Analisis Fungsi dan Makna Verba Tetsudau dan Tasukeru Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru Tetsudau To Tasukeru No Kinou To Imi No Bunseki

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Asano, Tsuruko. 1990. Gaikokujin no Tame no Kihongo Yoorei Jiten. Tokyo: Bunkacho Badudu dan Zain. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Chaer, Abdul. 1994. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta ___________ 1994. Linguistik Umum. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Dahidi, Sudjianto dan Ahmad. 2004. Pengantar Linguistik Bahasa Jepang. Jakarta: Kesaint Blanc

Djajasudarma, T. Fatimah. 2006. Metode Linguistik. Bandung: PT. Refika Aditama Fauziah, MA. 2006. Perubahan Makna Leksikal Kata Kerja Bahasa Indonesia dari

Bahasa Arab. USU Repository

Hirose, Masayoshi, dkk. 1994. Effective Japanese Usage Guide. Tokyo: Kodansha Ltd. Isyandi. 2003. Strategi Penyusunan Rencana Penelitian Berdaya Saing Tinggi. Pekan

Baru: Universitas Riau

Izuhara, Shouji. 1998. Ruigigo Tsukaiwake Jiten. Tokyo: Kenkyuusha.

Keraf, Gorys. 2006. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Keraf, Samapra. 2005. Kadhipta. Jakarta: Balai Pustaka


(2)

Koizumi, Tamotsu dkk. 1989. Nihongo Kihon Doushi Yoohoo Jiten. Tokyo: Taishuukan Shoten

Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama. ________ 2008. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Kurnia, Wahyudin. 2006. Analisis Penggunaan Ruigigo Yang Berarti Keadaan (Studi Analisis Deskriptif Terhadap Ruigigo Joutai, Baai, Guai Dalam Tata Kalimat Bahasa Jepang). Skripsi Program Studi Sastra Jepang Universitas Komputer Indonesia Bandung, Fakultas Sastra : Tidak Dipublikasikan

Kushartanti, Untung Yuwono. 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: GramediaPustakaUtama.

Matsumura, Akira. 1998. Daijisen. Tokyo: Shogakukan

Mihara, Kenichi. 2004. Asupekuto Kaishaku To Tougo Genshou. Tokyo. Shouhakusha. Nemoto, Toshizo. 2012. Inu to Boku. Tokyo: David Production

Parera, Jos Daniel. 2004. Teori Semantik Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga Sei. 2013. Pastel Kazoku. Tokyo: Comico

Seiichi, Makino dan Michio Tsutsui. 1997. A Dictionary of Basic Japanese Grammar. Tokyo: The Japan Times.

Shibata, Takeshi & Yamada Susumu. (2002). Ruigo Daijiten. Tokyo: Kodansha Shirodaira, Kyo. 2012. Zetsuen no Tempest. Tokyo: Bones.


(3)

Situmorang, Hamzon. 2010. Pengantar Linguistik Bahasa Jepang (Edisi Revisi). Medan: USU Press.

Sutedi, Dedi. 2005. Pengantar Penelitian Pendidikan Bahasa Jepang. Bandung: UPI __________ 2008. Dasar-dasar Linguistik Bahasa Jepang. Bandung: Humaniora. Saeed, John I. 2003. Semantics. New York: Wiley Publishing

Tian, Zhongkui, dkk. 1998. Nihongo Ruihyoogen no Nyuansu no Chigai o Reishoosuru Ruigigo Tsukaiwake Jiten. Tokyo: Kenkyuusha Shuppan

Watanabe, Chiho. (2014). First Class. Tokyo: Fuji TV

Yusmarani. 2006. Analisis Penggunaan Verba Hanasu, Iu, dan Shaberu dalam Novel Toto chan (Ditinjau dari segi Semantik). USU Repository

Http://elib.unikom.ac.id . Dikutip pada 04 Januari 2015


(4)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG VERBA, STUDI SEMANTIK DAN KESINONIMAN

2.1 Verba Bahasa Jepang

2.1.1 Pengertian dan Ciri-Ciri Verba

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:1260), disebutkan bahwa verba adalah kata yang menggambarkan proses, perbuatan atau keadaan yang disebut juga kata kerja.

Verba dalam bahasa Jepang disebut doushi. Menurut Situmorang (2010:9), makna doushi bila dilihat dari kanjinya yaitu:

: ugoku, dou [bergerak]

: kotoba,shi [kata]

動詞 : doushi [kata yang bermakna gerakan] Doushi menurut Situmorang (2010:9) memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Dapat berdiri sendiri

2) Berkonjugasi/ mengalami perubahan bentuk

3) Bermakna sesuatu kegiatan, keberadaan atau perubahan keadaan 4) Dapat menjadi predikat dalam kalimat

Doushi adalah kata kerja yang berfungsi menjadi predikat dalam suatu kalimat, mengalami perubahan bentuk (katsuyou) dan bisa berdiri sendiri (Sutedi, 2008:42).

Nomura dan Koike dalam Sudjianto (2004:149) berpendapat hampir sama dengan Sutedi. Mereka menyatakan bahwa verba (doushi) adalah salah satu kelas kata dalam bahasa Jepang, sama dengan ajektiva-i dan ajektiva-na menjadi salah satu jenis yougen. Kelas kata ini dipakai untuk menyatakan aktivitas, keberadaan atau keadaan sesuatu.


(5)

Doushi dapat mengalami perubahan (katsuyou) dan dengan sendirinya dapat menjadi predikat.

Sedangkan Iori dalam Yusmarani (2006: 14) menyatakan bahwa verba (doushi) adalah kata yang menyatakan peristiwa yang merupakan inti kalimat yang biasa dipakai bersama frase dengan nomina (pelengkap), dimana melibatkan kakujoshi.

Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa verba (doushi) adalah kelas kata yang menyatakan aktivitas, keberadaan atau keadaan (peristiwa), mengalami perubahan (katsuyou), dapat berdiri sendiri dan bisa menjadi predikat dalam suatu kalimat.

2.1.2 Jenis-Jenis Verba

Dalam buku Dasar-dasar Linguistik Bahasa Jepang, Dedi Sutedi (2008: 48) menyatakan bahwa verba dalam bahasa Jepang digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan pada bentuk konjugasinya.

1. Kelompok I (godan-doushi)

Verba kelompok ini disebut dengan 五段動詞 (godan-doushi), karena mengalami perubahan dalam lima deretan bunyi bahasa Jepang, yaitu a-i-u-e-o (あ い う え,

). Cirinya yaitu verba yang berakhiran huruf u-tsu-ru-bu-nu-mu-ku-su-gu (う ぶ , , ).

Contoh: う ka-u [membeli]

ta-tsu [berdiri] 売 u-ru [menjual] 遊ぶ aso-bu [bermain]


(6)

shi-nu [mati]

yo-mu [membaca]

ka-ku [menulis]

hana-su [berbicara] 泳 oyo-gu [berenang] 2. Kelompok II (ichidan-doushi)

Verba kelompok ini disebut 一 段 動 詞 (ichidan-doushi), karena perubahannya terjadi pada satu deretan bunyi saja. Ciri utama dari verba ini adalah verba yang berakhiran e-ru (え ), biasa disebut ୖ一段動詞 (kami ichidan doushi), dan verba yang berakhiran i-ru (い ) yang biasa disebut ୗ一段動詞 (shimo ichidan doushi).

Contoh: 見 miru [melihat]

neru [tidur]

taberu [makan]

3. Kelompok III (henkaku doushi)

Verba kelompok III yang disebut 変格動詞 (henkaku doushi) merupakan verba yang perubahannya tidak beraturan dan hanya terdiri dari dua verba berikut:

a. サ変動詞 (sahendoushi) : suru [melakukan]

b. カ変動詞 (kahendoushi) : kuru [datang]

Sementara Shimizu dalam Sudjianto (2004:150) membagi doushi kepada 3 bagian, yaitu :


(7)

1. Jidoushi (自動詞 „verba intransitif‟)

Jidoushi (自 動 詞) merupakan verba yang tidak disertai objek penderita. Jika dilihat dari huruf kanjinya, maka jidoushi dapat bermakna „kata yang bergerak sendiri‟.

Contoh : 行 iku [pergi]

okiru [bangun]

neru [tidur]

deru [keluar]

shimaru [tertutup]

2. Tadoushi ( 動詞 ‟verba transitif‟)

Tadoushi ( 動 詞)merupakan verba yang memiliki objek penderita. Verba tadoushi merupakan kelompok doushi yang menyatakan arti mempengaruhi pihak lain, atau dengan kata lain ada gerakan dari subjek.

Contoh : 起 okosu [membangunkan]

nekasu [menidurkan]

dasu [mengeluarkan]

shimeru [menutup]

3. Shodoushi (所動詞)

Shodoushi ( 所 動 詞 ) merupakan kelompok doushi yang memasukkan pertimbangan pembicara, maka verba ini tidak dapat diubah ke dalam bentuk pasif dan kausatif. Selain itu, tidak memiliki bentuk perintah dan ungkapan kemauan (意思表現 ishi hyougen)


(8)

Contoh : 見え mieru [terlihat]

iru [ada]

聞 え kikoeru [terdengar]

ikeru [dapat pergi]

Selain pembagian di atas, Terada Takano dalam Sudjianto (2004:150) menambahkan fukugou doushi, haseigo toshite no doushi dan hojo doushi sebagai jenis-jenis doushi.

1. Fukugou doushi (複合動詞)

Fukugou doushi (複合動詞), adalah doushi yang terbentuk dari gabungan dua buah kata atau lebih. Gabungan kata tersebut secara keseluruhan dianggap sebagai satu kata.

Contoh :

Doushi + doushi  話 合う hanashiau [berunding]

Meishi + doushi  調査 choosa suru [menyelidiki]

Keiyoushi + doushi  近寄 chikayoru [mendekati]

2. Haseigo toshite no doushi 派生語 動詞

Haseigo toshite no doushi 派生語 動詞, adalah verba yang memakai prefiks atau doushi yang terbentuk dari kelas kata lain dengan menambahkan prefix atau sufiks. Kata-kata tersebut secara keseluruhan dianggap satu kata.

Contoh : 迷う Samayou [mondar-mandir] 寒 Samugaru [merasa kedinginan]


(9)

3. Hojo doushi (補助動詞

Hojo doushi (補助動詞), yaitu doushi yang menjadi bunsetsu tambahan. Verba ini menunjukkan keberadaan. Biasanya verba ini tidak muncul bersama dengan verba bantu –iru.

Contoh :

a. あ aru [ada „benda mati‟] b. い iru [ada „makhluk hidup‟]

c. う morau [menerima]

Sementara itu, Seiichi Makino dan Michio Tsutsui dalam buku A Dictionary Of Basic Japanese Grammar (1997:582) mengklasifikasikan verba secara semantik menjadi lima jenis, yaitu:

1. Verba stative (verba yang menyatakan „diam/tetap‟)

Verba ini menunjukkan keberadaan. Biasanya verba ini tidak muncul bersama dengan verba bantu –iru.

Contoh:

a. い iru [ada]

b. dekiru [bisa]

c. い iru [membutuhkan]

2. Verba Continual (verba yang menyatakan „selalu, terus-menerus‟)

Verba ini berkonjugasi dengan verba bantu –iru untuk menunjukkan aspek pergerakan.


