Karakteristik Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) yang dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan Tahun 2012

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Pengertian PPOK
Menurut Europan Respiratory Society (1995), PPOK adalah kondisi

keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Kondisi ini berkaitan
dengan terjadinya inflamasi disebabkan respon paru- paru terhadap partikel atau
gas yang beracun.
Menurut National Collaborating Centre for Chronic Conditions (2004),
PPOK adalah penyakit yang ditandai dengan obstruksi aliran udara, bersifat
irrevesibel, dan sebagian besar disebabkan karena merokok.16
Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, Penyakit
Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyakit yang ditandai oleh hambatan aliran
udara yang terus menerus dan bersifat progresif dan biasanya berhubungan dengan
peningkatan respon inflamasi kronis terhadap partikel dan gas berbahaya pada
saluran udara pernapasan.3
Banyak istilah yang dipakai untuk Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
antara lain Emphysema and Chronic Bronchitis Syndrome, Chronic Obstrucyive
Broncho Pulmonary Disease, Chronic Airways Obstructive, Chronic Obstructive

Lung Disease, Chronic Aspesific Respiratory Affection (CARA), Chronic Non
Spesific Lung Disease ( CNSLD ), dan pada tahun 1970 menjadi Chronic
Obstructive Pulmonary Disease ( COPD).17

Penyakit ini bersifat progresif, artinya penyakit ini tidak dapat
disembuhkan dan dari tahun ke tahun akan semakin memburuk. Penderita yang

Universitas Sumatera Utara

mengalami PPOK ini mengalami kesulitan bernapas, batuk yang rutin, dan
intoleransi aktivitas.18,19 Keadaan ini lama kelamaan akan timbul komplikasi lain
seperti gagal pernapasan.20
Sistem pernapasan adalah keterpaduan beberapa struktur yang terlibat
dalam proses respirasi. Struktur utama sistem pernapasan adalah saluran udara
pernapasan yang terdiri dari jalan napas, saluran napas, dan paru.
Jalan napas memiliki bagian yaitu nares (lubang hidung), hidung bagian
luar, hidung bagian dalam, sinus paranasal, faring, dan laring. Sedangkan saluran
napas adalah trakea, bronkus, dan bronkiolus. Parenkim paru adalah organ berupa
kumpulan alveoli yang mengelilingi cabang bronkus. Paru-paru merupakan tempat
pertukaran karbondioksida yang berasal dari darah menjadi oksigen untuk

digunakan kembali. Paru-paru terdiri dari dua bagian yaitu paru- paru bagian kiri
yang memiliki 2 lobus dan paru- paru kanan yang memiliki 3 lobus. Pada kedua
bagian paru ini terdapat sekitar 1500 km aliran udara dan ada sebanyak 300- 500
juta alveoli yang berfungsi sebagai tempat pertukaran udara.21
Penyakit paru yang secara klinis dapat menyebabkan PPOK adalah
bronkitis kronis, emfisema pulmonal, dan asma bronkial. Beberapa penyakit kronis
yang dapat menyebabkan fibrosis seperti tuberkulosis dan sarkoidosis atau yang
mengakibatkan peradangan seperti bronkiektasis dan fibrosis kistik yang dapat
menyebabkan obstruksi yang bersifat irreversibel dan produksi mukus yang
bersifat kronis biasanya tidak dimasukkan ke dalam PPOK.16

Universitas Sumatera Utara

2.1.1

Bronkitis Kronis

Bronkitis kronis adalah batuk produktif kronis yang menghasilkan lendir
berlebihan di dalam bronki minimal selama 3 bulan per tahun paling tidak selama
2 tahun berturut- turut. Sputum yang dihasilkan bisa saja mukoid atau

mukopurulen.22 Hal ini disebabkan terjadinya perubahan patologis seperti
hipertrofi dan hiperplasia pada sel-sel penghasil mukus di bronkus. Selain itu silia
yang melapisi bronkus mengalami disfungsional dan metaplasia sehingga
mengganggu sistem mukosiliaris dan menyebabkan terakumulasinya mukus yang
mengental sehingga sulit untuk dikeluarkan dari saluran napas. Mukus yang
mengental tersebut akan menjadi tempat perkembangbiakan yang baik untuk
mikroorganisme sehingga terjadi inflamasi di daerah saluran napas. Hal ini
menyebabkan terjadinya edema di daerah jaringan serta perubahan bentuk dari
paru.23 Jika terjadi infeksi yang berulang akan mengakibatkan kerusakan yang
menetap pada saluran udara dan terbentuk jaringan parut sehingga terjadi
penyempitan pada saluran perifer kecil.
2.1.2

