Pengaruh Temperatur Air Terhadap Kuat Tekan Beton pada Beton SCC (Self Compacting Concrete)

(1)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Akkas , A. Madjid, Sudirman Sitang dan Junardi Masadar,2013, Studi Pengaruh Serat Polypropylene (Pp) Terhadap Kekuatan Beton SCC. Universitas Hasanudin.

Anonim, 2011, Panduan Praktikum Bahan Rekayasa (Beton), Laboratorium Beton Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Departemen Pekerjaan Umum. 1990. Spesifikasi Bahan Tambahan Untuk Beton, SK SNI S-18-1990-03. Bandung: YayasanLPMB.

Herbudiman , Bernardinus dan Sofyan Ependi Siregar, Kajian Interval Rasio Air-Powder Beton Self-Compacting Terkait Kinerja Kekuatan Dan Flow (009m), Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung,

Miswar, Khairul, Pengaruh Temperatur Air Campuran Terhadap Kuat Tekan Beton. Politeknik Negeri Lhokseumawe.

Mulyono, Tri. 2003. Teknologi Beton. Yogyakarta: CV Andi Offset.

Murdock, L.J, Brook, K.M, Hendarko, Stephanus. 1991. Bahan dan Praktek Beton. Jakarta: Erlangga.

Nugraha, Paul. dan Antoni. 2007. Teknologi Beton dan Material, Pembuatan Beton Kinerja Tinggi. Yogyakarta: Andi Offset.

Segel, R., Kole, P., dan Kusuma, Gideon. 1993. Pedoman Pengerjaan Beton. Jakarta: Erlangga.

Shetty, M.S. 2005. Concrete Technology Theory and Practice. New Delhi : S.Chand & Company LTD

Tjokrodimuljo, K. 1992. Teknologi Beton. Yogyakarta: Gramedia.

Wongso Daniel, Chrisna Djaja Mungok dan Asep Supriyadi, Studi Perancangan Self-Compacting Concrete (SCC) Untuk Beton Berkekuatan Tinggi (High Performance Concrete) Dengan Metode Aci, Universitas Tanjung Pura.


(2)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Pendahuluan

Pada penelitian ini digunakan metodologi kajian eksperimental dimana pelaksanaan pencetakan dan pengujian beton dilakukan di Laboratorium Beton Fakultas Teknik Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara.

Secara garis besar, tahapan metodologi penelitian ini dapat digambarkan pada Gambar 3.1.

3.2. Persiapan Alat dan Bahan

Benda uji dalam penelitian ini adalah self compacting concrete dengan mutu rencana 25 Mpa. Berikut adalah peralatan yang dibutuhkan dalam penelitian ini: 1. Satu set saringan ASTM.

2. Sieve Shaker / alatgetar. 3. Timbangan analitis 26000 gr. 4. Timbangan analitis 50 kg. 5. Oven.

6. Spatula. 7. Stopwatch.

8. Gelasukur 1000 cc. 9. Picnometer 100 cc. 10. Silinder volume 3 lt. 11. Penggaris.


(3)

13. Satu set alat slump tes. 14. V-funnel.

15. J-Ring

16. Cetakan silinder berdiameter 15 cm dengan tinggi 30 cm. 17. Alat bantu lainnya.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Semen

- Jenis : Portland Cement (PC) - Tipe : I (satu)

2. Agregat Halus

- Jenis : Pasir Alam

- Asal : Binjai, Sumatera Utara 3. Agregat Kasar

- Jenis : Batu Pecah (split) ukuran maksimal 20 mm

- Asal : Jl. Lingkar Binjai / Megawati, Binjai, Sumatera Utara 4. Air

- Jenis : Air Laboratorium Beton

- Sumber : Laboratorium Beton Teknik Sipil USU 5. Bahan Tambah Kimia (admixture)

- Jenis : Superplasticizer Type F “Master Glenium 8381”


(4)

Gambar 3.1 Bagan metodologi penelitian

MULAI

PEMILIHAN MUTU DAN PENGUJIAN BAHAN

MIX DESIGN BETON NORMAL

PERBANDINGAN MIX DESIGN NORMAL DENGAN SYARAT

MIX DESIGN SCC

TRIAL MIX DENGAN SUHU AIR NORMAL

PENGUJIAN BETON SEGAR

- FILLING ABILITY (SLUMP FLOW)

- PASSING ABILITY (J-RING)

- SEGREGATION ABILITY (V-FUNNEL)

MEMENUHI DALAM SUHU AIR NORMAL Tidak Memenuhi

PEMBUATAN BENDA UJI DENGAN VARIASI SUHU AIR

PERAWATAN BENDA UJI PENCETAKAN BENDA UJI PENGUJIAN BETON SEGAR

- FILLING ABILITY (SLUMP FLOW)

- PASSING ABILITY (J-RING)

- SEGREGATION ABILITY (V-FUNNEL)

UJI KUAT TEKAN DAN UJI KUAT TARIK


(5)

3.3. Perancangan Campuran Beton Normal

Sebelum mendapatkan campuran yang ideal dengan persyaratan SCC terlebih dahulu dicari perancangan campuran beton normal. Perancangan campuran beton normal ini menggunakan metode ACI. Langkah yang untuk mendapatkan campuran beton normal dengan metode ACI :

Langkah 1: Menentukan Slump dan Kekuatan Beton yang diinginkan Langkah 2: Menentukan Ukuran Maksimum Agregat

Langkah 3: Menentukan Kadar Optimum Agregat Kasar Langkah 4: Estimasi Air Campuran dan Kadar Udara Langkah 5: Menentukan W/c+p

Langkah 6: Menghitung Kadar Bahan Semen Langkah 7: Menghitung kadar Superpalsticizer

3.4. Trial Mix

Mix Design normal biasanya tidak cocok untuk komposisi campuran pada SCC untuk dilakukan Trial Mix guna mendapatakan komposisi ideal SCC dengan memperhatikan workabilitas dari beton segar. Pada trial mix ini semua komposisi material dapat berubah disesuaikan dengan persyaratan mix desgin SCC yang dianjurkan oleh tim ahli dari penyedia zat adiktif yang digunakan.

Langkah yang dilakukan adalah :

1. Melakukan percobaan dengan Mix Design beton normal dengan pengujian SCC. 2. Melakukan perubahan komposisi sesuai dengan dengan persyaratan Mix Design


(6)

komposisi yang sesuai dengan persyaratan SCC (Slump Flow, J-Ring Flow dan

V-Funnel).

3.5. Pembuatan Benda Uji

Penelitian Self Compacting Concrete ini, menggunakan bahan kimia tamabahan Superplasticizer Type F dengan merk “Master Glenium 8381” Produksi

“BASF”. Bahan tambahan ini ditunjukan untuk Self Compacting Concrete dengan

mutu beton 20-40 Mpa.

Setelah mendapatkan komposisi yang tepat untuk SCC maka dalam penelitian ini, saya membuat lima jenis SCC dengan perbedaan suhu air campuran beton. Dalam penyusunan komposisi – komposisi bahan untuk mix design selanjutnya, komposisi mix design lebih disederhanakan dengan menentukan mana variable yang tetap dan mana variabel yang berubah.

a. Variabel – variabel tetap 1. Pasir.

2. Kerikil. 3. Semen.

4. Bahan tambahan Superplasticizer Master Glenium SKY 8614

5. Bahan tambahan retarder Master Pozzolith 405

6. Faktor air semen (FAS) 0,4 – 0,55 berdasarkan dosis yang dianjurkan dari adiktif yang digunakan.


(7)

Tabel 3. 1 Pembagian kelompok benda uji dengan membedakan temperatur air Faktor Air

Semen (FAS)

Temperatur Air (oC)

Jumlah Benda Uji (buah) Kuat Tekan Kuat Tarik

Belah 0,45 75 50 Normal 15 5 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

Total 15 15

Tahap pembuatannya adalah sebagai berikut :

1. Menyiapkan alat-alat yang diperlukan dalam pengecoran.

2. Menyiapkan bahan, masing – masing sesuai ukuran yang ditentukan.

3. Memasukkan semen ditambah air dengan suhu yang telah ditentukan kedalam mesin pengaduk, aduk sampai merata.

4. Kemudian masukkan pasir ditambah sisa air yang ada.

5. Berikutnya, masukkan superplasticizer dan retarder. Minimal waktu pengadukan setelah ditambahkan superplasticizer adalah 15 menit.

6. Setelah pengadukan selesai, dilakukan pengujian Slump Flow untuk mengetahui

Passing Ability.

7. Berikutnya dilakukan pengujian J-ring Flow untuk pengujian Filling Ablity

8. Kemudian dilakukan pengujian V-Funnel dan V-Funnel ATt5minutes untuk

mengetahui Segregation Resistance.


(8)

10. Mendiamkan SCC dalam cetakan selama 24 jam, kemudian membongkar cetakan.

11. Perawatan SCC sama seperti beton normal, yaitu dengan cara merendam benda uji sampai sesuai umur yang ditentukan dilaksanakan uji kuat tekan. Perendaman ini dilakukan untuk menghindari pengaruh cuaca terhadap proses pengerasan beton, yang tentunya dapat mempengaruhi kekuatan beton.

3.6. Uji Tekan

1. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui kuat tekan dari pengaruh variasi suhu air.

2. Pengujian dilakukan pada umur 28 hari setelah pengecoran. Langkah – langkah pengujiannya adalah sebagai berikut :

a. Sehari sebelum pengujian, benda uji dikeluarkan dari bak perendam.

b. Sebelum diuji, benda uji dijemur atau diangin-anginkan guna mengeringkan benda uji.

c. Benda uji ditimbangkan terlebih dahulu untuk mengetahui berat benda uji. d. Letakkan benda uji kedalam media tekan dan atur hingga benda uji berada di

tengah balok penekan, baik balok atas maupun balok bawah. Pasang jarum penunjuk pada posisi nol.

e. Mulai pengujian dengan menerapkan beban tekan mulai dari nol hingga mencapai beban maksimum (retak), kemudian catat hasilnya.

f. Kemudian dilakukan perhitungan. 3.7. Uji Tarik Belah

1. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui kuat tarik belah dari pengaruh variasi suhu air.


(9)

2. Pengujian dilakukan pada umur 28 hari setelah pengecoran. Langkah – langkah pengujiannya adalah sebagai berikut :

a. Sehari sebelum pengujian, benda uji dikeluarkan dari bak perendam.

b. Sebelum diuji, benda uji dijemur atau diangin-anginkan guna mengeringkan benda uji.

c. Benda uji ditimbangkan terlebih dahulu untuk mengetahui berat benda uji. d. Letakkan benda uji silinder dengan penempatan horizontal pada mesin

penguji, sedemikian sehingga silinder ini pecah arah panjang tarik. Pasang jarum penunjuk pada posisi nol.

e. Mulai pengujian dengan menerapkan beban tekan mulai dari nol hingga mencapai beban maksimum (retak), kemudian catat hasilnya.


