Hubungan Pola Makan dan Aktivitas Fisik Dengan Obesitas Pada Guru SMP Negeri 3 Tanjung Morawa Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Tahun 2016

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Obesitas
Kata obesitas berasal dari bahasa latin yaitu ob yang berarti ‘akibat dari’
dan esum yang artinya ‘makan’. Oleh karena itu, obesitas dapat didefinisikan
sebagai akibat dari pola makan yang berlebihan (Adams et al., 2002; Syarif, 2003
dalam Sudargo et al., 2014). Obesitas juga sering didefinisikan sebagai kondisi
abnormal atau kelebihan lemak yang serius dalam jaringan adiposa sehingga dapat
mengganggu kesehatan. Dengan kata lain, obesitas dapat diartikan sebagai
kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang
berlebihan (Adriani dan Wirjatmadi, 2014).
Apabila di dalam tubuh jumlah lemak melebihi 3% dari berat badan maka
disebut timbunan lemak. Jumlah lemak ini berbeda antara pria dan wanita. Jumlah
lemak yang normal pada pria dewasa muda (18-30 tahun) adalah 15-20% dan pria
dewasa tua (>30 tahun) jumlah lemak mencapai 27% dari berat badan, sedangkan
pada wanita dewasa muda (18-30 tahun) sebesar 20-25% dan pada wanita dewasa
tua (>30 tahun) jumlahnya mencapai 30% dari berat badan (Purwati et al., 2002).
Berdasarkan etiologinya obesitas terbagi menjaadi dua yaitu, obesitas
primer yang disebabkan oleh faktor gizi dan berbagai faktor yang memengaruhi
masukan makanan. Makanan yang masuk lebih banyak dibandingkan dengan

kebutuhan energi yang dibutuhkan oleh tubuh. Sedangkan obesitas sekunder
adalah obesitas yang disebabkan karena penyakit atau kelainan congenital.
Sedangkan berdasarkan patogenesisnya obesitas terdiri dari regulatory obesity
7
Universitas Sumatera Utara

8

yang merupakan gangguan pada pusat yang mengatur masukan makanan
dan metabolic obesity yang terjadi akibat adanya kelainan pada metabolisme
lemak dan karbohidrat (Sudargo et al., 2014).
Ada dua tempat penumpukan lemak pada orang yang obesitas yaitu
penumpukan lemak lebih banyak terdapat pada pinggul yang disebut dengan tipe
pir dan penumpukan lemak lebih banyak pada daerah perut yang disebut tipe apel.
Obesitas tipe pir lebih banyak dialami oleh wanita. Sementara obesitas tipe apel
lebih banyak dialami oleh laki-laki. Namun hal ini tidak bersifat mutlak karena
banyak wanita yang juga mengalami obesitas tipe apel, terutama setelah mereka
mengalami menopause (Sudargo et al., 2014).
Sebuah penelitian yang dilakukan Silitonga pada tahun 2008 pada
penduduk dari keluarga miskin di desa Marindal II Kecamatan Patumbak

Kabupaten Deli Serdang yang mengalami obesitas tingkat ringan sebanyak
94,34% dan yang mengalami obesitas tingkat berat sebanyak 5,66% (Silitonga,
2009). Selain itu, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Desi Kristina T pada
tahun 2010 bahwa pedagang sayur di Lingkungan XIII Kelurahan Kwala Bekala
Medan yang mengalami kegemukan sebanyak 62,9% dengan kegemukan tingkat
ringan sebanyak 28,6% dan kegemukan tingkat berat sebanyak 34,3% (T Kritina,
2010).
2.2. Faktor Risiko Obesitas
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan seseorang mengalami
obesitas. Beberapa faktor tersebut yaitu, umur, jenis kelamin, tingkat pendapatan,
pola makan, dan aktivitas fisik.

Universitas Sumatera Utara

9

2.2.1. Umur
Semakin tua, ketika kurang aktif bergerak massa otot dalam tubuh
cenderung menurun. Kehilangan otot menyebabkan perlambatan tingkat
pembakaran kalori dalam tubuh. Dari penjelasan tersebut bahwa semakin

bertambahnya umur dan tidak mengurangi asupan kalori, maka tubuh semakin
sulit untuk membakar kalori yang masuk akibatnya terjadi penumpukan energi
dalam tubuh dan mengakibatkan obesitas (Bantarpraci, 2012). Setelah umur 40
tahun, seseorang memiliki risiko untuk mengalami kenaikan berat badan karena
pada masa itu kebanyakan orang dewasa mulai mencapai puncak pencapaian
karirnya. Secara fisiologis, komposisi tubuh sedikit berubah bersamaan dengan
perubahan hormon (Brown, 2005 dalam Bantarpraci, 2012).
Hasil penelitian yang dilakukan Christina pada tahun 2008 di perusahaan
Migas X di Kalimantan Timur bahwa proporsi obesitas lebih tinggi pada
responden berumur >40 tahun yaitu sebanyak 53,0% dibandingkan dengan
responden yang berumur ≤40 tahun yaitu sebanyak 37,2%. Dari hasil tersebut
diketahui bahwa responden dengan umur berisiko (>40 tahun) memiliki
kemungkinan 2 kali lebih tinggi untuk obesitas dibanding umur yang tidak
berisiko (≤40 tahun) (Christina, 2008).
2.2.2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin memiliki peran dalam timbulnya obesitas, meskipun
obesitas dapat terjadi pada kedua jenis kelamin tetapi obesitas lebih umum
dijumpai pada wanita terutama setelah kehamilan dan pada saat menopause. Pada

