Struktur Komunitas Makrozoobenthos di Kawasan Mangrove Desa Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan

6

TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Mangrove
Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka, karena luasnya hanya
2% permukaan bumi. Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas
di dunia. Ekosistem ini memiliki peranan ekologi, sosial-ekonomi dan sosialbudaya yang sangat penting; misalnya menjaga stabilitas pantai dari abrasi,
sumber ikan, udang dan keanekaragaman hayati lainnya, sumber kayu bakardan
kayu bangunan, serta memiliki fungsi konservasi, pendidikan, ekoturisme dan
identitas budaya. Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dunia, termasuk
Indonesia sangat cepat akibat pembukaan tambak, penebangan hutan mangrove,
pencemaran lingkungan, reklamasi dan sedimentasi, pertambangan, sebab-sebab
alam seperti badai/tsunami, dan lain-lain. Restorasi mangrove mendapat perhatian
luas

mengingat

tingginya

nilai


sosial-ekonomi

dan

ekologi

ekosistem

(Setyawan dan Kusumo, 2006).
Kata Mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu
nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizopora spp.). Nama Mangrove
diberikan kepada jenis tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di pantai atau goba-goba
yang menyesuaikan diri pada keadaan asin, kata mangrove juga berarti suatu
komunitas. Sering kita jumpai kata mangal untuk komunitas mangrove dan untuk
mangrove sebagai jenis tumbuh-tumbuhan (Romimohtarto dan Sri, 2009).
Komposisi moluska pada ekosistem mangrove sangat dipengaruhi oleh
perubahan yang terjadi pada ekosistem tersebut, karena sifat moluska yang
hidupnya cenderung menetap menyebabkan moluska menerima setiap perubahan


Universitas Sumatera Utara

7

lingkungan ataupun perubahan dari dalam hutan mangrove tersebut, misalnya
perubahan

fungsi

hutan

mangrove

menjadi

areal

pemukiman

ataupun


pertambakan. Oleh karena itu organisme bentik terutama gastropoda dan bivalvia
dapat dijadikan sebagai indikator ekologi untuk mengetahui kondisi ekosistem
(Hartoni dan Agusalim, 2012).
Mangrove memiliki karakteristik yang dipengaruhi oleh topografi pantai
baik estuari atau muara sungai, dan daerah delta yang terlindung. Daerah tropis
dan subtropis mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan
danlautan. Kondisi yang sesuai mangrove akan membentuk hutan yang ekstensif
dan produktif. Secara karakteristik hutan mangrove mempunyai habitat dekat
pantai. Hutan mangrove merupakanjenis maupun komunitas tumbuhan yang
tumbuh di daerah pasang surut. Mangrove mempunyai kecenderungan
membentuk kerapatan dan keragaman struktur tegakan yang berperan sebagai
perangkap endapan dan perlindungan terhadap erosi pantai. Sedimen dan
biomassa tumbuhan mempunyai kaitan erat dalam memelihara efisiensi dan
berperan sebagai penyangga antara laut dan daratan. Disamping itu memiliki
kapasitasnya sebagai penyerap energi gelombang dan menghambat intrusi air laut
ke daratan (Kapludin, 2012).
Beberapa tahun ini hutan mangrove menjadi sasaran untuk dijadikan
berbagai macam aktivitas, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pemanfaatan yang relatif berubah-ubah karena adanya sedimentasi dan guguran

daun yang berlangsung secara terus menerus akan membentuk lapisan sedimen,
dan beberapa gastropoda dan bivalvia yang hidupnya sessil dalam substrat
tersebut berperan sebagai detrivor dalam rantai makanan pada ekosistem