(10)

BAB 4

HASIL PENGUJIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Umum

Hasil dari pengujian yang dilakukan pada penelitian ini berupa kuat tekan dan kuat tarik Self Compacting Concrete dengan kuat tekan rencana 25 MPA pada umur 28 hari. Selain dari itu pengujian ini juga dilakukan untuk mendapatkan komposisi untuk Self Compacting Concrete dan pengujian workability pada beton segar self compacting concrete. Pengujian workabilitas yang dilakukan untuk mengetahui sifat dari self compacting concrete yaitu pengujian slump flow untuk mengetahui filling ability, J-ring flow untuk mengetahui passing ability dan v-funnel untuk mengetahui segregation resistance. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan suhu air campuran baik pada beton segar dan kuat tekan beton pada self compacting concrete dengan mutu rencanan 25 MPa. 4.2. Analisa Data

4.2.1. Mix Design Beton Normal

Dalam perhitungan ini, nilai-nilai yang perlu diketahui sebelum perhitungan yaitu: Kuat tekan yang disyaratkan f’c= 25 MPa pada umur 28 hari. Pasir yang digunakan pasir alam, dengan data sebagai berikut :

FM pasir = 3,064 Bj pasir kering = 2,445 absorbsi pasir = 1,937 berat isi pasir = 1562,419


(11)

Agregat kasar yang digunakan adalah batu pecah, ukuran maksimum agregat dibatasi 20 mm dengan karakteristik sebagai berikut:

Dia max agg = 20 Mm Bj kering kerikil = 2,662 absorbsi kerikil = 1,34 berat isi kerikil = 1511,14

Bahan tambah yang dipakai untuk self compacting concrete adalah

superplasticizer, penentuan komposisinya didapatkan berdasarkan trial mix.

Semen yang dipakai adalah semen Portland Type I dengan berat jenis = 3,15. 1. Langkah 1: Menentukan Slump dan Kekuatan yang diinginkan.

Karena HRWR digunakan, beton didesain berdasarkan slump antara 50-75 mm sebelum penambahan superplasticizer.

Dengan Menggunakan persamaan fcr’= (25 65)0 0 maka nilai kuat tekan rata-rata fcr’ dapat ditentukan.

fcr’= (25 65)

0 0 = 38,50 Mpa pada umur 28 hari

2. Langkah 2: Menentukan Ukuran Agregat Kasar Maksimum

Kuat tekan rata-rata yang ditargetkan 38,50 MPa > 62 MPa, maka digunakan agregat kasar batu pecah dengan ukuran maksimum 20 mm, berdasarkan tabel 2.7.

3. Langkah 3: Menentukan Kadar Agregat Kasar Optimum

Karena ukuran agregat kasar maksimum 20 mm, maka dari Tabel 2.8 didapat fraksi berat kering agregat kasar optimum = 0,72. Nilai DRUW ( Dry-Rodded Unir Weight) atau berat isi kering oven agregat kasar adalah 1511,14 kg/m3.


(12)

Berat Kering Agregat (OD) = (%DRUW) x (DRUW) Berat Kering Agregat (OD) = (0,72) x (1511,14 kg/m3) Berat Kering Agregat (OD) = 1088,02 kg/m3

4. Langkah 4: Estimasi Kadar Air Pencampuran dan Kadar Udara

Berdasarkan pada slump awal sebesar 50-75 mm dan ukuran maksimum agregat kasar 20 mm, dari tabel 2.9 didapat estimasi pertama kebutuhan air yaitu 175 kg/m3 dan kandungan udara terperangkap, untuk campuran yang menggunakan superplasticizer..

Dengan menggunakan persamaan, voids content pasir yang digunakan adalah:

Void Content, V,% = -

x 100

V = 1 –

1000 x 100 = 36,10 %

Penyesuaian air campuran, dihitung dengan menggunakan persamaan : Koreksi Air Pencampur, kg/m3 = (V - 35) x 4,74

Koreksi air campuran = (36,10 – 35) x 4,74 = 5,20 kg/m3

Maka, total air campuran yang diperlukan per m3 beton = 180,20 kg. Air campuran yang diperlukan itu termasuk retarding admixture, tetapi tidak termasuk air dalam HRWR.

5. Langkah 5: Menentukan W/c+p

Pada tabel 2.11 untuk beton yang dibuat dengan menggunakan

superplasticizer dan ukuran maksimum agregat 20 mm, dan yang mempunyai kekuatan tekan rata-rata yang ditargetkan untuk kondisi laboratorium (fcr’) sebesar 38,50 Mpa pada umur 28 hari.


(13)

(0,90 x 38,50) = 34,65 Mpa

Maka nilai W/c+p yang digunakan yaitu 0,45 (karena fcr* dibawah 48 Mpa makan digunakan W/c+p 48 Mpa)

6. Langkah 6: Menghitung Kadar Bahan Semen Berat bahan semen per m3 beton adalah:

(180,20 : 0,45) = 400 kg.

7. Langkah 7: Penentuan Komposisi Campuran a. Kadar semen per m3 = 400 kg

b. Volume material per kg/m3 kecuali pasir sebagai berikut: Semen = 400/3150 = 0,127 m3 Agregat kasar = 1088/2662 = 0,41 m3

Air = 180,2/1000 = 0,180 m3 Udara = 0,02 x 1 = 0,020 m3

Volume total = 0,736 m3 Oleh karena itu, volume pasir yang diperlukan per m3 beton adalah = (1 – 0,736) = 0,264 m3

Sebagai berat kering per m3 beton, berat pasir yang diperlukan adalah = 0,264 x 2445 = 645,51 kg

8. Langkah 7: Penentuan Komposisi Campuran superplasticizer

Dosis kebutuhan superplasticizer, yang disyaratkan dari produk

superplasticixer (Master Glenium 8381) adalah 800-1500ml per 100 kg dari berat semen. Pada Mix Design ini diambil 1500ml per 100 kg dari berat semen untuk perencanaan, dan akan diuji pada trial mix untuk mendapatkan komposisi yang sesuai dengan persyaratan pengujian workabilitas pada self compacting concrete.


(14)

Tabel 4. 1 Campuran Dasar Per M3 Campuran Dasar

Semen 400 kg

Agregat Halus (Pasir) 645,51 kg

Agregat Kasar (Batu Pecah) 1088 kg

Air 180,2 kg

Superplasticizer 6 L

4.2.2. Trial Mix Self Compacting Concrete

Pada bagian ini dilakukan pengujian dengan komposisi coba-coba yang didampingi tim ahli dari penyedia zat adiktif. Pada percobaan komposisi dilakukan sesuai dengan pesyaratan mix design dari self compacting concrete.

Percobaan untuk mengetahui komposisi yang sesuai dengan persyaratan yang ditentukan. Hasil pengujian dan komposisi sebagai berikut:

1. Trial Mix I

Komposisi menggunakan campuran dari perencanan Mix Design normal dengan W/c+p 0,45 dapat dilihat pada tabel 4.2.


(15)

Tabel 4. 2 Campuran Dasar Per M3

Material Komposisi/M3 Keterangan

Semen 400 Kg

Agregat Halus 646 Kg 37% dari total agregat Agregat Kasar 1088 Kg

Air 180,2 Kg

Superplasticizer 6 Liter 1500 ml dari berat semen

Retarder -

Setelah dilakukan percobaan didapatkan hasil pengujian workabilitas SCC pada tabel 4.3

Tabel 4. 3 Hasil pengujian Workabilitas self compacting concrete Trial Mix I

Pengujian Hasil

Slump Flow 55 cm

J-ring Flow 45 cm

V-Funnel 12 detik

V-Funnel AT5minutes 30 detik

Kesimpulan pengujian, berdasarkan hasil yang diperoleh komposisi tidak bisa dipakai untuk komposisi self compacting concrete karena beton segar mengalami segregasi dan aliran beton tidak bisa melewati J-ring Flow, sehingga tidak memenuhi untuk syarat Passing Ability.

2. Trial Mix II

Pada percobaan ini dilakukan campuran modifikasi dengan komposisi pasir 48% dari total berat agregat, dan W/c+p yang digunakan 0,4.


(16)

Tabel 4. 4 Campuran Trial Mix II

Material Komposisi/M3 Keterangan

Semen 400 Kg

Agregat Halus 860 Kg 48% dari total agregat Agregat Kasar 906 Kg

Air 160 Kg

Superplasticizer 4,00 Liter 1000ml dari berat semen

Retarder 1 Liter 0,25% dari berat semen

Setelah dilakukan percobaan didapatkan hasil pengujian workabilitas SCC pada tabel 4.5

Tabel 4. 5 Hasil pengujian Workabilitas self compacting concrete Trial Mix II

Pengujian Hasil

Slump Flow 53 cm

J-ring Flow 45 cm

V-Funnel 12 detik

V-Funnel AT5minutes 15 detik

Kesimpulan pengujian, berdasarkan hasil yang diperoleh komposisi tidak bisa dipakai untuk komposisi self compacting concrete karena pada pengujian

slump flow terjadi penumpukan agregat kasar dan tidak bisa melewati J-ring Flow.

3. Trial Mix III

Pada percobaan ini dilakukan campuran modifikasi dengan komposisi pasir 50% dari total berat agregat, dan W/c+p yang digunakan 0,4.


(17)

Tabel 4. 6 Campuran Trial Mix III

Material Komposisi/M3 Keterangan

Semen 400 Kg

Agregat Halus 889 Kg 50% dari total agregat Agregat Kasar 876 Kg

Air 160 Kg

Superplasticizer 4,00 Liter 1000ml dari berat semen

Retarder 1 Liter 0,25% dari berat semen

Setelah dilakukan percobaan didapatkan hasil pengujian workabilitas SCC pada tabel 4.7.

Tabel 4.7 Hasil pengujian Workabilitas self compacting concrete Trial Mix III

Pengujian Hasil

Slump Flow 55 cm

J-ring Flow 53 cm

V-Funnel 11 detik

V-Funnel AT5minutes 14 detik

Kesimpulan pengujian, berdasarkan hasil yang diperoleh komposisi tidak bisa dipakai untuk komposisi self compacting concrete karena pada pengujian

slump flow terjadi penumpukan agregat kasar dan tidak bisa melewati J-ring Flow.

4. Trial Mix IV

Pada percobaan ini dilakukan campuran modifikasi dengan komposisi pasir 52% dari total berat agregat, dan W/c+p yang digunakan 0,4.


(18)

Tabel 4.8 Campuran Trial Mix IV

Material Komposisi/M3 Keterangan

Semen 400 Kg

Agregat Halus 918 Kg 52% dari total agregat Agregat Kasar 847,76 Kg

Air 160 Kg

Superplasticizer 4,00 Liter 1000ml dari berat semen

Retarder 1 Liter 0,25% dari berat semen

Setelah dilakukan percobaan didapatkan hasil pengujian workabilitas SCC pada tabel 4.9.

Tabel 4.9 Hasil pengujian Workabilitas self compacting concrete Trial Mix IV

Pengujian Hasil

Slump Flow 59 cm

J-ring Flow 58 cm

V-Funnel 10 detik

V-Funnel AT5minutes 12 detik

Kesimpulan pengujian, berdasarkan hasil yang diperoleh komposisi bisa dipakai untuk komposisi self compacting concrete, karena telah memenuhi persyaratan pengujian SCC. Trial Mix IV menjadi acuan komposisi beton segar untuk melakukan penelitian dengan variasi suhu air campuran beton.


(19)

4.2.3. Pengujian Workabilitas Beton Segar dengan Variasi Suhu Air Campuran

Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan beton segar SCC dengan variasi suhu air campuran beton. Komposisi yang dipakai berdasarkan pada trial mix IV, karena pada suhu normal memenuhi persyaratan SCC. Hasil pengujian beton segar sebagai berikut :

Tabel 4.10 Hasil Pengujian Beton Segar SCC No Variasi

Suhu Air Campuran

Pengujian Slump Flow (cm) J-Ring Flow

(cm)

V-funeel (det)

V-funeel AtT5 Minutes

(det) d1 d2

Slump

Flow d1 d2

J-Ring Flow

1 5°c 63 62 62,5 61 62 61,5 11,14 13,30 2 15°c 64 63 63,5 62 63 62,5 10,54 12,39

3

Suhu air Normal

(28°c) 58 59 58,5 57 58 57,5 9,67 11,65 4 50°c 57 55 56,5 55 54 54,5 11,68 14,63 5 75°c 56 55 55,5 54 53 53,5 11,16 18,38

Secara grafik dapat dilihat perbandingan pengujian beton segar pada gambar 4.1 untuk pengujian Slump Flow dan J-ring Flow, dan gambar 4.2 untuk pengujian V-funnel dan V-funnel AttMinutes.


