
yang tinggi. Hal-hal yang perlu diperhatikan diantaranya :
•
Agregat kasar dibatasi jumlahnya sampai kurang lebih 50% dari volume
solid
•
Volume agregat halus ditetapkan hanya 40% dari total volume mortar
•
Rasio volume untuk air dan binder dijaga pada level kurang lebih 0.3
•
Penggunaan superplasticizer pada campuran
beton
untuk
tingkat
workability yang tinggi sekaligus menekan faktor air semen.
•
Ditambahkan bahan pengisi (filler) pada campuran beton antara lain Fly
Ash dan Silica Fume untuk meningkatkan keawetan dan kekuatan beton.
Filler yang digunakan pada penelitian ini adalah Fly Ash hasil pembakaran
batubara dari PLTU Pangkalan Susu, Langkat, Sumatera Utara. Superplasticizer yang
digunakan untuk penelitian ini adalah Master Glenium Ace 8590 produksi PT. BASF.
2.3 Bahan Penyusun Beton Self Compacting Concrete
Material penyusun beton Self Compacting Concrete adalah sama dengan material
yang digunakan pada beton normal umumnya. Meskipun demikian, untuk mencapai
keseragaman dan konsitensi performa beton SCC, diperlukan perhatian lebih dalam
memilih material juga diperlukan pengawasan yang baik.
8
Universitas Sumatera Utara
2.3.1 Semen
Fungsi utama semen pada beton adalah sebagai bahan pengikat. Mulyono (2004),
mengatakan bahwa semen merupakan campuran dari senyawa CaO (kapur), SiO3
(silika), Al2O3 (alumina) dan MgO (magnesia) serta sedikit alkali. Untuk mengatur
waktu ikat semen biasanya ditambahkan dengan CaSO4.2H2O (gipsum). Pemilihan
semen yang tepat adalah dengan menentukan syarat yang spesifik sesuai pada aplikasi
campurannya. Menurut ASTM, semen dibagi menjadi 5 tipe yaitu :
1. Tipe I – Ordinary Portland Cement
Yaitu jenis semen portland untuk penggunaan dalam konstruksi beton secara
umum yang tidak memerlukan sifat-sifat khusus.
2. Tipe II – Modified Portland Cement
Semen ini memiliki panas hidrasi yang lebih rendah dan keluarnya panas lebih
lambat daripada semen jenis I. Jenis ini digunakan untuk bangunan-bangunan
tebal, seperti pilar dengan ukuran besar, tumpuan dan dinding penahan tanah
yang tebal. Panas hidrasi yang agak rendah dapat mengurangi terjadinya retakretak pengerasan.
3. Tipe III – High Early Streght Portland Cement
Jenis ini memperoleh kekuatan besar dalam waktu singkat, sehingga dapat
digunakan untuk perbaikan bangunan beton yang perlu segera digunakan atau
yang acuannya perlu segera dilepas. Selain itu juga dapat dipergunakan pada
daerah yang memiliki temperatur rendah, terutama pada daerah yang mempunyai
musim dingin
4. Tipe IV – Low Heat Portland Cement
Jenis ini merupakan jenis khusus untuk penggunaan yang memerlukan panas
hidrasi serendah-rendahnya. Kekuatannya tumbuh lambat. Jenis ini digunakan
untuk bangunan beton massa seperti bendungan-bendungan gravitasi besar.
5. Tipe V – Sulfate Resisting Portland Cement
Jenis ini merupakan jenis khusus yang maksudnya hanya untuk penggunaan pada
bangunan-bangunan yang kena sulfat, seperti di tanah atau air yang tinggi kadar
9
Universitas Sumatera Utara
alkalinya. Pengerasan berjalan lebih lambat daripada semen portland biasa.
(Wuryati S. dan Candra R.,2001)
Berdasarkan EFNARC (2002), untuk memproduksi campuran beton SCC dapat
menggunakan semua jenis semen sesuai standard BS EN 971. Jumlah semen yang
digunakan untuk beton SCC berkisar antara 350 – 450 Kg/m3 beton. Penggunaan semen
lebih dari 500 Kg/m3 dapat meningkatkan susut beton. Penggunaan semen kurang dari
350 Kg/m3 hanya dapat dilakukan dengan penggunaan bahan tambah yang baik seperti
Fly Ash dan bahan lainnya yang bersifat pozzolan.
Penelitian ini menggunakan Semen Padang Tipe I sebagai bahan pengikat utama
campuran. Semen ini telah lulus standar BS EN 971-1:2000 dan dapat digunakan untuk
memproduksi beton SCC.
2.3.2 Agregat
Agregat adalah material pada campuran beton yang tidak bereaksi dan hanya
diikat oleh pasta semen. Agregat ini harus bergradasi sedemikian rupa sehingga seluruh
massa beton dapat berfungsi sebagai benda yang utuh, homogen, dan rapat, dimana
agregat yang berukuan kecil berfungsi sebagai pengisi celah yang ada diantara agregat
berukuran besar. ( Nawy, 1998 ).
Pada beton SCC, pemilihan agregat berpengaruh terhadap workability campuran.
Kekasaran agregat, absorbsi, gradasi yang bervariasi harus diperhitugkan untuk
menghasilkan beton SCC yang berkualitas baik.