Universitas Sumatera Utara


10

saat kehamilan terjadi peningkatan jaringan adiposa sebagai simpanan yang
diperlukan selama masa menyusui (Misnadiarly, 2007).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Siltonga pada tahun 2008 mengenai
pola makan dan aktivitas fisik pada orang dewasa yang mengalami obesitas dari
keluarga miskin di desa Marindal II kecamatan Patumbak Kabupaten Deli
Serdang menyatakan bahwa persentase perempuan yang mengalami obesitas
tingkat I sebanyak 67,92% dan laki-laki sebanyak 26,42%. Sedangkan perempuan
yang mengalami obesitas tingkat II sebanyak 5,66% dan laki-laki 0%.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa lebih banyak perempuan
yang mengalami obesitas bila dibandingkan dengan laki-laki (Silitonga, 2008).
2.2.3. Tingkat Pendapatan
Banyak anggapan bahwa kejadian obesitas sebagian besar diderita oleh
seseorang dengan tingkat ekonomi tinggi karena semakin tinggi tingkat
kemakmuran seseorang maka semakin tinggi kejadian obesitas. Dimana kejadian
tersebut dapat terjadi di kota maupun di desa sehingga perubahan pola hidup akan
memegang peranan yang penting dalam penanganan obesitas (Robbin, 1999
dalam Christina, 2008).

Dari hasil penelitian Christina pada tahun 2008 menunjukkan proporsi
obesitas lebih tinggi pada pegawai staf yaitu sebanyak 55,2% bila dibandingkan
non staf yaitu sebanyak 39,6%. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa pegawai
staf memiliki kecenderungan 2 kali untuk obesitas. Hal ini erat kaitannya dimana
pegawai staf memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi bila dibandingkan
dengan yang non staf (Christina, 2008).

Universitas Sumatera Utara

11

2.3. Dampak Obesitas
Dampak yang diakibatkan obesitas tidak hanya mempengaruhi penampilan
atau fisik seseorang yang menyebabkan orang tersebut merasa kurang percaya diri
sehingga seringkali mengalami depresi atau tekanan dari dirinya sendiri maupun
lingkungannya (Purwati et al., 2002). Selain itu obesitas juga dapat menyebabkan
timbulnya berbagai penyakit degenetarif, seperti diabetes tipe 2, hipertensi, stroke
dan penyakit jantung koroner.
2.3.1. Diabetes Tipe 2
Individu yang mengalami obesitas akan lebih mudah mengalami resistensi

insulin (impaired glucose tolerance ) dibandingkan dengan individu yang berat
badannya normal. Kondisi ini disebabkan oleh peningkatan adipositas pada orang
obesitas yang akan menyebabkan penurunan sensitivitas insulin (Ferrannini et al.,
1998; Karter et al., 2005 dalam Sudargo et al., 2014).
Selain itu, kelebihan massa lemak juga dikaitkan dengan keadaan
resistensi insulin yang berhubungan dengan diabetes melitus. Risiko diabetes
melitus akan meningkat secara linear sesuai dengan peningkatan IMT. Obesitas
akan meningkatkan angka kejadian diabetes melitus 3-4 kali dibandingkan orang
dengan IMT normal (Adriani dan Wirjatmadi, 2014).
Penelitian yang pernah dilakukan oleh Istiantho pada tahun 2008 di Kota
Ternate menyatakan bahwa persentase responden dengan berat badan lebih atau
obesitas yang mengalami diabetes sebanyak 24%, sementara persentase responden
dengan berat badan normal dan kurang yang mengalami diabetes sebanyak 0,85%.

Universitas Sumatera Utara

12

Dari hasil penelitian ini menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara obesitas dengan diabetes (Istiantho, 2008).

Sedangkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Garnita pada tahun
2012 tentang faktor risiko diabetes melitus di Indonesia dengan menganalisis data
Sakerti tahun 2007 menunjukkan proporsi diabetes lebih tinggi pada responden
obesitas, yaitu 5%. Sedangkan proporsi diabetes terendah pada responden yang
kurus, yaitu 1,2%, responden dengan berat badan normal proporsi diabetes sebesar
2,3% dan kelompok responden dengan berat badan lebih, yaitu 4,9%. Dengan
demikian proporsi kejadian diabetes lebih tinggi pada responden dengan IMT
lebih tinggi (Garnita, 2012).
2.3.2. Hipertensi
Penderita obesitas mempunyai risiko yang tinggi terhadap penyakit
hipertensi. Seseorang dikatakan menderita hipertensi bila tekanan darah sistole
>140 mm Hg dan diastole >90 mm Hg (Purwati et al., 2002). Orang yang
mengalami obesitas tekanan darahnya akan menjadi tinggi untuk menjaga
keseimbangan natrium dan cairan. Selain itu, obesitas dapat menyebabkan
perubahan fungsi ginjal sehingga berdampak pada hipertensi (Sudargo et al.,
2014).
Hubungan antara angka kejadian hipertensi dan berat badan meningkat
tajam sesuai peningkatan berat badan. Risiko terjadinya hipertensi meningkat 1,6
kali untuk overweight dan menjadi 2,5 - 3,2 kali untuk obesitas kelas 1 serta
menjadi 3,9 - 5,5 kali untuk obesitas kelas 2 dan 3. Penurunan berat badan juga

tebukti menurunkan hipertensi (Adriani dan Wirjatmadi, 2014).

