Pengaruh Motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik terhadap Kinerja Pengelola Obat di Puskesmas Kota Medan

(1)

PENGARUH MOTIVASI INTRINSIK DAN EKSTRINSIK TERHADAP KINERJA PENGELOLA OBAT

DI PUSKESMAS KOTA MEDAN

T E S I S

Oleh

AHMAD RAMSI 097032060/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENGARUH MOTIVASI INTRINSIK DAN EKSTRINSIK TERHADAP KINERJA PENGELOLA OBAT

DI PUSKESMAS KOTA MEDAN

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

AHMAD RAMSI 097032060/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : PENGARUH MOTIVASI INTRINSIK DAN EKSTRINSIK TERHADAP KINERJA

PENGELOLA OBAT DI PUSKESMAS KOTA MEDAN

Nama Mahasiswa : Ahmad Ramsi Nomor Induk Mahasiswa : 097032060

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Marlon Sihombing, M.A) (Siti Khadijah Nasution, S.K.M, M.Kes Ketua Anggota

)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si) (Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 08 Desember 2011 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Marlon Sihombing, M.A

Anggota : 1. Siti Khadijah Nasution, S.K.M, M.Kes 2. Dr. Sitti Raha Agoes Salim, M.Sc 3. dr. Heldy, BZ, M.P.H


(5)

PERNYATAAN

PENGARUH MOTIVASI INTRINSIK DAN EKSTRINSIK TERHADAP KINERJA PENGELOLA OBAT

DI PUSKESMAS KOTA MEDAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Januari 2012

Ahmad Ramsi 097032060/IKM


(6)

ABSTRAK

Ketersediaan obat setiap saat merupakan salah satu aspek penting dalam pengelolaan obat di Puskesmas. Berdasarkan survei pendahuluan di Puskesmas Kota Medan ditemukan ketersediaan obat tahun 2010 rata-rata 69,81% obat generik dan 67,37 % obat berlogo yang tersedia tidak cukup baik jenis maupun jumlah sampai waktu satu bulan pelayanan dan masih terjadi kekosongan atau kekurangan obat.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh motivasi intrinsik dan ekstrinsik terhadap kinerja pengelola obat di Puskesmas Kota Medan. Jenis penelitian survei explanatory. Penelitian dilaksanakan bulan Juni sampai dengan Oktober 2011. Populasi dalam penelitian ini seluruh pengelola obat yang bertugas di Puskesmas Kota Medan, sebanyak 39 orang dan seluruh populasi dijadikan sampel. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan regresi berganda pada α=0.05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik berpengaruh signifikan terhadap kinerja pengelola obat di Puskesmas Kota Medan. Variabel motivasi ekstrinsik memberikan pengaruh lebih besar terhadap kinerja pengelola obat.

Disarankan kepada Dinas Kesehatan dan Puskesmas Kota Medan untuk : (1) membuat aturan yang tegas melalui kegiatan pendisiplinan korektif berupa pemberian sanksi kepada pengelola obat yang tidak disiplin dalam bekerja, (2) mengupayakan supervisi dan bimbingan teknis kepada pengelola obat puskesmas secara terus menerus, (3) melakukan evaluasi secara komprehensif, dan (4) mengupayakan peningkatan insentif bagi pengelola obat melalui pengusulan anggaran.


(7)

ABSTRACT

The availability of drugs at any time is one important aspect in the

management of drugs at health center. Based on preliminary survey at Medan City Health Center found the availability of drugs in 2010 an average of 69.81% branded drugs and 67.37% generic drugs who available are insufficient both in types and amounts up to one month of service and is still a vacuum or a deficiency of drugs.

The purpose of this explanatory survey study was to analyze the influence of intrinsict and extrinsict motivation on the performance of the drug manager in Medan City Health Center. This research was conducted in June through October 2011. The population of this study were all of the drug manager at Medan City Health Center as many as 39 people, and all of them were selected to be sample. The data for this study were obtained through interviews using questionnaires. The data obtained were analyzed through multiple regression test at α = 5%.

The result of this study showed that statistically the intrinsict motivation and extrinsict motivation had significantly influence on the performance of drug manager in the Medan City Health Center. Extrinsict motivation variable gave greater

influence on the performance of drug manager.

It is recommended to the District Health Office and all of Health Centre in Medan City to: (1) create a firm rule through the form of corrective disciplinary sanctions for drug manager who are not disciplined at work, (2) continuously

improve the supervision and technical counseling to drug managers in health centers, (3) perform a comprehensive evaluation, and (4) improve the provision of incentives for the drug managers through the budget proposal.


(8)

KATA PENGANTAR

Segala Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat serta pertolonganNya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul " Pengaruh Motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik terhadap Kinerja Pengelola Obat di Puskesmas Kota Medan ".

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk

menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

Penulis, dalam menyusun tesis ini mendapat bantuan, dorongan dan

bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, sebagai Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, sebagai Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(9)

5. Prof. Dr. Marlon Sihombing, M.A, selaku ketua komisi pembimbing dan Siti Khadijah Nasution, S.K.M, M.Kes, selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

6. Dr. Sitti Raha Agoes Salim, M.Sc, dan dr. Heldy, BZ, M.P.H, sebagai komisi penguji atau pembanding yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

7. Seluruh dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu yang sangat berarti selama penulis mengikuti pendidikan.

8. Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan dan Kepala Puskemas Mandala dan Jajarannya yang telah memberikan izin untuk melanjutkan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.

9. Teristimewa buat istri tercinta Marlina,S.Pdi dan buah hati tersayang dr. Neni Juliani, Maftuh Hasbi, S.Kom, A.md Telnav, Nursafitri Am.Keb,

Maulana Akbar dan Rahma Khairunissa, yang penuh pengertian dan kesabaran, dan senantiasa berdo’a sehingga memotivasi penulis dalam menyelesaikan pendidikan.


(10)

10. Rekan-rekan mahasiswa (i) S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan masukan dan saran-saran dalam penyusunan tesis ini hingga selesai.

Akhirnya Penulis menyadari atas segala keterbatasan dan kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan penuh harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Januari 2012 Penulis

Ahmad Ramsi 097032060/IKM


(11)

RIWAYAT HIDUP

Ahmad Ramsi, lahir pada tanggal 21 Juni 1963 di Medan, anak ketujuh dari delapan bersaudara dari pasangan Ayahanda Ahmad Hidayat (Alm) dan Ibunda Hj. Siti Ramlah (Almh).

Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan Sekolah Dasar di SD Swasta Al-Ikhwaniyah Medan, selesai tahun 1976, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Medan, selesai Tahun 1980, Sekolah Menengah Atas di SMA Swasta Prayatna Medan, selesai tahun 1983, S-1 Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, selesai tahun 1990, S-1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, selesai tahun 2002.

Mulai bekerja sebagai Dokter Gigi di Puskesmas, tahun 1992 sampai sekarang.

Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di program studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sejak tahun 2009 hingga saat ini.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Hipotesis ... 9

1.5 Manfaat Penelitian ... 9

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Teori Tentang Kinerja ... 10

2.1.1 Pengertian Kinerja ... 10

2.1.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja ... 11

2.1.3 Penilaian Kinerja ... 14

2.1.4 Tujuan Penilaian Kinerja... 18

2.1.5 Manfaat Penilaian Kinerja ... 18

2.2 Teori tentang Motivasi ... 19

2.2.1 Pengertian Motivasi ... 19

2.2.2 Teori Motivasi ... 20

2.2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Motivasi ... 27

2.2.4 Manfaat Motivasi ... 31

2.3 Pengelolaan Obat ... 32

2.3.1 Pengertian Obat ... 32

2.3.2 Proses Pengelolaan Obat di Puskesmas ... 32

2.3.3 Kerasionalan Obat ... 35

2.3.4 Tugas Pokok dan Fungsi Pengelola Obat Puskesmas ... 37

2.4 Puskesmas ... 39

2.4.1 Pengertian Puskesmas ... 39


(13)

2.4.3 Program Puskesmas ... 41

2.5 Landasan Teori ... 42

2.6 Kerangka Konsep Penelitian ... 44

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 45

3.1 Jenis Penelitian ... 45

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 45

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 45

3.2.2 Waktu Penelitian ... 45

3.3 Populasi dan Sampel ... 45

3.3.1 Populasi ... 45

3.3.2 Sampel ... 46

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 46

3.4.1 Data Primer ... 46

3.4.2 Data Sekunder ... 46

3.4.3 Validitas dan Reliabilitas ... 47

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 49

3.5.1 Variabel Bebas ... 49

3.5.2 Variabel Terikat ... 51

3.6 Metode Pengukuran ... 51

3.6.1 Pengukuran Variabel Bebas ... 51

3.6.2 Pengukuran Variabel Terikat ... 52

3.7 Metode Analisis Data ... 52

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 53

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 53

4.1.1 Keadaan Geografi ... 53

4.1.2 Keadaan Demografi ... 53

4.1.3 Sumber Daya Kesehatan ... 54

4.2 Identitas Responden ... 56

4.3 Analisa Univariat ... 57

4.3.1 Motivasi Intrinsik ... 57

4.3.2 Motivasi Ekstrinsik ... 67

4.4 Kinerja ... 73

4.5 Analisis Bivariat ... 82

4.5.1 Hubungan Motivasi Intrinsik dengan Kinerja Pengelola Obat di Puskesmas Kota Medan ... 82

4.5.2 Hubungan Motivasi Ekstrinsik dengan Kinerja Pengelola Obat di Puskesmas Kota Medan ... 82

4.6 Analisis Multivariat ... 83

4.6.1 Pengaruh Motivasi terhadap Kinerja Pengelola Obat di Puskesmas Kota Medan ... 83


(14)

4.6.2 Pengujian Hipotesis ... 84

BAB 5. PEMBAHASAN ... 86

5.1 Kinerja Pengelola Obat ... 86

5.2 Pengaruh Motivasi Intrinsik terhadap Kinerja Pengelola Obat di Puskesmas Kota Medan ... 90

5.3 Pengaruh Motivasi Ekstrinsik terhadap Kinerja Pengelola Obat di Puskesmas Kota Medan ... 98

5.4 Keterbatasan Penelitan ... 103

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 104

6.1 Kesimpulan ... 104

6.2 Saran ... 105

DAFTAR PUSTAKA ... 106


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1 Ketersediaan Obat di Puskesmas Kota Medan Tahun 2010 ... 6

3.1 Pengukuran Variabel Intrinsik ... 51

3.2 Pengukuran Variabel Terikat ... 52

4.1 Distribusi Fasilitas Kesehatan di Kota Medan Tahun 2010 ... 54

4.2 Distribusi Puskesmas dan Tenaga Kesehatan Puskesmas di Kota Medan Tahun 2010 ... 55

4.3 Distribusi Identitas Responden di Puskesmas Kota Medan ... 57

4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Tanggung Jawab di Puskesmas Kota Medan ... 59

4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Prestasi di Puskesmas Kota Medan .... 60

4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Pengakuan Orang Lain di Puskesmas Kota Medan ... 62

4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Itu Sendiri di Puskesmas Kota Medan ... 63