(20)

Gambar 4.1 Hasil Pengujian Slump Flow dan J-ring Flow

Gambar 4.2 Hasil Pengujian V-funnel dan V-funnel ATt 5 minutes

1. Variasi Suhu Air Campuran Normal (28°c) - Slump Flow

d1 = 58 cm

d2 = 59 cm

cm

Variasi Suhu Air campuran °c

V

-fu

n

n

el

(

d

et

ik)


(21)

Slump Flow = = = 58,5 cm

Memenuhi pesrayaratan pengujian Filling Ability, dengan diameter sebaran 50cm-70cm.

- J-ring Flow

d1 = 58 cm

d2 = 59 cm

J-Ring Flow =

= = 57,5 cm

Selisih pengujian slump flow dengan j-ring flow = 58,5cm – 57,5cm

= 1cm

Memenuhi persyaratan pengujian Passing Ability, dengan selisih ≤ 1 cm.

- Segregation Resistance (V-Funnel AT5minutes) V-Funnel = 9,67 detik

V-Funnel AT5minutes = 11,65 detik

Selisih pengujian V-Funnel dengan V-Funnel AT5minutes = 11,65 – 9,67


(22)

Memenuhi persyaratan pengujian Passing Ability, dengan pengujian V-Funnel 9,65 detik dari persyaratan 8-12 detik dan Segregation Resistance dengan selisih1 8 detik ≤ 3 detik.

2. Variasi Suhu Air Campuran 5°c - Slump Flow

d1 = 63 cm

d2 = 62 cm

Slump Flow = = = 62,5 cm

Memenuhi pesrayaratan pengujian Filling Ability, dengan diameter sebaran 50cm-70cm.

- J-ring Flow

d1 = 61 cm

d2 = 62 cm

J-Ring Flow =

= = 61,5 cm

Selisih pengujian slump flow dengan j-ring flow = 62,5cm – 61,5cm

= 1cm

Memenuhi persyaratan pengujian Passing Ability, dengan selisih ≤ 1 cm.


(23)

V-Funnel = 11,14 detik V-Funnel AT5minutes = 13,30 detik

Selisih pengujian V-Funnel dengan V-Funnel AT5minutes = 13,30 – 11.34

= 1,96 detik

Memenuhi persyaratan pengujian Passing Ability, dengan pengujian V-Funnel 11,34 detik dari persyaratan 8-12 detik dan memenuhi Segregation Resistance dengan selisih1 6 detik ≤ 3 detik.

3. Variasi Suhu Air Campuran 15°c - Slump Flow

d1 = 64 cm

d2 = 63 cm

Slump Flow = = = 63,5 cm

Memenuhi pesrayaratan pengujian Filling Ability, dengan diameter sebaran 50cm-70cm.

- J-ring Flow

d1 = 62 cm

d2 = 63 cm

J-Ring Flow =

= = 62,5 cm


(24)

Selisih pengujian slump flow dengan j-ring flow = 63,5cm – 62,5cm

= 1cm

Memenuhi persyaratan pengujian Passing Ability, dengan selisih ≤ 1 cm.

- Segregation Resistance (V-Funnel AT5minutes) V-Funnel = 10,54 detik

V-Funnel AT5minutes = 12,39 detik

Selisih pengujian V-Funnel dengan V-Funnel AT5minutes = 12,39 – 10,54

= 1,85 detik

Memenuhi persyaratan pengujian Passing Ability, dengan pengujian V-Funnel 10,54 detik dari persyaratan 8-12 detik dan memenuhi Segregation Resistance dengan selisih 1 85 detik ≤ 3 detik.

4. Variasi Suhu Air Campuran 50°c - Slump Flow

d1 = 57 cm

d2 = 55 cm

Slump Flow = = = 56 cm

Memenuhi pesrayaratan pengujian Filling Ability, dengan diameter sebaran 50cm-70cm.

- J-ring Flow


(25)

d2 = 54 cm J-Ring Flow =

= = 54,5 cm

Selisih pengujian slump flow dengan j-ring flow = 56cm – 54,5cm

= 1,5cm

Tidak memenuhi persyaratan pengujian Passing Ability, dengan selisih ≤ 1

cm, tapi termasuk dalam kriteria No Visible Blocking berdasarkan tabel 2.5. - Segregation Resistance (V-Funnel AT5minutes)

V-Funnel = 11,68 detik V-Funnel AT5minutes = 14,63 detik

Selisih pengujian V-Funnel dengan V-Funnel AT5minutes = 14,64 – 11,68

= 2,95 detik

Memenuhi persyaratan pengujian Passing Ability, dengan pengujian V-Funnel 11,68 detik dari persyaratan 8-12 detikdan Segregation Resistance dengan selisih 2 5 detik ≤ 3 detik.

5. Variasi Suhu Air Campuran 75°c - Slump Flow

d1 = 56 cm

d2 = 55 cm


(26)

= = 55,5 cm

Memenuhi pesrayaratan pengujian Filling Ability, dengan diameter sebaran

50cm-70cm.

- J-ring Flow

d1 = 54 cm

d2 = 53 cm

J-Ring Flow =

= = 53,5 cm

Selisih pengujian slump flow dengan j-ring flow = 55,5cm – 53,5cm

= 2cm

Tidak memenuhi persyaratan pengujian Passing Ability, dengan selisih ≤ 1

cm, tapi termasuk dalam kriteria No Visible Blocking berdasarkan tabel 2.5. - Segregation Resistance (V-Funnel AT5minutes)

V-Funnel = 11,16 detik V-Funnel AT5minutes = 18,38 detik

Selisih pengujian V-Funnel dengan V-Funnel AT5minutes = 18,38 – 11,16

= 7,22 detik

Memenuhi persyaratan pengujian Passing Ability, dengan pengujian V-Funnel 11,16 detik dari persyaratan 8-12 detik dan tidak memenuhi Segregation Resistance dengan selisih 7 22 detik ≥ 3 detik.


(27)

Hasil perhitungan dari pengujian pengaruh suhu air campuran terhadap pengujian beton segar SCC dapat dilihat pada tabel 4.11.

Tabel 4.11 Kriteria Hasil Pengujian Beton Segar SCC

No Variasi Suhu Air Campuran Filling Ability Passing Ability Segregation

Resistance Keterangan

cm cm detik

1 5°c 62,5 1 2,16

Memenuhi Kriteria SCC

2 15°c 63,5 1 1,85

Memenuhi Kriteria SCC

3

Suhu air

Normal (28°c) 58,5 1 1,98

Memenuhi Kriteria SCC

4 50°c 56 1,5 2,95

Tidak Memenuhi Kriteria SCC

5 75°c 55,5 2 7,22

Tidak Memenuhi Kriteria SCC

Gambar 4.3 Hasil Pengujiaan dan Perhitungan Filling Ability Persyaratan Batas Filling Ability 50 – 70 cm

Fi ll ing Abi li ty (cm )


(28)

Gambar 4.4 Hasil Pengujiaan dan Perhitungan Passing Ability

Gambar 4.5 Hasil Pengujiaan dan Perhitungan Segregation Resistance

Berdasarkan tabel 4.11 dapat disimpulkan bahwa, suhu air campuran mempengaruhi workability dari self compacting concrete. Dapat dilihat pada suhu air campuran 5°c dan 15°c yang memenuhi persyaratan dari SCC, sedangkan pada suhu air campuran 50°c dan 75°c tidak memenuhi persyaratan SCC. Pada suhu air campuran 50°c dan 75°c tidak memenuhi dalam kriteria passing ability,

yang artinya beton tidak mampu untuk melewati celah antar besi tulangan dan celah sempit dari cetakan. Suhu air campuran 75°c persyaratan segregation resistance tidak dipenuhi, karena terjadi segregasi pada campuran.

Persyaratan Batas Passing Ability Kurang dari 1 cm

Persyaratan Batas Segregation Resistance Kurang dari 3 detik

P

a

ss

in

g

Ab

il

ity

(cm)

Variasi Suhu Air Campuran

Seg

rega

ti

o

n

Resi

stance

(de

ti

k)


(29)

4.2.4. Pengujian Beton Keras dengan Variasi Suhu Air Campuran 1. Pengujian Kuat Tekan Beton

Pengujian kuat tekan beton dilakukan dengan menggunakan alat

Compressor Machine. Dari hasil yang diperoleh dari alat tersebut kemudian kuat tekan beton dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan 2.3.

Pada penelitian ini menggunakan benda uji berbentuk silinder dengan diameter 15 cm dan tinggi 30 cm. Hasil pengujian kuat tekan beton dapat dilihat pada tabel 4.12.

Tabel 4.12 Pengujian Kuat Tekan SCC

No

Variasi Suhu Air Campuran SCC Umur Beton (hari) Berat Benda Uji (Kg) Beban Tekan (Ton) Fc

(Mpa) F'c Rata-Rata (Mpa)

1 5°c

31,43 - Sampel I 28 12,78 57,00 32,26

- Sampel II 28 12,41 54,00 30,56 - Sampel III 28 12,56 55,60 31,46

2 15°c

29,94 - Sampel I 28 12,57 53,00 29,99

- Sampel II 28 12,52 53,20 30,11 - Sampel III 28 12,46 52,50 29,71 3

Suhu air Normal

(28°c)

27,62 - Sampel I 28 12,53 46,60 26,37

- Sampel II 28 12,64 48,80 27,62 - Sampel II 28 12,67 51,00 28,86

4 50°c

25,20 - Sampel I 28 12,80 46,00 26,03

- Sampel II 28 12,55 42,40 23,99 - Sampel III 28 12,64 45,20 25,58

5 75°c

24,71 - Sampel I 28 12,49 43,00 24,33

- Sampel II 28 12,50 43,00 24,33 - Sampel III 28 12,58 45,00 25,46


(30)

Berdasarkan tabel 4.12 dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh suhu air campuran beton terhadap kuat tekan beton. Kuat tekan beton paling tinggi didapat pada suhu air campuran 5°c dan kuat tekan beton terendah pada suhu air campuran 75°c. Pada Gambar 4.5 dapat dilihat perbedaan pengaruh suhu air campuran terhadap kuat tekan beton. Hal ini disebabkan adanya pengaruh suhu air campuran awal yang mengakibatkan berkurangnya kuat tekan beton pada suhu campuran yang tinggi.

Gambar 4.6 Grafik Pengaruh Suhu Air Terhadap Kuat Tekan Beton Berdasarkan gambar 4.5 dapat dilihat kenaikan kuat tekan beton terhadap suhu air campuran yang lebih rendah dan penurunan kuat tekan beton tehadap suhu yang lebih tinggi. Pada suhu 5ºc kenaikan kuat tekan beton sebesar 25,70% terhadap mutu rencana, sedangkan pada suhu 15ºc kenaikan kuat tekan beton sebesar 19,74%. Pada suhu normal 28 ºc kuat tekan beton besar 10,46% dari mutu rencana. Pada suhu yang lebih tinggi 50ºc kuat tekan beton 0,80% lebih

Kuat T

ek

an

B

et

o

n

(

M

p

a)


(31)

besar dari mutu rencana. Sedangkan pada suhu 75ºc mutu rencana tidak terpenuhi kuat tekan beton kurang 1,16% dari mutu rencana. Hal ini diakibatkan karena pada pengunaan air campuran yang lebih rendah mengurangi panas hidrasi semen yang menjadikan beton lebih liat. Sedangkan pada suhu air campuran yang tinggi beton menjadi lebih getas yang mengurangi kekuatan beton, dijelaskan secara garfik pada gambar 4.6.