Universitas Sumatera Utara

13

Hasil analisis statistik dari penelitian yang dilakukan Estiningsih pada
tahun 2012 di Kelurahan Sukamaju Depok menunjukkan perbedaan yang
signifikan antara responden hipertensi dengan obesitas dan responden hipertensi
dengan indeks massa tubuh normal. Sebanyak 62,5% responden penderita
hipertensi pada kelompok obesitas, gemuk sebesar 25% dan responden dengan
indeks massa tubuh normal sebesar 12,5%. Responden penderita obesitas
memiliki risiko hipertensi 2,626 kali lebih besar dibandingkan dengan responden
yang memiliki indeks massa tubuh normal (Estiningsih, 2012).
2.3.3. Stroke
Pola makan yang salah bisa memicu terjadinya stroke usia muda. Karena
seringnya mengkonsumsi makanan junk food yang tidak baik karena kandungan
kolesterolnya yang tinggi. Kolesterol tidak baik bagi kesehatan, terutama bila
terjadi penyumbatan pada pembuluh darah, dan mengenai pembuluh darah otak
bisa membuat seseorang mengalami stroke (Adriani dan Wirjatmadi, 2014).

Ophine (2010) menyatakan dalam penelitiannya pada pasien rawat inap
penderita stroke di bagian ilmu penyakit saraf FK-USU RSUP H. Adam Malik
Medan bahwa kelompok terbesar penderita stroke terdapat pada responden
kelompok obesitas yaitu 55%, penderita stroke pada berat badan lebih yaitu 35%,
berat badan normal sebesar 10% dan pada kelompok dengan berat badan kurang
tidak dijumpai penderita stroke. Hal ini berarti terdapat hubungan yang signifikan
antara obesitas dan stroke (Ophine, 2010).

Universitas Sumatera Utara

14

2.3.4. Penyakit Jantung Koroner
Hubungan antara obesitas dan penyakit jantung koroner terjadi secara
tidak langsung melalui beberapa faktor resiko seperti hipertensi, dislipidemia,
penurunan HDL, dan gangguan toleransi glukosa. Hal ini berkaitan dengan
distribusi sel lemak dalam tubuh. Orang yang obesitas dengan hipertensi sistemik
mengalami peningkataan volume dan tekanan pada dinding ventricular kiri yang
berdampak pada peningkatan volume dan cardiac output. Sementara orang yang
obesitas tanpa hipertensi, peningkatan tekanan volume sering terjadi, tetapi

tekanan pada dinding usus masih normal (Sudargo et al., 2014).
Orang yang mengalami obesitas tidak hanya mengalami gangguan jantung
bagian kiri saja namun juga terjadi gangguan pada jantung bagian kanan.
Meningkatnya faktor risiko penyakit jantung koroner sejalan dengan terjadinya
penambahan berat badan seseorang. Obesitas yang terjadi pada usia 20-40 tahun
berpengaruh besar terhadap terjadinya penyakit jantung koroner (Purwati et al.,
2002).
Sebuah penelitian pernah dilakukan oleh Bebi pada tahun 2009-2011 di
RSUP H. Adam Malik Medan bahwa diantara faktor-faktor risiko penyakit
jantung koroner adalah obesitas. Dari hasil penelitian, distribusi faktor risiko
penyakit jantung koroner berdasarkan keadaan obesitas, diperoleh sebanyak
76,5% atau sebanyak 52 orang responden yang mengalami obesitas, sedangkan
hanya 23,5% atau sebanyak 16 orang responden yang tidak mengalami obesitas
(Bebi, 2012).

Universitas Sumatera Utara

15

Selain itu, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Danial pada tahun

2010 di RSUP H. Adam Malik Medan bahwa indeks massa tubuh mempengaruhi
terjadinya penyakit jantung koroner. Dari hasil penelitian ini sebanyak 45 orang
(54,9%) penderita penyakit jantung koroner mengalami obesitas, sementara
responden yang tidak obesitas sebanyak 37 orang (45,1%). Ini berarti bahwa
orang yang mengalami obesitas mempunyai risiko terkena penyakit jantung
koroner lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak obesitas (Danial,
2010).
2.4. Pengukuran Obesitas dan Klasifikasinya
Diagnosis obesitas dapat ditegakkan melalui penilaian status gizi secara
langsung. Penilaian staus gizi adalah pemeriksaan terhadap keadaan gizi
seseorang. Penilaian status gizi secara langsung dapat dilakukan dengan metode
penilaian antropometri. Antropometri adalah ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari
sudut pandang gizi, antropometri berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan
tingkat gizi (Supariasa, 2002 dalam Sudargo et al., 2014).
Bagi orang dewasa salah satu indikator yang menunjukkan bahwa telah
terjadi keseimbangan zat gizi di dalam tubuh adalah tercapainya berat badan yang
normal, yaitu berat badan yang sesuai untuk tinggi badannya. Indikator tersebut
dikenal dengan Indeks Massa Tubuh (IMT). Pemantauan berat badan normal
dilakukan untuk mencegah penyimpangan berat badan dari berat badan normal,
dan bila terjadi penyimpangan dapat segera dilakukan pencegahan dan
penanganannya. Selain itu, mempertahankan berat badan normal juga dapat

Universitas Sumatera Utara

16

memungkinkan seseorang terhindar dari penyakit tidak menular (Kementerian
Kesehatan RI, 2014). Untuk menghitung IMT, dapat dihitung dengan rumus
berikut:
IMT =
Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan WHO yang
membedakan batas ambang normal untuk laki-laki dan perempuan. Di Indonesia,
batas ambang normal tidak dibedakan menurut jenis kelamin. Untuk kepentingan
Indonesia, batas ambang dimodifikasi berdasarkan kepentingan klinis dan hasil
penelitian di beberapa Negara berkembang (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Batas ambang IMT untuk Indonesia adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1. Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT) Berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 41 Tahun 2014
Klasifikasi
IMT
Sangat Kurus
< 17,0
Kurus
17,0 – < 18,5
Normal
18,5 – 25,0
Gemuk (Overweight)
> 25,0 – 27,0
Obesitas
≥ 27,0
Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2014