4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Kemungkinan Pengembangan di Puskesmas Kota Medan ... 64

4.9 Distribusi Responden Berdasarkan Kemajuan di Puskesmas Kota Medan 66

4.10 Hasil Skor Motivasi Intrinsik ... 66

4.11 Distribusi Responden Berdasarkan Insentif di Puskesmas Kota Medan .... 68

4.12 Distribusi Responden Berdasarkan Kondisi Kerja di Puskesmas Kota Medan ... 69

4.13 Distribusi Responden Berdasarkan Hubungan Kerja di Puskesmas Kota Medan ... 70


(16)

4.14 Distribusi Responden Berdasarkan Prosedur Kerja di Puskesmas Kota

Medan ... 72 4.15 Hasil Skor Motivasi Ekstrinsik ... 73 4.16 Distribusi Responden Berdasarkan Perencanaan Obat di Puskesmas Kota

Medan ... 74 4.17 Distribusi Responden Berdasarkan Pengadaan Obat di Puskesmas Kota

Medan ... 76 4.18 Distribusi Responden Berdasarkan Distribusi Obat di Puskesmas Kota

Medan ... 79 4.19 Distribusi Responden Berdasarkan Pengunaan Obat di Puskesmas Kota

Medan ... 81 4.20 Hasil Skor Kinerja Pengelola Obat ... 81 4.21 Hubungan Motivasi Intrinsik dengan Kinerja Pengelola Obat di

Puskesmas Kota Medan ... 82 4.22 Hubungan Motivasi Ekstrinsik dengan Kinerja Pengelola Obat di

Puskesmas Kota Medan ... 83 4.23 Uji Regresi Berganda Pengaruh Motivasi terhadap Kinerja Pengelola

Obat di Puskesmas Kota Medan ... 83 4.24 Uji Secara Serentak ... 85


(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Landasan Teori. ... 43 2.2 Kerangka Konsep Penelitian. ... 44


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Kuesioner Penelitian ... 112

2 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 124

3 Kinerja Pengelola Obat (ditanyakan pada atasan) ... 130

4 Pelayanan Petugas Obat ... 138

5 Uji Univariat dan Bivariat ... 144


(19)

ABSTRAK

Ketersediaan obat setiap saat merupakan salah satu aspek penting dalam pengelolaan obat di Puskesmas. Berdasarkan survei pendahuluan di Puskesmas Kota Medan ditemukan ketersediaan obat tahun 2010 rata-rata 69,81% obat generik dan 67,37 % obat berlogo yang tersedia tidak cukup baik jenis maupun jumlah sampai waktu satu bulan pelayanan dan masih terjadi kekosongan atau kekurangan obat.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh motivasi intrinsik dan ekstrinsik terhadap kinerja pengelola obat di Puskesmas Kota Medan. Jenis penelitian survei explanatory. Penelitian dilaksanakan bulan Juni sampai dengan Oktober 2011. Populasi dalam penelitian ini seluruh pengelola obat yang bertugas di Puskesmas Kota Medan, sebanyak 39 orang dan seluruh populasi dijadikan sampel. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan regresi berganda pada α=0.05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik berpengaruh signifikan terhadap kinerja pengelola obat di Puskesmas Kota Medan. Variabel motivasi ekstrinsik memberikan pengaruh lebih besar terhadap kinerja pengelola obat.

Disarankan kepada Dinas Kesehatan dan Puskesmas Kota Medan untuk : (1) membuat aturan yang tegas melalui kegiatan pendisiplinan korektif berupa pemberian sanksi kepada pengelola obat yang tidak disiplin dalam bekerja, (2) mengupayakan supervisi dan bimbingan teknis kepada pengelola obat puskesmas secara terus menerus, (3) melakukan evaluasi secara komprehensif, dan (4) mengupayakan peningkatan insentif bagi pengelola obat melalui pengusulan anggaran.


(20)

ABSTRACT

The availability of drugs at any time is one important aspect in the

management of drugs at health center. Based on preliminary survey at Medan City Health Center found the availability of drugs in 2010 an average of 69.81% branded drugs and 67.37% generic drugs who available are insufficient both in types and amounts up to one month of service and is still a vacuum or a deficiency of drugs.

The purpose of this explanatory survey study was to analyze the influence of intrinsict and extrinsict motivation on the performance of the drug manager in Medan City Health Center. This research was conducted in June through October 2011. The population of this study were all of the drug manager at Medan City Health Center as many as 39 people, and all of them were selected to be sample. The data for this study were obtained through interviews using questionnaires. The data obtained were analyzed through multiple regression test at α = 5%.

The result of this study showed that statistically the intrinsict motivation and extrinsict motivation had significantly influence on the performance of drug manager in the Medan City Health Center. Extrinsict motivation variable gave greater

influence on the performance of drug manager.

It is recommended to the District Health Office and all of Health Centre in Medan City to: (1) create a firm rule through the form of corrective disciplinary sanctions for drug manager who are not disciplined at work, (2) continuously

improve the supervision and technical counseling to drug managers in health centers, (3) perform a comprehensive evaluation, and (4) improve the provision of incentives for the drug managers through the budget proposal.


(21)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Dalam undang-undang Kesehatan No. UU Nomor 36 Tahun 2009 menyatakan bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang, agar terwujud kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan pembangunan kesehatan nasional. Untuk mencapai tujuan tersebut, diselenggarakan upaya-upaya melalui sumber daya organisasi yang bersifat menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.

Program pembangunan kesehatan nasional mencakup lima aspek Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) yaitu bidang : Promosi Kesehatan, Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Ibu dan Anak termasuk Keluarga Berencana, Pemberantasan Penyakit Menular dan Pengobatan. Untuk dapat melaksanakan Pelayanan Kesehatan Dasar khususnya bidang pengobatan, ketersediaan obat perlu dikelola dengan baik dalam organisasi pelayanan kesehatan di masing-masing daerah (Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1412/Menkes/SK/XI/2002).

Pembangunan kesehatan di era Otonomi Daerah (OTDA) telah menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) dan daerah harus bisa mengatur sendiri, termasuk memenuhi kebutuhan obat. Upaya untuk memenuhi kebutuhan obat diperlukan pengelolaan dan perencanaan yang baik. Dalam hal ini selaku pelaksana teknis bidang pembangunan kesehatan di daerah adalah Dinas


(22)

Kesehatan Kabupaten/Kota. Dengan diberlakukannya Otonomi Daerah, setiap Kabupaten/ Kota mempunyai struktur dan kebijakan sendiri dalam pengelolaan obat, selanjutnya Pengelola Obat Kabupaten/Kota disebut dengan “Unit Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan (UPOPPK) Kabupaten/Kota“ (Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 1426/Menkes/SK/XI/2002).

Sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut adalah keberadaan petugas atau pengelola obat yang terampil dalam rangka memenuhi kebutuhan obat publik yang akurat dan reliabel guna memenuhi kebutuhan obat publik dalam suatu wilayah kerja organisasi. Salah satu organisasi yang dimaksud dalam hal ini adalah Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)

Menurut Depkes RI (1990), puskesmas merupakan unit organisasi pelayanan kesehatan terdepan yang mempunyai misi sebagai pusat pengembangan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu yang memberikan pelayanan promotif (peningkatan), preventif (pencegahan), rehabilitatif (pemulihan kesehatan) dan kuratif (pengobatan) melalui salah satu kegiatan pokok, yaitu memberikan pelayanan obat.

Manajemen pengelolaan obat merupakan salah satu aspek penting di Puskesmas, karena ketidakefisienan akan memberikan dampak negatif terhadap biaya operasional Puskesmas itu sendiri, sedangkan ketersediaan obat setiap saat menjadi tuntutan dalam pelayanan kesehatan dan hal ini merupakan indikator kinerja Puskesmas secara keseluruhan. Tujuan manajemen obat adalah tersedianya obat setiap saat dibutuhkan baik mengenai jenis, jumlah maupun kualitas secara efektif


(23)

dan efisien, tanpa mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan (Depkes RI, 2004).

Pemanfaatan Puskesmas secara nasional berdasarkan rata-rata kunjungan per hari buka adalah 93,57 atau 94 kunjungan, dengan kisaran antara 21 (di Propinsi Kalimantan Timur) dan 228 (di Propinsi Jawa Timur). Sementara itu rata-rata frekuensi kunjungan masyarakat ke puskesmas secara nasional adalah 3,27 kali dengan kisaran antara 1,55 (di Propinsi Irian Jaya) dan 3,64 di Propinsi Kalimantan Selatan (Depkes RI, 2004).

Pemanfaatan Puskesmas oleh masyarakat tidak terlepas dari kinerja petugas atau pengelola obat yang terampil. Secara teoritis Gibson et.al, (1996); Mathis dan Jackson (2002); dan Ilyas (2002), menyatakan bahwa kinerja merupakan tingkat keberhasilan dan kemampuan dalam melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan merupakan hasil interaksi yang kompleks atas agregasi kinerja sejumlah individu maupun kelompok sumber daya manusia dalam organisasi, baik secara kuantitas maupun kualitas.

Pengelola obat sebagai Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menjalankan pelayanan kesehatan di Puskesmas merupakan sumber daya yang penting dan sangat dibutuhkan untuk mencapai kinerja yang optimal. Sebaliknya, sumber daya manusia juga mempunyai berbagai macam kebutuhan yang ingin dipenuhinya. Keinginan untuk memenuhi kebutuhan inilah yang dipandang sebagai pendorong atau penggerak bagi seseorang untuk melakukan sesuatu, termasuk melakukan pekerjaan atau bekerja. Manajemen Puskesmas sebagai suatu organisasi harus berupaya untuk


(24)

mengetahui apa saja yang menjadi kebutuhan dan harapan karyawannya untuk meningkatkan kinerjanya. Oleh karena itu, manajemen perlu memberikan balas jasa yang sesuai dengan kontribusi mereka. Salah satu faktor pendorong atau rangsangan agar karyawan dapat meningkatkan kinerjanya dengan baik dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan adalah melalui pemberian motivasi.

Herzberg dalam Hasibuan (2005), menyatakan bahwa ada dua faktor yang mendorong karyawan termotivasi dalam berkinerja, yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik merupakan daya dorong yang timbul dari dalam diri masing-masing orang, dan faktor ekstrinsik, merupakan daya dorong yang datang dari luar diri seseorang. Supaya mau bekerja giat dan antusias mencapai kinerja yang optimal, maka dalam hal ini motivasi baik secara intrinsik maupun ekstrinsik sangatlah penting, karena pimpinan mendelegasikan pekerjaan pada bawahannya untuk dikerjakan dengan baik dan terintegrasi kepada tujuan yang diinginkan.

Kota Medan, memiliki beberapa sarana pelayanan kesehatan yang terdiri dari 54 unit rumah sakit umum, 26 unit rumah sakit swasta, 39 unit puskesmas, yang terdiri dari 13 puskesmas rawat inap 24 jam, dan 26 unit puskesmas non perawatan serta 41 unit Puskesmas Pembantu (Pustu) yang tersebar pada 21 Kecamatan dengan jumlah penduduk sebanyak 2.102.105 jiwa. Jumlah penduduk yang berobat ke Puskesmas di Kota Medan, yaitu sebanyak 1.068.373 jiwa atau 50,80% dari jumlah seluruh penduduk. Pemanfaatan rawat inap mencapai 309 jiwa 0,01%. Angka pemanfaatan rawat jalan di Kota Medan mencapai 30%, angka ini relatif tinggi,


(25)

menurut Standar Pelayanan Minimal Kesehatan (SPM) pemanfaatan rawat jalan sebesar 15% (Profil Dinas Kesehatan Kota Medan, 2010).

