Pengaruh Faktor Internal Dan Eksternal Terhadap Kinerja Petugas Pengelola Obat Di Puskesmas Kota Subulussalam Tahun 2011

83

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kinerja
2.1.1. Pengertian Kinerja
Menurut Mangkunegara (2006), kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan
kuantitas yang dicapai seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya yang dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Kinerja menurut Ilyas (2001) adalah
penampilan hasil kerja personel baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu
organisasi, kinerja dapat merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja
personel.
Suprihanto (2001), mengatakan bahwa kinerja atau prestasi kerja seorang
karyawan pada dasarnya adalah hasil kerja seorang karyawan selama periode tertentu
dibandingkan dengan berbagai kemungkinan (target, standart, sasaran atau kriteria
yang telah ditentukan dan disepakati terlebih dahulu).
2.1.2. Penilaian Kinerja
Pada hakikatnya penilaian kinerja merupakan suatu evaluasi terhadap
penampilan kerja personel dengan membandingkannya dengan standar baku
penampilan (Ilyas, 2001).

Penilaian kinerja adalah proses penilaian hasil kerja yang akan digunakan oleh
pihak manajemen untuk memberi informasi kepada karyawan secara individual

11
Universitas Sumatera Utara

84

tentang mutu hasil pekerjaannya dipandang dari sudut kepentingan perusahaan
(Prawirosentono, 1999).
Dengan

melakukan

penilaian

demikian,

seorang


pemimpin

akan

menggunakan uraian-uraian pekerjaan sebagai tolak ukur. Bila pekerjaan sesuai
dengan uraian pekerjaan berarti pekerjaan itu berhasil dilaksanakan dengan baik, bila
hasilnya dibawah uraian pekerjaan berarti pelaksanaan pekerjaan tersebut kurang
(Ilyas, 2001).
Suprihanto (2001), menjelaskan tentang aspek yang dinilai pada kinerja yaitu:
(1) Prestasi kerja merupakan hasil pelaksanaan pekerjaan yang dicapai dalam
melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Prestasi kerja yang baik dapat
ditunjukkan dengan mengetahui seluk beluk tugas, terampil, berpengalaman,
bersungguh- sungguh, sehat jasmani dan rohani, bekerja dengan berdaya guna dan
berhasil guna dan hasil pekerjaan melebihi target (Ilyas, 2001), (2) tanggungjawab
merupakan kesanggupan seorang personel dalam menyelesaikan pekerjaan yang
diserahkan kepadanya dengan baik, tepat waktu serta berani mengambil resiko untuk
keputusan yang dibuat atau tindakan yang dilakukan, (3) ketaatan merupakan
kesanggupan seorang personel untuk mentaati segala peraturan yang berlaku dan
mentaati perintah yang diberi atasan dan sanggup untuk tidak melanggar peraturan
yang ditentukan, (4) kejujuran merupakan sikap mental yang keluar dari dalam diri

manusia. Kejujuran merupakan ketulusan hati dalam melaksanakan tugas

dan

mampu untuk tidak menyalahgunakan wewenang dan tanggung jawab yang diberikan
kepadanya. Kejujuran dapat dilihat dari melaksanakan tugas dengan penuh

Universitas Sumatera Utara

85

keikhlasan, tidak menyalahgunakan wewenang dan senantiasa melaporkan hasil
pekerjaan kepada atasan (Ilyas, 2001), (5) kerjasama merupakan kemampuan mental
seorang personel untuk dapat bekerjasama dengan orang lain dalam menyelesaikan
tugas yang telah diberikan (Ilyas, 2001). Kerjasama dapat dilakukan dengan
mengetahui bidang tugas orang lain yang berkaitan dengan tugasnya, mampu
menerima dan menghargai pendapat orang lain dan mampu bekerja dengan orang
lain.
Penilaian kinerja pada dasarnya mempunyai 3 (tiga) tujuan pokok yaitu :
1) Merupakan tujuan mendasar dalam rangka penilaian personal secara individual,

yang dapat digunakan sebagai informasi untuk penilaian efektifitas manajemen
sumber daya manusia.
2) Untuk pemeliharaan (Maintanance), menyangkut dorongan orang yang dinilai
supaya melanjutkan hal-hal yang dikerjakan dengan baik.
3) Untuk mengembangkan (Development), sebagai informasi untuk mengambil
keputusan guna pengembangan personal seperti promosi, mutasi, rotasi, terminasi
dan penyesuaian kompensasi.
Sedangkan menurut Mangkunegara ( 2006) tujuan penilaian kinerja adalah
1) Sebagai dasar dalam mengambil keputusan yang digunakan untuk prestasi,
pemberhentian dan besarnya balas jasa.
2) Untuk mengukur sejauh mana seorang karyawan dapat menyelesaikan
pekerjaannya.
3) Sebagai dasar untuk mengevaluasi efektivitas seluruh kegiatan dalam perusahaan.

Universitas Sumatera Utara

86

4) Sebagai dasar untuk mengevaluasi program latihan dan keefektifan jadwal kerja,
metode kerja, struktur organisasi, gaya pengawasan, kondisi kerja dan

pengawasan.
5) Sebagai indikator untuk menentukan kebutuhan akan latihan bagi karyawan yang
berada di dalam organisasi.
6) Sebagai alat untuk meningkatkan motivasi kerja karyawan sehingga dicapai
performance yang baik.
7) Sebagai alat untuk dapat melihat kekurangan atau kelemahan dan meningkatkan
kemampuan karyawan selanjutnya.
8) Sebagai kriteria menentukan seleksi dan penempatan karyawan.
9) Sebagai alat untuk memperbaiki atau mengembangkan kecakapan karyawan.
10) Sebagai alat untuk memperbaiki atau mengembangkan uraian tugas (job
description).
2.1.3. Metode Penilaian Kinerja
Menurut Rivai (2005) terdapat beberapa metode penilaian kinerja yang dapat
digunakan yaitu:
1) Metode penilaian yang berorientasi masa lalu.
Teknik yang sering digunakan dalam metode ini, meliputi :
a) Skala Peringkat (Rating Scale), yaitu penilaian yang berbentuk formulir dan
berisi unsur-unsur atau tanggapan yang akan dinilai. Penilaian ini pada
umumnya diisi oleh atasan, yang memutuskan pendapat apa yang paling
sesuai untuk tingkatan hasil kerja. Pendapat penilai diberi nilai-nilai