Agregat Halus
Menurut SK SNI S-04-1989-F (Spesifikasi Bahan Bangunan Bagian A), agregat
halus harus memenuhi syarat berikut :
•
Butir-butirnya tajam dan keras dengan indeks kekerasan < 2,2
•
Kekal, tidak pecah atau hancur oleh cuaca
10
Universitas Sumatera Utara
•
Tidak mengandung lumpur >5%
•
Tidak mengandung zat organis yang terlampau banyak
•
Modulus kehalusan antara 1,5-3,8 dengan variasi butir sesuai standar gradasi
•
Agregat halus dari pantai dapat dipakai asalkan dengan petunjuk dari
lembaga pemeriksaan bahan yang diakui.
Semua jenis agregat halus normal dapat digunakan pada SCC termasuk untuk pasir
crushed shape maupun rounded shape (EFNARC, 2002)
Agregat Kasar
Menurut SK SNI S-04-1989-F (Spesifikasi Bahan Bangunan Bagian A), agregat
kasar harus memenuhi syarat berikut :
•
Butirannya keras dan tidak berpori dengan indeks kekerasan 4
9 – 15
50 – 5000
Berat
Modulus
3
Jenis (10 Elastisitas
kg/m3)
(GPa)
255
3.37
0.09
1.14
- 2.6
7.86
1.6
164
196
5 - 10
4
- 80
200
50
Sumber : Paul & Antoni, “Teknologi Beton”, 2007
Kuat
Tarik
(GPa)
Perpanjangan
pada Saat
Putus (%)
3.1
3.5
0.5
0.9
2-4
1–3
> 0.7
2 – 3.0
2 – 3.0
10 – 20
- 15
2 – 3.5
3-4
- 1.4
Penambahan serat pada beton SCC akan berpengaruh pada workability campuran
beton segar karena dapat menurunkan kemampuan alir (flow ability) dan kemampuan
campuran mengisi ruang (passing ability). Maka, diperlukan pemilihan serat yang tepat,
jumlah dan panjang serat yang digunakan agar dapat mencapai persyaratan yang
diizinkan sebagai beton SCC. Penggunaan serat yang terlalu sedikit atau terlalu banyak
tidak menghasilkan efek baik untuk beton. jika serat yang digunakan terlalu banyak akan
14
Universitas Sumatera Utara
mengurangi kelecekan beton serta menciptakan balling, yaitu kondisi serat kan saling
berkaitan dan membentuk bola yang sangat berongga dan tentunya akan mengurangi
kekuatan beton.
EFNARC membatasi penggunaan serat dalam pembuatan beton Self Compacting
Concrete sebanyak kurang dari 1.0 Kg/m3 volume beton. Pada penelitian ini, peneliti
menambahkan serat pada campuran beton SCC berbahan Polypropylene produksi PT.
BASF dengan variasi penggunaan 0 Kg/m3, 0.25 Kg/m3, 0.5 Kg/m3, dan 0.75 Kg/m3.
Data spesifikasi serat polypropylene yang akan digunakan pada penelitian ini adalah
sebagai berikut :
Tabel 2.3 Spesifikasi serat
MasterFiber Fibrillated type 38mm
Berat Jenis
0.91
Titik Leleh
169 ˚C
Titik Nyala
590 ˚C
Bahan
Polimer
Warna
Transparan
Panjang
1.5" (38mm)
Kuat Tarik
83-96 ksi. (570-660 MPa)
Modulus Elastisitas
5.38 Gpa
Absorbsi
Sumber : BASF
(a)
(b)
Gambar 2.2 (a) serat polypropylene dan (b) serat polypropylene setelah ditarik
15
Universitas Sumatera Utara
2.3.5 Air
Air merupakan salah satu elemen penting dalam dunia konstruksi, karena air
bereaksi
dengan
semen
akan
menjadi
pasta
pengikat
agregat.
Menurut
(Tjokrodimulyo,2007), Penggunaan air untuk beton sebaiknya memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
1. Tidak mengandung lumpur atau benda melayang lainnya lebih dari 2 gram
perliter
2. Tidak mengandung garam-garam yang dapat merusak beton (asam, zat
organik) lebih dari 15 gram perliter
3. Tidak mengandung senyawa klorida (Cl) lebih dari 1 gram perliter
4. Tidak mengandung senyawa sulfat lebih dari 1 gram perliter
Fungsi dari air disini antara lain adalah sebagai bahan pencampur antara semen
dan agregat, sehingga air harus bebas dari bahan yang bersifat asam, basa dan
minyak.
Dalam penelitian ini, air yang digunakan adalah air PAM dari
Laboratorium bahan konstruksi FT USU. Sedangkan untuk perawatan
perendaman menggunakan air yang berada di bak perendaman Laboratorium
bahan konstruksi FT USU.
2.4 Pengujian Beton Segar Self Compacting Concrete
Untuk menghasilkan workability dari campuran beton yang baik pada SCC, beton
segar harus memenuhi kriteria berikut :
•
Filling ability, yaitu kemampuan campuran beton untuk mengisi ruang
•
Passing ability, yaitu kemampuan campuran beton untuk melewati struktur
tulangan yang rapat
•
Segregation resistance, yaitu ketahanan campuran beton segar terhadap
efek segregasi.