Berlakunya Undang-Undang RI No 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2000 tentang pemerintah daerah yang memberikan sebagian hak dan kewenangan kepada daerah otonom termasuk kewenangan di bidang kesehatan (UU RI No 32, 2004). Kewenangan ini menjadi salah satu hal yang harus mendapat perhatian setiap pemerintah Kota dan Kabupaten karena pengelolaan obat beserta sistem pendukungnya termasuk proses untuk mendapatkan alokasi anggaran pengadaan obat, sehingga diperlukan kemampuan melakukan advokasi dan data berdasarkan hasil evaluasi terhadap pengelolaan obat (Trisnantoro, 2005).

Sistem operasional pelayanan yang telah di susun sesuai dengan Tugas Pokok dan Fungsi (tupoksi) pengelola obat harus dilakukan agar proses pengendalian persediaan obat-obatan tidak mengalami gangguan dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Pengelolaan obat yang baik di Puskesmas mencakup suatu urutan kegiatan, yaitu perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, dan pencatatan/ pelaporan obat (Depkes RI, 2004).

Seiring dengan berlakunya UU No 32, 2004 tentang kewenangan daerah otonom termasuk kewenangan di bidang kesehatan, maka penentu kebijakan adalah Walikota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam menentukan besar biaya pengadaan obat pada kegiatan pelayanan bidang kefarmasian. Kebijakan Walikota ini terkait dengan pengelolaan obat Puskesmas di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota di Pemerintahan Kota Medan.


(26)

Kebijakan Pemerintah Kota Medan terkait dengan kinerja pengelola obat adalah kebijakan tentang pengobatan dasar gratis kepada masyarakat yang berdomisili di Kota Medan, terutama masyarakat miskin dituangkan dalam Surat Keputusan Walikota Medan No. 50 Tahun 2001 dan Surat Edaran Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan No.440/2596.2001 yang mulai dilaksanakan sejak 18 Agustus 2001 (Dinkes Kota Medan, 2002).

Kinerja pengelola obat di Puskesmas Kota Medan berdasarkan ketersediaan obat di Puskesmas diketahui bahwa rata-rata 69,81% obat generik dan 67,37 % obat berlogo yang tersedia tidak cukup baik jenis maupun jumlah sampai waktu satu bulan pelayanan dan masih terjadi kekosongan atau kekurangan obat di satu sisi dan kelebihan obat di sisi yang lain (Gudang Farmasi Kota Medan, 2011). Sebagai gambaran tingkat ketersediaan obat di setiap Puskesmas Kota Medan ditunjukkan pada Tabel 1.1. berikut:

Tabel 1.1 Ketersediaan Obat di Puskesmas Kota Medan Tahun 2010

No Puskesmas

Item Obat yang dibutuhkan

Item Obat yang Tersedia

Generik Berlogo

Generik Berlogo Jumlah Persen Jumlah Persen

1 Pasar Merah 125 10 80 64.0 6 60.0

2 Sukaramai 120 10 82 68.3 6 60.0

3 Kota Matsum 125 10 88 70.4 6 60.0

4 Medan Area 123 10 82 66.7 6 60.0

5 Bromo 91 25 69 75.8 18 72.0

6 Teladan 86 25 62 72.1 18 72.0

7 Simpang Limun 90 15 69 76.7 13 86.7

8 Amplas 91 25 69 75.8 18 72.0

9 Desa Binjai 120 15 72 60.0 10 66.7

10 Sentosa baru 125 20 75 60.0 15 75.0

11 Sering 123 20 68 55.3 15 75.0

12 Tegal sari 91 15 62 68.1 12 80.0

13 Mandala 125 10 88 70.4 6 60.0


(27)

Tabel 1.1 (Lanjutan)

15 Darussalam 120 10 82 68.3 6 60.0

16 Petisah 125 10 88 70.4 6 60.0

17 Sei agul 123 10 82 66.7 6 60.0

18 Ratang 91 25 69 75.8 18 72.0

19 Padsng Bulan 86 25 62 72.1 18 72.0

20 Pb.Selayang 91 25 69 75.8 18 72.0

21 Simalingkar 91 25 69 75.8 18 72.0

22 Tuntungan 125 10 80 64.0 6 60.0

23 Polonia 120 10 82 68.3 6 60.0

24 Medan johor 125 10 88 70.4 6 60.0

25 Kampung baru 123 10 82 66.7 6 60.0

26 Kedai durian 91 25 69 75.8 18 72.0

27 Pekan Labuhan 86 25 62 72.1 18 72.0

28 Medan Labuhan 91 25 69 75.8 18 72.0

29 Terjun 91 25 69 75.8 18 72.0

30 Medan deli 125 10 80 64.0 6 60.0

31 Titipapan 120 10 82 68.3 6 60.0

32 Martubung 125 10 88 70.4 6 60.0

33 Sunggal 123 10 82 66.7 6 60.0

34 Desa lalang 91 25 69 75.8 18 72.0

35 Helvetia 86 25 62 72.1 18 72.0

36 Glugur darat 91 25 69 75.8 18 72.0

37 Pulo Brayan 91 25 69 75.8 18 72.0

38 Glugur Kota 104 25 72 69.2 18 72.0

39 Belawan 117 25 74 63.2 18 72.0

Sumber : Gudang Farmasi Kota Medan, 2011.

Evaluasi Dinas Kesehatan Kota Medan pada tahun 2003, tentang pelaksanaan Program Pengobatan Gratis di Puskesmas, diperoleh hasil bahwa jumlah kunjungan pasien rawat jalan meningkat sekitar 13% dibandingkan dengan sebelum ada kebijakan Program Pengobatan Gratis dan angka kesakitan mengalami penurunan 10-20

Hasil wawancara dengan petugas pengelola obat di beberapa Puskesmas Kota Medan, diperoleh informasi bahwa peningkatan jumlah pasien yang berobat ke Puskesmas terkait dengan kebijakan Walikota Medan menurut pngelola obat hanya


(28)

menambah beban kerja serta tidak ada penyesuaian atas insentif. Salah satu dampak terkait dengan kebijakan Walikota Medan tersebut menyebabkan pengelola obat kadang-kadang terlambat masuk kerja, hasil kerja tidak akurat, pekerjaan tidak selesai tepat waktu dan pekerjaan lain menyangkut pengelolaan obat menjadi tertunda. Sebagai informasi tambahan bahwa pengelolaan obat di puskesmas Kota Medan dikerjakan oleh satu orang petugas dan bekerja selama 6 (enam) hari kerja dengan kegiatan mulai dari perencanaan/ seleksi, pengadaan, distribusi, dan penggunaan obat sampai menggerus obat yang dibutuhkan oleh pasien.

Survei pendahuluan dengan beberapa pasien yang berobat di Puskesmas Mandala, ditemukan bahwa pasien merasakan pelayanan obat di puskesmas tersebut belum sesuai dengan harapan mereka, karena seringkali petugas obat lambat memberikan obat kepada pasien, bahkan seringkali meninggalkan ruang kerja (apotik).

Penelitian terkait dengan kinerja pengelola obat di beberapa puskesmas, yaitu penelitian Alfian (2007), mengungkapkan bahwa bertambahnya kinerja pengelola obat di puskesmas tidak diikuti dengan penambahan insentif. Penelitian Mursyidah (2005), menyimpulkan mekanisme pengelolaan obat di Puskesmas perlu dirubah agar ketersediaan obat secara rutin tersedia dan dipusatkan pada 1 unit pengelola obat sehingga pengelolaan obat bisa tercatat dan terlaporkan dengan baik.

Manajemen Puskesmas Kota Medan bekerjasama dengan Pemerintah Kota Medan untuk meningkatkan motivasi pengelola obat dipuskesmas telah mengupayakan dana insentif bagi pengelola obat terkait dengan meningkatnya


(29)

kunjungan pasien yang berobat ke Puskesmas dengan memberikan insentif sebesar Rp 150.000-200.000 perbulan, namun kinerja pengelola obat belum optimal. (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2010).

Berdasarkan fenomena di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang “Pengaruh Motivasi intrinsik dan ekstrinsik terhadap Kinerja Pengelola Obat di Puskesmas Kota Medan”.

1.2 Permasalahan

Apakah ada pengaruh motivasi intrinsik dan ekstrinsik terhadap kinerja pengelola obat di Puskesmas Kota Medan?

1.3 Tujuan Penelitian

Menganalisis pengaruh motivasi intrinsik dan ekstrinsik terhadap kinerja pengelola obat di Puskesmas Kota Medan.

1.4 Hipotesis

Ada pengaruh motivasi intrinsik dan ekstrinsik terhadap kinerja pengelola obat di Puskesmas Kota Medan.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Memberikan masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Medan dalam manajemen pengelolaan obat.

2. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan Admininistrasi dan Kebijakan Kesehatan terutama yang berkaitan dengan motivasi dan kinerja.


(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori tentang Kinerja

2.1.1 Pengertian Kinerja

Kinerja merupakan pencapaian yang optimal sesuai dengan potensi yang dimiliki seorang karyawan merupakan hal yang selalu menjadi perhatian para pemimpin organisasi. Menurut Robbins (2002), kinerja merupakan ukuran hasil kerja yang mana hal ini menggambarkan sejauh mana aktivitas seseorang dalam melaksanakan tugas dan berusaha dalam mencapai tujuan yang ditetapkan.

Menurut Triffin dan MacCormick (1979), kinerja individu berhubungan dengan individual variable dan situational variable. Perbedaan individu akan menghasilkan kinerja yang berbeda pula. Individual variable adalah variabel yang berasal dari dalam diri individu yang bersangkutan, misalnya kemampuan, kepentingan, dan kebutuhan-kebutuhan tertentu. Sedangkan situational variable adalah variabel yang bersumber dari situasi pekerjaan yang lebih luas (lingkungan organisasi), misalnya pelaksanaan supervisi, karakteristik pekerjaan, hubungan dengan sekerja dan pemberian imbalan.

Sementara kinerja menurut Mangkunegara (2002), adalah hasil kerja secara kuantitas dan kualitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Baik tidaknya karyawan dalam menjalankan tugas yang diberikan perusahaan dapat diketahui dengan melakukan penilaian terhadap kinerja karyawannya. Penilaian kinerja


(31)

merupakan alat yang sangat berpengaruh untuk mengevaluasi kerja karyawan bahkan dapat memotivasi dan mengembangkan karyawan.

2.1.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja

Mangkunegara (2002), mengemukakan bahwa faktor yang memengaruhi kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation).

a. Faktor Kemampuan (ability).

