Ketahanan Fiber Plastic Composite (FPC) terhadap Organisme Penggerek di Laut (Marine Borer)

TINJAUAN PUSTAKA
Fiber Plastic Composite (FPC)
Komposit serbuk kayu-plastik (woodflour polipropylene composite) adalah
suatu produk komposit yang terbuat dari plastik yang berfungsi sebagai pengikat
atau matriks dan serbuk kayu sebagai pengisi (Sulaeman, 2003). Menurut
Osswald dan Mengers (1996) dalam Iswanto (2005), secara garis besar plastik
dapat dibedakan atas dua tipe, yaitu plastik yang bersifat thermoplastic dan plastik
yang thermoset. Thermoplastic adalah plastik yang dapat dilunakkan berulang kali
(recycling) dengan menggunakan panas. Thermoplastic merupakan polimer yang
akan menjadi keras apabila didinginkan. Jika dipanaskan, material ini memiliki
kemampuan untuk mengalir atau mencair kembali. Polymer thermoplastic dapat
dibagi menjadi dua kelas utama, yaitu polimer amorphous dan semi crystalline.
Secara umum plastik merupakan campuran bahan yang dapat dibentuk
menjadi serat, lembaran atau padatan, dapat dicetak untuk kemudian mengeras
dengan ketegaran yang beraneka ragam. Bahan utama plastik adalah resin atau
polimer sintetis yang diperoleh dari proses polimerisasi senyawa hidrokarbon.
Bila polimer alam berasal dari tumbuh-tumbuhan, maka polimer sintetis
dihasilkan dari pemrosesan petrokimia. Plastik mengandung beberapa bahan
tambahan untuk meningkatkan kualitas plastik sesuai dengan kebutuhan. Proses
pencampuran dikenal sebagai compounding dilakukan agar bahan-bahan dapat
tercampur serata mungkin (Syafitrie, 2001 dalam Risnasari, 2006).

Titik lemah produk papan serat adalah sifat kestabilan dimensi yang perlu
ditingkatkan karena dapat menurunkan kualitas produk tersebut. Sifat ini
berhubungan erat dengan kemampuan kayu untuk mengembang dan menyusut.

Universitas Sumatera Utara

Ketidakstabilan dimensi pada arah tebal terjadi disebabkan oleh pengembangan
tebal yang dapat pulih (reversible sweeling) dan juga akibat pelepasan tegangan
sisa

yang

terjadi

pada

saat

pengempaan


(irreversible

swelling)

(Rowell et al., 1990 dalam Fatriasari, 2001).
Serat yang panjang akan membentuk anyaman serat yang kuat dibandingkan
dengan serat pendek, sehingga papan serat yang dihasilkan mempunyai kekuatan
yang tinggi. Tetapi serat yang panjangnya lebih besar dari 5 mm, cenderung
menggumpal sehingga harus dipotong terlebih dahulu. Pada pembuatan papan
serat, panjang serat berpengaruh terhadap orientasi serat dalam papan. Serat yang
panjang umumnya lebih mudah disusun horizontal, secara mekanis maupun
dengan medan listrik; sedangkan serat pendek cenderung tersusun vertikal pada
papan sehingga menghasilkan sifat mekanis yang lebih rendah. Panjang serat juga
berpengaruh terhadap stabilitas dimensi akibat pelepasan dan penyerapan air,
dimana makin panjang serat maka makin kecil perubahan panjang papan serat
(Suchland dan Woodson, 1986 dalam Fatriasari, 2001).
Berdasarkan penelitian Firdaus dan Fajriyanto (2006), menunjukkan bahwa
variasi komposisi dan nisbah bahan dalam pembuatan fiberboard mempengaruhi
sifat mekanik dari fiberboard tersebut. Komposisi optimal yang diperoleh adalah
50% : 50% antara limbah tandan kosong kelapa sawit dengan sampah plastik

thermoplastic. Selain itu, Fajriyanto dan Feris (2008) juga mengatakan bahwa
karakteristik mekanik papan komposit yang berasal dari limbah pabrik kertas
(sludge) sabut kelapa dan sampah plastik dipengaruhi oleh variasi komposisi
bahan baku, variasi pembebanan pada saat casting (pencetakan) dan variasi berat
sabut kelapa.