Keadaan seseoang sangat kurus dengan kekurangan berat badan tingkat
berat atau Kekurangan Energi Kronis (KEK) berat bila IMT < 17,0. Keadaan
seseorang disebut kurus dengan kekurangan berat badan tingkat ringan atau KEK
ringan bila IMT 17,0 – < 18,5. Keadaan seseorang termasuk kategori normal bila
IMT 18,5 – 25,0. Keadaan seseorang disebut gemuk (Overweight) dengan
kelebihan berat badan tingkat ringan bila IMT >25,0 – 27,0. Keadaan seseorang
disebut Obesitas dengan kelebihan berat badan tingkat berat bila IMT ≥ 27,0
(Kementerian Kesehatan RI, 2014).

Universitas Sumatera Utara

17

2.5. Pola Makan
Pola makan sehat adalah suatu cara atau usaha dalam pengaturan jumlah
dan jenis makanan dengan maksud tertentu, seperti mempertahankan kesehatan,
status nutrisi, mencegah atau membantu kesembuhan penyakit. Pola makan
sehari-hari merupakan pola makan seseorang yang berhubungan dengan kebiasaan
makan sehari-hari (Adriani dan Wirjatmadi, 2014).
Keadaan kesehatan gizi tergantung dari tingkat konsumsi yang ditentukan
oleh kualitas serta kuantitas hidangan. Kualitas hidangan menunjukkan adanya
semua zat gizi yang diperlukan tubuh di dalam susunan hidangan dan
perbandingan yang satu terhadap yang lain. Kuantitas menunjukkan kwantum
masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh. Konsumsi yang menghasilkan
kesehatan gizi yang sebaik-baiknya dan dalam jumlah melebihi kebutuhan tubuh,
dinamakan konsumsi berlebih yang dapat mengakibatkan keadaan gizi lebih
(Sediaoetama, 2006 dalam P Roselly, 2008).
Kandungan energi di dalam makanan bergantung pada kandungan
karbohidrat, protein, dan lemak. Terdapat juga kandungan organik lain (seperti
asam organik) hanya menyumbang sedikit energi dibandingkan dengan yang lain.
Air tidak mengandung energi melainkan hanya sebagai pelarut, oleh karena itu
kandungan air di dalam makanan akan mempengaruhi kadar dan kepadatan
kandungan energi dalam makanan (Arisman, 2007).
Kandungan energi dalam tubuh bergantung pada ukuran dan komposisi
tubuh. Kebutuhan energi orang yang sehat diartikan sebagai tingkat asupan energi
yang dapat dimetabolisasi dari makanan yang akan menyeimbangkan keluaran

Universitas Sumatera Utara

18

energi (Arisman, 2007). Kebutuhan energi total orang dewasa diperlukan untuk
metabolisme basal, aktivitas fisik dan efek makanan atau pengaruh dinamik
khusus. Kebutuhan energi terbesar umumnya diperlukan untuk metabolisme basal
(Almatsier, 2004).
Kekurangan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang
dari energi yang dikeluarkan, sehingga tubuh akan mengalami keseimbangan
energi. Akibatnya berat badan kurang dari berat badan seharusnya dan dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan tubuh. Sedangkan kelebihan energi yaitu
apabila konsumsi energi melalui makanan melebihi energi yang dikeluarkan maka
akan diubah menjadi lemak tubuh yang dapat mengakibatkan berat badan berlebih
atau obesitas (Cakrawati, NH, 2012).
Karbohidrat berfungsi menyediakan energi bagi tubuh. Karbohidrat
merupakan sumber utama energi bagi manusia karena banyak terdapat di alam dan
harganya yang relatif murah. Satu gram karbohidrat menghasilkan 4 kkal.
Sebagian karbohidrat di dalam tubuh berada dalam sirkulasi darah sebagai
glukosa untuk keperluan energi, sebagian disimpan sebagai glikogen dalam hati
dan jaringan otot dan sebagian diubah menjadi lemak untuk disimpan sebagai
cadangan energi di dalam jaringan lemak. Bila karbohidrat makanan tidak
mencukupi, maka protein akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi,
dengan mengalahkan fungsi utamanya sebagai zat pembangun. Sebaliknya, bila
karbohidrat makanan mencukupi, protein terutama akan digunakan sebagai zat
pembangun (Almatsier, 2004).