Karyawan yang memiliki pengetahuan yang memadai untuk jabatnnya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaannya sehari hari, maka ia lebih mudah untuk mencapai kinerja yang diharapkan.

b. Faktor Motivasi (motivation).

Motivasi terbentuk dari sikap karyawan dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi yang terarah untuk mencapai tujuan kerja atau organisasi.

Pimpinan organisasi sangat menyadari adanya perbedaan kinerja antara satu karyawan dengan karyawan lainnya yang berada dibawah pengawasannya. Secara garis besar, perbedaan kinerja ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor individu dan situasi kerja. Menurut Gibson et.al. (1996), ada tiga perangkat variabel yang memengaruhi kinerja seseorang, yaitu:

1. Variabel Individual, terdiri dari: a) Kemampuan dan Keterampilan

Kondisi mental dan fisik seseorang dalam menjalankan suatu aktivitas atau pekerjaan.


(32)

b) Latar belakang

Kondisi dimasa lalu yang memengaruhi karakteristik dan sikap mental seseorang, biasanya dipengaruhi oleh faktor keturunan serta pengalaman dimasa lalu.

c) Demografis

Kondisi kependudukan yang berlaku pada individu atau karyawan, dimana lingkungan sekitarnya akan membentuk pola tingkah laku individu tersebut berdasarkan adat atau norma sosial yang berlaku.

2. Variabel Organisasional, terdiri dari: a) Sumber Daya

Sekumpulan potensi atau kemampuan organisasi yang dapat diukur dan dinilai, seperti sumber daya alam, sumber daya manusia.

b) Kepemimpinan

Suatu seni mengkoordinasi yang dilakukan oleh pimpinan dalam memotivasi pihak lain untuk meraih tujuan yang diinginkan oleh organisasi.

c) Imbalan

Balas jasa yang diterima oleh pegawai atau usaha yang telah dilakukan di dalam proses aktivitas organisasi dalam jangka waktu tertentu secara intrinsik maupun ekstrinsik.

d) Struktur

Hubungan wewenang dan tanggungjawab antar individu di dalam organisasi, dengan karakteristik tertentu dan kebutuhan organisasi.


(33)

e) Desain Pekerjaan

Job Description yang diberikan kepada pegawai, apakah pegawai dapat melakukan pekerjaan sesuai dengan job description.

3. Variabel Psikologis, terdiri dari: a) Persepsi

Suatu proses kognitif yang digunakan oleh seseorang untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya.

b) Sikap

Kesiapsiagaan mental yang dipelajari dan diorganisir melalui pengalaman dan mempunyai pengaruh tertentu atas cara tanggap seseorang terhadap orang lain. c) Kepribadian

Pola perilaku dan proses mental yang unik, mencirikan seseorang. d) Belajar

Proses yang dijalani seseorang dari tahap tidak tahu menjadi tahu dan memahami akan sesuatu terutama yang berhubungan dengan organisasi dan pekerjaan.

Menurut Davis (1996), faktor-faktor yang memengaruhi kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Secara psikologis, kemampuan karyawan terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge+skill). Artinya, pegawai yang memiliki IQ di atas rata-rata dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan ketrampilan dalam mengerjakan pekerjaan, maka ia akan lebih mudah mencapai kinerja yang diharapkan. Sedangkan


(34)

Robbin (2002), menambahkan dimensi baru yang menentukan kinerja seseorang, yaitu kesempatan. Menurutnya, meskipun seseorang bersedia (motivasi) dan mampu (kemampuan). Mungkin ada rintangan yang menjadi kendala kinerja seseorang, yaitu kesempatan yang ada, mungkin berupa lingkungan kerja tidak mendukung, peralatan, pasokan bahan, rekan kerja yang tidak mendukung prosedur yang tidak jelas dan sebagainya.

2.1.3 Penilaian Kinerja

Menurut Simamora (2004), penilaian kinerja (performance appraisal) adalah proses organisasi mengevaluasi pelaksanaan kerja individu. Penilaian kinerja memberikan mekanisme penting bagi manajemen untuk digunakan dalam menjelaskan tujuan-tujuan dan standar kinerja individu di waktu berikutnya. Sedangkan menurut Rivai (2005), penilaian kinerja merupakan kajian sistematis tentang kondisi kerja karyawan yang dilaksanakan secara formal yang dikaitkan dengan standar kerja yang telah ditentukan perusahaan. Penilaian kinerja merupakan proses yang dilakukan perusahaan dalam mengevaluasi kinerja pekerjaan seseorang, meliputi dimensi kinerja karyawan dan akuntabilitas.

Rivai (2005), mengemukakan pada dasarnya ada 2 (dua) model penilaian kinerja :

1. Penilaian Kinerja Berorientasi Masa Lalu (a) Skala Peringkat (Rating Scale)

Metode ini merupakan metode yang paling tua yang digunakan dalam penilaian prestasi, di mana para penilai diharuskan melakukan suatu penilaian


(35)

yang berhubungan dengan hasil kerja karyawan dalam skala-skala tertentu, mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.

(b) Daftar Pertanyaan (Checklist)

Metode ini menggunakan formulir isian yang menjelaskan beraneka macam tingkat perilaku bagi suatu pekerjaan tertentu. Penilai hanya perlu kata atau pertanyaan yang mengambarkan karakteristik dan hasil kerja karyawan. Keuntungan dari cheklist adalah biaya yang murah, pengurusannya mudah, penilai hanya membutuhkan pelatihan yang sederhana dan distandarisasi. (c) Metode dengan Pilihan Terarah

Metode ini dirancang untuk meningkatkan objektivitas dan mengurangi subjektivitas dalam penilaian. Salah satu sasaran dasar pendekatan pilihan ini adalah untuk mengurangi dan menyingkirkan kemungkinan berat sebelah penilaian dengan memaksa suatu pilihan antara pernyataan-pernyataan deskriptif yang kelihatannya mempunyai nilai yang sama.

(d) Metode Peristiwa Kritis (Critical Incident Method)

Metode ini bermanfaat untuk memberi karyawan umpan balik yang terkait langsung dengan pekerjaannya.

(e) Metode Catatan Prestasi

Metode ini berkaitan erat dengan metode peristiwa kritis, yaitu catatan penyempurnaan, yang banyak digunakan terutama oleh para profesional, misalnya penampilan, kemampuan berbicara, peran kepemimpinan dan aktivitas lain yang berhubungan dengan pekerjaan.


(36)

(f) Skala Peringkat dikaitkan dengan Tingkah Laku (Behaviorally Anchored Rating Scale=BARS)

Penggunaan metode ini menuntut diambilnya 3 (tiga) langkah, yaitu: 1) Menentukan skala peringkat penilaian prestasi kerja

2) Menentukan kategori prestasi kerja dengan skala peringkat

3) Uraian prestasi kerja sedemikian rupa sehingga kecenderungan perilaku karyawan yang dinilai dengan jelas.

(g) Metode Peninjauan Lapangan (Field Review Method)

Di sini penilai turun ke lapangan bersama-sama dengan ahli dari SDM. Spesialis SDM mendapat informasi dari atasan langsung perihal karyawannya, lalu mengevaluasi berdasarkan informasi tersebut.

(h) Tes dan Observasi Prestasi Kerja (Performance Test and Observation)

Karyawan dinilai, diuji kemampuannya, baik melalui ujian tertulis yang menyangkut berbagai hal seperti tingkat pengetahuan tentang prosedur dan mekanisme kerja yang telah ditetapkan dan harus ditaati atau melalui ujian parktik yang langsung diamati oleh penilai.

(i) Pendekatan Evaluasi Komparatif (Comparative Evaluation Approach)

Metode ini mengutamakan perbandingan prestasi kerja seseorang dengan karyawan lain yang menyelenggarakan kegiatan sejenis.


(37)

2. Penilaian Kinerja Berorientasi Masa Depan a. Penilaian Diri Sendiri (Self Appraisal)

Penilaian diri sendiri adalah penilaian yang dilakukan oleh karyawan sendiri dengan harapan karyawan tersebut dapat lebih mengenal kekuatan-kekuatan dan kelemahan dirinya sehingga mampu mengidentifikasi aspek-aspek perilaku kerja yang perlu diperbaiki pada masa yang akan datang.

b. Manajemen Berdasarkan Sasaran (Management by Objective)

Merupakan suatu bentuk penilaian di mana karyawan dan penyelia bersama-sama menetapkan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran pelaksanaan kerja karyawan secara individu di waktu yang akan datang.

c. Penilaian dengan Psikolog

Penilaian ini lazimnya dengan teknik terdiri atas wawancara, tes psikologi, diskusi-diskusi dengan penyelia-penyelia.

Sedangkan Werther dan Davis (1996), menyatakan agar penilaian kinerja yang dilakukan dapat lebih dipercaya dan obyektif, perlu dirumuskan batasan atau faktor-faktor penilaian kinerja atau prestasi kerja sebagai berikut:

1. Peformance, keberhasilan atau pencapaian tugas dalam jabatan.

2. Competency, kemahiran atau penguasaan pekerjaan sesuai dengan tuntutan jabatan. 3. Job behavior, kesediaan untuk menampilkan perilaku atau mentalitas yang

mendukung peningkatan prestasi kerja.


(38)

2.1.4 Tujuan Penilaian Kinerja

Menurut Simamora (2004), tujuan penilaian kinerja digolongkan kedalam tujuan evaluasi dan tujuan pengembangan.

a. Tujuan Evaluasi.

Melalui pendekatan evaluatif, dilakukan penilaian kinerja masa lalu seorang karyawan. Evaluasi yang digunakan untuk menilai kinerja adalah rating deskriptif. Hasil evaluasi digunakan sebagai data dalam mengambil keputusan-keputusan mengenai promosi dan kompensasi sebagai penghargaan atas peningkatan kinerja karyawan.

b. Tujuan Pengembangan.

Pendekatan pengembangan diharapkan dapat meningkatkan kinerja karyawan di masa yang akan datang. Aspek pengembangan dari penilaian kinerja mendorong perbaikan karyawan dalam menjalankan pekerjaannya.

2.1.5 Manfaat Penilaian Kinerja

Manfaat penilaian kinerja yang dikemukakan oleh Mulyadi (1997), yaitu: 1. Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui pemotivasian

karyawan secara maksimum.

2. Membantu pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawan, seperti promosi, transfer dan pemberhentian.

3. Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan dan menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan.


(39)

4. Menyediakan umpan balik bagi karyawan mengenai bagaimana atasan mereka menilai kinerja mereka.

5. Menyediakan suatu dasar distribusi penghargaan.

2.2 Teori tentang Motivasi 2.2.1 Pengertian Motivasi

Hasibuan (2005), motivasi berasal dari kata Latin “movere” yang berarti dorongan atau menggerakkan. Motivasi (motivation) dalam manajemen hanya ditujukan kepada sumber daya manusia umumnya dan bawahan khususnya. Motivasi mempersoalkan bagaimana caranya mengarahkan daya dan potensi bawahan agar mau bekerja sama secara produktif berhasil mencapai dan mewujudkan tujuan yang telah ditentukan. Sperling dalam Mangkunegara (2002), mengemukakan bahwa motivasi sebagai suatu kecenderungan untuk beraktivitas, mulai dari dorongan dalam diri (drive) dan diakhiri dengan penyesuaian diri dan terbentuk dari sikap seorang pegawai dalam menghadapi situasi kerja yang menggerakkan diri pegawai yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi.