Universitas Sumatera Utara

Lazimnya untuk semua bahan komposit akan terdapat dua fasa berlainan
yang dipisahkan oleh suatu kawasan yang dinamakan antar muka. Daya sentuhan
dan daya kohesif pada bagian antar muka amat penting karena antara muka
pengisi-matriks ialah bagian yang memindahkan beban dari fasa matriks kepada
fasa penguat atau fasa tersebar (Hull, 1992). Unjuk kerja dan stabilitas dari bahan
komposit yang diperkuat oleh serat tergantung kepada suatu ikatan antar muka
antara serat dan matriks. Pada komposit-komposit yang diperkuat dengan pengisi
alami biasanya terdapat suatu kekurangan pada adhesi antar muka di antara seratserat selulosa hidrofilik dengan resin-resin hidrofobik yang berpengaruh terhadap
ketidakserasian (incompability). Keberadaan senyawa-senyawa waxy pada
permukaan serat juga akan berakibat tidak efektifnya ikatan antara resin dengan
serat serta mengakibatkan pembasahan pada permukaan yang tidak baik. Selain
hal tersebut di atas, keberadaan air dan gugus-gugus hidroksil khususnya daerahdaerah amorf melemahkan kemampuan dari serat untuk memperbaiki karakteristik

adhesi dengan bahan pengikat. Kandungan air dan penyerapan kelembaban yang
tinggi pada serat-serat selulosa menyebabkan pembengkakan (swelling) dan efek
pemplastikan yang menyebabkan ketidakstabilan dimensional dan menurunkan
sifat-sifat mekanik (Mwaikambo dan Ansell, 1999).
Polipropilena
Polipropilena atau polipropena (PP) adalah sebuah polimer thermoplastic
yang dibuat oleh industri kimia dan digunakan dalam berbagai aplikasi,
diantaranya pengemasan, tekstil (contohnya tali, pakaian termal, dan karpet), alat
tulis, berbagai tipe wadah terpakaikan ulang serta bagian plastik, perlengkapan
laboratorium pengeras suara, komponen otomotif, dan uang kertas polimer

Universitas Sumatera Utara

(Lubis, 2009). Polipropilena merupakan makromolekul thermoplastic (dapat
dilelehkan) rantai jenuh (tidak memiliki ikatan rangkap) yang terdiri atas
propilena sebagai gugus yang berulang. Polipropilen merupakan polimer kristalin
yang dihasilkan dari proses polimerisasi gas propilena.

Gambar 1. Rumus Bangun Polipropilena (PP)


Menurut Syarief et al. (1989) polipropilena memiliki karakteristik khusus
seperti tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik polipropilena
Deskripsi
Densitas pada suhu 200C (g/cm3)
Konduktivitas w/m
Suhu melunak (0C)
Titik lebur (0C)
Kristalinitas (%)
Indeks fluiditas
Modulus of elasticity (kg/cm2)
Tahanan volumetrik (Ohm/cm2)
Konstanta dielektrik (60-108 cycles)
Permeabilitas gas-Nitrogen
Oksigen
Gas karbon
Uap air

Polipropilena
0,90

0,12
149
170
60-70
0,2-2,5
11.000-13.000
1.017
2,3
4,4
2,3
92
600

Kardus Bekas
Willy dan Yahya (2001) menyatakan kertas merupakan barang yang banyak
digunakan oleh masyarakat dengan berbagai usia. Bila telah digunakan, sampah
kertas sering dibuang begitu saja tanpa adanya pengolahan lebih lanjut. Walaupun
mudah hancur, sampah kertas tetap dapat menimbulkan masalah yang dapat
menganggu kebersihan dan keindahan lingkungan. Padahal sampah-sampah kertas
yang sudah tidak terpakai tersebut dapat dimanfaatkan kembali melalui proses