Emfisema Pulmonal 24
Emfisema pulmonal adalah perubahan anatomis pada parenkim paru yang

ditandai dengan perbesaran abnormal duktus alveoli, kerusakan alveolar, dan
kerusakan dinding alveolar. Hilangnya elastisitas paru dapat memengaruhi alveolus
dan bronkus. Emfisema lebih sering menyerang lobus bagian bawah. Pada keadaan
normal bronkioli memiliki ikatan yang kuat untuk menyangga dan menjaga saluran

pernapasan terbuka. Namun pada emfisema, alveoli mengalami kerusakan sehingga

Universitas Sumatera Utara

alveoli kehilangan struktur penyangganya. Sehingga pada saat terjadi ekspirasi
bronkioli akan mengerut dan saluran udara menyempit.
Rokok merupakan faktor determinan yang paling memengaruhi penyakit ini. Saat
ini diketahui lebih dari 4.000 zat kimia racun yang memengaruhi keseimbangan
antara antiprotease dengan protease di dalam paru-paru yang menyebabkan kerusakan
permanen. Pada emfisema tahap lanjut ditemukan :
a.

Hiperinflasi dada
Diafragma datar dan rendah dengan pergerakan yang terbatas saat inspirasi

dan ekspirasi. Peningkatan diameter anteroposterior dada dengan perluasan pada
rongga retrosternal (barrel chest). Penampakan bagian jantung yang tipis, panjang,
dan sempit. Hal ini disebabkan oleh inflasi berlebihan dan diafragma rendah.
b.


Perubahan vaskular
Paru secara umum dipengaruhi oleh distribusi vaskularisasi pulmonal yang

secara abnormal tidak rata sehingga pembuluh darah menjadi tipis disertai hilangnya
gradasi halus normal dari pembuluh darah yang berasal dari hilus dan perifer.
c.

Bullae
Rongga menyerupai kista sering terbentuk akibat robeknya jaringan
alveolus yang melebar. Pada foto dada, rongga tersebut tampak sebagai daerah
translusen dengan dindingnya terlihat sebagai bayangan kurva linear menyerupai
garis rambut.

2.1.3

Asma Bronkial

Asma bronkial adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya peningkatan
reaktivitas


saluran

pernapasan

terhadap

berbagai

rangsangan

sehingga

Universitas Sumatera Utara

menimbulkan sesak napas.17 Pada keadaan normal, aliran udara dari hidung
sampai ke alveoli tidak mengalami hambatan. Namun ketika terjadi serangan
asma, aliran udara pada saluran pernapasan menjadi lambat. Hal ini disebabkan
terjadinya penyempitan saluran napas yaitu otot-otot saluran napas berkerut
(bronkopasme), terjadinya pembengkakan sel- sel permukaan saluran napas, dan
produksi mukus kental yang berlebihan sehingga menghambat saluran napas

kecil.25
Peradangan saluran napas dalam jangka waktu yang lama akan
menyebabkan perubahan bentuk pada saluran napas dengan meningkatnya otot
polos, adanya gangguan epitel pada permukaan, meningkatnya kolagen, dan
penebalan membran dasar. Perlu dilakukan penanganan yang tepat pada penderita
asma agar tidak tejadi hal di atas untuk mengurangi kecenderungan menjadi
PPOK.15
Ketiga penyakit ini dapat disebut sebagai PPOK apabila tingkat keparahannya
sudah tahap lanjut dan bersifat progresif.21
2.2

Patogenesis PPOK

Obstruksi saluran napas pada PPOK terjadi karena terjadi perubahan struktural
pada saluran napas kecil yaitu inflamasi, fibrosis, metaplasi sel globet dan dan
hipertropi otot polos. Sel globet adalah sel mukus yang menggembung yang berisi
granula sekretorik. Jalan napas mulai dari hidung sampai ke bronkiolus dilapisi
oleh lendir yang dihasilkan oleh sel mukus yang berfungsi menangkap partikel
debu.17 Pada penderita brokitis kronis terjadi pembesaran kelenjar mukosa