Universitas Sumatera Utara

8

mangrove. Apabila salah satu komponen mata rantai suatu rantai makanan
mengalami perubahan maka akan merubah keadaan mata rantai yang ada pada
suatu ekosistem misalnya pada ekosistem mangrove dengan moluska, perubahan
ini akan berdampak terhadap ketidakstabilan ekosistem, baik dampak secara
langsung maupun tidak langsung (Hartoni dan Agusalim, 2012).
Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dunia, termasuk Indonesia sangat
cepat akibat pembukaan tambak, penebangan hutan mangrove, pencemaran
lingkungan, reklamasi dan sedimentasi, pertambangan, sebab-sebab alam seperti
badai/tsunami, dan lain-lain. Restorasi mangrove mendapat perhatian luas
mengingat tingginya nilai sosial-ekonomi dan ekologi ekosistem ini. Restorasi
dapat menaikkan nilai sumber daya hayati mangrove, memberi mata pencaharian
penduduk, mencegah kerusakan pantai, menjaga biodiversitas, produksi

perikanan, dan lain-lain (Setyawan dan kusumo, 2006).
Saat ini mangrove telah mengalami degradasi karena berbagai sebab dan
permasalahan yang dihadapinya. Degradasi hutan mangrove Indonesia terjadi
akibat pemanfaatan yang kurang tepat atau mengalami perubahan fungsi, salah
satunya menjadi areal pertambakan udang. Di samping itu, kegiatan pemanfaatan
kayu hutan bakau untuk bahan baku arang dan kayu bakar menjadi pendorong
menurunnya kualitas hutan mangrove (Fitriana, 2006).
Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan
ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan
ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain: pelindung garis pantai,
mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding
ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan

Universitas Sumatera Utara

9

(spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro.
Sedangkan fungsi ekonominya antara lain: penghasil keperluan rumah tangga
(kayunya sebagai bahan bangunan, hiasan dan meubel) dan penghasil keperluan

industri (bahan tekstil, bahan pembuatan kertas). Sebagian manusia dalam
memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal
ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak,
pemukiman, industri, dan penebangan oleh masyarakat untuk berbagai
kepentingan (Susanto, dkk., 2010).
Areal tumbuh bagi hutan mangrove umumnya terletak di sekitar
muarasungai (estuaria), pantai karang, teluk yang tenang dan pulau-pulau di
dalam teluk tersebut. Dari waktu ke waktu kondisi hutan mangrove di Indonesia
selalu mengalami kerusakan. Meskipun ada beberapa daerah yang mengeksploitir
hutan mangrove disertai dengan usaha permudaan tanaman baru, namun belum
banyak memperbaiki situasi secara keseluruhan. Diduga angka luasan hutan
mangrove pada saat sekarang ini tidak sampaimencapai 2%. Umumnya kerusakan
yang dialami hutan mangrove merupakan akibat dari kegiatan perluasan daerah
tambak, perluasan daerah pemukiman, kegiatan pembangunan dan pencemaran
industri (Wibisono, 2005).
Keberadaan kawasan vegetasi mangrove di daerah pasang surut yang
lingkungannya mendukung kegiatan perikanan menyebabkan kawasan ini banyak
dimanfaatkan untuk usaha pertambakan dengan mengorbankan vegetasi
mangrove. Kegiatan penghijauan yang dilakukan terhadap hutan-hutan yang telah
gundul, merupakan salah satu upaya rehabilitasi yang bertujuan bukan saja untuk

mengembalikan nilai estetika, namun yang paling utama adalah untuk

Universitas Sumatera Utara

10

mengembalikan fungsi ekologis kawasan hutan mangrove tersebut. Kegiatan
seperti ini menjadi salah satu andalan kegiatan rehabilitasi dibeberapa kawasan
hutan mangrove yang telah ditebas dan dialihkan fungsinya kepada kegiatan lain
(Ukkas dan Zulkifli, 2008).

Makrozoobenthos
Organisme bentos adalah organisme yang mendiami dasar perairan atau
tinggal didalam sedimen dasar. Organisme benthos meliputi organisme nabati
yang disebut fitobenthos dan organisme hewani disebut zoobenthos. Berdasarkan
ukurannya maka organisme bentos dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu
makrozoobentos dan mikrozoobenthos. Makrozoobenthos adalah organisme yang
tersaring oleh saringan bertingkat dengan ukuran 0,5 mm. Klasifikasi
makrozoobenthos menjadi tiga kelompok yaitu mikrofauna yang ukurannya lebih
kecil dari 0,1 mm, meiofauna yang berukuran antara 0,1 mm dan makrofauna

