Pengaruh Faktor Internal Dan Eksternal Terhadap Kepatuhan Petugas Kesehatan Dalam Mengelola Vaksin Di Kabupaten Labuhanbatu Selatan

(1)

PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP KEPATUHAN PETUGAS KESEHATAN DALAM MENGELOLA

VAKSIN DI KABUPATEN LABUHANBATU SELATAN

T E S I S

Oleh

LOMONA ASIMA YOSE GLORYA TAMBUNAN 127032173/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP KEPATUHAN PETUGAS KESEHATAN DALAM MENGELOLA

VAKSIN DI KABUPATEN LABUHANBATU SELATAN

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

LOMONA ASIMA YOSE GLORYA TAMBUNAN 127032173/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP KEPATUHAN

PETUGAS KESEHATAN DALAM MENGELOLA VAKSIN DI KABUPATEN LABUHANBATU SELATAN

Nama Mahasiswa : Lomona Asima Yose Glorya Tambunan Nomor Induk Mahasiswa : 127032173

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M) (

Ketua Anggota dr. Fauzi, S.K.M)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 19 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M Anggota : 1. dr. Fauzi, S.K.M

2. dr. Heldy B,Z, M.P.H 3. Drs. Tukiman, M.K.M


(5)

PERNYATAAN

PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP KEPATUHAN PETUGAS KESEHATAN DALAM MENGELOLA

VAKSIN DI KABUPATEN LABUHANBATU SELATAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2014

Lomona Asima Yose Glorya Tambunan 127032173/IKM


(6)

ABSTRAK

Kualitas vaksin tidak semata-mata hanya ditentukan dari bagaimana cara vaksin atau serum tersebut diproduksi tetapi bagaimana vaksin atau serum tersebut diperlakukan sampai diberikan kepada sasaran. Pengelolaan vaksin di Kabupaten Labuhanbatu Selatan tahun 2013 menunjukkan sebagian besar petugas pengelola vaksin puskesmas belum sepenuhnya patuh terhadap SOP (standar operasional prosedur). Pemantuan berdasarkan VVM pada 2 unit Puskesmas di Kabupaten Labuhanbatu Selatan ditemukan vaksin DPT 1 unit dan vaksin HB 2 unit mengalami perubahan warna, sehingga tidak bisa digunakan.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Kepatuhan Petugas Kesehatan dalam Mengelola Vaksin di Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Jenis penelitian survei explanatory. Penelitian ini dilaksanakan bulan April sampai dengan Juni 2014. Populasi dalam penelitian adalah seluruh petugas kesehatan pengelola vaksin berjumlah 51 orang dan seluruh populasi dijadikan sampel. Data diperoleh dengan wawancara dan observasi menggunakan kuesioner, dianalisis dengan regresi logistik berganda pada α=0,05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik variabel faktor internal (pengetahuan, pelatihan) dan faktor eksternal (fasilitas, prosedur, supervisi) berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan petugas kesehatan dalam mengelola vaksin. Variabel pengetahuan berpengaruh lebih besar terhadap kepatuhan.

Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan untuk: (1) mengupayakan petugas khusus cold chain dan petugas pengelola vaksin, sehingga mereka dapat bertanggung jawab sepenuhnya dalam pengelolaan vaksin, (2) memberikan kesempatan pada petugas pengelola vaksin dan cold chain untuk mengikuti pelatihan, (3) mengupayakan peningkatan sosialisasi SOP bagi petugas

cold chain dan petugas pengelola vaksin secara berkesinambungan serta pengadaan buku pedoman pengelolaan vaksin, (4) mengupayakan peningkatan supervisi secara rutin melalui pembinaan, bimbingan dan pengawasan dalam pengelolaan vaksin.


(7)

ABSTRACT

The quality of vaccine is not solely determined by how the vaccine or serum is produced but how the vaccine or serum is treated before it is given to the target. Vaccine management in Labuhanbatu Selatan District in 2013 showed that most of the vaccine management officers at Puskesmas (Community Health Center) has not fully complied with the SOP (Standard Operational Procedure). During the observation conducted based on WM at 2 (two) Puskesmas in Labuhanbatu Selatan District, it was found out that 1 unit of DPT vaccine and 2 units of HB vaccine experienced discoloration that they could not be used anymore.

The purpose of this explanatory survey study conducted from April to June 2014 was to analyze the influence of internal and external factors on the compliance of health workers in vaccine management in Labuhanbatu Selatan District. The population of this study was all of the 51 health workers managing vaccine and all of them were selected to be the samples for this study. The data for this study were obtained through observation and questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through multiple logistic regression tests ata = 0.05.

The result of this study showed that statistically the variables of internal factor (knowledge, training) and external factor (facility, procedure, supervision) had positive and significant influence on the compliance of the health workers in vaccine management. The variable of knowledge had a bigger influence on the compliance of health workers.

The Head of Labuhanbatu Selatan District Health Service is suggested to (I) assign cold chain special officer and vaccine management officer that they can be fully responsible for vaccine management, (2) provide opportunity to the cold chain and vaccine management officers to attend trainings, (3) increase the socialization of SOP for cold chain and vaccine management officers continuously and provide vaccine management guidebooks, and (4) periodically and routinely improve the supervision through coaching, guidance and supervision in vaccine management.


(8)

KATA PENGANTAR

Segala Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat serta pertolonganNya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul " Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Kepatuhan Petugas Kesehatan dalam Mengelola Vaksin di Kabupaten Labuhanbatu Selatan ".

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis, dalam menyusun tesis ini mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(9)

5. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M selaku ketua komisi pembimbing dan dr. Fauzi, S.K.M, selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai. 6. dr. Heldy B,Z, M.P.H, dan Drs. Tukiman, M.K.M, selaku komisi penguji tesis

yang dengan penuh perhatian, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

7. Bapak Bupati Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Wildan Aswan Tanjung yang telah memberikan Tugas Belajar PNS di lingkungan Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu Selatan serta biaya pendidikan dan bantuan tunjangan Tugas Belajar dalam rangka pendidikan hingga penulis menyelesaikan tesis tepat waktu.

8. Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan yang telah memberikan ijin Tugas Belajar, seluruh Kepala Puskesmas, dan seluruh petugas pengelola vaksin di Kabupaten Labuhanbatu Selatan yang telah membantu pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penelitian.

9. Para dosen, staf dan semua pihak yang terkait di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 10. Rasa cinta dan terima kasih yang tulus saya tujukan kepada Ayahanda (Alm)

Polin Tambunan, SH dan Ibunda (Almh) Miani Br. Marpaung atas kasih sayang dan semangat yang tiada pernah berhenti sampai akhir hayatnya, keluarga


(10)

Kakanda Ir. Erjanita Tambunan, M.P. yang selalu memberikan motivasi dan semangat serta fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan.

11. Secara istimewa terimakasih tak terhingga penulis persembahkan atas perhatian, pengertian, pengorbanan, kepada suami tercinta dr. Martaon B. Siregar yang telah mengijinkan dan memberi dukungan moril dan materil serta doa dan penuh kesabaran kepada penulis agar bisa menyelesaikan pendidikan ini.

12. Secara khusus kepada putra tercinta Timothy Isa Pranata Siregar, kedua putriku tercinta Yolanda Betsyeba Siregar, dan Felicya Sere Siregar yang menjadi sumber semangat dan gairah bagi penulis untuk menyelesaikan Tesis ini.

13. Seluruh rekan-rekan mahasiswa di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya minat studi Administrasi Kebijakan Kesehatan serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu penulis dalam proses penulisan Tesis ini.

Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Oktober 2014 Penulis

Lomona Asima Yose Glorya Tambunan 127032173/IKM


(11)

RIWAYAT HIDUP

Lomona Asima Yose Glorya Tambunan, lahir pada tanggal 12 April 1972 di Medan, anak ke dua dari dua bersaudara dari pasangan Ayahanda Polin Tambunan, SH (Alm) dan Ibunda Miani br. Marpaung (Almh).

Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan sekolah dasar di Sekolah Dasar Kristen Immanuel, Medan, selesai Tahun 1984, Sekolah Menengah Pertama di SMP Kristen Immanuel, selesai Tahun 1987, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri I Medan, selesai tahun 1990, Fakultas Kedokteran Gigi di Universitas Sumatera Utara , selesai Tahun 1996.

Mulai bekerja sebagai Dokter Gigi PTT tahun 1996 sampai tahun 1999 di Puskesmas Tangkit, Kabupaten Muara Bulian, Jambi. Dokter gigi PNS tahun 2002 sampai tahun 2006 di Kabupaten Nias, tahun 2006 pindah ke Kabupaten Labuhanbatu dan bertugas di Puskesmas Cikampak sampai dengan tahun 2010. Menjadi Kepala seksi Wabah dan bencana di Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan tahun 2010 sampai dengan memulai pendidikan di Program Studi S2.

Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sejak tahun 2012 hingga saat ini.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Hipotesis ... 9

1.5 Manfaat Penelitian ... 9

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1 Kepatuhan ... 10

2.2 Imunisasi ... 11

2.2.1 Pengertian Imunisasi ... 11

2.2.2 Program Imunisasi ... 12

2.3 Pengelolaan Cold Chain ... 12

2.3.1 Pengertian Cold Chain ... 12

2.3.2 Petugas Pengelola Cold Chain ... 13

2.3.3 Sarana Penyimpanan dan Pengiriman Vaksin ... 14

2.3.4 Peralatan Monitoring Temperatur ... 16

2.3.5 Prosedur Pengelolaan Cold Chain ... 20

2.4 Pengelolaan Vaksin ... 21

2.4.1 Pengertian Vaksin ... 21

2.4.2 Penyedian Logistik Vaksin ... 22

2.4.3 Pengadaan Logistik, Distribusi dan Penyimpanan ... 25

2.5 Kinerja ... 37

2.5.1 Pengertian Kinerja ... 37

2.5.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja ... 38

2.6 Perilaku ... 39

2.6.1 Definisi Perilaku ... 39

2.6.2 Aspek-aspek Perilaku ... 41

2.6.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perilaku ... 41


(13)