Universitas Sumatera Utara

19

Karbohidrat dalam tubuh manusia hanya < 1%. Sumber karbohidrat
banyak terdapat dalam tanaman seperti serealia, beras, jagung, gandum, singkong,
ubi jalar, kentang, talas, kacang hijau, ampas tahu, susu, madu, gula pasir, gula
merah, serta pada sayur dan buah namun jumlahnya sedikit. Karbohidrat
menyediakan 50% - 65% energi dari total energi yang dibutuhkan (Devi, 2010).
Protein merupakan komponen yang terdiri dari atom karbon, hydrogen,
oksigen, nitrogen dan beberapa ada yang mengandung sulfur. Tersusun dari
serangkaian asam amino dengan berat molekul relative sangat besar. Protein yang
hanya tersusun dari asam amino disebut protein sederhana. Adapun yang
mengandung bahan selain asam amino, seperti turunan vitamin, lemak, dan
karbohidrat, disebut protein kompleks. Kualitas protein ditentukan oleh jumlah
dan jenis asam aminonya. Ada dua sumber protein yaitu protein yang bersumber
dari hewani seperti telur, ikan, daging sapi, daging ayam, daging kambing, susu
dan keju serta protein yang bersumber dari nabati seperti tempe, tahu, oncom dan
kacang-kacangan (Devi, 2010).
Lemak termasuk dalam kelompok lipid. Lipid adalah komponen yang
terdiri dari lemak dan minyak (trigliserida, fosfolipid, dan sterol). Lipid makanan
terdiri dari 95% lemak dan minyak (trigliserida) serta 5% lipid lain (fosfolipid dan
sterol). Dalam tubuh, 99% lemak didimpan dalam bentuk trigliserida. Lemak
berasal dari dua sumber yaitu hewan dan tanaman. Sumber lemak hewani yaitu,
susu, lemak sapi, dan inyak ikan. Sumber lemak nabati yaitu, minyak kelapa,
minyak kelapa sawit, minyak kedelai, minyak jagung, minyak biji bunga matahari
dan minyak zaitun (Devi, 2010).

Universitas Sumatera Utara

20

Kriteria angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan bagi penduduk
Indonesia dalam Kementerian Kesehatan RI tahun 2013 yaitu :
Tabel 2.2. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Berdasarkan Umur dan
Jenis Kelamin
Kecukupan Gizi
Kelompok Umur
Energi
Karbohidrat
Protein
Lemak
(kkal)
(g)
(g)
(g)
Pria
19 – 29
2725
375
62
91
30 – 49
50 – 64
≥ 65
Wanita
19 – 29
30 – 49
50 – 64
≥ 65

2625
2325
1900

394
349
309

65
65
62

73
65
53

2250
2150
1900
1550

375
394
349
309

56
57
57
56

75
60
53
43

Sumber: Kementerian Kesehatan RI tahun 2013

2.5.1. Kaitan Pola Makan dengan Obesitas
Pola makan merupakan perilaku paling penting yang dapat mempengaruhi
keadaan gizi. Hal ini disebabkan karena kuantitas dan kualitas makanan dan
minuman yang dikonsusmsi akan mempengaruhi asupan gizi sehingga akan
mempengaruhi kesehatan individu dan kesehatan masyarakat. Gizi baik dapat
membuat berat badan normal atau sehat, tubuh tidak mudah terkena penyakit
infeksi, produktivitas kerja meningkat serta terlindung dari penyakit kronis dan
kematian dini. Agar tubuh tetap sehat dan terhindar dari penyakit tidak menular
terkait gizi, maka pola makan masyarakat perlu ditingkatkan kearah konsumsi gizi
seimbang (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Perilaku makan menjadi penyebab timbulnya permasalahan obesitas. Tiga
hal yang ditekankan dalam perilaku makan seseorang, yaitu pengendalian makan,

Universitas Sumatera Utara

21

emosi dan rasa lapar. Pola makan yang menjadi pencetus obesitas adalah makan
berlebihan yaitu mengkonsumsi makanan dalam porsi besar, makanan tinggi
energi, tinggi lemak, tinggi karbohidrat sederhana dan rendah serat. Sementara
perilaku makan yang salah ialah tindakan mengkonsumsi makanan dengan jumlah
yang berlebihan tanpa diimbangi dengan pengeluaran energi yang seimbang
(Sudargo et al., 2014).
Ketika seseorang makan secara berlebihan, zat gizi yang dikonsumsi akan
diubah menjadi timbunan lemak dalam tubuh. Namun, bila seseorang
mengkonsumsi makanan sesuai dengan kebutuhan maka proporsi tubuhnya selalu
ideal (Peters, 2002; Soegih, 1990 dalam Sudargo et al., 2014). Prinsip 13 Panduan
Umum Gizi Seimbang (PUGS) membebaskan seseorang untuk mengkonsusmsi
makanan apapun dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh. Poin-poin
yang terdapat di dalam PUGS, antara lain, makanlah beraneka ragam makanan,
makanlah makanan untuk memenuhi kebutuhan energi, makanlah makanan
sumber karbohidrat setengah dari kebutuhan energi, serta batasi konsumsi lemak
dan minyak sampai seperempat dari kecukupan energi (Sudargo et al., 2014).
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa manusia pada zaman sekarang
dituntut untuk lebih bijaksana dalam mengkonsusmsi makanan. Manusia tidak
dilarang untuk mengkonsumsi makanan atau minuman apapun selama masih
dalam jumlah yang tidak berlebihan. Namun, konsumsi makanan dan minuman
tersebut juga harus diimbangi dengan jumlah sayur dan buah sebagai sumber serat
dalam jumlah yang cukup (Sudargo et al., 2014).

