Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mutasi Tenaga Pendeta: Suatu Analisis tentang Mutasi Tenaga Pendeta di GPM T2 912013020 BAB II

(1)

10 BAB II MUTASI

Konsep Mutasi secara umum

Pemahaman mutasi atau yang lebih dikenal dengan “pemindahan” merupakan kegiatan memindahkan tenaga kerja dari suatu unit ke unit kerja lain yang dianggap sejajar. Menurut Nitisemito (2002), mutasi adalah kegiatan pemindahan karyawan dari suatu pekerjaan ke pekerjaan lain yang setingkat. Sedangkan Syadam (2002) berpendapat bahwa mutasi dalam manajemen sumber daya manusia dapat mencakup dua pengertian yaitu kegiatan pemindahan karyawan dari satu tempat kerja ke tempat kerja yang baru yang sering disebut dengan alih tempat (tour of area) dan kegiatan pemindahan karyawan dari satu tugas ke tugas yang lain dalam satu unit kerja yang sama, atau dalam satu perusahaan (tour of duty).

Berdasarkan kedua konsep mutasi yang telah dipaparkan di atas, maka konsep mutasi yang


(2)

11

dikemukan oleh Syadam memiliki makna yang lebih luas. Alasannya yaitu konsep mutasi tidak hanya “pemindahan” dari satu pekerjaan/tugas kepada pekerjaan/tugas lain akan tetapi pemindahan itu juga berlaku untuk unit atau tempat kerja yang baru dengan tugas/pekerjaan yang lama. Dalam penelitian ini dengan didasarkan pada konsep mutasi di atas maka konsep yang akan dipakai dan dikaji adalah konsep mutasi Syadam yaitu tour of area (mutasi tempat). Di mana konsep mutasi yang tour of area adalah pemindahan tempat kerja yang lama ke tempat kerja yang baru tetapi tidak ada perubahan posisi, jabatan atau tugas dari karyawan tersebut.

2.1 Kebijakan Mutasi

Menurut Syadam sebagaimana dikutip oleh Adryan (2013) mengatakan bahwa kebijakan mutasi dapat terjadi didalam suatu organisasi baik itu organisasi profit atau non profit disebabkan oleh dua hal yaitu:


(3)

12

1. keinginan anggota itu sendiri. Biasanya disebabkan oleh masalah keluarga, ekonomi, kesehatan dan juga rasa tidak nyaman dengan lingkungan kerja yang ada.

2. Keinginan organisasi atau instansi tertentu, dengan tujuan untuk memberikan kesempatan bagi anggotanya agar bisa mengembangkan kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki.

Berlandaskan pada dua alasan dilakukannya mutasi, maka dapat dikatakan bahwa kebijakan mutasi itu sendiri ditentukan oleh organisasi dalam hal ini pimpinan organisasi. Disinilah kebijakan pimpinan organisasi sangat berpengaruh penting terhadap kinerja organisasi dan juga karyawan yang bersangkutan (SDM). Pimpinan organisasi tidak boleh dengan sembarangan memutasikan karyawan tanpa alasan yang jelas dan haruslah menentukan waktu yang tepat. Dengan pertimbangan bahwa karyawan yang dimutasikan butuh waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan kerja yang baru (Nurani, 2013).


(4)

13

Begitu juga dengan gereja sebagai organisasi non profit dalam melakukan kebijakan mutasi pendeta. Kebijakan mutasi tenaga didalam lingkungan Gereja biasanya ditentukan oleh Sinode sebagai otoritas tertinggi dalam organisasi ini. Penelitian yang dilakukan oleh Suryaningsih (2012) dikemukakan mutasi merupakan keputusan yang dibuat oleh Sinode dan dituangkan dalam sebuah peraturan yang tertulis. Akan tetapi pada kenyataannya banyak pendeta yang menolak untuk dimutasikan setelah kebijakan dikeluarkan.