Universitas Sumatera Utara

daur ulang. Proses ini akan mengubah sampah kertas menjadi kertas baru yang
dapat digunakan kembali. Baik sampah kertas yang berasal dari koran atau
majalah bekas, kardus bekas, buku tulis atau buku catatan yang sudah tidak
terpakai atau kertas HVS bekas, semuanya dapat didaur ulang menjadi barang
baru yang dapat dimanfaatkan lagi. Secara tidak langsung pemanfaatan kertas
bekas dapat mengurangi laju kerusakan hutan.
Ketika pertama kali serat dibuat menjadi kertas terdapat fase pengeringan.
Pengeringan menyebabkan pengerasan pada permukaan serat dan penyusutan
pada pori yang menyebabkan air bergerak di antara serat. Perubahan ini
mengurangi fleksibilitas dari serat kayu dan mengurangi kemampuan untuk saling
mengikat, mengakibatkan pulp terdaur ulang lebih pendek, lebih kaku yang
menghasilkan kertas lebih lemah. Serat terdaur ulang juga lebih kotor dari pulp
awal karena tinta atau kontaminan lainnya tidak tereliminasi dari pulp. Hal ini
mengakibatkan serat kertas yang didaur ulang lebih lemah dari serat awal
(Forest Product Laboratory, 1995).
Marine Borer
Bor laut (marine borer) merupakan invertebrata yang mengebor kayu dan

benda-benda keras lain di laut dan perairan payau, yang menjadi habitat
tempatnya menempel dan mencari makan (Muslich, 1988). Kecepatan daya serang
penggerek kayu di laut tergantung dari jenis kayu, jenis organisme yang
menyerang dan kondisi lingkungan. Hal ini menyebabkan laju serangan
penggerek kayu di laut pada tiap jenis kayu berbeda (Muslich dan Sumarni, 1987).
Fluktuasi temperatur dan salinitas pada setiap daerah berbeda-beda. Hal ini
mengakibatkan aktifitas serangan penggerek kayu di laut pada setiap daerah tidak

Universitas Sumatera Utara

sama. Sebagai contoh, tiang-tiang dermaga dari kayu Greenheart yang digunakan
di pelabuhan Liverpool, Inggris selama 80 tahun dinilai masih dalam keadaan
baik, akan tetapi di pelabuhan Salem, Inggris dan pelabuhan-pelabuhan di India
ternyata jenis kayu yang sama hanya bisa bertahan selama 4-10 tahun saja
(Nugroho, 2007).
Organisme penggerek kayu di laut yang sering dijumpai yaitu dari golongan
Mollusca dan Crustacea. Golongan Mollusca dibedakan menjadi dua famili yaitu
Teredinidae dan Pholadidae, sedangkan golongan Crustacea dibedakan menjadi
tiga famili yaitu Limnoridae, Sphaeromatidae dan Cheluridae. Penyebaran
organisme ini sangat luas dan dapat dijumpai baik di laut, pantai atau di perairan

payau. Di daerah tropis organisme ini berkembang dengan pesat dan dapat
dijumpai sepanjang tahun (Muslich dan Sumarni, 2008).
Genus Teredo dan Bankia yang biasa dikenal sebagai cacing kapal
merupakan marga yang terpenting dari famili Teredinidae. Mereka terlihat sama,
tubuh lunak, panjang, dan silindris serta terlihat seperti cacing (Turner, 1966).
Bagian tubuh Teredinidae yang lunak terletak pada bagian luar cangkangnya,
memanjang seperti cacing, kepalanya dilengkapi dengan sepasang cangkuk yang
keras dan berbentuk seperti sabit. Pada bagian ujung belakang tubuh Teredinidae
terdapat palet yang melekat pada siphon. Siphon berfungsi sebagai alat
metabolisme dan komunikasi. Sedangkan palet berguna untuk menutup dan
membuka lubang pada permukaan kayu. Palet tersebut sangat penting untuk
identifikasi jenis. Lubang gerek Teredinidae dilapisi oleh zat kapur dan besarnya
sesuai dengan ukuran tubuhnya. Lubang gerek berbentuk terowongan-terowongan
yang memanjang searah serat kayu. Ukuran tubuh Teredinidae tergantung dari