2.6.5 Sikap ... 43

2.7 Landasan Teori ... 47

2.8 Kerangka Konsep ... 49

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 50

3.1 Jenis Penelitian ... 50

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 50

3.3 Populasi dan Sampel ... 50

3.3.1 Populasi ... 50

3.3.2 Sampel ... 51

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 51

3.4.1 Data Primer ... 51

3.4.2 Data Sekunder ... 52

3.4.3 Validitas dan Reliabilitas ... 52

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 54

3.5.1 Variabel Bebas ... 54

3.5.2 Variabel Terikat ... 55

3.6 Metode Pengukuran ... 55

3.6.1 Metode Pengukuran Variabel Bebas ... 55

3.6.2 Metode Pengukuran Variabel Terikat ... 56

3.7 Metode Analisis Data ... 56

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 57

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 57

4.1.1. Letak dan Geografis ... 57

4.1.2. Sarana Kesehatan ... 59

4.2 Analisis Univariat ... 60

4.2.1 Identitas Responden ... 61

4.2.2 Faktor Internal ... 62

4.2.3. Faktor Eksternal ... 66

4.2.4 Kepatuhan Petugas Kesehatan dalam Mengelola Vaksin ... 71

4.3 Analisis Bivariat ... 74

4.3.1 Hubungan Pengetahuan dengan Kepatuhan ... 74

4.3.2 Hubungan Pelatihan dengan Kepatuhan ... 75

4.3.3 Hubungan Fasilitas dengan Kepatuhan ... 75

4.3.4 Hubungan Prosedur dengan Kepatuhan ... 76

4.3.5 Hubungan Supervisi dengan Kepatuhan ... 76

4.4 Analisis Multivariat ... 77

4.4.1 Menilai Kelayakan Model Regresi... 77

4.4.2 Menilai Keseluruhan Model (Overall Model Fit) ... 77


(14)

BAB 5. PEMBAHASAN ... 81

5.1 Pengaruh Faktor Internal terhadap Kepatuhan Petugas Kesehatan dalam Mengelola Vaksin... 81

5.1.1 Pengaruh Pengetahuan terhadap Kepatuhan ... 81

5.1.2 Pengaruh Pelatihan terhadap Kepatuhan ... 86

5.2 Pengaruh Faktor Eksternal terhadap Kepatuhan Petugas Kesehatan dalam Mengelola Vaksin ... 89

5.2.1 Pengaruh Fasilitas terhadap Kepatuhan ... 89

5.2.2 Pengaruh Prosedur terhadap Kepatuhan ... 92

5.2.3 Pengaruh Supervisi terhadap Kepatuhan ... 95

5.3 Kepatuhan petugas Kesehatan dalam Mengelola Vaksin ... 97

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 100

6.1 Kesimpulan ... 100

6.2 Saran ... 100

DAFTAR PUSTAKA ... 102


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Penyimpanan Vaksin ... 27

3.2 Metode Pengukuran Variabel Bebas ... 55

3.3 Metode Pengukuran Variabel Terikat ... 56

4.1 Luas Wilayah Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Jarak Ibukota Kecamatan ke Ibukota Kabupaten ... 58

4.2 Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 59

4.3 Distribusi Sarana Kesehatan ... 59

4.4. Distribusi Identitas Responden ... 61

4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan ... 64

4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pengetahuan ... 65

4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Pelatihan ... 66

4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pelatihan ... 66

4.9 Distribusi Responden Berdasarkan Fasilitas ... 67

4.10 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Fasilitas ... 68

4.11 Distribusi Responden Berdasarkan Prosedur ... 69

4.12 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Prosedur ... 69

4.13 Distribusi Responden Berdasarkan Supervisi ... 71

4.14 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Supervisi ... 71

4.15 Distribusi Responden Berdasarkan Kepatuhan Petugas Kesehatan dalam Mengelola Vaksin ... 73


(16)

4.17 Hubungan Pengetahuan dengan Kepatuhan ... 74

4.18 Hubungan Pelatihan dengan Kepatuhan ... 75

4.19 Hubungan Fasilitas dengan Kepatuhan ... 76

4.20 Hubungan Prosedur dengan Kepatuhan ... 76

4.21 Hubungan Supervisi dengan Kepatuhan ... 77

4.22 Model Summary ... 78


(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Kondisi VVM ... 28 2.2 Landasan Teori ... 48 2.3 Kerangka Konsep Penelitian ... 49


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Kuesioner Penelitian ... 104

2 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 110

3 Uji Univariat dan Bivariat ... 115

4 Uji Multivariat ... 134

5 Surat izin penelitian dari Program Studi S2 IKM FKM USU Medan ... 137

6 Surat izin selesai penelitian dari Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan ... 138

5. Dokumentasi Penelitian ... 154

6. Surat Izin Penelitian dari Pascasarjana USU ... 155


(19)

ABSTRAK

Kualitas vaksin tidak semata-mata hanya ditentukan dari bagaimana cara vaksin atau serum tersebut diproduksi tetapi bagaimana vaksin atau serum tersebut diperlakukan sampai diberikan kepada sasaran. Pengelolaan vaksin di Kabupaten Labuhanbatu Selatan tahun 2013 menunjukkan sebagian besar petugas pengelola vaksin puskesmas belum sepenuhnya patuh terhadap SOP (standar operasional prosedur). Pemantuan berdasarkan VVM pada 2 unit Puskesmas di Kabupaten Labuhanbatu Selatan ditemukan vaksin DPT 1 unit dan vaksin HB 2 unit mengalami perubahan warna, sehingga tidak bisa digunakan.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Kepatuhan Petugas Kesehatan dalam Mengelola Vaksin di Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Jenis penelitian survei explanatory. Penelitian ini dilaksanakan bulan April sampai dengan Juni 2014. Populasi dalam penelitian adalah seluruh petugas kesehatan pengelola vaksin berjumlah 51 orang dan seluruh populasi dijadikan sampel. Data diperoleh dengan wawancara dan observasi menggunakan kuesioner, dianalisis dengan regresi logistik berganda pada α=0,05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik variabel faktor internal (pengetahuan, pelatihan) dan faktor eksternal (fasilitas, prosedur, supervisi) berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan petugas kesehatan dalam mengelola vaksin. Variabel pengetahuan berpengaruh lebih besar terhadap kepatuhan.

Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan untuk: (1) mengupayakan petugas khusus cold chain dan petugas pengelola vaksin, sehingga mereka dapat bertanggung jawab sepenuhnya dalam pengelolaan vaksin, (2) memberikan kesempatan pada petugas pengelola vaksin dan cold chain untuk mengikuti pelatihan, (3) mengupayakan peningkatan sosialisasi SOP bagi petugas

cold chain dan petugas pengelola vaksin secara berkesinambungan serta pengadaan buku pedoman pengelolaan vaksin, (4) mengupayakan peningkatan supervisi secara rutin melalui pembinaan, bimbingan dan pengawasan dalam pengelolaan vaksin.


(20)

ABSTRACT

The quality of vaccine is not solely determined by how the vaccine or serum is produced but how the vaccine or serum is treated before it is given to the target. Vaccine management in Labuhanbatu Selatan District in 2013 showed that most of the vaccine management officers at Puskesmas (Community Health Center) has not fully complied with the SOP (Standard Operational Procedure). During the observation conducted based on WM at 2 (two) Puskesmas in Labuhanbatu Selatan District, it was found out that 1 unit of DPT vaccine and 2 units of HB vaccine experienced discoloration that they could not be used anymore.

The purpose of this explanatory survey study conducted from April to June 2014 was to analyze the influence of internal and external factors on the compliance of health workers in vaccine management in Labuhanbatu Selatan District. The population of this study was all of the 51 health workers managing vaccine and all of them were selected to be the samples for this study. The data for this study were obtained through observation and questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through multiple logistic regression tests ata = 0.05.

The result of this study showed that statistically the variables of internal factor (knowledge, training) and external factor (facility, procedure, supervision) had positive and significant influence on the compliance of the health workers in vaccine management. The variable of knowledge had a bigger influence on the compliance of health workers.

The Head of Labuhanbatu Selatan District Health Service is suggested to (I) assign cold chain special officer and vaccine management officer that they can be fully responsible for vaccine management, (2) provide opportunity to the cold chain and vaccine management officers to attend trainings, (3) increase the socialization of SOP for cold chain and vaccine management officers continuously and provide vaccine management guidebooks, and (4) periodically and routinely improve the supervision through coaching, guidance and supervision in vaccine management.


(21)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Program imunisasi merupakan program yang memberikan sumbangan yang sangat bermakna dalam rangka penurunan angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh berbagai Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). Cakupan program imunisasi rutin yang tinggi dengan kualitas program yang baik, terbukti mempercepat penurunan angka kematian dan angka kesakitan bayi. Program imunisasi rutin harus dipertahankan secara terus-menerus dengan cakupan yang tinggi selama masih ada bibit penyakitnya. Pengalaman membuktikan, bahwa walaupun jumlah kasus suatu PD3I tidak tinggi, sehingga penyakit tersebut tidak diperhitungkan sebagai masalah kesehatan yang serius, tetapi bila cakupan imunisasi di suatu daerah rendah dalam beberapa tahun, akan terjadi peningkatan kasus PD3I bahkan bisa terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB).

Imunisasi atau vaksinasi sebagai suatu tindakan memberikan kekebalan tubuh seseorang terhadap suatu penyakit dengan memasukkan vaksin seharusnya membuat daya tahan tubuh seseorang terhadap penyakit tertentu menjadi baik. Satu hal yang perlu dicermati dalam hal ini adalah pengelolaan rantai vaksin (cold chain). Pengelolaan vaksin sama halnya dengan pengelolaan rantai vaksin, yaitu suatu prosedur yang digunakan untuk menjaga vaksin pada suhu tertentu yang telah ditetapkan agar vaksin memiliki potensi yang baik sampai pada saat diberikan kepada


(22)

sasaran. Untuk menjamin penyimpanan, pengiriman dan penanganan vaksin secara baik, sistem cold chain terdiri dari tiga elemen utama yaitu personil, peralatan dan manajemen prosedur yang efisien (WHO, 2002).

Menurut Parslow (2003) vaksin merupakan produk biologis yang terbuat dari kuman, komponen kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan yang berguna untuk merangsang timbulnya kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu. Semua vaksin merupakan produk biologis yang rentan, memiliki karakteristik tertentu, sehingga memerlukan penanganan khusus.

Menurut Centers For Disease Control and Prevention (2003) penyimpangan ketentuan yang ada dapat mengakibatkan kerusakan vaksin sehingga potensi vaksin akan berkurang atau bahkan hilang. Sekali potensi vaksin berkurang atau hilang tidak dapat diperbaiki. Kualitas vaksin tidak hanya ditentukan dengan tes laboratorium (uji potensi vaksin), namun juga sangat tergantung pada kualitas pengelolaannya.

Kualitas vaksin tidak semata-mata hanya ditentukan dari bagaimana cara vaksin atau serum tersebut diproduksi tetapi hal lain yang sangat menentukan, yaitu bagaimana vaksin atau serum tersebut diperlakukan selama penyimpanan, pengepakan dan selama pengiriman (Depkes RI, 2005). Vaksin dapat lebih cepat mengalami kehilangan potensi jika terpapar oleh temperatur yang tidak sesuai dengan temperatur penyimpanan yang ditentukan. Kehilangan potensi pada vaksin bersifat permanen dan irreversible. Oleh sebab itu penyimpanan vaksin pada kondisi temperatur yang ditentukan merupakan hal vital yang sangat penting agar potensi


(23)

vaksin tetap terjaga sampai dengan vaksin diberikan (Centers for Disease Control and Prevention, 2012).