Gibson et.al (1996), menyatakan bahwa motivasi sebagai suatu dorongan yang timbul pada atau di dalam seorang individu yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku. Oleh karena itu, motivasi dapat berarti suatu kondisi yang mendorong atau menjadi sebab seseorang melakukan suatu perbuatan/kegiatan yang berlangsung secara wajar. Menurut Nawawi (2003), kata motivasi (motivation) kata dasarnya adalah motif (motive) yang berarti dorongan, sebab atau alasan seseorang


(40)

melakukan sesuatu. Dengan demikian motivasi berarti suatu kondisi yang mendorong atau menjadikan seseorang melakukan suatu perbuatan/kegiatan, yang berlangsung secara sadar. Sedangkan menurut Sedarmayanti (2001), motivasi dapat diartikan sebagai daya pendorong (driving force) yang menyebabkan orang berbuat sesuatu atau diperbuat karena takut akan sesuatu. Misalnya ingin naik pangkat atau naik gaji, maka perbuatannya akan menunjang pencapaian keinginan tersebut.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi tidak ada jika tidak dirasakan adanya kebutuhan dan kepuasan serta keseimbangan. Rangsangan terhadap hal dimaksud akan menumbuhkan tingkat motivasi, dan motivasi yang telah tumbuh akan merupakan dorongan untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan. Motif merupakan suatu dorongan kebutuhan dari dalam diri petugas yang perlu dipenuhi agar petugas tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, sedangkan motivasi adalah kondisi yang menggerakkan petugas agar mampu mencapai tujuan dari motifnya.

2.2.2 Teori Motivasi

Teori motivasi merupakan teori-teori yang membicarakan bagaimana motivasi manusia di dalam melaksanakan pekerjaan dan mencapi tujuan, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor pembentuk terciptanya motivasi. Menurut Gibson et.al. (1996), secara umum mengacu pada 2 (dua) kategori :

1. Teori kepuasan (Content Theory), yang memusatkan perhatian kepada faktor dalam diri orang yang menguatkan (energize), mengarahkan (direct), mendukung (sustain) dan menghentikan (stop) perilaku petugas.


(41)

2. Teori proses (process theory) menguraikan dan menganalisa bagaimana perilaku itu dikuatkan, diarahkan, didukung dan dihentikan.

Lebih lanjut Gibson et.al. (1996), mengelompokkan teori motivasi sebagai berikut :

1. Teori kepuasan terdiri dari :

a.Teori Hirarki kebutuhan dari Abraham Maslow b.Teori Dua Faktor dari Frederick Herzberg

c.Teori ERG (Existence, Relatednes, Growth) dari Alderfer d.Teori prestasi dari McClelland

2. Teori Proses terdiri dari : a.Teori harapan

b.Teori pembentukan perilaku c.Teori keadilan

Lebih jelas berikut ini dipaparkan teori tentang motivasi yang dikemukakan di atas sebagai berikut :

a. Teori Hirarki Kebutuhan dari Abraham Maslow

Hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa mayoritas manusia bekerja adalah disebabkan adanya kebutuhan yang relatif tidak terpenuhi yang disebabkan adanya faktor keterbatasan manusia itu sendiri, untuk memenuhi kebutuhannya itu manusia bekerja sama dengan orang lain dengan memasuki suatu organisasi. Hal ini yang menjadi dasar bagi Maslow dengan mengemukakan teori hirarki kebutuhan sebagai salah satu sebab timbulnya motivasi pegawai. Maslow mengemukan bahwa manusia


(42)

termotivasi untuk memenuhi kebutuhan yang ada didalam hidupnya, diantaranya :a).Kebutuhan fisiologi, yaitu pakaian, perumahan, makanan, seks (disebut kebutuhan paling dasar) b).Kebutuhan keamanan, keselamatan, perlindungan, jaminan pensiun, asuransi kecelakaan, dan asuransi kesehatan. c).Kebutuhan sosial, kasih sayang, rasa memiliki, diterima dengan baik, persahabatan. d).Kebutuhan penghargaan, status, titel, simbol-simbol, promosi. e).Kebutuhan aktualisasi diri, menggunakan kemampuan, skill, dan potensi.

Pada dasarnya manusia tidak pernah puas pada tingkat kebutuhan manapun, tetapi untuk memunculkan kebutuhan yang lebih tinggi perlu memenuhi tingkat kebutuhan yang lebih rendah terlebih dahulu. Dalam usaha untuk memenuhi segala kebutuhannya tersebut seseorang akan berperilaku yang dipengaruhi atau ditentukan oleh pemenuhan kebutuhannya (Mangkunegara, 2002).

b. Teori Dua Faktor dari Herzberg.

Teori dua faktor dikembangkan oleh Frederick Herzberg yang merupakan pengembangan dari teori hirarki kebutuhan menurut Maslow. Teori Herzberg memberikan dua kontribusi penting bagi pimpinan organisasi dalam memotivasi karyawan. Pertama, teori ini lebih eksplisit dari teori hirarki kebutuhan Maslow, khususnya mengenai hubungan antara kebutuhan dalam performa pekerjaan. Kedua, kerangka ini membangkitkan model aplikasi, pemerkayaan pekerjaan (Leidecker dan Hall dalam Timpe, 2002).

Berdasarkan hasil penelitian terhadap akuntan dan ahli teknik Amerika Serikat dari berbagai Industri, Herzberg mengembangkan teori motivasi dua faktor. Menurut


(43)

teori ini ada dua faktor yang memengaruhi kondisi pekerjaan seseorang, yaitu faktor pemuas (motivation factor) yang disebut juga dengan satisfier atau instrinsic motivation dan faktor kesehatan (hygienes) yang juga disebut disatisfier atau ekstrinsic motivation. Teori Herzberg ini melihat ada dua faktor yang mendorong karyawan termotivasi yaitu faktor intrinsik, merupakan daya dorong yang timbul dari dalam diri masing-masing orang, dan faktor ekstrinsik, yaitu daya dorong yang datang dari luar diri seseorang, terutama dari organisasi tempatnya bekerja.

Jadi petugas yang terdorong secara intrinsik akan menyenangi pekerjaan yang memungkinkannya menggunakan kreativitas dan inovasinya, bekerja dengan tingkat otonomi yang tinggi dan tidak perlu diawasi dengan ketat. Kepuasan disini terutama tidak dikaitkan dengan perolehan hal-hal yang bersifat materi. Sebaliknya, mereka yang lebih terdorong oleh faktor-faktor ekstrinsik cenderung melihat kepada apa yang diberikan oleh organisasi kepada mereka dan kinerjanya diarahkan kepada perolehan hal-hal yang diinginkannya dari organisasi (Siagian, 2003).

Menurut Herzberg faktor ekstrinsik tidak akan mendorong minat para pegawai untuk berforma baik, akan tetapi jika faktor-faktor ini dianggap tidak memuaskan dalam berbagai hal seperti gaji tidak memadai, kondisi kerja tidak menyenangkan, faktor-faktor itu dapat menjadi sumber ketidakpuasan potensial. Sedangkan faktor intrinsik merupakan faktor yang mendorong semangat guna mencapai kinerja yang lebih tinggi. Jadi pemuasan terhadap kebutuhan tingkat tinggi (faktor motivasi) lebih memungkinkan seseorang untuk berforma tinggi dari pada pemuasan kebutuhan lebih rendah (Leidecker dan Hall dalam Timpe, 2002).


(44)

Dari teori Herzberg tersebut, uang/ gaji tidak dimasukkan sebagai faktor motivasi dan ini mendapat kritikan dari para ahli. Pekerjaan kerah biru sering kali dilakukan oleh mereka bukan karena faktor intrinsik yang mereka peroleh dari pekerjaan itu, tetapi karena pekerjaan itu dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Penelitian oleh Schwab, De Vitt dan Cuming tahun 1971 telah membuktikan bahwa faktor ekstrinsik pun dapat berpengaruh dalam memotivasi performa tinggi, (Grensing dalam Timpe, 2002).

c. Teori ERG (Existence, Relatedness, Growth) dari Alderfer

Menurut teori ERG dari Clayton Alderfer, ada 3 (tiga) kebutuhan pokok manusia yaitu: a).Existence (eksistensi); Kebutuhan akan pemberian persyaratan keberadaan materil dasar (kebutuhan psikologis dan keamanan). b).Relatednes (keterhubungan); Hasrat yang dimiliki untuk memelihara hubungan antar pribadi (kebutuhan sosial dan penghargaan). c).Growth (pertumbuhan) ; Hasrat kebutuhan intrinsik untuk perkembangan pribadi (kebutuhan aktualisasi diri).

d. Teori Kebutuhan dari McClelland

Teori kebutuhan dikemukakan oleh David McClelland. Teori ini berfokus pada tiga kebutuhan. Hal-hal yang memotivasi seseorang menurut Mc.Clelland dalam Hasibuan (2005), adalah :

a).Kebutuhan akan prestasi (Need for achievement).

Kebutuhan akan prestasi merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat bekerja seseorang untuk mengembangkan kreativitas dan mengarahkan semua kemampuan serta energi yang dimilikinya guna mencapai prestasi kerja yang


(45)

maksimal. Seseorang menyadari bahwa hanya dengan mencapai prestasi kerja yang tinggi akan memperoleh pendapatan yang besar yang akhirnya bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

b). Kebutuhan akan kekuasaan (Need for power)

Kebutuhan akan kekuasaan merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat kerja seseorang. Merangsang dan memotivasi gairah kerja seseorang serta mengerahkan semua kemampuannya demi mencapai kekuasaan atau kedudukan yang terbaik. Seseorang dengan kebutuhan akan kekuasaan tinggi akan bersemangat bekerja apabila bisa mengendalikan orang yang ada disekitarnya.

c). Kebutuhan akan afiliasi (Need for affiliation)

Kebutuhan akan afiliasi menjadi daya penggerak yang memotivasi semangat bekerja seseorang. Karena kebutuhan akan afiliasi akan merangsang gairah bekerja seseorang yang menginginkan kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain, perasaan dihormati, perasaan maju dan tidak gagal, dan perasaan ikut serta.

e. Teori Harapan (Expectancy Theory)

Pencetus pertama dari teori dari harapan ini adalah Victor H. Vroom dan merupakan teori motivasi yang relatif baru. Teori ini berpendapat bahwa orang-orang atau petugas akan termotivasi untuk bekerja atau melakukan hal-hal tertentu jika mereka yakin bahwa dari prestasinya itu mereka akan mendapatkan imbalan besar. Seseorang mungkin melihat jika bekerja dengan giat kemungkinan adanya suatu imbalan, misalnya kenaikan gaji, kenaikan pangkat dan inilah yang menjadi perangsang seseorang dalam bekerja dengan giat.