16
Universitas Sumatera Utara
Beberapa metode pengujian karakteristik beton segar SCC untuk mengetahui 3
kriteria tersebut dapat dilakukan diantaranya seperti terlihat pada tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.4 Metode-metode untuk pengujian beton segar SCC
No.
METODE
1
Slump-flow
2
T50cm Slump-flow
3
V Funnel
4
Orimet
5
J-ring
6
L-box
7
U-box
8
Fill-box
9
V Funnel at T5minutes
10
GTM Screen Stability test
PARAMETER
Filling Ability
Passing Ability
Segregation Resistance
Metode pengujian beton segar pada penelitian ini antara lain : Slump-flow, T50cm
Slump-flow, V Funnel, J-ring, dan V Funnel at T5minutes.
Slump-flow
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui filling ability, kemampuan mengalir
(flow ability) campuran secara horizontal dan stabilitas beton. Perbedaan test ini dengan
slump test pada umumnya adalah pengukuran dilakukan secara horizontal dari dua arah.
Selain itu kerucut yang digunakan diposisikan terbalik seperti terlihat pada Gambar 2.1.
Bersamaan dengan pengujian Slump-flow, dapat pula dilakukan sekaligus pengujian
T50cm Slump-flow dengan mencatat waktu saat campuran mencapai diameter 50
centimeter.
17
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3 Slump-flow test set
V Funnel dan V Funnel at T5minutes
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik Filling ability dan
Segregation resistance campuran beton SCC dengan ukuran maksimum agregat 20 mm.
Alat uji berbentuk V dan memiliki pintu bukaan dibawah. Pengujian dilakukan dengan
mengisi V-Funnel test set sampai penuh dilanjutkan dengan membuka pintu bukaan dan
mencatat waktu yang dibutuhkan campuran untuk mengalir seluruhnya.
Gambar 2.4 V-Funnel Test Set
Selanjutnya, tanpa membersihkan alat uji, campuran tadi dimasukkan kembali dan
didiamkan selama 5 menit untuk dilakukan pengujian Segregation resistance campuran.
Selanjutnya buka pintu bukaan dengan mencatat kembali waktu alir campuran.
Segregasi pada campuran dapat terlihat jika pengujian ini jika selisih waktunya
meningkat jauh.
18
Universitas Sumatera Utara
J-Ring
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik Passing ability campuran
beton SCC. Alat yang digunakan adalah kerucut abram dan J-ring dengan diameter 30
centimeter dan tinggi 10 centimeter. Batangan besi disusun vertical pada ring sebagai
asumsi untuk melihat kemampuan campuran melewati ruang dengan tulangan yang
rapat. Jarak antar batang vertical sekitar 3 kali ukuran maksimum agregat campuran.
Pengukuran dilakukan dengan menghitung beda tinggi antara campuran didalam ring
dengan campuran yg melewati ring.
Gambar 2.5 J-ring Test Set
Berdasarkan EFNARC (2002), ditetapkan batas untuk pengujian beton segar SCC
seperti terlihat pada tabel berikut.
Tabel 2.5 Kriteria yang Diizinkan untuk Self Compacting Concrete
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
METODE
Slump-flow
T50cm Slump-flow
J-ring
V Funnel
V Funnel at T5minutes
L-box
U-box
Fill-box
GTM Screen Stability test
Orimet
SATUAN
mm
detik
mm
detik
detik
mm
mm
%
%
detik
NILAI BATAS IZIN
Minimum Maksimum
650
800
2
5
0
10
6
12
0
+3
0.8
1.0
0
30
90
100
0
15
0
5
19
Universitas Sumatera Utara
2.5 Pengujian Beton Keras
Pengujian yang dilakukan adalah pengujian kuat tekan, pengujian kuat tarik belah,
dan pengujian kuat lentur. Beberapa faktor seperti ukuran dan bentuk agregat, jumlah
pemakaian semen, jumlah pemakaian air, proporsi campuran beton, perawatan beton
(curing), usia beton ukuran dan bentuk sampel, dapat mempengaruhi kekuatan tekan
beton. Pengujian uuntuk penelitian ini dilakukan pada umur 1 hari dan 28 hari. Seluruh
pengujian dilakukan di Laboratorium Bahan Rekayasa FT USU.
2.5.1 Uji Kuat Tekan Beton
Menurut SNI 03-1974-1990, Kuat tekan beton adalah besarnya beban per satuan
luas yang menyebabkan benda uji beton hancur
bila dibebani dengan gaya tekan
tertentu, yang dihasilkan oleh mesin tekan. Pengujian kuat tekan dengan benda uji
berbentuk silinder dalam penelitian ini dilakukan sesuai SNI 03-1974-1990
menggunakan mesin uji tekan (Compression Test Machine).
