Aktivitas Hidup Sehari-hari Pasien Diabetes Melitus di Rumah Sakit Pirngadi Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus
2.1.1 Pengertian
WHO

merumuskan

bahwa

diabetes

mellitus

adalah

kumpulan

problematika anatomi dan kimiawi yang diakibatkan oleh sejumlah faktor dimana
terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin

(Sudoyo, Setyohadi, Alwi, Simadibrata, & Setiadi, 2009) dengan manifestasi
berupa hilangnya toleransi tubuh dalam memetabolisme karbohidrat (Price &
Wilson, 2006).
2.1.2

Klasifikasi Diabetes

A. Diabetes Tipe 1
Sekitar 5 - 10% penderita diabetes mellitus mengalami diabetes tipe 1 atau
IDDM (Independent Diabetes Mellitus) atau diabetes yang tergantung
pada pemberian insulin. Pada Diabetes tipe 1 terjadi kerusakan sel-sel beta
pankreas oleh proses autoimun sehingga sel-sel tersebut tidak mampu
menghasilkan insulin (Smeltzer, 2002).
B. Diabetes Melitus Tipe 2
Sekitar 90 % - 95 % penderita diabetes mellitus mengalami diabetes tipe 2
atau juga dikenal sebagai diabetes tidak tergantung insulin atau NIDDM
(Non Independent Diabetes Mellitus). Dua masalah yang terjadi pada
diabetes tipe ini adalah resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin
(Smeltzer, 2002)


Universitas Sumatera Utara

C. Diabetes Melitus Gestasional (DMG)
DMG terjadi pada wanita yang tidak menderita diabetes sebelum
kehamilannya. Biasanya terjadi pada trimester kedua dan ketiga (Smeltzer
2002). Peningkatan hormon-hormon kehamilan (Human Placental
Lactogen/HPL, progresteron, kortisol dan prolaktin) menghambat sekresi
insulin sehingga menyebabkan resistensi insulin fisiologis. (Sudoyo dkk.,
2009).
2.1.3 Manifestasi Klinis
Defisiensi insulin menyebabkan glukosa dari makanan tidak disimpan
dalam hati dan beredar dalam pembuluh darah dengan konsentrasi yang tinggi.
Hal ini menyebabkan ginjal tidak mampu menyerap seluruh glukosa yang
tersaring keluar akibatnya terdapat glukosa di dalam urin atau glukosuria. Adanya
glukosa di dalam urin menyebabkan terjadinya ekskresi berlebihan cairan dan
elektrolit yang disebut dieresis osmotik sehingga pasien diabetes akan mengalami
peningkatan dalam berkemih atau poliuria. Hal ini akan menyebabkan dehidrasi,
sehingga tubuh akhirnya memberikan sinyal rasa haus atau polidipsi. Defisiensi
insulin mengganggu metabolisme protein dan lemak sehingga terjadi penurunan
berat badan akibat turunnya simpanan kalori dalam tubuh. Hilangnya glukosa

dalam jumlah besar melalui urin menyebabkan penderita diabetes melitus
mengalami keseimbangan kalori negatif sehingga terjadi peningkatan selera
makan atau polifagia. Selain itu, defisiensi insulin juga menyebabkan tubuh
kekurangan simpanan energi sehingga banyak sel-sel yang mengalami kelelahan,
kelemahan dan ketidakmampuan dalam menjalankan fungsinya (Smeltzer, 2002).