Gambar 4. 7 Pengaruh Variasi Suhu Air Campuran Terhadap Kuat Tekan Beton (%)

2. Pengujian Kuat Tarik Belah Beton

Pengujian kuat tarik belah beton dilakukan dengan menggunakan alat

Compressor Machine. Dari hasil yang diperoleh dari alat tersebut kemudian kuat tekan tarik belah dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan 2.5.

Pada penelitian ini menggunakan benda uji seperti pada kuat tekan beton. Hasil pengujian kuat tekan beton dapat dilihat pada tabel 4.13.

25,70% 19,74% 10,46% 0,80% -1,16% -5,00% 0,00% 5,00% 10,00% 15,00% 20,00% 25,00% 30,00%

5°c 15°c 28°c 50°c 75°c

Per sen tase Pen g ar u h K u at Tek an B e to n

Suhu Air Campuran

Pengaruh Variasi Suhu Air Campuran Terhadap Kuat Tekan Beton (%) Dengan Mutu Rencana 25 MPa

Pengaruh Variasi Suhu Air …


(32)

Tabel 4. 13 Pengujian Kuat Tarik Belah Beton No Variasi Suhu Air Campuran SCC Umur Beton (hari) Jenis Benda Uji Berat Benda Uji (Kg) Beban Tekan (Ton) F'ct (Mpa) F'ct Rata-Rata (Mpa)

1 5°c

2,75 - Sampel I 28 Silinder 12,26 22,80 3,23

- Sampel II 28 Silinder 12,48 16,60 2,35 - Sampel III 28 Silinder 12,52 19,00 2,69

2 15°c

2,66 - Sampel I 28 Silinder 12,28 19,80 2,80

- Sampel II 28 Silinder 12,28 18,20 2,57 - Sampel III 28 Silinder 12,34 18,50 2,62

3

Suhu air Normal

(28°c)

2,78 - Sampel I 28 Silinder 12,44 21,80 3,08

- Sampel II 28 Silinder 12,47 17,80 2,52 - Sampel II 28 Silinder 12,59 19,30 2,73

4 50°c

2,20 - Sampel I 28 Silinder 12,53 15,20 2,15

- Sampel II 28 Silinder 12,69 14,40 2,04 - Sampel III 28 Silinder 12,72 17,00 2,41

5 75°c

2,04 - Sampel I 28 Silinder 12,22 14,00 1,98

- Sampel II 28 Silinder 12,43 16,10 2,28 - Sampel III 28 Silinder 12,51 13,20 1,87

Dari tabel 4.13 dapat dilihat pengaruh suhu air campuran terhadap kuat tarik belah beton. Kuat tarik belah beton tertinggi terdapat pada suhu air normal, sedangkan yang terendah terdapat pada suhu air campuran 75°c. Untuk perbandingan dapat dilihat pada gambar 4.7 secara grafik.


(33)

Gambar 4.8 Grafik Pengujian Kuat Tarik Belah Beton

Dari gambar 4.7 dapat disimpulkan kuat tarik belah tertinggi pada suhu air campuran normal (28ºc) sedangkan pada variasi yang lain terjadi penurunan. Pada suhu 5ºc terjadi penurunan sebesar 0,85% dari kuat tarik belah suhu air normal, suhu 15ºc penurunan terjadi 4,07% dari kuat tarik belah suhu air normal. Sedangkan pada suhu air campuran yang lebih tinggi terjadi penurunan yang signifikan dengan suhu 50ºc terjadi penurunan 20,88% terhadap kuat tarik belah beton suhu air normal dan suhu 75ºc penurunan sebesar 26,49% terhadap kuat tarik belah beton normal dijelaskan secara grafik pada gambar 4.8.

Kuat T

ari

k

Bel

ah

Be

to

n

(

M

p

a)


(34)

Gambar 4.9 Pengaruh Variasi Suhu Air Campuran Terhadap Kuat Tekan Beton (%)

-0,85%

-4,07%

0,00%

-20,88%

-26,49% -30,00%

-25,00% -20,00% -15,00% -10,00% -5,00% 0,00%

5°c 15°c Suhu air Normal (28°c)

50°c 75°c

Pengaruh Kuat Tarik Belah Terhadap

Variasi Suhu Air Campuran (%)

Pengaruh Kuat Tarik Belah Terhadap Variasi Suhu Air … Semua Variasi Suhu Air Campuran Terjadi Penurunan Kuat Tarik Belah dari Suhu Air Normal


(35)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut:

1. Perancanaan Campuran untuk Self Compacting Concrete tidak bisa memakai perancanaan campuran pada umumnya, harus digunakan modifikasi dengan cara coba-coba untuk mendapatkan komposisi campuran sesuai dengan hasil persyaratan yang untuk pengujian beton segar Self Compacting Concrete.

2. Pengujian beton segar Self Compacting Concrete pada suhu air campuran beton 5ºc, 15ºc dan suhu normal (28ºc) memenuhi persyaratan pengujian beton segar

Self Compacting Concrete dan bisa digunakan. Sedangkan pada suhu air campuran beton 50ºc dan 75ºc tidak memenuhi persyaratan pengujian beton segar Sef Compacting Concrete. Suhu air campuran beton pada Self Compacting Concrete mempengaruhi dalam workabilitas beton segar, karena pada pada suhu air yang tinggi mengakibatkan terjadinya segregasi, dan

passing ability (kemampuan campuran beton untuk melewati celah antar besi tulangan dan cetakan) tidak memenuhi persyaratan.

3. Pengujian kuat tekan beton dengan variasi suhu air campuran pada SCC menghasilkan 5°c lebih tinggi 25,70%, suhu 15°c lebih tingggi 19,74%, 28°c (suhu normal) lebih tinggi 10,46%, suhu 50°c lebih tinggi 0,80% dan pada suhu 75°c lebih rendah 1,16% dari mutu rencana. Hal ini menunjukan pada


(36)

suhu 5°c,15°c,28°c,50°c masih memenuhi untuk mutu rencana kuat tekan beton.

4. Pada pengujian kuat tarik belah beton air campuran beton memiliki pengaruh karena pada suhu 28°c mempunyai nilai kuat tarik paling tinggi dan pada suhu 75°c mempunyai nilai kuat tarik paling rendah.

5.2. SARAN

1. Pengerjaan beton pada cuaca yang panas dianjurkan menggunakan suhu air campuran beton yang rendah agar workabilitas beton segar dapat terjaga dan tidak terjadi segregasi.

2. Disarankan dilakukan penelitian lebih lanjut tentang komposisi Self Compacting Concrete agar bisa mendapatkan perhitungan komposisinya baik dari perbandingan penggunaan material atau penggunaan zat adiktif.


(37)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Beton

Beton merupakan fungsi dari bahan penyusunnya yang terdiri dari bahan semen hidrolik (portland cement), agregat kasar, agregat halus, air dan bahan tambah (admixture atau additive). Untuk mengetahui dan mempelajari perilaku elemen gabungan (bahan-bahan penyusun beton), kita memerlukan pengetahuan mengenai karakteristik masing-masing komponen. (Tri Mulyono, 2004).

Proses awal terbentuknya beton adalah pasta semen yaitu proses hidrasi antara air dengan semen, selanjutnya jika ditambahkan dengan agregat halus menjadi mortar dan jika ditambahkan dengan agregat kasar menjadi beton. (Tri Mulyono, 2004).

Kekuatan beton akan bertambah dengan naiknya umur beton. Kekuatan beon akan naik secara cepat sampai umur 28 hari dan stelah itu peningkatan kekuatannya akan kecil. Selain itu kekuatan beton dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain proporsi unsur-unsur penyusunnya, metode perancangan (mix design), perawatan, dan keadaan saat pelaksanaan pengecoran. Unsur-unsur penyusun dari beton antara lain berupa air, semen, agregat kasar, agregat halus, serta jika dengan keperluan tertentu maka akan digunakan additive dan admixture.

Perbandingan dari unsur-unsur tersebut akan menjadi hal terpenting dari kekuatan beton, sehingga diperlukan perancangan yang tepat sehingga diperoleh perbandingan yang sesuai dengan spesifikasi dalam mencapai kekuatan yang direncanakan.


(38)

Tabel 2. 1 Unsur-unsur Beton

Agregat (kasar + halus) 60% - 80%

Semen 7% - 15%

Air 14% - 21%

Udara 1% - 8%

Sumber : Mulyono, Tri . Teknologi Beton. Yogyakarta: Andi, 2004

Perancangan beton harus memenuhi kriteria perancangan standar yang berlaku antara lain ASTM, ACI, JIS, ataupun SNI. Metode yang dapat digunakan antara lain Roaad Note No.4, ACI (American Concrete Institute), SK SNI-T-15-1990-03 atau DoE/PU serta cara coba-coba “Try and Error”. (Tri Mulyono, 2004).

2.1.1.Kelebihan dan Kekurangan Beton

Dari pemakaiannya yang begitu luas maka dapat diduga sejak dini bahwa struktur beton mempunyai banyak keunggulan dibanding materi struktur yang lain.

Kelebihan beton tersebut antara lain (Nugraha P., 2007) :

a. Ketersediaan (availability) material dasar. Agregat, air dan semen pada umumnya bisa didapat dari lokal setempat.

b. Kemudahan untuk digunakan (versatility). Pengangkutan bahan yang mudah dan bisa dipakai untuk berbagai struktur sedangkan beton bertulang dapat digunakan untuk berbagai struktur yang lebih berat.

c. Kemampuan beradaptasi (adaptability). Beton bersifat monolit, tidak memerlukan sambungan seperti baja. Beton dapat dicetak dengan bentuk dan


(39)

ukuran berapapun, misalnya pada struktur cangkang (shell) maupun bentuk-bentuk khusus 3 dimensi.

d. Kebutuahan pemeliharaan yang minimal. Secara umum ketahanan (durability) beton cukup tinggi, lebih tahan karat sehingga tidak perlu dicat, lebih tahan terhadap bahaya kebakaran.

Di samping segala keunggulan di atas, beton sebagai struktur juga mempunyai kekurangan yang membatasi pemakaiannya, yaitu (Murdock, L.J., 1979) :

a. Kuat tariknya rendah, bagian konstruksi yang menderita gaya tarik harus diperkuat dengan batang baja atau ayaman batang baja.

b. Rambatan suhu, selama pengikatan dan pengerasan suhu beton naik. Perubahan suhu ini dapat mengakibatkan muai-susut akibat suhu yang cukup besar dan retak-retak ringan.

c. Penyusutan kering dan perubahan kadar air, beton menyusut bilamana mengalami kekeringan dan bahkan ketika terjadi pengerasan.

d. Rayapan, beton mengalami perubahan bentuk secara berangsur-angsur bilamana mengalami pembebanan.

e. Kerapatan terhadap air, beton yang paling baik tidak dapat secara sempurna rapat terhadap air dan kelembapan.

2.1.2.Problematika Beton

Bila dilihat secara sepintas beton tampaknya sederhana, namun kalau diamati dengan lebih seksama, beton sebagai material komposit mempunyai banyak permasalahan diantaranya :


(40)

1. Penakaran, pencampuran dan pengangkutan, ketelitian dalam memilih proporsi campuran dapat menjadi sia-sia bila teknik yang tidak sesuai diperbolehkan di lapangan. Potensi kualitas beton akan berkembang hanya apabila ditimbang, dicampur, ditempatkan, dipadatkan dan dirawat secara teratur.

