Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan Tahapan Kemoterapi Pada Penderita Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) Anak di RSUPH Adam Malik pada tahun 2009-2014

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Leukemia Limfoblastik Akut
Leukemia Limfoblastik Akut adalah salah satu jenis keganasan yang

terjadi pada sel darah dimana terjadi proliferasi berlebihan dari sel darah putih.
Pada LLA, terjadi proliferasi dari sel prekursor limfoid dimana 80% kasus berasal
dari sel limfosit B dan sisanya dari sel limfosit T. Keganasan ini bisa terjadi pada
stase manapun pada saat proses diferensiasi sel leukosit (Howard dan Hamilton,
2008).
LLA merupakan kasus keganasan yang paling sering ditemukan pada anak
usia 2-5 tahun (Permono dan Ugrasena, 2010) dan akan terus meningkat seiring
berkembangnya usia. Pada kasus LLA anak, tingkat kesembuhan dengan
pengobatan kemoterapi sangat besar hampir mencapai 80% sedangkan pada orang
dewasa lebih rendah tingkat kesembuhannya karena banyaknya pengobatan yang
mengalami multi-drug resistance (MDR) (Howard dan Hamilton, 2008).

2.1.1. Etiologi LLA
Penyebab dari terjadinya LLA masih belum diketahui, namun ada
penelitian terbaru yang menyatakan bahwa adanya peranan infeksi virus dan atau
bakteri (Permono dan Ugrasena, 2010). Ada beberapa faktor-faktor yang
membantu meningkatkan angka kejadian LLA seperti faktor lingkungan, faktor
genetik (Tabel 1), dan faktor paparan terhadap radiasi pada saat sedang dalam
kandungan maupun pada saat kanak-kanak. Selain itu, infeksi virus Epstein-Barr
serta sel limfosit B juga berperan terhadap kejadian LLA pada negara berkembang
(Tubergen dan Bleyer, 2007).

Universitas Sumatera Utara

6

Tabel 2.1-Faktor predisposisi dari Leukemia Limfoblastik Akut (Tubergen
dan Bleyer, 2007)
Faktor Genetika
Faktor Lingkungan
Sindrom Down


Radiasi

Sindrom Fanconi

Obat-obat

Sindrom Bloom

Alkylating agents

Diamond-Blackfan anemia

Nitrosourea

Sindrom Schwachman

Epipodophyllotoxin

Sindrom Klinefelter


Benzene exposure

Sindrom Turner

Advanced maternal age

Neurofibromatosis tipe 1
Ataxia-telangiectasia
Severe combined immune deficiency
Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria
Sindrom Li-Fraumeni

2.1.2. Klasifikasi LLA
Klasifikasi dari LLA terbagi atas beberapa jenis, yaitu klasifikasi
berdasarkan morfologik, berdasarkan genetika, dan immunofenotip.
1.

Klasifikasi French-American-British (FAB)
Klasifikasi dari LLA yang digunakan oleh dunia adalah klasifikasi
morfologik menurut FAB (French-American-British) yang berdasarkan

atas karakteristik dari sel blas (ukuran sel, rasio sitoplasma-inti, ukuran


dari inti sel, dan warna sel).
LLA-L1
Pada tipe ini, sel blas berukuran kecil dengan sitoplasma yang sempit,
nukleolus tidak jelas terlihat, dan kromatin homogen. L1 merupakan jenis
leukemia limfoblastik akut yang sering terjadi pada anak-anak, sekitar
70% kasus dengan 74% nya terjadi pada anak-anak usia di bawah 15 tahun



(Gamal, 2011).
LLA-L2

Universitas Sumatera Utara

7

L2 terdiri dari sel blas berukuran lebih besar, ukuran inti tidak beraturan,

kromatin lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti, dan membran
nukleolus yang irregular serta sitoplasma yang berbeda warna. Sekitar
27% kasus LLA, didapati morfologik tipe L2 dan lebih sering terjadi pada


pasien usia di atas 15 tahun (Gamal, 2011).
LLA-L3
L3 terdiri dari sel blas berukuran besar, ukurannya homogen, ukuran inti
bulat atau oval dengan kromatin berbercak, anak inti banyak ditemukan,
sitoplasma yang sangat basofilik disertai dengan vakuolisasi. Pada tipe ini,
terjadi mitosis yang cepat sebagai pertanda dari adanya tahapan aktifitas
dari makrofag (Gambar 1) (Gamal, 2011).