Universitas Sumatera Utara

87

kuantitatif (bobot) yang mencerminkan nilai rata-rata untuk kemudian
dihitung dan dibandingkan.
b) Checklist, adalah teknik penilaian yang digunakan untuk menyeleksi
pernyataan yang menjelaskan karakteristik karyawan dengan menggunakan
formulir yang berisi unsur unsur yang akan dinilai dengan tanda cek, misalnya
formulir Weighted Performance Check List.
c) Metode Peristiwa Kritis (Critical Incident Methode) adalah metode penilaian
yang mengarahkan membuat perbandingan untuk mencari pernyataan yang
menggambarkan tingkah laku karyawan baik dan buruk dihubungkan dengan
cara kerja mereka.
d) Metode Catatan Prestasi adalah metode ini berkaitan erat dengan metode
kritis, yaitu catatan penyempurnaan yang banyak digunakan terutama oleh
para profesional, misalnya penampilan, kemampuan berbicara, peran
kepemimpinan, dan aktivitas lain yang berhubungan dengan pekerjaan.
e) Metode dengan Pilihan Terarah (Forced Choice Methode) adalah teknik

penilaian untuk meningkatkan objektivitas dan mengurangi subjektivitas
dalam penilaian.
f) Skala Peringkat Dikaitkan dengan Tingkah Laku adalah metode ini merupakan
suatu cara penilaian prestasi kerja karyawan untuk satu kurun waktu tertentu
di masa lalu dengan mengkaitkan skala peringkat prestasi kerja dengan
perilaku tertentu. Salah satu kelebihan metode ini ialah pengurangan
subjektivitas dalam penilaian. Deskripsi prestasi kerja, yang baik maupun

Universitas Sumatera Utara

88

yang kurang memuaskan, dibuat oleh pekerja sendiri, rekan sekerja dan atasan
langsung masing-masing.
g) Metode Peninjauan Lapangan (Field Review Methode) adalah tehnik penilaian
di mana penilai turun ke lapangan bersama-sama dengan ahli dari SDM.
Spesialis SDM mendapat informasi dari atasan langsung perihal prestasi
karyawannya, lalu mengevaluasi berdasarkan informasi tersebut.
h) Tes dan Observasi Prestasi Kerja (Performance Test and Observation) adalah
tehnik penilaian yang dilaksanakan karena berbagai pertimbangan dan

keterbatasan, penilaian prestasi dapat didasarkan pada tes pengetahuan dan
keterampilan, berupa tes tertulis dan peragaan.
i)

Pendekatan Evaluasi Komparatif ( Comparative Evaluation Approach) adalah
tehnik penilaian yang mengutamakan perbandingan prestasi kerja sesorang
dengan karyawan lain yang menyelenggarakan kegiatan sejenis. Perbandingan
demikian dipandang bermanfaat untuk manajemen sumber daya manusia
dengan lebih rasional dan efektif. Tiga metode yang biasa digunakan dalam
penerapan pendekatan komparatif adalah sebagai berikut: (1) metode
peringkat adalah metode yang membandingkan karyawan yang satu dengan
yang lain dalam mengerjakan pekerjaan dari yang terbaik sampai yang
terburuk; (2) distribusi kendali yaitu metode penilaian dengan membuat
perbandingan atau penilai mengelompokkan dan memisahkan para karyawan
dalam klasifikasi yang berbeda-beda; (3) metode alokasi angka merupakan
bentuk lain dari penilaian distribusi kekuatan. Penilai membuat perbandingan

Universitas Sumatera Utara

89


dengan memberikan sejumlah angka keseluruhan untuk dialokasikan kepada
para pekerja dalam kelompok-kelompok.
2) Metode penilaian yang berorientasi masa depan
Metode penilaian kinerja berorientasi ke masa depan terfokus pada kinerja masa
mendatang dengan mengevaluasi potensi karyawan atau menetapkan sasaran
kinerja di masa mendatang secara bersama-sama antara pimpinan dengan
karyawan.
Metode penilaian yang berorientasi masa depan

meliputi 2 cara yang

digunakan,yaitu : 1) Penilaian diri sendiri, (self appraisal, 2) Pendekatan manajemen
berdasarkan sasaran (management by objective).

2.2. Penilaian Sendiri (Self Appraisal)
Menurut Rivai, (2005) kinerja individu dinilai dengan tehnik self appraisal
yaitu penilaian yang dilakukan oleh karyawan sendiri dengan harapan karyawan
tersebut dapat lebih mengenal kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan dirinya
sehingga mampu mengidentifikasi aspek-aspek perilaku kerja yang perlu diperbaiki

pada masa yang akan datang. Keuntungan penilaian diri sendiri (self appraisal) ini
karena dapat berpartisipasi dalam proses penilaian prestasi kerja, meningkatkan
motivasi kerja, mengurangi penolakan pada saat dinilai, memperbaiki diri sendiri,
dapat menentukan tujuan-tujuan yang akan datang secara mandiri dan melatih diri
karyawan untuk menentukan dan merencanakan sendiri kerjanya di masa yang akan
datang.

Universitas Sumatera Utara

90

Salah satu keuntungan metode self appraisal, teknik evaluasi penilaian diri
berguna bila tujuan evaluasi adalah untuk melanjutkan pengembangan diri. Bila
karyawan menilai dirinya, perilaku defensif cenderung tidak terjadi, sehingga upaya
perbaikan diri juga cenderung dilaksanakan. Kelemahan metode ini adalah responden
akan melebih-lebihkan dalam membuat penilaian terhadap dirinya.
Ada beberapa alasan untuk pengunaan penilaian diri sendiri (self appraisal)
ini yaitu:
1. Dapat berpartisipasi dalam proses penilaian prestasi kerja.
2. Dapat meningkatkan motivasi kerja karyawan yang dinilai sehingga dapat terjadi

kompetisi yang sehat di antara karyawan dan selain itu dapat mengurangi
penolakan pada saat dinilai.
3. Dapat memperbaiki diri-sendiri.
4. Dapat menentukan tujuan-tujuan yang akan datang secara mandiri
5. Melatih diri karyawan untuk menentukan dan merencanakan sendiri kariernya di
masa yang akan datang.

2.3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja Petugas
Kinerja petugas dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang berasal dari
individu pekerja itu sendiri maupun dari organisasi tempat dia bekerja. Dalam hal ini
difokuskan kepada kinerja pengelola obat di puskesmas.
Peran unit pelayanan obat di puskesmas dalam kelancaran pelayanan
kesehatan sangat penting, karena unit pelayanan obat juga merupakan unit kerja yang

Universitas Sumatera Utara

91

memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Jika masalah obat dan perbekalan
kesehatan tidak dikelola dengan baik maka akan dapat menurunkan kualitas atau
menganggu kelancaran pelayanan terhadap pasien. Hal ini yang menjadi masalah di
bidang pelayanan obat, dan perbekalan kesehatan adalah menyangkut pengelolaan
obat (Depkes RI, 2004).
Untuk memberikan atau melaksanakan pelayanan obat yang berorientasi pada
penerapan hasil pengobatan yang optimal dan prima bagi pasien maka diperlukan
jaminan ketersediaan obat dan dana yang cukup sehingga pelayanan kepada pasien
berjalan lancar. Kelancaran komponen-komponen yang terlibat ataupun yang
membawa pengaruh terhadap pelayanan tersebut, salah satunya adalah sumber daya
manusia yang mengelola obat itu sendiri di puskesmas.