2. Penuangan dan Pemadatan, sebelum melakukan penuangan beton harus dilakukan persiapan yang matang untuk mendapatkan bentuk, dan kualitas yang diinginkan. Pemadatan merupakan satu hal penting untuk menyingkirkan rongga udara sehinga beton tidak berongga dan dibentuk sesuai dengan yang diinginkan.

3. Pengecoran pada cuaca panas, kondisi temperature dilapangan panas atau dingin tenang dan berangin mungkin sangat berbeda dengan kondisi optimum di laboratorium.

Problematika ini mungkin dapat ditanggulangi dengan adanya teknisi yang profesional dan pengawasan yang ketat, selain itu inovasi dan perkembangan teknologi dapat menjadi alternatif lain agar pekerjaan beton bisa lebih efektif dalam hal pengerjaan dan kualitas beton.

2.1.3.Sifat dan Karakterstik yang Dibutuhkan pada Perencangan Beton 1. Kuat Tekan Beton, beton baik dalam menahan tegangan tekan daripada jenis

tegangan yang lain, dan umumnya pada perencanaan struktur beton memanfaatkan sifat ini. Karenanya kekuatan tekan dari beton dianggap sifat yag paling penting dalam banyak kasus.

2. Kemudahan Pengerjaan, kemudahan pengerjaan merupakan salah satu kinerja utama yang dibutuhkan karena jika beton yang direncanakan dengan mutu tinggi tidak dapat dilaksanakan di lapangan karena kesulitan pengerjaan, maka


(41)

perencnaan beton tersebut akan percuma. Oleh karena itu pada saat ini sudah lazim digunakan admixture untuk memperbaiki kinerja pada saat pelaksanaan. 3. Rangkak dan Susut, pembebanan pada beton akan diberikanon setelah beton

mengeras. Beton menunjukan sifat elastis murni pada waktu pembebanan singkat, sedangkan pada pembebanan yang tidak singkat beton akan mengalami regangan dan tegangan sesuai dengan lama pembebanannya.

Rangkak (creep) atau lateral material flow didefenisikan sebagai penambahan regangan terhadap waktu akibat adanya beban yang bekerja. Umumnya rangkak tidak mengakibatkan dampak langsung terhadap kekuatan struktur tetapi akan mengakibatkan timbulnya redistribusi tegangan pada beban yang bekerja dan mengakibatkan terjadinya peningkatan atau lendutan (deflection). (Tri Mulyono, 2004).

Susut didefenisikan sebagai perubahan volume yang tidak berhubungan dengan beban. Proses rangkak selalu dihubungkan dengan susut karena keduanya terjadi bersamaan dan sering kali memberikan pengaruh yang sama terhadap deformasi. (Tri Mulyono, 2004).

2.2. SEMEN PORTLAND

Karena beton terbuat dari agregat yang diikat bersama oleh pasta semen yang mengeras maka kualitas semen sangat mempengaruhi kualitas beton. Pasta semen adalah lem, yang bila semakin tebel tentu semaki kuat. Namun jika terlalu tebal juga tidak menjamin lekatan yang baik.

Arti kata semen adalah bahan yang mempunyai sifat adhesif maupun kohesif, yaitu bahan pengikat. Menurut Standar Industri Indonesia, SII 0012-1981, definisi semen portland adalah semen hidraulis yang dihasilkan dengan cara


(42)

menghaluskan klinker yang terutama terdiri dari silikat-silikat kalsium yang bersifat hidraulis bersama bahan-bahan yang biasa digunakan, yaitu gypsum.

Tukang batu Joseph Aspdin dari Inggris adalah pembuat semen portland yang pertama pada awal abad ke 19, dengan membakar batu kapur yang dihaluskan dan tanah liat di dalam tungku dapur rumahnya. Dari metode kasar ini berkembanglah industri pembuatan semen yang sedemikian halus sehingga satu kilogram semen mengandung sampai 300 milyar butiran (Nugraha P, 2007).

Semen portland yang digunakan di Indonesia harus memenuhi syarat SII.0013-1981 atau Standart Uji Bahan Bangunan Indonesia 1986, dan harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam standart tersebut.

Peraturan Beton 1989 (SKBI.1.4.53.1989) membagi semen portland menjadi lima jenis (SK.SNI T-15-1990-03:2) yaitu :

- Tipe I, semen portland yang dalam penggunaannya tidak memerlukan persyaratan khusus seperti jenis-jenis lainnya. Jenis ini paling banyak diproduksi karena digunakan untuk hamper semua jenis konstruksi.

- Tipe II, semen portland modifikasi yang dalam penggunaannya memerlukan ketahanan terhadap sulfat dan panas hidrasi sedang.

- Tipe III, semen portland yang dalam penggunaannya memerlukan kekuatan awal tinggi dalam fase permulaan setelah peningkatan terjadi. Kekuatan 28 hari umumnya dapat dicapai dalam 1 minggu. Semen jenis ini umum dipakai ketika acuan harus dibongkar secepat mungkin atau ketika struktur harus dapat cepat dipakai.

- Tipe IV, semen portland yang penggunaannya memerlukan panas hidrasi yang rendah, yang dipakai untuk kondisi di mana kecepatan dan jumlah panas yang


(43)

timbul harus minimum. Misalnya pada bangunan masif seperti bendungan gravitasi yang besar.

- Tipe V, semen portland yang dalam penggunaannya memerlukan ketahanan yang tinggi terhadap sulfat. Umumnya dipakai di daerah di mana tanah atau airnya memiliki kandungan sulfat yang tinggi.

2.2.1.Sifat dan Karakteristik Semen Portland

Semen yang satu dengan yang lainnya dapat dibedakan berdasarkan susunan kimianya maupun kehalusan butirnya. Sifat-sifat semen portland dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sifat fisika dan kimia.

1. Sifat-sifat Fisika Semen Portland a. Kehalusan butir

Kehalusan butir semen mempengaruhi proses hidrasi. Waktu pengikatan (setting time) menjadi semakin lama jika butir semen lebih besar. Sebaliknya, semakin halus butiran semen, proses hidrasinya semakin cepat, sehingga kekuatan awal tinggi dan kekuatan berkurang. Kehalusan butir semen yang tinggi dapat mengurangi bleeding atau naiknya air ke permukaan, tetapi menambah kecenderungan beton menyusut lebih banyak dan mempermudah terjadinya retak dan susut.

b. Kemulusan

Kemulusan pasta semen yang telah mengeras merupakan suatu ukuran dari kemampuan pengembangan dari bahan-bahan campurannya dan kemampuan untuk mempertahankan volumenya setelah mengikat. Ketidakmulusan pasta semen disebabkan oleh terlalu banyaknya jumlah kapur bebas yang


(44)

pembakarannya tidak sempurna serta magnesia yang terdapat di dalam campuran tersebut.

c. Waktu Pengikatan

Waktu ikat adalah waktu yang diperlukan semen untuk mengeras terhitung mulai dari bereaksi dengan air dan menjadi pasta semen hingga pasta semen cukup kaku untuk menahan tekanan. Waktu ikat semen dibedakan menjadi dua yaitu:

- Waktu ikat awal yaitu waktu dari pencampuran semen dengan air menjadi pasta semen hingga hilangnya sifat keplastisan. Waktu ikat awal ditandai dengan penetrasi sedalam 35 mm, dimana Tawal > 45 menit

- Waktu ikat akhir yaitu waktu antara terbentuknya pasta semen hingga beton mengeras. Ditandai dengan penetrasi jarum vicat sedalam 0 mm (tidak terjadi penetrasi).

Waktu pengikatan diukur dengan alat Vicat atau Gillmore. Dengan demikian dapat ditentukan apakah pasta semen itu cukup lama berada dalam keadaan plastis sampai beton bersangkutan dapat dituang atau dicor.

d. Perubahan Volume,

Kekekalan pasta semen yang telah mengeras merupakan suatu ukuran yang menyatakan kemampuan pengembangan bahan-bahan campurannya dan kemampuan untuk mempertahankan volume setelah pengikatan terjadi. Ketidakkekalan semen disebabkan oleh terlalu banyaknya kapur bebas yang pembakaran semen tidak sempurna. Kapur bebas itu mengikat air dan kemudian menimbulkan gaya-gaya expansi.


(45)

e. Kepadatan (Density)

Berat jenis semen yang disyaratkan oleh ASTM adalah 3,15. Pada kenyataannya, berat jenis semen yang diproduksi berkisar antara 3,05-3,25. Variasi ini akan berpengaruh pada proporsi semen dalam campuran.

f. Konsistensi

Konsistensi semen portland lebih banyak pengaruhnya pada saat pencampuran awal, yaitu pada saat terjadi pengikatan sampai pada saat beton mengeras. Konsistensi yang terjadi bergantung pada rasio antara semen dan air serta aspek bahan semen.

g. Panas Hidrasi

Panas hidrasi adalah panas yang terjadi pada saat semen bereaksi dengan air. Jumlah panas yang dikeluarkan terutama bergantung pada susunan kimia, kehalusan butiran semen, serta suhu pada waktu dilaksanakan perawatan. Dalam pelaksanaan, perkembangan panas ini dapat mengakibatkan masalah yakni timbulnya retakan pada saat pendinginan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendinginan melalui perawatan (curing) pada saat pelaksanaan.

h. Kekuatan Tekan

Kekutan semen portland ditentukan dengan menekan benda uji semen sampai hancur. Contoh semen yang akan diuji dicampur dengan pasir silika

dengan perbandingan tertentu kemudian dibentuk menjadi kubus atau silinder. Setelah dirawat dalam jangka waktu tertentu benda uji ditekan sampai hancur untuk memperoleh gambaran dari perkembangan kekutan semen portland yang sedang diuji.


(46)

Tabel 2. 2 Kekuatan Tekan Beton Relatif sesuai dengan Pengaruh Jenis Semen yang Digunakan

Jenis Semen Portland

Kekuatan Tekan, % dari Semen Portland Jenis I 1 Hari 3 Hari 7 Hari 28 Hari

I. Biasa 100 100 100 100

II. Modified (diubah) 80 85 90 100

III. Kekuatan awal tinggi 190 120 110 100

IV. Panas hidrasi rendah 55 55 75 100

V. Tahan terhadap sulfat 65 75 85 100

Sumber : Teknologi Bahan II, P. E. D. C.

