Penetapan Masa Inkubasi dan Penentuan Dosis Pemberian Tepung Cangkang Kepiting Terhadap Penjerapan Aluminium Pada Tanah Ultisol

TINJAUAN PUSTAKA
Tanah Ultisol
Tanah-tanah yang tersedia untuk pertanian sekarang dan akan datang
adalah tanah-tanah bereaksi masam (pH rendah) dan miskin unsur hara, seperti
ordo Ultisol. Ditinjau dari sudut luasnya, Ultisol mempunyai potensi yang besar
untuk dijadikan lahan pertanian. Luas Ultisol di Indonesia mencapai 45,8 juta ha
atau 25 % luas tanah Indonesia (Subagyo et al., 2004). Oleh karena itu,
pengelolaan kesuburan tanah masam seperti Ultisol perlu mendapat perhatian.
Kendala pemanfaatan tanah Ultisol untuk pengembangan pertanian adalah
kemasaman dan kejenuhan Al yang tinggi, kandungan hara dan bahan organik
rendah, dan tanah peka terhadap erosi. Berbagai kendala tersebut dapat diatasi
dengan penerapan teknologi seperti pengapuran, pemupukan, dan pengelolaan
bahan organik. Pemanfaatan tanah Ultisol untuk pengembangan tanaman pangan
lebih banyak menghadapi kendala dibandingkan dengan untuk tanaman
perkebunan. Oleh karena itu, tanah ini banyak dimanfaatkan untuk tanaman
perkebunan kelapa sawit, karet, dan hutan tanaman industri, terutama di Sumatera
dan Kalimantan (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Pelapukan masam di dalam hutan membebaskan basa dari mineral tanah
secara cepat. Apabila hal ini berlangsung dalam suatu lingkungan yang berdaya
lindi kuat pada akhirnya terbentuk tanah masam yang miskin hara. Al, Fe, dan Mn
menjadi banyak terbebaskan dan dapat melonggok dalam jumlah yang meracun

tanaman. Persoalan yang bertambah berat apabila bahan induk tanah sudah
bersifat masam dan kersikan (siliceous), hal inilah yang terutama di jumpai pada
tanah – tanah di pulau Sumatera (Notohadiprawiro, 1986).

Universitas Sumatera Utara

Sudaryono (2009) menyatakan bahwa pada pH tanah Ultisol kurang dari
5,5 ion fosfat akan diikat oleh Fe dan Al sebagai senyawa yang tidak larut dalam
air, sedangkan diatas pH 7,0 akan bereaksi dengan Ca dan Mg membentuk
senyawa yang tidak larut dalam air dan menjadi tidak tersedia bagi tanaman.
Cangkang Kepiting
Menurut Angka dan Suhartono (2000), hasil perikanan dapat dijumpai
senyawa–senyawa yang sangat berguna bagi manusia, yaitu protein, kalsium,
lemak, sedikit karbohidrat, vitamin, dan garam-garam mineral. Sebaiknya dapat
diupayakan dengan membuat berbagai jenis tepung misalnya tepung ikan
kembung, tepung rebon dan tepung rajungan (cangkang kepiting), yang dapat
digunakan sebagai bahan tambahan.
Hasil penelitian Rochima (2007) menyatakan bahwa kadar air tepung
cangkang kepiting cukup rendah (5,48 %). Hal ini disebabkan oleh adanya tahap
pengeringan terlebih dahulu sebelum penggilingan. Kadar abu tepung cangkang

kepiting yang tinggi menunjukkan bahwa kandungan mineral tepung cangkang
kepiting besar. Sebagian besar kandungan mineral yang terdapat pada limbah
cangkang kepiting berupa kalsium karbonat, dan sebagian kecil berupa kalsium
fosfat.
Cangkang rajungan merupakan hasil samping dari pengolahan rajungan.
Kandungan gizi rajungan terutama protein cukup tinggi, sehingga dimungkinkan
limbah padatnya juga masih mempunyai kandungan protein yang tinggi. Limbah
luar yang terdiri cangkang dan kaki mempunyai kandungan kalsium yang cukup
tinggi (Sugihartini 2001).

Universitas Sumatera Utara

Kitin (Isolasi Cangkang Kepiting)
Hassan, et al (2015) menyatakan bahwa kitin adalah biopolimer tersusun
oleh unit – unit N-asetil-D-glukosamin berikatan β(1 - 4) yang paling banyak
dijumpai di alam setelah selulosa. Produksi alamiah kitin di dunia diperkirakan
mencapai 109 ton per tahun.Wilayah perairan di Indonesia merupakan sumber
cangkang hewan invertebrata laut berkulit keras (Crustacea) yang mengandung
kitin secara berlimpah. Kitin yang terkandung dalam Crustacea berada dalam
kadar yang cukup tinggi berkisar 20-60 % tergantung spesies. Hasil penelitian

Rochima (2007) menyatakan bahwa aplikasi kitin dan kitosan di berbagai bidang
sangat ditentukan oleh karakteristik mutu keduanya yang meliputi derajat
deasetilasi, kelarutan, viskositas, dan berat molekul.
Lesbani et al., (2011) menyatakan bahwa proses isolasi kitin dari
cangkang kepiting melalui dua proses yakni demineralisasi dan deproteinasi.
Demineralisasi dilakukan dengan menggunakan larutan asam klorida dan reaksi
yang terjadi antara mineral dengan asam klorida. Sedangkan deproteinasi
bertujuan untuk memisahkan protein yang terdapat pada cangkang kepiting
dilakukan dengan menggunakan larutan natrium hidroksida.
Muzzarelli (2010) menyatakan bahwa pengikatan ion logam pada kitin
terjadi melalui pembentukan khelat oleh gugus –NHCO (amida) dan
–NH2 (amina), diperkirakan pengikatan logam oleh kitin berlangsung melalui
kombinasi antara pertukaran ion dan pembentukan khelat. Mekanisme pengikatan
yang terjadi bergantung pada karekteristik logam yang akan diinteraksikan dengan
adsorben. Adanya gugus amida dan amina pada kitin ditunjukkan pada struktur
kitin yang disajikan pada Gambar 1 sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