(10)

Contoh:

a. 食 taberu [makan] → 食 い tabeteiru [sedang makan] b. 飲 nomu [minum] → 飲 い nondeiru [sedang minum] 3. Verba Punctual

Verba ini berkonjugasi dengan verba bantu –iru untuk menunjukkan tindakan atau perbuatan yang berulang-ulang atau suatu tingkatan/posisi setelah melakukan suatu tindakan atau penempatan suatu benda.

Contoh:

a. 知 shiru [mengetahui] →知 い shitteiru [mengetahui]

b. 打 utsu [memukul] →打 い utteiru [memukuli]

4. Verba Non-Volitional (verba yang menyatakan „bukankemauan‟)

Verba ini biasanya tidak memiliki bentuk ingin, bentuk perintah, dan bentuk kesanggupan. Verba ini diklasifikasikan sebagai verba berkenaan dengan emosi atau perasaan dan verba yang tidak berkenaan dengan perasaan emosi.

Contoh:

a. konomu [menyukai; berkenaan dengan perasaan] b. え mieru [kelihatan; tidak berkenaan dengan perasaan]


(11)

5. Verba Movement (verba yang menyatakan „pergerakan‟) Verba ini menunjukkan gerakan.

Contoh:

a. 歩 aruku [berjalan]

b. 帰 kaeru [kembali/pulang]

2.1.3 Fungsi Verba

Sebelum membahas lebih lanjut tentang fungsi verba, penulis merasa penting untuk terlebih dahulu menjelaskan makna dari kata „fungsi‟ itu sendiri. Berikut beberapa pengertian fungsi, adalah sebagai berikut:

a. Menurut KBBI (2008:322), fungsi adalah nomina 1. Jabatan (pekerjaan) yang dilakukan; 2. Faal (kerja suatu bagian tubuh); matematika 3. Besaran yang berhubungan; 4. Kegunaan suatu hal; linguistik 5.peran sebuah unsur bahasa dalam satuan sintaksis yang lebih luas (seperti nomina yang berperan sebagai subjek). b. Menurut Kridalaksana (1982:65), fungsi adalah 1. Beban makna suatu kesatuan

bahasa; 2. Hubungan antara satu satuan dengan unsur-unsur gramatikal, leksikal atau kronologis dalam suatu deret satu-satuan; 3. Penggunaan bahasa untuk tujuan tertentu; 4. Peran unsur dalam satu ujaran dan hubungannya secara struktural dengan unsur lain; 5. Peran sebuah unsur dalam satuan sintaksis yang lebih luas, misal nominal yang berfungsi sebagai subjek atau objek.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi merupakan suatu peranan unsur sintaksis dalam penggunaan bahasa yang saling berhubungan dengan unsur gramatikal, leksikal ataupun kronologis.


(12)

Pada sub bab „Pengertian Verba‟ telah dijelaskan bahwa pada umumnya verba Bahasa Jepang terletak di akhir kalimat dan berfungsi sebagai predikat dalam sebuah kalimat.

Contoh:

a. 私 小

Watashi wa shousetsu o yomu “Saya membaca novel”

b. 家族 い 公園 散歩

Kazoku to isshoni kouen o sanposuru

“Saya berjalan-jalan bersama keluarga di taman”

Verba berfungsi untuk membantu verba-verba yang ada pada bagian sebelumnya dan menjadi bagian dari predikat sebagaimana halnya fuzukugo (Sudjianto,2004:151 ). Contoh:

a.先生 本 う Sensei ni hon o kashite morau “Guru meminjamkan saya buku “

b. 務所 私 名前 書い あ

Jimusho no kokuban ni watashitachi no namae ga kaite aru. “Di papan tulis kantor tertulis nama-nama kami“

Verba berfungsi sebagai keterangan bagi kelas kata lainnya pada sebuah kalimat, dalam bentuk kamus selalu diakhiri dengan vocal u (Sudjianto,2004:149).

Contoh :

a. 子供 絵 あ 本 大好


(13)

“Anak-anak paling suka buku yang ada gambarnya”

b. 彼 書い 本

Kore wa kare ga kaita hon desu. “Ini adalah buku karangan dia “

2.1.4 Pengertian Verba Tetsudau dan Tasukeru 2.1.4.1 Verba Tetsudau

Verba tetsudau adalah verba yang termasuk ke dalam verba kelompok I atau 五 段 動 詞 (goudan doushi). Menurut pakar linguistik bahasa Jepang, verba tetsudau memiliki dua buah makna. Berikut ini akan dipaparkan tentang pengertian atau makna dari verba tetsudau yang pertama.

a. Kamus Daijisen, dijelaskan bahwa verba tetsudau memiliki makna, yaitu:

人 助 い 働 手 助 助 力 (Tanin no

shigoto o tasukete isshoni hataraku. Tedasuke o suru. Joryoku suru.)

”Membantu pekerjaan orang lain dengan bekerja bersama-sama. Memberikan pertolongan. Menyokong.”

b. Shibata dan Yamada (2002: 607) dalam Ruigo Daijiten menjelaskan bahwa tetsudau berarti:

行 中心 人 楽 う い う い

(Koui no chuusin ni naru hito ga raku ni nattari, sono shigoto nado ga umaku iku youni, isshoni sore o suru)

”Melakukan suatu pekerjaan bersama-sama dengan pelaku utama suatu kegiatan untuk meringankan pekerjaan orang tersebut dan agar pekerjaannya berjalan lancar.”


(14)

c. Tian (1998:497) dalam Nihongo Ruihyougen no Nyuansu no Chigai o Reishousuru Ruigigo Tsukaiwake Jiten memaparkan makna verba tetsudau:

手 伝う う 自分 十分力 あ 対象 力 補助的 役割

(Tetsudau = jibun demo sudeni juubun chikara no aru taishoo ni chikara o kashi, hojoteki na yakuwari o suru.)

Tetsudau = Meminjamkan tenaga pada orang yang telah mempunyai kekuatan yang cukup, dan berperan menjadi asisten pembantu”.

Berdasarkan pengertian di atas, pemakaian verba tetsudau lebih ditekankan pada kata „bersama-sama‟, oleh karena itu dapat disimpulkan tetsudau memiliki makna bahwa pekerjaan yang dilakukan harus dilakukan bersama dengan pemilik pekerjaan. Porsi pekerjaan orang yang membantu, tidak lebih banyak daripada orang yang dibantu, mengingat perannya hanya meringankan pekerjaan pelaku utama. Dalam penggunaannya, verba tetsudau tidak mengandung unsur yang membahayakan atau mengancam nyawa.

Sedangkan pengertian atau makna dari verba tetsudau yang kedua adalah seperti yang dikemukakan oleh beberapa sumber berikut ini.

a. Koizumi dkk. dalam Nihongo Kihon Doushi Yoohoo Jiten (1989: 343), menjelaskan bahwa verba tetsudau memiliki makna, yaitu:

あ 起 要 因 一 数 え (Aru koto o okoshita youin no

hitotsu ni kazoerareru.)

”Sesuatu yang termasuk kedalam penyebab berlangsungnya suatu hal”

b. Tim Bunkacho dalam Gaikokujin no Tame no Kihongo Yoorei Jiten (1990: 668), dijelaskan bahwa verba tetsudau memiliki makna, yaitu:

あ 原因 原因 わわ (Aru genin no ue ni hoka no genin ga kuwawaru.)


(15)

”Menambahkan penyebab lain dalam suatu kejadian”

Dari pengertian di atas, makna kedua dari verba tetsudau adalah menyebutkan penyebab atau alasan lain yang mengakibatkan terjadinya suatu perkara.

2.1.4.2 Verba Tasukeru

Verba tasukeru adalah verba yang termasuk ke dalam verba kelompok II atau一 段動詞 (ichidan-doushi). Berikut ini akan dijelaskan tentang pengertian atau makna dari verba tasukeru.

a. Hirose (1994: 416) menjelaskan pendapatnya tentang verba tasukeru, yaitu:

困 い 危険 除隊 あ 人 良い除隊 安全 除隊 う 力 (Komatteitari kiken na jootai ni aru hito ya mono ga ii jootai ya anzen na jyotai ni naru youni, chikara o kasu koto desu.)

”Meminjamkan tenaga untuk orang maupun benda yang berada dalam kondisi bingung atau bahaya hingga ia berada dalam kondisi baik dan aman.”

Menurut Hirose, verba tasukeru memiliki cakupan makna yang luas, sehingga bisa menggantikan verba tetsudau yang bermakna „meminjamkan sedikit tenaga‟.

b. Shibata dan Yamada, dalam Ruigi Daijiten (2001: 11) menjelaskan makna verba tasukeru, adalah:

者 肉体的 精神的 危険 状態 抜 出 う 自分 力 出 (Tasha ga, nikutai teki matawa seishin teki ni kiken no jootai kara nukedaseru yooni, jibun no chikara o dasu)

”Mengeluarkan tenaga sendiri umtuk membebaskan orang lain dari keadaan bahaya yang menimpa rohani dan jasmani”


(16)

c. Shibata dan Yamada, dalam Ruigi Daijiten (2002: 607) juga menjelaskan pendapatnya tentang makna verba tasukeru yang kedua, yaitu:

作用 困 い 人 状態 人 物 働

望 い状態 (Shigoto ya sakuyoo, komatteiru hito/ jootai nado o, hoka no hito/ mono no hataraki ni yotte, yori nozomashii jootai ni suru)

“Membuat suatu pekerjaan, kegiatan, orang yang kebingungan atau suatu keadaan menjadi lebih baik dengan pekerjaan (bantuan) orang atau benda lain”

d. Dalam Gaikokujin no Tame no Kihongo Yoorei Jiten (1990: 570) menjelaskan makna verba tasukeru, adalah:

困 い 人 苦 い 人 救う (Komatteiru hito ya kurushinde iru hito o sukuu)

“Menolong orang yang kesulitan atau tersiksa”

e. Tian (1998:497) dalam Nihongo Ruihyougen no Nyuansu no Chigai o Reishousuru Ruigigo Tsukaiwake Jiten memaparkan makna verba tasukeru, adalah:

助 自分 和力 足 対象 力 え プ ス 方向

推 進

(Tasukeru = jibun dewa chikara busoku no taishou ni chikara o kashi atae, purasu no houkou e oshi susumeru.)

Tasukeru = Meminjamkan tenaga pada orang yang kekurangan tenaga dan membantu menyokongnya ke arah yang lebih baik”.

Menurut pengertian di atas, makna verba tasukeru lebih ditekankan pada menolong orang yang menderita atau kesulitan dan membantunya menjadi lebih baik.


(17)

2.2 Studi Semantik 2. 2.1 Definisi Semantik

Koizumi dalam buku Kihon Doushi Yohoo Jiten (1989: 2) menyatakan bahwa semantik (imiron) adalah mengungkapkan makna dari sebuah kata. Sedangkan menurut Sutedi (2004:103) semantik adalah salah satu cabang linguistik (genggogaku) yang mengkaji tentang makna. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata semantik seperti yang dimaksud oleh Ferdinand De Saussure dalam Chaer (1994:2), dapat diartikan ilmu tentang makna atau arti.