Universitas Sumatera Utara

22

Sebuah penelitian yang dilakukan Silitonga pada tahun 2008 pada keluarga
miskin di desa Marindal II kecamatan Patumbak kabupaten Deli Serdang
diketahui bahwa 88,68% responden memiliki susunan makanan kurang lengkap
yang hanya terdiri dari makanan pokok, lauk dan sayuran. Sementara responden
dengan susunan makanan tidak lengkap sebanyak 11,32% dimana susunan
makanan hanya terdiri dari makanan pokok dan lauk atau makanan pokok dan
sayur. Hal ini menyebabkan kecenderungan terjadinya obesitas lebih tinggi
dikarenakan kelebihan konsumsi pada salah satu sumber zat gizi terutama
karbohidrat yang bersumber dari nasi (Silitonga, 2008).
Pada penelitian ini juga terlihat bahwa responden dengan tingkat
kegemukan tingkat berat dan normal lebih banyak mempunyai tingkat konsumsi
energi kategori sangat tinggi. Berbeda dengan responden dengan kegemukan
tingkat ringan, dimana mereka lebih banyak mempunyai tingkat konsumsi energi
kategori tinggi. Dari hasil uji statistik diperoleh p(0,036) yang berarti ada
hubungan yang signifikan antara energi yang dikonsumsi dengan obesitas
(Silitonga, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Marpaung pada tahun 2015 pada
mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara bahwa
dari 89 mahasiswa dengan jenis makanan lengkap sebanyak 56 mahasiswa
(62,9%) memiliki status gizi normal dan 33 mahasiswa (37,1%) memiliki status
gizi lebih. Sedangkan dari 19 mahasiswa dengan jenis makanan tidak lengkap
sebanyak 2 mahasiswa (10,6%) normal dan 17 mahasiswa (89,4%) memiliki

Universitas Sumatera Utara

23

status gizi lebih. Berdasarkan uji staistik diketahui bahwa terdapat hubungan
antara jenis makanan dengan gizi lebih (Marpaung, 2015).
Pada penelitian ini menyebutkan dari 64 mahasiswa dengan jumlah
kecukupan energi pada kategori kurang sebanyak 35 mahasiswa (54,7%) memiliki
status gizi normal dan 29 mahasiswa (45,3%) memiliki stautus gizi lebih.
Sedangkan dari 9 mahasiswa dengan kategori baik sebanyak 4 mahasiswa (44,4%)
normal dan 5 mahasiswa (55,6%) memiliki status gizi lebih. Pada kategori lebih
terdapat 19 mahsiswa (54,2%) untuk status gizi normal dan 9 mahasiswa (45,8%)
untuk stautus gizi lebih. Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa tidak
terdapat hubungan antara kecukupan energi dengan kejadian gizi lebih
(Marpaung, 2015).
2.6. Pengukuran Pola Makan
Metode pengukuran pola makan merupakan metode yang dapat digunakan
untuk menentukan status gizi perorangan atau kelompok. Tujuan pengukuran pola
makan adalah untuk pengukuran jumlah makanan yang dikonsusmsi pada tingkat
kelompok, rumah tangga dan perorangan, sehingga diketahui kebiasaan makan
dan dapat dinilai kecukupan makanan yang di konsumsi seseorang (Christina,
2008).
Metode penilaian konsumsi pangan individual dikelompokkan menjadi
dua yaitu, yang pertama metode konsumsi harian kuantitatif yang terdiri dari
ingatan (recall) dan catatan (record). Metode ini digunakan untuk mengukur
kuantitas pangan yang dikonsumsi individu dalam waktu satu hari. Kedua metode
kualitatif yaitu riwayat makanan dan frekuensi konsumsi pangan ( food frequency

Universitas Sumatera Utara

24

questionnaire, FFQ). Metode ini digunakan untuk menilai asupan kebiasaan

pangan atau kelompok pangan spesifik (Siagian, 2010).
2.6.1. Metode Riwayat Makanan (Dietary History Method)
Menurut Siagian (2010), metode yang dikembangkan pertama kali oleh
Burke pada tahun 1947 ini dimaksudkan untuk memperkirakan kebiasaan asupan
pangan individu pada periode waktu yang lama. Metode ini adalah metode
wawancara yang terdiri atas tiga komponen yang terdiri dari:
1. Komponen pertama adalah ingatan 24 jam dari asupan yang biasa
dikonsumsi dan pengumpulan informasi umum akan pola makan
menyeluruh, baik pada saat waktu makan maupun pada saat selingan.
Informasi yang diperoleh termasuk deskripsi lengkap makanan, frekuensi
konsumsi, dan porsi yang lazim dalam rumah tangga.
2. Komponen kedua berperan sebagai’cek silang’ bagi kebiasaan asupan.
Metode ini terdiri atas kuesioner frekuensi konsumsi untuk jenis pangan
khusus yang digunakan untuk memverifikasi atau mengklarifikasi
informasi atas jenis dan jumlah pangan yang diperoleh pada komponen
pertama.
3. Komponen ketiga adalah pencatatan konsumsi pangan selama tiga hari
dengan menggunakan ukuran rumah tangga.
Kelebihan metode riwayat makanan ini adalah dapatmemberikan
gambaran konsumsi pada periode yang panjang serta kualitatif dan kuantitatif,
biaya relative murah, dapat digunakan di klinik gizi untuk mengatasi masalah
kesehatan yang berhubungan dengan diet pasien. Adapun kekurangan metode

Universitas Sumatera Utara

25

riwayat makan adalah metode ini terlalu membebani pihak pengumpul data dan
responden, sangat sensitif dan membutuhkan pihak pengumpul data yang terlatih,
tidak cocok dipakai untuk survey besar, data yang dikumpulkan lebih bersifat
kualitatif, biasanya hanya difokuskan pada makanan khusus sedangkan variasi
makanan sehari hari tidak diketahui (Supariasa et al., 2010).
2.6.2. Metode Frekuensi Konsumsi Pangan (Food Frecuency Questionnaire )
Tujuan mengisi FFQ adalah melengkapi data yang tidak diperoleh melalui
ingatan 24 jam. Responden memberitahukan frekuensi makanan yang lazim
dikonsumsi berdasarkan daftar makanan dalam periode waktu tertentu. Data yang
diperoleh dari FFQ merupakan data frekuensi dalam waktu berapa kali sehari,
seminggu atau sebulan orang menyantap makanan tertentu. Cara ini lebih akurat
dalam menentukan rata-rata asupan zat gizi jika menu makanan dari hari ke hari
sangat bervariasi (Arisman, 2007).
Kelemahan cara ini antara lain tidak dapat menghasilkan data kuantitatif
tentang asupan pangan karena pangan yang disantap tidak diukur dan pengisian
kuesioner hanya mengandalkan ingatan. Ketidakakuratan ini dikarenakan daftar
makanan yang tidak lengkap, kekeliruan dalam menentukan frekuensi, kesalahan
dalam menentukan ukuran porsi yang lazim dan responden sering malas mengisi
formulir dengan lengkap. Kelebihannya adalah relative murah, pengisian
kuesioner dapat diserahkan pada responden dan mudah didistribusikan (Arisman,
2007).

Universitas Sumatera Utara

26

2.7. Aktivitas fisik
Kementerian kesehatan RI (2011) menyatakan aktivitas fisik adalah setiap
gerakan tubuh yang meningkatkan pengeluaran tenaga/energi dan pembakaran
energi. Aktivitas fisik dikategorikan cukup apabila seseorang melakukan latihan
fisik atau olahraga selama 30 menit setiap hari atau minimal 3-5 hari dalam
seminggu.
Pengukuran aktivitas fisik sangat penting dilakukan dalam menganalisa
masalah kesehatan khususnya untuk masalah obesitas. Aktivitas fisik yang
dilakukan secara teratur dapat mencegah terjadinya penyakit degeneratif dan juga
dapat mengontrol berat badan (Christina , 2008). Berdasarkan data Riskesdas
(2013) proporsi penduduk Indonesia yang melakukan aktifitas fisik adalah 26,1%.
Sementara proporsi penduduk Indonesia yang berperilaku santai yaitu ≥ 6 jam
perhari sebesar 24,1%. Dengan demikian aktivitas fisik penduduk Indonesia masih
rendah.
Aktivitas fisik yang teratur akan meningkatkan kesempatan hidup sehat
lebih panjang. Dasar sederhana adalah mempertahankan berat badan normal,
keseimbangan kalori yang dimakan dan kalori yang digunakan (dibakar). Karena
itu pola konsumsi makanan yang sehat disertai aktivitas fisik membantu
mengontrol berat badan, sehingga badan akan menjadi lebih sehat (Kementerian
Kesehatan RI, 2014).

Universitas Sumatera Utara

27

2.7.1. Kaitan Aktivitas Fisik dengan Obesitas
Lingkungan, baik itu dari segi teknologi maupun kebudayaan, telah
memainkan peranannya dalam perubahan aktivitas fisik manusia. Teknologi dan
kebudayaan di zaman modern ini telah menciptakan banyak kemudahan sehingga
aktivitas fisik manusia zaman sekarang lebih rendah dibandingkan zaman
sebelumnya. Rendahnya kativitas ini akan mendorong keseimbangan energi
kearah positif sehingga mengarah pada penyimpanan energi dan penambahan
berat badan (Peters, 2002; Soegih, 1990 dalam Sudargo et al., 2014).
Saat ini banyak alat-alat teknologi yang diciptakan untuk menghemat
pengeluaran energi dalam tubuh sehingga orang cenderung kurang gerak dan
menggunakan sedikit tenaga untuk aktivitas sehari-hari (Misnadiarly, 2007).
Selain itu dengan semakin majunya fasilitas hiburan, seperti video game, televisi,
play station, dan DVD akan semakin membuat manusia menjadi lebih malas dan

semakin banyak waktu luang yang dibuang (Sudargo et al., 2014).
Aktivitas fisik akan membakar energi dari dalam tubuh. Dengan demikian,
jika asupan kalori yang masuk kedalam tubuh berlebih dan tidak diimbangi
dengan aktivitas fisik yang seimbang dapat menyebabkan tubuh mengalami
kegemukan (Purwati et al., 2002).
Hasil analisis data Riskesdaas pada tahun 2007 yang dilakukan oleh
Sudikno, dkk, menunjukkan bahwa hasil bivariat aktivitas fisik dengan obesitas
menunjukkan bahwa persentase obesitas pada responden dengan aktivitas fisik
kurang sebesar 13,36% lebih tinggi dibandingkan pada responden dengan

Universitas Sumatera Utara

28

aktivitas fisik cukup. Responden dengan aktivitas fisik kurang memiliki risiko
menderita obesitas sebesar 1,232 kali dibandingkan dengan aktivitas fisik cukup
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh T Kristina pada tahun 2010
pada responden pedagang sayur di lingkungan XII kelurahan Kwala Bekala
Medan menyatahan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara aktifitas
fisik dengan tingkat kegemukan pada pedagang sayur dimana sebagian besar
pedagang sayur mempunyai aktivitas fisik sedang yaitu sebanyak 56 orang, baik
pada responden dengan tingkat kegemukan ringan, berat dan juga normal (T
Kristina, 2010).
Hasil penelitian yang dilakukan Marpaung pada tahun 2015 pada
mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara bahwa
dari 55 mahasiswa dengan aktivitas fisik sedang sebanyak 5 mahasiswa (9,1%)
memiliki status gizi normal dan 55 mahasiswa (90,9%) memiliki status gizi lebih.
Sedangkan semua yang beraktivitas fisik berat memiliki status gizi lebih.
Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa terdapat hubungan antara aktivitas
fisik dengan gizi lebih (Marpaung, 2015).
2.8. Pengukuran Aktivitas Fisik
Aktifitas fisik memiliki tiga tingkatan yaitu, aktifitas fisik berat adalah
kegiatan yang secara terus menerus melakukan aktivitas fisik selama 10 menit
sampai menigkatnya denyut nadi dan nafas lebih cepat dari biasanya (misalnya
menimba air, mendaki gunung, lari cepat, menebang pohon, mencangkul, dll)
selama minimal tiga hari dalam satu minggu dan total waktu beraktivitas ≥ 1500
MET minute, aktifitas sedang yaitu apabila melakukan aktivitas fisik sedang

Universitas Sumatera Utara

29

(menyapu, mengepel, dll) minimal lima hari atau lebih dengan total lamanya
beraktivitas 150 menit dalam satu minggu, aktivitas ringan adalah selain dari
aktivitas tersebut (Riskesdas, 2013).
Kegiatan aktivitas fisik dihitung dengan menggunakan metode faktorial
dengan cara merinci jenis kegiatan secara spesifik serta lamanya kegiatan yang
telah dilakukan selama 24 jam (dalam menit) untuk kemudian dicatat dan
kemudian disesuaikan dengan estimasi standar faktorial dari total pengeluaran
energi. Besar energi kegiatan dihitung sebagai kelipatan BMR per menit yang
disebut sebagai Physical Activity Ratio (PAR), dan kebutuhan energi 24 jam
dinyatakan sebagai kelipatan dari Basal Metabolic Rate (BMR) per 24 jam dengan
menggunakan nilai Physical Activity Level (PAL) (James dan Schofield dalam
FAO, 2001).

Universitas Sumatera Utara

30

Tabel 2.3. Estimasi Standar Faktorial dari Total Pengeluaran Energi
Durasi
Jenis kegiatan
PAR
Total (PAL)
(Jam)
Aktivitas Ringan
Tidur
8
1
8
Perawatan pribadi (berpakaian, mandi)
1
2,3
2,3
Makan
1
1,5
1,5
Memasak
1
2,1
2,1
Duduk (pekerjaan di sekolah)
8
1,5
12
Pekerjaan rumah tangga
1
2,8
2,8
Berangkat ke / dari sekolah mengendarai
1
2
2
mobil / sepeda motor
Berjalan
1
3,2
3,2
Kegiatan
santai
(menonton
TV,
2
1,4
2,8
mengobrol)
Total
24
36,7/24 = 1,53
Aktivitas Sedang
Tidur
8
1
8
Perawatan pribadi (berpakaian, mandi)
1
2,3
2,3
Makan
1
1,5
1,5
Mengajar dikelas
8
2,2
17,6
Berangkat ke / dari sekolah dengan
angkutan umum
Olahraga / senam intensitas rendah
Kegiatan
santai
(menonton
TV,
mengobrol)
Total
Aktivitas Berat
Tidur
Perawatan pribadi (berpakaian, mandi)
Makan
Memasak
Kerja pertanian (penanaman, menyiraman,
mencangkul)
Mengumpulkan air / kayu
Pekerjaan rumah tangga (menyapu,
mencuci pring dan pakaian dengan tangan)
Berjalan
Kegiatan
santai
(menonton
TV,
mengobrol)
Total

1
1

1,2
4,2

1,2
4,2

3

1,4

4,2

24

42,2/24 = 1,76

8
1
1
1

1
2,3
1,5
2,1

8
2,3
1,4
2,1

6

4,1

24,6

1

4,4

4,4

1

2,3

2,3

1

3,2

3,2

4

1,4

5,6

24

53,9/24 = 2,25

Sumber : FAO, 2001

Universitas Sumatera Utara

31

Besarnya aktivitas fisik dalam waktu 24 jam dinyatakan dalam PAL
(Physical Activity Level ) atau tingkat aktivitas fisik. PAL merupakan besarnya
energi yang dikeluarkan dalam kkal per kilogram berat badan dalam 24 jam
(FAO, 2001).
PAL =
Keterangan :
PAL : Physical Activity Level
PAR : Physical Activity Ratio
Berikut ini tabel aktivitas fisik standar berdasarkan nilai Physical Activity
Level (PAL).

Tabel 2.4. Kategori Aktivitas Fisik Standar Berdasarkan Nilai Physical
Activity Level (PAL).
Kategori aktivitas fisik berdasarkan nilai Physical
Nilai PAL
Activity Level (PAL).
Ringan
1,40 – 1,69
Sedang
1,70 – 1,99
Berat
2,00 – 2,40
Sumber : FAO, 2001

Berdasarkan Riskesdas 2013 kriteria aktivitas fisik dibagi dalam dua
kategori yaitu:
1. Aktif adalah individu yang melakukan aktivitas fisik berat atau sedang.
2. Kurang aktif adalah individu yang tidak melakukan aktivitas fisik sedang
atau berat.

Universitas Sumatera Utara

32

2.9. Kerangka Konsep
Kerangka konsep ini akan menjelaskan hubungan yang menyebabkan
terjadinya obesitas pada guru SMP Negeri 3 Tanjung Morawa Kecamatan
Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang. Berdasarkan landasan teori diatas
maka kerangka konsep yang dapat dibuat:

Pola Makan :
1. Jenis makanan
2. Kecukupan Gizi
3. Frekuensi makan

Obesitas

Aktivitas Fisik

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Hubungan Pola Makan dan Aktivitas Fisik
dengan Obesitas.
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa obesitas menjadi variabel
dependen, sedangkan pola makan (jenis makanan; kecukupan gizi yang terdiri dari
kecukupan energi, kecukupan karbohidrat, kecukupan protein, kecukupan lemak;
frekuensi makan), dan aktivitas fisik dapat mempengaruhi terjadinya obesitas.

Universitas Sumatera Utara