Kekuatan tekan benda uji beton dihitung dengan rumus :
�
Dimana :
f’c
f’c = �
: Kekuatan tekan (MPa)
P
: Beban tekan (kN)
A
: Luas permukaan benda uji (mm2)
2.5.2 Uji Kuat Tarik Beton
Untuk mendapatkan nilai kuat tarik beton dapat dilakukan dengan 2 metode
pengujian yaitu, pengujian kuat tarik langsung dan kuat tarik tidak langsung. Pengujian
kuat tarik langsung dilakukan dengan menguji tarik langsung pada spesimen silinder
maupun prisma dilakukan dengan menempelkan benda uji pada suatu pelat besi dengan
lem epoxy. Pengujian pengujian tarik beton tak langsung dilakukan dengan
menggunakan “Split cylinder test”. Dengan membelah silinder beton terjadi pengalihan
20
Universitas Sumatera Utara
tegangan tarik melalui bidang tempat kedudukan salah satu silinder dan silinder beton
tersebut terbelah sepanjang diameter yang dibebaninya.
Menurut SNI 03-2491-2002, nilai kuat tarik tidak langsung diperoleh dari beton
silinder dari hasil pembebanan benda uji yang diletakkan mendatar dengan permukaan
penekan mesin uji tekan.
Kuat tarik beton tidak langsung dihitung dengan
persamaan:
T=
Dimana :
�
��
T = Kuat tarik beton (MPa)
P = Beban hancur (kN)
l = Panjang spesimen (mm)
d = Diameter spesimen (mm)
2.5.3 Uji Kuat Lentur
Menurut SNI 03-4431-1997, Kuat Lentur Beton adalah kemampuan balok beton
yang berada pada dua perletakan menahan gaya arah tegak lurus sumbu benda uji yang
diberi gaya sampai benda uji patah. Nilai kuat lentur beton tersebut dapat dihitung
menggunakan persamaan yang tergantung pada titik keruntuhan yang terjadi pada benda
uji.
o Keruntuhan terjadi pada bagian tengah bentang :
Gambar 2.6 keruntuhan pada pusat bentang
Digunakan persamaan :
fr =
��
�2
21
Universitas Sumatera Utara
dimana :
fr
= modulus of rapture (MPa)
P
= beban maksimum (N)
l
= panjang bentang (mm)
b
= lebar bentang ( mm)
d
= tinggi bentang (mm)
o Keruntuhan terjadi pada bagian diluar tengah bentang
Gambar 2.7 keruntuhan diluar l/3 bentang dan garis patah < 5 % bentang
Digunakan persamaan :
fr =
�
�2
dimana :a = jarak rata-rata dari garis keruntuhan dan titik perletakan terdekat (mm)
Untuk benda uji yang patahnya di luar 1/3 lebar pusat pada bagian tarik beton dan
jarak antara titik pembebanan dan titik patah lebih dari 5% bentang, hasil pengujian
tidak dipergunakan.
Gambar 2.7 keruntuhan diluar l/3 bentang dan garis patah > 5 % bentang
22
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarkan penelitian Ozawa, dkk (1989) menyimpulkan bahwa Flow ability &
karakteristik kuat tekan pada beton SCC paling optimal adalah dengan penggunaan 1020% Fly Ash dari berat semen. Pada pada penelitian ini, semen di substitusi sebesar 10%
menggunakan Fly Ash.
Berdasarkan penelitian Rusyandi, dkk (2012) mengenai perancangan beton Self
Compacting Concrete (beton memadat sendiri) dengan penambahan fly ash dan
structuro sebagai superplastizer mendapatkan kesimpulan, yaitu (1) Penggunaan fly ash
dapat digunakan sebagai filler atau bahan pengganti semen dalam pembuatan rancangan
Self Compacting Concrete. (2) Penggunaan admixture Strcturo dalam batas nilai tertentu
sangat dominan pengaruhnya terhadap workability campuran beton SCC maupun
kekuatan dan mutu beton yang dihasilkan. Sifat water reducer yang tinggi pada
Structuro dapat menjaga nilai fas tetap rendah dengan tidak mengurangi workabilitas
campuran beton yang diharapkan.
Menurut penelitian Sugiharto, dkk (2006) mengenai penelitian peningkatan
kekuatan awal beton pada self compacting concrete. Hasil penelitian menunjukan
penggunaan Filler sebesar 2% dan Glenium Ace-80 sebagai Superplasticizer sebesar
2.5% sudah mampu mencapai criteria self compatible sekaligus kuat tekan awal yang
baik pula karena nilai water-binder ratio tetap dijaga pada nilai yang rendah.
Menurut penelitian Yuri, dkk (2015) mengenai pengaruh penambahan serat
polypropylene terhadap mekanisme beton normal. Peningkatan hasil pengujian kuat
tarik belah & kuat lentur beton normal dengan serat polypropylene tertinggi terjadi pada
variasi serat 1,0 kg/m3 berturut-urut sebesar 40,22% dan 35,19%. Maka, pada penelitian
ini peneliti menggunakan variasi serat lebih kecil dari 1,0 kg/m3 karena pada beton SCC
jumlah serat yang digunakan lebih sedikit dibanding dengan beton normal.