Kehilangan potensi pada vaksin dan bila diberikan kepada sasaran dapat menimbulkan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang tidak diinginkan. Kerusakan vaksin juga dapat mengakibatkan kerugian sumber daya yang tidak sedikit, baik dalam bentuk biaya vaksin, maupun biaya-biaya lain yang terpaksa dikeluarkan guna menanggulangi masalah KIPI atau kejadian luar biasa.

Menurut Riskesdas tahun 2013 persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-23 bulan di Provinsi Sumatera Utara adalah (HB-0=63,0%, BCG=78,1%, DPT-HB-3=63,1%, Polio-4=67,5%, Campak=70,1%) dan persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-23 bulan, yaitu 39,1% (lengkap), 44,5% (tidak lengkap) dan 16,4% (tidak imunisasi). Persentase imunisasi dasar lengkap di perkotaan lebih tinggi (64,5%) daripada di perdesaan (53,7%) dan terdapat 11,7 persen anak umur 12-23 bulan di perdesaan yang tidak diberikan imunisasi sama sekali (Kemenkes RI, 2013).

Sesuai telaah laporan KIPI oleh Vaccine Safety Committee, IOM (Institute of Medicine USA) menyatakan bahwa sebagian besar kejadian KIPI adalah akibat kesalahan prosedur dan kinerja petugas dalam penatalaksanaan vaksin. Selama ini masih banyak petugas kesehatan yang beranggapan bahwa bila ada pendingin maka vaksin sudah aman, bahkan ada yang berpikir kalau semakin dingin maka vaksin semakin baik.


(24)

Menurut Depkes RI (2013) vaksin merupakan bahan biologis yang mudah rusak sehingga harus disimpan pada suhu yang sudah ditentukan. Pemantauan suhu vaksin sangat penting untuk menjaga kualitas vaksin tetap tinggi sejak diterima sampai didistribusikan dan beberapa ketentuan yang harus selalu diperhatikan adalah paparan vaksin terhadap panas, masa kadaluwarsa vaksin, waktu pendistribusian/penerimaan serta ketentuan pemakaian sisa vaksin.

Menurut WHO (2002) agar vaksin tetap mempunyai potensi yang baik sewaktu diberikan kepada sasaran maka vaksin harus disimpan pada sarana penyimpanan (cold chain) pada suhu tertentu dengan lama penyimpanan yang telah ditentukan. Standar penyimpanan vaksin pada lemari pendingin berguna untuk melakukan pemantauan suhu rantai dingin (cold chain) vaksin dilengkapi dengan alat pemantau suhu berupa lampu alarm yang akan menyala bila suhu di dalamnya melampaui suhu yang ditetapkan.

Sebagai dasar pertimbangan dalam memilih cold chain antara lain meliputi jumlah sasaran, volume vaksin yang akan dimuat, sumber energi yang ada, sifat, fungsi serta stabilitas suhu sarana penyimpanan, suku cadang dan anjuran WHO atau hasil penelitian atau uji coba yang pernah dilakukan. Sarana cold chain di tingkat puskesmas dan poliklinik merupakan sarana penyimpanan vaksin terakhir sebelum mencapai sasaran. Tingginya frekuensi pengeluaran dan pengambilan vaksin dapat menyebabkan potensi vaksin cepat menurun.


(25)

Mekanisme perjalanan vaksin dari Dinas Kesehatan sampai ke puskesmas memiliki alur secara berjenjang. Pengambilan vaksin ke kabupaten/kota dari puskesmas menggunakan peralatan rantai vaksin yang sudah ditentukan seperti cold box atau vaccine carrier. Sebelum memasukkan vaksin ke dalam alat pembawa, periksa indikator vaksin VVM (Vaccine Vial Monitor) kemudian dimasukkan cool pack ke dalam alat pembawa dan dibagian tengah diletakkan thermometer, untuk jarak jauh bila freeze tag/watch tersedia dapat dimasukkan ke dalam alat pembawa, selama perjalanan dari kabupaten/kota ke puskesmas tidak boleh kena sinar matahari langsung. Sampai di puskesmas data vaksin dicatat dalam buku stok vaksin: tanggal menerima vaksin, jumlah, nomor batch dan tanggal kadaluarsa. Penerapan prosedur tersebut untuk memperkecil risiko kerusakan pada vaksin (WHO, 2003). Permasalahan yang kerap dihadapi petugas kesehatan adalah ketika distribusi vaksin sampai ke posyandu di daerah terpencil. Kondisi yang tidak kondusif sering merusak kualitas vaksin.

Semua vaksin secara kontinu harus disimpan dalam suhu yang tepat sejak saat dibuat sampai digunakan untuk mempertahankan mutu. Sekali potensi vaksin hilang atau rusak, tidak dapat diperoleh kembali atau diperbaiki. Tanpa penanganan yang tepat, setiap vaksin menjadi tidak efektif untuk memberikan perlindungan terhadap sasaran. Pada beberapa kasus, hilangnya potensi dapat pula menyebabkan vaksin lebih mudah menimbulkan reaksi (reactogenic) (Centers for Disease Control and Prevention, 2012).


(26)

Studi terhadap klinik yang melayani imunisasi di wilayah Vancouver tahun 2006, menyebutkan dari 170 klinik yang ada hanya 12% yang memantau suhu vaksin secara rutin 2 kali sehari (BCCDC, 2006). Studi oleh PATH (Program Appropiate Technology in Health) dan Departemen Kesehatan RI tahun 2001-2003 menyatakan bahwa 75% vaksin di Indonesia telah terpapar suhu beku selama distribusi. Suhu beku dijumpai selama transportasi dari provinsi ke kabupaten (30%), penyimpanan di lemari es kabupaten (40%) dan penyimpanan di lemari es puskesmas (30%) (Nelson et al., 2004).

Salah satu faktor yang terkait dengan pengelolaan vaksin adalah kepatuhan petugas vaksin terhadap tata cara atau prosedur pengelolaannya. Menurut Green dalam Notoatmodjo (2012) secara teoritis kepatuhan atau ketidakpatuhan dalam mengambil keputusan dipengaruhi oleh perilaku seseorang. Dalam hal ini adalah kepatuhan petugas kesehatan terhadap anjuran atau aturan dalam mengelola vaksin.

Menurut Depkes RI (2013) program imunisasi akan bermutu apabila petugas kesehatan khususnya petugas cold chain dan vaksin patuh terhadap standard yang ditetapkan. Kepatuhan petugas cold chain dimulai dari cara menangani vaksin, yaitu mulai dari pabrik pembuat vaksin sampai dilapangan dan pemeliharaan sarana tempat penyimpanan yang memadai dan dapat berfungsi dengan benar disemua tempat.

Pengetahuan menjadi dasar terbentuknya sikap seseorang serta melakukan tindakan. Sikap positif petugas kesehatan menjadi dasar kecenderungan untuk melakukan tindakan atau praktik yang berkenaan dengan objek sikapnya tersebut.


(27)

Menurut Green dalam Notoatmodjo (2012), determinan perilaku seseorang dalam melakukan serangkaian tindakan dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu karakteristik individu yang bersangkutan dan faktor eksternal, yaitu faktor lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik.

Hasil survei awal pemantauan pengelolaan vaksin di Kabupaten Labuhanbatu Selatan tahun 2013 menunjukkan sebagian besar petugas pengelola vaksin puskesmas belum sepenuhnya patuh terhadap SOP (standar operasional prosedur) dalam mengelola vaksin, yakni suhu penyimpanan vaksin harus stabil pada kisaran 2-8oC. Pemantuan berdasarkan VVM pada 2 unit puskesmas di Kabupaten Labuhanbatu Selatan ditemukan vaksin DPT 1 unit dan vaksin HB sebanyak 2 unit mengalami perubahan warna, sehingga tidak bisa digunakan. Salah satu penyebab belum optimalnya pengelolaan vaksin ini adalah secara internal pengetahuan petugas yang masih rendah tentang pengelolaan vaksin, sebagian besar belum mengikuti pelatihan dan secara eksternal minimnya supervisi dari pimpinan serta fasilitas pendukung yang belum sepenuhnya dioperasikan dengan baik.

Hasil penelitian Mavimbe dan Bjune (2007) di Mozambique terhadap 44 petugas pengelola vaksin menunjukkan bahwa sebagian besar petugas memiliki pengetahuan yang kurang mengenai penyimpanan vaksin. Sebanyak 40 petugas (91%) tidak mengetahui tentang uji kocok (shake test) dan sebanyak 21 petugas (48%) tidak mengetahui kisaran suhu yang dianjurkan untuk penyimpanan vaksin.


(28)

Hasil penelitian Kristini (2008) menyimpulkan bahwa kepatuhan seperti pengetahuan dan sikap petugas pengelola vaksin merupakan salah satu faktor efektf tidaknya kinerja petugas dalam pengelolaan vaksin dan ditemukan sebagian besar (65,9%) petugas pengelola vaksin memiliki pengetahuan kurang mengenai penyimpanan vaksin. Hasil penelitian Suryanti (2008) menyimpulkan bahwa kepatuhan petugas meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan dalam pengelolaan vaksin belum sepenuhnya sesuai dengan prosedur.

Petugas kesehatan yang belum sepenuhnya patuh terhadap penerapan standar operasional prosedur dalam mengelola vaksin maka penulis merasa perlu melakukan penelitian tentang ”Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Kepatuhan Petugas Kesehatan dalam Mengelola Vaksin di Kabupaten Labuhanbatu Selatan"

1.2 Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimana Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Kepatuhan Petugas Kesehatan dalam Mengelola Vaksin di Kabupaten Labuhanbatu Selatan.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Kepatuhan Petugas Kesehatan dalam Mengelola Vaksin di Kabupaten Labuhanbatu Selatan.


(29)

1.4 Hipotesis

Faktor Internal dan Eksternal berpengaruh terhadap Kepatuhan Petugas Kesehatan dalam Mengelola Vaksin di Kabupaten Labuhanbatu Selatan.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Bagi Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan, sebagai bahan masukan dalam hal pengelolaan vaksin guna perbaikan kualitas pelayanan terkait dengan vaksinasi.

2. Penelitian ini memberi masukan bagi pengembangan ilmu kesehatan masyarakat dan bagi peneliti selanjutnya khususnya tentang pengelolaan vaksin.

3. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan pengelolaan vaksin.