(46)

f. Teori Pembentukan Perilaku (Operant conditioning)

Teori ini berasumsi bahwa prilaku pegawai dapat dibentuk dan diarahkan kearah aktivitas pencapaian tujuan. Teori pembentukan perilaku sering disebut dengan istilah-istilah lain seperti : behavioral modification, positive reinforcement dan skinerian conditioning. Pendekatan pembentukan perilaku ini didasarkan atas pengaruh hukum (law of effect), yaitu perilaku yang diikuti konsekuensi pemuasan sering diulang sedangkan perilaku konsekuensi hukuman tidak diulang. Perilaku pegawai dimasa yang akan datang dapat diperkirakan dan dipelajari, berdasarkan pengalaman dimasa lalu.

Menurut teori pembentukan perilaku, perilaku pegawai dipengaruhi kejadian-kejadian atau situasi masa lalu. Apabila konsekuensi perilaku tersebut positif, maka pegawai akan memberikan tanggapan yang sama terhadap situasi lama, tetapi apabila konsekuensi itu tidak menyenangkan, maka pegawai cenderung mengubah perilakuya untuk menghindar dari konsekuensi tersebut.

g. Teori Keadilan (Equity theory)

Teori motivasi ini didasarkan pada asumsi bahwa pegawai akan termotivasi untuk meningkatkan produktivitas kerjanya, apabila ia diperlakukan secara adil dalam pekerjaannya. Keadilan adalah suatu keadilan yang muncul dalam pikiran seseorang, jika ia merasa bahwa rasio antara usaha dan imbalan adalah seimbang dengan rasio seseorang yang dibandingkan (Davis, 2004).

Ketidakadilan akan ditanggapi dengan bermacam-macam perilaku yang menyimpang dari aktivitas pencapaian tujuan seperti; menurunkan prestasi, mogok,


(47)

malas dan sebagainya. Inti dari teori ini adalah pegawai membandingkan usaha mereka terhadap imbalan yang diterima pegawai lainnya dalam situasi kerja yang relatif sama. Selain itu juga membandingkan imbalan dengan pengorbanan yang diberikan. Apabila mereka telah mendapatkan keadilan dalam bekerja, maka mereka termotivasi untuk meningkatkan produktivitas kerjanya.

Berdasarkan pembahasan tentang berbagai teori motivasi dan kebutuhan-kebutuhan yang mendorong manusia melakukan tingkah laku dan pekerjaan, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah keseluruhan daya penggerak atau tenaga pendorong baik yang berasal dari dalam maupun dari luar diri yang menimbulkan adanya keinginan untuk melakukan suatu kegiatan atau aktivitas dalam menjalankan tugas untuk mencapai tujuan.

Teori motivasi dalam penelitian ini digunakan teori motivasi dua arah yang dikemukakan Herzberg. Adapun pertimbangan peneliti karena teori yang dikembangkan Herzberg berlaku mikro, yaitu untuk karyawan atau pegawai pemerintahan yang hubungannya antara kebutuhan dengan performa pekerjaan.

2.2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Motivasi

Faktor motivasi dibedakan menjadi dua, yang pertama dinamakan situasi motivasi yang “subjective” atau faktor intrinsik dan yang kedua adalah faktor “objective” atau faktor ekstrinsik.

Faktor-faktor intrinsik adalah faktor-faktor yang timbul dari individu petugas dengan pekerjaanya yang sering disebut pula sebagai “job content factor”. Faktor tersebut diantaranya meliputi keberhasilan dalam melaksanakan tugas, memperoleh


(48)

pengakuan atas prestasinya, memperoleh tanggung jawab yang lebih besar dan memperoleh kemajuan kedudukan melalui promosi jabatan. Sejauh mana semuanya itu dapat terpenuhi secara positif bagi petugas, maka sejauh itu pula dorongan/ daya motivasinya untuk bekerja bagi tercapainya tujuan organisasi.

Gibson et.al. (1996), menyatakan penting diketahui bahwa manusia termotivasi untuk bekerja dengan bergairah ataupun bersemangat tinggi, apabila ia memiliki keyakinan akan terpenuhinya harapan-harapan yang didambakan serta tingkat manfaat yang akan diperolehnya. Motivasi yang timbul karena adanya usaha-usaha yang secara sadar dari manusia dan dilakukan untuk menimbulkan daya/ kekuatan/ dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu (perilaku) bagi tercapainya tujuan organisasi ditempat bekerja. Faktor-faktor tersebut meliputi upah atau gaji yang meningkat, adanya atasan atau pimpinan yang bijak, hubungan rekan sekerja yang baik, kebijaksanaan organisasi/ instansi yang tepat, lingkungan kerja fisik yang baik dan terjaminnya keselamatan kerja. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi terpenuhinya akan harapan-harapan dan hasil kongkrit yang akan diperolehnya, maka semakin tinggi pula motivasi positif yang akan ditunjukkan olehnya.

Faktor-faktor motivasi dua faktor Herzberg dalam Hasibuan (2005), yang disebut faktor intrinsik meliputi :

1) Tanggung jawab (Responsibility).

Setiap orang ingin diikutsertakan dan ingin diakui sebagai orang yang berpotensi, dan pengakuan ini akan menimbulkan rasa percaya diri dan siap memikul tanggung jawab yang lebih besar.


(49)

2) Prestasi yang diraih (Achievement)

Setiap orang menginginkan keberhasilan dalam setiap kegiatan. Pencapaian prestasi dalam melakukan suatu pekerjaan akan menggerakkan yang bersangkutan untuk melakukan tugas-tugas berikutnya.

3) Pengakuan orang lain (Recognition)

Pengakuan terhadap prestasi merupakan alat motivasi yang cukup ampuh, bahkan bisa melebihi kepuasan yang bersumber dari kompensasi.

4) Pekerjaan itu sendiri (The work it self)

Pekerjaan itu sendiri merupakan faktor motivasi bagi pegawai untuk berforma tinggi. Pekerjaan atau tugas yang memberikan perasaan telah mencapai sesuatu, tugas itu cukup menarik, tugas yang memberikan tantangan bagi pegawai, merupakan faktor motivasi, karena keberadaannya sangat menentukan bagi motivasi untuk berforma tinggi.

5) Kemungkinan Pengembangan (The possibility of growth)

Karyawan hendaknya diberi kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya misalnya melalui pelatihan-pelatihan, kursus dan juga melanjutkan jenjang pendidikannya. Hal ini memberikan kesempatan kepada karyawan untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan rencana karirnya yang akan mendorongnya lebih giat dalam bekerja.

6) Kemajuan (Advancement)

Peluang untuk maju merupakan pengembangan potensi diri seorang pegawai dalam melakukan pekerjaan, karena setiap pegawai menginginkan adanya


(50)

promosi kejenjang yang lebih tinggi, mendapatkan peluang untuk meningkatkan pengalaman dalam bekerja. Peluang bagi pengembangan potensi diri akan menjadi motivasi yang kuat bagi pegawai untuk bekerja lebih baik.

Sedangkan yang berhubungan dengan faktor ketidakpuasan dalam bekerja menurut Herzberg dalam Luthans (2003), dihubungkan oleh faktor ekstrinsik antara lain :

1). Gaji

Tidak ada satu organisasipun yang dapat memberikan kekuatan baru kepada tenaga kerjanya atau meningkatkan produktivitas, jika tidak memiliki sistem kompensasi yang realitis dan gaji bila digunakan dengan benar akan memotivasi pegawai.

2). Keamanan dan keselamatan kerja

Kebutuhan akan keamanan dapat diperoleh melalui kelangsungan kerja. 3). Kondisi kerja

Dengan kondisi kerja yang nyaman, aman dan tenang serta didukung oleh peralatan yang memadai, karyawan akan merasa betah dan produktif dalam bekerja sehari-hari.

4). Hubungan kerja

Untuk dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik, haruslah didukung oleh suasana atau hubungan kerja yang harmonis antara sesama pegawai maupun atasan dan bawahan.


(51)

5). Prosedur perusahaan

Keadilan dan kebijakasanaan dalam mengahadapi pekerja, serta pemberian evaluasi dan informasi secara tepat kepada pekerja juga merupakan pengaruh terhadap motivasi pekerja.

6). Status

Merupakan posisi atau peringkat yang ditentukan secara sosial yang diberikan kepada kelompok atau anggota kelompok dari orang lain Status pekerja memengaruhi motivasinya dalam bekerja. Status pekerja yang diperoleh dari pekerjaannya antara lain ditunjukkan oleh klasifikasi jabatan, hak-hak istimewa yang diberikan serta peralatan dan lokasi kerja yang dapat menunjukkan statusnya.

2.2.4 Manfaat Motivasi

Manfaat motivasi yang utama adalah menciptakan gairah kerja, sehingga produktivitas kerja meningkat. Sementara itu manfaat yang diperoleh karena bekerja dengan orang-orang yang termotivasi adalah pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat. Artinya pekerjaan diselesaikan sesuai standar yang ditetapkan dan dalam skala waktu yang sudah ditentukan, serta orang senang melakukan pekerjaannya.

Sesuatu yang dikerjakan dengan adanya motivasi yang mendorongnya akan membuat orang senang melakukannya. Orang pun akan merasa dihargai atau diakui, hal ini terjadi karena pekerjaannya itu betul-betul berharga bagi orang yang termotivasi, sehingga orang tersebut akan bekerja keras. Hal ini dimaklumi karena dorongan yang begitu tinggi menghasilkan sesuai target yang mereka tetapkan.


(52)

Kinerjanya akan dipantau oleh individu yang bersangkutan dan tidak akan membutuhkan terlalu banyak pengawasan serta semangat juangnya akan tinggi (Arep dan Tanjung, 2003).

2.3 Pengelolaan Obat 2.3.1 Pengertian Obat

Obat adalah bahan atau paduan bahan-bahan yang digunakan untuk memengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi termasuk produk biologi

Obat merupakan komponen yang penting dalam upaya pelayanan kesehatan baik di Pusat Pelayanan Kesehatan primer maupun di tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi. Keberadaan obat merupakan kondisi pokok yang harus terjaga ketersediaannya. Penyediaan obat sesuai dengan tujuan pembangunan kesehatan yaitu menjamin tersedianya obat dengan mutu terjamin dan tersedia merata dan teratur sehingga mudah diperoleh pada tempat dan waktu yang tepat.

2.3.2 Proses Pengelolaan Obat di Puskesmas

Hal yang masih menjadi masalah di bidang pelayanan kefarmasian, obat, sediaan farmasi dan alat kesehatan adalah menyangkut ketersediaan, keamanan manfaat, serta mutu dengan jumlah dan jenis yang cukup serta terjangkau dan mudah di akses oleh masyarakat (Depkes, 2004).


(53)

Untuk memberikan/ melaksanakan pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada penerapan hasil pengobatan yang optimal bagi pasien maka diperlukan jaminan ketersediaan barang dan dana yang cukup sehingga pelayanan kepada pasien berjalan lancar. Kelancaran pelayanan kepada pasien di instalasi farmasi rumah sakit ditentukan oleh kelancaran komponen-komponen yang terlibat ataupun yang membawa pengaruh terhadap pelayanan tersebut, salah satunya adalah jaminan kelancaran obat-obatan (persediaan obat).

