Tinjauan Yuridis Ganti Kerugian Atas Hak Milik Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum di Kecamatan Medang Deras

BAB II
PERATURAN MENGENAI PENGADAAN TANAH DAN
PERKEMBANGANNYA

A. Pengertian dan Dasar Hukum Pengadaan Tanah
1. Pengertian Pengadaan Tanah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti dari pengadaan adlaah
“Proses, cara, pembuatan, mengadakan, menyediakan”.

20

Pengertian

Pengadaan Tanah menurut Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
467/KPTS/1985 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara Pengadaan Tanah
untuk Keperluan Proyek Pembangunan di Wilayah Kecamatan dalam
Lingkungan Departemen Pekerjaan Umum pada Bab I pasal 1 ayat (1) jo
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 (sekarang menjadi Peraturan
presiden Nomor 65 Tahun 2006) pada Bab I Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi
sebagai berikut : “Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk
mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang berhak

atas tanah”, sehingga dapat dikatakan bahwa pengadaan tanah adalah cara
atau proses untuk mendapatkan permukaan bumi yang disebut tanah.
Dalam penggunaannya menurut Boedi Hasono yang dikutip oleh
Sofyan Ibrahim meliputi tubuh, bumi dan air serta ruang angkasa yang ada
di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan

yang langsung

20

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hal. 1001.
23
Universitas Sumatera Utara

berhubungan dengan tanah tersebut. Dengan demikian pengertian tanah
dalam penggunaannya berarti ruang 21
2. Dasar Hukum Pengadaan Tanah
Hak dasar dari setiap orang adalah kepemilikan atas tanah. Jaminan
mengenai tanah ini, dipertegas dengan diterbitkannya Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2005, tentang Pengesahan International Convenant on
Economic, Sosial and Cultural Rights ( Konvenan Internasional tentang
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya ) 22
Sebelum berlakunya Keppres Nomor 55 Tahun 1993,tentang
pengadaan tanah untuk kepentingan umum, maka landasan yuridis yang
digunakan dalam pengadaan tanah adalah Permendagri Nomor 15 Tahun
1975 Tentang ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah
.
Pelaksanaan pengadaan tanah menurut Permendagri Nomor 15 Tahun
1975 dalam pengadaan tanah dikenal istilah pembebasan tanah, yang berarti
melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat diantara pemegang atau
penguasa atas tanah dengan cara memberikan ganti rugi. Sedangkan di
dalam Pasal 1 butir 2 Keppres Nomor 55 Tahun 1993 menyatakan bahwa:
“Pelepasan atau penyerahan hak adalah kegiatan melepaskan hubungan
hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya
dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah”.

21

Sofyan Ibrahim, Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Dilihat Dari Aspek

Yuridis Sosiologis, Hukum, Volume 5 Nomor 1, Februari 2000-1-152, hal.153.
22
Maria S.W.Sumarjono, Tanah Dalam Prefektif Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya, Bukum Kompas, Jakarta, 2008, hal. vii
24
Universitas Sumatera Utara

Kemudian untuk musyawarah itu diatur dalam butir ke 5 (lima) yang
menyatakan bahwa: “Musyawarah adalah proses atau kegiatan saling
mendengar, dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang
didasarkan atas sikap kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas tanah
dan pihak yang memerlukan tanah untuk memperoleh kesepakatan
mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian.”
Setelah berlakunya Keppres Nomor 55 Tahun 1993 istilah tersebut
berubah menjadi pelepasan hak atau penyerahan hak atas tanah. Oleh karena
itu, segi-segi hukum materiilnya pelaksanaan pelepasan hak atau pelepasan
hak atas tanah pada dasarnya sama dengan pembebasan tanah, yaitu Hukum
Perdata.
Dengan perkataan lain bahwa keabsahan atau ketidak absahan
pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagai cara pengadaan tanah

ditentukan ada tidaknya kesepakatan diantara kedua belah pihak yang
berarti sah tidaknya perbuatan hukum yang bersangkutan, berlaku antara
lain syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. 23
Dan karena dikhawatirkan tidak terdapat kata kesepahaman maka
dibentuklah Undang-Undang Pengadaan Tanah..
Perbedaannya hanya terdapat pada segi-segi intern- administrasinya
yaitu pembebasan tanah pada umumnya berdasarkan pada Permendagri

Boedi Harsono, Aspek-Aspek Yuridis Penyediaan Tanah Dalam Rangka
Pembangunan Nasional( Makalah : 1990 ), hal.4.