Selanjutnya mutasi dilakukan oleh setiap organisasi memiliki tujuan. Seperti yang dikemukan oleh Wahyudi (2003), kebijakan mutasi dilakukan dalam suatu organisasi memiliki tujuan yaitu:

1. Meningkatkan produktivitas kerja. Ketika anggota organisasi melakukan mutasi maka ada pengalaman baru yang didapatkan dan menambah pengetahuan serta ketrampilannya. Hal ini secara langsung akan meningkatkan


(5)

14

produktivitas kerja dari yang bersangkutan apabila pelaksanaan mutasi dilakukan dengan memperhatikan waktu pelaksanan mutasi dan penempatan sesuai dengan ketrampilan dan kemampuannya.

2. Memberikan perangsang agar anggota dapat berupaya untuk meningkatkan karir yang lebih tinggi. Tujuan mutasi yang ketiga ini akan terjadi apabila yang dimutasikan dapat berupaya untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan dengan ditopang oleh semangat kerja yang tinggi. 3. Memberikan pengakuan dan imbalan terhadap prestasi anggota organisasi. Semua anggota akan memiliki semangat kerja yang tinggi apabila mereka diberi pengakuan atau reward yang berupa peningkatan jabatan atau posisi yang diikuti dengan peningkatan pendapatan atau gaji. 4. Menyesuaikan pekerjaan dengan kondisi fisik

anggota. Ketika mereka diberikan suatu pekerjaan yang diluar dengan ketrampilan dan


(6)

15

kemampuan atau diberikan pekerjaan yang banyak maka akan menimbulkan kejenuhan dan kelelahan yang berakhir dengan menurunnya semangat kerja. Oleh karena itu, organisasi perlu melakukan penyegaran dalam hal ini mutasi agar nantinya anggota tidak mengalami kejenuhan dan kelelahan.

2.2 Pelaksanan mutasi

Proses mutasi rutin dilakukan oleh organisasi tertentu berdasarkan peraturan-peraturan dan ketentuan yang berlaku. Hal ini dikemukakan oleh Nitisemito (1996) bahwa proses mutasi telah dituangkan dalam sebuah peraturan secara tertulis. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar pelaksanaan proses mutasi jangan sampai dilakukan seenaknya oleh atasan. Selain itu juga proses mutasi dapat terkordinasi dan dikelola dengan baik sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang ada.


(7)

16

Dalam proses pelaksanaan mutasi ada beberapa cara yang digunakan organisasi yang coba dikemukakan oleh Hasibuhan (2001), yaitu:

1. Cara ilmiah (mutasi rutin). Biasanya mutasi rutin ini dilakukan dengan berbagai pertimbangan dan dilakukan setelah atasan/pimpinan melakukan penilaian kinerja terhadap bawahan atau anggota organisasi. Selain itu juga mutasi ini dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan dari organisasi dan juga anggota untuk tetap menjaga efektifitas dari organisasi tersebut.

2. Cara tidak ilmiah (bukan mutasi rutin). Proses mutasi ini berbeda dengan mutasi rutin diatas, dimana ketika mutasi rutin dilakukan berdasarkan peraturan yang ada dan memiliki jenjang waktu maka mutasi ini tidak dilakukan melalui penilain kinerja. Biasanya mutasi dilakukan ketika ada anggota yang bermasalah, produktivitas kerja menurun dan juga berdasarkan like atau dislike dari pimpinan.


(8)

17

Selain itu juga, mutasi bisa terjadi ketika ada konflik baik itu dengan pimpinan ataupun dengan rekan sekerja.

Adapun proses mutasi yang dilakukan oleh organisasi profit maupun non profit yaitu :

1. Adanya analisis kinerja. Sebelum melakukan mutasi, organisasi dalam hal ini manajer / pimpinan melakukan analisis kinerja terhadap anggota organisasi yang ada. Putra, Utami dan Riza (2015) mengemukakan bahwa analisis kinerja diperlukan untuk memudahkan pihak manajemen mengambil keputusan yang erat kaitannya dengan pengembangan kinerja karyawan. Misalnya pelaksananaan mutasi dan promosi, kenaikan gaji dan juga pemberian bonus.