Universitas Sumatera Utara

bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta
distorsi akibat fibrosis.
Pada penderita emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal
bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Apabila tidak ditangani
dan faktor risikonya sendiri tidak dikurangi maka lama kelamaan akan terjadi
obstruksi saluran napas yang bersifat irreversibel dan progresif.26
Adapun penyakit yang biasanya terjadi sebelum PPOK adalah bronkitis
kronis, asma bronkial, TB Paru, Sinusitis, Polip, dan hipertensi.16
2.3

Gejala PPOK17

2.3.1

Sesak napas
Gejala ini yang paling sering terjadi pada penderita PPOK. Hal ini disebabkan

saluran udara yang menyempit dan bersifat irreversibel. Penyempitan saluran napas

tersebut menyebabkan peningkatan resistensi dan tertahannya udara sehingga udara
inspirasi menjadi berkurang. Kurangnya udara yang masuk menyebabkan saluran
bronkiolus menjadi kolaps, sehingga udara akan semakin sulit masuk ke paru-paru.
Hiperinflasi paru-paru meningkatkan volume residu sehingga terjadi sesak saat
beraktivitas. Diafragma menjadi rata sehingga dibutuhkan usaha yang lebih besar
untuk bernapas.
2.3.2

Batuk dan produksi sputum
Pada kebanyakan penderita gejala ini biasanya mendahului sesak napas. Batuk

terjadi karena adanya iritasi saluran pernapasan akibat pelepasan komponen dari sel
yang sudah mengalami inflamasi dan produksi sputum yang meningkat. Kondisi ini

Universitas Sumatera Utara

biasanya mengalami perburukan pada pagi hari. Warna dari dahak tersebut berwarna
putih pada penderita yang bukan perokok dan berwarna abu-abu pada perokok.
2.3.3 Mengi
Suara mengi dihasilkan oleh aliran turbulen pada saluran udara. Gejala ini

muncul karena adanya paparan alergen tertentu dan penderita yang mengalami
eksaserbasi disebabkan penyempitan bronkus.
Gejala lain yang timbul adalah nyeri dada, infeksi dada, anoreksia, penurunan
berat badan, kelelahan, depresi, dan kecacatan (terjadi pada PPOK stadium lanjut).
2.4

Komplikasi PPOK21

2.4.1 Kor pulmonal (gagal jantung kanan)
Komplikasi ini terjadi karena adanya peningkatan tekanan dan desakan dari
ventrikel kanan (disebabkan perbesaran sel ventrikular kanan). Peningkatan
resistensi pembuluh darah paru sebagai akibat dari penyempitan pembuluh
darah hipoksia paru menyebabkan desakan pada sisi kanan jantung. Pada
akhirnya terjadi hipertrofi dan kegagalan ventrikel kanan. Berdasarkan
penelitian Puspita (2007) di RS Dr. Kariadi Semarang dari 72 penderita gagal
jantung terdapat 9,7% PPOK sebagai komorbid gagal jantung.27
2.4.2 Polisitemia
Pada tingkat kronis jumlah oksigen semakin rendah sehingga untuk
menyeimbangkan dengan kebutuhan terjadi peningkatan jumlah sel darah
merah. Peningkatan sel darah merah berguna untuk meningkatkan hemoglobin

untuk memenuhi kebutuhan oksigen. Mekanisme ini meningkatkan viskositas

Universitas Sumatera Utara

darah, sehingga darah lebih sulit dipompa ke dalam jaringan, dan mengurangi
pengiriman oksigen.
2.4.3 Pneumotoraks
Komplikasi ini terjadi pada penderita emfisema. Bulla yang terdapat pada
emfisema tahap lanjut bisa saja pecah sehingga udara yang terdapat di dalam
bulla masuk ke dalam rongga pleura. Gejala yang muncul yaitu nyeri dada dan
sesak yang meningkat. Diagnosis ditegakkan dengan foto sinar X. Pada tahap
ringan tidak menunjukkan gejala sehingga dapat sembuh sendiri.
2.4.4 Eksaserbasi
Eksaserbasi terjadi karena produksi sputum yang berlebihan sehingga
memudahkan bakteri tumbuh dan akan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi
kronik imunitas tubuh mulai menurun, hal ini ditandai dengan menurunnya
kadar limfosit di dalam darah.
2.5

