Analisis Fungsi dan Makna Verba Tetsudau dan Tasukeru Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru Tetsudau To Tasukeru No Kinou To Imi No Bunseki

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG VERBA, STUDI SEMANTIK DAN
KESINONIMAN

2.1

Verba Bahasa Jepang

2.1.1

Pengertian dan Ciri-Ciri Verba
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:1260), disebutkan bahwa verba

adalah kata yang menggambarkan proses, perbuatan atau keadaan yang disebut juga kata
kerja.
Verba dalam bahasa Jepang disebut doushi. Menurut Situmorang (2010:9),
makna doushi bila dilihat dari kanjinya yaitu:


: ugoku, dou


[bergerak]



: kotoba,shi

[kata]

動詞

: doushi

[kata yang bermakna gerakan]

Doushi menurut Situmorang (2010:9) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Dapat berdiri sendiri
2) Berkonjugasi/ mengalami perubahan bentuk
3) Bermakna sesuatu kegiatan, keberadaan atau perubahan keadaan
4) Dapat menjadi predikat dalam kalimat

Doushi adalah kata kerja yang berfungsi menjadi predikat dalam suatu kalimat,

mengalami perubahan bentuk (katsuyou) dan bisa berdiri sendiri (Sutedi, 2008:42).
Nomura dan Koike dalam Sudjianto (2004:149) berpendapat hampir sama dengan
Sutedi. Mereka menyatakan bahwa verba (doushi) adalah salah satu kelas kata dalam
bahasa Jepang, sama dengan ajektiva-i dan ajektiva-na menjadi salah satu jenis yougen.
Kelas kata ini dipakai untuk menyatakan aktivitas, keberadaan atau keadaan sesuatu.
14
Universitas Sumatera Utara

Doushi dapat mengalami perubahan (katsuyou) dan dengan sendirinya dapat menjadi

predikat.
Sedangkan Iori dalam Yusmarani (2006: 14) menyatakan bahwa verba (doushi)
adalah kata yang menyatakan peristiwa yang merupakan inti kalimat yang biasa dipakai
bersama frase dengan nomina (pelengkap), dimana melibatkan kakujoshi.
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa verba (doushi) adalah kelas kata yang menyatakan aktivitas,
keberadaan atau keadaan (peristiwa), mengalami perubahan (katsuyou), dapat berdiri
sendiri dan bisa menjadi predikat dalam suatu kalimat.

2.1.2

Jenis-Jenis Verba
Dalam buku Dasar-dasar Linguistik Bahasa Jepang, Dedi Sutedi (2008: 48)

menyatakan bahwa verba dalam bahasa Jepang digolongkan ke dalam tiga kelompok
besar berdasarkan pada bentuk konjugasinya.
1. Kelompok I (godan-doushi)
Verba kelompok ini disebut dengan 五段動詞 (godan-doushi), karena mengalami
perubahan dalam lima deretan bunyi bahasa Jepang, yaitu a-i-u-e-o (あ





え,

). Cirinya yaitu verba yang berakhiran huruf u-tsu-ru-bu-nu-mu-ku-su-gu (う



,

Contoh:



,

).
ka-u

[membeli]



ta-tsu

[berdiri]




u-ru

[menjual]

遊ぶ

aso-bu

[bermain]

15
Universitas Sumatera Utara

shi-nu

[mati]

yo-mu


[membaca]



ka-ku

[menulis]



hana-su

[berbicara]



oyo-gu

[berenang]




2. Kelompok II (ichidan-doushi)
Verba kelompok ini disebut 一段動詞 (ichidan-doushi), karena perubahannya
terjadi pada satu deretan bunyi saja. Ciri utama dari verba ini adalah verba yang
berakhiran e-ru (え

), biasa disebut ୖ一段動詞

yang berakhiran i-ru (い

)

Contoh:



miru

[melihat]




neru

[tidur]



taberu

[makan]

(kami ichidan doushi), dan verba

yang biasa disebut ୗ一段動詞 (shimo ichidan doushi).

3. Kelompok III (henkaku doushi)
Verba kelompok III yang disebut 変格動詞 (henkaku doushi)


merupakan verba

yang perubahannya tidak beraturan dan hanya terdiri dari dua verba berikut:
a. サ変動詞 (sahendoushi)

:

suru

[melakukan]

b. カ変動詞 (kahendoushi)

:

kuru

[datang]

Sementara Shimizu dalam Sudjianto (2004:150) membagi doushi kepada 3

bagian, yaitu :

16
Universitas Sumatera Utara

1. Jidoushi (自動詞

„verba intransitif‟)

Jidoushi (自動詞) merupakan verba yang tidak disertai objek penderita. Jika

dilihat dari huruf kanjinya, maka jidoushi dapat bermakna „kata yang bergerak sendiri‟.
Contoh :



iku

[pergi]




okiru

[bangun]



neru

[tidur]



deru

[keluar]



shimaru

[tertutup]

2. Tadoushi ( 動詞 ‟verba transitif‟)
Tadoushi (

動 詞 )merupakan verba yang memiliki objek penderita. Verba

tadoushi merupakan kelompok doushi yang menyatakan arti mempengaruhi pihak lain,

atau dengan kata lain ada gerakan dari subjek.
Contoh :



okosu

[membangunkan]



nekasu

[menidurkan]



dasu

[mengeluarkan]



shimeru

[menutup]

3. Shodoushi (所動詞)
Shodoushi ( 所 動 詞 ) merupakan kelompok doushi yang memasukkan

pertimbangan pembicara, maka verba ini tidak dapat diubah ke dalam bentuk pasif dan
kausatif. Selain itu, tidak memiliki bentuk perintah dan ungkapan kemauan (意思表現
ishi hyougen)