23

25
Universitas Sumatera Utara

Nomor 15 Tahun 1975, sedangkan pelepasan atau penyerahan hak-hak atas
tanah berdasarkan Keppres Nomor 55 Tahun 1993. 24
Secara hukum kedudukan Keppres Nomor 55 Tahun 1993 sama
dengan Permendagri Nomor 15 Tahun 1975, yaitu sebagai peraturan dalam

pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang
didalamnya mengatur mengenai ketentuan-ketentuan mengenai tata cara
untuk memperoleh tanah dan pejabat yang berwenang dalam hal tersebut.
Menurut Boedi Harsono, oleh karena Keppres Nomor 55 Tahun 1993
merupakan suatu peraturan intern-administrasi, maka tidak mengikat pihak
yang mempunyai tanah meskipun ada rumusan yang memberi kesan
demikian, dan karena bukan undang-undang, maka tidak dapat dipaksakan
berlakunya pada pihak yang mempunyai tanah.
Oleh karena tidak dapat dipaksakan, maka sebagai konsekuensi dari
keputusan administrasi negara yang dimaksud untuk menyelesaikan ketidak
sediaan pemegang hak atas tanah terhadap besarnya ganti kerugian bukan
merupakan merupakan keputusan yang bersifat akhir atau final.
Hal ini dapat dilihat di dalam Pasal 21 Keppres Nomor 55 Tahun 1993
yang menyatakan bahwa “apabila upaya penyelesaian yang ditempuh
Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 tidak diterima oleh pemegang hak atas
tanah, dan lokasi pembangunan yang bersangkutan tidak dapat dipindahkan
ke tempat lain, maka Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 mengajukan usul
penyelesaian dengan cara pencabutan hak sebagaimana diatur dalam

24


Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan tanah untuk Kepentingan
Umum, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia,Yogyakarta, 2004, hal.19.
26
Universitas Sumatera Utara

Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah
dan Benda-benda diatasnya”. 25
Selain itu Keppres Nomor 55 Tahun 1993 merupakan penyempurnaan
dari peraturan sebelumnya yaitu Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 yang
memiliki kekurangan atau kelemahan khususnya hal- hal yang mengenai
pihak-pihak yang boleh melakukan pembebasan tanah, dasar perhitungan
ganti rugi yang didasarkan pada harga dasar, tidak adanya penyelesaian
akhir apabila terjadi sengketa dalam pembebasan tanah, khususnya
mengenai tidak tercapainya kesepakatan tentang pemberian ganti rugi.
Oleh sebab itu kedudukan Keppres Nomor 55 Tahun 1993 sama
dengan Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 sebagai dasar hukum formal
dalam pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang pada waktu
berlakunya Permendagri Nomor 15 tahun 1975 disebut pembebasan tanah.
Namun, seiring berjalannya waktu Keppres Nomor 55 tahun 1993 kemudian

digantikan dengan Peraturan baru dengan tujuan mencari jalan untuk
meminimalisir potensi konflik yang mungkin timbul dalam implementasi
pengadaan tanah menurut Perpres Nomor 36 Tahun 2005 Tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan umum juncto Perpres
Nomor 65 tahun 2006 dan Undang-Undang No.2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

25 Indonesia,

Keputusan Presiden Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,Nomor 55 Tahun 1993, Pasal 21 ayat 1.

27
Universitas Sumatera Utara

B. Tinjauan Hukum dan Terminologi dari Pencabutan, Pembebasan,
dan Pelepasan Tanah
1. Pencabutan Hak atas Tanah (Onteigening)
Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda mengenai Pencabutan hak
atas tanah ini disebut dengan istilah Onteigening yang diatur dalam Stb.

1920 nomor 574 yaitu Bepalingen Regelende de Ontenigening en
hettijjdelijk in gebruik uemen van goederen ten algemeen nutte.
Sedangkan di dalam ketentuan Undang-undang Pokok Agraria nomor 5
tahun 1960 diatur didalam Pasal 18 yang menyebutkan :
Untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara
serta kepentingan bersama dari rakyat hak atas tanah dapat dicabut dengan
memberi ganti kerugian yang layak menurut cara yang diatur dengan
undang-undang.
Pasal ini memberi arti bahwa sebagaimana yang disebutkan di dalam
Memori Penjelasan UUPA pasal 18 menyebutkan bahwa jaminan bagi
rakyat mengenai hak-hak atas tanahnya, pencabutan hak harus dilakukan,
tetapi dengan persyaratan harus disertai dengan pemberian ganti rugi.
Pelaksanan pencabutan hak atas tanah ini sebenarnya baru dapat
dilakukan apabila pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak dapat
dilaksanakan, sedangkan pemerintah sangat membutuhkan sekali tanah
yang bersangkutan dimana artinya tidak ada alternatif lain selain tanah dari
seseorang atau masyarakat yang bersangkutan tersebut sangat diperlukan
atau dibutuhkan.