(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kepatuhan

Kepatuhan berasal dari kata patuh, menurut kamus umum Bahasa Indonesia, patuh artinya suka dan taat kepada perintah atau aturan, dan berdisiplin. Kepatuhan berarti sifat patuh, taat, tunduk pada ajaran atau peraturan. Menurut Wikipedia kepatuhan (bahasa Inggris: compliance) berarti mengikuti suatu spesifikasi, standar, atau hukum yang telah diatur dengan jelas yang biasanya diterbitkan oleh lembaga atau organisasi yang berwenang dalam suatu bidang tertentu. Lingkup suatu aturan dapat bersifat internasional maupun nasional, seperti misalnya standar internasional yang diterbitkan oleh ISO (International Standart Organization) serta aturan-aturan nasional yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk sektor perbankan di Indonesia.

Kepatuhan adalah sikap mau mentaati dan mengikuti suatu spesifikasi, standar atau aturan yang telah diatur dengan jelas yang diterbitkan oleh organisasi yang berwenang.(Wesiklopedia, 2005). Azwar (2007) menyatakan seseorang dikatakan patuh apabila ia dapat memahami, menyadari dan menjalankan peraturan yang telah ditetapkan, tanpa paksaan dari siapapun.

Dari hasil penelitian Widiyanto (2003), dikatakan bahwa kepatuhan seseorang terhadap suatu standar atau peraturan dipengaruhi juga oleh pengetahuan dan pendidikan individu tersebut. Semakin tinggi tingkat pengetahuan, maka semakin mempengaruhi ketaatan seseorang terhadap peraturan atau standar yang berlaku.


(31)

Menurut Hasibuan (2008) kepatuhan adalah suatu perilaku dalam menepati anjuran atau aturan. Kepatuhan merupakan kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua peraturan dan norma-norma sosial yang berlaku. Kepatuhan yang baik mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab seseorang terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini mendorong gairah kerja, semangat kerja, dan terwujudnya tujuan masyarakat.

Menurut Badudu dan Sutan (1994) dalam kamus besar bahasa Indonesia, kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Kepatuhan merupakan variabel yang sulit dicari media pengukurannya. Adanya kepatuhan adalah karena ada peraturan atau prosedur yang harus dilaksanakan dengan baik.

Menurut Green dalam Notoatmodjo (2012) secara teoritis kepatuhan atau ketidakpatuhan dalam bidang kesehatan dipengaruhi oleh perilaku seseorang, yaitu faktor: pendidikan, pekerjaan, pendapatan, pengetahuan, sikap, anjuran, biaya berobat, jarak pelayanan dan sikap petugas. Petugas pengelola vaksin dalam hal ini akan berperilaku dalam melakukan tindakan melalui pengetahuan, sikap dan dukungan fasilitas dalam mengelola vaksin.

2.2 Imunisasi

2.2.1 Pengertian Imunisasi

Imunisasi adalah suatu cara untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau sakit ringan. Sasaran imunisasi adalah Bayi (di


(32)

bawah satu tahun), Wanita Usia Subur (WUS) ialah wanita berusia 15-39 tahun termasuk ibu hamil (Bumil) dan calon pengantin (catin) serta anak usia sekolah tingkat dasar (Kemenkes RI, 2013).

2.2.2 Program Imunisasi

Upaya imunisasi diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 1956. Upaya ini merupakan upaya kesehatan masyarakat yang terbukti paling effective cost. Dengan upaya imunisasi terbukti bahwa penyakit cacar telah terbasmi dan Indonesia dinyatakan bebas dari penyakit cacar sejak tahun 1974 (Depkes RI, 2006). Sejak tahun 1977, upaya imunisasi diperluas menjadi Program Pengembangan Imunisasi dalam rangka pencegahan penularan terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah : Difteri, Pertusis, Tetanus, Tuberculosis, Campak, Poliomelitis dan Hepatitis B (Kemenkes RI, 2013).

2.3 Pengelolaan Cold Chain

2.3.1 Pengertian Cold Chain

Vaksin adalah produk biologis yang sensitif yang mungkin menjadi kurang efektif, atau bahkan hancur, bila terkena suhu di luar kisaran yang direkomendasikan. Sistem yang digunakan untuk menyimpan dan mendistribusikan vaksin dalam kondisi yang baik disebut cold chain. Cold chain terdiri atas rangkaian rantai penyimpanan dan transportasi, yang semuanya dimaksudkan untuk menjaga kualitas dan stabilitas vaksin tetap baik sampai digunakan kepada pasien (Grassby, 1993).


(33)

Sistem cold chain terdiri dari personel (petugas) terlatih yang mengelola dan menangani cold chain, sarana dan peralatan cold chain untuk menjaga vaksin disimpan dan didistribusukan dalam kondisi aman, sampai tempat tujuan untuk dapat diberikan kepada individu (Centers for Disease Control and Prevention, 2012). 2.3.2 Petugas Pengelola Cold Chain

Petugas yang memegang peranan dan wewenang dalam hal penyimpanan/ stock obat-obatan serta penyaluran obat harus mempunyai kualifikasi kemampuan serta pengalaman untuk menjamin produk-produk tersebut disimpan dan didistribusikan dengan baik. Jumlah karyawan hendaklah cukup serta harus diberikan pelatihan yang terkait dengan tugasnya, sehingga memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan sesuai dengan tugasnya (Badan POM, 2007).

Sebaiknya ditunjuk satu atau dua orang petugas sebagai koordinator pengelola

cold chain. Petugas yang dihunjuk harus sudah pernah mengikuti pelatihan tentang prosedur rutin dan keadaan darurat terkait pengelolaan penerimaan, penyimpanan, penanganan, dan pengiriman vaksin. Petugas lain yang ikut terlibat dalam penanganan vaksin juga harus mengetahui prosedur penanganan dan penyimpanan vaksin. Prosedur penanganan harus tertulis, mudah dimengerti, berdekatan dengan tempat penyimpanan vaksin, sehingga dapat dijadikan acuan bagi setiap petugas. Semua petugas yang bertanggung jawab terhadap vaksin harus mengerti pentingnya pemeliharaan cold chain dan prosedur yang harus diikuti apabila cold chain


(34)

2.3.3 Sarana Penyimpanan dan Pengiriman Vaksin

Fasilitas penyimpanan dan pengiriman merupakan salah satu bagian dari sistem permintaan obat dan vaksin. Penyimpanan merupakan tempat pemberhentian sementara barang sebelum didistribusikan kepada pengguna, sehingga terjamin kelancaran permintaan dan keamanan persediaan. Gudang untuk menyimpan obat harus dirawat untuk melindungi obat dan vaksin yang disimpan. Fungsi gudang ini untuk menghindari dampak dari perubahan temperatur, kelembaban, banjir, rembesan melalui tanah, keberadaan tikus, serangga dan binatang lain. Tempat penyimpanan diupayakan cukup luas, tetap kering dan bersih, memiliki sirkulasi udara yang baik dan penerangan yang cukup (Badan POM, 2007).

Vaksin yang diterima harus memiliki tempat yang cukup dan pada waktu mengemas vaksin yang akan dikirim kondisi temperatur harus terkontrol. Pastikan bahwa ruang tersebut dengan temperatur yang sesuai, termonitor selama penanganan vaksin, terlindung dari paparan langsung sinar matahari, terlindung dari debu, kotor, penerangan cukup dan untuk produk kembalian, ditempatkan pada area karantina sedangkan untuk produk yang akan dimusnahkan ditempatkan pada area tanpa temperatur terkontrol. Harus tersedia generator untuk menjamin sarana dan peralatan yang digunakan untuk menyimpan vaksin tetap dapat bekerja walaupun listrik padam. Generator sebaiknya otomatis atau ada petugas khusus yang siap 24 jam untuk mengoperasikan generator bila listrik padam(Public Health Agency of Canada, 2012)


(35)

Kapasitas penyimpanan harus sesuai dengan dengan jumlah produk yang disimpan, untuk memudahkan penanganan FIFO (First In First Out) dan EEFO (Early Expire First Out). Pastikan bahwa vaksin tersimpan pada ruang yang terkontrol temperaturnya, cold room, freezer room, refrigerator, dan freezer, yang sesuai dengan persyaratan antara lain mampu menjaga temperatur yang ditetapkan karena sistem yang diatur sedemikian rupa, tervalidasi dan terkalibrasi, dilengkapi dengan auto-defrost circuit, continuous temperature monitoring system yang terkalibrasi, alarm untuk menunjukkan temperatur penyimpanan mengalami penyimpangan, terhubung dengan generator (Public Health Agency of Canada, 2012).

Validasi tempat penyimpanan vaksin dilakukan pada saat peralatan tersebut masih baru, belum dioperasikan, dan setelah digunakan dilakukan validasi kembali secara rutin pada jangka waktu tertentu. Validasi harus terdokumentasi. Cold room

dan freeze room merupakan tempat penyimpanan vaksin dalam jumlah besar (kapasitas mulai 5 M3 sampai dengan 100 M3). Temperatur penyimpanan vaksin pada

cold room antara 2°C sampai 8°C, sedangkan temperatur penyimpanan vaksin pada

freeze room adalah antara – 15°C sampai dengan – 20°C. Untuk menyimpan vaksin dalam jumlah yang tidak terlalu banyak dapat digunakan refrigerator untuk vaksin dengan temperatur penyimpanan antara 2°C sampai 8°C dan freezer untuk vaksin polio. Freezer juga diperlukan untuk pembuatan ice pack (Depkes RI, 2005).

Tersedia thermostatic temperature control system yang dapat menjaga secara kontinu temperatur penyimpanan vaksin pada rentang temperatur yang ditentukan, dengan akurasi sensor sampai ± 0,5°C, sensor juga harus terkalibrasi dan diletakkan


(36)

pada lokasi yang dapat mewakili semua lokasi penyimpanan, juga pada posisi dekat pintu penyimpanan vaksin. Sarana untuk pengangkutan atau pengiriman vaksin dalam jumlah besar dan menempuh jarak yang jauh harus dilengkapi ruang penyimpanan vaksin yang terkontrol temperaturnya, tervalidasi, mampu menjaga temperatur penyimpanan sesuai dengan yang direkomendasikan, dilengkapi dengan alat sensor monitoring temperatur diletakkan pada lokasi yang memungkinkan dapat menunjukkan temperatur ekstrim serta dilengkapi alarm untuk mengetahui penyimpangan temperatur. Pengiriman vaksin jarak dekat, gunakan freeze indicator electric atau chemical, electronic loggers untuk memonitor temperatur selama waktu pengiriman vaksin (Public Health Agency of Canada, 2012).

Peralatan untuk mengemas dan mengirim vaksin harus dipastikan mampu menjaga vaksin tetap berapa pada rentang temperatur yang dipersyaratkan. Cold box

dan vaccine carrier didesain untuk memberikan perlindungan yang cukup terhadap vaksin. Berapa lama cold box atau vaccine carrier dapat mempertahankan temperatur yang sesuai (cold life) tergantung dari beberapa hal antara lain jenis bahan yang digunakan dan ketebalan, jumlah icepack dan temperatur awal icepack yang dimasukkan ke dalam cold box atau vaccine carrier, seberapa sering dan berapa lama

cold box atau vaccine carrier dibuka, dan temperatur lingkungan sekitar (Public Health Agency of Canada, 2012).