2.4. Faktor Internal dan Eksternal yang Memengaruhi Kinerja
Faktor yang memengaruhi kinerja personel secara teoritis ada tiga kelompok
variabel yang memengaruhi kerja dan kinerja yaitu variabel individu, variabel
organisasi dan variabel psikologis (Ilyas, 2001). Ketiga kelompok variabel tersebut
mempengaruhi kerja yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja personel.
Variabel individu dikelompokkan pada sub variabel kemampuan dan
keterampilan, latar belakang dan demografis. Sub variabel kemampuan dan
ketrampilan, merupakan faktor utama yang memengaruhi perilaku dan kinerja
individu. Variabel demografis mempunyai efek tidak langsung pada perilaku dan
kinerja individu (Ilyas, 2001).

Universitas Sumatera Utara

92

Variabel organisasi, berefek tidak langsung terhadap perilaku dan kinerja
individu. Variabel organisasi digolongkan dalam sub variabel sumber daya,
kepemimpinan, struktur dan desain pekerjaan. Mengemukakan sub variabel imbalan
akan berpengaruh untuk meningkatkan motivasi kerja yang pada akhirnya secara
langsung akan meningkatkan kinerja individu (Ilyas, 2001).
Faktor internal yang terkait dengan pelayanan kesehatan khususnya dalam
pengelolaan obat antara lain: masa kerja, pendidikan, dan pengetahuan.
2.4.1. Masa Kerja
Robbins (2001), menyatakan keterkaitan lama kerja dengan kepuasan secara
pasti berkaitan positif, hal ini ada hubungan dengan pengalaman kerja dan
produktivitas sehingga sangat ampuh untuk menyatakan jati diri seorang karyawan.
Lama kerja sering juga diungkap dengan masa kerja, sebagai ukuran pengalaman
seseorang dalam bekerja dimana ukuran ini menimbulkan kepuasan kerja.
Siagian (1995), mengatakan lama kerja dan kepuasan berkaitan secara positif,
semakin lama kerja seseorang bekerja makin terampil dan makin berpengalaman pula
dalam melaksanakan pekerjaan. Pendapat ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Richard (2009), di Kabupaten Sibolga tentang kinerja petugas pengelola
puskesmas yang mempunyai lama kerja lebih dari atau sama dengan 5 tahun ternyata
mempunyai kinerja kategori baik dalam pengelolaan obat.
Mendukung penelitian Sriana (2002), bahwa lama kerja seorang tenaga
pengelola obat di puskesmas mempengaruhi kinerjanya, hal ini terkait dengan
pengalaman petugas tersebut dalam melaksanakan pekerjaan. Lebih lanjut disebutkan

Universitas Sumatera Utara

93

Sriana bahwa di Propinsi Jawa Timur sebagian besar petugas pengelola obat telah
bekerja sekitar 6-10 tahun demikian juga di Propinsi Sumatera Barat umumnya
petugas pengelola obat mempunyai lama kerja 11-15 tahun.
2.4.2. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu jenjang pendidikan formal yang ditempuh seseorang
sampai mendapatkan sertifikat kelulusan/ijazah, baik itu pendidikan dasar, menengah,
maupun pendidikan tinggi. Pendidikan sebagai suatu proses atau kegiatan untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan individu atau masyarakat. Ini berarti
bahwa pendidikan adalah suatu pembentukan watak yaitu nilai dan sikap disertai
dengan kemampuan dalam bentuk kecerdasan, pengetahuan dan ketrampilan.
Tingkat pendidikan yang lebih tinggi pada umumnya menyebabkan orang
lebih mampu dan bersedia menerima posisi yang bertanggung jawab (Gibson, 1997).
Siagian (1995), menyatakan makin tinggi pendidikan seseorang makin besar
keinginan untuk memanfaatkan pengetahuan dan ketrampilan.
Green (1980), menyatakan bahwa pendidikan adalah salah satu faktor
predisposisi seseorang untuk bertindak dan berperilaku. Melalui pendidikan
perkembangan kognitif seseorang bisa dimajukan dengan jalan mengatur bahan
pelajaran. Hasil Penelitian yang dilakukan Richard (2009) di Kabupaten Sibolga
adanya hubungan bermakna antara pendidikan dengan kinerja pengelola obat
puskesmas.
Hasil penelitian Sriana,A (2002), menunjukkan ada hubungan tingkat
pendidikan dengan kemampuan pengelolaan obat. Tingkat pendidikan pengelola obat

Universitas Sumatera Utara

94

yang berpendidikan farmasi lebih tinggi daripada yang latar pendidikannya non
farmasi dalam pengelolaan obat di puskesmas.
2.4.3. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan salah satu faktor predisposisi seseorang untuk
bertindak atau berperilaku positif. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih
langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Green, 1980). Menurut
Gibson (1997), pengetahuan merupakan variabel psikologis yang memengaruhi
kinerja.
Pengetahuan/kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang. Sebelum orang mengadopsi perilaku baru
(berperilaku baru), dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan yakni:
awareness (kesadaran) di mana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui lebih
dahulu terhadap stimulus (objek), interest, dimana orang mulai tertarik pada stimulus,
evaluation, (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi
dirinya, dan trial, dimana seseorang telah mencoba berperilaku baru (adoption), di
mana sesorang telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dengan
sikapnya dengan stimulus.
Pengelolaan pengetahuan merupakan proses dimana orang dalam organisasi
menemukan, membagi dan mengembangan pengetahuan untuk tindakan. Pengelolaan
pengetahuan mempengaruhi kinerja dengan mempengaruhi hubungan kerja untuk
meningkatkan pembelajaran dan pengambilan keputusan (Orzano, 2008). Orientasi
pembelajaran mempunyai hubungan yang positif pada kemampuan diri, kinerja dan

Universitas Sumatera Utara

95

pengetahuan. Orientasi pembelajaran umumnya menyesuaikan diri pada kemampuan
tinggi individu tapi tidak berefek pada kemampuan rendah seseorang. Sebaliknya
efek dari orientasi kinerja merupakan kesatuan dari kedua level individu dari
kemampuan kognitif dan hasil outcome (Bell, 2002).
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang. Ada lima tingkatan pengetahuan yang dicakup yaitu
(Notoatmodjo, 2003) : (1) Tahu (Know) yaitu mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya yang termasuk tingkatan ini adalah mengingat kembali sesuatu
yang spesifik dari keseluruhan bahan yang telah dipelajari, tingkatan ini merupakan
tingkatan paling rendah, (2) Memahami (Comprehention) adalah suatu kemampuan
menjelaskan dan menginterprestasikan secara benar tentang obyek yang diketahuinya,
(3) Aplikasi (Application) yaitu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya, (4) Analisis (Analysis)
merupakan kemampuan untuk menjabarkan suatu materi ke dalam komponen tetapi
masih dalam struktur organisasi tersebut dan masih berkaitan satu sama lain,
(5) Evaluasi (Evaluation) adalah kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap
suatu objek atau materi.
Hasil penelitian yang dilakukan Zulkarnain (2003), diperoleh hubungan yang
bermakna secara statistik antara pengetahuan dan kinerja. Faktor eksternal yang
terkait dengan pelayanan kesehatan khususnya dalam pengelolaan obat antara lain:
sarana, kepemimpinan, dan supervisi.