28

Universitas Sumatera Utara

Mengenai pencabutan hak atas tanah ini tidak ada diatur dalam UUD
1945. 26 Jikalau kita telusuri maka tidak satupun peraturan dalam pasalpasal yang memberikan landasan hukum bagi pemerintah untuk
melakukan tindakan dan atau perbuatan pencabutan hak-hak atas
tanah.Namun kalau kita mengacu kepada Pasal II Aturan Peralihan UUD
1945 yang menentukan “segala Badan Negara dan Peraturan yang masih
langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UndangUndang Dasar ini”.
Berdasarkan Aturan Peralihan ini, maka peraturan yang ada khusus
yang menyangkut masalah pencabutan Hak Milik masih dianggap berlaku
seperti yang tercantum dalam Pasal 26 Konstitusi RIS atau juga dalam
Pasal

27

UUDS

1950,

Onteigenningsordonnantie


dan
Stb.

yang

lebih

1920-574,

khusus
yakni

diatur

dalam

undang-undang

peninggalan zaman pemerintahan Belanda. Dalam Pasal 27 ayat (1) UUDS

1950 dan atau pasal 26 Konsititusi RIS menegaskan :
“Pencabutan hak Milik (Onteigening) untuk kepentingan umum atas
sesuatu benda atau hak tidak dibolehkan kecuali dengan mengganti
kerugian dan menurut aturan-aturan undang-undang”

26UUD

1945 berlaku di Indonesia dalam dua kurun waktu. Yang pertama antara
tahun 1945 sampai tanggal 27 Desember 1949, yaitu sejak ditetapkannya oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945
sampai dengan mulai berlakunya Konstitusi RIS pada saat pengakuan kedaulatan
kedaulatan dalam bulan Desember 1949. Kemudian berlaku Undang-undang
Dasar Sementara 1950 sampai sekarang. Yang kedua adalah dalam kurun waktu
sejak tahun 1959 sampai sekarang, yaitu sejak diumumkannya Dekrit Presiden
pada tanggal 5 Juli 1959 yang kembali kepada UUD 1945.

29
Universitas Sumatera Utara

Dengan mengacu kepada peraturan ini berarti telah dapat diisi
kekosongan hukum tentang pencabutan hak milik yang tidak diatur dalam
UUD 1945, berarti bahwa ketentuan dasar yang diperlukan untuk bisa
dipakai sebagai landasan hukum bagi sahnya suatu perbuatan pencabutan
hak milik, yakni yang dirumuskan di dalam suatu undang-undang, secara
juridis formil telah terpenuhi.
Pasal 26 Konstitusi RIS dan Pasal 27 UUDS 1950 dapat kita temukan
elemen-elemen pokok yaitu :
1) Pencabutan Hak Milik dilakukan untuk kepentingan umum.
2) Pencabutan Hak Milik harus dengan pemberian ganti kerugian
kepada yang berhak.
3) Tindakan pencabutan Hak Milik dilakukan atas dasar ketentuan
undang-undang.
4) Pencabutan Hak Milik diisyaratkan agar dilakukan harus dengan
undang-undang yang mengaturnya, ternyata undang-undang yang
mengatur tentang pencabutan Hak Milik pada ketika itu belum ada.
Untuk mengisi kekosongan ini berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945 dapat diberlakukan Onteigenings-ordonantie Stb. 1920574.
Pada tahun 1961 pemerintah telah mengundangkan Undangundang No. 20 Tahun 1961, tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah
dan Benda-benda yang ada di atasnya. Dengan berlakunya undangundang ini, maka Onteigening-ordonantie dinyatakan tidak berlaku lagi