Epidemiologi PPOK

2.5.1 Distribusi dan Frekuensi PPOK Berdasarkan Orang
Pada tahun 2006 prevalens penderita PPOK lebih tinggi pada orang kulit putih
di Amerika 0,5% sementara pada orang Afrika Amerika sebanyak 0,03%.
Berdasarkan penelitian American Lung Association State of Lung Disease in Diverse
Communities 2010, pada tahun 2008 perbandingan antara penderita PPOK berkulit
hitam (Afrika Amerika) dengan penderita berkulit putih yang didiagnosis menderita
bronkitis kronis cukup signifikan.28
Penderita PPOK lebih tinggi pada laki- laki, namun di beberapa negara
Eropa tidak ada perbedaan yang menonjol antara penderita laki- laki dengan

Universitas Sumatera Utara

penderita perempuan. Pada usia 45−65 tahun terjadi peningkatan angka prevalens
sebesar 2% dan pada usia di atas 75 tahun terjadi peningkatan sebesar 7% pada
laki- laki.29
Di negara Amerika dan Inggris tidak ada perbedaan yang menonjol antara
jumlah penderita laki- laki dengan perempuan. Hal ini dikaitkan dengan faktor
risiko PPOK yang paling berpengaruh yaitu rokok. Pada umumnya proporsi
penggunaan rokok antara laki-laki dengan perempuan tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan. Pada tahun 2004 di negara Inggris angka mortalitas
PPOK sebanyak 5% pada laki- laki dan 4% pada perempuan. Angka mortalitas ini
cenderung lebih tinggi di daerah urban seperti South Wales, bagian barat laut, dan
daerah Skotlandia. Kebanyakan mereka adalah perokok dan golongan ekonomi
menengah ke bawah.30
2.5.2 Distribusi Frekuensi Penderita PPOK berdasarkan tempat
Hasil survei yang dilakukan pada 25 negara penduduk terbanyak tahun
2006 angka kecacatan tertinggi adalah negara India dengan angka kecacatan 667
per 100.000 penduduk dan angka mortalitas PPOK tertinggi yaitu negara Cina
sebanyak 130,5 per 100.000 penduduk. Sementara Indonesia berada pada
peringkat ke-6 dengan angka kecacatan 613 per 100.000 penduduk dan angka
mortalitas sebanyak 58,4 per 100.000 penduduk.31
2.5.3 Distribusi Frekuensi Penderita PPOK berdasarkan waktu
Data WHO menunjukkan prevalenssi PPOK pada tahun 2001 sebesar 4,8% dan
menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. Di Provinsi Yogyakarta
pada sebuah Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4) kunjungan kasus baru

Universitas Sumatera Utara

mengalami peningkatan dari tahun 2004-2007 kecuali tahun 2006. Pada tahun
2005 terjadi sedikit peningkatan. Akan tetapi pada tahun 2006 terjadi penurunan
kasus sebanyak 49,61% . Hal ini disebabkan terjadinya gempa bumi yang
mengakibatkan banyaknya korban yang meninggal.pada tahun 2007 terjadi
peningkatan sebesar 146% dari tahun 2006 dan meningkat 23,85% dari tahun
2005.32
Prevalensi PPOK di Povinsi Jawa Tengah tahun 2005 sebesar 0,09 kemudian
terjadi peningkatan pada tahun 2006 menjadi 0,14 dan pada tahun 2007 sebesar
0,16. Terjadi penurunan prevalensi dari tahun 2008 sebesar 0,20% menjadi 0,12%
akan tetapi masih menjadi salah satu dari tujuh penyakit terbesar. Pada tahun 2009
PPOK di Provinsi Jawa Tengah berjumlah 39.474 kasus (proporsi 2,6%).33
2.5.4 Faktor risiko PPOK
a.

Rokok
Rokok merupakan faktor risiko yang paling besar terhadap terjadinya PPOK.