Hal ini berarti operasional pelayanan yang telah di susun harus dilakukan proses pengendalian persediaan obat-obatan yang tujuannya agar tidak terjadi gangguan dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Sistem pengendalian obat-obatan yang bertujuan untuk meningkatkan kelancaran pelayanan bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan, sering didapat masalah-masalah dalam sistem pengendalian persediaan obat-obatan yang memengaruhi kelancaran pelayanan itu sendiri. Menurut Handoko (2003) yang dimaksud persediaan adalah suatu istilah umum yang menunjukkan seagala sesuatu sumber daya-sumber daya organisasi yang disimpan dalam antisipasi terhadap pemenuhan permintaan-permintaan akan sumber daya internal atau external. Persediaan ini memungkinkan organisasi dapat memenuhi permintaan langganan tanpa tergantung dari suplier.

Proses pengelolaan obat terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahap perencanaan, tahap pengadaan, tahap penyimpanan, tahap distribusi dan tahap penggunaan (Quick et al., 1997). Pengadaan obat adalah salah satu aspek penting dan menentukan dalam pengelolaan obat. Tujuan pengadaan obat adalah tersedianya obat dengan jenis dan


(54)

jumlah yang cukup sesuai dengan kebutuhan dengan mutu yang terjamin serta dapat diperoleh pada saat yang diperlukan.

Pengelolaan obat adalah suatu urutan kegiatan yang mencakup perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, dan pencatatan/pelaporan obat (Ditjen POM, 2000).

a. Perencanaan obat di kabupaten dilakukan oleh tim perencana obat terpadu kabupaten yang dibentuk dengan keputusan Bupati atau pejabat yang mewakilinya. Perencanaan obat dapat dihitung menggunakan metode konsumsi obat dan metode morbiditas (Ditjen POM, 2000).

b. Pengadaan obat dilakukan setelah tim perencanaan obat terpadu kabupaten melakukan penghitungan biaya kebutuhan obat dalam rupiah yang disesuaikan dengan dana yang tersedia. Salah satu hal yang penting dalam pengadaan obat adalah kesesuaian jumlah dan jenis obat antara yang direncanakan dan yang diadakan, untuk mencegah kekurangan atau kelebihan obat (Ditjen POM, 2000). c. Penyimpanan obat setiap obat yang disimpan dilengkapi dengan kartu stok untuk

mencatat setiap mutasi obat. Penyimpanan obat harus sedemikian rupa sehingga memudahkan distribusi obat secara FIFO (first in first out), yaitu sisa stok tahun lalu digunakan lebih dahulu daripada pengadaan baru untuk mencegah terjadinya obat rusak atau obat daluwarsa (Ditjen POM, 2000).

d. Pendistribusian obat dari GFK ke puskesmas dilakukan secara bijaksana agar obat yang tersedia di kabupaten dapat tersebar merata memenuhi kebutuhan puskesmas (Ditjen POM, 2000).


(55)

e. Pencatatan/ Pelaporan obat merupakan fungsi pengendalian dan evaluasi administratif obat mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, sampai pendistribusian obat. Pencatatan perencanaan kebutuhan jumlah dan jenis obat digunakan untuk mengevaluasi kesesuaian dengan pengadaan obat. Pencatatan penggunaan total semua jenis obat pada pasien puskesmas, sisa stok obat, dan pola penyakit dapat digunakan untuk perencanaan kebutuhan obat tahun mendatang (Ditjen POM, 2000).

2.3.3 Kerasionalan Obat

Kerasionalan obat merupakan faktor yang sangat penting dalam perencanaan kebutuhan obat. Penggunaan obat yang irasional (tidak rasional) dapat berpengaruh negatif terhadap mutu pelayanan, dampak ekonomi dan efek samping pengguna obat. Dengan kata lain keirasionalan penggunaan obat akan berefek perencanaan kebutuhan obat tidak efektif dan tidak efisien (Depkes RI, 1996)

Pengelolaan obat merupakan serangkaian kegiatan yang menyangkut aspek perencanaan, pengadaan, pendistribusian dan penggunaan serta pelayanan obat dengan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia seperti tenaga, dana dan perangkat lunak (metode dan tatalaksana) dalam upaya mencapai tujuan yang ditetapkan di berbagai tingkat unit kerja. Pengelolaan obat bertujuan untuk terlaksananya optimasi penggunaan obat melalui peningkatan efektifitas dan efisiensi pengelolaan obat dan penggunaan obat secara tepat dan rasional (Depkes RI, 1994).

Menurut hasil konferensi WHO di Nairobi 1985, yang dikemukakan oleh Thabrany Hasbullah, definisi penggunaan obat rasional adalah kebutuhan obat sesuai


(56)

dengan kepentingan kedokteran dan klinik, sesuai dengan dosis individu, jangka waktu pemberian cukup, harga murah dan dapat dijangkau oleh masyarakat luas. Definisi ini didasarkan pada rasional obat menurut acuan biomedical context. Tetapi ketentuan ini belum dipatuhi oleh pasien dan provider (Budiarto dkk, 2003)

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam Depkes RI (1996), penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria antara lain :

1. Sesuai dengan indikasi penyakit,

2. Tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau, 3. Diberikan dengan dosis yang tepat,

4. Cara pemberian dengan interval waktu pemberian yang tepat, 5. Lama pemberian tepat,

6. Obat yang diberikan harus efektif, dengan mutu terjamin dan aman.

Menurut Depkes RI (1996), dengan demikian secara garis besar, penggunaan obat dikatakan rasional bila memenuhi persyaratan antara lain :

1. Ketepatan diagnosis,

2. Ketepatan indikasi pemakaian obat, 3. Ketepatan pemilihan obat,

4. Ketepatan dosis, cara dan lama pemberian, 5. Ketepatan penilaian terhadap kondisi pasien, 6. Ketepatan pemberian informasi,


(57)

2.3.4 Tugas Pokok dan Fungsi (TUPOKSI) Pengelola Obat Puskesmas

Sesuai dengan pedoman pengelolaan obat publik dan perbekalan di puskesmas (Depkes RI, 2004), bahwa Tugas dan Fungsi (TUPOKSI) pengelola obat di puskesmas meliputi tahap kegiatan perencanaan, pengadaan, pendistribusian dan penggunaan, dengan uraian tugas masing-masing tahap kegiatan sebagai berikut:

a. Perencanaan merupakan suatu proses kegiatan seleksi obat untuk menentukan jumlah obat sesuai kebutuhan puskesmas. Tugas pengelola obat dalam kegiatan perencanaan ini adalah: (1) menyusun data obat yang masih tersedia (stok), (2) menghitung kebutuhan obat puskesmas

b. Pengadaan merupakan proses kegiatan penyediaan obat puskesmas sesuai kebutuhan. Tugas pengelola obat dalam kegiatan pengadaan ini adalah: (1) pengadaan rutin sesuai jadwal dari Dinas Kesehatan, (2) pengadaan obat khusus bila terjadi kebutuhan meningkat, menghindari kekosongan, penanganan Kejadian Luar Biasa (KLB), (3) setiap pengadaan obat petugas harus melakukan pengecekan (jumlah, kemasan dan jenis obat) disesuaikan dengan dokumen pengadaan obat, (4) melakukan penyimpanan obat sesuai dengan memperhatikan: kondisi persyaratan gudang, pengaturan penyimpanan obat, kondisi penyimpanan (kelembaban, sinar matahari, temperatur/panas, kerusakan fisik, kontaminasi bakteri, pengotoran), (5) memperhatikan tata cara penyimpanan obat, (6) pengamatan mutu obat

c. Distribusi merupakan kegiatan pengeluaran dan penyerahan obat secara merata dan teratur untuk memenuhi sub-sub unit pelayanan puskesmas. Tugas


(58)

pengelola obat dalam tahap distribusi adalah: (1) menentukan frekuensi distribusi, (2) menentukan jumlah dan jenis obat yang diberikan, (3) melaksanakan penyerahan obat, (4) melakukan pengendalian obat untuk menghindari kelebihan dan kekosongan obat di unit pelayanan.

d. Penggunaan adalah proses kegiatan yang meliputi penerimaan resep dokter sampai penyerahan obat kepada pasien. Tugas pengelola obat pada tahap penggunaan ini adalah: (1) penetapan ruang pelayanan obat, (2) penyiapan obat, (3) penyerahan obat, (4) memberikan informasi obat, (5) memperhatikan etika pelayanan, (6) membuat daftar perlengkapan peracikan obat.

Tupoksi berdasarkan pengelolaan obat publik dan perbekalan di puskesmas (Depkes, 2003) merupakan pedoman umum untuk seluruh unit pelayanan (puskesmas dan puskesmas pembantu) di seluruh Indonesia, namun dalam pelaksanannya di lapangan, setiap puskesmas dapat membuat tupoksi tersendiri dengan tetap berpedoman kepada pedoman umum yang telah ditetapkan.

Di puskesmas dan puskesmas pembantu dalam wilayah Kota Medan ditetapkan tupoksi pengelola obat sebagai berikut: (a) petugas menerima obat dari Gudang Farmasi sesuai amprahan /slip penerimaan obat, (b) petugas menyimpan obat sesuai dengan bentuk sediaan, abjad nama obat dengan memperhatikan waktu daluwarsa (bila ada) (c) petugas mencatat per jenis obat dalam kartu stok obat, (d) petugas mendistribusikan obat ke unit pelayanan sesuai dengan permintaan, (e) petugas mencatat obat yang didistribusikan ke unit pelayanan ke dalam buku register


(59)

harian, (f) petugas membuat Lembar Permintaan dan Laporan Penerimaan Obat (LPLPO) setiap akhir bulan.

2.4 Puskesmas

2.4.1 Pengertian Puskesmas

Pengertian puskesmas adalah merupakan kesatuan organisasi fungsional yang menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata dapat diterima dan terjangkau oleh masyarakat dengan peran serta aktif masyarakat dan menggunakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, dengan biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah dan masyarakat. Upaya tersebut diselenggarakan dengan menitikberatkan pada pelayanan untuk masyarakat luas guna mencapai derajat kesehatan yang optimal, tanpa mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan (Depkes RI, 2004). Maksud dari pelayanan yang menyeluruh adalah pelayanan kesehatan meliputi Promotif (peningkatan kesehatan), Preventif (pencegahan penyakit), Kuratif (penyembuhan penyakit) maupun Rehabilitatif (pemulihan penyakit) dan ditujukan untuk semua golongan, umur dan jenis kelamin. Pengertian terpadu atau integrasi menurut WHO, bila dilihat dari aspek fungsional, integrasi adalah suatu upaya untuk menyatukan berbagai fungsi dan struktur administratif yang berdiri sendiri sedemikian rupa sehingga menjadi satu kesatuan.


(60)

2.4.2 Fungsi Puskesmas

Puskesmas diharapkan dapat bertindak sebagai motivator, fasilitator dan turut serta memantau terselenggaranya proses pembangunan di wilayah kerjanya agar berdampak positif terhadap kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya. Hasil yang diharapkan dalam menjalankan fungsi ini antara lain adalah terselenggaranya pembanguanan diluar bidang kesehatan yang mendukung terciptanya lingkungan dan perilaku sehat. Sebagai pusat pembangunan berwawasan kesehatan puskesmas harus secara pro aktif menjalin kemitraan dengan bidang pembangunan (sektor) lain di tingkat kecamatan melalui pertemuan-pertemuan koordinasi membahas situasi dan upaya peningkatan kesehatan lingkungan dan perilaku hidup sehat masyarakat.