Objek kajian semantik antara lain adalah makna kata (go no imi), relasi makna (go no imi kankei) antara satu kata dengan kata yang lainnya, makna frase dalam suatu idiom (ku no imi), dan makna kalimat (Sutedi, 2003:103).

1. Makna kata satu persatu (go no imi)

Makna setiap kata merupakan salah satu objek kajian semantik, karena komunikasi dengan menggunakan suatu bahasa yang sama seperti bahasa Jepang, baru akan berjalan lancar jika setiap kata yang digunakan oleh pembicara dalam komunikasi tersebut, makna atau maksudnya sama dengan yang digunakan oleh lawan bicaranya.

Dalam bahasa Jepang banyak sinonim (ruigigo) dan sangat sulit untuk bisa dipadankan ke dalam bahasa Indonesia satu persatu disebabkan oleh masih minimnya buku-buku dan kamus yang bertuliskan bahasa Indonesia yang membahas secara rinci dan jelas tentang persamaan dan perbedaan dari setiap sinonim tersebut.

2. Relasi Makna (Go no imi kankei)

Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya (Chaer, 1994:297). Hubungan kemaknaan atau relasi semantik ini menyangkut hal kesamaan makna (sinonim), kebalikan makna (antonim),


(18)

kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponim), kelainan makna (homonim), kelebihan makna (redudansi), dan sebagainya.

a. Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya (Chaer, 1994:297). Misalnya pada verba „hanasu‟ dan „iu‟ dan „shaberu‟.

b. Antonim adalah hubungan semantik antara dua buah ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan atau kontras antara satu dengan yang lainnya (Chaer, 1994:299). Misalnya pada kata „takai‟ dan „hikui‟.

c. Polisemi diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu (Chaer, 1994:301).

d. Ambiguitas atau ketaksaan diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti (Chaer, 1994:308). Misalnya frase „majalah gaya hidup baru‟ dapat ditafsirkan sebagai (1) „majalah gaya hidup baru terbit’, atau (2) „majalah yang memuat gaya hidup baru’.

e. Hiponim adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain (Chaer, 1994:305). Misalnya pada kata „ringo’ dan „kudamono

f. Homonim adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya kebetulan sama, maknanya berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan (Chaer, 1994:302). Misalnya pada kata „bisa‟ yang berarti „racun‟ dan kata „bisa‟ yang berarti „sanggup, dapat‟.

g. Redudansi diartikan sebagai „berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran‟ (Chaer, 1994:310). Misalnya pada kalimat „buku yang dibaca guru’, maknanya tidak akan berubah bila ditambah menjadi „buku yang dibaca oleh guru’. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua dianggap redudansi.


(19)

3. Makna Frase dalam satu idiom (Ku no imi)

Makna frase merupakan makna yang terkandung dalam sebuah rangkaian kata-kata yang disebut dengan ungkapan. Contohnya dalam bahasa Jepang ungkapan 本

hon o yomu‟ (membaca buku), 靴 う„kutsu o kau‟ (membeli sepatu), dan 腹 立 „hara ga tatsu‟ (perut berdiri = marah) merupakan suatu frase. Frase „hon o yomu‟ dan „kutsu o kau‟ dapat dipahami cukup dengan mengetahui makna kata hon, kutsu, kau, dan o, ditambah dengan pemahaman tentang struktur kalimat bahwa nomina + o + verba‟. Jadi, frase tersebut bisa dipahami secara leksikalnya (mojidouri no imi). Tetapi, untuk frase „hara ga tatsu‟, meskipun seseorang mengetahui makna setiap kata dan strukturnya, belum tentu bisa memahami makna frase tersebut, jika tidak mengetahui makna frase secara idiomatikalnya (kanyokuteki imi).

Lain halnya dengan frase 足 洗 う „ashi o arau‟ , ada dua makna, yaitu secara leksikal (mojidouri no imi), yaitu mencuci kaki, dan juga secara idiomatikal (kanyokuteki imi), yaitu berhenti berbuat jahat. Jadi, dalam bahasa Jepang ada frase yang hanya bermakna secara leksikal saja, ada frase yang bermakna secara idiomatikal saja, dan ada juga frase yang bermakna keduanya.

4. Makna kalimat (bun no imi)

Makna kalimat ditentukan oleh makna setiap kata dan strukturnya. Misalnya, pada kalimat „Watashi wa Yamada san ni megane o ageru‟ (Saya memberi kacamata pada Yamada) dan kalimat „Watashi wa Yamada san ni tokei o ageru‟ (Saya memberi jam pada Yamada). Jika dilihat dari strukturnya, kalimat tersebut adalah sama, yaitu „A wa B ni C o ageru‟, tetapi maknanya berbeda. Oleh karena itu, makna kalimat ditentukan oleh kata yang menjadi unsur kalimat tersebut.


(20)

Tanaka san o] [matte iru] yang berarti (Saya menunggu Yamada dan Tanaka) dan [Watashi wa] [Yamada san to] [Tanaka san o matte iru] yang berarti (Saya bersama Yamada menunggu Tanaka). Dari sini bisa diketahui bahwa dalam suatu kalimat bisa menimbulkan makna ganda yang berbeda.

2.2.1.1 Jenis-Jenis Makna dalam Semantik

Makna merupakan salah satu kajian dalam semantik yang merupakan bagian terpenting dalam melakukan percakapan.

Dalam KBBI ( 2008: 703) dijelaskan makna adalah 1. arti, 2. maksud pembicara atau penulis; pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Sedangkan menurut Kridalaksana (1982:132), makna adalah: 1. Maksud pembicara; 2. Pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia; 3. Hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antar bahasa atau antar ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya; 4. Cara menggunakan lambang-lambang bahasa.

Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa makna adalah arti atau maksud dari suatu tindak tutur.

Menurut Chaer (1994: 59), sesungguhnya jenis atau tipe makna itu memang dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang, antara lain sebagai berikut.

a. Berdasarkan jenis semantiknya, dapat dibedakan menjadi makna leksikal dan makna gramatikal.

b. Berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/leksem, dapat dibedakan menjadi makna referensial dan makna non referensial.

c. Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem, dapat dibedakan menjadi makna denotatif dan makna konotatif.


(21)

d. Berdasarkan ketepatan maknanya, dapat dibedakan menjadi makna umum dan makna khusus.

e. Berdasarkan kriteria atau sudut pandang lain, dapat dibedakan menjadi makna konseptual, asosiatif, idiomatik, dan sebagainya.

Berikut pengertian makna-makna tersebut satu per satu.

1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal

Menurut Chaer (1994: 60) makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Sedangkan menurut Sutedi (2008: 106), makna leksikal adalah makna kata yang sesungguhnya sesuai dengan referensinya sebagai hasil pengamatan indera dan terlepas dari unsur gramatikalnya, atau bisa juga dikatakan sebagai makna asli suatu kata.

Makna leksikal dalam bahasa Jepang disebut dengan 辞書的意味 „jishoteki imi‟ atau 語 彙 的 意 味 „goiteki imi’ . Dalam bahasa Jepang misalnya kata 猫 „neko‟ yang berarti „kucing‟ dan 学 校 „gakkou‟ yang artinya „sekolah‟. Makna leksikal dari kata „kucing‟ adalah hewan berkaki empat, berkumis, dan suka mencuri ikan. Sedangkan makna leksikal dari kata „sekolah‟ adalah bangunan tempat para siswa belajar.

Makna gramatikal menurut Chaer (1994: 63) adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata dalam kalimat. Sedangkan menurut Sutedi (2008: 107) makna gramatikal yaitu makna yang muncul akibat proses gramatikalnya, dan dalam bahasa Jepang disebut 文法的意味 „bunpouteki imi‟ . Dalam bahasa Jepang, 助 詞 „joshi‟ (partikel) dan 助 動 詞 „jodoushi‟ (kopula) tidak memiliki makna


(22)

leksikal, tetapi memiliki makna gramatikal, sebab baru akan jelas maknanya jika digunakan dalam kalimat. Verba dan adjektiva memiliki kedua jenis makna tersebut, misalnya pada kata 忙 い„isogashii‟ dan 食 „taberu. Bagian gokan : (isogashi) dan (tabe) memiliki makna leksikal yaitu „sibuk‟ dan „makan‟, sedangkan gobi-nya, yaitu {い/ i} dan { / ru} sebagai makna gramatikal, karena akan berubah sesuai dengan konteks gramatikalnya. Begitu juga dengan partikel „ni‟ , yang secara leksikal tidak jelas maknanya, akan tetapi baru jelas maknanya ketika digunakan dalam kalimat seperti : メダン 住 い „Medan ni sunde iru‟ yang bermakna „tinggal diMedan‟.

2. Makna Referensial dan Makna Non referensial

Menurut Chaer (1994: 63), perbedaan makna referensial dan makna non referensial adalah berdasarkan ada tidaknya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Namun jika kata-kata itu tidak mempunyai referen, maka kata tersebut merupakan kata bermakna non referensial. Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referensial karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut „meja‟ dan „kursi‟. Sebaliknya kata karena dan tetapi tidak mempunyai referen, jadi kedua kata tersebut termasuk ke dalam kelompok kata yang bermakna non referensial.

3. Makna Denotatif dan Makna Konotatif

Chaer (1994: 65) menyebutkan pengertian makna denotatif adalah pada dasarnya sama dengan makna leksikal dan referensial, sebab makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif, dan sering disebut dengan istilah


(23)

„makna sebenarnya‟. Sedangkan menurut Sutedi (2008:107), makna denotatif adalah makna yang berkaitan dengan dunia luar bahasa seperti suatu objek atau gagasan dan bisa dijelaskan dengan dunia luar bahasa seperti suatu objek atau gagasan dan bisa dijelaskan dengan analisis komponen makna. Makna denotatif dalam bahasa Jepang disebut dengan 明 示 的 意 味 „meijiteki imi‟ atau 外 延 „gaien‟ . Sedangkan makna konotatif menurut Chaer (1994: 67) adalah makna tambahan yang sifatnya memberi nilai rasa, baik positif maupun negatif.

Selanjutnya menurut Sutedi (2008: 107), makna konotatif disebut 暗示的意味 „anjiteki imi‟ atau 内包 „naihou‟ , yaitu makna yang ditimbulkan karena perasaan atau pikiran pembicara dan lawan bicaranya. Misalnya pada kata 父 „chichi‟ dan

親父„oyaji‟ kedua-duanya memiliki makna denotatif yang sama, yaitu „ayah‟, akan tetapi memiliki nilai rasa yang berbeda. Kata „chichi‟ terkesan lebih formal dan lebih halus, sedangkan kata „oyaji‟ terkesan lebih dekat dan akrab. Contoh lainnya adalah kata

化 粧 室 „keshou-shitsu‟ dan 便 所„benjo‟ . Kedua kata tersebut juga merujuk pada hal yang sama, yaitu kamar kecil, tetapi kesan dan nilai rasanya berbeda. „ Keshou-shitsu‟ terkesan bersih, sedangkan „benjo‟ terkesan kotor dan bau.