6
Universitas Sumatera Utara
2.1. Pengertian Beton
Menurut (SNI-03-2847-2002), pengertian beton adalah campuran antara semen
Portland atau semen hidraulik lainnya, agregat halus, agregat kasar, dan air, dengan atau
tanpa bahan tambahan yang membentuk massa padat. Beton disusun dari agregat kasar
dan agregat halus. Agregat halus yang digunakan biasanya adalah pasir alam maupun
pasir yang dihasilkan oleh industri pemecah batu, sedangkan agregat kasar yang dipakai
biasanya berupa batu alam maupun batuan yang dihasilkan oleh industri pemecah batu.
Menurut Soetjipto dan Ismoyo (1978), Beton dalam konstruksi teknik
didefinisikan sebagai batu buatan yang dicetak pada suatu wadah atau cetakan dalam
keadaan cair atau kental yang kemudian mampu untuk mengeras secara baik. Beton
terdiri dari agregat halus, agregat kasar dan suatu bahan pengikat. Bahan pengikat yang
lazim dipakai umumnya adalah bahan pengikat yang bersifat hidrolik dalam arti akan
mengikat dan mengeras secara baik kalau dicampur dengan air.
2.2. Beton Self Compacting Concrete
Beton Self Compacting Concrete (SCC) adalah beton inovatif yang mampu
“mengalir” dan memadat sendiri oleh gravitasi dan berat sendirinya dengan penggetaran
sedikit atau bahkan tanpa bantuan alat getar sama sekali. Beton SCC mampu mengisi
seluruh area cetakan dan padat bahkan pada area dengan tulangan yang cukup rapat.
Beton SCC memiliki beberapa keuntungan diantaranya :
•
Pengerjaan lebih mudah
•
Waktu pengerjaan singkat
•
Mengurangi jumlah pekerja
•
Permukaan lebih mulus
•
Desain struktur tidak terbatas
•
Mengurangi tingkat kebisingan dan getar
•
Lingkungan kerja lebih nyaman
7
Universitas Sumatera Utara
Untuk mendapatkan beton SCC dengan deformabilitas tinggi dan kemungkinan
segregasi yang rendah maka diatur agar beton (1) mempunyai kadar agregat yang
rendah, (2) faktor air-binder yang rendah dan (3) menggunakan superplasticizer. Dengan
campuran yang mudah berdeformasi tapi tetap dapat mempertahankan kekentalannya
(viskositas) maka beton SCC akan memadat sendiri dan tidak mengalami segregasi.
(Paul & Antoni, 2007)
Okamura dan Ozawa (1995) mengusulkan metode mix design yang sederhana
untuk mendapatkan campuran beton dengan tingkat workabilitas dan kekuatan awal
yang tinggi. Hal-hal yang perlu diperhatikan diantaranya :
•
Agregat kasar dibatasi jumlahnya sampai kurang lebih 50% dari volume
solid
•
Volume agregat halus ditetapkan hanya 40% dari total volume mortar
•
Rasio volume untuk air dan binder dijaga pada level kurang lebih 0.3
•
Penggunaan superplasticizer pada campuran
beton
untuk
tingkat
workability yang tinggi sekaligus menekan faktor air semen.
•
Ditambahkan bahan pengisi (filler) pada campuran beton antara lain Fly
Ash dan Silica Fume untuk meningkatkan keawetan dan kekuatan beton.
Filler yang digunakan pada penelitian ini adalah Fly Ash hasil pembakaran
batubara dari PLTU Pangkalan Susu, Langkat, Sumatera Utara. Superplasticizer yang
digunakan untuk penelitian ini adalah Master Glenium Ace 8590 produksi PT. BASF.
2.3 Bahan Penyusun Beton Self Compacting Concrete
Material penyusun beton Self Compacting Concrete adalah sama dengan material
yang digunakan pada beton normal umumnya. Meskipun demikian, untuk mencapai
keseragaman dan konsitensi performa beton SCC, diperlukan perhatian lebih dalam
memilih material juga diperlukan pengawasan yang baik.
8
Universitas Sumatera Utara
2.3.1 Semen
Fungsi utama semen pada beton adalah sebagai bahan pengikat. Mulyono (2004),
mengatakan bahwa semen merupakan campuran dari senyawa CaO (kapur), SiO3
(silika), Al2O3 (alumina) dan MgO (magnesia) serta sedikit alkali. Untuk mengatur
waktu ikat semen biasanya ditambahkan dengan CaSO4.2H2O (gipsum). Pemilihan
semen yang tepat adalah dengan menentukan syarat yang spesifik sesuai pada aplikasi
campurannya. Menurut ASTM, semen dibagi menjadi 5 tipe yaitu :
1. Tipe I – Ordinary Portland Cement
Yaitu jenis semen portland untuk penggunaan dalam konstruksi beton secara
umum yang tidak memerlukan sifat-sifat khusus.
2. Tipe II – Modified Portland Cement
Semen ini memiliki panas hidrasi yang lebih rendah dan keluarnya panas lebih
lambat daripada semen jenis I. Jenis ini digunakan untuk bangunan-bangunan
tebal, seperti pilar dengan ukuran besar, tumpuan dan dinding penahan tanah
yang tebal. Panas hidrasi yang agak rendah dapat mengurangi terjadinya retakretak pengerasan.