2.3.4 Peralatan Monitoring Temperatur

Untuk memantau temperatur penyimpanan vaksin, tersedia temperature monitoring system yang terkalibrasi dengan akurasi sensor sampai ± 0,5°C, sensor


(37)

diletakkan pada lokasi yang dapat mewakili semua lokasi penyimpanan, juga pada posisi dekat pintu penyimpanan vaksin. Dilengkapi temperature record dan terdokumentasi. Untuk refrigerator dilengkapi termometer pemantau temperatur dan dilakukan pencatatan monitoring temperatur minimal dua kali sehari, tujuh hari dalam seminggu (Public Health Agency of Canada, 2012).

Tersedia sistem alarm, apabila temperatur penyimpanan vaksin mengalami penyimpangan maka sistem alarm akan menunjukkan hal tersebut melalui nyala lampu alarm maupun bunyi alarm. Sistem alarm harus memiliki sensor terkalibrasi yang diletakkan sedemikian rupa, sehingga mewakili setiap lokasi penyimpanan, dengan akurasi sampai ± 0,5°C. Lebih disukai lagi apabila dilengkapi dengan

warning system secara otomatis melalui telepon atau sms untuk menginformasikan adanya penyimpangan temperatur kepada petugas terutama di luar jam kerja (Public Health Agency of Canada, 2012).

Beberapa peralatan monitoring temperatur yang digunakan untuk memantau apakah vaksin pernah terpapar temperatur panas atau temperatur beku baik selama penyimpanan di gudang maupun selama pengiriman antara lain:

1. Termograf, adalah alat pengukur temperatur pada cold room, freezer dan

refrigerator untuk memantau temperatur secara terus menerus selama 24 jam dan hasilnya secara otomatis tercatat pada kertas grafik temperatur. Sensor termograf dimasukkan ke dalam cold room, freezer atau refrigerator untuk mengukur temperatur bagian dalam, pembaca temperatur ditempelkan pada dinding luar


(38)

bagian dalam tanpa membuka cold room, freezer atau refrigerator (Public Health Agency of Canada, 2012).

2. TTM (Tiny time temperatur monitor), adalah alat pemantau temperatur elektronik, untuk memantau temperatur secara kontinu temperatur cold room, freezer dan refrigerator. Diprogram melalui software computer, kemampuan pengukuran mulai dari -40°C sampai dengan +85°C. Program data logger dan lama waktu perekaman sesuai dengan kebutuhan. Hasil download dapat ditampilkan dalam bentuk grafik atau data angka (Public Health Agency of Canada, 2012).

3. VCCM (Vaccine cold chain monitor card), adalah alat pemantau paparan temperatur panas, untuk memantau temperatur vaksin selama dalam perjalanan maupun dalam penyimpanan. VCCM mempunyai 4 jendela monitor terdiri dari A, B, C dan D. Setiap jendela mempunyai karakteristik pemantau dengan perubahan temperatur sendiri. VCCM digunakan untuk memperkirakan berapa lama vaksin telah terpapar panas. Bila jendela A, B, C dan D semua tetap putih berarti vaksin yang dipantau dalam keadaan baik, tidak terpapar panas, semua vaksin dapat digunakan. Bila jendela A berubah biru, berarti vaksin telah terpapar temperatur 12°C dalam waktu 3 hari atau 21°C dalam 2 hari. Bila jendela A, B biru berarti vaksin telah terpapar temperatur 12°C dalam waktu 8 hari atau 21°C dalam waktu 6 hari. Bila jendela A, B, C biru berarti vaksin telah terpapar temperatur 12°C dalam waktu 14 hari atau 21°C dalam waktu 11 hari. Bila jendela A, B, C, D biru berarti vaksin telah terpapar temperatur di atas 34°C dan sistem pengelolaan cold chain sudah terputus, vaksin tidak dapat digunakan. Bila


(39)

jendela A,B, C putih tetapi D biru berarti vaksin telah terpapar temperatur di atas 34°C selama 2 jam, sistem pengelolaan cold chain sudah pernah terputus, vaksin tidak dapat digunakan. VCCM tidak berfungsi bila lidah pada ujung jendela belum ditarik atau diaktifkan. VCCM tidak dapat memantau temperatur di bawah nol derajat, hanya untuk memantau paparan temperatur panas (Public Health Agency of Canada, 2012).

4. VVM (Vaccine vial monitor), merupakan alat pemantau paparan temperatur panas. VVM ditempelkan pada setiap vial vaksin, berupa lingkaran dengan segi empat pada bagian dalamnya. Kondisi A, warna segi empat bagian dalam lebih terang dari warna lingkaran di sekelilingnya, vaksin dapat digunakan. Kondisi B, warna segi empat bagian dalam masih lebih terang dari warna lingkaran di sekelilingnya, namun sudah mulai berwarna gelap, berarti vaksin segera digunakan. Kondisi C, warna segi empat bagian dalam sama dengan warna lingkaran di sekelilingnya, vaksin ini jangan digunakan lagi. Kondisi D, warna segi empat bagian dalam lebih gelap dari warna lingkaran di sekelilingnya, vaksin jangan digunakan lagi (Public Health Agency of Canada, 2012).

5. Freeze tag, adalah indikator freeze, untuk memantau apakah vaksin pernah mengalami beku. Jika indikator tersebut terpapar temperatur dibawah 0°C ± 0,3°C selama lebih dari 60 menit ± 3 menit, maka display-LCD akan berubah status dari ”OK” (√) menjadi ”alarm” (X) (Public Health Agency of Canada, 2012).


(40)

2.3.5 Prosedur Pengelolaan Cold Chain

Standar operasional prosedur (SOP) dalam National Vaccine Storage and Handling Guidelines for Immunization Providers (2007), pada dasarnya adalah pedoman yang berisi tentang prosedur operasional cold chain standar mengacu pada proses yang digunakan untuk mempertahankan kondisi vaksin yang optimal selama transportasi, penyimpanan, dan penanganan vaksin, mulai dari produsen dan diakhiri dengan pemberian vaksin kepada klien..

Definisi SOP menurut pedoman CDOB adalah sekumpulan prosedur tertulis yang mempunyai kekuatan untuk memberikan petunjuk dan mengarahkan bermacam-macam kegiatan operasional yang dapat memengaruhi kualitas produk atau aktifitas distribusi seperti, prosedur penerimaan pesanan, prosedur penyimpanan, prosedur pengiriman, prosedur pembersihan dan perawatan sarana dan peralatan, pencatatan kondisi penyimpanan dan pengiriman, dan sebagainya (Badan POM, 2007).

SOP pengelolaan cold chain harus dipatuhi, seperti yang direkomendasikan berikut (WHO, 2013):

1. Penanganan vaksin yang aman 2. Monitoring temperatur

3. Kalibrasi alat monitoring temperatur dan sistem alarm 4. Prosedur validasi dan kualifikasi

5. Pemeliharaan sarana penyimpanan dengan temperatur terkontrol 6. Pemeliharaan fasilitas bangunan / gudang


(41)

8. Prosedur penerimaan produk dan pencatatan

9. Prosedur penyimpanan, pengambilan dan pengemasan produk 10. Prosedur stok kontrol dan pencatatan

11. Pengemasan

12. Prosedur penyaluran / pengiriman dan pencatatan 13. Manajemen penyimpangan temperatur

14. Pengoperasian sarana pengangkut / pengiriman 15. Prosedur respon kondisi darurat

2.4. Pengelolaan Vaksin 2.4.1 Pengertian Vaksin

Vaksin adalah suatu produk biologik yang terbuat dari kuman, komponen kuman atau racun kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan dan berguna untuk merangsang timbulnya kekebalan tubuh seseorang. Bila vaksin diberikan kepada seseorang, akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu (Depkes RI, 2005).

Vaksin terbuat dari mikroorganisme atau toksin yang sama dengan mikroorganisme atau toksin yang menyebabkan penyakit tersebut, namun telah dimodifikasi sehingga tidak membahayakan manusia. Tiga bahan utama yang digunakan dalam produksi vaksin, yaitu :

1. Mikroorganisme hidup, misalnya campak, virus polio, atau tuberculosis, yang telah dilemahkan


(42)

2. Mikroorganisme yang telah dimatikan, misalnya mikroorganisme pertusis yang digunakan dalam produksi DPT

3. Toxoids, misalnya toksin yang telah diinaktifkan seperti toxoid tetanus dan toxoid diphtheria Ada pula beberapa vaksin yang dibuat menggunakan teknologi rekayasa genetika, misalnya recombinant DNA Hepatitis B vaccine (Centers for Disease Control and Prevention, 2012).

2.4.2 Penyediaan Logistik Vaksin 1. Perencanaan

Perencanaan harus disusun secara berjenjang mulai dari puskesmas, kabupaten/kota, provinsi dan pusat (bottom up). Perencanaan merupakan kegiatan yang sangat penting sehingga harus dilakukan secara benar oleh petugas yang profesional. Kekurangan dalam perencanaan akan mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan program, tidak tercapainya target kegiatan, serta hilangnya kepercayaan masyarakat. Sebaliknya kelebihan dalam perencanaan akan mengakibatkan pemborosan keuangan negara.

Perencanaan imunisasi wajib, meliputi: 1. Penentuan Sasaran

a. Sasaran Imunisasi Rutin 1) Bayi pada imunisasi dasar

2) Anak sekolah dasar pada imunisasi lanjutan


(43)

b. Sasaran Imunisasi Tambahan

Sasaran imunisasi tambahan adalah kelompok resiko (golongan umur) yang paling beresiko terkenanya kasus. Jumlah sasaran didapatkan berdasarkan pendataan langsung.

c. Sasaran Imunisasi Khusus

Sasaran imunisasi khusus ditetapkan dengan keputusan tersendiri (misalnya jemaah haji, masyarakat yang akan pergi ke negara tertentu) (Kemenkes RI, 2013). 2. Perencanaan Kebutuhan Logistik

Logistik imunisasi terdiri dari vaksin, Auto Disable Syringe dan safety box. Ketiga kebutuhan tersebut harus direncanakan secara bersamaan dalam jumlah yang berimbang (system bundling).

a. Perencanaan Vaksin

Dalam menghitung jumlah kebutuhan vaksin, harus diperhatikan beberapa hal, yaitu jumlah sasaran, jumlah pemberian, target cakupan dan indeks pemakaian vaksin dengan memperhitungkan sisa vaksin (stok) sebelumnya.

b. Perencanaan Auto Disable Syringe

Alat suntik yang dipergunakan dalam pemberian imunisasi adalah alat suntik yang akan mengalami kerusakan setelah sekali pemakaian (Auto Disable Syringe/ADS). Ukuran ADS dan penggunaannya sebagai berikut

a). 0,05 ml, pemberian imunisasi BCG

b). 0,5 ml, pemberian imunisasi DPT-HB-Hib, Campak, DT, Td dan TT. c).5 ml, untuk melarutkan vaksin BCG dan Campak.