4. Makna Umum dan Makna Khusus

Chaer (1994: 71) mengemukakan bahwa kata dengan makna umum memiliki pengertian dan pemakaian yang lebih luas, sedangkan kata dengan makna khusus mempunyai pengertian dan pemakaian yang lebih terbatas. Misalnya dalam deretan sinonim besar, agung, akbar, raya, dan kolosal. Kata besar adalah kata yang bermakna umum dan pemakaiannya lebih luas dibandingkan dengan kata yang lainnya. Kita dapat mengganti kata agung, akbar, raya, dan kolosal dengan kata besar secara bebas. Frase Tuhan yang maha Agung‟ dapat diganti dengan „Tuhan yang maha Besar‟ ; frase „rapat


(24)

akbar‟ dapat diganti dengan „rapat besar‟ ; frase „hari raya‟ dapat diganti dengan „hari besar‟ ; dan frase „film kolosal‟ dapat diganti dengan „film besar‟. Sebaliknya, frase „rumah besar‟ tidak dapat diganti dengan „rumah agung‟, „rumah raya‟ ataupun „rumah kolosal‟.

5. Makna Konseptual, Asosiatif, dan Idiomatik

Menurut Chaer (1994: 72), makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apapun. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna leksikal, referensial, dan makna denotatif. Selanjutnya, makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan makna „suci‟ atau „kesucian‟ ; kata merah berasosiasi dengan makna „berani‟ ; kata cenderawasih berasosiasi dengan makna „indah‟.

Sedangkan makna idiomatik menurut Chaer (1994: 75) adalah makna sebuah satuan bahasa (kata, frase, atau kalimat) yang “menyimpang” dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Contohnya adalah pada frase „membanting tulang‟ dan „meja hijau‟. „Membanting tulang‟ adalah sebuah leksem dengan makna „bekerja keras‟, dan „meja hijau‟ adalah sebuah leksem dengan makna „pengadilan‟.

2.2.1.2 Perubahan Makna Dalam Semantik

Perubahan makna suatu kata dapat terjadi karena berbagai faktor, antara lain perkembangan peradaban manusia pemakai bahasa tersebut, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, atau pengaruh bahasa asing. Berikut akan dijelaskan beberapa jenis perubahan makna dalam bahasa Jepang, menurut Sutedi (2008: 108).


(25)

a. Dari yang konkrit ke abstrak

Kata 頭 „atama‟ (kepala), 腕 „ude‟ (lengan), serta „michi‟ (jalan) yang merupakan benda konkrit, berubah menjadi abstrak ketika digunakan seperti berikut ini.

頭 いい atama ga ii [kepandaian]

ude ga agaru [kemampuan]

日本語教師 nihongo-kyoushi e no michi [cara/ petunjuk] b. Dari ruang ke waktu

Kata 前„mae‟ (depan), dan 長い„nagai‟ (panjang), yang menyatakan arti ruang, berubah menjadi waktu seperti pada contoh berikut ini.

年前 sannen mae [tiga tahun yang lalu]

長い時間 nagai jikan [lama]

c. Perubahan penggunaan indera

Kata 大 い„ookii‟ (besar) semula diamati dengan indera penglihatan (mata), berubah ke indera pendengaran (telinga), seperti pada 大 い声 „ookii koe‟ (suara keras). Kemudian pada kata 甘い „amai‟ (manis) dari indera perasa menjadi karakter seperti dalam 甘い子„amai ko‟ (anak manja).

d. Dari yang khusus ke umum/ generalisasi

Kata 着 物 „kimono‟ yang semula berarti pakaian tradisional Jepang, digunakan untuk menunjukkan pakaian secara umum 服„fuku‟ dan sebagainya.


(26)

e. Dari yang umum ke khusus/ spesialisasi

Kata 花 „hana‟ (bunga secara umum) dan 卵 „tamago‟ (telur secara umum) digunakan untuk menunjukkan hal yang lebih khusus seperti dalam penggunaan berikut.

花見 hana-mi [bunga Sakura]

卵 食 tamago o taberu [telur ayam] f. Perubahan nilai positif

Contoh dari kata yang mengalami perubahan nilai positif salah satunya adalah kata 僕 „boku‟ (saya) yang dulu digunakan untuk budak atau pelayan, tetapi sekarang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan adanya perubahan nilai, dari yang kurang baik menjadi baik.

g. Perubahan nilai negatif

Contoh dari kata yang mengalami perubahan nilai negatif salah satunya adalah kata 貴 様 „kisama‟ (kamu) yang dulu sering digunakan untuk menunjukkan kata

あ „anata‟ (anda) , tetapi sekarang digunakan hanya kepada orang yang dianggap rendah saja. Hal ini menunjukkan adanya perubahan nilai, dari yang baik menjadi kurang baik.

2.2.1.3 Manfaat Mempelajari Semantik

Manfaat yang dapat kita petik dari studi semantik sangat tergantung dari bidang apa yang kita geluti dalam tugas kita sehari-hari, (Chaer, 1994: 11). Bagi seorang wartawan, reporter, atau orang-orang yang berkecimpung dalam dunia persuratkabaran dan pemberitaan, mereka mungkin akan memperoleh manfaat praktis dari pengetahuan mengenai semantik. Pengetahuan semantik akan memudahkannya dalam memilih dan


(27)

menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat umum.

Bagi mereka yang berkecimpung dalam penelitian bahasa, pengetahuan semantik akan banyak memberi bekal teoritis untuk dapat menganalisis kata atau bahasa-bahasa yang sedang dipelajarinya. Sedangkan bagi seorang guru atau calon guru, pengetahuan mengenai semantik akan memberi manfaat teoritis, karena sebagai seorang guru bahasa haruslah mengerti dengan sungguh-sungguh tentang bahasa yang akan diajarkannya. Sedangkan manfaat praktis yang diperoleh dari mempelajari teori semantik adalah pemahaman yang lebih mendalam mengenai makna dari suatu kata yang makna katanya berdekatan atau memiliki kemiripan arti.

2.2.2 Kesinoniman

Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia maupun bahasa Jepang, seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata dengan kata lainnya. Hal ini berkaitan dengan relasi makna. Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lainnya (Chaer, 2007: 297). Satuan bahasa di sini dapat berupa kata, frase, maupun kalimat. Relasi makna ini dapat menyatakan kesamaan makna (sinonim), pertentangan makna (antonim), ketercakupan makna (hiponim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), dan kelebihan makna (redudansi).

Apabila suatu kata memiliki makna yang hampir sama (mirip) dengan satu atau lebih kata yang lain, maka dapat dikatakan bahwa kata-kata tersebut memiliki hubungan atau relasi makna yang termasuk ke dalam sinonim. Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya (Chaer, 2007: 267). Akan tetapi meskipun bersinonim, maknanya tidak


(28)

akan persis sama. Hal ini dikarenakan tidak ada sinonim yang maknanya akan sama persis seratus persen. Dalam konteks tertentu, pasti akan ditemukan suatu perbedaannya meskipun kecil. Ketidaksamaan ini terjadi karena berbagai faktor, antara lain faktor waktu, faktor tempat atau wilayah, faktor keformalan, faktor sosial, faktor bidang kegiatan, dan faktor nuansa makna.

Dalam bahasa Jepang, sinonim dikenal dengan istilah 類 義 語„ruigigo‟ . Menurut Sutedi (2003: 115), perbedaan dari dua kata atau lebih yang memiliki relasi atau hubungan kesinoniman 類 義 関 係 „ruigi-kankei‟ dapat ditemukan dengan cara melakukan analisis terhadap nuansa makna dari setiap kata tersebut. Misalnya pada kata agaru dan noboru yang kedua-duanya berarti „naik‟, dapat ditemukan perbedaannya sebagai berikut.

: 或経路 焦 合わ 移動

Noboru : Shita kara ue e wakukeiro ni shouten o awasete idou suru Noboru : berpindah dari bawah ke atas dengan fokus jalan yang dilalui

あ : 到 焦 合わ 移動

Agaru : Shita kara ue e toutatsuten ni shouten o awasete idou suru Agaru : berpindah dari bawah ke atas dengan fokus tempat tujuan

Jadi, perbedaan verba agaru dan noboru terletak pada fokus 焦 „shoutengerak tersebut. Verba agaru menekankan pada tempat tujuan 到 „toutatsutendalam arti tibanya di tempat tujuan tersebut (hasil), sedangkan noboru menekankan pada jalan yang dilalui 経 路 „keiro‟ dari gerak tersebut (proses). Kata tersebut dapat tersampaikan dengan baik.


(29)

2.2.3 Pilihan Kata

Kata-kata yang bersinonim ada yang dapat saling menggantikan ada pula yang tidak. Karena itu, kita harus memilihnya secara tepat dan seksama untuk menghindari kerancuan dalam menginterpretasikan maknanya. Hal ini berkaitan dengan pilihan kata atau diksi. Dalam bahasa Indonesia, kata diksi berasal dari kata dictionary (bahasa Inggris yang kata dasarnya diction) yang berarti perihal pemilihan kata. Menurut Keraf (2006: 24) pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.

Diksi atau pilihan kata harus berdasarkan tiga tolok ukur, yaitu ketepatan, kebenaran, dan kelaziman. Kata yang tepat adalah kata yang mempunyai makna yang dapat mengungkapkan gagasan secara cermat sesuai dengan gagasan pemakai bahasa. Kata yang benar adalah kata yang diucapkan atau ditulis sesuai dengan bentuk yang benar, yaitu sesuai dengan kaidah kebahasaan. Kata yang lazim berarti bahwa kata yang dipakai adalah dalam bentuk yang sudah dibiasakan dan bukan merupakan bentuk yang dibuat-buat.

Berdasarkan konsep dari pilihan kata di atas, kata yang maknanya hampir sama atau yang disebut sinonim harus dapat dipilih dengan tepat sesuai dengan situasi dan konteks kalimatnya, agar gagasan yang terkandung di dalam makna kata tersebut dapat tersampaikan dengan baik.


(30)

BAB III

ANALISIS MAKNA VERBA TETSUDAU DAN TASUKERU DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG

Sebelumnya pada bab II penulis telah memaparkan pengertian dan makna verba tetsudau dan tasukeru. Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dituangkan pada bab I, maka pada bab ini penulis melakukan analisis terhadap makna verba tetsudau dan tasukeru yang diambil dari kalimat-kalimat berbahasa Jepang yang terdapat pada komik Pastel Kazoku, kumpulan cerita pendek Aozora, film animasi (anime) Zetsuen no Tempest, Inu to Boku, dan drama First Class, sesuai dengan pendapat dari beberapa ahli linguistik yang telah dipaparkan sebelumnya.

3.1 Verba Tetsudau Kutipan (1):

礼 人形 売 手伝 あ !(Komik Pastel

Kazoku: 40)

(Gohan o kureta orei ni shiori ga oningyo uru no o tetsudatte ageru!)

“Sebagai ucapan terimakasih karena sudah memberi makanan, Shiori akan membantu menjual boneka-boneka ini!”

Analisis:

Kalimat (1) diambil dari cuplikan komik Pastel Kazoku seri 40. Diawali adegan ketika Mayo dan Yukari sedang menjual boneka-boneka milik mereka. Tidak lama berselang waktu, Shiori chan datang. Lalu, Mayo dan Yukari membagi bekal mereka kepada Shiori chan. Karena merasa senang menerima makan siang dari Mayo dan Yukari,


(31)

dan sebagai ucapan terima kasih Shiori chan bermaksud memberi bantuan kepada mereka untuk ikut menjual boneka-boneka.