30
Universitas Sumatera Utara

di seluruh wilayah Indonesia.Undang-undang No. 20 Tahun 21961
adalah sebagai pelaksanaan dari Pasal 18 UUPA No. 5 Tahun 1960.
Pasal ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya
atas tanah, pencabutan hak dimungkinkan tetapi diikat dengan syaratsyarat, misalnya harus disertai dengan pemberian ganti-kerugian yang
layak. 27 Elemen-elemen yang harus terkandung dalam Pasal 18 yaitu
adanya kepentingan bangsa dan negara, kepentingan bersama dari rakyat,
sebagai bagian dari kepentingan umum, maka bagi masyarakat yang
dicabut hak atas tanahnya harus diberikan ganti rugi yang layak dan
harus diatur dengan suatu undang-undang.
UUPA telah meletakkan suatu kehendak yang pasti bahwa kita
tidak mengenal adanya suatu penyitaan tanah seseorang untuk
pembangunan, kecuali karena suatu kejahatan, demikian juga tidak
mungkin karena pandangan politik seseorang, tetapi harus dengan suatu
ganti rugi dan ganti rugi tersebut adalah layak, baik ditinjau dari
pemerintah ataupun ditinjau dari yang terkena pencabutan. 28 Prinsip
pemberian ganti rugi yang layak ini dianut juga dalam Undang-undang
No. 24 Tahun 1992, tentang Penataan Ruang. 29
Pencabutan hak yang diatur dalam Pasal 18 UUPA jo. UndangUndang No. 20 Tahun 1961 adalah merupakan tindakan sepihak yang
dilakukan oleh pemerintah, untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat

27

Lihat, penjelasan Pasal 18 UUPA No. 5 Tahun 1960.
AP. Parlindungan ,Pencabutan dan Pembebasan Hak atas Tanah Suatu Studi
Perbandingan, Mandar Maju, Bandung, 1993, hal.5 .
29
Lihat, Pasal 4 ayat (2) huruf c Undang-undang No.24 Tahun 1992, tentang
Penataan Ruang
28

31
Universitas Sumatera Utara

pelaksanaannya harus dilakukan sedemikan rupa seperti adanya
persetujuan kehendak bersama antara yang empunya tanah dengan
pemerintah dengan jalan melakukan perbuatan hukum jual beli agar
masing-masing merasa tidak dirugikan .
Pencabutan hak-hak atas tanah menurut Undang-undang No. 20
Tahun 1961, hanya boleh dilakukan :
1) Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa
serta kepentingan bersama dari rakyat demikian pula
kepentingan pembangunan.
2) Sebagai cara yang terakhir untuk memperoleh tanah yang
diperlukan, yaitu jika musyawarah dengan pemiliknya tidak
dapat membawa hasil yang diharapkan.
Syarat-syarat tersebut jika dihubungkan dengan Pasal 18 UUPA
maka dapat ditemukan lima syarat untuk pencabutan hak atas tanah :
1) Pencabutan hak atas tanah hanya dapat dilakukan untuk
kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan
negara serta kepentingan bersama dari rakyat, dan
kepentingan pembangunan.
2) Pencabutan hak atas tanah harus dengan pemberian ganti
rugi yang layak kepada pemegang hak.
3) Dilakukan menurut cara yang diatur oleh undang-undang.
4) Pencabutan hak dilakukan apabila pemindahan hak menurut
cara biasa tidak mungkin lagi dilakukan (misalnya jual beli
atau pembebasan hak)

32
Universitas Sumatera Utara

5) Pencabutan hak dilakukan apabila tanah di tempat lain
untuk keperluan tersebut.
Syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang tersebut,
substansi hukumnya masih sangat mengandung hal-hal yang sangat
abstrak, terutama mengenai pengertian tentang “kepentingan umum” dan
“ganti rugi yang layak”.Dalam rumusan undang-undang tidak jelas dan
tidak ada parameter mengenai batasan kepentingan umum, kepentingan
bangsa dan negara, kepentingan bersama dari rakyat dan kepentingan
pembangunan serta batasan tentang ganti rugi yang layak. Keadaan yang
demikian ini akan menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dalam
masyarakat.