2. Analisis situasi lingkungan/kondisi kerja. Selain analisis kinerja yang dilakukan sebelum memutasikan anggota, pihak organisasi juga melakukan analisis lingkungan kerja. Artinya


(9)

18

lingkungan kerja sangat mempengaruhi kinerja dan produktivitas kerja dari seorang. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Afrizal, Musadieq dan Ruhana (2014) menyatakan bahwa lingkungan/kondisi kerja sangat mendukung karyawan untuk giat bekerja yang secara langsung akan mempengaruhi produktivitas kerja dari karyawan tersebut.

3. Setelah kedua analisis dilakukan baik analisis kinerja dan lingkunga/kondisi kerja dilakukan, maka pimpinan akan memutuskan siapa yang akan dimutasikan. Kemudian keputusan memutasikan anggota akan disosialisasikan kepada yang bersangkutan.

Banyak kasus tidak sedikit anggota organisasi menolak dimutasikan setelah kebijakan mutasi dikeluarkan oleh organisasi/instansi. Ada beberapa faktor yang mendasari penolakan tersebut yang coba dikemukakan oleh Sastrohadiwiryo (2002), yaitu:


(10)

19

1. Faktor Rasional. Penolakan ini terjadi karena pertimbangan waktu yang diperlukan untuk bisa menyesuaikan diri dan upaya untuk belajar kembali. Biasanya ini terjadi apabila anggota akan dimutasikan tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu dan sangat nyaman dengan lingkungan kerja dan rekan kerja yang ada.

2. Faktor Psikologi. Penolakan didasarkan bahwa anggota tidak suka dengan lingkungan kerja yang baru dikarenakan kurangnya pengetahuan dan pengelaman kerja yang ada tentang lingkungan dan pekerjaan yang ada. Biasanya anggota yang menolak ini adalah tipe karyawan tidak menyukai perubahan dan ingin tetap ada dalam zona nyaman.

3. Faktor Sosiologi. Penolakan terjadi karena akan bertentangan dengan nilai kelompok yang ada, adanya kepentingan pribadi dan juga ingin mempertahankan hubungan yang terjalin sekarang.


(11)

20

2.3 Konsep mutasi dalam Gereja

Konsep mutasi pendeta memiliki arti yaitu perpindahan jabatan atau wilayah kerja atas dasar kepentingan pelayanan gereja serta pembinaan pegawai dan pelayan gereja (Tata Gereja GPM, 1998). Tujuan dari mutasi pendeta adalah memberikan kesempatan yang sama kepada setiap pendeta, penyegaran pelayanan, menambah pengetahuan, dan tindakan prefentif dalam pengamanan personil (Tata Gereja GPIB, 1996). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mutasi pendeta dilakukan bukan hanya dilakukan untuk penyegaran pelayanan akan tetapi dilakukan sebagai bagian dari pembinaan pendeta untuk lebih mengenal tugas dan tanggung jawab sebagai pelayan Tuhan.

Pendeta sebagai seorang pelayan Tuhan seharusnya dimaknai sebagai sebuah “panggilan” untuk melayani jemaat yang adalah umat Allah. Hal ini jelas dikatakan oleh Simon Petrus yang merupakan seorang pemimpin


(12)

21

gereja mula-mula pada zaman Alkitab (PB) dalam surat 1 Petrus 5:2-3 demikian:

2 Gembalakanlah kawanan domba Allah yang

ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. 3Janganlah kamu

berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu.

1 Petrus 5:2-3 memberikan pemahaman bagi para pelayan gereja untuk bertanggung jawab memelihara iman umat, mendisplinkan mereka dan memberi makanan rohani. Tanggung jawab ini harus didasari rasa pengabdian diri yang tinggi bukan terpaksa bahkan mencari keuntungan dari pelayanan tersebut. Lebih lanjut pada ayat kedua, berisi peringatan kepada pelayan gereja untuk terhindar dari dua dosa berbahaya 1) keinginan akan uang, janganlah seorang pendeta memperkaya diri dari pekerjaan Tuhan, 2) keinginan untuk berkuasa, sebaiknya seorang pendeta harus menjadi teladan, pelayan yang rendah hati (servant leadership) dan pemimpin yang baik.