Makna verba tetsudau pada kalimat tersebut adalah „membantu‟, dan penggunaannya sudah tepat. Sesuai dengan pengertian verba tetsudau menurut Shibata dan Yamada, Tian serta apa yang disebutkan juga dalam kamus Daijisen, bahwa verba tetsudau memiliki makna „pekerjaan yang dilakukan bersama-sama dengan pelaku utama dan peran orang yang membantu hanya untuk meringankan pekerjaan pelaku utama‟. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa porsi pekerjaan yang dilakukan oleh Shiori chan tidak lebih banyak dari yang dilakukan oleh Mayo dan Yukari. Shiori chan hanya meminjamkan tenaga kepada Mayo dan Yukari yang sudah mempunyai kemampuan yang cukup untuk menjual boneka-boneka tersebut. Situasi awal yang digambarkan dari komik tersebut ikut mendukung analisis di atas, dimana sebenarnya Mayo dan Yukari mampu menjual boneka-boneka tanpa bantuan orang lain. Shiori chan menawarkan bantuan agar pekerjaan tersebut lebih cepat selesai.

Kutipan (2):

兄 物 捨 手伝 あ (Komik Pastel Kazoku: 35)

(Oniichan ga mono o suteru no o tetsudatte ageru yo.) “Saya akan membantu Kakak membuang barang-barang.”

Analisis:

Kalimat (2) adalah kalimat yang diucapkan oleh Mayo kepada Oniichan yang bernama Takuo. Situasi yang digambarkan adalah pada saat itu Takuo terlihat sangat tekun membaca buku di kamarnya. Mayo masuk ke kamar melihat tumpukan barang-barang yang sudah tidak terpakai, berinisiatif ingin membantu Takuo membuangnya.


(32)

Makna verba tetsudau pada kalimat tersebut adalah „membantu‟, dan penggunaannya sudah tepat. Meskipun pekerjaan tersebut tidak dilakukan bersama-sama, tapi dari jenis pekerjaan yang dibantu adalah yang berkaitan dengan pekerjaan rumah tangga, sama halnya seperti membereskan kamar, mencuci piring dan lain-lain, maka dapat dikatakan juga bahwa sebenarnya pemilik pekerjaan mampu untuk melakukan pekerjaannya sendiri. Hanya saja Mayo menawarkan bantuan agar pekerjaan Takuo menjadi cepat selesai. Peran Mayo dalam hal ini hanya bersifat membantu untuk meringankan pekerjaan Takuo. Meskipun keadaannya, tanpa ditolong oleh Mayo, Takuo mampu melakukannya sendiri.

Makna „membantu‟ dalam kalimat di atas sejalan dengan pengertian verba tetsudau yang salah satunya seperti yang disampaikan oleh Tian, yaitu meminjamkan tenaga pada orang yang telah mempunyai kekuatan yang cukup, dan berperan sebagai asisten pembantu.

Kutipan (3):

( う 素気 い返 ひ 父 感情 害 い 今晩 酒

手伝 い (http://www.aozora.gr.jp/cards/000247/files/1333_20664.html)

(Kyoozo no sokkenai henji ga hidoku chichi no kanjou o gaishita rashii. Soreni konban wa sake ga tetsudatteiru)

“Sepertinya jawaban dingin Kyozo telah melukai perasaan ayah. Selain itu, sake juga turut membantu malam ini.”

Analisis:

Kalimat (3) di atas diambil dari kumpulan cerita pendek Aozora yang berjudul Tegami’. Pada cerita tersebut dikisahkan Kyozo yang baru pulang kerumah setelah


(33)

beberapa hari pergi karena suatu keperluan. Sebelum masuk ke kamarnya, ia bertanya kepada ayah dan ibu tentang keberadaan surat atau telepon untuknya. Ibu memberitahukan Kyozo bahwa ada surat untuknya di atas meja di kamar. Kyozo lalu masuk dan membaca surat tersebut. Tak lama kemudian dia keluar dari kamar. Ayah yang melihat Kyozo keluar dari kamarnya, langsung bertanya tentang surat tersebut. Kyozo hanya menjawab singkat semua pertanyaan ayahnya. Ayah merasa sensitif dengan jawaban dingin Kyozo. Sebelumnya Ayah memang sedang minum sake. Perasaan yang sensitif dan mudah tersinggung adalah dampak negatif akibat minum sake atau minuman keras lainnya.

Pengertian verba tetsudau menurut Koizumi dkk. dalam Nihongo Kihon Doushi Jiten menyebutkan „penyebab atau alasan lain yang mengakibatkan terjadinya suatu perkara‟. Sejalan dengan pemikiran ini, dalam Gaikokujin no Tame no Kihongo Yorei Jiten juga mengindikasikan hal yang sama. Makna verba tetsudau pada kalimat di atas, adalah „membantu‟. Dalam hal ini, sake yang diminum ayah, membantu menjadi penyebab dan turut andil membawa pengaruh hingga membuat perasaannya menjadi sensitif. Ditambah lagi oleh jawaban anaknya yang terkesan menghindari percakapan yang panjang dengan sang ayah. Hal tersebut membuat perasaan ayah terluka. oleh karena itu penggunaan verba tetsudau pada kalimat di atas sudah tepat.

Kutipan (4):

目的地 着い いう安心 手伝 T- 入 口 頃

飢 え 疲 彼 雪 ぶ う

(http://www.aozora.gr.jp/cards/000008/files/1083_53475.html)


(34)

koro ni wa, ue to tsukare to de kare wa sono mama soko no yuki no ue ni buttaoresoudatta)

“Karena perasaan tenang setelah sampai di tujuan turut membantu, ia hampir terjatuh begitu saja diatas hamparan salju karena rasa lapar dan lelah begitu tiba di gerbang masuk kota T”

Analisis:

Pada kalimat (4) di atas, disebutkan bahwa seorang pemuda baru saja melakukan perjalanan jauh dengan berjalan kaki. Begitu sampai ke tempat tujuan dan menemukan sebuah warung kecil, ia merasa lega. Ini berarti bahwa ia dapat beristirahat setelah sebelumnya menempuh perjalanan panjang, dan hanya bisa makan sedikit saja pada malam sebelumnya.

Pada kalimat ini, makna verba tetsudau adalah „membantu‟, dan penggunaannya sudah tepat. Hal ini sesuai dengan pengertian verba tetsudau seperti yang disampaikan oleh Tim Bunkacho, yaitu „menambahkan penyebab lain dalam suatu kejadian‟. Dengan kata lain sesuatu yang membantu mempengaruhi terjadinya suatu hal. Dalam hal ini, pemuda dalam kalimat di atas hampir saja terjatuh di atas hamparan salju karena rasa lapar dan lelah. Tetapi perasaan lega dan tenang karena sudah sampai ke tempat tujuan, meskipun bukan penyebab utama, secara tidak langsung menjelaskan alasan mengapa ia hampir terjatuh.

Kutipan (5):

わ 見 夢 家 云う 職業 手伝う い い色彩 い


(35)

(Ga, Watashi no miru yume wa gaka to iu shokugyo mo tetsudau no ka, taitei shikisai no nai koto wa nakatta)

“Tetapi, mungkin saja impian saya menjadi pelukis juga membantu mempengaruhinya sehingga hampir tidak ada hal yang tidak menarik”

Analisis:

Kalimat (5) di atas diambil dari kumpulan cerita pendek Aozora yang berjudul „Yume’. Pada cerita tersebut dikisahkan bahwa watashi sangat ingin menjadi pelukis, sehingga impiannya tersebut mempengaruhi seluruh sendi kehidupannya. Apa yang dia alami dalam hidupnya selalu dipandang positif. Sehingga seluruh dinamika hidupnya terlihat menarik baginya. Meskipun melukis itu melelahkan tangan, mata dan lehernya, tapi karena tekadnya ingin menjadi pelukis, maka seluruh kelelahan tersebut tidak dirasakan mengganggu.

Makna verba tetsudau dalam kalimat di atas adalah „membantu‟. Hal ini sejalan dengan konsep penggunaan verba tetsudau menurut Koizumi dkk. dalam Nihongo Kihon Doushi Jiten menyebutkan „penyebab atau alasan lain yang mengakibatkan terjadinya suatu perkara‟. Makna yang terkandung dalam kalimat ini cenderung mengarah pada suatu hal yang positif, yakni impiannya menjadi seorang pelukis telah membantu hidupnya menjadi lebih berwarna atau tidak membosankan. penggunaan verba tetsudau pada kalimat di atas sudah tepat,

3.2 Verba Tasukeru Kutipan (1):

番目 地域 少年 死 危険 あ 人間 一人助 い (Anime Zetsuen


(36)

(Niban me no chiiki de shoonen wa shi no kiken niatta ningen o hitori tasuketeiru.) “Pada kali kedua anak muda itu terlihat, ia sedang menolong menyelamatkan seseorang dari bahaya kematian.”

Analisis:

Kalimat (1) diambil dari potongan percakapan antara Yoshino dan seorang detektif wanita yang mencari keberadaan Mahiro, sahabat Yoshino. Wanita itu kemudian diketahui bernama Evangeline Yamamoto. Ia mencari Mahiro karena menganggap Mahiro bisa menolongnya mengungkap satu kejadian aneh yang sedang terjadi di seluruh negeri. Saat pertama ia bertemu dengan Mahiro adalah ketika Mahiro sedang berada di sebuah tempat yang sedang di karantina karena suatu perkara kriminal. Pada saat kedua kalinya ia bertemu dengan Mahiro, Mahiro sedang berusaha menolong menyelamatkan seseorang dari bahaya kematian. Karena telah bertemu dua kali pada tempat yang kemudian di karantina, maka Evangeline Yamamoto menganggap Mahiro memiliki hubungan dengan kedua perkara yang sedang diselidikinya.

Makna verba tasukeru dalam kalimat di atas adalah „menolong‟ atau „menyelamatkan‟. Penggunaannya pun sudah tepat. Hirose mengemukakan pendapatnya berkenaan dengan makna verba tasukeru, yaitu „meminjamkan tenaga untuk orang maupun benda yang berada dalam kondisi bingung atau bahaya hingga ia berada dalam kondisi baik dan aman‟. Sejalan dengan itu, Shibata dan Yamada juga mengindikasikan hal yang sama. Mahiro diketahui sedang menolong seorang anak perempuan dari bahaya kematian yang disebabkan oleh suatu perkara yang belum diketahui penyebabnya. Dalam hal ini terlihat bahwa makna yang ditimbulkan oleh penggunaan verba tasukeru pada kalimat di atas adalah menolong seseorang dari bahaya yang mengancam nyawa. Situasi yang menggambarkan keadaan bahaya yang berkaitan dengan nyawa manusia.


(37)

Kutipan (2):

猫 い 助 う 思 (Anime Inu to Boku: 6:

13.47”)

(Neko ga ita. Tasukeyoo to omotte tsukandara bari tto sareta.)