17
Universitas Sumatera Utara

Contoh :

見え

mieru

[terlihat]



iru

[ada]

kikoeru

[terdengar]

ikeru

[dapat pergi]







Selain pembagian di atas, Terada Takano dalam Sudjianto (2004:150)
menambahkan fukugou doushi, haseigo toshite no doushi dan hojo doushi sebagai jenisjenis doushi.
1. Fukugou doushi (複合動詞)
Fukugou doushi (複合動詞), adalah doushi yang terbentuk dari gabungan dua

buah kata atau lebih. Gabungan kata tersebut secara keseluruhan dianggap sebagai satu
kata.
Contoh :
Doushi + doushi





Meishi + doushi



Keiyoushi + doushi



2. Haseigo toshite no doushi

hanashiau

[berunding]

調査

choosa suru

[menyelidiki]

近寄

chikayoru

[mendekati]

合う

派生語

Haseigo toshite no doushi

動詞
動詞, adalah verba yang memakai

派生語

prefiks atau doushi yang terbentuk dari kelas kata lain dengan menambahkan prefix atau
sufiks. Kata-kata tersebut secara keseluruhan dianggap satu kata.
Contoh :

迷う


Samayou

[mondar-mandir]

Samugaru

[merasa kedinginan]

18
Universitas Sumatera Utara

3. Hojo doushi (補助動詞
Hojo doushi (補助動詞), yaitu doushi yang menjadi bunsetsu tambahan. Verba

ini menunjukkan keberadaan. Biasanya verba ini tidak muncul bersama dengan verba
bantu –iru.
Contoh :
a. あ

aru

[ada „benda mati‟]

b. い

iru

[ada „makhluk hidup‟]

morau

[menerima]

c.



Sementara itu, Seiichi Makino dan Michio Tsutsui dalam buku A Dictionary Of
Basic Japanese Grammar (1997:582) mengklasifikasikan verba secara semantik menjadi

lima jenis, yaitu:
1. Verba stative (verba yang menyatakan „diam/tetap‟)
Verba ini menunjukkan keberadaan. Biasanya verba ini tidak muncul bersama
dengan verba bantu –iru .
Contoh:
a. い

iru

[ada]

b.

dekiru

[bisa]

c. い

iru

[membutuhkan]

2. Verba Continual (verba yang menyatakan „selalu, terus-menerus‟)
Verba ini berkonjugasi dengan verba bantu

–iru untuk menunjukkan aspek

pergerakan.

19
Universitas Sumatera Utara

Contoh:
a. 食

taberu [makan]

→ 食



tabeteiru [sedang makan]

b. 飲

nomu [minum]

→飲



nondeiru [sedang minum]

3. Verba Punctual
Verba ini berkonjugasi dengan verba bantu –iru untuk menunjukkan tindakan
atau perbuatan yang berulang-ulang atau suatu tingkatan/posisi setelah melakukan suatu
tindakan atau penempatan suatu benda.

Contoh:
a. 知

shiru [mengetahui]

→知



shitteiru [mengetahui]

b. 打

utsu [memukul]

→打



utteiru [memukuli]

4. Verba Non-Volitional (verba yang menyatakan „bukan kemauan‟)
Verba ini biasanya tidak memiliki bentuk ingin, bentuk perintah, dan bentuk
kesanggupan. Verba ini diklasifikasikan sebagai verba berkenaan dengan emosi atau
perasaan dan verba yang tidak berkenaan dengan perasaan emosi.
Contoh:
a.

b.



konomu

[menyukai; berkenaan dengan perasaan]

mieru

[kelihatan; tidak berkenaan dengan perasaan]

20
Universitas Sumatera Utara

5. Verba Movement (verba yang menyatakan „pergerakan‟)
Verba ini menunjukkan gerakan.
Contoh:
a. 歩

aruku

[berjalan]

b. 帰

kaeru

[kembali/pulang]

2.1.3

Fungsi Verba
Sebelum membahas lebih lanjut tentang fungsi verba, penulis merasa penting

untuk terlebih dahulu menjelaskan makna dari kata „fungsi‟ itu sendiri. Berikut beberapa
pengertian fungsi, adalah sebagai berikut:
a.

Menurut KBBI (2008:322), fungsi adalah nomina 1. Jabatan (pekerjaan) yang
dilakukan; 2. Faal (kerja suatu bagian tubuh); matematika 3. Besaran yang
berhubungan; 4. Kegunaan suatu hal; linguistik 5.peran sebuah unsur bahasa dalam
satuan sintaksis yang lebih luas (seperti nomina yang berperan sebagai subjek).

b.

Menurut Kridalaksana (1982:65), fungsi adalah 1. Beban makna suatu kesatuan
bahasa; 2. Hubungan antara satu satuan dengan unsur-unsur gramatikal, leksikal atau
kronologis dalam suatu deret satu-satuan; 3. Penggunaan bahasa untuk tujuan
tertentu; 4. Peran unsur dalam satu ujaran dan hubungannya secara struktural dengan
unsur lain; 5. Peran sebuah unsur dalam satuan sintaksis yang lebih luas, misal
nominal yang berfungsi sebagai subjek atau objek.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi merupakan suatu peranan

unsur sintaksis dalam penggunaan bahasa yang saling berhubungan dengan unsur
gramatikal, leksikal ataupun kronologis.