Gambar 1. Struktur Kitin

Penjerapan
Mukhlis et al., (2011) menyatakan bahwa adsorpsi atau penjerapan adalah
proses akumulasi senyawa –senyawa atau unsur dipermukaan koloid tanah. Proses
adsorpsi sangat besar peranannya pada kesuburan tanah, klasifikasi tanah dan
lingkungan hidup. Sebagian besar unsur hara tanaman berada dalam keadaan
teradsorpsi dipermukaan koloid, agar dapat diserap oleh akar harus bebas
dilarutan tanah. Selain itu unsur yang bersifat racun bagi tanaman juga senantiasa
berada dalam keadaan teradsorpsi, seperti unsur aluminium (Al). Adsorpsi juga
merupakan proses adhesi fisika suatu molekul terhadap permukaan padatan tanpa
reaksi kimia, atau proses terikat suatu bahan dipermukaan bahan lain.
Adsorpsi (penjerapan) merupakan salah satu penanggulangan logam yang
paling banyak digunakan, karena tidak memberikan efek samping yang
membahayakan kesehatan, tidak memerlukan peralatan yang rumit dan mahal,
serta mudah dalam pengerjaannya. Faktor – faktor yang mempengaruhi adsorpsi
antara lain struktur adsorben, berat adsorben, pH media, ukuran partikel, kapasitas
pertukaran elektron, dan suhu. Adsorpsi tergantung luas permukaan adsorben,

Universitas Sumatera Utara

semakin poros adsorben, maka daya adsorpsinya semakin besar. Adsorben padat

yang baik yaitu porositasnya tinggi, permukaannya sangat luas sehingga adsorpsi
terjadi pada banyak tempat. Demikian juga untuk konsentrasi dan luas permukaan,
semakin besar konsentrasi adsorbat maka semakin banyak adsorbat yang
teradsorpsi dan semakin besar luas permukaan adsorben, maka adsorpsinya juga
semakin besar (Wiyarsih dan Priyambodo, 2008).
P tersedia Tanah
Unsur fosfat (P) adalah unsur esensial kedua setelah N yang berperan
penting dalam fotosintesis dan perkembangan akar. Ketersediaan P dalam tanah
jarang yang melebihi 0,01 % dari total P. Sebagian besar bentuk P terikat oleh
koloid tanah sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Tanah dengan kandungan
organik rendah seperti Oksisols dan Ultisols yang banyak terdapat di Indonesia
kandungan P dalam organik bervariasi dari 20 – 80%, bahkan bisa kurang dari
20% tergantung tempatnya. P tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara efektif
oleh tanaman, karena P dalam larutan tanah dalam bentuk P terikat di dalam
larutan tanah, sehingga petani harus terus melakukan pemupukan P di lahan
sawah walaupun sudah terdapat kandungan P yang cukup memadai. Pada tanah
masam, P bersenyawa dalam bentuk-bentuk Al - P dan Fe - P, sedangkan pada
tanah alkali (basa) P akan membentuk senyawa Ca - P dengan kalsium
membentuk senyawa kompleks yang sukar larut (Simanungkalit et al., 2006).
Penetapan jumlah P tersedia dalam tanah harus ditentukan dengan metode

yang tepat. Permasalahan P di dalam tanah cukup kompleks, salah satunya adalah
sumbernya terbatas dan amat dipengaruhi oleh pH tanah sehingga ketersediannya
bagi tanaman sangat kecil. Ada beberapa metode penentuan P tersedia dalam

Universitas Sumatera Utara

tanah, yaitu Truog, Bray I, Bray II, North Caroline, dan Olsen. Setiap metode
mempunyai sifat tersendiri dalam mengekstrak P. Metode yang paling baik adalah
metode yang ekstraktannya benar mampu mengekstrak P – tersedia di dalam tanah
ataupun paling mendekati P yang terserap oleh tanaman (Ilahi, 2000).
Kondisi pH tanah merupakan faktor penting yang menentukan kelarutan
unsur yang cenderung berkesetimbangan dengan fase padatan. Kelarutan oksidaoksida hidrous dari Fe dan Al secara langsung tergantung pada konsentrasi ion
hidroksil (OH-) dan menurun ketika pH meningkat. Kation hidrogen (H+) bersaing
secara langsung dengan kation-kation asam Lewis lainnya dan oleh karenanya
kelarutan kation kompleks seperti Cu dan Zn akan meningkat dengan menurunnya
pH (Soemarno, 2011).
Pengaruh parameter pH terhadap ketersediaan fosfat dapat digunakan
sebagai salah satu tolak ukur untuk membandingkan hasil uji P dari metode uji
tanah yang ada. Perbandingan hasil uji P tersedia dari dua metode yang berbeda
dalam penerapan uji terhadap suasana pH tanah dapat memberikan rekomendasi

pemupukan. Metode Olsen biasanya digunakan untuk tanah ber-pH >5,5,
sedangkan metode bray biasanya digunakan untuk tanah ber-pH