Akibatnya

rumusan

undang-undang

tersebut

tidak

mempunyai nilai kepastian hukum dan akhirnya akan menghilangkan
nilai keadilan maupun nilai kegunaan/manfaat dari hukum itu sendiri.
Di

samping

itu

undang-undang

pencabutan

hak

juga

mengisyaratkan agar pemindahan hak atas tanah, harus dilakukan dengan
persetujuan kehendak dari kedua belah pihak, yaitu pemerintah harus
mengupayakan dengan prosedur jual-beli atau proses pembebasan hak
dengan ganti rugi yang layak melalui proses musyawarah. Di lain pihak
apabila cara ini tidak dapat dilakukan, pemerintah diberikan kewenangan
untuk melakukan pencabutan hak. Kewenangan ini dipergunakan oleh
pemerintah agar proses untuk mendapatkan tanah dapat dilakukan
dengan cepat untuk kepentingan pembangunan tanpa melalui prosedur
yang panjang. Meskipun syarat yang ditentukan untuk itu, substansi
hukumnya sangat kabur atau tidak mengandung unsur kepastian hukum.

33
Universitas Sumatera Utara

Pencabutan hak itu merupakan tindakan yang sangat penting
karena berakibat mengurangi hak seseorang, maka yang memutuskannya
adalah Pejabar Eksekutif yang tertinggi yaitu adalah Presiden.Dengan
demikian sebagai subyek pencabutan hak atas tanah dan benda-benda
yang ada di atasnya adalah merupakan wewenang tunggal dari Presiden,
sebagai Pejabat Administrasi Tertinggi.
Tujuan dari Undang-Undang Pencabutan Hak, adalah untuk
menyelenggarakan kepentingan umum, maka elemen kepentingan umum
inilah yang harus dijadikan pedoman, yaitu sampai dimanakah suatu
perbuatan pemerintah itu memenuhi adanya persyaratan “kepentingan
umum” yang dimaksud. 30
Pada umumnya pencabutan hak diadakan untuk keperluan usahausaha negara (pemerintah pusat dan daerah) karena menurut Pasal 18
UUPA No. 5 Tahun 1960 hal itu hanya dapat dilakukan untuk
kepentingan umum. Namun, undang-undang ini tidak menutup
kemungkinan mengadakan pencabutan hak guna pelaksanaan usahausaha swasta asal usaha itu benar-benar untuk kepentingan umum dan
tidak mungkin diperoleh tanah yang diperlukan melalui persetujuan
dengan yang empunya.Usaha swasta tersebut rencananya harus disetujui
pemerintah dan sesuai dengan pola pembangunan nasional. 31
Pencabutan hak-hak atas tanah guna usaha swasta dapat dilakukan
dengan berpedoman pada pasal 3 Instruksi Presiden Republik Indonesia

30

Marmin M. Roosadijo, Tinjauan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan
Benda-Benda Yang ada di Atasnya, Ghalia Indonesia , Jakarta , 1979, hal.13.
31
Lihat, Penjelasan Umum bagian 4 sub b Undang-undang No.20 Tahun 1961.
34
Universitas Sumatera Utara

No. 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak Atas Tanah
dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya, yaitu :
(1)Yang berhak menjadi subjek atau permohonan untuk mengajukan
permintaan pencabutan hak atas tanah adalah instansi-instansi
pemerintah maupun usaha-usaha swasta, segala sesuatunya dengan
memperhatikan persyaratan untuk dapat memperoleh sesuatu hak
atas tanah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
(2)Usaha-usaha swasta sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini,
rencana proyeknya harus disetujui oleh pemerintah dan/atau untuk
pemerintah daerah sesuai dengan rencana pembangunan yang telah
ada. 32
Pencabutan hak-hak atas tanah yang dilakukan oleh badan-badan
pemerintah cukup secara langsung dengan mengajukannya kepada
presiden dengan perantaraan Menteri Agraria melalui Kepala Inspeksi
Agraria. Permintaan tersebut oleh badan-badan pemerintah harus disertai
dengan rencana peruntukannya dan alasan-alasannya,bahwa untuk
kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak itu dan disertai
dengan nama yang berhak serta letak, luas dan macam hak dari tanah
yang akan dicabut serta benda-benda yang bersangkutan. 33 Sedangkan
untuk pencabutan hak-hak atas tanah guna usaha-usaha swasta untuk
kepentingan umum, mereka harus melampirkan penjelasan penetapan
harga terakhir yang pernah ditawarkan kepada pemilik tanah dan bendabenda yang ada di atasnya. Permohonan ini baru boleh diajukan apabila
32
33

Lihat, Pasal 3 Instruksi Presiden No. 9 Tahun 1973.
Lihat Pasal 2 Undang-undang No. 20 Tahun 1961
35
Universitas Sumatera Utara

ternyata tanah yang diperlukan tidak dapat dikuasai melalui cara
persetujuan dengan masyarakat pemilik tanah. Jika izin (dari pemerintah
pusat/daerah) telah diperoleh maka permohonan pencabutan hak dapat
diajukan kepada Presiden sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku. 34
2. Pembebasan Hak Atas Tanah
Pembebasan tanah berdasarkan PMDN NO. 15 Tahun 1975 adalah
merupakan suatu kegiatan melepaskan hubungan hukum yang semula
terdapat di antara pemegang hak/penguasa atas tanahnya denga cara
memberikan

ganti

rugi.