2. Sifat-sifat Kimia Semen Portland a. Senyawa Kimia

Secara garis besar ada empat senyawa kimia utama yang menyusun semen portland yaitu:

- Trikalsium Silikat (C3S)

- Dikalsium Silikat (C2S)

- Trikalsium Aluminat (C3A)


(47)

Tabel 2. 3 Karakteristik Senyawa Penyusun Semen Portland

Nilai

Trikalsium Silikat 3CaO.SiO2

atau C3S

Dikalsium Silikat 2CaO.SiO2

atau C2S

Trikalsium Aluminat 4CaO.Al2O

3 atau C3A

Tetrakalsium Aluminoferfrit

4CaO.Al2O3F e2O3

Penyemenan Baik Baik Buruk Buruk

Kecepatan Reaksi

Sedang Lambat Cepat Lambat

Pelepasan Panas

Hidrasi

Sedang Sedikit Banyak Sedikit

Sumber : Mulyono, Tri. Teknologi Beton. Yogyakarta: Andi, 2004

b. Kesegaran Semen

Pengujian kehilangan berat akibat pembakaran dilakukan pada semen dengan suhu 900-1000 ºC. Kehilangan berat ini terjadi karena kelembaban yang menyebabkan rehidrasi dan karbonisasi dalam bentuk kapur bebas atau

magnesium yang menguap. Kehilangan berat semen ini merupakan ukuran dari kesegaran semen. Dalam keadaan normal akan terjadi kehilangan berat sekitar 2% (batas maksimum 4%).

c. Sisa yang Tidak Larut

Sisa bahan yang tidak habis bereaksi adalah sisa bahan tidak aktif yang terdapat pada semen. Semakin sedikit sisa bahan ini, semakin baik kualitas semen. Jumlah maksimum tidak larut yang dipersyaratkan adalah 0,85%.

d. Panas Hidrasi Semen

Proses hidrasi terjadi dengan arah kedalam dan keluar. Maksudnya, hasil mengendap di bagian luar, semen yang bagian dalamnya terhidrasi secara


(48)

bertahap akan terhidrasi sehingga volumenya mengecil (susut). Selama proses

hidrasi berlangsung, akan keluar panas yang dinamakan panas hidrasi. Pasta semen yang telah mengeras memiliki struktur berpori dengan ukuran yang sangat kecil dan bervariasi. Setelah proses hidrasi berlangsung, endapan pada permukaan butiran semen akan menyebabkan difusi air ke bagian dalam yang belum terhidrasi semakin sulit.

e. Kekuatan Pasta Semen dan Faktor Air Semen

Banyaknya air yang dipakai selama proses hidrasi akan mempengaruhi karakteristik kekuatan beton jadi. Pada dasarnya jumlah air yang dibutuhkan untuk proses hidrasi tersebut adalah sekitar 25% dari berat semen. Jika air yang digunakan kurang dari 25%, maka kelecekan atau kemudahan dalam mengerjakan tidak akan tercapai. Beton yang memiliki workability didefenisikan sebagai beton yang dapat dengan mudah dikerjakan atau dituangkan ke dalam cetakan dan dapat dengan mudah dibentuk. Kekuatan beton akan turun jika air yang ditambahkan ke dalam campuran semakin banyak. Karena itu penambahan air harus dilakukan sedikit demi sedikit sampai nilai maksimum yang tercantum dalam rencana tercapai.

Faktor Air Semen (FAS) atau Water Cement Ratio (WCR) adalah berat air dibagi dengan berat semen. FAS yang rendah menyebabkan air yang berada di antara bagian-bagian semen sedikit dan jarak antar butiran-butiran semen menjadi pendek.

2.3. Agregat

Mengingat bahwa agregat menempati 70-75% dari total volume beton maka kualitas agregat sangat berpengaruh terhadap kualitas beton. Dengan agregat yang


(49)

baik.beton dapat dikerjakan (workable), kuat, tahan lama (durable) dan ekonomis. Pengarunya dapat dilihat pada Tabel.

Tabel 2. 4Pengaruh sifat agregat pada sifat beton

Sifat Agregat Pengaruh Pada Sifat Beton

Bentuk, tekstur, gradasi

Beton cair

Kelecekan

Pengikatan dan Pengerasan Sifat fisik, sifat

kimia, mineral

Beton keras

Kekuatan, kekerasan, ketahanan (durability)

Sumber : Nugraha, P. Teknologi Beton. Surabaya: Andi, 2007

Agregat memilki harga yang lebih murah jika dibandingkan dengan semen, maka akan lebih ekonomis jika dalam campuran beton digunakan banyak agregat yang tentunya akan mempengaruhi jumlah penggunaan semen, namun tentunya harus disesuaikan dengan spesifikasi dan kekuatan yang diinginkan dari perencanaan beton tersebut. Agregat memberikan kontribusi yang besar terhadap beton, seperti stabilitas volume, ketahanan abrasi, dan ketahanan umum (durability). Bahkann beberapa sifat fisik beton secara langsung tergantung pada sifat agregat, seperti kepadatan, panas jenis, dan modulus elastisitas.

Hal-hal yang juga harus dimiliki oleh agregat antara lain : 1. Kekuatan yang baik.

2. Tahan lama.

3. Tahan terhadap cuaca.

4. Permukaannya haruslah bebas dari kotoran seperti tanah liat, lumpur dan zat organik yang akan memperlemah ikatannya dengan adukan semen.


(50)

5. Tidak boleh terjadi reaksi kimia yang tidak diinginkan diantara material tersebut dengan semen.

Klasifikasi agregat secara umum adalah mengenai bentuk dan ukuran agregat. Bentuk agregat terdiri dari agregat alam yang biasanya berbentuk bulat dan memiliki permukaan yang cenderung halus dan agregat batu pecah yang dihasilkan dari penggunaan mesin pemecah batu yang memiliki bentuk cenderung runcing dan memiliki permukaan kasar. Sedangkan untuk ukuran agregat dibedakan menjadi dua berdasarkan ayakan 5 mm atau 3/16”. Agregat kasar adalah agregat dengan ukuran lebih besar dari 5 mm. Sedangkan agregat halus adalah agregat dengan ukuran lebih kecil dari 5 mm.

2.3.1.Agregat Kasar

Agregat kasar dapat mempengaruhi kekuatan dan sifat struktur beton. Oleh karena itu, agregat kasar harus dipilih yang cukup keras, tidak retak dan tidak mudah pecah, bersih, dan bebas dari lapisan di permukaannya. Sifat agregat kasar juga mempengaruhi karakteristik lekatan agregat-mortar dan kebutuhan air pencampur.

Agregat kasar yang digunakan dalam SCC yaitu ukuran maksimum 20 mm. Agregat kasar dapat berupa karikil sebagai hasil disintegrasi alami dari batubatuan atau berupa batu pecah yang diperoleh dari pemecahan batu. Persyaratan umum agregat kasar yang digunakan sebagai campuran beton adalah sebagai berikut (PBI-1971) :

1. Agregat kasar berupa kerikil yang berasal dari batu-batuan alami, atau berupa batu pecah yang diperoleh dari pemecah batu.


(51)

2. Agregat kasar harus terdiri dari butir-butir yang keras dan tidak berpori. Butir-butir agregat kasar harus bersifat kekal, artinya tidak pecah atau hancur oleh pengaruh-pengaruh cuaca, seperti terik matahari dan hujan.

3. Agregat kasar tidak boleh mengandung lumpur lebih dari 1% (ditentukan terhadap berat kering).

4. Tidak boleh mengandung zat-zat yang dapat merusak beton, seperti zat-zat yang reaktif alkali

Untuk mengetahui karakteristik dari agregat dapat dilakukan dengan melakukan pengujian seperti yang telah distandarkan (analisa saringan,berat jenis, air resapan, berat volume, kelembapan, dan kebersihan agregat terhadap lumpur). Agregat kasar yang dipakai dalam penelitian ini adalah agregat kasar yang berasal dari batu pecah.

2.3.2.Agregat Halus

Agregat halus dengan modulus kehalusan (FM) antara 2,5 sampai 3,2 lebih baik untuk beton mutu tinggi. Campuran beton yang dibuat dengan agregat halus yang mempunyai modulus kehalusan (FM) kurang dari 2,5 biasanya bersifat lengket (sticky) dan mempunyai workabilitas yang rendah dan memerlukan kebutuhan air pencampur yang lebih tinggi. Terkadang memungkinkan untuk mencampur pasir dari daerah/lokasi yang berbeda untuk meningkatkan keragaman gradasinya dan kapasitasnya untuk menghasilkan kekuatan yang lebih tinggi.

Ukuran agregat halus yang digunakan, lolos saringan ayakan 4,8 mm dan mempunyai tekstur yang baik. Kadar lumpur, kadar organik, dan kadar air serta sifat-sifat lainnya harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan.


(52)

2.4. Air

Semen tidak bisa menjadi pasta tanpa air. Air harus selalu ada didalam beton cair, tidak saja untuk hidrasi semen, tetapi juga untuk mengubahnya menjadi suatu pasta sehingga betonnya lecak (workable). Jumlah air yang terikat dalam beton dengan faktor air-semen 0.65adalah sekitar 20% dari berat semen pada umur 4 minggu. Dihitung dari komposisi material semen. Jumlah air yang diperlukan untuk hidrasi secara teoritis adalah 35-37% dari berat semen (Nugraha P, 2007).

Air yang digunakan untuk campuran beton harus bersih, tidak boleh mengandung minyak, asam alkali, zat organis atau bahan lainnya yang dapat merusak beton atau tulangan. Sebaiknya dipakai air tawar yang dapat diminum.

Air yang diperlukan dipengaruhi factor-faktor dibawah ini (Nugraha P.,2007) :

- Ukuran agregat maksimum : diameter membesar  kebutuhan air menurun (begitu pula jumlah mortar yang dibutuhkan menjadi lebih sedikit).

- Bentuk butir : bentuk bulat  kebutuhan air menurun (batu pecah perlu lebih banyak air).

- Gradasi agregat : gradasi baik  kebutuhan air menurun untuk kelecakan yang sama.

- Kotoran dalam agreat : makin banyak slit, tanah liat dan lumpur, kebutuhan air meningkat.

- Jumlah agregat halus (dibandingkan dengan agregat kasar, atau h/k) : agregat halus lebih sedikit  kebutuhan air menurun.


(53)

2.5. Bahan Kima Pembantu

Bahan kimia pembantu (chemical admixtures) dan bahan-bahanlain merupakan bahan tambahan (additivies) kepada beton. Jumlahnya relatif sedikit tetapi pengaruhnya cukup besar pada beton sehingga banyak digunakan. Produk-produk bahan kimia pembantu yang komersial, jenisnya sering dikombinasikan. Jarang bisa diperoleh informasi terperinci, terutama tentang komposisi kimianya, sehingga sukar untuk mengistimasi semua pengaruhnya pada beton. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan untuk memakai produk/merek yang sudah dikenal. Bila perlu dicoba dengan campuran percobaan (trial mix). Efek dapat berbeda untuk merk semen yang berbeda (Nugraha P, 2007).

Menurut standar ASTM. C. 494 (1995: .254) terdapat beberapa tipe bahan tambah kimia, antara lain :

a. Tipe A “Water-Reducing Admixtures”

Water-Reducing Admixtures adalah bahan tambah yang mengurangi air pencampur yang diperlukan untuk menghasilkan beton dengan konsistensi tertentu.

Bahan tambah ini pada umumnya mengurangi pemakaian air sebanyak 5% - 12% dari pemakaian pada desain mix beton normal. Penggunaan bahan tambah ini harus memperhatikan pengaruhnya pada waktu ikat (setting) beton segar yang pada umumnya akan menjadi lebih cepat dari beton normal -- pelaksanaan finishing harus dipersiapkan dengan baik supaya tidak terlambat dimulai dan diselesaikan.


(54)

b. Tipe B “Retarding Admixtures

Retarding Admixtures adalah bahan tambah yang berfungsi untuk menghambat waktu pengikatan beton. Penggunaanya untuk menunda waktu pengikatan beton (setting time) misalnya karena kondisi cuaca yang panas, atau memperpanjang waktu untuk pemadatan untuk menghindari cold joints dan menghindari dampak penurunan saat beton segar pada saat pengecoran dilaksanakan. Bahan tambah dengan fungsi retarding digunakan dengan tujuan utama menunda waktu initial dan final setting dari adukan beton segar, dan mempertahankan workability beton.

c. Tipe C “Accelerating Admixtures

Accelerating Admixtures adalah bahan tambah yang berfunsi untuk mempercepat pengikatan dan pengembangan kekuatan awal beton. Bahan ini digunkan untuk mengurangi lamanya waktu pengeringan (hidrasi), dan mempercepat pencapaian kekuatan beton.