yang ukurannya lebih besar dari 1,0 mm (Syamsurisal, 2011).
Menurut Simamora (2009) hewan benthos dapat dikelompokkan
berdasarkan ukuran tubuh yang bisa melewati lubang saring yang dipakai untuk
memisahkan hewan dari sedimennya. Berdasarkan kategori tersebut benthos dapat
dibagi atas :
a. Makrobenthos, kelompok hewan yang lebih besar dari 1,0 mm. Kelompok ini
adalah hewan benthos yang terbesar.
b. Mesobenthos, kelompok benthos yang berukuran 0,1 – 1,0 mm. Kelompok ini
adalah hewan kecil yang dapat ditemukan di pasir atau lumpur. Hewan yang
termasuk kelompok ini adalah moluska kecil, cacing kecil dan crustacean
kecil.

Universitas Sumatera Utara

11

c. Mikrobenthos, kelompok benthos yang berukuran lebih kecil dari 0,1 mm.
Kelompok ini merupakan hewan yang terkecil. Hewan yang termasuk ke
dalam protozoa khususnya ciliata.
Makrozoobenthos dapat bersifat toleran maupun bersifat sensitif terhadap

perubahan lingkungan. Organisme yang memiliki kisaran toleransi yang luas akan
memiliki penyebaran yang luas juga. Sebaliknya organisme yang kisaran
toleransinya sempit (sensitif) maka penyebarannya juga sempit. Makrozoobenthos
yang memiliki toleran lebih tinggi maka tingkat kelangsungan hidupnya akan
semakin tinggi. Tingkat pencemaran terhadap perairan dapat dilihat dengan
identifikasi makrozoobenthos yang terdapat di wilayah mangrove tersebut
(Syamsurisal, 2011).
Keberadaan dan kelimpahan beberapa jenis makrozoobenthos sebagai
hewan bentik sangat dipengaruhi oleh kondisi habitatnya yaitu sedimen dasar dan
kualitas air. Sedimen dasar selain sebagai habitat komunitas makrozoobenthos
juga menyediakan sumber bahan makanan bagi beberapa jenis makrozoobenthos.
Beberapa penelitian yang hanya menghubungkan antara struktur komunitas
makrozoobenthos dengan karakteristik kualitas air diperkirakan relatif kurang
informatif apabila tidak ditunjang dengan menganalisis karakteristik sedimen
dasar (Dewi, 2014).
Menurut Nybakken (1988), kelompok organisme dominan yang menyusun
makrofauna di dasar lunak terbagi dalam empat kelompok, yaitu Polychaeta,
Crustaceae, Echinodermata dan Moluska. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
berdasarkan pola makannya, fauna bentos dibedakan menjadi tiga macam.
Pertama, pemakan suspensi (suspension feeder) yang memperoleh makanannya


Universitas Sumatera Utara

12

dengan cara menyaring partikel-partikel melayang di perairan. Kedua, pemakan
deposit

(deposit

feeder)

yang

mencari

makanan

pada


sedimen

dan

mengasimilasikan bahan organik yang dapat dicerna dari sedimen. Ketiga,
pemakan detritus (detritus feeder) yang hanya makan detritus.

Struktur Komunitas Makrozoobentos
Setiap sistem lingkungan memiliki keanekaragaman yang berbeda.
Komunitas yang mempunyai keanekaragaman tinggi lebih stabil dibandingkan
dengan komunitas yang memiliki keanekaaragaman jenis rendah. Dominasi ialah
spesies yang mendominasi pada suatu komunitas pada tiap habitat. Indeks
dominasi digunakan untuk mengetahui pemusatan dan penyebaran jenis-jenis
dominan. Jika dominasi lebih terkonsentrasi pada satu jenis, nilai indeks dominasi
akan meningkat dan sebaliknya jika beberapa jenis mendominasi secara bersamasama maka nilai indeks dominasi akan rendah (Umar, 2012).
Menurut Kreps (1989) menyatakan bahwa kategori frekuensi kehadiran
adalah sebagai berikut:
FK = 0 – 25%

: Kehadiran sangat jarang

FK = 25 – 50% : Kehadiran jarang
FK = 50 – 75% : Kehadiran sedang
FK = 75 – 100% : Kehadiran sering/absolute
Perbedaan keseragaman dapat disebabkan oleh perbedaan pilihan habitat
yang lebih disukai oleh tiap jenis fauna. Perbedaan pilihan habitat dapat
dipengaruhi intesitas cahaya, produksi serasah dan komposisi substrat. Gastropoda
umumnya bersifat herbivore yang mengkonsumsi makroalga yang tumbuh di atas
substrat (Malik, 2013).