Universitas Sumatera Utara

2.1.4 Etiologi
A. Faktor-faktor genetik
Faktor genetik disebut sebagai suatu predisposisi yang memicu terjadinya
diabetes mellitus tipe 1 (DMT1). Kecenderungan genetik ini ditemukan
pada individu yang memiliki tipe antigen HLA (Human Leucocyte Antigen)
(Smeltzer, 2002).
B. Proses Autoimun
Proses autoimun adalah suatu keadaan di mana imun tubuh menyerang selsel normal dalam tubuh karena menganggapnya sebagai sel-sel asing. Pada
DMT1 terjadi proses autoimun terhadap sel-sel pulau Langerhans dan
insulin endogen (Smeltzer, 2002) sehingga sel-sel normal tersebut rusak dan
tidak mampu menghasilkan insulin (Price & Wilson, 2006).
C. Faktor Eksternal

Virus atau toksin dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan
dekstruksi sel beta, misalnya infeksi virus Coxacie (Price & Wilson, 2006).
D. Riwayat keluarga
Faktor riwayat keluarga memiliki kaitan dengan insidensi DM tipe 2.
Transmisi genetik pada diabetes melitus merupakan suatu penyakit yang
diturunkan dengan pola autosomal dominan sehingga orang tua yang
menderita diabetes akan memiliki anak dengan rasio diabetes dan
nondiabetes sebesar 1 : 1 dan sekitar 90 % pasti menjadi carrier (pembawa)
(Price & Wilson, 2006).

Universitas Sumatera Utara

E. Obesitas
Sekitar 80 % pasien DMT2 mengalami obesitas. Insulin mengikatkan diri
pada

permukaan

reseptor


GLUT-4

(glucose

transporter-4)

untuk

memetabolisme glukosa (Sudoyo dkk., 2009). Banyaknya sel lemak pada
pasien obesitas menyebabkan berkurangnya jumlah tempat reseptor pada
membran sel yang selnya responsif terhadap insulin sehingga terjadi
penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan sistem
transport glukosa. Ketidakmampuan ini akan mengganggu kerja insulin dan
menyebabkan restensi insulin tidak adekuat untuk mempertahankan kadar
gula normal dalam darah (Price & Wilson).
F. Usia
Salah satu faktor penting yang mempengaruhi prevalen diabetes mellitus
adalah usia. WHO menyatakan bahwa setelah seseorang berumur 30 tahun
maka konsentrasi glukosa darah akan naik 1-2 mg %/tahun pada saat puasa
dan akan naik menjadi 5,6 – 13 mg % pada dua jam setelah makan. Pada

usia lanjut terjadi insufisiensi insulin atau penurunan kecepatan ambilan
glukosa yang pada orang normal berlangsung 2 jam, pada individu lanjut
usia memerlukan waktu 3 jam (Sudoyo dkk., 2009).
2.1.5 Evaluasi Diagnosis
Kriteria diagnostik untuk diabetes melitus (Sudoyo dkk., 2009) :
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu
≥ 200 mg/dl (11,1
mmol/L). Glikosa plasma sewaktu adalah pemeriksaan yang dilakukan
tanpa memperhatikan kapan waktu terakhir makan.
2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/L)

Universitas Sumatera Utara

Glukosa plasma puasa diartikan bahwa pasien belum makan apapun
sedikitnya 8 jam sebelum pemeriksaan
3. Glukosa plasma 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa Oral
≥ 200 mg/dl
(11,1 mmol/L) TTGO dilakukan menurut standar WHO, pasien diminta
mengkonsumsi 75 gr glukosa anhidrus yang telah dilarutkan dalam air.
2.1.6 Komplikasi

A. Komplikasi jangka pendek
Ketiga komplikasi akut ini terjadi akibat ketidakseimbangan kadar glukosa
darah jangka pendek.
1. Hipoglikemia
Hipoglikemia merupakan suatu keadaan di mana kadar glukosa dalam
darah turun dibawah 50-60 mg/dl (2,7-3,3 mmol/L). dapat terjadi akibat
pemberian insulin/preparat oral yang berlebihan, konsumsi makanan
yang terlalu sedikit, aktivitas fisik yang berat dan pada keadaan
hiperglikemia yang mengalami penurunan kadar glukosa darah tiba-tiba
(Smeltzer, 2002).
2. Ketoasidosis diabetik
Jumlah insulin yang sedikit menyebabkan gangguan metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak sehingga akhirnya terjadi ketoasisosis
diabetik (KD). Bukti adanya KD dicerminkan oleh kadar bikarbonat
serum yang rendah (0-15 mEq/L), PH darah yang rendah (6,8-7,3),
PCO2

rendah

(10-30


mmHg)

yang

menunjukkan

kompensasi

respiratorik (pernafasan kusmaul), adanya keton dalam darah dan urin
yang mencerminkan asidosis (Smeltzer, 2002).