(44)

c. Perencanaan Safety Box

Safety box digunakan untuk menampung alat suntik bekas pelayanan imunisasi sebelum dimusnahkan. Safety box ukuran 2,5 liter mampu menampung 50 alat suntik bekas, sedangkan ukuran 5 liter menampung 100 alat suntik bekas. Limbah imunisasi selain alat suntik bekas tidak boleh dimasukkan ke dalam safety box.

d. Perencanaan Kebutuhan Peralatan Cold Chain

Vaksin merupakan bahan biologis yang mudah rusak sehingga harus disimpan pada suhu tertentu (pada suhu 2-8 ºC untuk vaksin sensitif beku atau pada suhu -15 s/d -25 ºC untuk vaksin yang sensitif panas).

Sesuai dengan tingkat administrasi, maka sarana cold chain yang dibutuhkan adalah:

Provinsi : Coldroom, freeze room, lemari es dan freezer

Kabupaten/kota : Coldroom, lemari es dan freezer

Puskesmas : Lemari es

Penentuan jumlah kapasitas coldchain harus dihitung berdasarkan volume puncak kebutuhan vaksin rutin (maksimal stok) ditambah dengan kegiatan tambahan (bila ada). Maksimal stok vaksin provinsi adalah 2 bulan kebutuhan ditambah 1 bulan cadangan, Kabupaten/kota 1 bulan kebutuhan ditambah 1 bulan cadangan, Puskesmas 1 bulan kebutuhan ditambah dengan 1 minggu cadangan. Selain kebutuhan lemari es dan freezer, harus direncanakan juga kebutuhan vaksin carrier untuk membawa vaksin ke lapangan serta cool pack sebagai penahan suhu dingin dalam vaksin carrier


(45)

selama transportasi vaksin. Cara perhitungan kebutuhan cold chain adalah dengan mengalikan jumlah stok maksimal vaksin (semua jenis vaksin) dengan volume setiap jenis vaksin, dan membandingkannya dengan volume lemari es/freezer.

Cara menentukan volume lemari es/freezer adalah dengan mengukur langsung pada bagian dalam (ruangan) penyimpanan vaksin. Volume bersih untuk penyimpanan vaksin adalah 70% dari total volume. Kegiatan tambahan seperti BIAS,

Crash Program Campak, atau kampanye lainnya juga harus diperhitungkan dalam perhitungan kebutuhan cold chain (Kemenkes RI, 2013).

3. Perencanaan Pendanaan

Sumber pembiayaan untuk Imunisasi dapat berasal dari pemerintah dan donor. Pembiayaan yang bersumber dari pemerintah berbeda-beda pada tiap tingkat administrasi yaitu tingkat pusat bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), tingkat provinsi bersumber dari APBN dekonsentrasi dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) provinsi, tingkat kabupaten/kota bersumber dari APBN (tugas perbantuan) dan APBD kabupaten/kota berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) (Kemenkes RI, 2013).

2.4.3 Pengadaan Logistik, Distribusi dan Penyimpanan (1) Pengadaan Logistik

Pengadaan vaksin untuk imunisasi wajib dilakukan oleh Pemerintah. Untuk mengatasi keadaan tertentu (Kejadian Luar Biasa, bencana) pengadaan vaksin dapat dilakukan bekerja sama dengan mitra. Pemerintah daerah kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap pengadaan Auto Disable Syringe, safety box, peralatan


(46)

cold chain, emergency kit dan dokumen pencatatan status imunisasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan keuangan daerah.

(2) Pendistribusian

Pemerintah bertanggung jawab dalam pendistribusian logistik sampai ketingkat propinsi. Pendistribusian selanjutnya merupakan tanggung jawab pemerintah daerah secara berjenjang dengan mekanisme diantar oleh level yang lebih atas atau diambil oleh level yang lebih bawah, tergantung kebijakan masing-masing daerah. Seluruh proses distribusi vaksin dari pusat sampai ketingkat pelayanan, harus mempertahankan kualitas vaksin tetap tinggi agar mampu memberikan kekebalan yang optimal kepada sasaran.

a. Dari Kabupaten/Kota ke Puskesmas

1) Dilakukan dengan cara diantar oleh kabupaten/kota atau diambil oleh puskesmas. 2) Dilakukan atas dasar permintaan resmi dari puskesmas dengan

mempertimbangkan stok maksimum dan daya tampung penyimpanan vaksin. 3) Menggunakan cold box atau vaksin carrier yang disertai dengan cool pack.

4) Disertai dengan dokumen pengiriman berupa Surat Bukti Barang Keluar (SBBK) dan VAR (Vaccine Arrival Report)

5) Pada setiap cold box atau vaksin carrier disertai dengan indikator pembekuan (Kemenkes RI, 2013).

b. Distribusi dari Puskesmas ke Tempat Pelayanan

Vaksin dibawa dengan menggunakan vaksin carrier yang diisi cool pack


(47)

(3) Penyimpanan

Untuk menjaga kualitas vaksin tetap tinggi sejak diterima sampai didistribusikan ketingkat berikutnya (atau digunakan), vaksin harus selalu disimpan pada suhu yang telah ditetapkan, yaitu:

a. Kabupaten/kota

1) Vaksin polio disimpan pada suhu -15oC sampai dengan -25oC pada freezer.

2) Vaksin lainnya disimpan pada suhu 2oC sampai dnegan 8oC pada cold room atau lemari es.

b. Puskesmas

1) Semua vaksin disimpan pada suhu +2oC sampai dengan +8oC, pada lemari es. 2) Khusus vaksin Hepatitis B, disimpan pada suhu ruangan, terlindung dari sinar

matahari langsung.

Tabel 2.1. Penyimpanan Vaksin

Vaksin

Provinsi Kabupaten/Kota PKM/Pustu BDD/UPK

Masa Simpan Vaksin 2 bulan

+1bulan 1 bulan +1bulan 1 bulan +1 minggu 1 bulan + 1 minggu Polio -15 sampai dengan -250C

DPT-HB DT

TT +2 sampai dengan +80C

BCG Campak TD

Hepatitis B Suhu ruangan

Sumber: Kemenkes RI, 2013

Penyimpanan pelarut vaksin pada suhu +2oC sampai dengan +8oC atau pada suhu ruang terhindar dari sinar matahari langsung. Sehari sebelum digunakan, pelarut disimpan pada suhu +2oC sampai dengan +8oC. Beberapa ketentuan yang harus selalu


(48)

diperhatikan dalam pemakaian vaksin secara berurutan adalah paparan vaksin terhadap panas, masa kadaluwarsa vaksin, waktu pendistribusian/penerimaan serta ketentuan pemakaian sisa vaksin.

a. Keterpaparan vaksin terhadap panas

Vaksin yang telah mendapatkan paparan panas lebih banyak (yang dinyatakan dengan perubahan kondisi VVM A ke kondisi B) harus digunakan terlebih dahulu meskipun masa kadaluwarsanya masih lebih panjang. Vaksin dengan kondisi VVM C dan D tidak boleh digunakan.

Gambar 2.1. Kondisi VVM b. Masa kedaluarsa vaksin

Apabila kondisi VVM vaksin sama, maka digunakan vaksin yang lebih pendek masa kadaluwarsanya (Early Expire First Out/EEFO)

c. Waktu penerimaan vaksin (First In First Out/FIFO)

A

Segi empat lebih terang dari lingkaran

Gunakan vaksin bila belum kedaluarsa

B

Segi empat berubah gelap tapi lebih terang dari lingkaran

Gunakan vaksin lebih dahulu bila belum kedaluarsa

C

Batas untuk tidak digunakan lagi :

Segi empat berwarna sama dengan lingkaran JANGAN GUNAKAN VAKSIN

D

Melewati batas buang:

Segi empat lebih gelap dari lingkaran JANGAN GUNAKAN VAKSIN


(49)

Vaksin yang terlebih dahulu diterima sebaiknya dikeluarkan terlebih dahulu. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa vaksin yang diterima lebih awal mempunyai jangka waktu pemakaian yang lebih pendek.

d. Pemakaian Vaksin Sisa

Vaksin sisa pada pelayanan statis (Puskesmas, Rumah Sakit atau praktek swasta) bisa digunakan pada pelayanan hari berikutnya. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi adalah:

1) Disimpan pada suhu +20C sampai dengan 80C 2) VVM dalam kondisi A atau B

3) Belum kadaluwarsa

4) Tidak terendam air selama penyimpanan 5) Belum melampaui masa pemakaian.

Tabel 2.2. Masa Pemakaian Vaksin Sisa Jenis Vaksin Masa Pemakaian

(Minggu) Keterangan

Polio 2 Cantumkan tanggal

pertama kali vaksin digunakan

TT 4

DT 4

Td 4

DP-HB-Hib 4

BCG 3 Cantumkan waktu vaksin

dilarutkan

Campak 6

Vaksin sisa pelayanan dinamis (posyandu, sekolah) tidak boleh digunakan kembali pada pelayanan berikutnya, dan harus dibuang.


(50)

e. Monitoring vaksin dan logistik

Setiap akhir bulan atasan langsung pengelola vaksin melakukan monitoring administrasi dan fisik vaksin serta logistik lainnya. Hasil monitoring dicatat pada kartu stok dan dilaporkan secara berjenjang bersamaan dengan laporan cakupan imunisasi (Kemenkes RI, 2013).

(4) Sarana Penyimpanan

a. Kamar dingin dan kamar beku

1) Kamar dingin (cold room) adalah sebuah tempat penyimpanan vaksin yang mempunyai kapasitas (volume) mulai 5.000 liter (5 M3) sampai dengan 100.000 liter (100 M3). Suhu bagian dalamnya mempunyai kisaran antara +2oC sampai dengan +8oC. Kamar dingin ini berfungsi untuk menyimpan vaksin BCG, campak, DPT, TT, DT, hepatitis B dan DPT-HB.

2) Kamar beku (freeze room) adalah sebuah tempat penyimpanan vaksin yang mempunyai kapasitas (volume) mulai 5.000 liter (5 M3) sampai dengan 100.000 liter (100 M3), suhu bagian dalamnya mempunyai kisaran antara -15oC sampai dengan -25oC. Kamar beku utamanya berfungsi untuk menyimpan vaksin polio.