Universitas Sumatera Utara

8

Gambar 1 :
(A)L1 limfoblas
(B)L2 limfoblas

(C)L3 limfoblas
(Howard dan
Hamilton, 2008)

2.

Klasifikasi World Health Organization (WHO)
Kelainan klon kromosom sekarang juga dapat diidentifikasi pada sebagian
kasus dengan menghitung jumlah kromosom per sel leukemia dan hasil
perhitungannya dapat digunakan sebagai penentu baik buruknya prognosis
penyakit leukemia. Selain itu juga dilihat translokasi dari genetika sel itu
sendiri. Pembagian dari klasifikasi berdasarkan genetika yang dipakai
adalah yang diluncurkan oleh WHO (Tabel 2).

Universitas Sumatera Utara

9

Tabel 2.2-Klasifikasi LLA berdasarkan WHO (Vadirman, 2009)
Klasifikasi WHO

Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B
Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B, tidak spesifik
Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B, dengan kelainan
genetik
Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B, dengan translokasi
t(9;22)(q34; q11.2); BCR-ABL1
Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B, dengan translokasi t(v;
11q23); MLL rearranged
Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B, dengan translokasi
t(12;21)(p13; q22); TEL-AML1 (ETV6-RUNX1)
Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B, dengan hiperdiploid
(>50 kromosom/sel)
Leukemia limfoblastik/limfoma prekursor sel B, dengan hipodiploid
( 10.000/mm3 sedangkan pada 20% kasus
peningkatan mencapai > 50.000/mm3. Selain itu, akan ditemukan
neutropenia, anemia (Hb < 10 mg/dL) normokromik dan normositik
disertai rendahnya retikulosit, trombositopenia (hitung platelet <

Universitas Sumatera Utara


12

100.000/mm3), dan pada pemeriksaan darah tepi ditemukan adanya sel
blas.
2.

Aspirasi sumsum tulang belakang
Untuk memastikan diagnosis dari LLA, harus dilakukan aspirasi sumsum
tulang belakang. Aspirasi sumsum tulang juga dapat membantu kita
mengklasifikasikan LLA. Pasien disuspek menderita leukemia bila
didapatkan lebih dari 5% blas pada sumsum tulang, tetapi minimum 25%
sel blas diperlukan untuk memenuhi standar kriteria sebelum diagnosis
ditegakkan. Biasanya akan dijumpai sel leukemia yang homogen dan
hiperseluler dari sumsum tulang.

3.

Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSF)
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien anak asimptomatik untuk
mendeteksi leukemia dengan cara pemeriksaan sitologi CSF yang akan

menunjukkan pleositosis dan adanya sel blas.

4.

Pemeriksaan penunjang lainnya, seperti cytochemistry, imunofenotip,
sitogenetik, dan lain-lain (Roganovic, 2013).

2.1.6. Faktor prognostik LLA
Respon pasien terhadap pengobatan berbeda-beda. Ada yang tingkat
kesembuhannya lebih tinggi, sedangkan ada yang tingkat kesembuhannya lebih
rendah sehingga pengobatan yang dijalani lebih lama. Perbedaan yang
mempengaruhi respon terhadap pengobatan disebut sebagai faktor prognostik.
Berdasarkan faktor prognostik, pasien dapat digolongkan ke kelompok resiko
biasa dan resiko tinggi.
Faktor prognostik LLA menurut Bambang Permono dan IDG Ugrasena
dalam IDAI 2010, yaitu :
1.

Usia
Pasien anak yang berusia dibawah 18 bulan atau diatas 10 tahun

mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan pasien anak yang berusia
diantara itu. Pasien bayi yang berusia dibawah 6 bulan pada saat
ditegakkan diagnosis, mempunyai prognosis paling buruk.

Universitas Sumatera Utara

13

2.