Universitas Sumatera Utara

96

2.4.4. Sarana
Sarana dan prasarana adalah segala jenis peralatan yang dimiliki organisasi
dipergunakan untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka mengemban misi
organisasi yang bersangkutan. Ketersediaan sarana dan prasarana yang ada di
puskesmas bertujuan untuk mendukung jalannya organisasi. Sarana penyimpanan
obat dan perbekalan kesehatan yang baik bertujuan untuk memelihara mutu obat,
menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab, menjaga kelangsungan
persediaan dan memudahkan pencarian dan pengawasan.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya sarana dan prasarana yang ada
di puskesmas. Adapun sarana yang minimal sebaiknya tersedia adalah sebagai
berikut:1) luas gudang obat (penyimpanan obat) minimal 3x4 m2, ruangan kering,
tidak lembab, terdapat ventilasi yang cukup, lantai terbuat dari tegel, dinding dibuat
licin dan mempunyai pintu yang dilengkapi dengan pintu ganda, 2) tersedia sarana
penyimpanan, seperti lemari, rak, pallet, pengatur udara, 3) sarana administrasi,
seperti meja,kursi, komputer, printer, 4) sarana pengamanan, seperti alarm, pemadam
kebakaran, tralis. (Depkes RI, 2005).
Green (1980), menyatakan diperlukan sarana untuk memungkinkan
keterampilan dilaksanakan dan dengan dukungan fasilitas sarana maupun prasarana
akan dapat meningkatkan kinerja. Hasil penelitian yang dilakukan Sinurat (2005) di
Kabupaten Lampung Timur menunjukkan hubungan yang signifikan antara sarana
kerja dengan kinerja petugas pengelola obat.

Universitas Sumatera Utara

97

2.4..5. Kepemimpinan
Menurut Stoner (1990), kepemimpinan sebagai proses pengarahan dan
mempengaruhi aktifitas yang berkaitan dengan fungsi manajemen yang amat penting
yaitu: penggerakan pelaksanaan (actuating), pengarahan (directing) atau memerintah
(command), kemampuan koordinasi (coordinating), pengawasan dan pengendalian
(controling), berkomunikasi(comunicating), membimbing, memimpin (leading) dan
mengambil keputusan (decision making) dan menjadi narasumber (resourcing).
Mengingat pengelolaan obat merupakan salah satu sub sistem dalam
pelayanan kesehatan di puskesmas, maka secara struktural petugas pengelola obat
berada dalam lingkungan organisasi yang mempunyai rentang kendali antara atasan
dan bawahan. Dalam hal pelayanan kesehatan di puskesmas, maka pimpinan
puskesmas menjadi atasan dari petugas pengelola obat di puskesmas. Kualitas
kepemimpinan kepala puskesmas turut menentukan kualitas pengelolaan obat.
Riyono (2001), mengatakan bahwa kepemimpinan berkaitan dengan
kemampuan untuk memotivasi dan mempengaruhi bawahan. Seorang pemimpin
sukses karena mampu bertindak sebagai pengarah dan pendorong yang kuat serta
berorientasi pada tujuan yang ditetapkan, sementara menurut Zaidin Ali (2010),
kepemimpinan adalah hubungan antara pemimpin dan pengikut dimana pemimpin
mempengaruhi pengikut atau pihak lain atau bawahannya untuk bekerjasama secara
sukarela dalam mengerjakan tugas-tugas yang berhubungan dengan tugasnya untuk
mencapai hal-hal yang di inginkan oleh pimpinan.

Universitas Sumatera Utara

98

Gaya kepemimpinan seseorang berbeda dengan lainnya karena gaya
kepemimpinan tersebut bersifat unik. Walaupun demikian ada tiga gaya
kepemimpinan yaitu otoriter, demokrasi dan liberal.
1. Authoritarian (otoriter)
Gaya kepemimpinan otoriter antara lain berciri:
a. Wewenang mutlak terpusat pada pimpinan.
b. Keputusan selalu dibuat oleh pimpinan.
c. Kebijaksanaan selalu dibuat pimpinan.
d. Komunikasi berlangsung satu arah dari pimpinan ke bawahan.
e. Lebih banyak kritik daripada pujian.
f. Pimpinan menuntut prestasi sempurna dari bawahan tanpa syarat.
g. Pimpinan menuntut kesetiaan mutlak tanpa syarat.
h. Cenderung adanya paksaan, ancaman dan hukuman .
i. Kasar dalam bertindak.
j. Kaku dalam bersikap.
k. Tanggung jawab keberhasilan organisasi hanya dipikul oleh pimpinan.
2. Democratic (Demokratis)
Kepemimpinan gaya demokratis adalah kemampuan mempengaruhi orang
lain agar bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
dengan cara berbagai kegiatan yang akan dilakukan ditentukan bersama antara
pimpinan dan bawahan.
Gaya kepemimpinan demokratis antara lain berciri:

Universitas Sumatera Utara

99

a. Wewenang pimpinan tidak mutlak.
b. Pemimpin bersedia melimpahkan sebagian wewenang kepada bawahan.
c. Keputusan dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan.
d. Kebijakan dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan.
e. Komunikasi berlangsung timbal balik.
f. Banyak

kesempatan

bagi

bawahan

untuk

menyampaikan

saran,

pertimbangan atau pendapat.
g. Pimpinan memperhatikan perasaan dalam bersikap dan bertindak.
h. Terdapat suasana saling percaya, saling hormat-menghormati dan saling
harga-menghargai.
i. Tanggungjawab keberhasilan organisasi dipikul bersama antara pimpinan
dan bawahan.
3. Libertarian (Liberal)
Kepemimpinan gaya liberal adalah kemampuan mempengaruhi orang lain
agar bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
dengan cara berbagai kegiatan yang akan dilakukan lebih banyak diserahkan
kepada bawahan.
Kepemimpinan liberal antara lain berciri:
a.

Pimpinan melimpahkan wewenang sepenuhnya kepada bawahan.

b. Keputusan lebih banyak dibuat oleh para bawahan.
c.

Kebijaksanaan lebih banyak dibuat oleh para bawahan.

d. Pimpinan hanya berkomunikasi apabila diperlukan oleh bawahannya.

Universitas Sumatera Utara

100

e.

Hampir tidak ada pengarahan dari pimpinan.

f.