3. Tipe III – High Early Streght Portland Cement
Jenis ini memperoleh kekuatan besar dalam waktu singkat, sehingga dapat
digunakan untuk perbaikan bangunan beton yang perlu segera digunakan atau
yang acuannya perlu segera dilepas. Selain itu juga dapat dipergunakan pada
daerah yang memiliki temperatur rendah, terutama pada daerah yang mempunyai
musim dingin
4. Tipe IV – Low Heat Portland Cement
Jenis ini merupakan jenis khusus untuk penggunaan yang memerlukan panas
hidrasi serendah-rendahnya. Kekuatannya tumbuh lambat. Jenis ini digunakan
untuk bangunan beton massa seperti bendungan-bendungan gravitasi besar.
5. Tipe V – Sulfate Resisting Portland Cement
Jenis ini merupakan jenis khusus yang maksudnya hanya untuk penggunaan pada
bangunan-bangunan yang kena sulfat, seperti di tanah atau air yang tinggi kadar
9
Universitas Sumatera Utara
alkalinya. Pengerasan berjalan lebih lambat daripada semen portland biasa.
(Wuryati S. dan Candra R.,2001)
Berdasarkan EFNARC (2002), untuk memproduksi campuran beton SCC dapat
menggunakan semua jenis semen sesuai standard BS EN 971. Jumlah semen yang
digunakan untuk beton SCC berkisar antara 350 – 450 Kg/m3 beton. Penggunaan semen
lebih dari 500 Kg/m3 dapat meningkatkan susut beton. Penggunaan semen kurang dari
350 Kg/m3 hanya dapat dilakukan dengan penggunaan bahan tambah yang baik seperti
Fly Ash dan bahan lainnya yang bersifat pozzolan.
Penelitian ini menggunakan Semen Padang Tipe I sebagai bahan pengikat utama
campuran. Semen ini telah lulus standar BS EN 971-1:2000 dan dapat digunakan untuk
memproduksi beton SCC.
2.3.2 Agregat
Agregat adalah material pada campuran beton yang tidak bereaksi dan hanya
diikat oleh pasta semen. Agregat ini harus bergradasi sedemikian rupa sehingga seluruh
massa beton dapat berfungsi sebagai benda yang utuh, homogen, dan rapat, dimana
agregat yang berukuan kecil berfungsi sebagai pengisi celah yang ada diantara agregat
berukuran besar. ( Nawy, 1998 ).
Pada beton SCC, pemilihan agregat berpengaruh terhadap workability campuran.
Kekasaran agregat, absorbsi, gradasi yang bervariasi harus diperhitugkan untuk
menghasilkan beton SCC yang berkualitas baik.
Agregat Halus
Menurut SK SNI S-04-1989-F (Spesifikasi Bahan Bangunan Bagian A), agregat
halus harus memenuhi syarat berikut :
•
Butir-butirnya tajam dan keras dengan indeks kekerasan < 2,2
•
Kekal, tidak pecah atau hancur oleh cuaca
10
Universitas Sumatera Utara
•
Tidak mengandung lumpur >5%
•
Tidak mengandung zat organis yang terlampau banyak
•
Modulus kehalusan antara 1,5-3,8 dengan variasi butir sesuai standar gradasi
•
Agregat halus dari pantai dapat dipakai asalkan dengan petunjuk dari
lembaga pemeriksaan bahan yang diakui.
Semua jenis agregat halus normal dapat digunakan pada SCC termasuk untuk pasir
crushed shape maupun rounded shape (EFNARC, 2002)
Agregat Kasar
Menurut SK SNI S-04-1989-F (Spesifikasi Bahan Bangunan Bagian A), agregat
kasar harus memenuhi syarat berikut :
•
Butirannya keras dan tidak berpori dengan indeks kekerasan 4
9 – 15
50 – 5000
Berat
Modulus
3
Jenis (10 Elastisitas
kg/m3)
(GPa)
255
3.37
0.09
1.14
- 2.6
7.86
1.6
164
196
5 - 10
4
- 80
200
50
Sumber : Paul & Antoni, “Teknologi Beton”, 2007
Kuat
Tarik
(GPa)
Perpanjangan
pada Saat
Putus (%)
3.1
3.5
0.5
0.9
2-4
1–3
> 0.7
2 – 3.0
2 – 3.0
10 – 20
- 15
2 – 3.5
3-4
- 1.4
Penambahan serat pada beton SCC akan berpengaruh pada workability campuran
beton segar karena dapat menurunkan kemampuan alir (flow ability) dan kemampuan
campuran mengisi ruang (passing ability). Maka, diperlukan pemilihan serat yang tepat,
jumlah dan panjang serat yang digunakan agar dapat mencapai persyaratan yang
diizinkan sebagai beton SCC. Penggunaan serat yang terlalu sedikit atau terlalu banyak
tidak menghasilkan efek baik untuk beton. jika serat yang digunakan terlalu banyak akan
14
Universitas Sumatera Utara
mengurangi kelecekan beton serta menciptakan balling, yaitu kondisi serat kan saling
berkaitan dan membentuk bola yang sangat berongga dan tentunya akan mengurangi
kekuatan beton.
EFNARC membatasi penggunaan serat dalam pembuatan beton Self Compacting
Concrete sebanyak kurang dari 1.0 Kg/m3 volume beton. Pada penelitian ini, peneliti
menambahkan serat pada campuran beton SCC berbahan Polypropylene produksi PT.