Universitas Sumatera Utara

13

Menurut Krebs (1989), kategori indeks keseragaman adalah sebagai
berikut :
0 ≤ E < 0,4 : keseragaman rendah
0,4 ≤ E < 0,6 : keseragaman sedang
0,6 ≤ E ≤ 1,0 : keseragaman tinggi
Keanekaragaman Makrozoobentos
Keseragaman hewan bentos dalam suatu perairan dapat diketahui dari
indeks keseragamannya. Semakin kecil nilai suatu indeks keanekaragaman (E)
semakin kecil pula keseragaman jenis dalam komunitas, artinya penyebaran
jumlah individu tidak sama ada kecenderungan didominasi oleh jenis tertentu.
Suatu komunitas yang masing-masing jenisnya mempunyai jumlah individu yang
cukup besar dan menunjukkan bahwa ekosistem tersebut mempunyai satuan.
Selanjutnya untuk dominansi dapat diketahui dengan menghitung indeks
dominansinya (C), bahwa nilai indeks dominansi yang tinggi (ada yang
mendominansi) sedangkan nilai indeks dominansi terkaitsatu sama lain, dimana
apabila organisme beranekaragam berarti organisme tersebut tidak seragam dan
tentu ada yang dominan (Syamsurisal, 2011).
Menurut Krebs (1989) kategori indeks keanekaragaman adalah sebagai
berikut :
H’ < 1

: Keragaman spesiesnya/Generah rendah, pentebaran jumlah
individu tiap spesies atau genera rendah, kestabilan komunitas
rendah dan keadaan perairan telah tercemar berat.

Universitas Sumatera Utara

14

1 < H’ < 3

: Keragaman sedang penyebaran jumlah individu tiap spesies atau
genera sedang, kestabilan komunitas sedang dan keadaan perairan
telah tercemar sedang.

H’ > 3

: Keragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies atau
genera tinggi dan perairannya masih bersi/ belum tercemar.
Menurut Wijayanti (2007) untuk memprediksi atau memperkirakan tingkat

pencemaran air laut, dapat dianalisa berdasarkan indeks keanekaragaman hewan
makrobenthos maupun berdasarkan sifat fisika-kimia. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan menggunakan klasifikasi derajat pencemaran yang tertera pada
Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Pencemaran Berdasarkan Indeks Keanekaragaman
No.

Indeks Keanekaragaman

1.

>3
1-3
3
2,0 – 3,0
1,6 – 2,0
1,0– 1,5
< 1,0

2.

3.

Tingkat Pencemaran
Air bersih
Setengah tercemar
Tercemar berat
Tercemar sangat ringan
Tercemar ringan
Tercemar sedang
Tercemar berat
Tidak tercemar
Tercemar sangat ringan
Tercemar ringan
Tercemar sedang
Tercemar berat

Pustaka
Wilhn dan Doris,
1966
Staub et.al, dalam
Wilhm 1975

Lee et.al, 1978

Sumber : Wijayanti, 2007
Makrozoobenthos sebagai Bioindikator Pencemaran
Penilaian kualitas perairan, pengukuran keanekaragaman jenis organisme
sering lebih baik dari pada pengukuran bahan-bahan organik secara langsung.
Makrozoobenthos sering dipakai untuk menduga ketidakseimbangan lingkungan
fisik, kimia dan biologi perairan. Perairan yang tercemar akan mempengaruhi
kelangsungan hidup organisme makrozoobenthos karena makrozoobenthos