Hampir 90% PPOK disebabkan oleh rokok.34 Berdasarkan penelitian Tri Agus
Yuarsa (2013) dari 85 penderita proporsi penderita yang memiliki riwayat merokok
selama 30-40 tahun sebesar 87% dan yang paling sedikit proporsi penderita yang
memiliki riwayat merokok 10-20 tahun yaitu 0,03)%.4
Asap rokok dapat meningkatkan kadar oksidan melalui peningkatan sel radang
antara lain makrofag alveolar meningkat 2-4 kali, dan netrofil meningkat 3-5 kali,
sehingga mengakibatkan bertambahnya kadar superoksida dan hidrogen peroksida.
Selain itu rokok juga berperan sebagai oksidan serta menekan aktivitas silia, dan
dapat mengakibatkan hipertrofi mukus. Oksidan juga mampu merusak sel

Universitas Sumatera Utara

parenkim serta jaringan ikat dari ekstraseluler, dengan sifatnya sebagai bahan
kimia yang elektrofilik reaktif. 24
Asap rokok
TNFα
efek sistemik
(penurunan berat badan,
ά
kelemahan otot)

Inflamasi epitel
Saluran pernapasan

stres oksidan

Radikal
oksige

ά

CD8

άά

Makrofag

ά

PMN

Penghambatan antiprotease normal
(penghambatan α-1antitripsin)

Perforin,
lipase

Peningkatan aktivitas protease

genetika

Elastase

Kerusakan dinding alveolus dan bronkus ,
peningkatan produksi mukus

PPOK

b. Defisiensi alfa-1-antitripsin
Alfa-1-antitripsin merupakan senyawa protein atau polipeptida yang terdapat
dalam darah atau cairan bronkus. Senyawa ini berfungsi menghalangi perusakan
parenkim paru oleh protease yang berasal dari bakteri maupun leukosit. Apabila
terjadi defisiensi kemungkinan akan terjadi emfisema, yang berpotensi menjadi
PPOK. Kelainan ini dapat diturunkan melalui gen resesif autosomal.17
c.

Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja yang menghasilkan partikel juga menjadi faktor risiko PPOK,

seperti penambang batu bara, penambang batu karang, pekerjaan yang menghasilkan

Universitas Sumatera Utara

partikel debu organik seperti debu kapas, debu padi, dan debu kayu. Bagi mereka
yang sering terpajan dengan klorin, amonia, sulfur dioksida, toluen diisosianat, asap
diesel, kromium, sulfur, natrium dioksida, dan aldehid juga berisiko terkena PPOK.35
Insiden PPOK lebih tinggi pada golongan sosio ekonomi rendah, terutama yang
tinggal di daerah perkotaan. Hal ini dikaitkan dengan tempat tinggal mereka yang
kumuh, lembab, dan kepadatan penduduk yang memudahkan terjadinya penyebaran
infeksi saluran pernapasan. Gaya hidup mereka yang banyak merokok dan tingginya
paparan polusi pekerjaan juga memengaruhi tingginya kasus PPOK di lingkungan
ini.29 Di beberapa wilayah regional seperti di Afrika dan Asia masih menggunakan
kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak dengan ventilasi yang buruk. Hal
inilah yang mengakibatkan ibu rumahtangga banyak yang menderita PPOK.36
d.

Pertumbuhan paru yang tidak optimal
Hai ini berkaitan dengan pola konsumsi pada masa kehamilan, berat lahir yang

rendah, dan pajanan faktor risiko sewaktu anak-anak. Tetapi hal ini masih dugaan dan
belum dapat dibuktikan.1
2.6

Pencegahan PPOK

2.6.1

Pencegahan Primer26

a. Pendidikan mengenai PPOK
Hal ini bertujuan untuk menginformasikan faktor risiko PPOK dan faktor yang dapat
memperparah penyakit kepada orang yang berisiko dan keluarganya agar dapat
menghindari faktor pencetus tersebut. Kegiatan yang dapat dilakukan seperti
penyuluhan di lingkungan masyarakat, di lingkungan kerja terutama lingkungan
yang memiliki risiko tinggi terhadap PPOK seperti daerah industri yang

