Pengaruh Faktor Internal Dan Eksternal Terhadap Kinerja Petugas Pengelola Obat Di Puskesmas Kota Subulussalam Tahun 2011

73

I.1. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan
nasional. Dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 dinyatakan bahwa
pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang, agar terwujud kesehatan yang setinggitingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif
secara sosial dan ekonomis (Depkes RI, 2009).
Pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya untuk peningkatan
kualitas sumber daya manusia, yang pada gilirannya mendukung percepatan
pembangunan nasional termasuk didalamnya pembangunan dibidang obat yang
antara lain bertujuan untuk menjamin tersedianya obat yang bermutu dengan jenis
dan jumlah yang tersebar secara merata dan teratur sehingga mudah diperoleh
masyarakat pada saat dibutuhkan (Depkes RI, 2006).
Kebijakan Obat Nasional (KONAS) bertujuan untuk menjamin ketersediaan
obat baik dari segi jumlah dan jenis yang mencukupi, pendistribusian dan penyerahan
obat-obatan harus sesuai dengan kebutuhan, bermutu, tersebar secara merata dan
teratur, sehingga mudah diperoleh pada waktu yang tepat. Untuk mencapai tujuan
tersebut ditetapkan sebagai kebijakan bagi semua upaya dan kegiatan dibidang obat
antara lain pencapaian konsep Daftar Obat Essensial Nasional (DOEN) dan obat
generik. Konsep DOEN dan obat generik bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan

1

Universitas Sumatera Utara

74

ketepatan serta kerasionalan pengguna obat sehingga mutu pelayanan kepada
masyarakat dapat diperluas dan ditingkatkan (Depkes RI, 2006).
Obat berbeda dengan komoditas perdagangan lainnya, karena selain
merupakan komoditas perdagangan, obat juga memiliki fungsi sosial yang merupakan
salah satu komponen yang tak tergantikan dalam pelayanan kesehatan. Dalam upaya
pelayanan kesehatan, ketersediaan obat dalam jenis yang lengkap, jumlah yang
cukup, terjamin khasiatnya, aman, efektif, dan bermutu, merupakan sasaran yang
harus dicapai. Hal ini berada dalam lingkup pelayanan kefarmasian sebagai salah satu
pilar yang menopang pelayanan kesehatan paripurna.
Obat sebagai salah satu unsur yang penting dalam upaya kesehatan, mulai dari
upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, diagnosis, pengobatan dan pemulihan
harus diusahakan agar selalu tersedia pada saat dibutuhkan. Obat juga dapat
merugikan kesehatan bila tidak memenuhi persyaratan atau bila digunakan secara
tidak tepat atau disalahgunakan (Depkes RI, 2006).

Penerapan otonomi daerah pada tahun 2000 berdasarkan Undang-Undang No.
22 Tahun 1999, yang diperbaharui dengan Undang-Undang No.32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, maka terjadi perubahan tanggung jawab penyediaan
dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan yang sebelumnya merupakan
tanggung jawab pemerintah pusat menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Mulai
dari aspek perencanaan, pemilihan obat, pengadaan, pendistribusian dan penggunaan
obat. Karena itu peningkatan kualitas pelayanan obat di puskesmas dan jaringannya
semakin penting terlebih-lebih untuk daerah terpencil (Depkes RI, 2006).

Universitas Sumatera Utara

75

Penyerahan kewenangan penyediaan dan pengelolaan obat menjadi satu hal
yang harus mendapat perhatian setiap daerah. Proses untuk mendapatkan alokasi
anggaran pengadaan obat menjadi fokus perhatian sesuai dengan kebutuhan
kabupaten/kota. Proses alokasi anggaran di pemerintah daerah sangatlah penting,
sehingga diperlukan kemampuan melakukan advokasi dan data berdasarkan hasil
evaluasi terhadap pengelolaan obat (Trisnantoro, 2001).
Pengelolaan obat merupakan hal yang sangat penting dalam mendukung

pelaksanaan sistem pelayanan kesehatan di tingkat kabupaten/kota. Pengelolaan obat
adalah suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut aspek perencanaan, pengadaan/
permintaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, penggunaan obat serta
pencatatan dan pelaporan obat dengan memanfaatkan sumber-sumber yang ada
(Badan POM, 2001).
Puskesmas