Universitas Sumatera Utara

15

merupakan biota air yang mudah terpengaruh oleh adanya bahan pencemar, baik
bahan pencemar kimia maupun fisik. Hal ini disebabkan makrozoobenthos pada
umumnya tidak dapat bergerak dengan cepat dan habitatnya di dasar yang
umumnya tempat bahan tercemar (Simamora, 2009).
Menurut Ansary (2014) adapun komunitas makroinvertebrata bentik atau
(makrozoobenthos) merupakan indikator yang baik untuk kondisi lokal, karena
organisme ini bersifat sessile (tidak banyak bergerak atau migrasi terbatas)
sehingga organisme ini sangat tepat untuk mendeteksi polutan yang bersifat sitespecific (misalnya studi pada daerah hulu dan hilir suatu sungai, estuarine dan
sebagainya). Alasan pemilihan makrozoobenthos sebagai indikator ekologi adalah
sebagai berikut:
a. Pergerakannya yang sangat terbatas sehingga memudahkan dalam pengambilan
sampel.
b. Ukuran tubuh relatif besar sehingga memudahkan untuk diidentifikasi.
c. Hidup di dasar perairan serta relatif diam sehingga secara terus-menerus
terdedah (exposed) oleh air sekitarnya.
d. Pendedahan yang terus-menerus mengakibatkan benthos sangat terpengaruh
oleh berbagai perubahan lingkungan yang mempengaruhi kondisi air tersebut.
e. Perubahan faktor-faktor lingkungan ini akan mempengaruhi keanekaragaman
komunitas Benthos. Struktur komunitas makrozoobenthos dalam suatu perairan
dapat dilihat pada Tabel 2.

Universitas Sumatera Utara

16

Tabel 2. Struktur Komunitas Makrozoobenthos dalam Perairan
Kondisi Perairan
Tidak Tercemar

Penjelasan
Komunitas makrozoobenthos yang seimbang dengan
beberapa spesies intoleran hidup dengan diselingi populasi
fakultatif, tidak ada 1 spesies yang mendominasi.
Penghilangan sejumlah jenis intoleran dan beberapa
fakultatif, serta 1 atau 2 spesies toleran mulai
mendominasi.
Komunitas makrozoobenthos dengan jumlah yang terbatas
yang diikuti oleh penghilangan dari kelompok intoleran dan
fakultatif. Kelompok toleran mulai berlimpah merupakan
tanda perairan tercemar bahan organik.
Penghilangan hampir seluruh hewan makroinvertebrata,
kemudian diganti oleh cacing Oligochaeta dan organisme
yang mampu bernapas ke udara.

Tercemar Sedang

Tercemar

Tercemar Berat

Sumber : Ansary, 2014
Menurut Simamora (2009) Alasan menjadikan makrozoobenthos sebagai
indikator biologis perairan adalah :
a. Mobilitas terbatas sehingga memudahkan dalam pengambilan sampel.
b. Ukuran tubuh relatif besar sehingga memudahkan untuk diidentifikasi.
c. Hidup di dasar perairan, relatif diam sehingga secara terus-menerus terdedah
oleh air sekitarnya.
d. Pendedahan

yang

terus-menerus

mengakibatkan

makrozoobenthos

di

pengaruhi oleh keadaan lingkungan.
e. Perubahan mempengaruhi keanekaragaman makrozoobenthos.

Parameter Fisika dan Kimia
Suhu
Suhu merupakan faktor lingkungan yang dapat menembus dan menyebar
keberbagai tempat dimuka bumi. Pengukuran suhu atau temperatur air menjadi hal
yang mutlakdilakukan dalam penelitian ekosistem akuatik. Hal ini disebabkan
karena kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas biologis di

Universitas Sumatera Utara

17

dalam ekosistem akuatik sangat dipengaruhi oleh suhu. Suhu air dapat
mempengaruhi kehidupan biota air secara tidak langsung, yaitu melalui
pengaruhnya terhadap kelarutan oksigen dalam air. Semakin tinggi suhu air,
semakin rendah daya larut oksigen di dalam air, dan sebaliknya. Perubahan suhu
air yang drastis dapat mematikan biota air karena terjadi perubahan daya angkut
darah. Suhu yang baik untuk pertumbuhan makrozoobenthos berkisar antara 25°
sampai 30°C (Ansary, 2014).
Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi
badan air. Suhu juga sangat berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan.
Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi
pertumbuhan. Peningkatan suhu juga menyababkan penurunan kelarutan gas
dalam air. Selain itu peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan kecepatan
metabolisme dan respirasi organisme air, selanjutnya mengakibatkan peningkatan
konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10ºC menyebabkan
terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2 – 3
kalilipat (Effendi, 2003).
Seluruh spesies yang hidup dalam lingkungan laut, terbatas pada satu
kisaran sempit dari suhu. Beberapa spesies dapat bertahan hidup dalam waktu
tertentu dengan temperatur rendah, biasanya pada satu tingkat tidak aktif, tetapi
beberapa spesies alga hijau biru dan bakteri dapat beradaptasi pada temperatur
lingkungan ekstrim ±90°C. Umumnya sebagian besar spesies lautan adalah
stenothermal, yaitu organisme yang hanya mampu untuk mentoleransi pada satu
kisaran temperature sempit. Adanya variasi temperatur dalam harian atau variasi
musiman sangat mempengaruhi metabolisme dan aktivitas spesies. Ternyata

Universitas Sumatera Utara

18

kebanyakan spesies dapat bertahan hidup dalam temperatur turun daripada
temperatur naik, dengan perubahan temperatur yang sama (misalnya temperatur
turun 10°C, lebih tahan daripada temperatur naik 10°C) (Umar, 2012).
Salinitas
Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan. Salinitas
menggambarkan padatan total di dalam air setelah semua kabonat dikonversi
menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan oleh klorida dan semua
bahan organik telah dioksidasi. Salinitas dinyatakan dalam satuan g/kg
(Effendi, 2003).
Salinitas merupakan kondisi lingkungan yang menyangkut kosentrasi
garam dilingkungan perairan dan air yang terkandung di dalam tanah. Di
lingkungan perairan tawar, air cenderung meresap kedalam tubuh hewan kareana
salinitas air lebih rendah dari pada cairan tubuh. Hewan yang hidup dihabitat laut
pada umumnya bersifat isotonik terhadap salinitas air laut sehingga tidak ada
peresapan air kedalam tubuh hewan. Laut banyak hewan yang bersifat hipotonik
sehingga air cenderung keluar dari dalam tubuh. Maka dari itu regulasi
konsentrasi larutan garam di dalam cairan tubuh sangat vital, dan proses itu
memerlukan banyak energi. Pengaruh salinitas terhadap distribusi hewan
dilingkungan perairan tampak pada perbedaan macam jenis dan populasi hewan
yang hidup di lingkungan air tawar, payau, dan laut (Umar, 2012).
Gastropoda yang bersifat mobile memiliki kemampuan untuk bergerak
guna menghindari salinitas yang terlalu rendah. Namun Bivalvia yang bersifat
sessile akan mengalami kematian jika pengaruh air tawar berlangsung lama.

Universitas Sumatera Utara

19

Kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organisme perairan,
khususnya fauna makrozoobentos adalah 15 - 35‰ (Effendi, 2003).
Salinitas dapat didefinisikan sebagai berikut: yakni total (gr) dari material
padat termasuk garam HaCl yang terkandung dalam air laut sebanyak 1 kg di
mana bromin dan iodin diganti dengan klorin dan bahan organik seluruhnya telah
di bakar habis. Pengukuran salinitas semula dilakukan dengan cara tidak
langsung, yakni melalui pengukuran klorinita. Untuk menurunkan salinitas yang
diinginkan pada saat penggunaan, diperoleh dengan cara mengencerkan dengan
air bebas ion. Sebaliknya bila menghendaki salinitas yang lebih tinggi dapat di
tambahkan

dengan

menggunakan

garam

laut

yang

ada

di

pasaran

(Wibisono, 2005)
Menurut Nybakken (1992), menjelaskan bahwa fluktuasi salinitas di
daerah intertidal dapat disebabkan oleh dua hal, pertama akibat hujan lebat 22
sehingga salinitas akan sangat turun dan kedua akibat penguapan yang sangat
tinggi pada siang hari sehingga salinitas akan sangat tinggi. Organisme yang
hidup di daerah intertidal biasanya telah beradaptasi untuk menoleri perubahan
salinitas hingga 15‰.
Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan. Kadar
oksigen yang terlarut di perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas,
turbulensi air dan tekanan atmosfer semakin besar suhu dan ketinggian serta
semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil. Peningkatan
suhu sebesar 1ºC akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10%. Semakin