Jumlah leukosit
Jumlah leukosit awal pada saat penengakan diagnosis LLA sangat
bermakna tinggi sebagai suatu faktor prognostik. Ditemukan adanya
hubungan antara hitung jumlah leukosit dengan outcome pasien LLA pada
anak, yaitu pada pasien dengan jumlah leukosit > 50.000/mm3 akan
mempunyai prognosis yang buruk.

3.

Jenis kelamin

Beberapa penelitian menyatakan bahwa anak perempuan cenderung
mempunyai prognosis yang lebih baik dibandingkan anak laki-laki. Hal ini
dikarenakan anak laki-laki mempunyai kecenderungan untuk terjadi relaps
testis, insidensi leukemia sel-T yang tinggi, hiperleukositosis, dan
organomegali serta massa pada mediastinum.

4.

Imunofenotipe
Imunofenotipe juga berperan dalam menentukan faktor prognostik pasien
LLA. Leukemia sel-B (L3) dengan antibodi “kappa” dan “lambda” pada
permukaannya diketahui mempunyai prognosis buruk tetapi dengan
pengobatan yang spesifik, prognosisnya membaik. Sel-T leukemia juga
mempunyai prognosis yang buruk dan digolongkan sebagai kelompok
resiko tinggi.

5.

Respon terhadap terapi
Respon pasien terhadap terapi dapat kita ukur dari jumlah sel blas yang
ditemukan pada pemeriksaan darah tepi seminggu setelah dimulai terapi
prednison. Prognosis dikatakan buruk apabila pada fase induksi hari ke-7
atau 14 masih ditemukan adanya sel blas pada sumsum tulang.

6.

Kelainan jumlah kromosom
LLA hiperdiploid (>50 kromosom/sel) mempunyai prognosis yang baik,
sedangkan LLA hipodiploid (< 45 kromosom/sel) mempunyai prognosis
yang buruk. Adanya translokasi t(9;22) atau t(4;11) pada bayi
berhubungan dengan prognosis buruk.

Universitas Sumatera Utara

14

2.1.7. Penatalaksanaan LLA
Penatalaksanaan dari leukemia terbagi atas kuratif dan suportif.
Penatalaksanaan suportif hanya berupa terapi penyakit lain yang menyertai
leukemia beserta komplikasinya, seperti tranfusi darah, pemberian antibiotik,
pemberian nutrisi yang baik, dan aspek psikososial (Permono dan Ugrasena,
2010).
Penatalaksaan kuratif, seperti kemoterapi, bertujuan untuk menyembuhkan
leukemia. Di Indonesia sendiri sudah ada 2 jenis protokol pengobatan yang
umumnya digunakan, yaitu protokol Nasional (Jakarta) dan protokol WK-ALL
2010. Selain dengan kemoterapi, terapi transplantasi sumsum tulang juga
memberikan kesempatan untuk sembuh terutama pada pasien yang terdiagnosis
leukemia sel-T (Permono dan Ugrasena, 2010).


Tahapan Kemoterapi
Pengobatan

LLA

yang

umumnya

dilakukan

adalah

kemoterapi.

Kemoterapi bertujuan untuk menyembuhkan leukemia dan proses
pengobatannya terdiri dari beberapa tahapan-tahapan, yaitu fase induksiremisi, intensifikasi awal, konsolidasi/terapi profilaksis susunan saraf
pusat, intensifikasi akhir (terbagi atas fase re-induksi dan re-konsolidasi),
dan maintenance/rumatan.
Terapi Induksi. Tujuan utama dari pengobatan kemoterapi adalah untuk
mencapai remisi komplit dan menggembalikan fungsi hematopoesis yang
normal. Terapi induksi meningkatkan angka remisi hingga mencapai 98%.
Terapi ini berlangsung sekitar 3-6 minggu dengan menggunakan 3-4 obat,
yaitu glukokortikoid (prednison/deksametason), vinkristin, L-asparaginase
dan atau antrasiklin. Sekitar 2% kasus pasien anak LLA yang menjalani
terapi induksi mengalami kegagalan (Roganovic, 2013).
Intensifikasi awal. Target pengobatan adalah anak-anak yang sudah
mencapai remisi dan fungsi hematopoesis-nya kembali normal. Tujuan
dari tahapan intensifikasi adalah untuk eradikasi sel leukemia yang tersisa
dan meningkatkan angka kesembuhan (Roganovic, 2013).