Universitas Sumatera Utara

kepadatan populasinya dalam kayu. Teredo dan Bankia sering disebut shipworms.
Pada tahap larva, binatang ini mirip tiram atau kerang dan mengalami
metamorfose menjadi binatang seperti cacing ketika mengebor kayu. Anggota dari

golongan ini menyebabkan kerusakan kayu dengan cepat di lingkungan laut yang
luas (Nugroho, 2007).
Cacing kapal menggunakan sisa-sisa kayu untuk makanannya. Perutnya
berkembang dengan usus penyimpan sisa kayu dan bagian kelenjar pencernaan
dikhususkan menangani partikel kayu. Kerjasama dengan bakteri melalui organ
tertentu terjadi di dalam esophagus yang tidak hanya untuk pencernaan selulosa
tetapi

juga

untuk

fisasi

nitrogen

dan

pengumpulan


low

protein

(Waterburry et al., 1963 dalam Barnes, 1963). Intensitas serangan cacing kapal
tergantung pada suhu perairan. Suhu yang tinggi akan menyebabkan peningkatan
aktivitas hewan ini. Pada umumnya aktifitas cacing kapal lebih tinggi di perairan
tropis (Eaton, 1982 dalam Muslich, 1993).
Serangan Pholadidae pada kayu dimulai sejak stadium larva sedangkan
siklus hidupnya disempurnakan setelah larva masuk ke dalam kayu. Pholadidae
biasanya membuat lubang pada kayu dengan diameter 0,5 cm. Pada lubang tidak
dijumpai adanya lapisan kapur dan biasanya panjang lubang sekitar 3-8 kali
panjang cangkang (Menon, 1957). Martesia yang masih muda berenang bebas dan
masuk ke dalam kayu dengan membuat lubang kecil pada permukaan, panjang
dan diameternya sesuai dengan ukuran cangkangnya (Widagdo, 1993). Lubang
yang dibentuk selalu tegak lurus dengan permukaan kayu dan biasanya memotong
serat kayu. Kerusakan yang disebabkan oleh Martesia kadang-kadang lebih
mudah dikenal, seperti pada permukaan kayu yang telah diserang oleh hewan ini

Universitas Sumatera Utara

akan terlihat lubang yang dangkal dan kadang-kadang hewan tersebut juga terlihat
(Eaton, 1982 dalam Muslich, 1993).
Tiga genus terpenting dari filum Krustasea perusak kayu yaitu Limnoria,
Shelura dan Sphaeroma. Pajang tubuh Limnoria sekitar 1-2 cm dengan lebar
tubuhnya 0,5-1 cm, berbentuk seperti selop dengan kepala kecil. Limnoria dikenal
dengan nama gribble (Widagdo, 1993). Aktifitas yang dilakukan oleh golongan
Krustasea berbeda dengan golongan Moluska. Krustasea menggali lubang pada
kayu biasanya meneruskan lubang yang telah dibuat oleh organisme yang lebih
dahulu tinggal di dalamnya (Eaton, 1982 dalam Muslich, 1993). Lubang serangan
biasanya tidak lebih besar dari 1,5 cm dan hewan ini biasa bergerak bebas.
Serangan Limnoria memperlihatkan gambaran seperti bunga karang. Besar
kecilnya air laut mempengaruhi aktifitas Limnoria, semakin besar gerakan air laut
akan mendorong Limnoria membuat lubang tempat berlindung, sehingga akan
memperbesar kerusakan kayu (Widagdo, 1993). Spesies dari famili ini adalah
pemakan algae dan kayu (Schultz, 1969).

Universitas Sumatera Utara