Kamar dingin dan kamar beku umumnya hanya terdapat di tingkat provinsi mengingat provinsi harus menampung vaksin dengan jumlah yang besar dan dalam jangka waktu yang cukup lama. Secara teknis sistem pendingin kamar dingin dan kamar beku dibagi dalam 3 (tiga) sistem, yaitu:

1) Sistem pendingin dengan menggunakan “Hermatic Compressor”;


(51)

3) Sistem pendingin dengan menggunakan “Open type Compressor”. Aturan pengoperasian kamar dingin dan kamar beku:

1) Kamar dingin/kamar beku harus dioperasikan secara terus menerus selam 24 jam. 2) Listrik dan suhu bagian dalam harus selalu terjaga.

3) Kamar dingin/kamar beku hanya untuk menyimpan vaksin.

Setiap kamar dingin/kamar beku mempunyai atau dilengkapi dengan:

1) 2 (dua) buah cooling unit sebagai pendinginnya dan diatur agar cooling unit ini bekerja bergantian.

2) Satu unit generator (genset) automatis atau manual yang selalu siap untuk beroperasi bila listrik padam.

3) Alarm control yang akan berbunyi pada suhu di bawah +2oC atau pada suhu di atas +8oC atau pada saat power listrik padam.

4) Satu buah termograf yang dapat mencatat suhu secara automatis selama 24 jam. 5) Satu thermometer yang terpasang pada dinding luar kamar dingin atau kamar beku. 6) Freeeze watch atau freeze-tag yang harus diletakkan pada bagian dalam kamar

dingin untuk mengetahui bila terjadi penurunan suhu dibawah 0oC. Pemantauan kamar dingin dan kamar beku:

1) Periksa suhu pada termograf dan thermometer setiap hari pagi dan sore. Bila terjadi penyimpangan suhu segera laporkan pada atasan;

2) Jangan masuk ke dalam kamar dingin atau kamar beku bila tidak perlu;

3) Sebelum memasuki kamar dingin atau kamar beku harus memberitahu petugas lain;


(52)

4) Gunakan jaket pelindung yang tersedia saat memasuki kamar dingin atau kamar beku;

5) Pastikan kamar dingin dan kamar beku hanya berisi vaksin;

6) Membuka pintu kamar dingin atau kamar beku jangan terlalu lama

7) Jangan membuat cool pack bersama vaksin didalam kamar dingin, pembuatan cool pack harus menggunakan lemari es tersendiri;

8) Jangan membuat cold pack bersama vaksin di dalam kamar beku, pembuatan cold pack harus menggunakan freezer tersendiri (Kemenkes RI, 2013).

b. Lemari Es dan Freezer

Lemari es adalah tempat menyimpan vaksin BCG, Td, TT, DT, hepatitis B, Campak dan DPT-HB-Hib, pada suhu yang ditentukan +20C sampai dengan +80C dapat juga difungsikan untuk membuat kotak dingin cair (cool pack). Freezer adalah untuk menyimpan vaksin polio pada suhu yang ditentukan antara -15oC sampai dengan -25oC atau membuat kotak es beku (cold pack).

Sistem pendinginan: 1) Sistem Kompresi

Pada sistem pendinginan kompresi, lemari es/freezer menggunakan kompresor sebagai jantung utama untuk mengalirkan refrigerant (zat pendingin) ke ruang pendingin melalui evaporator, kompresor ini digerakkan oleh listrik AC 110 volt/220 volt/380 volt atau DC 12 volt/24 volt. Bahan pendingin yang digunakan pada sistem ini adalah refrigerant type R-12 atau R134a.


(53)

2) Sistem absorpsi

Pada sistem pendingin absorpsi, lemari es/freezer menggunakan pemanas litrik (heater dengan tegangan 110 volt AC/220 volt AC/12 Volt DC) atau menggunakan nyala api minyak tanah atau menggunakan nyala api dari gas LPG (Propane/Butane). Panas ini diperlukan untuk menguapkan bahan pendingin berupa amoniak (NH3) agar dapat berfungsi sebagai pendingin di evaporator. Bagian yang sangat penting dari lemari es/freezer adalah thermostat. Thermostat berfungsi untuk mengatur suhu bagian dalam pada lemari es atau freezer.

c. Alat Pembawa Vaksin

1) Cold box adalah suatu alat untuk menyimpan sementara dan membawa vaksin. Pada umumnya memiliki volume kotor 40 liter dan 70 liter. Kotak dingin (cold box) ada 2 macam, yaitu terbuat dari plastik atau kardus dengan insulasi poliuretan.

2) Vaccine carrier adalah alat untuk mengirim/membawa vaksin dari puskesmas ke posyandu atau tempat pelayanan imunisasi lainnya yang dapat mempertahankan suhu +2oC sampai dengan +8oC.

d. Alat Untuk Mempertahankan Suhu

1) Kotak dingin beku (cold pack) adalah wadah plastik berbentuk segi empat yang diisi dengan air yang dibekukan dalam freezer dengan suhu -15oC sampai dengan -25oC selama minimal 24 jam.


(54)

2) Kotak dingin cair (cool pack) adalah wadah plastik berbentuk segi empat yang diisi dengan air kemudian didinginkan dalam lemari es dengan suhu +2oC sampai dengan +8oC selama minimal 24 jam (Kemenkes RI, 2013)

e. Pemeliharaan Sarana Cold Chain

1) Pemeliharaan harian

a) Melakukan pengecekan suhu dengan menggunakan thermometer atau alat pemantau suhu digital setiap pagi dan sore, termasuk hari libur.

b) Memeriksa apakah terjadi bunga es dan memeriksa ketebalan bunga es. Apabila bunga es lebih dari 0,5 cm lakukan defrosting (pencairan bunga es).

c) Melakukan pencatatan langsung setelah pengecekan suhu pada thermometer atau pemantau suhu dikartu pencatatan suhu setiap pagi dan sore.

2) Pemeliharaan Mingguan

a) Memeriksa steker jangan sampai kendor, bila kendor gunakan obeng untuk mengencangkan baut.

b) Melakukan pengamatan terhadap tanda-tanda steker hangus dengan melihat perubahan warna pada steker, jika itu terjadi gantilah steker dengan yang baru. c) Agar tidak terjadi konsleting saat membersihkan badan lemari es, lepaskan steker

dari stop kontak.

d) Lap basah, kuas yang lembut/spon busa dan sabun dipergunakan untuk membersihkan badan lemari es.


(55)

f) Selama membersihkan badan lemari es, jangan membuka pintu lemari es agar suhu tetap terjaga +2oC sampai dengan 80C.

g) Setelah selesai membersihkan badan lemari es colok kembali steker.

h) Mencatat kegiatan pemeliharaan mingguan pada kartu pemeliharaan lemari es. 3) Pemeliharaan Bulanan

a) Sehari sebelum melakukan pemeliharaan bulanan, kondisikan cool pack (kotak dingin cair), vaksin carrier atau cold box dan pindahkan vaksin ke dalamnya. b) Agar tidak terjadi korsleting saat melakukan pencairan bunga es (defrosting),

lepaskan steker dari stop kontak.

c) Membersihkan kondensor pada lemari es model terbuka menggunakan sikat lembut atau tekanan udara. Pada model tertutup hal ini tidak perlu dilakukan. d) Memeriksa kerapatan pintu dengan menggunakan selembar kertas, bila kertas

sulit ditarik berarti karet pintu masih baik, sebaliknya bila kertas mudah ditarik berarti karet sudah sudah mengeras atau kaku. Olesi karet pintu dengan bedak atau minyak goreng agar kembali lentur.

e) Memeriksa steker jangan sampai kendor, bila kendor gunakan obeng untuk mengencangkan baut.

f) Selama membersihkan badan lemari es, jangan membuka pintu lemari es agar suhu tetap terjaga +2oC sampai dengan 80C.

g) Setelah selesai membersihkan badan lemari es colok kembali steker.


(56)

Pencairan bunga es (defrosting)

a) Pencairan bunga es dilakukan minimal 1 bulan sekali atau ketika bunga es mencapai ketebalan 0,5 cm.

b) Sehari sebelum pencairan bunga es, kondisikan cool pack (kotak dingin cair), vaksin carrier atau cold box.

c) Memindahkan vaksin ke dalam vaksin carrier atau cold box yang telah berisi cool pack (kotak dingin cair).

d) Mencabut steker saat ingin melakukan pencairan bunga es.

e) Melakukan pencairan bunga es dapat dilakukan dengan cara membiarkan hingga mencair atau menyiram dengan air hangat.

f) Pergunakan lap kering untuk mengeringkan bagian dalam lemari es termasuk evaporator saat bunga es mencair.

g) Memasang kembali steker dan jangan merubah thermostat hingga suhu lemari es kembali stabil (+2oC sampai dengan 80C).

h) Menyusun kembali vaksin dari dalam vaksin carier atau cold box kedalam lemari es sesuai dengan ketentuan setelah suhu lemari telah mencapai +2oC sampai dengan 80C.

i) Mencatat kegiatan pemeliharaan bulanan pada kartu pemeliharaan lemari es (Kemenkes RI, 2013).

(5) Tenaga Pengelola

Untuk terselenggaranya pelayanan imunisasi dan surveilans KIPI, maka setiap jenjang administrasi dan unit pelayanan dari tingkat pusat sampai tingkat Puskesmas, harus memiliki jumlah dan jenis ketenagaan yang sesuai dengan standar, yaitu


(57)

memenuhi persyaratan kewenangan profesi dan mendapatkan pelatihan kompetensi. Jenis dan jumlah ketenagaan minimal yang harus tersedia di Tingkat Puskesmas adalah sebagai berikut

a. Puskesmas Induk; 1 orang koordinator imunisasi dan surveilans KIPI, 1 atau lebih pelaksana imunisasi (vaksinator), 1 orang petugas pengelola vaksin

b.Puskesmas Pembantu; 1 orang pelaksana imunisasi, Polindes/Poskesdes di desa siaga 1 orang pelaksana imunisasi (Kemenkes RI, 2013)

2.5 Kinerja

2.5.1 Pengertian Kinerja

Kinerja (work performance/job performance) merupakan hasil yang dicapai seseorang sesuai ukuran yang berlaku untuk bidang pekerjaannya. Menurut Robbins (2006), kinerja merupakan ukuran hasil kerja yang mana hal ini menggambarkan sejauh mana aktivitas seseorang dalam melaksanakan tugas dan berusaha dalam mencapai tujuan yang ditetapkan.

Menurut McCormick dan Triffin (1979), kinerja individu berhubungan dengan individual variable dan situational variable. Perbedaan individu akan menghasilkan kinerja yang berbeda pula. Individual variable adalah variabel yang berasal dari dalam diri individu yang bersangkutan, misalnya kemampuan, kepentingan, dan kebutuhan-kebutuhan tertentu. Sedangkan situational variable

adalah variabel yang bersumber dari situasi pekerjaan yang lebih luas (lingkungan organisasi), misalnya pelaksanaan supervisi, karakteristik pekerjaan, hubungan dengan sekerja dan pemberian imbalan.