Universitas Sumatera Utara

15

Konsolidasi/Terapi Profilaksis SSP. Tujuan dari tahapan ini adalah
untuk melanjutkan peningkatan kualitas remisi di sumsum tulang dan
sebagai profilaksis susunan saraf pusat. Profilaksis SSP dilakukan
mengacu pada fakta bahwa SSP merupakan pusat dari sel leukemia dan
dilindungi oleh sawar darah otak sehingga obat tidak bisa menembusnya
(Roganovic, 2013).
Intensifikasi Akhir. Penambahan dari tahap intensifikasi akhir ini setelah
terapi induksi ataupun konsolidasi ternyata meningkatkan prognosis pasien
anak dengan LLA. Tahap ini merupakan tahap pengulangan dari tahap
induksi dan intensifikasi awal dan untuk menghindari terjadinya resistensi
obat maka dilakukan pergantian obat (Roganovic, 2013).
Terapi rumatan. Setelah pengobatan dengan dosis tinggi dijalankan
selama 6 sampai 12 bulan, obat sitotoksis dosis rendah digunakan untuk
mencegah terjadinya kondisi relaps. Tujuan dari tahap ini adalah untuk
mengurangi sel leukemia sisa yang tidak terdeteksi. Terapi rumatan
dilaksanakan selama 2 atau 3 tahun setelah diagnosis atau setelah
tercapainya kondisi remisi morfologik. Keberhasilan ini dipantau dengan
melihat hitung leukosit (2.000-3.000/mm3) (Roganovic, 2013).
Pasien dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan bebas
gejala klinis leukemia. Selain itu, pada aspirasi sumsum tulang didapatkan jumlah
sel blas 12gr/dL tanpa transfusi, jumlah
leukosit > 3.000/uL dengan hitung jenis leukosit normal, jumlah granulosit >
2.000/uL, jumlah trombosit > 100.000/uL, dan pemeriksaan cairan serebrospinal
normal (Permono dan Urgasena, 2010).


Efek Samping Kemoterapi
Kemoterapi membunuh sel-sel kanker yang aktifitas mitosisnya cepat dan
terapi ini tidak bisa membedakan yang mana sel kanker yang mana sel
normal karena ada sel normal yang aktifitas mitosisnya cepat. Kerusakan

Universitas Sumatera Utara

16

pada sel yang normal disebut sebagai efek samping. Efek samping yang
paling sering dikeluhkan adalah sebagai berikut :
- Anemia
- Alopecia
- Lebam, perdarahan dan infeksi
- Mual dan muntah
- Perubahan selera makan
- Konstipasi
- Diare
- Masalah kesehatan mulut, gusi, dan tenggorokan
- Gangguan otot dan saraf
- Gangguan pada kulit dan kuku
- Gangguan ginjal, vesika urinaria, dan urine
- Weight gain (ACS, 2013).
2.2.

Status nutrisi pada kanker anak
Nutrisi merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan pada pasien anak

penderita kanker. Baik penyakit maupun pengobatan akan mempengaruhi selera
makan, toleransi terhadap makanan, dan kemampuan dari tubuh untuk mengolah
nutrien. Nutrisi yang bagus mempunyai banyak manfaat, seperti menurunkan
resiko infeksi pada saat pengobatan, menjaga pertumbuhan anak, memberikan
kualitas hidup yang bagus, dan lain-lain (ACS, 2013).
Anak-anak dengan kanker membutuhkan banyak nutrisi, seperti :
1.