Tanah-tanah

yang

dibebaskan

dengan

mendapatkan ganti rugi dapat berupa : (a) tanah-tanah yang telah
mempunyai sesuatu hak berdasarkan UUPA No.5 Tahun 1960; (b) tanahtanah dari masyarakat hukum adat. 35Pembebasan hak atas tanah wajib
disertai dengan pemberian ganti kerugian dan harus berpedoman pada
peraturan yang berlaku serta dalam penentuan benuk dan besarnya ganti
rugi harus diusahakan dengan asas musyawarah antara pihak yang
bersangkutan dengan mempertimbangkan/ memperhatian harga dasar
setempat yang ditetapkan secara berkala oleh Panitia. 36
Tugas Panitia Pembebasan Tanah adalah mengadakan inventarisasi
serta penelitian setempat terhadap keadaan tanahnya, tanaman, tumbuhan
dan bangunan-bangunan, mengadakan perundungan dengan para
pemegang hak atas tanah dan bangunan/tanaman, menafsir besarnya

34

Ibid.
Lihat, Pasal 1 ayat (1) dan ayat (4) PMDN No.15 Tahun 1975
36
Ibid, Pasal 6
35

36
Universitas Sumatera Utara

ganti rugi yang akan dibayarkan kepada yang berhak, membuat berita
acara

pembebasan

tanah

disertai

fatwa/pertimbangannya

dan

menyaksikan pelaksanaan pembayaran ganti rugi kepada yang berhak
atas tanah/bangunan/tanaman tersebut.

37

Dalam menentukan besarnya

ganti rugi, harus terdapat kata sepakat di antara anggota Panitia dengan
memperhatikan kehendak dari para pemegang hak atas tanah.Apabila
terjadi perbedaan tafsiran mengenai ganti rugi di antara anggota panitia
pembebasan tanah, dipergunakan harga rata-rata dari masing-masing
anggota. 38
Dalam kasus-kasus hukum berkaitan dengan pembebasan hak atas
tanah warga masyarakat yang dilaksanakan dalam rangka upaya
peningkatan fungsi kota dalam tataran ekonomi nasional, para pejabat
yang duduk di pemerintahan umumnya melihat setiap masalahh hak
penguasaan atas tanah dari sudut hukum positif dan hak-hak yuridis (ipso
jure) .Sementara itu warga masyarakat kebanyakan melihatnya dari sudut
trasidi, bahwa hak menguasai tanah ditentukan oleh ketekunan dan jerih
payah warga masyarakat (ipso facto) menggarap dan atau merawat
tanahnya itu. 39 Pernedan konseptual antara kedua paham yang berbeda
paradigma tersbut menambah kompleksnya persoalan ini, karena dalam
proses penyelesaian sengketa pemerintah hanya berdasarkan hukum
positif yang berlaku. Sedangkan hukum positif tersebut sangat
bertentangan dengan keyakinan hukum masyarakat sesuai dengan rasa
37

Lihat, Pasal 3 PMDN No. 15 Tahun 1975
Ibid, Pasal 6 ayat (3), (4), dan (5)
39
Soetandyo Wignjosoebroto, “Hukum, Paradigma Metode dan Dinamika
Masalahnya” ,ELSAM dan HUMA , Jakarta, 2002, hal. 200.
38