“Tadi ada kucing. Saya berniat menolongnya, tapi saat berusaha meraihnya saya malah dicakar kucing itu”

Analisis:

Pada kalimat (2), situasi digambarkan seorang anak laki-laki berseragam sekolah melihat seekor anak kucing terjebak di atas sebuah pohon. Diperkirakan anak kucing tersebut dibawa naik ke atas pohon oleh anak-anak nakal. Melihat anak kucing yang sedang kesulitan untuk turun, maka anak laki-laki tersebut berinisiatif memanjat pohon dan berusaha untuk meraih kucing tersebut. Tapi karena panik, kucing tersebut malah mencakar tangan anak laki-laki yang berniat menolongnya.

Makna verba tasukeru dalam kalimat (2) di atas adalah „menolong‟, dan penggunaanya dalam kalimat ini sudah tepat. Sejalan dengan pendapat Hirose, yaitu „meminjamkan tenaga untuk orang maupun benda yang berada dalam kondisi bingung atau bahaya hingga ia berada dalam kondisi baik dan aman‟. Apabila tidak ditolong, anak kucing tersebut bisa saja jatuh dan tersangkut cabang-cabang pohon.

Kutipan (3):

ひ イ ク ひ う 子犬 助


(38)

(Mahiro kun ga baiku ni hikaresoo ni natta no wa ko inu o tossa ni tasukeyoo to shita kara desu.)

“Mahiro terserempet motor karena ia berusaha menolong seekor anak anjing”

Analisis:

Pada kalimat (3), makna verba tasukeru adalah „menolong‟. Situasi digambarkan Yoshino sedang membacakan tulisannya di kelas Presentasi Karya Tulis, dimana setiap anak harus maju dan membacakan karya tulis masing-masing. Yoshino menceritakan tentang penyebab sahabatnya yang bernama Mahiro mengalami kecelakaan. Dalam karya tulis tersebut disebutkan Mahiro berusaha menolong seekor anak anjing yang sedang berlarian di jalan raya. Akibatnya, ia terserempet sepeda motor sehingga harus dibawa ke rumah sakit.

Makna yang muncul dari penggunaan verba tasukeru di atas adalah „mengeluarkan tenaga sendiri untuk menolong makhluk hidup lain agar terbebas dari bahaya yang menimpa jasmani dan rohani‟, seperti yang dimaksud oleh Shibata dan Yamada dalam Ruigo Daijiten. Oleh karena itu, penggunaan verba tasukeru pada kalimat di atas sudah tepat. Anak anjing yang sedang berlarian di jalan raya apabila tidak ditolong, maka akan membahayakan nyawa anjing tersebut.

Kutipan (4):

小 物特集 小 物 集 困 い 何 助 え (Drama First Class:6:27.35”)

(Sore to, Chinami chan ga komono tokushuu de komono ga atsumarazu komatteimasu. Nanto ka tasukete moraemasenka?)


(39)

“Selain itu, Chinami sedang kebingungan karena aksesoris untuk bahan artikel edisi spesial tidak terkumpul. Apa kau bisa membantunya?”

Analisis:

Kalimat (4) diambil dari cuplikan drama First Class episode ke 6. Dikisahkan bahwa tokoh utama Chinami Yoshinari adalah seorang wanita yang bekerja pada sebuah majalah fashion. Kalimat (4) di atas diucapkan oleh Itsuki kepada rekan kerjanya yang lain agar membantu Chinami yang sedang kesulitan menyewa aksesoris dan properti untuk pemotretan. Pemotretan tersebut dilakukan untuk artikel edisi spesial majalah fashion tempat mereka bekerja. Properti dan aksesoris yang akan dipakai model untuk pemotretan harus cepat terkumpul, mengingat deadline majalah terbit.

Makna verba tasukeru dalam kalimat di atas menunjukkan makna „membantu‟. Dalam hal ini membantu orang lain agar pekerjaan yang sedang dilakukannya berjalan lancar. Seperti yang disampaikan oleh Shibata dan Yamada dalam Ruigo Daijiten, yaitu „membuat suatu pekerjaan, kegiatan, orang yang kebingungan atau suatu keadaan menjadi lebih baik dengan pekerjaan (bantuan) orang lain‟ Dalam kalimat di atas mengandung makna bahwa orang yang dibantu merasa kesulitan /kebingungan saat mengerjakannya sehingga ia memerlukan bantuan orang lain agar pekerjaannya bisa diselesaikan. Oleh karena itu, penggunaan verba tasukeru di atas sudah benar.

Kutipan (5):

イテク 悪 助 (Anime Zetsuen no Tempest: 6: 06.27”) (Haiteku wa akuji o tasukeru)


(40)

Analisis:

Kalimat (5) di atas, diucapkan oleh seorang putri dari klan Kusaribe kepada Mahiro dan Yoshino. Mahiro dan putri tersebut terikat sebuah perjanjian kerjasama. Dimana Mahiro akan menolong putri tersebut keluar dari pulau tempatnya disandera apabila ia bersedia menolong Mahiro dan Yoshino mencari tahu penyebab terbunuhnya Aika chan, adiknya Mahiro. Sang putri berkata bahwa selain penyebab yang bersifat magis, saat ini perkembangan teknologi juga dapat membantu meningkatnya pola dan ragam kriminalitas. Demikian pula halnya yang terjadi dengan peristiwa terbunuhnya Aika chan.

Penggunaan verba tasukeru pada kalimat di atas, sepintas terasa kurang tepat karena tidak ada teori yang benar-benar cocok dengan kalimat di atas. Kalimat (5) mengandung makna „membantu‟. Dalam hal ini, teknologi yang tinggi membantu proses bertambahnya angka kriminalitas. Sementara makna yang dimaksud tersebut, lebih tepat bila menggunakan verba tetsudau, karena didukung oleh teori Koizumi dkk. dalam Nihongo Kihon Doushi Youhou Jiten (1989) dan yang dijelaskan dalam Gaikokujin no Tame no Kihongo Yourei Jiten (1990) yaitu, „menambahkan penyebab lain dalam suatu kejadian‟ dan „sesuatu yang termasuk kedalam penyebab berlangsungnya suatu hal‟.

Namun, mengingat dampak dari kriminalitas, sebagian besar menimbulkan bahaya. Seperti yang dimaksud oleh Hirose, yaitu „mengeluarkan tenaga sendiri untuk membebaskan orang lain dari keadaan bahaya yang menimpa jasmani dan rohani‟, maka penggunaan verba tasukeru di atas sudah tepat.

3.3 Analisis Perbedaan Nuansa Makna Verba Tetsudau dan Tasukeru

Pada bab I telah disebutkan bahwa untuk menganalisis sinonim digunakan teknik substitusi (pemutasi). Hal ini dilakukan untuk mengetahui posisi kedua verba dalam


(41)

kalimat bahasa Jepang. Apakah penggunaan kata tetsudau dapat digantikan dengan kata tasukeru dalam kalimat yang sama dan memiliki nuansa makna yang sama atau tidak.

Tabel 1. Pemakaian verba Tetsudau

No Kutipan Tetsudau Tasukeru

1. く 礼 し 人形売 手伝 あ

(Komik Pastel Kazoku : 40)

O

O

2. 兄 物 捨 手伝 あ (Komik

Pastel Kazoku : 35)

O

O

3.

う 素気 い返 ひ く父 感情 害し し

い 今晩 酒 手伝 い

(http://www.aozora.gr.jp/cards/000247/files/1333_20664.html)

O

X

4.

目的地 着い いう安心 手伝 T-

入 口 し 頃 飢え 疲 彼

雪 上 ぶ う

(http://www.aozora.gr.jp/cards/000008/files/1083_53475.html)

O

X

5.

わ し 見 夢 家 云う職業 手伝う 大

抵色彩 い

(http://www.aozora.gr.jp/cards/000879/files/186_15257.html)

O

X

Berdasarkan tabel 1. di atas, diketahui bahwa seluruh contoh kalimat yang menggunakan verba tetsudau bila diganti menjadi kalimat yang menggunakan verba tasukeru, terlihat seolah-olah benar secara gramatikal dan dianggap wajar jika digunakan dalam keseharian. Tetapi, untuk kalimat (3), (4) dan (5) tidak dapat diganti menjadi kalimat yang menggunakan verba tasukeru. Hal ini disebabkan makna yang ditimbulkan oleh verba tetsudau pada kalimat kalimat (3), (4) dan (5) yaitu, „membantu proses


(42)

berlangsungnya suatu kegiatan‟ tidak sesuai dengan makna yang melekat pada verba tasukeru.

Sedangkan pada kalimat (1) dan (2), seperti sudah dijelaskan sebelumnya pada bagian analisis masing-masing kalimat, makna yang terkandung dari kalimat asal adalah membantu pekerjaan orang lain dengan bekerja bersama-sama. Porsi pekerjaan orang yang membantu, tidak lebih banyak dari orang yang dibantu, mengingat perannya hanya meringankan pekerjaan pelaku utama. Saat tetsudatte pada kalimat (1) dan (2) diganti menjadi tasukete, makna yang terkandung dalam kalimat asal menjadi berubah. Jika menggunakan tasukete, Mayo dan Yukari pada kalimat (1) yang semula terkesan biasa saja tanpa masalah, berubah menjadi Mayo dan Yukari yang merasa kesulitan karena tidak mampu menjual boneka-boneka mereka, atau mereka merasa kebingungan karena setelah sekian lama berjualan tetapi belum ada satu boneka pun yang laku terjual. Sehingga mereka merasa sangat tertolong ketika Shiori chan datang menawarkan bantuan untuk menjual boneka-boneka tersebut.

Demikian juga halnya dengan kalimat (2), jika menggunakan verba tasukete, makna yang ada pada kalimat awal berubah menjadi Oniichan yang kesulitan membuang barang-barang yang menumpuk di kamarnya, sehingga ia sangat memerlukan bantuan orang lain untuk melakukannya.


(43)

Tabel 2. Pemakaian verba Tasukeru

No Kutipan Tetsudau Tasukeru

1. 番目 地域 少年 死 危険 あ 人間 一人助

(Anime Zetsuen no Tempest: 1: 09.07”)

X

O

2. 猫 い 助 う 思 リ

(Anime Inu to Boku: 6: 13.47”)

X

O

3.

ひ く イク ひ う 子犬

助 し (Anime Zetsuen no Tempest :

4: 20.55”)

X

O

4.

小物特集 小物 集 困

い 何 助 え (Drama First

Class: 6:27.35”)

O

O

5. イテク 悪 助 (Anime Zetsuen no Tempest : 6:

06.27”)

X

O

Berdasarkan tabel 2. di atas, diketahui tidak semua kalimat yang menggunakan verba tasukeru bisa diganti dengan verba tetsudau. Hal ini jelas disebabkan oleh makna yang ditimbulkan oleh penggunaan kedua verba tersebut. Meskipun secara sepintas kalimat penggantinya terasa benar, namun secara gramatikal jelas salah. Pada kalimat (1), (2), (3) dan (5), verba tasukeru tidak dapat digantikan oleh verba tetsudau, karena kalimat- kalimat tersebut memiliki nuansa bahaya yang mengancam nyawa seseorang maupun seekor hewan. Sedangkan pada kalimat (5) nuansa bahaya yang dimaksud lebih kepada efek yang ditimbulkan oleh kriminalitas. Maka, secara teori berdasarkan literatur


(44)

yang ada, nuansa bahaya yang menimpa jasmani dan rohani adalah makna yang dimiliki oleh verba tasukeru.