Protein
Tubuh membutuhkan protein untuk tumbuh; memperbaiki jaringan yang
rusak; dan untuk menjaga kulit, sel darah, sistem imun, serta sel epitel
saluran cerna tetap bagus. Apabila anak tidak mendapatkan asupan protein
yang cukup, tubuh akan memecah otot sebagai sumber energi. Hal ini akan
meningkatkan resiko infeksi dan memperpanjang proses penyembuhan
dari penyakit. Anak-anak yang menjalani kemoterapi, radiasi, dan operasi

Universitas Sumatera Utara

17

akan membutuhkan asupan protein lebih untuk memperbaiki jaringan yang
rusak dan mencegah infeksi (ACS, 2013).
2.

Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber utama energi bagi tubuh untuk berfungsi
secara normal. Kalori yang dibutuhkan oleh anak-anak bergantung pada
usia, berat badan, serta aktifitas fisik mereka dan jumlah kalori mereka
akan lebih besar daripada orang dewasa. Anak-anak dengan kanker
membutuhkan kalori sekitar 20-90% lebih banyak daripada anak-anak
yang tidak menderita kanker (ACS, 2013).

3.

Lemak
Lemak memiliki peranan penting dalam nutrisi pada anak karena lemak
merupakan sumber kalori paling besar untuk tubuh. Tubuh akan memecah
lemak untuk digunakan sebagai energi, melindungi jaringan tubuh, dan
melarutkan vitamin untuk diserap ke dalam aliran darah (ACS, 2013).

4.

Air
Sel dalam tubuh membutuhkan air untuk berfungsi. Salah satu efek
samping dari kemoterapi adalah mual dan muntah, jika gejala ini
berkepanjangan akan menyebabkan anak mengalami dehidrasi sehingga
keseimbangan cairan dalam tubuh akan terganggu (ACS, 2013).

5.

Vitamin dan mineral
Tubuh membutuhkan sedikit vitamin dan mineral untuk tumbuh kembang
dan berfungsi secara normal serta membantu tubuh untuk menggunakan
energi yang didapat dari makanan. Vitamin D dan kalsium sangat penting
untuk pertumbuhan tulang. Pada anak normal, asupan kedua zat ini tidak
cukup

sehingga

pada

anak

penderita

kanker

disarankan

untuk

memperbanyak asupan vitamin D dan kalsium karena obat-obat
kemoterapi dapat menurunkan kadar kedua zat dalam tubuh (ACS, 2013).
Malnutrisi adalah suatu kondisi dimana terjadi defisiensi dari nutrisinutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh sehingga tubuh tidak dapat berfungsi secara
normal. Malnutrisi pada anak yang menderita kanker disebabkan oleh beberapa

Universitas Sumatera Utara

18

hal. Sekitar 50-60% anak yang menderita kanker mengalami malnutrisi yang
dipengaruhi oleh jenis keganasan dan negara tempat tinggal, baik negara
berkembang ataupun negara maju (Alcazar, 2013).
Menurut penelitian Underzo et al. (1996) dan Reilly J, et al. (1999) dalam
Alcazar A. M., et al (2013), prevalensi malnutrisi pada pasien yang didiagnosis
menderita LLA sekitar 7% untuk negara berkembang, dan pada penelitian yang
lainnya menunjukkan

angka sekitar 21-23%. Prevalensi anak-anak yang

mengalami obesitas setelah selesai pengobatan adalah sekitar 20-34%. Nutrisi
menjadi salah satu faktor yang penting dalam menentukan prognosis dan harapan
hidup dari pasien LLA.
Pada pasien LLA yang mengalami malnutrisi pada saat ditegakkan
diagnosis, ditemukan bahwa kemoterapi lebih berbahaya dan tidak begitu efektif
dibandingkan dengan pasien LLA yang mempunyai nutrisi adekuat. Toksisitas
hematologi adalah penyebab paling sering dari komplikasi yang terjadi, seperti
meningkatkanya resiko infeksi, perdarahan, dan relapse yang disebabkan oleh
neutropenia, trombositopenia, dan pengobatan yang dihentikan (Alcazar, 2013).
2.2.1. Patogenesis kanker cachexia dan obesitas
Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan kondisi malnutrisi terjadi
pada pasien kanker seperti interaksi antara energi dan substrat metabolisme,
komponen hormonal dan inflamasi, serta pergantian dari kompartmen metabolik.
Hal ini akan mengakibatkan aktivitas metabolik yang dipercepat, oksidasi dari
substrat energi, dan hilangnya protein tubuh.


Mekanisme kanker cachexia
Cachexia adalah suatu kondisi dimana terjadi pengurangan
jaringan otot dan lemak tubuh yang berlangsung terus menerus dan
bersifat progresif. Pada kanker cachexia, terjadi kehilangan lemak dan otot
yang berbeda dengan orang yang puasa berkepanjangan ataupun
kelaparan. Hal ini disebabkan oleh adanya peranan sitokin seperti IL-1α,

Universitas Sumatera Utara

19

IL-1β, dan IL-6 yang dihasilkan oleh jaringan tumor, sel stroma, sistem
imun selain itu juga disebabkan TNF- α, dan INF-γ (Bauer, 2011).
Sitokin-sitokin tersebut akan mempengaruhi asupan makanan dan
penggunaan energi sehingga menyebabkan gejala klinis dari cachexia.
Sitokin akan dibawa melewati blood-brain barier dan berinteraksi dengan
sel endotel yang berada di permukaan lumen otak yang menyebabkan
suatu substansi dikeluarkan dan mempengaruhi selera makan (Bauer,
2011).
Reseptor TNF- α dan IL-1 ditemukan berada di daerah
hipotalamus, yang berperan dalam pengaturan nafsu makan. Semua sitokin
ini akan menyebabkan terjadinya anoreksia. Selain itu, prostaglandin juga
berperan sebagai mediator penekan nafsu makan (Tisdale, 2009).
Selain itu, hal-hal seperti meningkatnya jumlah nutrisi yang
dibutuhkan oleh pasien kanker, gangguan penyerapan nutrient disebabkan
adanya gangguan saluran pencernaan oleh karena efek samping
pengobatan, gangguan metabolik dan hormonal, nyeri yang tidak
terkontrol, dan gangguan pada pengecapan akan memicu penurunan
asupan energi sehingga resiko terjadinya cachexia lebih tinggi (Bauer,
Jacqueline, 2011).


Mekanisme obesitas
Obesitas atau overweight merupakan hal yang perlu diperhatikan
sebagai akibat dari pengobatan kanker jangka panjang. Mekanisme pasti
dari terjadinya obesitas belum dapat dijelaskan secara pasti, namun ada
beberapa hipotesis yang menjelaskan adanya akumulasi berlebihan dari
lemak tubuh sehingga menyebabkan IMT yang berlebihan (Alcazar,
2013).
Terapi kortikosteroid selain digunakan untuk pengobatan LLA,
juga dapat meningkatkan sintesis leptin. Setelah leptin dihasilkan dan
masuk ke dalam aliran darah, leptin akan mencapai sistem saraf pusat dan
berikatan dengan reseptornya yang terdapat di hipotalamus. Aktivasi dari

Universitas Sumatera Utara

20

reseptor akan menurunkan produksi dari neuropeptida Y dan peptida
lainnya. Selain itu, leptin juga akan mengaktivasi sistem saraf simpatis
sehingga aktifitas metabolik dan konsumsi energi meningkat. Leptin
mengurangi sekresi insulin sehingga penyimpanan glukosa sebagai sumber
energi akan berkurang (Alcazar, 2013).
Ketika terjadi insensitifitas terhadap leptin, akan mengakibatkan
gangguan regulasi berat badan dan metabolisme. Sehingga akan
menyebabkan adanya gangguan secara intrasel dan mengakibatkan
modifikasi metabolik yang mengarah pada peningkatan IMT (Alcazar,
2013).
2.2.2. Tahapan Kemoterapi dan nutrisi pasien LLA
Status nutrisi pada pasien LLA merupakan salah satu hal penting yang
harus diperhatikan karena dapat mempengaruhi prognosis dan harapan hidup dari
pasien tersebut. Malnutrisi lebih sering ditemukan pada saat anak menjalani
tahapan kemoterapi terutama tahapan induksi. Faktor-faktor seperti obat(steroid),
makanan, dan aktifitas fisik mempengaruhi status nutrisi dan dimanifestasikan
sebagai gangguan pertumbuhan, berat badan bertambah ataupun berat badan
menurun (Tan, 2013).
Penurunan berat badan yang berlebihan pada pasien LLA merupakan efek
samping dari terapi kanker. Anoreksia, muntah, ataupun malabsorpsi akan
mengurangi absorpsi dari nutrien yang dikonsumsi. Sedangkan pada pasien yang
mengalami peningkatan berat badan dan obesitas, dikaitkan dengan penggunaan
steroid yang berkepanjangan pada saat terapi sehingga selera makan pasien akan
meningkat dan asupan energi meningkat (Tan,2013).
2.2.3. Indeks Massa Tubuh Anak
Menurut CDC (2011), Indeks Massa Tubuh adalah angka yang didapatkan
melalui perhitungan berat badan dan tinggi badan anak. IMT merupakan salah
satu indikator yang menunjukkan lemak dalam tubuh pada anak-anak maupun
remaja. Perhitungan IMT tidak memakan biaya dan merupakan metode yang
mudah untuk digunakan sebagai screening awal untuk masalah berat badan.

Universitas Sumatera Utara

21

Untuk anak-anak, IMT spesifik terhadap usia dan jenis kelamin, sehingga sering
disebut BMI-for-age.

Setelah dilakukan perhitungan IMT, hasilnya akan di-plot-kan ke dalam
kurva WHO maupun CDC sesuai dengan usia mereka untuk mendapatkan hasil
persentil. Persentil merupakan indikator yang sudah umum digunakan untuk
melihat pertumbuhan anak-anak dan hasilnya membantu mengklasifikasikan
anak-anak sesuai dengan berat badan mereka.


Interpretasi hasil :
Kurva WHO (2014) :
Z – score :
< -3SD

:

Gizi buruk / Kurus sekali

< -2SD s/d -3SD

:

Gizi kurang / Kurus

-2SD s/d +2SD

:

Gizi baik / Normal

> +2SD

:

Gizi lebih / Gemuk

Persentil :
< 5th persentil



:

Underweight

5th persentil - < 85th persentil :

Normal (Gizi Baik)

85th persentil - < 95th persentil :

Overweight

>= 95th persentil

:

Obesitas

:

Underweight

Kurva CDC (2011) :
< 5th persentil

5th persentil - < 85th persentil :

Normal (Gizi Baik)

85th persentil - < 95th persentil :

Overweight

>= 95th persentil

Obesitas

:

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Gambaran Indeks Massa Tubuh dengan Lamanya Hipertensi pada Penderita Hipertensi yang Berobat Jalan di RSUP H. Adam Malik Medan

1 67 52

Hubungan Status Hematologi sebagai Faktor Prognostik dengan Masa Remisi Pada Pasien Anak Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) di RSUP. H. Adam Malik dari Tahun 2009-2014

2 53 69

Hubungan Indeks Massa Tubuh Dengan Prevalensi Angular Cheilitis Pada Anak Panti Asuhan SOS Childrens Village Dan Panti Asuhan Al-Jamiatul Wasliyah Medan

10 92 44

Angka Kejadian Mukositis Oral pada Anak Menderita Leukemia Limfoblastik Akut yang Menjalani Kemoterapi di RSUP Haji Adam Malik Medan

4 70 42

Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan Tahapan Kemoterapi Pada Penderita Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) Anak di RSUPH Adam Malik pada tahun 2009-2014

0 7 64

Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan Tahapan Kemoterapi Pada Penderita Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) Anak di RSUPH Adam Malik pada tahun 2009-2014

0 0 12

Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan Tahapan Kemoterapi Pada Penderita Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) Anak di RSUPH Adam Malik pada tahun 2009-2014

0 0 2

Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan Tahapan Kemoterapi Pada Penderita Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) Anak di RSUPH Adam Malik pada tahun 2009-2014

0 0 4

Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan Tahapan Kemoterapi Pada Penderita Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) Anak di RSUPH Adam Malik pada tahun 2009-2014

0 3 3

Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan Tahapan Kemoterapi Pada Penderita Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) Anak di RSUPH Adam Malik pada tahun 2009-2014

0 0 14