37
Universitas Sumatera Utara

keadilan,

pemerintah

harus

mempunyai

political

will

untuk

melaksanakan substansi peraturan yang berlaku dan memperhatikan
kaedah-kaedah hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) serta
melihat kenyataan-kenyataan sosial yang ada.
3. Pelepasan Hak Atas Tanah
Menurut Pasal 1 ayat (6) Peraturan Presiden nomor 36 Tahun 2005
mengatakan bahwa : “Pelepasan/Penyerahan hak atas tanah adalah
kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah
dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar
musyawarah.”
Tanah sebagai objek dalam hukum, adalah juga merupakan objek
dari perjanjian-perjanjian yang bermaksud untuk hak milik.UUPA
memuat ketentuan yang mengatur pemindahan hak (milik) atas tanah
ini.Pasal 26 menyebutkan; Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian
dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain
yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya
diatur dengan peraturan pemerintah”.
Menurut ketentuan ini terhadap perbuatan-perbuatan hukum atau
perjanjian yang dimaksud memindahkan hak (milik) atas tanah adalah di
bawah pengawasan pemerintah. Hal ini merupakan kekhususan karena
pada prinsipnya undang-undang(KUH Perdata) memberi kebebasan
kepada para pihak untuk menentukan isi perjanjiannya.

38
Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya tentang

formalitas

perjanjian

yang bermaksud

mengalihkan hak atas tanah diatur dalam PP NO. 10 Tahun 1961 dalam
Pasal 19 menyatakan :
Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah atau
meminjam uang dengan hak atas tanah, menggadaikan tanah atau
meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan harus
dibuktikan dengan suatu akta dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang
ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam PP ini disebut
Pejabat).Akta tersebut bentuknya di tetapkan oleh Menteri Agraria.”
Ketentuan tersebut di atas mensyaratkan bahwa terhadap perjanjianperjajian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, harus dibuat di
hadapan PPAT (Pejabat Pembuat Akte Tanah).
Menurut Peraturan Menteri Agraria No. 14 Tahun 1961 (tentang
permintaan dan pemberian izin pemindahan hak atas tanah) dalam Pasal
1 disebutkan arti “pemindahan hak” yaitu, “Jual-beli termasuk
pelelangan di muka umum, penukaran,penghibahan,pemberian dengan
wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan lain yang dimaksudkan
untuk mengalihkan sesuatu hak atas tanah kepada pihak lain”.
A.P Parlindungan mengemukakan bahwa Pasal 19 tersebut di atas
dapat dipenggal sehingga ada 3 (tiga) perbuatan hukum yang harus
dilakukan di hadapan PPAT, yaitu :
1) Perjanjian untuk mutasi hak atas tanah, seperti jual-beli, hibah,
pemasukan dalam perseroan,m tukar-menukar, pemisahan budel.

39
Universitas Sumatera Utara

2) Memberikan sesuatu hak baru aas tanah, dimaksudkan di sini
adalah seperti yang terdapat di dalam Pasal 37 UUPA perjanjian
untuk mendirikan hak guna bangunan di atas hak milik, maupun
perjanjian mendirikan hak pakai di atas hak milik (Pasal 41
UUPA), sehingga kemudian diketahui adanya dua hak di atas
suatu bidang yaitu hak guna bangunan atau hak pakai pada hak
milik.
3) Menggadaikan tanah untuk meminjam uang dengan hak atas
tanah sebagai tanggungan. 40
Dengan demikian syarat pengakhiran hak atas tanah di samping
harus dipenuhinya syarat-syarat sahnya persetujuan yang di atur dalam
Pasal 1320 KUHPerdata, maka disyaratkan bahwa setiap perjanjian
untuk mengalihkan hak atas tanah tanah itu harus dilakukan dihadapan
PPAT.
Jadi perbuatan-perbuatan hukum pemindahan/peralihan hak atas
tanah seperti jual-beli, penukaran, penghibahan, pada prinsipnya tunduk
atau di atur oleh KUH Perdata khususnya ketentuan Buku III Bab I – Bab
IV mengenai ketentuan umum tentang perikatan.Di samping itu
ketentuan yang mengatur perbuatan pengalihan ini juga terdapat dalam
ketentuan-ketentuan khusus dalam KUH Perdata seperti ketentuan jualbeli pada Bab V, tukar-menukar pada Bab VI, penghibahan pada Bab X.
C. Panitia Pengadaan Tanah
Panitia pengadaan tanah adalah panitia yang dibentuk untuk membantu