(13)

22

De Jonge (2001) kemudian menghubungkan panggilan dengan mutasi, dimana ketika seorang pendeta dimutasikan atau dipindahkan dari satu jemaat ke jemaat yang lain maka harus dipahami sebagai panggilannya untuk melayani jemaat tersebut. Oleh karena itu, tujuan mutasi tenaga pendeta adalah sebagai sarana pendeta untuk memenuhi panggilannya untuk melayani umat. Selain itu juga mutasi dipahami sebagai sarana untuk membina dan mendidik pendeta agar tetap melakukannya sebagai pejabat gereja. Pendeta yang sudah dimutasikan dianggap telah melakukan panggilannya sebagai pejabat gereja dan juga seorang pelayan Tuhan. Selain itu tujuan mutasi menurut Strauch (1992) yang dikutip oleh Suryaningsih adalah untuk mengembangkan profesi sebagai seorang pendeta. Hal ini dapat dilihat ketika adanya peningkatan ketrampilan dan kemampuan dari pendeta saat menjalani mutasi dengan didukung oleh perkembangan “iman” dari umat.


(14)

23

Berdasarkan pendapat De Jonge terhadap mutasi tersebut sebagai konsekuensi pendeta dari pemenuhan panggilannya, maka Sasirais (2011) menyatakan bahwa tanpa panggilan dalam diri pendeta maka akan terjadi krisis kredibilitas. Pilih-pilih tempat pelayanan ketika mau dimutasikan, hanya ingin bergaul dengan pejabat dan kalangan berduit saja, selalu meributkan uang mimbar atau tunjangan yang lainnya adalah merupakan ciri-ciri dari orang yang melayani tanpa keterpanggilan. Ketika hal tersebut terjadi maka dipastikan bahwa pendeta tidak lagi bisa menunjukan profesionalisme sebagai seorang pelayan yang dipanggil oleh Allah untuk melayani umatnya.

Erat kaitannya dengan mutasi pendeta maka perlu sekali memperhatikan manajemen gereja yang baik dan benar sebagimana penelitian yang dilakukan oleh Suryaningsih (2012). Manajemen gereja atau manajemen kristiani, menurut Wiryoputro (2004), manajemen yang berdasarkan pada Alkitab yang adalah Firman Tuhan. Sehingga, firman Tuhan yang


(15)

24

menjadi landasan dalam melakukan tindakan-tindakan dan kegiatan-kegiatan manajerial didalam gereja. Baik itu dalam kegiatan penggunaan sumber daya, perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengendalian, pemasaran, kepemimpinan, pengambilan keputusan, menangani konflik, TQM, menghindari kegagalan, pemilikan, dan kegiatan sosial.

Perencanaan seperti yang dikemukakan oleh Wiryoputro (2004), adalah penentuan dan pemilihan tujuan terlebih dahulu dan kemudian merumuskan tindakan-tindakan atau tugas-tugas yang perlu dilakukan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Perencanaan sangat dibutuhkan dalam membuat kebijakan mutasi pendeta dengan adanya suatu landasan teologi dan aturan yang jelas sehingga tujuan dari mutasi jelas dan terarah.

Pengorganisasian (organizing), menurut Manullang yang dikutip oleh Suryaningsih (2012), melakukan hubungan langsung, merumuskan tugas, wewenang,


(16)

25

tanggung jawab, dan kriteria keberhasilan yang jelas terhadap setiap individu dalam organisasi, menciptakan sistem komunikasi dan informasi yang efektif dalam organisasi, melakukan kontrol yang efektif terhadap pelaksanaan mutasi disesuaikan dengan perubahan yang terjadi.