21
Universitas Sumatera Utara

Pada sub bab „Pengertian Verba‟ telah dijelaskan bahwa pada umumnya verba
Bahasa Jepang terletak di akhir kalimat dan berfungsi sebagai predikat dalam sebuah
kalimat.
Contoh:
a. 私



Watashi wa shousetsu o yomu

“Saya membaca novel”
b. 家族



公園

散歩

Kazoku to isshoni kouen o sanposuru

“Saya berjalan-jalan bersama keluarga di taman”
Verba berfungsi untuk membantu verba-verba yang ada pada bagian sebelumnya
dan menjadi bagian dari predikat sebagaimana halnya fuzukugo (Sudjianto,2004:151 ).
Contoh:
a. 先生





Sensei ni hon o kashite morau

“Guru meminjamkan saya buku “
b.

務所



名前

書い



Jimusho no kokuban ni watashitachi no namae ga kaite aru.

“Di papan tulis kantor tertulis nama-nama kami“
Verba berfungsi sebagai keterangan bagi kelas kata lainnya pada sebuah kalimat,
dalam bentuk kamus selalu diakhiri dengan vocal u (Sudjianto,2004:149).
Contoh :
a. 子供







大好

Kodomo wa e ga aru hon ga daisuki desu.

22
Universitas Sumatera Utara

“Anak-anak paling suka buku yang ada gambarnya”
b.



書い



Kore wa kare ga kaita hon desu.

“Ini adalah buku karangan dia “

2.1.4 Pengertian Verba Tetsudau dan Tasukeru
2.1.4.1

Verba Tetsudau
Verba tetsudau adalah verba yang termasuk ke dalam verba kelompok I atau 五

段動詞

(goudan doushi). Menurut pakar linguistik bahasa Jepang, verba tetsudau

memiliki dua buah makna. Berikut ini akan dipaparkan tentang pengertian atau makna
dari verba tetsudau yang pertama.
a. Kamus Daijisen, dijelaskan bahwa verba tetsudau memiliki makna, yaitu:








手助

(Tanin no

助力

shigoto o tasukete isshoni hataraku. Tedasuke o suru. Joryoku suru.)

”Membantu pekerjaan orang lain dengan bekerja bersama-sama. Memberikan
pertolongan. Menyokong.”
b. Shibata dan Yamada (2002: 607) dalam Ruigo Daijiten menjelaskan bahwa tetsudau
berarti:


中心













(Koui no chuusin ni naru hito ga raku ni nattari, sono
shigoto nado ga umaku iku youni, isshoni sore o suru)

”Melakukan suatu pekerjaan bersama-sama dengan pelaku utama suatu kegiatan
untuk meringankan pekerjaan orang tersebut dan agar pekerjaannya berjalan lancar.”

23
Universitas Sumatera Utara

c. Tian (1998:497) dalam Nihongo Ruihyougen no Nyuansu no Chigai o Reishousuru
Ruigigo Tsukaiwake Jiten memaparkan makna verba tetsudau:

手伝う



自分

十分力



対象



補助的

役割
(Tetsudau = jibun demo sudeni juubun chikara no aru taishoo ni chikara o kashi,
hojoteki na yakuwari o suru.)

“Tetsudau = Meminjamkan tenaga pada orang yang telah mempunyai kekuatan yang
cukup, dan berperan menjadi asisten pembantu”.
Berdasarkan pengertian di atas, pemakaian verba tetsudau lebih ditekankan pada
kata „bersama-sama‟, oleh karena itu dapat disimpulkan tetsudau memiliki makna bahwa
pekerjaan yang dilakukan harus dilakukan bersama dengan pemilik pekerjaan. Porsi
pekerjaan orang yang membantu, tidak lebih banyak daripada orang yang dibantu,
mengingat perannya hanya meringankan pekerjaan pelaku utama. Dalam penggunaannya,
verba tetsudau tidak mengandung unsur yang membahayakan atau mengancam nyawa.
Sedangkan pengertian atau makna dari verba tetsudau yang kedua adalah seperti
yang dikemukakan oleh beberapa sumber berikut ini.
a. Koizumi dkk. dalam Nihongo Kihon Doushi Yoohoo Jiten (1989: 343), menjelaskan
bahwa verba tetsudau memiliki makna, yaitu:




要因



数え

(Aru koto o okoshita youin no

hitotsu ni kazoerareru.)

”Sesuatu yang termasuk kedalam penyebab berlangsungnya suatu hal”
b. Tim Bunkacho dalam Gaikokujin no Tame no Kihongo Yoorei Jiten (1990: 668),
dijelaskan bahwa verba tetsudau memiliki makna, yaitu:


原因

原因

わわ

(Aru genin no ue ni hoka no genin ga

kuwawaru.)

24
Universitas Sumatera Utara

”Menambahkan penyebab lain dalam suatu kejadian”
Dari pengertian di atas, makna kedua dari verba tetsudau adalah menyebutkan
penyebab atau alasan lain yang mengakibatkan terjadinya suatu perkara.

2.1.4.2

Verba Tasukeru
Verba tasukeru adalah verba yang termasuk ke dalam verba kelompok II atau 一

段動詞 (ichidan-doushi). Berikut ini akan dijelaskan tentang pengertian atau makna dari
verba tasukeru.
a. Hirose (1994: 416) menjelaskan pendapatnya tentang verba tasukeru, yaitu:




危険

除隊





良い除隊

安全

除隊



(Komatteitari kiken na jootai ni aru hito ya mono ga ii



jootai ya anzen na jyotai ni naru youni, chikara o kasu koto desu.)