Sedangkan pada kalimat (4), verba tasukeru bisa diganti dengan verba tetsudau. Pada kalimat (4), jika menggunakan verba tasukeru, mengandung makna „menolong orang yang kesulitan atau tersiksa‟. Apabila verba tasukeru diganti menjadi verba tetsudau, maka makna yang terkandung di dalamnya akan berubah. Chinami yang tadinya terkesan putus asa dan merasa tidak mampu merampungkan pekerjaannya berubah menjadi terkesan biasa saja, tanpa beban. Porsi kerja Chinami yang akan dibantu oleh teman kantornya menjadi sebagian kecil saja.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa verba tetsudau bisa digantikan dengan verba tasukeru dalam kalimat-kalimat tertentu. Penggantian verba dapat mempengaruhi makna kalimat asal. Jika tasukeru diganti dengan tetsudau, maka kesannya pekerjaan yang dilakukan terasa lebih ringan dan tidak ada rasa putus asa atau kebingungan. Begitupula sebaliknya, apabila verba tetsudau diganti dengan tasukeru, maka kesan yang muncul adalah pelaku utama menjadi kebingungan dan merasa sangat tidak mampu menyelesaikan pekerjaannya.

Perubahan makna yang terjadi terlihat cukup signifikan dan ini artinya, mengganti verba dapat memberikan pengaruh yang cukup besar pada makna sebuah kalimat. Ditemukan beberapa poin pembeda yang menjadi variasi dalam penggunaan kedua verba tersebut. Hal-hal yang menjadi poin pembeda terdapat dalam penggunaan jenis pekerjaan yang dibantu, objek serta nuansa yang terkandung dalam kalimat.


(45)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah penulis lakukan sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Verba dalam bahasa Jepang adalah salah satu kelas kata yang menyatakan aktivitas, keberadaan atau keadaan, mengalami perubahan (katsuyou), bisa berdiri sendiri, dan menduduki jabatan predikat dalam suatu kalimat. Verba ini digolongkan ke dalam tiga kelompok berdasarkan pada bentuk konjugasinya, yaitu kelompok I ( 五段動詞 „godan-doushi’), kelompok II (一段動詞„ichidan-doushi’), dan kelompok III (変格

動 詞 „henkaku-doushi’). Verba tetsudau termasuk dalam verba kelompok I dan tasukeru termasuk dalam verba kelompok II.

2. Verba tetsudau dan tasukeru termasuk dalam kata yang bersinonim karena memiliki makna yang sama yaitu menolong. Meskipun memiliki makna yang sama, namun penggunaan kedua verba tersebut dalam kalimat akan merubah nuansa makna kalimat sebelumnya. Sehingga verba tetsudau dan tasukeru belum tentu dapat saling menggantikan dalam sebuah kalimat yang sama. Dengan kata lain, ada yang bisa dan ada yang tidak bisa saling menggantikan.

3. Verba tetsudau memiliki makna; melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan secara bersama-sama (orang yang dibantu dan yang membantu) untuk meringankan beban pelaku inti kegiatan; sesuatu yang membantu mempengaruhi terjadinya suatu hal. Sedangkan verba tasukeru memiliki makna; mengeluarkan tenaga sendiri untuk menolong makhluk hidup lain agar ia terbebas dari bahaya; membantu pekerjaan atau hal yang sedang dilakukan orang lain yang kebingungan agar beban yang bersangkutan berkurang.


(46)

4. Perbedaan makna verba tetsudau dan tasukeru adalah sebagai berikut:

a. Tetsudau, posisinya hanya sebatas asisten pembantu. Dengan kata lain, porsi pekerjaannya hanya sebagian kecil saja bila dibandingkan dengan pelaku utama kegiatan. Sedangkan tasukeru, porsi kerjanya bisa dikatakan 50:50.

b. Tetsudau, orang yang dibantu memiliki tenaga/kemampuan yang cukup untuk menyelesaikan pekerjaannya sendiri. Sedangkan tasukeru, orang yang dibantu merasa kebingungan dan tidak mampu menyelesaikan pekerjaannya seorang diri. c. Tetsudau, tidak digunakan dalam kalimat yang bernuansa membahayakan nyawa

atau keadaan darurat lainnya. Sedangkan tasukeru, bisa juga digunakan dalam kalimat yang bernuansa bahaya.

d. Tetsudau, pekerjaan harus selalu dilakukan bersama-sama dengan pelaku utama pekerjaan. Sedangkan tasukeru, pekerjaan bisa dilakukan bersama, bisa juga tidak. 5. Dalam hal perbandingan makna, verba tetsudau dan tasukeru dapat saling

menggantikan dalam kalimat tertentu. Akan tetapi, meskipun bisa saling menggantikan, tetapi penggantian tersebut dapat mempengaruhi perubahan makna yang sangat besar. Apabila verba tetsudau diganti menjadi verba tasukeru, maka perubahan makna kalimat yang terjadi menjadi adanya kesan kebingungan atau rasa tidak mampu pada orang yang dibantu. Jika sebaliknya, maka kesannya pekerjaan yang dilakukan terasa lebih ringan dan tidak ada kesan rasa putus asa atau kebingungan yang dialami oleh pelaku utama kegiatan. Nuansa bahaya yang dimiliki oleh kalimat yang menggunakan verba tasukeru menjadi hilang sama sekali.

4.2 Saran

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat melengkapi tulisan-tulisan pada skripsi sebelumnya yang menulis tentang sinonim. Terutama bagi pembelajar bahasa Jepang


(47)

yang ingin memahami lebih jauh mengenai makna verba tetsudau dan tasukeru. Dengan demikian diharapkan dapat lebih berhati-hati dalam menggunakan kedua verba tersebut atau kata bersinonim lainnya yang memiliki kemiripan makna dalam kalimat.

Dengan dilakukannya analisis ini, penulis juga berharap dapat memperkaya wawasan serta menambah pemahaman mengenai verba bersinonim bagi pembelajar bahasa Jepang, untuk menghindari kesalahan dalam menginterpretasikan makna.


(48)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG VERBA, STUDI SEMANTIK DAN KESINONIMAN

2.1 Verba Bahasa Jepang

2.1.1 Pengertian dan Ciri-Ciri Verba

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:1260), disebutkan bahwa verba adalah kata yang menggambarkan proses, perbuatan atau keadaan yang disebut juga kata kerja.

Verba dalam bahasa Jepang disebut doushi. Menurut Situmorang (2010:9), makna doushi bila dilihat dari kanjinya yaitu:

: ugoku, dou [bergerak]

: kotoba,shi [kata]

動詞 : doushi [kata yang bermakna gerakan] Doushi menurut Situmorang (2010:9) memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Dapat berdiri sendiri

2) Berkonjugasi/ mengalami perubahan bentuk

3) Bermakna sesuatu kegiatan, keberadaan atau perubahan keadaan 4) Dapat menjadi predikat dalam kalimat

Doushi adalah kata kerja yang berfungsi menjadi predikat dalam suatu kalimat, mengalami perubahan bentuk (katsuyou) dan bisa berdiri sendiri (Sutedi, 2008:42).

Nomura dan Koike dalam Sudjianto (2004:149) berpendapat hampir sama dengan Sutedi. Mereka menyatakan bahwa verba (doushi) adalah salah satu kelas kata dalam bahasa Jepang, sama dengan ajektiva-i dan ajektiva-na menjadi salah satu jenis yougen. Kelas kata ini dipakai untuk menyatakan aktivitas, keberadaan atau keadaan sesuatu.


(49)

Doushi dapat mengalami perubahan (katsuyou) dan dengan sendirinya dapat menjadi predikat.

Sedangkan Iori dalam Yusmarani (2006: 14) menyatakan bahwa verba (doushi) adalah kata yang menyatakan peristiwa yang merupakan inti kalimat yang biasa dipakai bersama frase dengan nomina (pelengkap), dimana melibatkan kakujoshi.

Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa verba (doushi) adalah kelas kata yang menyatakan aktivitas, keberadaan atau keadaan (peristiwa), mengalami perubahan (katsuyou), dapat berdiri sendiri dan bisa menjadi predikat dalam suatu kalimat.

2.1.2 Jenis-Jenis Verba

Dalam buku Dasar-dasar Linguistik Bahasa Jepang, Dedi Sutedi (2008: 48) menyatakan bahwa verba dalam bahasa Jepang digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan pada bentuk konjugasinya.

1. Kelompok I (godan-doushi)

Verba kelompok ini disebut dengan 五段動詞 (godan-doushi), karena mengalami perubahan dalam lima deretan bunyi bahasa Jepang, yaitu a-i-u-e-o (あ い う え,

). Cirinya yaitu verba yang berakhiran huruf u-tsu-ru-bu-nu-mu-ku-su-gu (

ぶ , , ).

Contoh: う ka-u [membeli]

ta-tsu [berdiri] 売 u-ru [menjual] 遊ぶ aso-bu [bermain]


(50)

shi-nu [mati]

yo-mu [membaca]

ka-ku [menulis]

hana-su [berbicara] 泳 oyo-gu [berenang] 2. Kelompok II (ichidan-doushi)

Verba kelompok ini disebut 一 段 動 詞 (ichidan-doushi), karena perubahannya terjadi pada satu deretan bunyi saja. Ciri utama dari verba ini adalah verba yang berakhiran e-ru (え ), biasa disebut ୖ一段動詞 (kami ichidan doushi), dan verba yang berakhiran i-ru (い ) yang biasa disebut ୗ一段動詞 (shimo ichidan doushi).

Contoh: 見 miru [melihat]

neru [tidur]

taberu [makan]

3. Kelompok III (henkaku doushi)

Verba kelompok III yang disebut 変格動詞 (henkaku doushi) merupakan verba yang perubahannya tidak beraturan dan hanya terdiri dari dua verba berikut:

a. サ変動詞 (sahendoushi) : suru [melakukan]

b. カ変動詞 (kahendoushi) : kuru [datang]

Sementara Shimizu dalam Sudjianto (2004:150) membagi doushi kepada 3 bagian, yaitu :


(51)

1. Jidoushi (自動詞 „verba intransitif‟)

Jidoushi (自 動 詞) merupakan verba yang tidak disertai objek penderita. Jika dilihat dari huruf kanjinya, maka jidoushi dapat bermakna „kata yang bergerak sendiri‟.

Contoh : 行 iku [pergi]

okiru [bangun]

neru [tidur]

deru [keluar]

shimaru [tertutup]

2. Tadoushi ( 動詞 ‟verba transitif‟)

Tadoushi ( 動 詞)merupakan verba yang memiliki objek penderita. Verba tadoushi merupakan kelompok doushi yang menyatakan arti mempengaruhi pihak lain, atau dengan kata lain ada gerakan dari subjek.

Contoh : 起 okosu [membangunkan]

nekasu [menidurkan]

dasu [mengeluarkan]

shimeru [menutup]

3. Shodoushi (所動詞)

Shodoushi ( 所 動 詞 ) merupakan kelompok doushi yang memasukkan pertimbangan pembicara, maka verba ini tidak dapat diubah ke dalam bentuk pasif dan kausatif. Selain itu, tidak memiliki bentuk perintah dan ungkapan kemauan (意思表現 ishi hyougen)


(52)

Contoh : 見え mieru [terlihat]

iru [ada]

聞 え kikoeru [terdengar]

ikeru [dapat pergi]

Selain pembagian di atas, Terada Takano dalam Sudjianto (2004:150) menambahkan fukugou doushi, haseigo toshite no doushi dan hojo doushi sebagai jenis-jenis doushi.