Kepentingan pribadi lebih utama dan pada kepentingan kelompok.

g. Tanggungjawab keberhasilan organisasi dipikul oleh orang per orang.
h. Hampir tidak ada pengawasan terhadap sikap, tingkahlaku, perbuatan,
atau kegiatan yang dilakukan para bawahan.
2.4.6. Supervisi
Supervisi berasal dari kata super (lebih tinggi) dan vision (melihat) sehingga
secara umum dapat diartikan secara umum dapat diartikan sebagai mengawasi dari
atas oleh atasan. Dalam pengertian manajemen, supervisi adalah pekerjaan atau
kegiatan dilakukan dengan mengamati bagaimana pekerjaan atau kegiatan itu
dilaksanakan serta menjaga agar pekerjaan atau kegiatan tersebut tidak menyimpang
dari ketentuan atau intruksi yang diberikan.
Supervisi adalah proses memacu anggota unit kerja untuk berkontribusi secara
positif agar tujuan organisasi tercapai (Ilyas, 2001). Prinsip pokok dalam supervisi
adalah (Azwar,1996) : (a) tujuan utama supervisi adalah untuk lebih meningkatkan
penampilan bawahan bukan untuk mencari kesalahan, (b) sifat supervisi adalah
edukatif dan suportif, bukan otoriter, (c) dilakukan secara teratur dan berkala dan
jadwal yang jelas,(d) terjalin kerjasama yang baik antara atasan dan bawahan,
(e) dilaksanakan secara fleksibel dan selalu disesuaikan dengan perkembangan.
Seorang supervisor dituntut memiliki pengetahuan dan kemampuan tentang
hal-hal yang akan disupervisinya, selain itu memiliki pengalaman yang memadai

Universitas Sumatera Utara

101

tentang hal tersebut. Pengalaman lebih besar dampaknya pada keahlian supervisor
daripada pengatahuan supervisor. Kemampuan juga lebih besar dampaknya pada
pengetahuan supervisor daripada keahliannya (Borman, 1993).
Supervisi pengelolaan obat adalah proses pengamatan secara terencana oleh
petugas pengelola obat pada unit yang lebih tinggi (Instalasi Farmasi/seksi
kefarmasian dan puskesmas) terhadap pelaksanaan pengelolaan obat oleh petugas
pada unit yang lebih rendah (pustu, poskesdes, UPT lainnya). Tujuan supervisi adalah
meningkatkan produktivitas para petugas pengelola obat agar mutu pelayanan obat
dapat ditingkatkan secara optimum (Depkes RI, 200).
Ruang lingkup supervisi pengelolaan obat meliputi: (a) mengamankan
pelaksanaan kebijaksanaan, (b) mengamankan pelaksanaan program dan kendala,
(c) mengidentifikasi masalah dan kendala, (d) menemukan fakta dan kendala, (e)
menilai hasil pelaksanaan pengelolaan obat, (f) meningkatkan kemampuan tehnis, (g)
melakukan pembinaan sumber daya manusia (Depkes RI, 2003).
Langkah-langkah supervisi pengelolaan obat meliputi: (1) mengumpulkan
data dan informasi, berupa laporan rutin,hasil supervisi periode sebelumnya dan
dokumen lain yang terkait dengan rencana supervisi, (2) menganalisa data dan
informasi yang telah dikumpulkan. Manfaatnya antara lain: (a) memperkirakan
masalah yang sedang terjadi, (b) memperkirakan faktor penyebab timbulnya
permasalahan, (c) mempersiapkan berbagai alternatif pemecahan masalah. (3)
menentukan tujuan dan sasaran utama supervisi, seperti : (a) memantau tingkat
keberhasilan pengelolaan obat, (b) menemukan permasalahan yang timbul, (c)

Universitas Sumatera Utara

102

mencari faktor penyebab timbulnya masalah, (d) menilai hasil pelaksanaan kerja, (e)
membina dan melatih para pelaksana, (f) mengumpulkan masukan untuk
penyempurnaan kebijaksanaan dan program (Depkes RI, 2003)
Manfaat yang bisa di peroleh setelah dilaksanakan supervisi yaitu antara lain:
(1) petugas mengetahui kekuatan dan kelemahannya dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya, (2) petugas mengetahui apa yang harus dilakukan untuk
memperbaiki kekurangannya, (3) petugas tahu apa yang dapat diperoleh apabila
mampu meningkatkan prestasinya, (4) petugas memiliki kemampuan untuk
melakukan perubahan. Langkah pembinaan dari supervisi yang dilakukan dapat
diharapkan dapat menghasilkan program pengembangan prestasi kerja dan
tumbuhnya motivasi (Depkes RI, 2003).
Hasil penelitian Purwanto (2008), menunjukkan bahwa perlu melakukan
supervisi secara berkala terhadap pengelolaan logistik obat termasuk kepatuhan
petugas kepada pedoman pengobatan. Penelitian yang dilakukan Haflin (2002) di
Kabupaten Muaro Jambi dan Kota Jambi menjelaskan adanya hubungan bermakna
antara supervisi dengan kinerja pengelola obat puskesmas.

2.5. Pengelolaan Obat
2.5.1. Pengertian Obat
Obat adalah sediaan atau paduan-paduan yang siap digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki secara fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka

Universitas Sumatera Utara

103

penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan
dan kontrasepsi (Depkes RI, 1993).
Obat merupakan komponen yang penting dalam upaya pelayanan kesehatan
baik di pusat pelayanan kesehatan primer maupun di tingkat pelayanan kesehatan
yang lebih tinggi. Keberadaan obat merupakan merupakan kondisi pokok yang harus
terjaga ketersediaannya. Penyediaan obat sesuai dengan tujuan pembangunan
kesehatan yaitu menjamin tersedianya obat dengan mutu terjamin dan tersedia merata
dan teratur sehingga mudah diperoleh pada tempat dan waktu yang tepat.
2.5.2. Proses Pengelolaan Obat
Pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan di puskesmas bertujuan
untuk menjamin kelangsungan ketersediaan dan keterjangkauan pelayanan obat yang
efisien, efektif dan rasional. Pengelolaan obat merupakan suatu proses yang
dimaksudkan untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Proses pengelolaan
obat dapat terwujud dengan baik apabila didukung dengan kemampuan sumberdaya
yang tersedia dalam suatu sistem. Tujuan utama pengelolaan obat Kabupaten / Kota
adalah tersedianya obat yang berkualitas baik, tersebar secara merata, jenis dan
jumlah sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat di unit
pelayanan kesehatan. Pengelolaan obat yang efektif dan efisien diharapkan dapat
menjamin :
1. Tersedianya rencana kebutuhan jenis dan jumlah obat sesuai dengan kebutuhan
pelayanan kesehatan dasar di Kabupaten / Kota.
2. Tersedianya anggaran pengadaan obat yang dibutuhkan sesuai dengan waktunya

Universitas Sumatera Utara

104

3. Terlaksananya pengadaan obat yang efektif dan efisien
4. Terjaminnya penyimpanan obat dengan mutu yang baik
5. Terjaminnya pendistribusian obat yang efektif dengan waktu tunggu (lead time)
yang pendek
6. Terpenuhinya kebutuhan obat yang mendukung pelayanan kesehatan dasar sesuai
dengan jenis, jumlah dan waktu yang dibutuhkan
7. Tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM) dengan jumlah dan kualifikasi yang
tepat
8. Digunakannya obat secara rasional sesuai dengan pedoman yang disepakati.
9. Tersedianya informasi pengelolaan dan penggunaan obat yang sahih, akurat dan
muktakhir.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka sistem pengelolaan dan penggunaan
obat Kabupaten/Kota mempunyai 4 fungsi dasar, yaitu :perumusan kebutuhan
(selection), pengadaan (procurement), distribusi (distribution) dan penggunaan obat
(use). Keempat fungsi tersebut didukung oleh penunjang pengelolaan yang terdiri dari
organisasi(organization),

pembiayaan

dan

kesinambungan

(financing

and

sustainability), pengelolaan informasi (information management) dan pengelolaan
dan pengembangan SDM (human resources magament).
Pelaksanaan keempat fungsi dasar dan keempat elemen sistem pendukung
pengelolaan tersebut didasarkan pada kebijakan (policy) dan atau peraturan
perundangan yang mantap serta didukung oleh kepedulian masyarakat dan petugas
kesehatan terhadap program bidang obat dan pengobatan (Badan POM, 2001).