”Meminjamkan tenaga untuk orang maupun benda yang berada dalam kondisi
bingung atau bahaya hingga ia berada dalam kondisi baik dan aman.”
Menurut Hirose, verba tasukeru memiliki cakupan makna yang luas, sehingga
bisa menggantikan verba tetsudau yang bermakna „meminjamkan sedikit tenaga‟.
b. Shibata dan Yamada, dalam Ruigi Daijiten (2001: 11) menjelaskan makna verba
tasukeru, adalah:




肉体的

精神的

危険

状態







自分



(Tasha ga, nikutai teki matawa seishin teki ni kiken no jootai kara

nukedaseru yooni, jibun no chikara o dasu)

”Mengeluarkan tenaga sendiri umtuk membebaskan orang lain dari keadaan bahaya
yang menimpa rohani dan jasmani”

25
Universitas Sumatera Utara

c. Shibata dan Yamada, dalam Ruigi Daijiten (2002: 607) juga menjelaskan pendapatnya
tentang makna verba tasukeru yang kedua, yaitu:
作用








状態







(Shigoto ya sakuyoo, komatteiru hito/ jootai nado o, hoka no

い状態

hito/ mono no hataraki ni yotte, yori nozomashii jootai ni suru)

“Membuat suatu pekerjaan, kegiatan, orang yang kebingungan atau suatu keadaan
menjadi lebih baik dengan pekerjaan (bantuan) orang atau benda lain”
d. Dalam Gaikokujin no Tame no Kihongo Yoorei Jiten (1990: 570) menjelaskan makna
verba tasukeru, adalah:












救う

(Komatteiru hito ya kurushinde iru hito o

sukuu)

“Menolong orang yang kesulitan atau tersiksa”
e. Tian (1998:497) dalam Nihongo Ruihyougen no Nyuansu no Chigai o Reishousuru
Ruigigo Tsukaiwake Jiten memaparkan makna verba tasukeru, adalah:




自分

和力



対象









方向



(Tasukeru = jibun dewa chikara busoku no taishou ni chikara o kashi atae, purasu no
houkou e oshi susumeru.)

“Tasukeru = Meminjamkan tenaga pada orang yang kekurangan tenaga dan
membantu menyokongnya ke arah yang lebih baik”.
Menurut pengertian di atas, makna verba tasukeru lebih ditekankan pada
menolong orang yang menderita atau kesulitan dan membantunya menjadi lebih baik.

26
Universitas Sumatera Utara

2.2

Studi Semantik

2. 2.1 Definisi Semantik
Koizumi dalam buku Kihon Doushi Yohoo Jiten (1989: 2) menyatakan bahwa
semantik (imiron) adalah mengungkapkan makna dari sebuah kata. Sedangkan menurut
Sutedi (2004:103) semantik adalah salah satu cabang linguistik (genggogaku) yang
mengkaji tentang makna. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang
digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan makna atau arti dalam
bahasa. Oleh karena itu, kata semantik seperti yang dimaksud oleh Ferdinand De
Saussure dalam Chaer (1994:2), dapat diartikan ilmu tentang makna atau arti.
Objek kajian semantik antara lain adalah makna kata (go no imi), relasi makna
(go no imi kankei) antara satu kata dengan kata yang lainnya, makna frase dalam suatu
idiom (ku no imi), dan makna kalimat (Sutedi, 2003:103).
1. Makna kata satu persatu (go no imi)
Makna setiap kata merupakan salah satu objek kajian semantik, karena
komunikasi dengan menggunakan suatu bahasa yang sama seperti bahasa Jepang, baru
akan berjalan lancar jika setiap kata yang digunakan oleh pembicara dalam komunikasi
tersebut, makna atau maksudnya sama dengan yang digunakan oleh lawan bicaranya.
Dalam bahasa Jepang banyak sinonim (ruigigo) dan sangat sulit untuk bisa
dipadankan ke dalam bahasa Indonesia satu persatu disebabkan oleh masih minimnya
buku-buku dan kamus yang bertuliskan bahasa Indonesia yang membahas secara rinci
dan jelas tentang persamaan dan perbedaan dari setiap sinonim tersebut.
2.

Relasi Makna (Go no imi kankei)
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang

satu dengan satuan bahasa lainnya (Chaer, 1994:297). Hubungan kemaknaan atau relasi
semantik ini menyangkut hal kesamaan makna (sinonim), kebalikan makna (antonim),

27
Universitas Sumatera Utara

kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponim), kelainan
makna (homonim), kelebihan makna (redudansi), dan sebagainya.
a. Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna
antara satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya (Chaer, 1994:297). Misalnya
pada verba „hanasu‟ dan „iu‟ dan „shaberu ‟.
b. Antonim adalah hubungan semantik antara dua buah ujaran yang maknanya
menyatakan kebalikan atau kontras antara satu dengan yang lainnya (Chaer,
1994:299). Misalnya pada kata „takai‟ dan „hikui‟.
c. Polisemi diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang
memiliki makna lebih dari satu (Chaer, 1994:301).
d. Ambiguitas atau ketaksaan diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau
mendua arti (Chaer, 1994:308). Misalnya frase „majalah gaya hidup baru‟ dapat
ditafsirkan sebagai (1) „majalah gaya hidup baru terbit’, atau (2) „majalah yang
memuat gaya hidup baru ’.

e. Hiponim adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya
tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain (Chaer, 1994:305). Misalnya pada
kata „ringo’ dan „kudamono‟
f. Homonim adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya kebetulan
sama, maknanya berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk
ujaran yang berlainan (Chaer, 1994:302). Misalnya pada kata „bisa‟ yang berarti
„racun‟ dan kata „bisa‟ yang berarti „sanggup, dapat‟.
g. Redudansi diartikan sebagai „berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam
suatu bentuk ujaran‟ (Chaer, 1994:310). Misalnya pada kalimat „buku yang
dibaca guru’, maknanya tidak akan berubah bila ditambah menjadi „buku yang
dibaca oleh guru’. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua dianggap redudansi.