Sebagai pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama di wilayah kerjanya, puskesmas merupakan sarana pelayanan kesehatan pemerintah yang wajib menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara bermutu, terjangkau, adil dan merata. Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan adalah pelayanan kesehatan dasar yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat dan sangat startegis dalam upaya peningkatan status kesehatan masyarakat umum.

Upaya pelayanan yang diselenggarakan meliputi:

a) Pelayanan kesehatan masyarakat yang lebih mengutamakan pelayanan promotif dan preventif, dengan kelompok masyarakat serta sebagian besar diselenggarakan bersama masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas.


(61)

b) Pelayanan medik dasar yang lebih mengutamakan pelayanan, kuratif dan rehabilitatif dengan pendekatan individu dan keluarga pada umumnya melalui upaya rawat jalan dan rujukan.

Pada kondisi tertentu dan bila memungkinkan dapat dipertimbangkan puskesmas memberikan pelayanan rawat inap sebagai rujukan antara sebelum rujukan ke rumah sakit. Upaya-upaya tersebut diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan serta berorientasi kepada kepuasan masyarakat. (Depkes RI, 2004).

2.4.3 Program Puskesmas 1. Program Kesehatan Dasar

Program kesehatan dasar puskesmas adalah program yang ditetapkan berdasarkan kebutuhan sebagian besar masyarakat Indonesia serta mempunyai kemampuan dalam mengatasi permasalahan kesehatan nasional dan internasional yang berkaitan dengan kesakitan, kecacatan dan kematian.

Program kesehatan dasar tersebut adalah : (a) promosi kesehatan, (b) kesehatan lingkungan, (c) kesehatan Ibu dan Anak, termasuk keluarga berencana, (d) perbaikan gizi, (e) pemberantasan penyakit menular, dan (f) pengobatan. Rincian masing-masing kegiatan dari program kesehatan dasar diserahkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bersama dengan puskesmas sesuai dengan masalah kesempatan dan mengacu pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang telah ditetapkan serta sesuai dengan kemampuan dan potensial setempat.


(62)

2. Program Kesehatan Pengembangan

Program pengembangan hendaknya merupakan program yang sesuai dengan permasalahan kesehatan masyarakat setempat dan sesuai tuntutan masyarakat sebagai program inovatif dengan mempertimbangkan kemampuan sumber daya yang tersedia dan dukungan dari masyarakat. Program kesehatan pengembangan tersebut antara lain program kesehatan kerja masyarakat, program kesehatan gigi, program kesehatan manula, program kesehatan olah raga, pengembangan puskesmas dengan rawat inap, puskesmas dengan tempat bersalin, puskesmas dengan pengobatan tradisional dan lain-lain.

2.5 Landasan Teori

Kinerja secara teoritis dalam penelitian ini mengacu kepada teori Werther dan Davis (1996), yaitu variabel (a) performance, keberhasilan atau pencapaian tugas dalam jabatan, (b) competency, kemahiran atau penguasaan pekerjaan sesuai dengan tuntutan jabatan, (c) job behavior, kesediaan untuk menampilkan perilaku atau mentalitas yang mendukung peningkatan prestasi kerja, dan (d) potency, kemampuan pribadi yang dapat dikembangkan, penggunan teori ini lebih relevan dengan kondisi riil lapangan.

Teori motivasi yang digunakan dalam penelitian mengacu kepada teori motivasi Herzberg dalam Hasibuan (2005), meliputi motivasi intrinsik: (a) tanggung jawab, (b) prestasi yang diraih, (c) pengakuan orang lain, (d) pekerjaan itu sendiri, (e) kemungkinan pengembangan, (f) kemajuan. Sedangkan motivasi ektstrinsik meliputi:


(63)

(a) gaji, (b) keamanan dan keselamatan kerja, (c) kondisi kerja, (d) hubungan kerja, (e) prosedur perusahaan dan (f) status. Adapun landasan teori dirangkum seperti pada Gambar 2.1. berikut:

Gambar 2.1 Landasan Teori

Sumber : Herzberg dalam Hasibuan (2005), Werther dan Davis (1996)

Motivasi Intrinsik

a. Tanggung jawab

b. Prestasi yang diraih

c. Pengakuan orang lain

d. Pekerjaan itu sendiri

e. Kemungkinan Pengembangan

f. Kemajuan

Kinerja

a. Perencanaan b. Pengadaan c. Pendistribusian d. Penggunaan

Ekstrinsik

a. Insentif

b. Keamanan dan keselamatan kerja c. Kondisi kerja

d. Hubungan kerja e. Prosedur perusahaan f. Status


(64)

2.6 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan landasan teori maka dapat digabungkan menjadi suatu pemikiran yang terintegrasi. Motivasi yang digunakan dalam penelitian mengacu kepada teori motivasi Herzberg dalam Hasibuan (2005) sedangkan kinerja pengelola obat di puskesmas dalam penelitian ini mengacu kepada Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) pengelola obat sebagai indikator kinerja meliputi; perencanaan, pengadaan, pendistribusian dan penggunaan (Depkes RI, 2004). Pemikiran yang terintegrasi tersebut merupakan kerangka konsep dalam penelitian ini dengan model sebagai berikut :

Variabel independen (X) Variabel dependen (Y)

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

5 Dokumentasi ... 152 6 Surat Ijin penelitian dari Program Studi S2 IKM FKM USU Medan ... 154 7. Surat Ijin selesai penelitian dari Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat .... 155

Kinerja Pengelola Obat Berdasarkan Tupoksi (Y) Motivasi

Intrinsik (X1)


(65)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah survei explanatory, yang bertujuan menganalisis pengaruh motivasi terhadap kinerja pengelola obat di Puskesmas Kota Medan. Survei explanatory adalah penelitian yang dirancang untuk menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesa (Singarimbun, 1989).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kota Medan, dengan melihat kecenderungan kinerja pengelola obat belum optimal di Puskesmas Kota Medan.

3.2.2 Waktu penelitian

Penelitian ini dimulai dengan melakukan survei awal sampai seminar hasil penelitian direncanakan berlangsung selama 5 bulan, terhitung mulai bulan Juni sampai dengan Oktober 2011.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pengelola obat yang bertugas di Puskesmas Kota Medan sebanyak 39 orang.


(1)

Correlations

1.000 .599** .535**

. .000 .000

39 39 39

.599** 1.000 .067

.000 . .684

39 39 39

.535** .067 1.000

.000 .684 .

39 39 39

Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N

Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N

Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N

Kinerja

Motivasi Intrinsik

Motivasi ekstrinsik

Kinerja

Motivasi Intrinsik

Motivasi ekstrinsik

Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). **.


(2)

US Lampiran 6 : Hasil Uji Regresi

Regression

Variables Entered/Removedb

Motivasi ekstrinsik, Motivasi Intrinsika . Enter Model 1 Variables Entered Variables Removed Method

All requested variables entered. a.

Dependent Variable: Kinerja b.

Model Summary

.777a .604 .582 5.71

Model 1

R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate Predictors: (Constant), Motivasi ekstrinsik, Motivasi Intrinsik

a.

ANOVAb

1791.552 2 895.776 27.489 .000a

1173.115 36 32.587

2964.667 38 Regression Residual Total Model 1 Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Predictors: (Constant), Motivasi ekstrinsik, Motivasi Intrinsik a.

Dependent Variable: Kinerja b.

Coefficientsa

.082 8.183 .010 .992

.307 .057 .565 5.378 .000

.550 .116 .497 4.730 .000

(Constant) Motivasi Intrinsik Motivasi ekstrinsik Model

1

B Std. Error Unstandardized Coefficients Beta Standardi zed Coefficien ts t Sig.

Dependent Variable: Kinerja a.


(3)

Lampiran 7. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas

No Pertanyaan Keterangan

Motivasi Intrinsik

1 Tanggung jawab 1 Valid

2 Tanggung jawab 2 Valid

3 Tanggung jawab 3 Valid

4 Tanggung jawab 4 Valid

5 Tanggung jawab 5 Valid

1 Prestasi 1 Valid

2 Prestasi 2 Valid

3 Prestasi 3 Valid

4 Prestasi 4 Valid

5 Prestasi 5 Valid

1 Pengakuan orang lain 1 Valid

2 Pengakuan orang lain 2 Valid

3 Pengakuan orang lain 3 Valid

4 Pengakuan orang lain 4 Valid

1 Pekerjaan itu sendiri 1 Valid

2 Pekerjaan itu sendiri 2 Valid

3 Pekerjaan itu sendiri 3 Valid

4 Pekerjaan itu sendiri 4 Valid

5 Pekerjaan itu sendiri 5 Valid

1 Kemungkinan pengembangan 1 valid

2 Kemungkinan pengembangan 2 valid

3 Kemungkinan pengembangan 3 valid

4 Kemungkinan pengembangan 4 valid

1 Kemajuan 1 valid

2 Kemajuan 2 valid


(4)

Tabel 3.1. Lanjutan Motivasi Ekstrinsik

1 Insentif 1 valid

2 Insentif 2 valid

3 Insentif 3 valid

4 Insentif 4 valid

5 Insentif 5 valid

1 Kondisi kerja 1 valid

2 Kondisi kerja 2 valid

3 Kondisi kerja 3 valid

4 Kondisi kerja 4 valid

1 Hubungan kerja 1 valid

2 Hubungan kerja 2 valid

3 Hubungan kerja 3 valid

4 Hubungan kerja 4 valid

1 Prosedur kerja 1 valid

2 Prosedur kerja 2 valid

3 Prosedur kerja 3 valid

4 Prosedur kerja 4 valid

5 Prosedur kerja 5 valid

Kinerja

1 Kinerja pengelola obat 1 valid 2 Kinerja pengelola obat 2 valid 3 Kinerja pengelola obat 3 valid 4 Kinerja pengelola obat 4 valid 5 Kinerja pengelola obat 5 valid 6 Kinerja pengelola obat 6 valid 7 Kinerja pengelola obat 7 valid 8 Kinerja pengelola obat 8 valid 9 Kinerja pengelola obat 9 valid 10 Kinerja pengelola obat 10 valid 11 Kinerja pengelola obat 11 valid 12 Kinerja pengelola obat 12 valid


(5)

14 Kinerja pengelola obat 14 valid 15 Kinerja pengelola obat 15 valid


(6)

Tabel 3.1. Lanjutan

16 Kinerja pengelola obat 16 valid 17 Kinerja pengelola obat 17 valid 18 Kinerja pengelola obat 18 valid 19 Kinerja pengelola obat 19 valid 20 Kinerja pengelola obat 20 valid 21 Kinerja pengelola obat 21 valid 22 Kinerja pengelola obat 22 valid 23 Kinerja pengelola obat 23 valid 24 Kinerja pengelola obat 24 valid

U

... 155