BASF dengan variasi penggunaan 0 Kg/m3, 0.25 Kg/m3, 0.5 Kg/m3, dan 0.75 Kg/m3.
Data spesifikasi serat polypropylene yang akan digunakan pada penelitian ini adalah
sebagai berikut :
Tabel 2.3 Spesifikasi serat
MasterFiber Fibrillated type 38mm
Berat Jenis
0.91
Titik Leleh
169 ˚C
Titik Nyala
590 ˚C
Bahan
Polimer
Warna
Transparan
Panjang
1.5" (38mm)
Kuat Tarik
83-96 ksi. (570-660 MPa)
Modulus Elastisitas
5.38 Gpa
Absorbsi
Sumber : BASF
(a)
(b)
Gambar 2.2 (a) serat polypropylene dan (b) serat polypropylene setelah ditarik
15
Universitas Sumatera Utara
2.3.5 Air
Air merupakan salah satu elemen penting dalam dunia konstruksi, karena air
bereaksi
dengan
semen
akan
menjadi
pasta
pengikat
agregat.
Menurut
(Tjokrodimulyo,2007), Penggunaan air untuk beton sebaiknya memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
1. Tidak mengandung lumpur atau benda melayang lainnya lebih dari 2 gram
perliter
2. Tidak mengandung garam-garam yang dapat merusak beton (asam, zat
organik) lebih dari 15 gram perliter
3. Tidak mengandung senyawa klorida (Cl) lebih dari 1 gram perliter
4. Tidak mengandung senyawa sulfat lebih dari 1 gram perliter
Fungsi dari air disini antara lain adalah sebagai bahan pencampur antara semen
dan agregat, sehingga air harus bebas dari bahan yang bersifat asam, basa dan
minyak.
Dalam penelitian ini, air yang digunakan adalah air PAM dari
Laboratorium bahan konstruksi FT USU. Sedangkan untuk perawatan
perendaman menggunakan air yang berada di bak perendaman Laboratorium
bahan konstruksi FT USU.
2.4 Pengujian Beton Segar Self Compacting Concrete
Untuk menghasilkan workability dari campuran beton yang baik pada SCC, beton
segar harus memenuhi kriteria berikut :
•
Filling ability, yaitu kemampuan campuran beton untuk mengisi ruang
•
Passing ability, yaitu kemampuan campuran beton untuk melewati struktur
tulangan yang rapat
•
Segregation resistance, yaitu ketahanan campuran beton segar terhadap
efek segregasi.
16
Universitas Sumatera Utara
Beberapa metode pengujian karakteristik beton segar SCC untuk mengetahui 3
kriteria tersebut dapat dilakukan diantaranya seperti terlihat pada tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.4 Metode-metode untuk pengujian beton segar SCC
No.
METODE
1
Slump-flow
2
T50cm Slump-flow
3
V Funnel
4
Orimet
5
J-ring
6
L-box
7
U-box
8
Fill-box
9
V Funnel at T5minutes
10
GTM Screen Stability test
PARAMETER
Filling Ability
Passing Ability
Segregation Resistance
Metode pengujian beton segar pada penelitian ini antara lain : Slump-flow, T50cm
Slump-flow, V Funnel, J-ring, dan V Funnel at T5minutes.
Slump-flow
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui filling ability, kemampuan mengalir
(flow ability) campuran secara horizontal dan stabilitas beton. Perbedaan test ini dengan
slump test pada umumnya adalah pengukuran dilakukan secara horizontal dari dua arah.
Selain itu kerucut yang digunakan diposisikan terbalik seperti terlihat pada Gambar 2.1.
Bersamaan dengan pengujian Slump-flow, dapat pula dilakukan sekaligus pengujian
T50cm Slump-flow dengan mencatat waktu saat campuran mencapai diameter 50
centimeter.
17
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3 Slump-flow test set
V Funnel dan V Funnel at T5minutes
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik Filling ability dan
Segregation resistance campuran beton SCC dengan ukuran maksimum agregat 20 mm.
Alat uji berbentuk V dan memiliki pintu bukaan dibawah. Pengujian dilakukan dengan
mengisi V-Funnel test set sampai penuh dilanjutkan dengan membuka pintu bukaan dan
mencatat waktu yang dibutuhkan campuran untuk mengalir seluruhnya.
Gambar 2.4 V-Funnel Test Set
Selanjutnya, tanpa membersihkan alat uji, campuran tadi dimasukkan kembali dan
didiamkan selama 5 menit untuk dilakukan pengujian Segregation resistance campuran.
Selanjutnya buka pintu bukaan dengan mencatat kembali waktu alir campuran.
Segregasi pada campuran dapat terlihat jika pengujian ini jika selisih waktunya
meningkat jauh.
18
Universitas Sumatera Utara
J-Ring
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik Passing ability campuran
beton SCC. Alat yang digunakan adalah kerucut abram dan J-ring dengan diameter 30
centimeter dan tinggi 10 centimeter. Batangan besi disusun vertical pada ring sebagai
asumsi untuk melihat kemampuan campuran melewati ruang dengan tulangan yang
rapat. Jarak antar batang vertical sekitar 3 kali ukuran maksimum agregat campuran.