merupakan

kesatuan

organisasi

fungsional

yang

menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata dan
dapat diterima dan terjangkau oleh masyarakat dengan peran serta aktif masyarakat
dengan menggunakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi tepat

guna, dengan biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah dan masyarakat. Upaya
tersebut diselenggarakan dengan menitikberatkan pada pelayanan untuk masyarakat
luas guna mencapai derajat kesehatan yang optimal, tanpa mengabaikan mutu
pelayanan kepada perorangan (Depkes RI, 2004).
Menurut hasil penelitian Suwita (2001), tentang pengaruh variabel
kemampuan dan motivasi kerja terhadap petugas farmasi dalam pengelolaan obat dan

Universitas Sumatera Utara

76

Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) Puskesmas di Kabupaten
Padang Pariaman Propinsi. Sumatra Barat, menyimpulkan bahwa sebesar 76%
petugas mempunyai kinerja baik dan 24% kurang baik. Faktor-faktor yang
memengaruhi kinerja petugas pengelola obat antara lain pengetahuan, pendidikan dan
supervisi.
Penelitian yang dilakukan oleh Zulkarnain (2003), di Kabupaten Aceh Besar
tentang kinerja pengelola obat di puskesmas menunjukkan responden yang memiliki
tingkat kinerja kurang sebesar 51.5% dan hasil analisis multivariat terhadap kinerja
memperlihatkan variabel yang paling dominan berkaitan dengan kinerja petugas

pengelola obat puskesmas adalah masa kerja.
Sesuai penelitian Ahmad Zaidan (2008), tentang faktor-faktor yang
melatarbelakangi kinerja petugas pengelola obat puskesmas di Kabupaten Aceh
Singkil, menyimpulkan bahwa faktor sarana sangat berpengaruh terhadap kinerja
petugas pengelola obat puskesmas. Penelitian Purwanto (2008), bahwa perlu
melakukan supervisi secara berkala terhadap pengelolaan obat termasuk kepatuhan
petugas kepada pedoman pengobatan. Penelitian Richard (2009), bahwa pendidikan
dan pengetahuan sangat berpengaruh terhadap kinerja pengelola obat di puskesmas
dan puskesmas pembantu.
Pengelolaan obat di puskesmas akan berjalan baik jika petugas pengelola
dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan atau pedoman pengelolaan
obat publik dan perbekalan kesehatan yang telah ditetapkan antara lain petugas
pengelola obat harus mempunyai kemampuan dalam perencanaan, permintaan,

Universitas Sumatera Utara

77

penerimaan,


penyimpanan,

pendistribusian,

pengendalian

penggunaan,

serta

pencatatan dan pelaporan (Depkes RI, 2004).
Kinerja pengelola obat di puskesmas memberikan kontribusi yang besar
terhadap keberhasilan pengelolaan obat secara keseluruhan, alasannya adalah dalam
perencanaan dengan sistim bottom up data obat dari puskesmas digunakan sebagai
dasar perencanaan obat tingkat kabupaten/kota. Penyediaan dan informasi obat yang
akurat dan aktual dari puskesmas yang meliputi permintaan, penerimaan, keadaan
stok dan penyaluran merupakan landasan untuk menentukan kebijakan obat, sehingga
apabila data dasar tersebut menyimpang maka kemungkinan menghasilkan kebijakan
yang tidak sesuai. Selain itu puskesmas merupakan ujung tombak dalam pelayanan
obat yang langsung berhubungan dengan masyarakat sehingga menjadi parameter

penilaian masyarakat (Depkes RI, 2004).
Puskesmas dalam menjalankan fungsinya yaitu melaksanakan pelayanan
kesehatan dasar secara langsung kepada masyarakat salah satunya adalah kegiatan
pelayanan pengobatan selalu membutuhkan obat publik. Untuk mengetahui jenis dan
jumlah obat publik yang dibutuhkan, puskesmas harus dapat menyusun perencanaan
kebutuhan obat publik yang selanjutnya diserahkan ke Dinas Kesehatan Kota
Subulussalam. Sebab hal ini akan berkaitan dengan dinas kesehatan dalam upaya
memenuhi kebutuhan obat publik untuk semua puskesmas. Di Dinas Kesehatan Kota
Subulussalam,

perencanaan kebutuhan obat masih dilakukan secara manual dan

sangat sederhana dengan metode konsumsi yaitu berdasarkan penggunaan obat tahun

Universitas Sumatera Utara

78

sebelumnya, sehingga sulit untuk menganalisis kebutuhan obat yang akurat, efektif dan
efisien.