Universitas Sumatera Utara

mengandung banyak partikel berbahaya, dan lingkungan sekolah untuk berupa
pencegahan dini untuk tidak merokok karena ini merupakan faktor pencetus yang
paling utama.
b. Mengurangi paparan iritan lingkungan
Iritan lingkungan tersebut antara lain asap rokok, polutan tempat kerja, dan udara
dingin. Rokok merupakan faktor utama pencetus PPOK. Selain itu rokok juga
dapat memperparah keadaan penderita. Untuk itu rokok harus dihindari, sekitar
10%-15% perokok menderita PPOK. Angka kematian PPOK pada perokok juga
lebih tinggi dibanding yang bukan perokok.21 Polutan juga dapat memperberat
kondisi penderita PPOK, selain bersifat iritan terhadap saluran pernapasan.
Penggunaan alat pelindung diri (APD) sangat penting dalam mengurangi paparan
polutan. Udara dingin berhubungan dengan peningkatan reaktivitas saluran napas
pada penderita asma bronkial.
c. Menjaga berat badan ideal
Kondisi berat badan yang berlebih dapat mengakibatkan otot-otot pernapasan
harus bekerja lebih keras, diafragma terdorong ke atas dan menekan paru bagian
bawah, sehingga mengakibatkan gangguan keseimbangan ventilasi perfusi.
Menjaga berat badan agar tetap ideal perlu dilakukan untuk mengurangi beban
kerja paru, selain untuk menghindari risiko timbulnya penyakit lainnya.
d. Predisposisi genetik
Hal ini berkaitan dengan riwayat keluarga yang menderita emfisema, mengingat
adanya kelainan defisiensi α-1-antitripsin yang diturunkan secara autosomal.

Universitas Sumatera Utara

Faktor risiko yang masih dapat dicegah seperti merokok, polutan, dan yang
lainnya untuk dihindari.
e. Nutrisi yang cukup
Wanita hamil perlu mengonsumsi gizi yang cukup agar pembentukan organ bayi
dapat terbentuk dengan sempurna. Karena pembentukan organ paru yang tidak
sempurna sewaktu bayi menjadi salah satu faktor risiko PPOK.
2.6.2

Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder merupakan diagnosa dini pada penderita agar dengan cepat
dapat ditangani sehingga tidak semakin buruk dan bahkan terkena komplikasi.
Bagi yang berada di lingkungan polutan tinggi agar mengurangi paparan polutan
maupun polusi udara. Penderita yang merupakan perokok untuk mengurangi
ataupun menghindari paparan rokok agar kondisi penderita tidak semakin parah.37
Vaksinasi harus dilakukan untuk mengurangi risiko terjadinya komplikasi
eksaserbasi.38
Diagnosa PPOK ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
a.

Anamnesa
Hasil anamnesa diperoleh umumnya penderita berusia pertengahan keatas,
riwayat merokok atau bekas perokok, pernah terpajan dengan bahan iritan seperti
asap rokok, polutan bahan kimia beracun, dan polusi udara dalam jangka waktu
yang lama, serta memiliki riwayat keluarga penderita emfisema. Hal ini berkaitan
dengan defisiensi α-1-antitripsin yang dapat diturunkan. Adanya infeksi saluran
napas berulang sewaktu kecil.26 Anamnesa ulang sangat bermanfaat bagi

Universitas Sumatera Utara

penderita yang memeriksakan diri kembali untuk melihat progresivitas penyakit
dan respon pengobatan.14
b.

Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda hiperinflasi paru, penggunaan otot napas
sekunder, perubahan pola napas dan suara napas yang abnormal (mengi).
Ada beberapa tanda klinis yang dicurigai penderita PPOK yaitu purse lips
breathing (mulut setengah terkatup), barrel chest ( diameter antero-posterior dan

transversal sebanding), pelebaran sela iga, bila terjadi gagal jantung kanan
terlihat denyut nadi jugularis di leher dan edema tungkai, penampilan pink buffer
(kulit kemerahan, badan kurus, pernapasan purse lips breathing) tanda ini khas
pada penderita emfisema, dan blue bloater (gemuk sianosis, adanya edema
tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer) merupakan
tanda khas pada penderita bronkitis kronis.
c.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang digunakan untuk menunjang pemeriksaan lainnya untuk
menentukan diagnosis PPOK, antara lain:

c.1 Dengan menggunakan alat spirometri.
Obstruksi ditentukan dengan melihat nilai Volume Ekspirasi Paksa Detik
Pertama (VEP1) prediksi dan Arus Puncak Ekspirasi (APE). 26
c.2 Pemeriksaan radiologi (foto toraks) dapat dilihat kelainan paru hiperflasi atau
hiperflusen, diafragma mendatar, corakan bronkavaskuler meningkat, terdapat
bulla, dan jantung seperti pendulum.1