28
Universitas Sumatera Utara

3. Makna Frase dalam satu idiom (Ku no imi)
Makna frase merupakan makna yang terkandung dalam sebuah rangkaian katakata yang disebut dengan ungkapan. Contohnya dalam bahasa Jepang ungkapan
„hon o yomu‟
dan





(membaca buku),



う„kutsu o kau‟



(membeli sepatu),

„hara ga tatsu‟ (perut berdiri = marah) merupakan suatu frase. Frase

„hon o yomu‟ dan „kutsu o kau ‟ dapat dipahami cukup dengan mengetahui makna kata
hon, kutsu, kau, dan o, ditambah dengan pemahaman tentang struktur kalimat bahwa

„nomina + o + verba ‟. Jadi, frase tersebut bisa dipahami secara leksikalnya (mojidouri
no imi). Tetapi, untuk frase „hara ga tatsu‟, meskipun seseorang mengetahui makna

setiap kata dan strukturnya, belum tentu bisa memahami makna frase tersebut, jika tidak
mengetahui makna frase secara idiomatikalnya (kanyokuteki imi).
Lain halnya dengan frase



洗う „ashi o arau‟

, ada dua makna, yaitu

secara leksikal (mojidouri no imi), yaitu mencuci kaki, dan juga secara idiomatikal
(kanyokuteki imi), yaitu berhenti berbuat jahat. Jadi, dalam bahasa Jepang ada frase yang
hanya bermakna secara leksikal saja, ada frase yang bermakna secara idiomatikal saja,
dan ada juga frase yang bermakna keduanya.
4. Makna kalimat (bun no imi)
Makna kalimat ditentukan oleh makna setiap kata dan strukturnya. Misalnya,
pada kalimat „Watashi wa Yamada san ni megane o ageru‟ (Saya memberi kacamata
pada Yamada) dan kalimat „Watashi wa Yamada san ni tokei o ageru ‟ (Saya memberi
jam pada Yamada). Jika dilihat dari strukturnya, kalimat tersebut adalah sama, yaitu „A
wa B ni C o ageru‟, tetapi maknanya berbeda. Oleh karena itu, makna kalimat ditentukan

oleh kata yang menjadi unsur kalimat tersebut.
Lain halnya dengan kalimat „Watashi wa Yamada san to Tanaka san o matte iru‟,
terdapat dua makna yang terkandung di dalamnya, yaitu [ Watashi wa ] [Yamada san to
29
Universitas Sumatera Utara

Tanaka san o] [matte iru] yang berarti (Saya menunggu Yamada dan Tanaka) dan

[Watashi wa ] [Yamada san to] [Tanaka san o matte iru] yang berarti (Saya bersama
Yamada menunggu Tanaka). Dari sini bisa diketahui bahwa dalam suatu kalimat bisa
menimbulkan makna ganda yang berbeda.

2.2.1.1

Jenis-Jenis Makna dalam Semantik
Makna merupakan salah satu kajian dalam semantik yang merupakan bagian

terpenting dalam melakukan percakapan.
Dalam KBBI ( 2008: 703) dijelaskan makna adalah 1. arti, 2. maksud pembicara
atau penulis; pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Sedangkan
menurut Kridalaksana (1982:132), makna adalah: 1. Maksud pembicara; 2. Pengaruh
penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok
manusia; 3. Hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antar bahasa atau
antar ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya; 4. Cara menggunakan lambanglambang bahasa.
Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa makna adalah arti atau
maksud dari suatu tindak tutur.
Menurut Chaer (1994: 59), sesungguhnya jenis atau tipe makna itu memang dapat
dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang, antara lain sebagai berikut.
a. Berdasarkan jenis semantiknya, dapat dibedakan menjadi makna leksikal dan
makna gramatikal.
b. Berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/leksem, dapat dibedakan
menjadi makna referensial dan makna non referensial.
c. Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem, dapat dibedakan
menjadi makna denotatif dan makna konotatif.

30
Universitas Sumatera Utara

d. Berdasarkan ketepatan maknanya, dapat dibedakan menjadi makna umum dan
makna khusus.
e. Berdasarkan kriteria atau sudut pandang lain, dapat dibedakan menjadi makna
konseptual, asosiatif, idiomatik, dan sebagainya.
Berikut pengertian makna-makna tersebut satu per satu.

1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Menurut Chaer (1994: 60) makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan
referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang
sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Sedangkan menurut Sutedi (2008: 106),
makna leksikal adalah makna kata yang sesungguhnya sesuai dengan referensinya
sebagai hasil pengamatan indera dan terlepas dari unsur gramatikalnya, atau bisa juga
dikatakan sebagai makna asli suatu kata.
Makna leksikal dalam bahasa Jepang disebut dengan
imi‟

atau

„neko‟

語彙的意味 „goiteki imi’

yang berarti „kucing‟ dan

辞書的意味 „jishoteki

. Dalam bahasa Jepang misalnya kata

学校 „gakkou‟



yang artinya „sekolah‟. Makna

leksikal dari kata „kucing‟ adalah hewan berkaki empat, berkumis, dan suka mencuri
ikan. Sedangkan makna leksikal dari kata „sekolah‟ adalah bangunan tempat para siswa
belajar.
Makna gramatikal menurut Chaer (1994: 63) adalah makna yang muncul sebagai
akibat berfungsinya sebuah kata dalam kalimat. Sedangkan menurut Sutedi (2008: 107)
makna gramatikal yaitu makna yang muncul akibat proses gramatikalnya, dan dalam
bahasa Jepang disebut
詞 „joshi‟