Bahan tambah dengan fungsi accelerating digunakan dengan tujuan utama mendapatkan kekuatan awal yang lebih tinggi pada beton yang dikerjakan, misalkan jika elemen struktur beton yang diperlukan untuk segera dibebani oleh pekerjaan berikutnya dalam kaitan dengan waktu pelaksanaan yang ketat.

d. Tipe D “Water Reducing and Retarding Admixtures

Water Reducing and Retarding Admixtures adalah bahan tambah yang berfungsi ganda yaitu mengurangi jumlah air pencampur yang diperlukan untuk menghasilkan beton dengan konsistensi tertentu dan menghambat pengikatan awal.


(55)

Jenis bahan tambah yang berfungsi ganda yaitu untuk mengurangi jumlah air pengaduk yang diperlukan pada beton tetapi tetap memperoleh adukan dengan konsistensi tertentu sekaligus memperlambat proses pengikatan awal dan pengerasan beton. Dengan menambahkan bahan ini ke dalam beton, maka jumlah semen dapat dikurangi sebanding dengan jumlah air yang dikurangi. Bahan ini berbentuk cair sehingga dalam perencanaan jumlah air pengaduk beton, maka berat admixture ini harus ditambahkan sebagai berat air total pada beton.

e. Tipe E “Water Reducing and Accelerating Admixtures

Water Reducing and Accelerating Admixtures adalah bahan tambah yang berfungsi ganda yaitu mengurangi jumlah air pencampur yang diperlukan untuk menghasilkan beton dengan konsistensi tertentu dan menghambat pengikatan awal.

Jenis bahan tambah yang berfungsi ganda yaitu untuk mengurangi jumlah air pengaduk yang diperlukan pada beton tetapi tetap memperoleh adukan dengan konsistensi tertentu sekaligus mempercepat proses pengikatan awal dan pengerasan beton. Beton yang ditambah dengan bahan tambah jenis ini akan dihasilkan beton dengan waktu pengikatan yang cepat serta kadar air yang rendah tetapi tetap workable. Dengan menggunakan bahan ini diinginkan beton yang mempunyai kuat tekan tinggi dengan waktu pengikatan yang lebih cepat (beton mempunyai kekuatan awal yang tinggi).

f. Tipe F “Water Reducing High Range Admixtures”

Water Reducing High Range Admixtures adalah bahan tambah yang berfungsi untuk mengurangi jumlah air pencampur yang diperlukan untuk menghasilkan beton dengan kondisi tertentu, sebanyak 12% atau lebih.


(56)

Bahan tambah dengan fungsi HRWR digunakan untuk mendapatkan tingkat konsistensi yang diinginkan atau ditetapkan spesifikasi dengan mengurangi berat air sebesar 12% atau lebih (sampai 40%). Tujuan dan penggunaannya sama dengan bahan tambah tipe A dengan pengurangan berat air > 12%. HRWR atau bahan tambah tipe F pada umumnya diaplikasikan atau dicampurkan di lokasi pengececoran.

Dengan menmbahkan bahan ini ke dalam beton, diinginkan untuk mengurangi jumlah air pengaduk dalam jumlah yang cukup tinggi sehingga diharapkan kekuatan beton yang dihasilkan tinggi dengan jumlah air sedikit, tetapi tingkat kemudahan pekerjaan (workability beton) juga lebih tinggi. Bahan tambah jenis ini berupa superplasticizer. Yang termasuk jenis superplasticizer adalah :

kondensi sulfonat melamine formaldehyde dengan kandungan klorida sebesar 0,005 %, sulfonat nafthalin formaldehyde, modifikasi lignosulphonat tanpa kandungan klorida. Jenis bahan ini dapat mengurangi jumlah air pada campuran beton dan meningkatkan slump beton sampai 208 mm. Dosis yang dianjurkan adalah 1 % - 2 % dari berat semen.

g. Tipe G “Water Reducing, High Range Retarding Admixtures”

Water Reducing, High Range Retarding admixtures adalah bahan tambah yang berfungsi untuk mengurangi jumlah air pencampur yang diperlukan untuk menghasilkan beton dengan konsistensi tertentu, sebanyak 12 % atau lebih sekaligus menghambat pengikatan dan pengerasan beton. Bahan ini merupakan gabungan superplasticizer dengan memperlambat waktu ikat beton. Digunakan apabila pekerjaan sempit karena keterbatasan sumberdaya dan ruang kerja.


(57)

Bahan tambah dengan fungsi HRWR + retarding digunakan untuk mendapatkan efek serupa dengan bahan tambah tipe D dengan pengurangan berat air yang digunakan sebesar 12% atau lebih (sampai 40%). Tujuan dan penggunaannya sama dengan bahan tambah tipe D. Pencampuran bahan tambah tipe G dapat dilakukan di batcing plant atau di lokasi proyek. Beberapa jenis

superplasticizer mempunyai klasifikasi sebagai bahan tambah tipe G. 2.5.1.Superplasticizer

Superplasticizer (High Range Water Reducer Admixture) sangat meningkatkan kelecekan campuran. Campuran dengan slump sebesar 7,5 cm akan menjadi 20 cm. Digunakan terutama untuk beton mutu tinggi, karena dapat mengurangi air sampai 30%.

Superplasticizer pertama kali diperkenalkan di Jepang dan kemudian di Jerman pada awal tahun 1960-an. Garam sodium dari formaldehyde high condesates naphthalene sulface superplasticizer dikembangkan di Jepang dan

melamine sulfonate formaldehyde condensates dikembangkan di Jerman. a. Komposisi

Superplasticizer ini juga terbagi atas beberapa jenis yaitu tipe Sulphonate melamine formaldehyde condensates (SMFC), sulphonate napthalene formaldehyde condensates (SNFC), dan yang terbaru adalah tipe Polycarbonate ethers (PCE).

Tipe SMFC dan SNFC adalah garam yang bermuatan negatif atau anion yang berukuran colloidal dengan sejumlah besar polar grup dalam masa rantai (N dan O) sementara anion terdiri dari sekitar 60 SO3 group. Struktural molekul dari


(58)

polimer policarboxylate ether (PCE) terdiri dari carboxyl sebagai batang. Polimer (main chain) dan oksida polyethylene sebagai cabang polimer (side chain). b. Dosis

Dosis yang digunakan tergantung dosis yang disarankan oleh pembuat superplaticizer. Pemberian dosis yang berlebihan selain tidak ekonomis juga akan dapat menyebabkan penundaan setting yang lama hingga justru beton kehilangan kekuatan akhir.

Pemakaian dosis yang tinggi pada superplaticizer dengan bahan dasar

napthalene atau melamine (berkisar pada dosis 1.5% atau lebih) akan menyebabkan mortar sulit mengeras dan kehilangan kekuatannya, sedangkan untuk bahan dasar polycarboxylate hanya berpengaruh pada penurunan kekuatan awal dan tidak berpengaruh pada kekuatan akhir.

c. Kegunaan,

1. Meningkatkan workability sehingga menjadi lebih besar daripada water reducer biasa.

2. Mengurangi air kebutuhan air (25-35%)

3. Mempermudah pembuatan beton yang sangat cair. Memungkinkan

penuangan pada tulangan yang rapat atau pada bagian yang sulit dijangkau oleh pemadatan yang memadai.

4. Karena tidak terpengaruh oleh perawatan yang dipercepat, dapat membantu mempercepat pelepasan kabel prategang dan acuan.

5. Dapat membantu penuangan dalam air karena gangguan menyebarnya beton dihindari.


(59)

d. Kelemahan,

1. Slump loss perlu diperhatikan untuk tipe napthalene ; dipengaruhi oleh temperatur dan kompatibilitas anatara merek semen dan superplasticizer. 2. Kadar udara hanya 1,2-2,7%, bahkan tanpa pemadatan apapun.

3. Ada risiko pemisahan (segregasi) dan pendarahan (bleeding) jika mix design tidak dikontrol dengan baik.

4. Harga relatif mahal. 2.5.2. Retarder

Retarder adalah zat kimia untuk memperlambat proses ikatan campuran beton Biasanya diperlukan untuk beton yang tidak dibuat dilokasi penuangan beton. Zat tambahan ini diantarannya berupa gula, sucrose, sodium gluconate, glucose, citric acid, dan tartaric acid.Retarder menunda proses pengikatan semen dengan membentuk lapisan tipis pada partikel semen sehingga memperlambat reaksi dengan air.

Retarder akan membungkus butir semen dengan OH sehingga memperlambat reaksi awal dari hidrasinya. Terbentuknya garam Ca dalam air mengurangi konsentrasi ion Ca dan memperlambat kristalisasi selama fase hidrasi (Paul N. & Antoni, 2007).

2.6. Pengaruh Temperatur Pada Beton

Kondisi cuaca dilapangan, panas atau dingin, tenang dan berangin, mungkin sangat berbeda dengan kondisi optimum dilaboratorium atau kondisi yang diperkirakan. Temperatur yang ideal adalah 10-16ºC. Beberapa peraturan melarang pelaksanaan pengecoran pada temperatur lebih dari 29 - 32 ºC, apalagi bila disertai dengan angin dengan kecepatan lebih dari 1 kgm/m2/jam.


(60)

Komite ACI 305 mendefinisikan cuaca panas sebagai “kombinasi dari temperatur tinggi, kadar lengas relatif yang rendah, dan kecepatan angin yang cenderung memperlambab mutu beton segar atau beton keras, atau menghasilkan sifat yang tidak normal. “petunjuk FIP (Federation Internationale du Beton) untuk konstruksi beton di cuaca panas memberikan tambahan faktor iklim dari radiasi matahari. Dalam terminologi kondisi iklim lokal :

a. Temperatur udara rata-rata 30±5 ºC (ekstrem adalah 20 ºC sampai 38 ºC). b. Kelembapan relatif 50-80% (ekstrem adalah 30 sampai 100%)

c. Kecepatan angin pada level tanah -10 sampai 20 km/jam

Pengaruh temperatur pada beton segar adalah percepatan pada kecepatan hidrasi semen. Ini mengakibatkan :

a. Slump loss yang tinggi

Kenaikan temperatur beton segar dapat mempercepat turunnya nilai slump beton (slump loss).

b. Kebutuhan air meningkat

Jika temperatur naik dari 20 ke 35 ºC maka perlu tambahan air 7 kg/m3, untuk slump 75 mm yang sama. Tambahan air tersebut mengurangi kekuatan 12-15%. Penambahan air untuk menambah kelecekan harus dilarang. Kecuali bila dibuktikan bahwa batas faktor air semen belum dilampui.

c. Waktu pengikatan (set) lebih cepat

Ini diindikasikan oleh semakin singkatnya waktu setting semen (tes vicat) atau beton (tes perlawanan penetrasi). Bertambahnya kecepatan evaporasi air menghasilkan pengakuan lebih lanjut dari campuran. Bahan kimia tambahan


(61)

untuk mengembalikan kelecakan. Pengerasan beton dengan air bisa mengakibatkan bertambahnya rasio air/semen efektif dan kehilangan kekuatan. Waktu pengerjaan yang cepat ini memerlukan pengerjaan, penyelesaian perawatan yang lebih teliti, bertambahnya kemungkinan terbentuknya sambungan dingin (cold join) dan bertambahnya kecendrungan untuk menambah air kedalam campuran.

d. Susut dan retak yang tinggi

Evaporasi air dengan cepat dari campuran beton sebelum penuangan mempromosikan pengakutan yang lebih cepat. Setelah penyelesaian, kehilangan air akibat pendarahan dari permungkaan terekspos yang besar kelemban yang relatif rendah, tingginya kecepatan angin dan tingginya radiasi matahari dari permungkaan yang tidak dilindungi, bisa mengakibatkan retak susut plastis. Untuk bagian yang tipis sangat berbahaya.