(58)

Sementara kinerja menurut Mangkunegara (2002), adalah hasil kerja secara kuantitas dan kualitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Baik tidaknya karyawan dalam menjalankan tugas yang diberikan perusahaan dapat diketahui dengan melakukan penilaian terhadap kinerja karyawannya. Penilaian kinerja merupakan alat yang sangat berpengaruh untuk mengevaluasi kerja karyawan bahkan dapat memotivasi dan mengembangkan karyawan.

2.5.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja

Mangkunegara (2002), mengemukakan bahwa faktor yang memengaruhi kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation).

a. Faktor Kemampuan (ability).

Karyawan yang memiliki pengetahuan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaannya sehari hari, maka ia lebih mudah untuk mencapai kinerja yang diharapkan.

b. Faktor Motivasi (motivation).

Motivasi terbentuk dari sikap karyawan dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi yang terarah untuk mencapai tujuan kerja atau organisasi.

Pimpinan organisasi sangat menyadari adanya perbedaan kinerja antara satu karyawan dengan karyawan lainnya yang berada dibawah pengawasannya. Secara garis besar, perbedaan kinerja ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor individu dan situasi kerja. Menurut Gibson et al. (2003), ada tiga perangkat variabel yang memengaruhi perilaku seseorang dalam bekerja , yaitu:


(59)

1 Variabel individual, terdiri dari: (a) kemampuan dan keterampilan, (b) latar belakang (c) demografis.

2. Variabel Organisasional, terdiri dari: (a) sumber daya, (b) kepemimpinan, (c) imbalan, (d) struktur, dan (e) desain pekerjaan.

3. Variabel Psikologis, terdiri dari: (a) persepsi, (b) sikap, (c) kepribadian, (d) belajar, (e) motivasi

Robbins (2006), menambahkan dimensi baru yang menentukan kinerja seseorang, yaitu kesempatan. Menurutnya, meskipun seseorang bersedia (motivasi) dan mampu (kemampuan). Mungkin ada rintangan yang menjadi kendala kinerja seseorang, yaitu kesempatan yang ada, mungkin berupa lingkungan kerja tidak mendukung, peralatan, pasokan bahan, rekan kerja yang tidak mendukung prosedur yang tidak jelas dan sebagainya.

2.6 Perilaku

2.6.1 Definisi Perilaku

Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku juga dapat dikatakan sebagai totalitas penghayatan dan aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama antara beberapa faktor. Sebagian besar perilaku manusia adalah operant response yang berarti respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus tertentu yang disebut


(60)

itu untuk membentuk perilaku perlu adanya suatu kondisi tertentu yang dapat memperkuat pembentukan perilaku.

Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas, antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2012).

Menurut Skiner dalam Notoatmodjo (2012), bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan. Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini maka perilaku dapat dibedakan menjadi 2 (dua) :

1. Perilaku tertutup (covert behavior)

Respon atau reaksi terhadap stimulus ini terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

2. Perilaku terbuka (overt behavior)

Respons terhadap stimulus ini sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain (Notoatmodjo, 2012).


(61)

2.6.2 Aspek-Aspek Perilaku

Aspek-aspek perilaku terdiri dari tiga bagian, sebagai berikut:

a. Pengetahuan, adalah aspek perilaku yang merupakan hasil tahu, dimana ini terjadi bila seseorang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu.

b. Sikap, merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Sikap belum merupakan tindakan atau aktivitas, tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan seperti menerima, merespon, menghargai dan bertanggungjawab.

c. Tindakan, adalah sesuatu yang dilakukan. Suatu sikap belum terwujud dalam tindakan. Untuk terwujudnya sikap agar menjadi perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung dari pihak lain.

Perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti keinginan, minat, kehendak, pengetahuan, emosi, berpikir, sifat, motivasi, reaksi dan sebagainya, namun demikian sulit dibedakan refleksi dan gejala kejiwaan yang mana seseorang itu berperilaku tertentu. Apabila kita telusuri lebih lanjut, gejala kejiwaan yang tercermin dalam perilaku manusia itu adalah pengalaman, keyakinan, sarana fisik, sosio masyarakat dan sebagainya (Notoatmodjo, 2012).

2.6.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perilaku

Notoatmodjo (2012), menyatakan bahwa faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut juga determinan perilaku, yang dapat dibedakan menjadi dua yakni :


(1)

Fasilitas * Kepatuhan

Crosstab

22 9 31

20,1 10,9 31,0

71,0% 29,0% 100,0%

43,1% 17,6% 60,8%

11 9 20

12,9 7,1 20,0

55,0% 45,0% 100,0%

21,6% 17,6% 39,2%

33 18 51

33,0 18,0 51,0

64,7% 35,3% 100,0%

64,7% 35,3% 100,0%

Count

Expected Count % within Fasilitas % of Total Count

Expected Count % within Fasilitas % of Total Count

Expected Count % within Fasilitas % of Total Tidak baik

Baik Fasilitas

Total

Tidak patuh Patuh Kepatuhan

Total

Chi-Square Tests

1,357b 1 ,244

,748 1 ,387

1,346 1 ,246

,368 ,193

1,331 1 ,249

51 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7,06.


(2)

Prosedur * Kepatuhan

Crosstab

28 5 33

21,4 11,6 33,0

84,8% 15,2% 100,0%

54,9% 9,8% 64,7%

5 13 18

11,6 6,4 18,0

27,8% 72,2% 100,0%

9,8% 25,5% 35,3%

33 18 51

33,0 18,0 51,0

64,7% 35,3% 100,0%

64,7% 35,3% 100,0%

Count

Expected Count % within Prosedur % of Total Count

Expected Count % within Prosedur % of Total Count

Expected Count % within Prosedur % of Total Tidak baik

Baik Prosedur

Total

Tidak patuh Patuh Kepatuhan

Total

Chi-Square Tests

16,611b 1 ,000

14,206 1 ,000

16,881 1 ,000

,000 ,000

16,285 1 ,000

51 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6,35.


(3)

Supervisi * Kepatuhan

Crosstab

25 10 35

22,6 12,4 35,0

71,4% 28,6% 100,0%

49,0% 19,6% 68,6%

8 8 16

10,4 5,6 16,0

50,0% 50,0% 100,0%

15,7% 15,7% 31,4%

33 18 51

33,0 18,0 51,0

64,7% 35,3% 100,0%

64,7% 35,3% 100,0%

Count

Expected Count % within Supervisi % of Total Count

Expected Count % within Supervisi % of Total Count

Expected Count % within Supervisi % of Total Tidak baik

Baik Supervisi

Total

Tidak patuh Patuh Kepatuhan

Total

Chi-Square Tests

2,208b 1 ,137

1,369 1 ,242

2,164 1 ,141

,207 ,122

2,165 1 ,141

51 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,65.


(4)

Logistic Regression

Case Processing Summary

51 100,0

0 ,0

51 100,0

0 ,0

51 100,0

Unweighted Casesa

Included in Analysis Missing Cases Total

Selected Cases

Unselected Cases Total

N Percent

If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

a.

Dependent Variable Encoding

0 1 Original Value

Tidak patuh Patuh

Internal Value

Block 0: Beginning Block

Iteration Historya,b,c

66,227 -,588

66,223 -,606

66,223 -,606

Iteration 1 2 3 Step 0

-2 Log

likelihood Constant Coefficients

Constant is included in the model. a.

Initial -2 Log Likelihood: 66,223 b.

Estimation terminated at iteration number 3 because parameter estimates changed by less than ,001. c.

Classification Tablea,b

33 0 100,0

18 0 ,0

64,7 Observed

Tidak patuh Patuh Kepatuhan

Overall Percentage Step 0

Tidak patuh Patuh

Kepatuhan Percentage

Correct Predicted

Constant is included in the model. a.

The cut value is ,500 b.


(5)

Variables in the Equation

-,606 ,293 4,279 1 ,039 ,545

Constant Step 0

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Variables not in the Equation

8,119 1 ,004

5,227 1 ,022

1,357 1 ,244

16,611 1 ,000

2,208 1 ,137

25,524 5 ,000

Pengetahuan Pelatihan Fasilitas Prosedur Supervisi Variables

Overall Statistics Step

0

Score df Sig.

Block 1: Method = Enter

Iteration Historya,b,c,d

39,231 -2,671 1,175 ,955 1,008 1,470 1,030 34,443 -4,373 1,997 1,709 1,803 1,901 1,746 33,517 -5,509 2,543 2,199 2,334 2,204 2,183 33,459 -5,881 2,727 2,353 2,508 2,305 2,319 33,459 -5,911 2,742 2,365 2,521 2,313 2,330 33,459 -5,911 2,742 2,365 2,521 2,313 2,330 Iteration

1 2 3 4 5 6 Step 1

-2 Log

likelihood Constant Pengetahuan Pelatihan Fasilitas Prosedur Supervisi Coefficients

Method: Enter a.

Constant is included in the model. b.

Initial -2 Log Likelihood: 66,223 c.

Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than ,001. d.

Omnibus Tests of Model Coefficients

32,764 5 ,000

32,764 5 ,000

32,764 5 ,000

Step Block Model Step 1

Chi-square df Sig.

Model Summary

33,459a ,474 ,652

Step 1

-2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than ,001. a.


(6)

Hosmer and Lemeshow Test

10,009 8 ,264

Step 1

Chi-square df Sig.

Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test

6 5,984 0 ,016 6

4 3,892 0 ,108 4

5 4,860 0 ,140 5

4 4,837 1 ,163 5

4 4,026 1 ,974 5

3 3,621 2 1,379 5

5 3,351 0 1,649 5

2 1,115 3 3,885 5

0 ,911 5 4,089 5

0 ,404 6 5,596 6

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Step 1

Observed Expected Kepatuhan = Tidak

patuh

Observed Expected Kepatuhan = Patuh

Total

Classification Tablea

31 2 93,9

4 14 77,8

88,2 Observed

Tidak patuh Patuh Kepatuhan

Overall Percentage Step 1

Tidak patuh Patuh

Kepatuhan Percentage

Correct Predicted

The cut value is ,500 a.

Variables in the Equation

2,742 1,113 6,066 1 ,014 15,513 1,751 137,469

2,365 1,093 4,680 1 ,031 10,649 1,249 90,791

2,521 1,123 5,043 1 ,025 12,446 1,378 112,387

2,313 ,929 6,197 1 ,013 10,101 1,635 62,395

2,330 1,084 4,619 1 ,032 10,278 1,228 86,046

-5,911 1,736 11,589 1 ,001 ,003

Pengetahuan Pelatihan Fasilitas Prosedur Supervisi Constant Step

1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

95,0% C.I.for EXP(B)

Variable(s) entered on step 1: Pengetahuan, Pelatihan, Fasilitas, Prosedur, Supervisi. a.