文法的意味 „bunpouteki imi‟

(partikel) dan

助動詞 „jodoushi‟

. Dalam bahasa Jepang,



(kopula) tidak memiliki makna

31
Universitas Sumatera Utara

leksikal, tetapi memiliki makna gramatikal, sebab baru akan jelas maknanya jika
digunakan dalam kalimat. Verba dan adjektiva memiliki kedua jenis makna tersebut,
misalnya pada kata



い„isogashii‟

dan



„taberu‟

. Bagian gokan :

(isogashi) dan (tabe) memiliki makna leksikal yaitu „sibuk‟ dan „makan‟, sedangkan
gobi-nya, yaitu {い/ i} dan {

/ ru} sebagai makna gramatikal, karena akan berubah

sesuai dengan konteks gramatikalnya. Begitu juga dengan partikel

„ni‟

, yang

secara leksikal tidak jelas maknanya, akan tetapi baru jelas maknanya ketika digunakan
dalam kalimat seperti :

メダン





„Medan ni sunde iru‟

yang bermakna

„tinggal di Medan‟.
2. Makna Referensial dan Makna Non referensial
Menurut Chaer (1994: 63), perbedaan makna referensial dan makna non
referensial adalah berdasarkan ada tidaknya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu
mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata
tersebut disebut kata bermakna referensial. Namun jika kata-kata itu tidak mempunyai
referen, maka kata tersebut merupakan kata bermakna non referensial. Kata meja dan
kursi termasuk kata yang bermakna referensial karena keduanya mempunyai referen,

yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut „meja‟ dan „kursi‟. Sebaliknya kata
karena dan tetapi tidak mempunyai referen, jadi kedua kata tersebut termasuk ke dalam

kelompok kata yang bermakna non referensial.
3. Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Chaer (1994: 65) menyebutkan pengertian makna denotatif adalah pada dasarnya
sama dengan makna leksikal dan referensial, sebab makna denotatif ini lazim diberi
penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan,
penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini
menyangkut informasi-informasi faktual objektif, dan sering disebut dengan istilah
32
Universitas Sumatera Utara

„makna sebenarnya‟. Sedangkan menurut Sutedi (2008:107), makna denotatif adalah
makna yang berkaitan dengan dunia luar bahasa seperti suatu objek atau gagasan dan
bisa dijelaskan dengan dunia luar bahasa seperti suatu objek atau gagasan dan bisa
dijelaskan dengan analisis komponen makna. Makna denotatif dalam bahasa Jepang
disebut dengan

明示的意味 „meijiteki imi‟

atau

外延 „gaien‟

.

Sedangkan

makna konotatif menurut Chaer (1994: 67) adalah makna tambahan yang sifatnya
memberi nilai rasa, baik positif maupun negatif.
Selanjutnya menurut Sutedi (2008: 107), makna konotatif disebut

暗示的意味

„anjiteki imi‟ atau 内包 „naihou‟ , yaitu makna yang ditimbulkan karena perasaan
atau pikiran pembicara dan lawan bicaranya. Misalnya pada kata
親父 „oyaji‟

父 „chichi‟

dan

kedua-duanya memiliki makna denotatif yang sama, yaitu „ayah‟, akan

tetapi memiliki nilai rasa yang berbeda. Kata „chichi‟ terkesan lebih formal dan lebih
halus, sedangkan kata „oyaji‟ terkesan lebih dekat dan akrab. Contoh lainnya adalah kata
化粧室 „keshou-shitsu‟

dan

便所„benjo‟

. Kedua kata tersebut juga merujuk

pada hal yang sama, yaitu kamar kecil, tetapi kesan dan nilai rasanya berbeda. „Keshoushitsu‟ terkesan bersih, sedangkan „benjo‟ terkesan kotor dan bau.

4. Makna Umum dan Makna Khusus
Chaer (1994: 71) mengemukakan bahwa kata dengan makna umum memiliki
pengertian dan pemakaian yang lebih luas, sedangkan kata dengan makna khusus
mempunyai pengertian dan pemakaian yang lebih terbatas. Misalnya dalam deretan
sinonim besar, agung, akbar, raya, dan kolosal. Kata besar adalah kata yang bermakna
umum dan pemakaiannya lebih luas dibandingkan dengan kata yang lainnya. Kita dapat
mengganti kata agung, akbar, raya, dan kolosal dengan kata besar secara bebas. Frase
„Tuhan yang maha Agung‟ dapat diganti dengan „Tuhan yang maha Besar ‟ ; frase „rapat

33
Universitas Sumatera Utara

akbar ‟ dapat diganti dengan „rapat besar ‟ ; frase „hari raya ‟ dapat diganti dengan „hari
besar ‟ ; dan frase „film kolosal‟ dapat diganti dengan „film besar ‟. Sebaliknya, frase

„rumah besar ‟ tidak dapat diganti dengan „rumah agung‟, „rumah raya ‟ ataupun „rumah
kolosal‟.