Universitas Sumatera Utara

105

Berdasarkan Depkes RI (2004), proses pengelolaan obat terdiri dari beberapa
tahap yaitu tahap perencanaan, tahap pengadaan, tahap permintaan dan penerimaan,
tahap penyimpanan, tahap pendistribusian, tahap pengendalian penggunaan, serta
tahap pencatatan dan pelaporan
1. Perencanaan
Pada prinsipnya perencanaan obat merupakan suatu proses kegiatan
menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka pengadaan obat agar sesuai dengan
kebutuhan untuk pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Adapun tujuan
perencanaan pengadaan obat antara lain untuk :
1. Mengetahui jenis dan jumlah obat yang tepat sesuai dengan kebutuhan
2. Menghindari terjadinya kekosongan obat
3. Meningkatkan penggunaan obat yang rasional
4. Meningkatkan efisiensi penggunaan obat
Menurut Depkes RI (2002), menyebutkan bahwa perencanaan pengadaan obat
publik dan perbekalan kesehatan adalah salah satu fungsi yang menentukan dalam
proses pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan. Tujuan perencanaan
pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan adalah untuk menetapkan jenis dan
jumlah obat sesuai dengan pola penyakit dan kebutuhan pelayanan kesehatan dasar
termasuk program kesehatan yang telah ditetapkan. Proses perencanaan pengadaan
obat publik dan perbekalan kesehatan diawali dari data yang disampaikan puskesmas
ke unit pengelola obat seperti Instalasi Farmasi, Gudang Farmasi, Seksi Farmasi
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang selanjutnya dikompilasi menjadi rencana

Universitas Sumatera Utara

106

kebutuhan obat publik dan perbekalan kesehatan kabupaten / kota yang dilengkapi
dengan teknik-teknik perhitungannya.
Disamping itu Depkes RI (2004), juga mengatakan bahwa perencanaan
kebutuhan obat puskesmas, data mutasi obat yang dihasilkan oleh puskesmas
merupakan salah satu faktor dalam mempertimbangkan perencanaan kebutuhan obat
tahunan. Data ini sangat penting untuk perencanaan kebutuhan obat di puskesmas.
Ketepatan dan kebenaran data di puskesmas akan berpengaruh terhadap ketersediaan
dan perbekalan kesehatan secara keseluruhan di kabupatan/kota. Dalam proses
perencanaan kebutuhan obat per tahun, puskesmas diminta menyediakan data
pemakaian obat dengan menggunakan LPLPO yaitu formulir yang lazim digunakan
di unit pelayanan kesehatan dasar milik pemerintah. Selanjutnya Unit Pengelola Obat
Publik dan Perbekalan Kesehatan (UPOPPK) yaitu pengelola obat di tingkat kota
seperti instalasi farmasi, gudang farmasi, seksi farmasi yang akan melakukan
kompilasi dan analisa terhadap kebutuhan obat puskesmas di wilayah kerjanya.
Perencanaan kebutuhan obat merupakan kegiatan utama sebelum melakukan
proses pengadaan obat. Langkah-langkah yang diperlukan dalam kegiatan
perencanaan kebutuhan obat antara lain: (1) tahap pemilihan obat, (2) tahap kompilasi
pemakaian obat, dan (3) tahap perhitungan kebutuhan obat.
Untuk menentukan kebutuhan obat dilakukan pendekatan perhitungan melalui
metode

konsumsi dan morbiditas. Perhitungan dengan metode konsumsi adalah

perhitungan berdasarkan analisa konsumsi obat atau pemakaian obat pada tahun

Universitas Sumatera Utara

107

sebelumnya. Sedang perhitungan dengan metode morbiditas adalah perhitungan
berdasarkan pola penyakit.
2. Pengadaaan
Pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan adalah suatu proses untuk
penyediaan obat yang dibutuhkan di unit pelayanan kesehatan. Pengadaan obat publik
dan perbekalan kesehatan dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi dan
Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan pengadaan
barang/jasa pemerintah.Tujuan pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan yaitu
tersedianya obat dengan jenis dan jumlah yang cukup sesuai kebutuhan pelayanan
kesehatan, mutu obat dapat terjamin,dan obat dapat diperlukan pada saat diperlukan
(Depkes RI, 2002).
3. Permintaan
Tujuan permintaan obat adalah untuk memenuhi kebutuhan obat di masingmasing unit pelayanan kesehatan sesuai dengan pola penyakit yang ada di wilayah
kerjanya. Sumber penyediaan obat di puskesmas adalah berasal dari Dinas Kesehatan.
Kabupaten/Kota. Obat yang diperkenankan untuk disediakan di puskesmas adalah
obat esensial yang jenis dan itemnya ditentukan setiap tahun oleh Menteri Kesehatan
dengan merujuk kepada Daftar Obat Essensial Nasional (DOEN).
Permintaan obat untuk mendukung pelayanan obat di masing-masing
puskesmas diajukan oleh Kepala Puskesmas kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dengan menggunakan format LPLPO, sedangkan permintaan dari

Universitas Sumatera Utara

108

sub unit ke kepala puskesmas dilakukan secara periodik menggunakan LPLPO sub
unit. Berdasarkan pertimbangan efisiensi dan ketepatan waktu penyerahan obat
kepada puskesmas, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat menyusun
petunjuk lebih lanjut mengenai alur permintaan dan penyerahan obat secara langsung
dari instalasi farmasi, gudang farmasi atau seksi farmasi ke puskesmas.
Kegiatan dalam permintaan antara lain: (1) permintaan rutin dilakukan sesuai
dengan jadwal yang disusun oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk masingmasing puskesmas, (2) permintaan khusus, dilakukan diluar jadwal distribusi rutin
apabila kebutuhan meningkat, menghindari kekosongan dan bila penanganan kejadian
luar biasa, obat rusak dan kadaluarsa, (3) permintaan obat dilakukan dengan
menggunakan formulir LPLPO, (4) permintaan obat ditujukan kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dan selanjutnya diproses oleh Instalasi Farmasi, Gudang
Farmasi atau Seksi Farmasi (Depkes RI, 2004).
4. Penerimaan
Penerimaan obat adalah kegiatan dalam menerima obat-obatan yang
diserahkan dari unit pengelola yang lebih tinggi kepada unit pengelola obat di
bawahnya. Setiap penyerahan obat dari unit pengelola obat kabupaten / kota kepada
puskesmas dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota atau pejabat yang diberi wewenang untuk itu. Dalam penyerahan
obat dari ke puskesmas disertakan dengan lampiran formulir SBBK yang telah
ditandatangani oleh petugas pengelola obat kabupaten/kota dan petugas pengelola