Universitas Sumatera Utara

20

tinggi suhu maka kelarutan oksigen semakin berkurang. Kelarutan oksigen dan
gas-gas lain juga berkurang dengan meningkatnya salinitas (Effendi, 2003).
Pada umumnya air pada perairan yang telah tercemar, kandungan
oksigennya sangat rendah. Dekomposisi dan oksidasi bahan organik dapat
mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai nol (anaerob). Peningkatan
suhu sebesar 10C akan meningkatkan konsumsi O2 sekitar 1 (Effendi, 2003 diacu
oleh Marpaung, 2013).
pH
Pengaruh nilai pH terhadap komunitas biologi perairan ditunjukkan dalam
Tabel 3.
Tabel 3. Pengaruh pH terhadap Komunitas Biologi Perairan
Nilai pH
6 – 6,5
5,5 - 6

5 – 5,5
4,5 - 5

Pengaruh Umum
Keanekaragaman benthos sedikit menurun. Kelimpahan total,
biomassa, dan produktifitas tidak mengalami perubahan.
Penurunan nilai keanekaragaman benthos semakin tampak.
Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas masih belum
mengalami perubahan yang berarti.
Penurunan keanekaragaman dan komposi jenis benthos semakin
besar. Terjadi penurunan kelimpahan total dan biomassa benthos
Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis benthos semakin
besar. Penurunan kelimpahan total dan biomassa benthos

Sumber: Effendi, 2003
Sebagian besar biota akuatik menyukai nilai pH berkisar antara 5,0 - 9,0
hal ini menunjukkan adanya kelimpahan dari organisme makrozoobenthos,
dimana sebagian besar organisme dasar perairan seperti polychaeta, moluska dan
bivalvia memiliki tingkat asosiasi terhadap derajat keasaman yang berbeda-beda
(Hawkes, 1978 dalam Marpaung, 2013).
pH juga mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Senyawa
ammonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan yang memiliki
pH rendah. Namun pada suasana alkalis (pH tinggi) lebih banyak ditemukan

Universitas Sumatera Utara

21

ammonia yang tak terionisasi dan bersifat toksik. Sebagian besar biota akuatik
sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,5. Nilai pH
sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi
akan berakhir jika pH rendah (Effendi, 2003).
Substrat
Substrat dasar merupakan satu diantara faktor ekologis utama yang
mempengaruhi struktur komunitas makrozoobenthos. Jika substrat mengalami
perubahan maka struktur komunitas makrozoobenthos akan mengalami perubahan
pula. Pengamatan terhadap kondisi fisik (tipe substrat) dan kimiawi sedimen
dalam hubungannya dengan struktur komunitas makrozoobenthos sangat penting
untuk dilakukan, karena sedimen merupakan habitat bagi makrozoobenthos
(Yunitawati, dkk., 2012).
Substrat dasar atau tekstur tanah merupakan komponen yang sangat
penting bagi kehidupan organisme. Substrat di dasar perairan akan menentukan
kelimpahan dan komposisi jenis dari hewan benthos. Komposisi dan kelimpahan
fauna invertebrata yang berasosiasi dengan mangrove berhubungan dengan variasi
salinitas dan kompleksitas substrat (Odum, 1994)
Substrat lumpur dan pasir merupakan habitat yang paling disukai
makrozoobenthos. Benthos tidak menyenangi dasar perairan berupa batuan, tetapi
jika dasar batuan tersebut memiliki bahan organik yang tinggi, maka habitat
tersebut akan kaya dengan benthos. Makrozoobenthos (terutama molluska)
terdapat dalam jumlah yang sedikit pada tipe tanah liat. Hal ini dikarena substrat
liat dapat menekan perkembangan dan kehidupan makrozoobenthos, karena
partikel-partikel liat sulit ditembus oleh makrozoobenthos untuk melakukan