5. Makna Konseptual, Asosiatif, dan Idiomatik
Menurut Chaer (1994: 72), makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan
konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas dari asosiasi
atau hubungan apapun. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa sebenarnya makna
konseptual ini sama dengan makna leksikal, referensial, dan makna denotatif.
Selanjutnya, makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan
adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa. Misalnya, kata melati
berasosiasi dengan makna „suci‟ atau „kesucian‟ ; kata merah berasosiasi dengan makna
„berani‟ ; kata cenderawasih berasosiasi dengan makna „indah‟.
Sedangkan makna idiomatik menurut Chaer (1994: 75) adalah makna sebuah
satuan bahasa (kata, frase, atau kalimat) yang “menyimpang” dari makna leksikal atau
makna

gramatikal

unsur-unsur

pembentuknya.

Contohnya

adalah

pada

frase

„membanting tulang‟ dan „meja hijau‟. „Membanting tulang‟ adalah sebuah leksem
dengan makna „bekerja keras‟, dan „meja hijau‟ adalah sebuah leksem dengan makna
„pengadilan‟.

2.2.1.2

Perubahan Makna Dalam Semantik
Perubahan makna suatu kata dapat terjadi karena berbagai faktor, antara lain

perkembangan peradaban manusia pemakai bahasa tersebut, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, atau pengaruh bahasa asing. Berikut akan dijelaskan
beberapa jenis perubahan makna dalam bahasa Jepang, menurut Sutedi (2008: 108).

34
Universitas Sumatera Utara

a. Dari yang konkrit ke abstrak
頭 „atama ‟

Kata

(kepala),

腕 „ude‟

„michi‟

(lengan), serta

(jalan)

yang merupakan benda konkrit, berubah menjadi abstrak ketika digunakan seperti
berikut ini.
atama ga ii

[kepandaian]



ude ga agaru

[kemampuan]

日本語教師

nihongo-kyoushi e no michi [cara/ petunjuk]



いい

b. Dari ruang ke waktu
Kata

前 „mae‟

(depan), dan

長い „nagai‟

(panjang), yang menyatakan arti

ruang, berubah menjadi waktu seperti pada contoh berikut ini.
年前

sannen mae

[tiga tahun yang lalu]

長い時間

nagai jikan

[lama]

c. Perubahan penggunaan indera
Kata



い „ookii‟

(besar) semula diamati dengan indera penglihatan (mata),

berubah ke indera pendengaran (telinga), seperti pada
keras). Kemudian pada kata
seperti dalam



い声 „ookii koe‟

(suara

甘い „amai‟ (manis) dari indera perasa menjadi karakter

甘い子 „amai ko‟ (anak manja).

d. Dari yang khusus ke umum/ generalisasi
Kata

着 物 „kimono ‟

yang semula berarti pakaian tradisional Jepang,

digunakan untuk menunjukkan pakaian secara umum

服 „fuku‟

dan sebagainya.

35
Universitas Sumatera Utara

e. Dari yang umum ke khusus/ spesialisasi
Kata

花 „hana ‟

(bunga secara umum) dan

卵 „tamago‟

(telur secara

umum) digunakan untuk menunjukkan hal yang lebih khusus seperti dalam penggunaan
berikut.
花見




hana-mi

[bunga Sakura]

tamago o taberu

[telur ayam]

f. Perubahan nilai positif
Contoh dari kata yang mengalami perubahan nilai positif salah satunya adalah
kata

僕 „boku‟

(saya) yang dulu digunakan untuk budak atau pelayan, tetapi

sekarang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan adanya
perubahan nilai, dari yang kurang baik menjadi baik.
g. Perubahan nilai negatif
Contoh dari kata yang mengalami perubahan nilai negatif salah satunya adalah
kata


貴様 „kisama ‟
„anata ‟

(kamu) yang dulu sering digunakan untuk menunjukkan kata
(anda) , tetapi sekarang digunakan hanya kepada orang yang

dianggap rendah saja. Hal ini menunjukkan adanya perubahan nilai, dari yang baik
menjadi kurang baik.

2.2.1.3

Manfaat Mempelajari Semantik
Manfaat yang dapat kita petik dari studi semantik sangat tergantung dari bidang

apa yang kita geluti dalam tugas kita sehari-hari, (Chaer, 1994: 11). Bagi seorang
wartawan, reporter, atau orang-orang yang berkecimpung dalam dunia persuratkabaran
dan pemberitaan, mereka mungkin akan memperoleh manfaat praktis dari pengetahuan
mengenai semantik. Pengetahuan semantik akan memudahkannya dalam memilih dan

36
Universitas Sumatera Utara

menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan informasi kepada
masyarakat umum.
Bagi mereka yang berkecimpung dalam penelitian bahasa, pengetahuan semantik
akan banyak memberi bekal teoritis untuk dapat menganalisis kata atau bahasa-bahasa
yang sedang dipelajarinya. Sedangkan bagi seorang guru atau calon guru, pengetahuan
mengenai semantik akan memberi manfaat teoritis, karena sebagai seorang guru bahasa
haruslah mengerti dengan sungguh-sungguh tentang bahasa yang akan diajarkannya.
Sedangkan manfaat praktis yang diperoleh dari mempelajari teori semantik adalah
pemahaman yang lebih mendalam mengenai makna dari suatu kata yang makna katanya
berdekatan atau memiliki kemiripan arti.