40

A.P Parlindungan ,Op.Cit., hal 106.
40
Universitas Sumatera Utara

pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.
Pada dasarnya beberapa tugas dan kewenangan dari Panitia Pengadaan
Tanah sepertinya lembaga ini, perannya lebh dominan dibandingkan dengan
Lembaga/ Tim Penilai Harga Tanah.Seakan-akan Lembaga/Tim Penilai Harga
Tanah hanya sebagai pembantu bagi terlaksananya kesepakatan antara pemilik
tanah.Agar

tanahnya

sedapat

mungkin

dijadikan

untuk

pemanfaatan

kepentingan umum.
Panitian Pengadaan Tanah diangkat atau ditunjuk oleh pemerintah
setempat berdasarkan lokasi, dimana diinginkan adanya pengadaan tanah untuk
kepentingan umum.Jadi bisa Bupati, Walikota, Gubenur dan Menteri Dalam
Negeri. Hal tersebut jelas ditegaskan dalam Pasal 6 Perpres Nomor 65 Tahun
2006 yakni :
1) Pengadaan tanah untuk kepentingan umum di wilayah Kabupaten/ Kota
dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/ Kota
yang dibentuk oleh Bupati atau Walikota.
2) Panitia Pengadaan Tanah Provinsi Daerah khusus ibukota Jakarta dibentuk
oleh Gubernur.
3) Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah Kabupaten/ Kota atau lebih,
dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah Provinsi yang
dibentuk oleh Gubernur.
4) Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah Provinsi atau lebih,
dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah yang dibentuk oleh
Menteri Dalam Negeri yang terdiri atas unsur pemerintah dan unsur
pemerintah daerah tersebut.

41
Universitas Sumatera Utara

5) Susunan keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 terdiri atas unsur perangkat daerah terkait
dengan unsur Badan Pertanahan Nasional.
Keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota paling banyak 9
(sembilan) orang dengan susunan sebagai berikut :
1) Sekretaris Daerah sebagai Ketua merangkap Anggota;
2) Pejabat dari unsur perangkat daerah setingkat eselon II sebagai Waki
l Ketua merangkap Anggota;
3) Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atau pejabat yang ditunjuk
sebagai Sekretaris merangkap Anggota; dan
4) Kepala Dinas/Kantor/Badan di Kabupaten/Kota yang terkait dengan
pelaksanaan pengadaan tanah atau pejabat yang ditunjuk sebagai Anggota.
Keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah Provinsi Dalam hal tanah yang
diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, terletak
di 2 (dua) kabupaten/ kota atau lebih dalam 1 (satu) Provinsi paling banyak 9
(sembilan) orang dengan susunan sebagai berikut:
1) Sekretaris Daerah sebagai Ketua merangkap Anggota;
2) Pejabat daerah di Provinsi yang ditunjuk setingkat eselon II sebagai Wakil
Ketua merangkap anggota.
3) Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi atau pejabat
yang ditunjuk sebagai Sekretaris merangkap Anggota; dan
4) Kepala Dinas/ Kantor/ Badan di Provinsi yang terkait dengan pelaksanaan
pengadaan tanah atau pejabat yang ditunjuk sebagai Anggota.
Baik dalam peraturan Kepala BPN Nomor 3 tahun 2007 maupun dalam

42
Universitas Sumatera Utara

Perpres Nomor 65 Tahun 2006 telah dicantumkan tugas dari pada Panitia
Pengadaan Tanah. Dalam Peraturan kepala BPN diuraikan secara satu persatu,
bagi Panitia pengadaan tanah yang hanya ada di Kabupaten atau Provinsi saja
serta Panitia Pengadaan Tanah yang mencakupi dua wilayah kepentingan
pengadaan tanah.
Dalam Pasal 7 Perpres Nomor 65 Tahun 2006 menegaskan bahwa Panitia
Pengadaan Tanah bertugas:
1) Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman
dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan
dilepaskan atau diserahkan.
2) Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan
dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya.
3) Menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan
atau diserahkan.
4) Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena
rencana pembangunan dan/ atau Pemegang Hak Atas Tanah mengenai
rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi
publik melalui tatap muka, media cetak, maupun media elektronik agar
dapat diketahui oleh seluruh masyarakat

yang terkena rencana

pembangunan dan/ atau Pemegang Hak Atas Tanah.
5) Mengadakan musyawarah dengan para Pemegang Hak Atas Tanah dan
instansi pemerintah dan/ atau Pemerintah Daerah yang memerlukan tanah
dalam rangka menetapkan bentuk dan/ atau besarmya ganti rugi.
6) Menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para Pemegang

43
Universitas Sumatera Utara

Hak Atas Tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di
atas tanah.
7) Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
8) Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan
tanah dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten.

44
Universitas Sumatera Utara