Universitas Sumatera Utara

22

aktivitas kehidupannya. Selain itu, tanah liat juga mempunyai kandungan unsur
hara yang sedikit (Arif 2003 diacu oleh Marpaung, 2013).
Kestabilan substrat, rasio antar erosi dan perubahan letak sedimen diatur
oleh pergerakkan angin, sirkulasi pasang surut, partikel tersuspensi dan kecepatan
aliran air tawar. Gerakan air yang lambat menyebabkan partikel sedimen halus
cenderung mengendap dan berkumpul di dasar. Gerakan awal air yang lambat
pada ekosistem mangrove selanjutnya ditingkatkan oleh adanya sistem perakaran
mangrove sendiri. Sistem perakaran mangrove menyebabkan partikel yang sangat
halus yang mengandung kadar organik tinggi akan cepat mengendap disekeliling
akar dan membentuk kumpulan lapisan sedimen (Sunarto, 2008).
Ukuran partikel substrat merupakan salah satu faktor ekologis utama
dalam mempengaruhi struktur komunitas makrobentik seperti kandungan bahan
organik substrat. Penyebaran makrobenthos dapat dengan jelas berkorelasi dengan
tipe substrat. Makrobenthos yang mempunyai sifat penggali pemakan deposit
cenderung melimpah pada sedimen lumpur dan sedimen lunak yang merupakan
suatu

daerah

yang

mengandung

banyak

bahan

organik

yang

tinggi

(Nybakken, 1988 diacu oleh Wijayanti, 2007).
C-Organik
Sumber utama bahan organik tanah berasal dari daun, ranting, cabang,
batang, dan akar tumbuhan. Kandungan karbon organik di lokasi penelitian
termasuk sangat rendah sampai sedang dengan kandungan berkisar 0,34 - 2,34 %.
Pada petak yang memiliki kandungan karbon organik lebih rendah, terlihat bahwa
kandungan pasirnya jauh lebih tinggi dibandingkan petak yang memiliki
kandungan karbon organik yang lebih tinggi (Fitriana, 2006).

Universitas Sumatera Utara

23

Kandungan C-organik lahan mangrove lebih tinggi dibandingkan lahan
lain, karena adanya dekomposisi dari tanaman dan sisa hewan yang ada di
kawasan mangrove. Dekomposisi bahan organik lahan mangrove sangat
dipengaruhi frekuensi, lama perendaman dan distribusi ukuran partikel
substratnya. Kandungan Corganik yang tinggi akibat dari perakaran mangrove
yang mati,daun dan ranting yang berguguran(serasah), sehingga aktivitas
dekomposisi dapat terjadi (Ferreira et al, 2007).
Menurut Hardjowigeno (1995), dalam Rukmini (2010) bahwa kandungan
C organik di kategorikan sangat tinggi apabila nilai >30%. Tinggi berkisar 10% 30% dan sedang berkisar 4% - 10%. Rendah berkisar 2% - 4% dan sangat rendah
< 2%. Berarti, kisaran kandungan C organik dalam penelitian ini termasuk dalam
kategori rendah. Namun menurut Dharmawan dan Siregar (2008), apabila nilai
kandungan C organik berkisar 2% - 3% sudah termasuk kategori sedang.
Menurut Jesus (2012), Perbedaan kandungan C-organik 3 stasiun
disebabkan adanya perbedaan struktur komunitas vegetasi mangrove. Tingginya
kandungan C-organik di stasiun Ulmera disebabkan dominasi Rhizophora yang
banyak terpengaruh pasang surut karena tanah sering mengalami reduksi saat
pasang dan teroksidasi saat surut. Menurut Lacerda et al, (1995) Rhizophora lebih
sulit terdekomposisi, sehingga banyak ditemukan dalam bentuk bahan organik.
Adanya keberagaman dinamika C organik terbentuk oleh akibat aktivitas
tanaman, termasuk pertumbuhan dan kematian terhadap spesies tanaman, serta
menghasilkan fluktuasi kondisi fisika secara temporal maupun spasial didasar
hutan.

Universitas Sumatera Utara