Universitas Sumatera Utara

3. Sindrom hiperglikemia hiperosmolar nonketotik (HHNK)
HHNK merupakan suatu keadaan dimana terjadi hiperosmolaritas,
hiperglikemia dan perubahan tingkat kesadaran yang disebabkan oleh
kurangnya jumlah insulin efektif. Pada HHNK tidak dijumpai ketosis
dan asidosis, meskipun tidak cukup untuk mencegah hiperglikemia,
pasien HHNK memiliki insulin yang cukup untuk mencegah

peningkatan metabolisme lemak menjadi badan-badan keton (Smeltzer,
2002).
B. Komplikasi jangka panjang
Penderita diabetes mellitus yang hidup lebih lama sering mengalami
komplikasi

jangka

panjang

yang

diklasifikasikan

menjadi

penyakit

makrovaskular, mikrovaskular dan neuropati.
1. Penyakit makrovaskular

a. Penyakit arteri koroner
Arteri koroner menjadi penyebab 50-60 % kematian pasien-pasien
diabetes mellitus, angka kejadian aterosklerosis pada pasien diabetes
mellitus lebih tinggi daripada non-diabetes mellitus (Smeltzer, 2002).
b. Penyakit serebrovaskular
Proses arterosklerosis pada pembuluh darah serebral/terbentuknya
embolus di tempat lain dan terbawa oleh aliran darah ke otak dapat
menimbulkan

serangan

iskemik

sepintas

(Transient

Ischemic

Attack/TIA) dan stroke (Smeltzer, 2002).


Universitas Sumatera Utara

c. Penyakit vaskular perifer
Penyakit oklusif arteri perifer pada pasien diabetes disebabkan oleh
perubahan arterosklerosis dalam pembuluh darah besar pada
ekstremitas bawah yang dapat meningkatkan insiden gangren dan
amputasi pada pasien-pasien diabetes mellitus (Smeltzer, 2002).
2. Penyakit mikrovaskular
Proses aterosklerosis makrovaskular dapat terjadi pada pasien
diabetes mellitus atau pun non- diabetes mellitus. Namun, penyakit
mikrovaskular diabetik (mikroangiopati) hanya terjadi pada pasien
diabetes mellitus. Dua tempat di mana gangguan fungsi kapiler sering
terjadi adalah di retina mata dan ginjal (Smeltzer, 2002).
a. Retinopati diabetik
Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan utama pada usia
dewasa antara 20-74 tahun. Pasien diabetes mellitus memiliki risiko 25
kali lipat lebih tinggi untuk mengalami kebutaan daripada nondiabetes mellitus. Risiko mengalami retinopati pada pasien diabetes
mellitus meningkat sejalan dengan lamanya pasien menderita penyakit
ini. Keadaan hiperglikemia yang berlangsung lama dianggap sebagai
faktor risiko utama terjadinya retinopati diabetik (Sudoyo dkk, 2009).
Resiko tinggi retinopati terjadi pada pasien dengan lama menderita
lebih dari 8 tahun (Himawan, Pulungan Tridjaja, & Batubara, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1 Penderita retinopati Diabetika berdasarkan jangka waktu
menderita diabetes mellitus (Delang & Kardani, 2006)
Lama

Retinopati

Retinopati

Jumlah

menderita DM

Diabetik

Diabetik

(Tahun)

nonproliferatif

Proliferatif

5-9 tahun

45.45 %

5.54 %

50.92 %

≥ 10 tahun

30.92 %

25.46 %

49.09 %

Total

69.09 %

30.91 %

100 %

b. Nefropati diabetik
Nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien
diabetes mellitus yang ditandai dengan albuminuria menetap (> 300
mg/24 jam/ pada dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan)
(Sudoyo dkk, 2009). Penderita Diabetes mellitus dengan lama
menderita lebih dari 5 tahun memiliki korelasi yang bermakna dengan
kejadian albuminuria yang dapat menyebabkan nefropati diabetik
(Markum & Galastri, 2004).
3. Neuropati diabetik
Salah satu komplikasi kronik diabetes mellitus yang paling sering terjadi
adalah neuropati diabetik (ND). ND dideskripsikan sebagai gangguan baik
klinis maupun subklinis pada pasien diabetes mellitus tanpa penyebab
neuropati lainnya yang menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer
(sensorimotor) otonom dan spinal (Sudoyo, 2009).
Penderita Diabetes berusia lebih dari 50 tahun memiliki resiko 4,314 kali
lebih besar untuk terjadinya Neuropati Diabetika dibandingkan pasien
diabetes dengan usia dibawah 50 tahun (Qilsy & Ardiansyah, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Pasien diabetes mellitus dengan neuropati diabetik berisiko mengalami
infeksi berulang, luka atau ulkus yang tidak sembuh-sembuh dan amputasi
jari tangan/kaki (Smeltzer, 2002). Penderita Diabetes melitus dengan lama
menderita lebih dari 10 tahun memiliki resiko tinggi menderita ulkus
diabetik (Hastuti, 2008).
2.1.7 Manajemen Terapi Diabetes Mellitus
Manajemen terapeutik pengelolaan pada diabetes mellitus terdiri atas lima
pilar utama mencakup : edukasi, terapi gizi, aktivitas fisik, monitor gula darah dan
intervensi farmakologis (PERKENI. 2006)
1. Edukasi
Pemberdayaan penyandang diabetes mellitus memerlukan partisipasi aktif
pasien, keluarga, dan masyarakta. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam
menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku,
dibutuhkan edukasi (PERKENI, 2006).
Edukasi diabetes mellitus adalah pendidikan dan pelatihan mengenai
pengetahuan dan keterampilan bagi pasien diabetes mellitus guna menunjang
perubahan perilaku, meningkatkan pemahaman pasien tentang penyakitnya,
sehingga tercapai kesehatan yang optimal, penyesuaian keadaan psikologis
dan peningkatan kualitas hidup (Soegondo, Soewondo, & Subekti, 2009).
2. Terapi gizi
Keberhasilan dari pengendalian pengobatan diabetes mellitus tergantung pada
tingkat kepatuhan dari penderita terhadapa regimen terapi ynag telah
ditentukan. Tujuan dari terpai gizi adalah untuk memperbaiki kebiasaan
makan dan mendapatkan control metabolic yang diinginkan. Selain untuk

Universitas Sumatera Utara

mempertahankan berat badan normal selama menjalani terapi diabetes,
pengaturan diet juga bertujuan untuk mempertahankan kadar glukosa darah
mendekati normal, mencapai kadar serum lipid yang optimal dan menangani
komplikasi akut serta meningkatkan kesehatan secara keseluruhan melalui gizi
yang optimal (Sukardji, 2009).
Standar gizi yang dianjurkan adalah makanan dengan keadaan gizi seimbang
yang mengandung karbohidrat (45-60 %), protein (10-20%) dan lemak (20-25
%). Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi dan umur,
stress akut dan kegiatan jasmani untuk mempertahankan berat badan ideal
(Waspadji, 2006).
Makanan untuk pasien DM dibagi menjadi 3 porsi besar untuk makan pagi
(20%), makan siang (30%), makan malam (25%) serta 2-3 porsi rinagn (1015%) diantara makan besar. Pengaturan makan ini tidak berbeda dengan orang
normal, kecuali dalam pengaturan jadwal makanan dan jumlah kalori. Pada
pasien DM perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal
makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan
obat penurun glukosa darah atau insulin (PERKENI, 2006).
3. Aktivitas fisik
Latihan fisik yang teratur dapat mengendalikan berat badan, kadar gula darah,
tekanan darah dna yang paling penting memicu pengaktifan produksi insulin
dan membuat kerjanya menjadi lebih efisien. Namun pada pasien diabetes
melitus yang tidak terkontrol, latihan jasmani justru dapat berakibat fatal
(Yunir & Soebardi, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Prinsip latihan jasmani pada psien diabetes melitus hampir sama dnegan
latihan jasmani secara umum yaitu memenuhi beberapa hal seperti : frekuensi,
intensitas, durasi dan jenis. Frekuensi latihan jasmani yang dianjurkan pada
pasien diabetes melitus adalah dilakukan secara teratur 3-5 kali dalam 1
minggu, dengan intensitas ringan dan sedang (60-70% maximum heart rate),
dan lama latihan fisik yang baik adalah 30-60 menit. Adapun jenis latihan
fisik yang bermanfaat seperti latihan jasmani endurans ()aerobic) untuk
meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging dan
bersepeda (Yunir & Soebardi, 2006).
Aktivitas fisik dapat juga dilakukan sambil melakukan kegiatan sehari-hari
secara ekstra, misalnya (Regina, 2012) :


Memilih naik tangga dari pada naik escalator atau elevator



Parkir mobil di tempat yang jauh dari pintu masuk mal



Berjalan cepat atau bersepeda saat ada kesempatan



Bermain dengan anak-anak



Mengajak anjing peliharaan berjalan-jalan



Bangun dari temat duduk untuk mengganti saluran TV daripada
menggunakan remote control



Berkebun, membersihkan rumah dan mencuci mobil sendiri



Saat di pasar swalayan, berjalan menyusuri setiap lorong yang ada

4. Monitor gula darah
Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. Saat ini
banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang
umumnya sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa

Universitas Sumatera Utara

darah memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan
dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan cara standar yang
dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan dengan cara reagen kering perlu
dibandingkan dengan cara konvensional.
PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau pemicu sekresi
insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada terapi. Waktu
yang dianjurkan adalah, pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan
(menilai ekskursi maksimal glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai
risiko hipoglikemia), dan di antara siklus tidur (untuk menilai adanya
hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), atau ketika mengalami
gejala seperti hypoglycemic spells. Prosedur PGDM dapat dilihat :
a. Tes dilakukan pada waktu (tergantung tujuan pemerikasaan)
-

Sebelum makan

-

2 jam sesudah makan

-

Sebelum tidur malam

b. Pasien dengan kendali buruk/tidak stabil dilakukan tes setiap hari
c. Pasien dengan kendali baik/stabil sebaiknya tes tetap dilakukan secara
rutin. Pemantauan dapat lebih jarang (minggu sampai bulan) apabila
pasien terkontrol baik secara konsisten
d. Pemantauan glukosa darah pada pasien yang mendapat terapi insulin,
ditujukan juga untuk penyesuaian dosis insulin dan memantau tibulnya
hipoglikemia
e. Tes lebih sering dilakukan pada pasien yang melakukan aktivitas tinggi,
pada keadaan krisis, atau pada pasien yang sulit mencapai target terapi

Universitas Sumatera Utara

(selalu tinggi atau sering mengalami hipoglikemia), juga pada saat
perubahan dosis terapi
5. Intervensi farmakologis
Obat-obat hipoglikemik oral (OHO) sering digunakan dalam penatalaksanaan
diabetes mellitus. Berdasarkan cara kerjanya OHO dibagi menjadi 4 golongan
(PERKENI, 2006), yaitu :
1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) sulfonylurea dan glinid
2. Penambah sensitivitas terhadap insulin : metformin, tiazolindindon
3. Penghambat glukoneogenesis : metformin
4. Penghambat absorbs glukosa : penghambat glukosidase alfa
Pada beberapa kasus seringkali pasien diabetes mellitus memerlukan suntikan
insulin untuk membantu kekurangan pasokan dari tubuh. Berdasarkan lama
kerja, insulin dibagi menjadi empat jenis (PERKENI, 2006) yaitu :
1. Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
2. Insulin kerja pendek (short acting insulin)
3. Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
4. Insulin kerja panjang (long acting insulin)
2.1 Aktivitas hidup Sehari-hari (AHS)
2.2.1 Pengertian
AHS diorientasikan sebagai kemampuan mengurus diri sendiri berupa
aktivitas dasar yang memungkinkan manusia untuk hidup sejahtera (American
Occupational Therapy Assosiation/AOTA, 2009 ).
AHS sering digunakan sebagai istilah yang berhubungan dengan selfcare,
berisi tentang aktivitas atau tugas-tugas yang biasanya rutin dilakukan orang

Universitas Sumatera Utara

dalam kehidupan sehari-hari mereka, AHS dapat dibagi menjadi AHS dasar dan
AHS Instrumental (Frikce, 2012).
2.1.2

Klasifikasi AHS

1. AHS dasar. Perawatan diri dasar yang berhubungan dengan kemampuan
yang biasa dilakukan individu mulai dari masa kanak-kanak awal
(Kernisan, 2012). American Occupational Theraphy Assosiation (AOTA,
2009) mengelompokannya menjadi :
a. Mandi
Memperoleh dan menggunakan perlengkapan mandi, menyabuni
tubuh, membilas dan mengeringkan tubuh, mempertahankan posisi
mandi dan mampu berganti posisi selama mandi.
b. Eliminasi dan toilet hygiene
Mampu menyelesaikan dan mengontrol BAK dan BAB, menggunakan
alat-alat

untuk

membersihkan

diri

setelah

BAK

dan

BAB,

mempertahankan posisi saat BAK dan BAB, mengenakan kembali
pakaian

dan

untuk

perempuan

mampu

membersihkan

darah

menstruasi.
c. Berpakaian
Memilih pakaian dan aksesoris sesuai dengan waktu, hari, cuaca dan
acara khusus, mampu mengambil pakaian dari tempat penyimpanan,
memakai dan membuka pakaian, mengancing baju, dan mengikat
sepatu.
d. Makan

Universitas Sumatera Utara

Kemampuan untuk menjaga dan memanipulasi makanan atau cairan ke
dalam mulut dan menelannya, makan dan menelan dilakukan secara
berselang-seling.
e. Feeding
Proses mengatur, mengarahkan, dan menggerakkan makanan atau
cairan dari piring atau cangkir ke mulut. Kadang disebut juga self –
feeding
f. Perawatan personal hygiene
Memperoleh dan menggunakan perlengkapan. Misalnya mencukur
rambut tubuh dengan menggunakan pisau cukur, pinset, dan lotion.
Memakai dan menghapus make up, mencuci, mengeringkan, menyisir
dan menata rambut, merawat kuku kaki dan tangan serta menyikat
gigi.
g. Perawatan peralatan pribadi
Menggunakan, membersihkan, dan memelihara barang-barang pribadi
seperti alat bantu dengar, lensa kontak, kacamata dan gigi palsu.
h. Aktivitas seksual
Terlibat dalam aktivitas yang menghasilkan kepuasan seksual.
i. Mobilitas fungsional
Bergerak dari satu posisi atau tempat satu ketempat lainnya selama
melakukan aktivitas sehari-hari seperti mobilitas ditempat tidur,
mobilitas di kursi roda dan berpindah dari tempat tidur ke kursi, toilet,
lantai, mobil termasuk ambulasi dan memindahkan barang dari satu
tempat ketempat lain.