Kinerja petugas pengelola obat di puskesmas merupakan salah satu faktor
penting dalam pelayanan kesehatan puskesmas. Pengukuran kinerja petugas
pengelola obat dapat dilihat dari Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat
(LPLPO) yang merupakan validiter data yang akurat dan tepat waktu. Penilaian
kinerja petugas pengelola obat dapat diketahui melalui pengiriman laporan obat setiap
bulannnya, keterlambatan pengiriman dari batas waktu yang disepakati dan dari
kesalahan pengisian LPLPO.
Menurut Taupik (2008), pengelolaan obat diawali dengan perencanaan yang
berupa perhitungan kebutuhan obat, kemudian dilanjutkan dengan pengadaan dan
penyimpanan. Obat disimpan, didistribusikan untuk digunakan oleh pasien. Petugas
yang mampu melaksanakan pengelolaan yang baik, tentunya harus memiliki
karakteristik seperti pendidikan, pengetahuan dan pengalaman (lama kerja) yang
memadai, serta didukung sumber daya organisasi untuk mampu melaksanakan
pengelolaan dengan baik. Menurut Gibson dalam Ilyas (2001), bahwa faktor-faktor
yang memengaruhi kinerja antara lain faktor individu dan faktor organisasi. Dengan
demikian dapat diasumsikan bahwa kinerja petugas pengelola obat di puskesmas
dipengaruhi oleh faktor individu pengelola obat itu sendiri yang meliputi pendidikan,
pengetahuan dan lama kerja serta faktor organisasi yang meliputi


sarana,

kepemimpinan, dan supervisi.

Universitas Sumatera Utara

79

Masalah manajemen logistik obat di puskesmas yang ada berdasarkan data
yang diperoleh dari Sub-Bagian/Seksi Kefarmasian Dinas Kesehatan Kota
Subulussalam menunjukkan belum optimalnya kinerja petugas pengelola obat di
puskesmas antara lain: 1) Pengiriman laporan obat berupa LPLPO yang mengirim
tepat waktu sebelum tanggal lima setiap bulannya ke Dinas Kesehatan Kota hanya
60 % (3 puskesmas dari 5 puskesmas yang ada di Kota Subulussalam); 2) masih
adanya pengisian data dalam LPLPO kurang akurat dan valid sehingga akan
berpengaruh terhadap perencanaan obat untuk tahun berikutnya dan berdampak
terhadap tingkat ketersediaan obat-obatan dengan jumlah yang cukup dan jenis yang
lengkap serta bervariasi, dimana pada saat pendistribusian obat-obatan sering terjadi
permintaan dari puskesmas tidak sesuai dengan penerimaan akibatnya sering terjadi
kekosongan atau kekurangan obat di satu sisi dan terjadi kelebihan obat di sisi yang

lain; 3) penyimpanan dan penyusunan obat-obatan belum sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan mengakibatkan berkurangnya kualitas dan rusaknya obat-obatan hal
ini dapat dilihat dengan ditemukannya obat-obatan yang rusak dan kadaluarsa
sebanyak 109 jenis obat yang berasal dari lima puskesmas yang ada di Kota
Subulussalam (Seksi Kefarmasian Dinkes Kota Subulussalam, 2010).
Selain itu informasi dari staf bagian Farmasi Dinas Kesehatan Kota
Subulussalam bahwa ada satu puskesmas dari lima puskesmas yang ada tidak rutin
setiap bulannya mengirim LPLPO ke Dinas Kesehatan Kota Subulussalam.
Pengelolaan obat di puskesmas akan berjalan baik jika petugas pengelola obat
dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan atau pedoman pengelolaan