Pengukuran dilakukan dengan menghitung beda tinggi antara campuran didalam ring
dengan campuran yg melewati ring.
Gambar 2.5 J-ring Test Set
Berdasarkan EFNARC (2002), ditetapkan batas untuk pengujian beton segar SCC
seperti terlihat pada tabel berikut.
Tabel 2.5 Kriteria yang Diizinkan untuk Self Compacting Concrete
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
METODE
Slump-flow
T50cm Slump-flow
J-ring
V Funnel
V Funnel at T5minutes
L-box
U-box
Fill-box
GTM Screen Stability test
Orimet
SATUAN
mm
detik
mm
detik
detik
mm
mm
%
%
detik
NILAI BATAS IZIN
Minimum Maksimum
650
800
2
5
0
10
6
12
0
+3
0.8
1.0
0
30
90
100
0
15
0
5
19
Universitas Sumatera Utara
2.5 Pengujian Beton Keras
Pengujian yang dilakukan adalah pengujian kuat tekan, pengujian kuat tarik belah,
dan pengujian kuat lentur. Beberapa faktor seperti ukuran dan bentuk agregat, jumlah
pemakaian semen, jumlah pemakaian air, proporsi campuran beton, perawatan beton
(curing), usia beton ukuran dan bentuk sampel, dapat mempengaruhi kekuatan tekan
beton. Pengujian uuntuk penelitian ini dilakukan pada umur 1 hari dan 28 hari. Seluruh
pengujian dilakukan di Laboratorium Bahan Rekayasa FT USU.
2.5.1 Uji Kuat Tekan Beton
Menurut SNI 03-1974-1990, Kuat tekan beton adalah besarnya beban per satuan
luas yang menyebabkan benda uji beton hancur
bila dibebani dengan gaya tekan
tertentu, yang dihasilkan oleh mesin tekan. Pengujian kuat tekan dengan benda uji
berbentuk silinder dalam penelitian ini dilakukan sesuai SNI 03-1974-1990
menggunakan mesin uji tekan (Compression Test Machine).
Kekuatan tekan benda uji beton dihitung dengan rumus :
�
Dimana :
f’c
f’c = �
: Kekuatan tekan (MPa)
P
: Beban tekan (kN)
A
: Luas permukaan benda uji (mm2)
2.5.2 Uji Kuat Tarik Beton
Untuk mendapatkan nilai kuat tarik beton dapat dilakukan dengan 2 metode
pengujian yaitu, pengujian kuat tarik langsung dan kuat tarik tidak langsung. Pengujian
kuat tarik langsung dilakukan dengan menguji tarik langsung pada spesimen silinder
maupun prisma dilakukan dengan menempelkan benda uji pada suatu pelat besi dengan
lem epoxy. Pengujian pengujian tarik beton tak langsung dilakukan dengan
menggunakan “Split cylinder test”. Dengan membelah silinder beton terjadi pengalihan
20
Universitas Sumatera Utara
tegangan tarik melalui bidang tempat kedudukan salah satu silinder dan silinder beton
tersebut terbelah sepanjang diameter yang dibebaninya.
Menurut SNI 03-2491-2002, nilai kuat tarik tidak langsung diperoleh dari beton
silinder dari hasil pembebanan benda uji yang diletakkan mendatar dengan permukaan
penekan mesin uji tekan.
Kuat tarik beton tidak langsung dihitung dengan
persamaan:
T=
Dimana :
�
��
T = Kuat tarik beton (MPa)
P = Beban hancur (kN)
l = Panjang spesimen (mm)
d = Diameter spesimen (mm)
2.5.3 Uji Kuat Lentur
Menurut SNI 03-4431-1997, Kuat Lentur Beton adalah kemampuan balok beton
yang berada pada dua perletakan menahan gaya arah tegak lurus sumbu benda uji yang
diberi gaya sampai benda uji patah. Nilai kuat lentur beton tersebut dapat dihitung
menggunakan persamaan yang tergantung pada titik keruntuhan yang terjadi pada benda
uji.
o Keruntuhan terjadi pada bagian tengah bentang :
Gambar 2.6 keruntuhan pada pusat bentang
Digunakan persamaan :
fr =
��
�2
21
Universitas Sumatera Utara
dimana :
fr
= modulus of rapture (MPa)
P
= beban maksimum (N)
l
= panjang bentang (mm)
b
= lebar bentang ( mm)
d
= tinggi bentang (mm)
o Keruntuhan terjadi pada bagian diluar tengah bentang
Gambar 2.7 keruntuhan diluar l/3 bentang dan garis patah < 5 % bentang
Digunakan persamaan :
fr =
�
�2
dimana :a = jarak rata-rata dari garis keruntuhan dan titik perletakan terdekat (mm)
Untuk benda uji yang patahnya di luar 1/3 lebar pusat pada bagian tarik beton dan
jarak antara titik pembebanan dan titik patah lebih dari 5% bentang, hasil pengujian
tidak dipergunakan.
Gambar 2.7 keruntuhan diluar l/3 bentang dan garis patah > 5 % bentang
22
Universitas Sumatera Utara