Universitas Sumatera Utara

c.3 Pemeriksaan darah rutin yaitu pemeriksaan Hemoglobin (Hb), Hematokrit (Ht),
dan leukosit. Apabila ditemukan polisitemia menunjukkan telah terjadi hipoksia
kronik.1,26
c.4 Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat terjadinya eksaserbasi agar dapat
ditangani dengan pemiihan antibiotik.infeksi saluran napas berulang merupakan
penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK.
Derajat keparahan PPOK berdasarkan hasil nilai spirometri VEP1 dan APE
dibagi atas: 30
1. Stadium 1 (ringan)

: ≥80% (dengan adanya gejala)

2. Stadium 2 (sedang)

: 50 - 79%

3. Stadium 3 (berat)

: 30 - 49%

4. Stadium 4 (sangat berat)

: < 30 % atau 50% dengan gagal napas

Dinyatakan menderita PPOK apabila ditemukan anamnesis penderita terpapar
dengan faktor risiko, serta adanya batuk kronik dan berdahak dengan sesak napas
terutama saat melakukan aktivitas pada usia pertengahan ke atas.1
Pengobatan yang dapat diberikan antara lain:
1.

Terapi B2-agonis dan anti-kolinergi. Keduanya merupakan bronkodilator yang
dapat menurangi gejala dan tingkat keparahan eksaserbasi.

2.

Inhalasi glukokortikosteroid, tujuannya sama dengan bronkodilator yaitu
mengurangi gejala dan frekuensi eksaserbasi. Namun penggunaan obat ini dapat
meningkatkan risiko katarak maupun glukoma. Untuk itu perlu dilakukan
pemeriksaan mata secara teratur bagi pengguna obat ini.

Universitas Sumatera Utara

3.

Teofilin, berguna untuk mengontrol gejala PPOK. Namun karena pertimbangan
efek samping, penderita direkomendasikan menggunakan inhalasi bronkodilator.

4.

Terapi oksigen digunakan bagi penderita yang mengalami gagal napas. Terbukti
terapi ini tidak memiliki efek yang berbahaya dalam jangka panjang.38
Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS) merupakan
program yang dilakukan pihak rumah sakit kepada penderita dan keluarga
penderita agar mereka berperan dalam penyembuhan dan pencegahan suatu
penyakit. Hal ini merupakan kerjasama antara petugas kesehatan dengan penderita
dan keluarga penderita.

2.6.3

Pencegahan Tersier39

Pencegahan tersier merupakan pencegahan yang dilakukan untuk mengurangi
keterbatasan penderita PPOK. Hal- hal yang dapat dilakukan adalah:
a.

Latihan fisik

Latihan ini bermanfaat untuk meningkatkan daya tahan tubuh terutama otot
pernapasan pada saat beraktivitas.
b.

Terapi psikososial

Terapi ini meliputi dukungan dari pihak keluarga kepada penderita, konsultasi
masalah yang dialami penderita, karena penderita PPOK biasanya mengalami depresi
dan kecemasan sehingga perlu diberikan motivasi oleh orang-orang yang dekat
dengan penderita.
c.

Terapi nutrisi

Penurunan berat badan dan pengecilan otot terjadi pada 20-35% penderita PPOK.
Pada tahap lanjut akan terjadi gangguan keseimbangan energi dengan protein. Hal

Universitas Sumatera Utara

yang perlu dilakukan adalah pengaturan pola makan bagi penderita. Akan tetapi harus
diikuti dengan berolahraga.

2.7

Kerangka Konsep

Berdasarkan latar belakang dan studi kepustakaan di atas, maka dapat diuat
kerangka konsep karakteristik penderita penyakit obstruksi kronik (PPOK) yang
dirawat inap di RSUP HAM Medan tahun 2012 seperti bagan di bawah ini.
KARAKTERISTIK PENDERITA PPOK

1. Sosiodemografi:
Umur
Jenis Kelamin
Agama
Pendidikan
Pekerjaan
Tempat Tinggal
2. Keadaan medis
Keluhan
Tingkat Keparahan
Jenis Penyakit sebelumnya
Jenis Komplikasi
Riwayat Merokok
3. Lama Rawatan Rata- rata
4. Sumber Pembiayaan
5. Keadaan Sewaktu pulang

Universitas Sumatera Utara