2.6.1.Pembetonan Pada Musim Dingin

Bilamana pembetonan berlangsung pada musim dingin dan bila suhu turun pada titik beku, tindakan seperlunya diambil untuk menjamin :

a. Agar air pada beton yang baru saja dicor tidak membeku b. Agar beton dilindungi pada umur awalnya

c. Agar peningkatan kekuatan dipertahankan

Secara umum diketahui bahwa cara yang paling murah dan mudah untuk pemanasan awal beton ialah memanaskan air campurannya. Suhu yang dibutuhkan pada air ini ialah antara 50 ºC sampai 60 ºC dan harus diperhatikan agar suhu air dapat dipastikan tak lebih dari 70 ºC. Bilamana air campuran


(62)

dipanaskan diatas 60 ºC, akan menghasilkan pengikatan beton yang cepat atau mengurangi workabilitas ( kemudahan untuk dikerjakan ).

2.6.2.Pembetonan Pada Cuaca Panas

Banyak spesifikasi yang menyebutkan batasan maksimum suhu beton ketika sedang dicor agar dapat dihindarkan terjadinya pengaruh yang buruk terhadap kualitas dan durabilitas ( daya tahan ) dari bangunan yang telah selesai. Suhu beton maksimum 32 ºC disarankan oleh ACI ( American Concrete Institute ) sebagai batasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Telah terbukti dengan nyata bahwa kekuatan beton setelah umurnya beberapa hari, bertambah bila suhu selama masa perawatannya bertambah. Penjelasan akan pengaruh suhu awal yang tinggi terhadap kekuatan beton kurang begitu jelas, tetapi tampaknya suhu awal pada praktek yang tinggi akan mengurangi kekuatan 28 hari. Suatu penelitian pada pabrik beton berkekuatan tinggi pada iklim tropis menunjukkan reduksi sebesar 15% dalam kekuatan 28 hari, yaitu bilamana beton dicampur pada suhu yang tinggi tetapi dirawat pada suhu sekitar 23 ºC. Pada daerah tropis lainnya diperoleh hasil yang serupa. Hasil dari pekerjaan laboratorium telah menunjukkan bahwa beton yang dibuat pada suhu 38 ºC memberikan hasil uji kubus 28 hari yang kira-kira 15% lebih rendah dari beton yang dihasilkan pada suhu 18 ºC. Didalam pekerjaan ini, semua kubus dirawat selama satu hari pada suhu dimana beton dicampur sebelum dicelupkan dalam air yang suhunya 14 ºC -19 ºC.

2.7. Self Compacting Concrete

Sejak tahun 1983 di Jepang telah diketahui permasalahan tentang durabilitas beton. Untuk mendapatkan beton yang tahan lama diperlukan kontrol kualitas


(63)

yang baik dengan pengecoran yang dikerjakan tenaga ahli. Problema beton adalah diperlukan pemadatan yang cukup intensif untuk menghasilkan beton yang padat. Rongga-rongga udara sering terjebak didalam beton sehingga kekuatan maupun daya tahannya sangat rendah. Semakin berkurangnya tenaga ahli menyebabkan perlunya campuran beton yang dapat memadat sendiri dan hanya memerlukan sedikit tenaga ahli untuk mengerjakannya dan didapatkan beton dengan kualitas tinggi. Kemudian tahun 1988, beton kinerja tinggi diajukan dengan spesifikasi :

a. Sifat beton segar dapat memadat sendiri b. Umur awal tidak ada cacat awal

c. Setelah mengeras dapat melawan kerusakan yang ditimbulkan oleh faktor eksternal

Untuk mendapatkan beton SCC dengan deformabilitas tinggi dan kemungkinan segregasi yang rendah maka diatur agar beton :

a. Mempunyai kadar agregat yang rendah

b. Faktor air binder ( semen dan material lainnya ) yang rendah c. Menggunakan superplasticizer

Perbedaan beton biasa dengan beton SCC dapat dilihat pada gambar 2.1 Jumlah agregatnya dikurangi dan pasta dan mortar beton meningkat sehingga jumlah friksi antar agregat menjadi berkurang dan beton dengan mudah berdeformasi. Dengan campuran yang mudah berdeformasi tetapi tetap mempertahankan


(64)

Gambar 2. 1 Perbedaan beton biasa dan beton SCC dalam hal jumlah mortar yang lebih banyak dan kerikil yang lebih sedikit

(Sumber :Ouchi Okamura, 2005)

Keterangan :

W : Water S : Sand

C : Cement G : Gravel

Kekentalannya ( viskositas ) maka beton SCC akan memadat sendiri dan tidak mengalami segregasi.

2.7.1.Rasional Mix Design

Untuk membuat campuran SCC yang baik, metode mix design yang biasa tidak lagi dapat dipergunakan. Karena itu pada tahun 1995 Okamura dan Ozawa mengusulkan metode mix design yang sederhana dengan mengacu pada material yang sudah tersedia pada pabrik beton ready mix. Kadar agregat kasar dan agregat halus ditentukan terlebih dahulu dan pemadatan mandiri dapat didapatkan dengan mengatur faktor air binder dan dosis superplasticizer saja. Spesifikasinya antara lain :

a. Agregat kasar yang digunakan adalah 50% volume solid

b. Volume agregat halus ditetapkan hanya 40% dari total volume mortar

c. Rasio volume untuk air dan binder ditetapkan antara 0,9 hingga 1 tergantung pada sifat dari bindernya


(65)

d. Dosis superplacticizer dan faktor air binder ditentukan setelahnya untuk mendapatkan pemadatan secara mandiri

Pada beton konvensional, faktor air-semen digunakan untuk mendapatkan kekuatan akhir, sementara pada SCC faktor air-semen digunakan untuk mendapatkan sifat self compacting (pemadatan sendiri). Faktor ini sangat mempengaruhi sifat beton segarnya, dan kekuatan hanya sebagai quality control.

Mix design SCC dirancang dan diuji untuk memenuhi kebutuhan proyek. Kemampuannya yang dapat mengalir membuat beton jenis ini dapat dipompa dan dialirkan melalui pipa. Hal ini sangat membantu sekali dalam pekerjaan di proyek terutama ketika hendak mengerjakan struktur dengan elevasi yang tinggi. Selain itu, pencegahan segregasi agregat yang tinggi membuat SCC lebih unggul karena dengan tinggi jatuh mencapai kurang lebih 2 meter beton jenis ini tidak mengalami segregasi. Dalam penelitian ini mix design yang digunakan mengacu pada metode mix design Okamura.

Menurut Ardiansyah (2010), pengujian SCC yang penting dan yang paling dikembangkan adalah pengujian slump flow, dikarenakan kondisi workabilitas beton dapat terlihat dari sebaran beton segarnya. Selain itu, pengaplikasian di lapangan lebih mudah jika dibandingkan dengan pengujian yang lain.

Menurut Brouwers (2005), komposisi material penyusun SCC terlihat pada Gambar 2.2.


(1)

vii

BAB 4 HASIL PENGUJIAN DAN PEMBAHASAN... 61

4.1. Umum ... 61

4.2. Analisa Data ... 61

4.2.1. Mix Design Beton Normal ... 61

4.2.2. Trial Mix Self Compacting Concrete ... 65

4.2.3. Pengujian Workabilitas Beton Segar dengan Variasi Suhu Air Campuran ... 70

4.2.4. Pengujian Beton Keras dengan Variasi Suhu Air Campuran ... 80

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 86

5.1. KESIMPULAN ... 86

5.2. SARAN ... 87

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(2)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2. 1 Unsur-unsur Beton ...6

Tabel 2. 2 Kekuatan Tekan Beton Relatif sesuai dengan Pengaruh Jenis Semen yang Digunakan ...14

Tabel 2. 3 Karakteristik Senyawa Penyusun Semen Portland ...15

Tabel 2. 4Pengaruh sifat agregat pada sifat beton...17

Tabel 2. 5 Identify blocking assessment ...39

Tabel 2. 6Slump yang dianjurkan untuk Beton dengan HRWR atau Tanpa HRWR ...45

Tabel 2. 7 Perkiraan Ukuran Maksimum Agregat ...45

Tabel 2. 8 Volume Agregat Kasar yang dianjurkan per Unit Volume Beton ...46

Tabel 2. 9 Estimasi Pertama Air Campuran yang dibutuhkan dan Kadar Udara Beton Segar Berdasarkan Penggunaan Pasir dengan 35% Voids ...48

Tabel 2. 10 W/c+p Maksimum yang dianjurkan untuk Beton Tanpa Menggunakan HRWR ...49

Tabel 2. 11 W/c+p Maksimum yang Dianjurkan untuk Beton dengan Menggunakan HRWR ...50

Tabel 3. 1 Pembagian kelompok benda uji dengan membedakan temperatur air ...58


(3)

ix

Tabel 4. 3 Hasil pengujian Workabilitas self compacting concrete Trial

Mix I ...66

Tabel 4. 4 Campuran Trial Mix II ...67

Tabel 4. 5 Hasil pengujian Workabilitas self compacting concrete Trial Mix II...67

Tabel 4. 6 Campuran Trial Mix III...68

Tabel 4.7 Hasil pengujian Workabilitas self compacting concrete Trial Mix III ...68

Tabel 4.8 Campuran Trial Mix IV ...69

Tabel 4.9 Hasil pengujian Workabilitas self compacting concrete Trial Mix IV ...69

Tabel 4.10 Hasil Pengujian Beton Segar SCC ...70

Tabel 4.11 Kriteria Hasil Pengujian Beton Segar SCC...78

Tabel 4.12 Pengujian Kuat Tekan SCC ...80


(4)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2. 1 Perbedaan beton biasa dan beton SCC dalam hal jumlah

mortar yang lebih banyak dan kerikil yang lebih sedikit ...32

Gambar 2.2 Komposisi material penyusun SCC ...34

Gambar 2.3 J-Ring ...40

Gambar 2.4 V Funnel Test ...42

Gambar 3.1 Bagan metodologi penelitian ...55

Gambar 4.1 Hasil Pengujian Slump Flow dan J-ring Flow ...71

Gambar 4.2 Hasil Pengujian V-funnel dan V-funnel ATt 5 minutes ...71

Gambar 4.3 Hasil Pengujiaan dan Perhitungan Filling Ability...78

Gambar 4.4 Hasil Pengujiaan dan Perhitungan Passing Ability ...79

Gambar 4.4 Hasil Pengujiaan dan Perhitungan Passing Ability ...79

Gambar 4.5 Grafik Pengaruh Suhu Air Terhadap Kuat Tekan Beton ...81

Gambar 4. 6 Pengaruh Variasi Suhu Air Campuran Terhadap Kuat Tekan Beton (%)...82

Gambar 4.7 Grafik Pengujian Kuat Tarik Belah Beton ...84

Gambar 4.8 Pengaruh Variasi Suhu Air Campuran Terhadap Kuat Tekan Beton (%)...85


(5)

xi DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

A = Luas tampang benda uji

ACI = American Concrete Institute

ASTM = American Society for Testing and Material

BK = Berat sampel setelah dikeringkan selama 24 jam

BM = Berat sampel mula-mula

BS = British Standard

f’c = Kuat tekan beton yang disyaratkan

f’ct = Kuat tarik belah beton KL = Kadar lumpur agregat

P = Beban maksimum yang dapat ditahan benda uji

PC = Portland Cement

SCC = Self Compacting Concrete

SII = Standar Industri Indonesia

SNI = Standar Nasional Indonesia


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Pengujian Materail Lampiran 2. Mix Design

Lampiran 3. Hasil Pengujian workablity Beton Segar SCC

Lampiran 4. Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton dan Kuat Tarik Belah Beton Lampiran 5. Foto-foto Dokumentasi