Universitas Sumatera Utara

80

obat publik dan perbekalan kesehatan yang telah ditetapkan antara lain petugas
pengelola obat harus mempunyai kemampuan dalam perencanaan, permintaan,
penerimaan,

penyimpanan,


pendistribusian,

pengendalian

penggunaan,

serta

pencatatan dan pelaporan (Depkes RI, 2004).
Ketersediaan obat-obatan yang kurang disebabkan oleh berbagai faktor. Salah
satu faktor yang sangat menentukan yaitu faktor perencanaan/perhitungan perkiraan
kebutuhan obat yang belum tepat, belum efektif dan kurang efisien.
Permintaan/pengadaan obat juga merupakan suatu aspek dimana permintaan
dilakukan harus sesuai dengan kebutuhan obat yang ada agar tidak terjadi suatu
kelebihan atau kekurangan obat. Kelebihan obat atau kekosongan obat tertentu ini
dapat terjadi karena perhitungan kebutuhan obat yang tidak akurat dan tidak rasional,
agar hal-hal tersebut tidak terjadi maka pengelolaan obat puskesmas perlu dilakukan
sesuai dengan pedoman pengelolaan obat.
Terjaminnya ketersediaan obat di pelayanan kesehatan akan menjaga citra
pelayanan kesehatan itu sendiri, sehingga sangatlah penting menjamin ketersediaan
dana yang cukup untuk pengadaan obat esensial, namun lebih penting lagi dalam
mengelola dana penyediaan obat secara efektif dan efisien.
Menyimak uraian di atas dapat dikatakan bahwa kinerja petugas pengelola
obat di puskesmas belum optimal dalam melaksanakan pengelolaan obat. Belum
optimalnya kinerja petugas pengelola obat di puskesmas diasumsikan karena
terbatasnya pendidikan, pengetahuan, sarana dan prasarana, serta kurangnya supervisi
sehingga berdampak terhadap mutu pelayanan kefarmasian kepada masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

81

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti pengaruh
faktor internal yang meliputi: (masa kerja, pendidikan, pengetahuan), dan faktor
eksternal yang meliputi: (sarana, kepemimpinan, supervisi) terhadap petugas
pengelola obat di Puskesmas Kota Subulussalam. Oleh karena penelitian ini belum
pernah dilakukan Dinas Kesehatan Kota Subulussalam sehingga sangat relevan jika
permasalahan ini diangkat.

1.2. Permasalahan
Ketersediaan obat yang masih kurang dimana sering terjadi kelebihan dan
kekurangan obat akibat sistem perencanaan dan pendistribusian obat yang tidak tepat,
berkurangnya mutu obat akibat sarana penyimpanan obat yang belum memadai
diasumsikan karena adanya faktor internal dan ekternal kinerja petugas pengelola
obat dalam pengelolaan obat, maka permasalahan penelitian penulis adalah:
bagaimana pengaruh faktor internal (masa kerja, pendidikan, pengetahuan) dan faktor
eksternal (sarana, kepemimpinan, supervisi) terhadap kinerja petugas pengelola obat
di Puskesmas Kota Subulussaalam tahun 2011.

1. 3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh faktor internal
(masa kerja, pendidikan, pengetahuan) dan faktor eksternal (sarana, kepemimpinan,
supervisi) terhadap kinerja petugas pengelola obat (permintaan, penerimaan,
penyimpanan, pendistribusian, serta pencatatan dan pelaporan) di Puskesmas Kota
Subulussalam tahun 2011.

Universitas Sumatera Utara

82

1. 4. Hipotesis
Ada pengaruh faktor internal (masa kerja, pendidikan, dan pengetahuan) dan
faktor eksternal (sarana, kepemimpinan, dan supervisi) terhadap kinerja petugas
pengelola obat (permintaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian serta
pencatatan dan pelaporan) di Puskesmas Kota Subulussalam tahun 2011

1. 5. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi ilmu pengetahuan
tentang kebijakan dalam pengelolaan obat di sarana pelayanan kesehatan.
2. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Subulussalam untuk
meningkatkan manajemen pengelolaan obat di puskesmas.
3. Sebagai masukan bagi petugas pengelola obat di puskesmas dalam
melaksanakan pengelolaan obat.

Universitas Sumatera Utara