1. Fukugou doushi (複合動詞)

Fukugou doushi (複合動詞), adalah doushi yang terbentuk dari gabungan dua buah kata atau lebih. Gabungan kata tersebut secara keseluruhan dianggap sebagai satu kata.

Contoh :

Doushi + doushi  話 合う hanashiau [berunding]

Meishi + doushi  調査 choosa suru [menyelidiki]

Keiyoushi + doushi  近寄 chikayoru [mendekati]

2. Haseigo toshite no doushi 派生語 動詞

Haseigo toshite no doushi 派生語 動詞, adalah verba yang memakai prefiks atau doushi yang terbentuk dari kelas kata lain dengan menambahkan prefix atau sufiks. Kata-kata tersebut secara keseluruhan dianggap satu kata.

Contoh : 迷う Samayou [mondar-mandir] 寒 Samugaru [merasa kedinginan]


(53)

3. Hojo doushi (補助動詞

Hojo doushi (補助動詞), yaitu doushi yang menjadi bunsetsu tambahan. Verba ini menunjukkan keberadaan. Biasanya verba ini tidak muncul bersama dengan verba bantu –iru.

Contoh :

a. あ aru [ada „benda mati‟] b. い iru [ada „makhluk hidup‟]

c. う morau [menerima]

Sementara itu, Seiichi Makino dan Michio Tsutsui dalam buku A Dictionary Of Basic Japanese Grammar (1997:582) mengklasifikasikan verba secara semantik menjadi lima jenis, yaitu:

1. Verba stative (verba yang menyatakan „diam/tetap‟)

Verba ini menunjukkan keberadaan. Biasanya verba ini tidak muncul bersama dengan verba bantu –iru.

Contoh:

a. い iru [ada]

b. dekiru [bisa]

c. い iru [membutuhkan]

2. Verba Continual (verba yang menyatakan „selalu, terus-menerus‟)

Verba ini berkonjugasi dengan verba bantu –iru untuk menunjukkan aspek pergerakan.


(54)

Contoh:

a. 食 taberu [makan] → 食 い tabeteiru [sedang makan] b. 飲 nomu [minum] → 飲 い nondeiru [sedang minum] 3. Verba Punctual

Verba ini berkonjugasi dengan verba bantu –iru untuk menunjukkan tindakan atau perbuatan yang berulang-ulang atau suatu tingkatan/posisi setelah melakukan suatu tindakan atau penempatan suatu benda.

Contoh:

a. 知 shiru [mengetahui] →知 い shitteiru [mengetahui]

b. 打 utsu [memukul] →打 い utteiru [memukuli]

4. Verba Non-Volitional (verba yang menyatakan „bukankemauan‟)

Verba ini biasanya tidak memiliki bentuk ingin, bentuk perintah, dan bentuk kesanggupan. Verba ini diklasifikasikan sebagai verba berkenaan dengan emosi atau perasaan dan verba yang tidak berkenaan dengan perasaan emosi.

Contoh:

a. konomu [menyukai; berkenaan dengan perasaan] b. え mieru [kelihatan; tidak berkenaan dengan perasaan]


(55)

5. Verba Movement (verba yang menyatakan „pergerakan‟) Verba ini menunjukkan gerakan.

Contoh:

a. 歩 aruku [berjalan]

b. 帰 kaeru [kembali/pulang]

2.1.3 Fungsi Verba

Sebelum membahas lebih lanjut tentang fungsi verba, penulis merasa penting untuk terlebih dahulu menjelaskan makna dari kata „fungsi‟ itu sendiri. Berikut beberapa pengertian fungsi, adalah sebagai berikut:

a. Menurut KBBI (2008:322), fungsi adalah nomina 1. Jabatan (pekerjaan) yang dilakukan; 2. Faal (kerja suatu bagian tubuh); matematika 3. Besaran yang berhubungan; 4. Kegunaan suatu hal; linguistik 5.peran sebuah unsur bahasa dalam satuan sintaksis yang lebih luas (seperti nomina yang berperan sebagai subjek). b. Menurut Kridalaksana (1982:65), fungsi adalah 1. Beban makna suatu kesatuan

bahasa; 2. Hubungan antara satu satuan dengan unsur-unsur gramatikal, leksikal atau kronologis dalam suatu deret satu-satuan; 3. Penggunaan bahasa untuk tujuan tertentu; 4. Peran unsur dalam satu ujaran dan hubungannya secara struktural dengan unsur lain; 5. Peran sebuah unsur dalam satuan sintaksis yang lebih luas, misal nominal yang berfungsi sebagai subjek atau objek.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi merupakan suatu peranan unsur sintaksis dalam penggunaan bahasa yang saling berhubungan dengan unsur gramatikal, leksikal ataupun kronologis.


(1)

PENGESAHAN Diterima oleh:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Sumatera Utara Medan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang Pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Pukul : Tanggal :

Hari :

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Dekan,

Dr. Budi Agustono, M.S NIP. 19600805 198703 1 001

Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan

1. Drs. Eman Kusdiyana M. Hum ( )


(2)

5

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tak terhingga kepada Allah SWT, atas seluruh nikmat kasih sayang dan ridho-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Dan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, atas suri tauladannya kepada seluruh umat.

Penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Fungsi dan Makna Verba Tetsudau dan Tasukeru dalam Kalimat Bahasa Jepang” ini diajukan sebagai persyaratan dalam mencapai gelar sarjana di Fakultas Ilmu Budaya Program Studi Strata-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

Dalam pelaksanaan penyelesaian studi dan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan bimbingan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum, selaku Ketua Dapartemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing II yang telah membimbing penulis dan memberi arahan selama proses penyusunan skripsi ini;

3. Bapak Drs. Nandi S, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah memberi waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan skripsi ini dengan sabar dari awal hingga skripsi ini selesai;


(3)

4. Seluruh Dosen pengajar Departemen Sastra Jepang yang penuh kesabaran telah memberikan banyak ilmu kepada penulis dari tahun pertama hingga dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik;

5. Ayahanda (Alm.) Nurdin Abubakar dan Ibunda Fauzah Hasan, yang tidak pernah berhenti mendoakan dan mendukung penulis. Doa dan dukungan yang tak akan mampu penulis balas dengan sempurna;

6. Keluarga besar Ayahanda (Alm.) Sulaiman dan Ibunda Nurliah beserta kakak-kakak dan abang-abang ipar, atas doa dan dukungan yang tak terhingga selama ini.

7. Suami Muhammad Hidayat dan Ananda tercinta Fathin Muhammad Al Akif, Sabil Muhammad Az Zahid dan Syafiqah Layyina, untuk cinta kasih dan kesabaran yang tak berkesudahan;

8. Adinda terkasih Nora Devi dan keluarga, Ferdian Saputra dan keluarga, Helvira Rosalia, Eva Meuthia dan Nailul Authar, yang terus mendukung dengan cara mereka masing-masing;

9. Bapak H. Zonny Waldi, S.Sos, MM, selaku Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara beserta seluruh eselon III & IV, khususnya Kasubbag Umum Bapak Arwin Susilo, S. Sos, selaku atasan langsung penulis, atas dukungan dan kesempatan yang diberikan kepada penulis;

10.Seluruh staf Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara, khususnya para sahabat yang senantiasa mendukung dari hari ke hari untuk menyelesaikan skripsi ini;


(4)

7

12.Semua pihak yang telah membantu dari awal hingga selesai.

Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis, masyarakat luas pada umumnya, terutama bagi pembelajar bahasa Jepang. Penulis juga berharap skripsi ini dapat menjadi referensi untuk lebih memahami tentang sinonim dalam bahasa Jepang atau sebagai pengayaan dalam penulisan skripsi dengan tema sejenis.

Medan, Juni 2016 Penulis,

Novita Amrah


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………. i

DAFTAR ISI……… iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah……… 1

1.2 Perumusan Masalah………... 5

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan……….. 6

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori………... 6

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian……….. 11

1.6 Metodologi Penelitian……… 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG VERBA, STUDI SEMANTIK DAN KESINONIMAN 2.1 Verba Bahasa Jepang………. 14

2.1.1 Pengertian dan Ciri-Ciri Verba……….. 14

2.1.2 Jenis-Jenis Verba………... 15

2.1.3 Fungsi Verba……….. 21

2.1.4 Pengertian Verba Tetsudau dan Tasukeru………. 23

2.1.4.1 Verba Tetsudau……….. 23

2. 1.4.2 Verba Tasukeru………. 25

2.2 Studi Semantik……….. 27


(6)

9

2.2.1.2 Perubahan Makna Dalam Semantik………. 34 2.2.1.3 Manfaat Mempelajari Semantik………... 36

2.2.2 Kesinoniman……….. 37

2.2.3 Pilihan Kata……… 39

BAB III ANALISIS MAKNA VERBA TETSUDAU DAN TASUKERU DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG

3.1 Verba Tetsudau……….. 40

3.2 Verba Tasukeru……….. 45

3.3 Analisis Perbedaan Nuansa Makna Verba Tetsudau dan Tasukeru…. 50

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan………. 55

4.2 Saran………... 56

DAFTAR PUSTAKA……… 58

ABSTRAK


Dokumen yang terkait

Analisis Fungsi Dan Makna Verba Utsu Dan Tataku Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru (Utsu) To (Tataku) No Kinou To Imi No Bunseki

3 113 70

Analisis Fungsi Dan Makna Fukushi Kanari Dan Zuibun Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou ni Okeru Zuibun To Kanari To Iu Fukushi No Imi To Kiinou No Bunseki

14 146 97

ANALISIS PENGGUNAAN VERBA BERSINONIM TETSUDAU, TASUKERU, DAN SUKUU DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG.

3 9 38

Analisis Fungsi dan Makna Verba Tetsudau dan Tasukeru Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru Tetsudau To Tasukeru No Kinou To Imi No Bunseki

0 0 9

Analisis Fungsi dan Makna Verba Tetsudau dan Tasukeru Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru Tetsudau To Tasukeru No Kinou To Imi No Bunseki

0 0 7

Analisis Fungsi dan Makna Verba Tetsudau dan Tasukeru Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru Tetsudau To Tasukeru No Kinou To Imi No Bunseki

0 1 13

Analisis Fungsi dan Makna Verba Tetsudau dan Tasukeru Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru Tetsudau To Tasukeru No Kinou To Imi No Bunseki

1 4 26

Analisis Fungsi dan Makna Verba Tetsudau dan Tasukeru Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru Tetsudau To Tasukeru No Kinou To Imi No Bunseki

0 0 3

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Analisis Fungsi Dan Makna Verba Utsu Dan Tataku Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru (Utsu) To (Tataku) No Kinou To Imi No Bunseki

0 1 10

Analisis Fungsi Dan Makna Fukushi Kanari Dan Zuibun Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou ni Okeru Zuibun To Kanari To Iu Fukushi No Imi To Kiinou No Bunseki

0 1 37