Menurut Wiryoputro (2004), fungsi pengawasan (controlling) adalah proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan, menilainya dan mengkoreksi bila diperlukan. Dengan tujuan agar pelaksanaanya sesuai dengan aturan, tujuan dan rencana yang ada. Fungsi perlu dilakukan oleh lembaga tertinggi gereja terhadap kebijakan dan proses mutasi pendeta. Dengan tujuan agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan sehingga tujuan organisasi dapat terus terarah.

Fungsi pengarahan (directing) erat kaitannya dengan fungsi pengawasan dimana pimpinan tertinggi atau yang berwewenang mengatur mutasi memberikan bimbingan, saran, dan intruksi terhadap bawahan.


(17)

26

Setelah itu fungsi manajemen kristiani yang terakhir yaitu fungsi pengkoordinasian. Fungsi ini sangat penting untuk dilakukan untuk mengikat, menyatukan dan menyelaraskan semua aktivitas dan usaha yang dilakukan oleh organisasi dengan melakukan kerja sama yang baik antara pimpinan tertinggi dan bawahan.


(1)

21

gereja mula-mula pada zaman Alkitab (PB) dalam surat 1 Petrus 5:2-3 demikian:

2 Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. 3Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu.

1 Petrus 5:2-3 memberikan pemahaman bagi para pelayan gereja untuk bertanggung jawab memelihara iman umat, mendisplinkan mereka dan memberi makanan rohani. Tanggung jawab ini harus didasari rasa pengabdian diri yang tinggi bukan terpaksa bahkan mencari keuntungan dari pelayanan tersebut. Lebih lanjut pada ayat kedua, berisi peringatan kepada pelayan gereja untuk terhindar dari dua dosa berbahaya 1) keinginan akan uang, janganlah seorang pendeta memperkaya diri dari pekerjaan Tuhan, 2) keinginan untuk berkuasa, sebaiknya seorang pendeta harus menjadi teladan, pelayan yang rendah hati (servant leadership) dan pemimpin yang baik.


(2)

22

De Jonge (2001) kemudian menghubungkan panggilan dengan mutasi, dimana ketika seorang pendeta dimutasikan atau dipindahkan dari satu jemaat ke jemaat yang lain maka harus dipahami sebagai panggilannya untuk melayani jemaat tersebut. Oleh karena itu, tujuan mutasi tenaga pendeta adalah sebagai sarana pendeta untuk memenuhi panggilannya untuk melayani umat. Selain itu juga mutasi dipahami sebagai sarana untuk membina dan mendidik pendeta agar tetap melakukannya sebagai pejabat gereja. Pendeta yang sudah dimutasikan dianggap telah melakukan panggilannya sebagai pejabat gereja dan juga seorang pelayan Tuhan. Selain itu tujuan mutasi menurut Strauch (1992) yang dikutip oleh Suryaningsih adalah untuk mengembangkan profesi sebagai seorang pendeta. Hal ini dapat dilihat ketika adanya peningkatan ketrampilan dan kemampuan dari pendeta saat menjalani mutasi dengan didukung oleh perkembangan “iman” dari umat.


(3)

23

Berdasarkan pendapat De Jonge terhadap mutasi tersebut sebagai konsekuensi pendeta dari pemenuhan panggilannya, maka Sasirais (2011) menyatakan bahwa tanpa panggilan dalam diri pendeta maka akan terjadi krisis kredibilitas. Pilih-pilih tempat pelayanan ketika mau dimutasikan, hanya ingin bergaul dengan pejabat dan kalangan berduit saja, selalu meributkan uang mimbar atau tunjangan yang lainnya adalah merupakan ciri-ciri dari orang yang melayani tanpa keterpanggilan. Ketika hal tersebut terjadi maka dipastikan bahwa pendeta tidak lagi bisa menunjukan profesionalisme sebagai seorang pelayan yang dipanggil oleh Allah untuk melayani umatnya.