Universitas Sumatera Utara

2. AHS instrumental. Kemampuan kompleks yang diperlukan untuk mampu
hidup mandiri yang biasanya dipelajari selama masa remaja (Kernisan,
2012) mendukung kehidupan sehari-hari dirumah dan komunitas yang
sering membutuhkan interaksi yang lebih kompleks daripada AHS dasar
(AOTA, 2009), Seperti :
a. Merawat orang lain : termasuk memilih, mengatur, mengawasi atau
memberikan perawatan pada orang lain
b. Merawat hewan peliharaan : mengatur, mengawasi atau memberikan
perawatan pada hewan peliharaan
c. Membesarkan anak : memberikan perawatan dan mengawasi serta
mendukung kebutuhan perkembangan anak
d. Manejemen

komunikasi

:

menyimpan,

menerima

dan

menginterpretasikan informasi menggunakan berbagai sistem dan
perlengkapan, termasuk alat tulis, telpon, mesin tik, perekam
audiovisual, komputer, papan iklan, sistem emergensi, huruf braile
bagi tunanetra, layanan komunikasi untuk tunarungu, alat komunikasi
tambahan dan alat bantu digital pribadi.
e. Akses komunitas : mampu menggunakan alat transportasi umum atau
pribadi seperti mengemudi, berjalan, naik sepeda, naik bis, taksi atau
alat transportasi lainnya.
f. Manajemen keuangan : menggunakan sumber keuangan, termasuk
transaksi keuangan, rencana dan pengelolaan keuangan dalam jangka
panjang dan pendek.

Universitas Sumatera Utara

g. Manajemen penataan rumah : memeperoleh dan mempertahankan
barang milik pribadi, rumah tangga dan lingkungan sekitar seperti
rumah, halaman, kebun, alat-alat rumah tangga dan kendaraan,
termasuk mempertahankan dan memperbaiki barang milik pribadi dan
tahu bagamana mencari atau menghubungi orang ketika memerlukan
bantuan.
h. Manajemen dan pemeliharaan kesehatan : mengembangkan, mengatur
dan memelihara kesehatan seperti olahraga, nutrisi, mengurangi sikap
yang

meningkatkan

risiko

terjadinya

penyakit

dan

aktivitas

pengobatan.
i. Menyiapkan makanan : merencanakan, menyiapkan, membersihkan
dan memperhitungkan nutrisi makanan serta mencuci peralatan setelah
makan.
j. Kegiatan keagamaan

: melakukan ibadah secara mandiri atau

berjamaah dan ikut serta dalam acara keagamaan seperti ceramah
agama dimasjid atau acara di gereja.
k. Pemeliharan keselamatan dan emergensi : mengetahui dan melakukan
prosedur pencegahan untuk menciptakan lingkungan yang aman,
tanggap terhadap bahaya yang tiba-tiba dapat terjadi, melakukan
tindakan darurat untuk mengurangi ancaman terhadap kesehatan dan
keselamatan.
l. Berbelanja : menyiapkan daftar belanja, memilih, membeli dan
membawa barang, memberikan dan menerima kembalian uang dengan
tepat.

Universitas Sumatera Utara

2.2.3

Manfaat AHS (Frikce, 2012).
1. Memberikan gambaran status fungsional
2. Menetapkan perubahan aktivitas
3. Pedoman dalam melakukan pengobatan
4. Memberikan pedoman untuk rencana intervensi
5. Pedoman untuk laporan dan manajemen data
6. Mengevaluasi program intervensi dan memonitor perkembangan
pasien
7. Merencanakan masa depan dan discharge
8. Mengukur hasil rehabilitasi
9. Memberikan data untuk evidence based practise

Universitas Sumatera Utara