Universitas Sumatera Utara

109

obat puskesmas. Tujuan penerimaan obat ini adalah agar obat yang diterima sesuai
dengan kebutuhan berdasarkan perencanaan dan pengadaan obat oleh dinas kesehatan
serta berdasarkan permintaan yang diajukan oleh puskesmas.
Semua petugas yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan obat bertanggung
jawab atas ketertiban penyimpanan, pemindahan, pemeliharaan dan penggunaan obat
berikut kelengkapan catatan yang menyertainya.
Petugas penerimaan obat wajib melakukan pengecekan dan pemeriksaan
terhadap obat-obat yang diserahkan oleh petugas kabupaten/Kota, mencakup jumlah
kemasan/peti, dan jumlah obat, bentuk obat dan jenis obat sesuai dengan isi dokumen
SBBK. Bila pada saat pengecekan ada ketidaksesuaian antara jumlah fisik obat
dengan jumlah dan jenis yang ada di SBBK, maka penerima obat wajib dapat
mengajukan keberatan dan bisa meminta kembali kekurangan obat tersebut. Setiap
penambahan obat-obatan, dicatat dan dibukukan pada buku penerimaan obat dan
kartu stok (Depkes RI, 2004).
5. Penyimpanan
Penyimpanan obat adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan
cara menempatkan obat-obatan yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari
pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat. Tujuan penyimpanan
adalah: (1) agar obat yang tersedia di unit pelayanan kesehatan mutunya dapat
dipertahankan,(2) menghindari penggunaan yang tidak bertanggungjawab, (3)
menjaga kelangsungan persediaan, (4) memudahkan pencarian dan pengawasan.

Universitas Sumatera Utara

110

Dalam penyimpanan obat, setiap obat yang disimpan dilengkapi dengan kartu
stok untuk mencatat setiap mutasi obat. Penyimpanan obat harus sedemikian rupa
sehingga memudahkan distribusi obat secara FIFO (first in first out) dan FEFO (first
expired first out)
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan obat adalah: (1)
persyaratan gudang dan pengaturan penyimpanan obat, (2) kondisi penyimpanan,
untuk menjaga mutu obat perlu diperhatikan faktor-faktor seperti kelembaban, sinar
matahari, temperatur/panas, kerusakan fisik, kontaminasi bakteri dan pengotoran,(3)
tata cara menyimpan dan menyusun obat, (4) pengamatan mutu (Depkes RI, 2004).
6. Pendistribusian
Pendistribusian obat adalah rangkaian kegiatan dalam rangka pengeluaran
dan penyerahan obat-obatan yang bermutu, terjamin keabsahan serta tepat jenis dan
jumlah secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan unit-unit pelayanan
kesehatan. Tujuan distribusi adalah: (1) terlaksananya pengiriman obat secara merata
dan teratur sehingga dapat diperoleh pada saat dibutuhkan, (2) terjaminnya
kecukupan dan terpeliharanya penggunaan obat di unit pelayanan kesehatan, (3)
terlaksananya pemerataan kecukupan obat sesuai kebutuhan pelayanan dan program
kesehatan (Depkes RI, 2004).
7. Pencatatan dan pelaporan
Pencatatan dan pelaporan data obat merupakan rangkaian kegiatan dalam
rangka penatalaksanaan obat-obatan secara tertib, baik obat-obatan yang diterima,

Universitas Sumatera Utara

111

disimpan, didistribusikan dan digunakan di puskesmas dan atau unit pelayanan
lainnya.
Pencatatan dan pelaporan obat merupakan fungsi pengendalian dan evaluasi
administratif obat mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, sampai
pendistribusian obat. Pencatatan perencanaan kebutuhan jumlah dan jenis obat
digunakan untuk mengevaluasi kesesuaian dengan pengadaan obat. Pencatatan
penggunaan total semua jenis obat pada pasien puskesmas, sisa stok obat, dan pola
penyakit dapat digunakan untuk perencanaan kebutuhan obat tahun mendatang.
Tujuan pencatatan dan pelaporan adalah tersedianya data mengenai jenis dan
jumlah penerimaan, persediaan, pengeluaran/penggunaan dan data mengenai waktu
dari seluruh rangkaian kegiatan mutasi obat (Depkes RI, 2004).

2.6. Pembagian Tugas dan Peran Pengelolaan Obat di Puskesmas
1. Puskesmas mempunyai tugas pokok dan peran yaitu:
a. Menyediakan data dan informasi mutasi obat dan perbekalan kesehatan serta
kasus penyakit dengan baik dan akurat.
b. Setiap akhir bulan menyampaikan laporan pemakaian obat dan perbekalan
kesehatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
c. Bersama tim perencanaan obat terpadu membahas rencana kebutuhan
puskesmas.
d. Mengajukan permintaan obat dan perbekalan kesehatan kepada Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan.

Universitas Sumatera Utara

112

e. Melaporkan dan mengirim kembali semua jenis obat rusak /kadaluarsa kepada
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
f. Melaporkan kejadian obat dan perbekalan kesehatan yang hilang kepada
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
2. Tugas dan tanggung jawab petugas pengelola obat di puskesmas yaitu
Melaksanakan :
a. Permintaan obat dan perbekalan kesehatan ke Dinas Kesehatan Kab/Kota.
b. Penerimaan obat dan perbekalan kesehatan dari Dinas Kesehatan Kab/Kota.
c. Pemeriksaan kelengkapan obat dan perbekalan kesehatan..
d. Penyimpanan dan pengaturan obat dan perbekalan kesehatan.
e. Penyusunan persediaan obat dan perbekalan kesehatan.
f. Menjaga mutu dan keamanan obat dan perbekalan kesehatan.
g. Pendistribusian obat dan perbekalan kesehatan untuk sub unit pelayanan.
h. Pengendalian penggunaan obat.
i. Pencatatan dan pelaporan.
j. Penyusunan laporan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Depkes RI,2004).

2.7. Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) Petugas Pengelola Obat di Puskesmas
Sesuai dengan pedoman pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan di
puskesmas (Depkes RI, 2004), bahwa tupoksi pengelola obat di puskesmas antara
lain meliputi tahap permintaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, serta

Universitas Sumatera Utara

113

pencatatan dan pelaporan, dengan uraian tugas masing-masing tahap kegiatan sebagai
berikut:
a. Permintaan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan obat di masing-masing unit
pelayanan kesehatan sesuai dengan pola penyakit yang ada di wilayah kerjanya.
Tugas pengelola obat dalam kegiatan permintaan ini adalah: (1) melakukan
permintaan rutin sesuai dengan kebutuhan , (2) membuat surat pesanan obat
sesuai dengan jumlah dan jenis obat yang dibutuhkan, (3) melakukan permintaan
khusus apabila ada kebutuhan yang meningkat, menghindari kekosongan, atau
KLB.
b. Penerimaan merupakan kegiatan dalam menerima obat dan perbekalan kesehatan
dari unit pengelola yang lebih tinggi kepada unit pengelola di bawahnya.Tugas
pengelola obat dalam kegiatan penerimaan ini adalah: (1) melakukan pengecekan
terhadap obat yang diterima mencakup jumlah kemasan/peti, jenis dan jumlah
obat, bentuk obat sesuai dengan isi dokumen atau surat bukti penerimaan barang,
(2) mencatat setiap penerimaan obat ke dalam buku penerimaan obat dan kartu
stok.
c. Penyimpanan merupakan suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara
menempatkan obat-obatan yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari
pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat.Tugas pengelola
obat dalam kegiatan penyimpanan ini adalah: (1) mengatur dan menyusun obat
dan perbekalan kesehatan dengan mengelompokan berdasarkan bentuk sedian
,disusun secara alfabetis dan dengan sistem FIFO (First In First Out) dan FEFO