2.2.2

Kesinoniman
Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia maupun bahasa Jepang,

seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah
kata dengan kata lainnya. Hal ini berkaitan dengan relasi makna. Relasi makna adalah
hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa
yang lainnya (Chaer, 2007: 297). Satuan bahasa di sini dapat berupa kata, frase, maupun
kalimat. Relasi makna ini dapat menyatakan kesamaan makna (sinonim), pertentangan
makna (antonim), ketercakupan makna (hiponim), kegandaan makna (polisemi dan
ambiguitas), dan kelebihan makna (redudansi).
Apabila suatu kata memiliki makna yang hampir sama (mirip) dengan satu atau
lebih kata yang lain, maka dapat dikatakan bahwa kata-kata tersebut memiliki hubungan
atau relasi makna yang termasuk ke dalam sinonim. Sinonim adalah hubungan semantik
yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan
ujaran lainnya (Chaer, 2007: 267). Akan tetapi meskipun bersinonim, maknanya tidak

37
Universitas Sumatera Utara

akan persis sama. Hal ini dikarenakan tidak ada sinonim yang maknanya akan sama
persis seratus persen. Dalam konteks tertentu, pasti akan ditemukan suatu perbedaannya
meskipun kecil. Ketidaksamaan ini terjadi karena berbagai faktor, antara lain faktor
waktu, faktor tempat atau wilayah, faktor keformalan, faktor sosial, faktor bidang
kegiatan, dan faktor nuansa makna.
類義語„ruigigo‟

Dalam bahasa Jepang, sinonim dikenal dengan istilah

.

Menurut Sutedi (2003: 115), perbedaan dari dua kata atau lebih yang memiliki relasi atau
類 義 関 係 „ruigi-kankei‟

hubungan kesinoniman

dapat ditemukan dengan cara

melakukan analisis terhadap nuansa makna dari setiap kata tersebut. Misalnya pada kata
agaru dan noboru yang kedua-duanya berarti „naik‟, dapat ditemukan perbedaannya

sebagai berikut.
:

或経路



合わ

移動

Noboru

: Shita kara ue e wakukeiro ni shouten o awasete idou suru

Noboru

: berpindah dari bawah ke atas dengan fokus jalan yang dilalui



:

Agaru

: Shita kara ue e toutatsuten ni shouten o awasete idou suru

Agaru

: berpindah dari bawah ke atas dengan fokus tempat tujuan





合わ

移動

Jadi, perbedaan verba agaru dan noboru terletak pada fokus
gerak tersebut. Verba agaru menekankan pada tempat tujuan





„shouten‟

„toutatsuten‟

dalam arti tibanya di tempat tujuan tersebut (hasil), sedangkan noboru menekankan pada
jalan yang dilalui

経路 „keiro‟

dari gerak tersebut (proses). Kata tersebut dapat

tersampaikan dengan baik.

38
Universitas Sumatera Utara

2.2.3

Pilihan Kata
Kata-kata yang bersinonim ada yang dapat saling menggantikan ada pula yang

tidak. Karena itu, kita harus memilihnya secara tepat dan seksama untuk menghindari
kerancuan dalam menginterpretasikan maknanya. Hal ini berkaitan dengan pilihan kata
atau diksi. Dalam bahasa Indonesia, kata diksi berasal dari kata dictionary (bahasa
Inggris yang kata dasarnya diction) yang berarti perihal pemilihan kata. Menurut Keraf
(2006: 24) pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansanuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan
bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok
masyarakat pendengar.
Diksi atau pilihan kata harus berdasarkan tiga tolok ukur, yaitu ketepatan,
kebenaran, dan kelaziman. Kata yang tepat adalah kata yang mempunyai makna yang
dapat mengungkapkan gagasan secara cermat sesuai dengan gagasan pemakai bahasa.
Kata yang benar adalah kata yang diucapkan atau ditulis sesuai dengan bentuk yang
benar, yaitu sesuai dengan kaidah kebahasaan. Kata yang lazim berarti bahwa kata yang
dipakai adalah dalam bentuk yang sudah dibiasakan dan bukan merupakan bentuk yang
dibuat-buat.
Berdasarkan konsep dari pilihan kata di atas, kata yang maknanya hampir sama
atau yang disebut sinonim harus dapat dipilih dengan tepat sesuai dengan situasi dan
konteks kalimatnya, agar gagasan yang terkandung di dalam makna kata tersebut dapat
tersampaikan dengan baik.

39
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Analisis Fungsi Dan Makna Verba Utsu Dan Tataku Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru (Utsu) To (Tataku) No Kinou To Imi No Bunseki

3 113 70

Analisis Fungsi Dan Makna Fukushi Kanari Dan Zuibun Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou ni Okeru Zuibun To Kanari To Iu Fukushi No Imi To Kiinou No Bunseki

14 146 97

Analisis Fungsi dan Makna Verba Tetsudau dan Tasukeru Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru Tetsudau To Tasukeru No Kinou To Imi No Bunseki

1 48 102

ANALISIS PENGGUNAAN VERBA BERSINONIM TETSUDAU, TASUKERU, DAN SUKUU DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG.

3 9 38

Analisis Fungsi dan Makna Verba Tetsudau dan Tasukeru Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru Tetsudau To Tasukeru No Kinou To Imi No Bunseki

0 0 9

Analisis Fungsi dan Makna Verba Tetsudau dan Tasukeru Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru Tetsudau To Tasukeru No Kinou To Imi No Bunseki

0 0 7

Analisis Fungsi dan Makna Verba Tetsudau dan Tasukeru Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru Tetsudau To Tasukeru No Kinou To Imi No Bunseki

0 1 13

Analisis Fungsi dan Makna Verba Tetsudau dan Tasukeru Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru Tetsudau To Tasukeru No Kinou To Imi No Bunseki

0 0 3

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Analisis Fungsi Dan Makna Verba Utsu Dan Tataku Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru (Utsu) To (Tataku) No Kinou To Imi No Bunseki

0 1 10

Analisis Fungsi Dan Makna Fukushi Kanari Dan Zuibun Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou ni Okeru Zuibun To Kanari To Iu Fukushi No Imi To Kiinou No Bunseki

0 1 37