Erat kaitannya dengan mutasi pendeta maka perlu sekali memperhatikan manajemen gereja yang baik dan benar sebagimana penelitian yang dilakukan oleh Suryaningsih (2012). Manajemen gereja atau manajemen kristiani, menurut Wiryoputro (2004), manajemen yang berdasarkan pada Alkitab yang adalah Firman Tuhan. Sehingga, firman Tuhan yang


(4)

24

menjadi landasan dalam melakukan tindakan-tindakan dan kegiatan-kegiatan manajerial didalam gereja. Baik itu dalam kegiatan penggunaan sumber daya, perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengendalian, pemasaran, kepemimpinan, pengambilan keputusan, menangani konflik, TQM, menghindari kegagalan, pemilikan, dan kegiatan sosial.

Perencanaan seperti yang dikemukakan oleh Wiryoputro (2004), adalah penentuan dan pemilihan tujuan terlebih dahulu dan kemudian merumuskan tindakan-tindakan atau tugas-tugas yang perlu dilakukan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Perencanaan sangat dibutuhkan dalam membuat kebijakan mutasi pendeta dengan adanya suatu landasan teologi dan aturan yang jelas sehingga tujuan dari mutasi jelas dan terarah.

Pengorganisasian (organizing), menurut Manullang yang dikutip oleh Suryaningsih (2012), melakukan hubungan langsung, merumuskan tugas, wewenang,


(5)

25

tanggung jawab, dan kriteria keberhasilan yang jelas terhadap setiap individu dalam organisasi, menciptakan sistem komunikasi dan informasi yang efektif dalam organisasi, melakukan kontrol yang efektif terhadap pelaksanaan mutasi disesuaikan dengan perubahan yang terjadi.

Menurut Wiryoputro (2004), fungsi pengawasan (controlling) adalah proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan, menilainya dan mengkoreksi bila diperlukan. Dengan tujuan agar pelaksanaanya sesuai dengan aturan, tujuan dan rencana yang ada. Fungsi perlu dilakukan oleh lembaga tertinggi gereja terhadap kebijakan dan proses mutasi pendeta. Dengan tujuan agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan sehingga tujuan organisasi dapat terus terarah.

Fungsi pengarahan (directing) erat kaitannya dengan fungsi pengawasan dimana pimpinan tertinggi atau yang berwewenang mengatur mutasi memberikan bimbingan, saran, dan intruksi terhadap bawahan.


(6)

26

Setelah itu fungsi manajemen kristiani yang terakhir yaitu fungsi pengkoordinasian. Fungsi ini sangat penting untuk dilakukan untuk mengikat, menyatukan dan menyelaraskan semua aktivitas dan usaha yang dilakukan oleh organisasi dengan melakukan kerja sama yang baik antara pimpinan tertinggi dan bawahan.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Indonesia dalam Pemahaman Pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM) T2 752011022 BAB I

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Indonesia dalam Pemahaman Pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM) T2 752011022 BAB II

1 6 38

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Indonesia dalam Pemahaman Pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM) T2 752011022 BAB IV

0 0 29

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Indonesia dalam Pemahaman Pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM) T2 752011022 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mutasi Pendeta-Pendeta di GKPB Ditinjau dari Manajemen Gerejawi T1 712007015 BAB II

0 0 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mutasi Tenaga Pendeta: Suatu Analisis tentang Mutasi Tenaga Pendeta di GPM

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mutasi Tenaga Pendeta: Suatu Analisis tentang Mutasi Tenaga Pendeta di GPM

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mutasi Tenaga Pendeta: Suatu Analisis tentang Mutasi Tenaga Pendeta di GPM T2 912013020 BAB V

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mutasi Tenaga Pendeta: Suatu Analisis tentang Mutasi Tenaga Pendeta di GPM T2 912013020 BAB IV

0 0 41

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mutasi Tenaga Pendeta: Suatu Analisis tentang Mutasi Tenaga Pendeta di GPM T2 912013020 BAB I

0 0 9