Universitas Sumatera Utara

114

(First Expired First Out, (2) melakukan pengamatan mutu secara berkala, paling
tidak setiap awal bulan.
d. Pendistribusian adalah rangkaian kegiatan dalam rangka pengeluaran

dan

penyerahan obat-obatan yang bermutu, terjamin keabsahan serta tepat jenis dan
jumlah secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan unit-unit pelayanan
kesehatan. Tugas pengelola obat dalam tahap pendistribusian adalah: (1)
menentukan frekuensi distribusi, (2) menentukan jumlah dan jenis obat yang
diperlukan, dengan mempertibangkan pemakaian rata-rata per jenis obat, sisa
stok, pola penyakit dan jumlah kunjungan, (3) melaksanakan penyerahan obat, (4)
melakukan pencacahan/pemeriksaan besar untuk mengetahui kecocokan antara
kartu stok dengan fisik obat, (5) melakukan pengendalian obat untuk menghindari
kelebihan dan kekosongan obat di unit pelayanan.
e. Pencatatan

dan

pelaporan

adalah

rangkaian

kegiatan

dalam

rangka

penatalaksanaan obat-obatan secara tertib, baik obat-obatan yang diterima,
disimpan, didistribusikan dan digunakan di puskesmas dan atau unit pelayanan
lainnya. Tugas pengelola obat dalam kegiatan pencatatan dan pelaporan adalah:
(1) mengisi dan mencatat setiap ada mutasi obat baik itu penerimaan obat,
pengeluaran obat, obat hilang atau obat rusak/kadaluarsa, (3) mengirim LPLPO
tepat waktu, (4) membuat dan mengirim laporan pemakaian obat bulanan,
triwulan dan tahunan, (5) menyimpan dan mengarsipkan LPLPO dan laporan lain
dengan baik rapi.

Universitas Sumatera Utara

115

Tupoksi berdasarkan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan di
puskesmas (Depkes RI, 2004) merupakan pedoman umum untuk puskesmas di
seluruh Indonesia, namun pelaksanaannya di lapangan, setiap puskesmas dapat
membuat tupoksi tersendiri dengan tetap berpedoman kepada pedoman umum yang
telah ditetapkan.
Puskesmas dalam wilayah Kota Subulussalam ditetapkan tupoksi petugas
pengelola obat sebagai berikut: (1) petugas menerima obat dan mengecek obat yang
berasal dari Instalasi Farmasi sesuai dengan SBBK, (2) petugas menyimpan obat
sesuai dengan bentuk sediaan, abjad, dan sistem FIFO /FEFO serta memperhatikan
waktu kadaluarsa, (3) petugas mencatat per jenis obat ke dalam kartu stok, (5)
petugas mendistribusikan obat ke sub unit pelayanan sesuai dengan permintaan, (6)
petugas mencatat obat yang telah didistribusikan ke unit pelayanan ke dalam kartu
stok dan buku pengeluaran harian serta merekapitulasi setiap akhir bulan ke dalam
formulir penggunaan obat bulanan, (9) petugas membuat LPLPO setiap akhir bulan
dan dikirim ke Dinas Kesehatan Kab/Kota sebelum tanggal 5 (lima) setiap bulannya.
2.8. Landasan Teori
Berdasarkan pada teori yang telah dipaparkan pada tinjauan pustaka, bahwa
faktor yang memengaruhi kinerja petugas adalah gabungan teori yang disampaikan
yaitu faktor individu dan faktor organisasi. Maka dalam konteks pengelolaan obat di
puskesmas, faktor individu (faktor internal) yang diamati adalah masa kerja,

Universitas Sumatera Utara

116

pendidikan dan pengetahuan, sedangkan faktor organisasi (faktor eksternal) adalah
sarana, kepemimpinan dan supervisi
Secara skematis teori Gibson (1997), Ilyas (2001) tentang faktor-faktor yang
memengaruhi kinerja dapat dilihat pada Gambar 2.1 di bawah ini :
Variabel Individu
a. Kemampuan dan
Ketrampilan:
mental,fisik
b. Latarbelakang:
keluarga,tingkat
sosial, pengalaman
c. Demografis :
Umur, asal usul, jenis
.
kelamain

KINERJA

Variabel Psikologis
Persepsi
Sikap
Kepribadian
Belajar
Motivasi

Variabel Organisasi
Sumber Daya
Kepemimpinan
Imbalan
Struktur
Desain Pekerjaan
Supervisi
Kontrol

Gambar 2.1. Diagram Skematis Teori Perilaku dan Kinerja
Berdasarkan skema pada Gambar 2.1 dapat dijelaskan bahwa faktor-faktor
yang memengaruhi kinerja petugas pengelola obat yang mempunyai latar belakang
pendidikan yang sesuai, pengetahuan yang memadai, serta pengalaman (masa kerja)
yang cukup dibidang pengelolaan obat yang didukung sikap kepemimpinan dari
seorang pimpinan, sarana penyimpanan yang memenuhi standar, serta supervisi yang
dilakukan oleh atasan berupa pembinaan dan pengawasan kepada petugas pengelola
obat akan menjamin tercapainya tujuan pembangunan dibidang kesehatan khususnya

Universitas Sumatera Utara

117

bidang obat dan perbekalan kesehatan yaitu terjaminnya ketersediaan obat,
pemerataan obat dan mutu obat.
Adanya permasalahan seperti di atas seperti ketersediaan obat yang kurang
lengkap dan merata terkait dengan sistem perencanaan dan pendistribusian obat ,
serta kualitas obat yang kurang terjamin terkait dengan sistem penyimpanan obat,
sehingga kiranya perlu dilakukan telaah lebih lanjut untuk mengetahui gambaran
pengaruh faktor internal dan faktor ekternal terhadap kinerja pengelola obat di
puskesmas dengan melihat variabel-variabel yang diuraikan pada kerangka konsep
penelitian.

2.9. Kerangka Konsep Penelitian
Faktor Internal :
1. Masa Kerja
2. Pendidikan
3. Pengetahuan
Faktor Eksternal :
1. Sarana
2. Kepemimpinan
3. Supervisi

Kinerja Petugas Pengelola Obat :
1. Permintaan
2 Penerimaan
3. Penyimpanan
4. Pendistribusian
5. Pencatatan dan Pelaporan

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara