Keanekaragaman Jamur Makroskopis di Hutan Pendidikan Universitas Sumatera Utara Desa Tongkoh Kabupaten Karo Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Jamur
Istilah jamur atau fungi berasal dari bahasa Yunani, yaitu fungus/hifa
(mushroom) yang berarti tumbuh dengan subur. Istilah ini selanjutnya ditujukan
kepada jamur yang memiliki tubuh buah serta tumbuh atau muncul di atas tanah
atau pepohonan (Tjitrosoepomo, 1991).
Jamur atau fungi merupakan organisme eukariotik. Jamur tidak memiliki
klorofil, tumbuh sebagai hifa, memiliki dinding sel yang mengandung kitin,
bersifat heterotrof, menyerap nutrisi melalui dinding selnya, mengekskresikan
enzim-enzim ekstraseluler ke lingkungan melalui spora, dan melakukan
reproduksi seksual dan aseksual (Gandjar et al., 2006).
Jamur mempunyai dua karakter yang sangat mirip dengan tumbuhan, yaitu
dinding sel yang sedikit keras dan organ reproduksi yang disebut spora. Dinding
sel jamur terdiri atas selulosa dan kitin sebagai komponen yang dominan. Kitin
adalah polimer dari gugus amino yang lebih memiliki karakteristik seperti tubuh
serangga daripada tubuh tumbuhan. Spora jamur, terutama spora yang diproduksi
secara seksual berbeda dari spora tumbuhan tingkat tinggi dari segi bentuk dan
metode produksinya (Alexopoulos dan Mims, 1979).
Jamur tidak seperti organisme heterotrof lainnya yang menelan
makanannya kemudian mencernanya sebelum diserap. Jamur mendapatkan

makanan dengan mengambil bahan organik di sekitar tempat tumbuh. Bahan
organik tersebut kemudian diubah menjadi molekul-molekul sederhana dan
diserap langsung oleh hifa (Gunawan, 2000).

Universitas Sumatera Utara

Bagian penting tubuh jamur yaitu struktur hifa berbentuk tabung
menyerupai seuntai benang panjang, ada yang tidak bersekat dan ada yang
bersekat. Hifa dapat tumbuh bercabang-cabang sehingga membentuk jaring-jaring
yang dinamakan miselium. Pada satu koloni jamur ada hifa yang menegak dan ada
hifa yang menjalar. Biasanya hifa yang menegak ini menghasilkan alat-alat
pembiak yang disebut spora, sedangkan hifa yang menjalar berfungsi untuk
menyerap nutrisi dari substrat dan menyangga alat-alat reproduksi. Hifa yang
menegak disebut hifa fertil dan hifa yang menjalar disebut hifa vegetatif.
Pertumbuhan hifa berlangsung terus-menerus di bagian apikal, sehingga
panjangnya tidak dapat ditentukan secara pasti. Diameter hifa umumnya berkisar
3 − 30 µm. Spesies yang berbeda memiliki diameter yang berbeda pula, yang
mana ukuran diameter tersebut biasanya dipengaruhi oleh keadaan lingkungan
(Carlile dan Watkinson, 1994).
Menurut Santoso (2004), jamur umumnya berukuran lebih besar

dibandingkan bakteri. Diameter sel jamur dapat berukuran 1 − 30 µm, sementara
diameter sel bakteri rata-rata hanya berukuran 0,5 µ m. Berdasarkan bentuk sel dan
struktur yang menyusun tubuhnya, jamur terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu
sebagai berikut:
1. Khamir (yeast atau gist), merupakan jamur bersel tunggal (uniseluler).
Contoh khamir adalah Saccharomyces cerevisiae yang berperan dalam
pembuatan minuman beralkohol.
2. Kapang (mold), merupakan jamur yang selnya berbentuk filamen. Filamen
yang merupakan sel vegetatif tersebut dinamakan hifa. Hifa dari koloni
kapang akan tumbuh bercabang-cabang membentuk jalinan massa hifa yang

Universitas Sumatera Utara

disebut miselium. Contoh kapang adalah Rhizopus oryzae yang berperan
dalam fermentasi tempe.
3. Cendawan (mushroom) atau jamur makroskopis (makrofungi), merupakan
jamur berfilamen dan membentuk tubuh buah yang besar sehingga dapat
dilihat dengan mata, tanpa bantuan alat. Contohnya adalah jamur merang
(Volvariella volvaceae).
Jamur makroskopis mencakup banyak jamur yang berukuran besar dengan

tubuh buah yang kompleks. Sebagian besar spesiesnya hidup pada habitat daratan
(teresterial). Jamur makroskopis yang dikenal sebagian besar termasuk ke dalam
divisi Basidiomycota dan sebagian kecil termasuk ke dalam divisi Ascomycota
(Gandjar et al., 2006). Tubuh buah jamur makroskopis yang berukuran besar
merupakan struktur reproduksi yang terbentuk untuk menghasilkan dan
menyebarkan spora. Jamur makroskopis dapat dijumpai di hutan, tanah lapang,
padang rumput, bahkan di halaman rumah (Kibby, 1992).
Klasifikasi Jamur
Tubuh buah suatu spesies jamur dapat berbeda dengan spesies jamur
lainnya, yang ditunjukkan dengan adanya perbedaan tudung (pileus), tangkai
(stipe), lamella (gills) serta cawan (volva). Adanya perbedaan ukuran, warna, serta
bentuk dari tudung dan tangkai merupakan ciri penting dalam melakukan
identifikasi suatu spesies jamur (Smith dan Weber, 1980).
McKane dan Kandel (1996) menyatakan bahwa setiap jamur tercakup
dalam suatu kategori taksonomi, dan dibedakan atas dasar tipe spora, morfologi
hifa serta siklus seksualnya. Menurut Santoso (2004), klasifikasi jamur daratan

Universitas Sumatera Utara

(terrestrial fungi) dilakukan dengan mempertimbangkan pola reproduksi

seksualnya. Ada empat divisi pada jamur daratan, yaitu:
1. Zygomycota yang membentuk zygospora,
2. Ascomycota yang membentuk askospora,
3. Basidiomycota yang membentuk basidiospora, dan
4. Deuteromycota (fungi imperfecti) yang merupakan taksa sementara.
1. Zygomycota
Istilah Zygomycota mengacu pada zygospora yang diproduksi dalam
kantung spora yang dinamakan zygosporangium (Alexopoulos dan Mims, 1979).
Zygomycota memiliki hifa yang tidak bersekat dan memiliki banyak inti yang
disebut hifa koenositik (dari bahasa latin coenocytic). Kebanyakan divisi ini
bersifat saprofit. Zygomycota berkembang biak secara aseksual dengan spora
yang menghasilkan sporangiospora dan secara seksual dengan zygospora
(Moore-Landecker, 1982).
2. Ascomycota
Kelompok jamur ini memiliki ciri berupa spora yang terdapat di dalam
kantung yang disebut askus. Askus adalah sel yang membesar yang di dalamnya
terdapat spora yang disebut askospora. Setiap askus biasanya memiliki
2 − 8 askospora. Kebanyakan Ascomycota bersifat mikroskopis, hanya sebagian
kecil yang bersifat makroskopis dan memiliki tubuh buah (Dwidjoseputro, 1978).
3. Basidiomycota

Basidiomycota dicirikan dengan produksi spora seksual yang disebut
basidiospora. Kebanyakan anggota Basidiomycota adalah jamur payung dan
cendawan berbentuk bola yang disebut jamur berdaging, yang spora seksualnya

Universitas Sumatera Utara

menyebar di udara dengan cara yang berbeda dari jamur berdaging lainnya
(McKane dan Kandel, 1996).
Santoso (2004) menyatakan bahwa Basidiomycota sering dipresentasikan
sebagai jamur makroskopis yang biasa disebut cendawan atau mushroom. Contoh
divisi ini adalah jamur merang (Volvariella volvaceae), jamur kuping
(Auricularia auricula), dan jamur tiram (Pleurotus ostreatus). Struktur tubuh
buah Basidiomycota secara umum dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur tubuh buah Basidiomycota (Tampubolon, 2010)

Dwidjoseputro

(1978)


menerangkan

bahwa,

karakteristik

dari

Basidiomycota antara lain kebanyakan makroskopis, sedikit yang mikroskopis.
Basidium berisi 2 − 4 basiodiospora, yang masing-masing pada umumnya
mempunyai satu inti. Beberapa spesies Basidiomycota bermanfaat karena dapat
dimakan, tetapi banyak juga yang merugikan karena merusak tumbuhan, kayu dan
perabot rumah tangga.

Universitas Sumatera Utara

Tubuh buah Basidiomycota terdiri dari hifa yang bersekat dan
berkelompok padat menjadi semacam jaringan, dan tubuh buahnya lebih menonjol
dibandingkan Ascomycota. Miseliumnya terdiri dari hifa dan sel-sel yang berinti
satu, hanya pada tahap tertentu saja terdapat hifa yang berinti dua. Pembiakan

vegetatif dengan konidia (Tjitrosoepomo, 1991).
Reproduksi seksual dimulai dengan bertemunya dua hifa homokariot yang
bersesuaian dan melebur (terjadi peristiwa plasmogami) membentuk satu
kompartemen sel berinti dua (dikariot) yang berbeda muatannya (heterokariot).
Sel dikariot tersebut akan berkembang membentuk miselium sekunder yang
memiliki inti heterokariot yang bersesuaian. Miselium sekunder dengan inti
dikariot berkembang membentuk tubuh buah (basidiokarp). Sel berinti dikariot
membelah secara mitosis sehingga membentuk struktur reproduksi (basidium).
Pada saatnya nanti inti dikariot akan melebur (kariogami) membentuk zigot
berinti diploid. Selanjutnya, inti diploid akan mengalami proses meiosis menjadi
haploid yang dikemas dalam basidiospora (Santoso, 2004).
4. Deuteromycota
Banyak jamur yang tidak memperlihatkan fase reproduksi seksualnya
sehingga tidak dikelompokkan ke dalam suatu divisi, baik Zygomycota,
Ascomycota

ataupun

Basidiomycota.


Sebagai

alternatif,

jamur

tersebut

dimasukkan ke dalam kelompok jamur tidak sempurna (fungi imperfecti). Divisi
ini merupakan taksa artifisial (taksa buatan), bukan berdasarkan karakter
sebenarnya dan dibuat hanya untuk menampung jamur-jamur yang belum
diketahui fase reproduksi seksualnya (Santoso, 2004). Anggota kelompok ini

Universitas Sumatera Utara

berkembang biak dengan klamidospora, arthrospora, konidiospora, dan juga
pertunasan (McKane dan Kandel, 1996).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur
Pertumbuhan jamur dipengaruhi oleh berbagai fakor. Faktor-faktor utama
yang mempengaruhi pertumbuhan jamur antara lain adalah faktor ketersediaan air,

suhu, derajat keasaman (pH), cahaya, aerasi, CO2 dan senyawa-senyawa kimia di
lingkungannya (Garraway dan Evans, 1984).
1. Ketersediaan air
Sama

seperti

organisme

lainnya,

jamur

memerlukan

air

untuk

pertumbuhan dan perkembangannya. Jamur umumnya menyerap air dari

lingkungan sekitarnya melalui hifa. Air digunakan oleh jamur dalam proses difusi
nutrisi dan enzim. Air juga merupakan produk sampingan dalam reaksi
metabolisme. Namun demikian, terlalu banyak air juga dapat merugikan bagi
pertumbuhan dan perkembangan jamur, terutama pada proses sporulasi
(Garraway dan Evans, 1984).
2. Suhu
Menurut Carlile dan Watkinson (1994), suhu maksimum kebanyakan
jamur untuk tumbuh berkisar 30 0C − 400C dan optimalnya pada suhu
200C − 300C. Beberapa spesies jamur dapat tumbuh pada keadaan suhu yang
ekstrim hingga 50C. Namun meskipun jamur dapat hidup di lingkungan yang
sangat dingin, pertumbuhan jamur pada suhu yang rendah kurang optimal. Jamur
tertentu dapat tumbuh dengan subur pada suhu di atas 50 0C. Jamur tersebut dapat
dijumpai di tumpukan kompos, pupuk kandang, gudang pertanian, dan berbagai
produk kehutanan (Garraway dan Evans, 1984).

Universitas Sumatera Utara

3. Derajat keasaman (pH)
Derajat keasaman sangat penting untuk pertumbuhan jamur, karena enzimenzim tertentu hanya akan menguraikan suatu substrat yang sesuai dengan
aktivitasnya pada pH tertentu. Jamur umumnya menyukai pH di bawah 7,0.

Spesies khamir tertentu bahkan tumbuh pada pH cukup rendah yaitu pH 4,5 − 5,5
(Gandjar et al., 2006). Kebanyakan jamur tumbuh dengan baik pada pH yang
asam sampai netral (Carlile dan Watkinson, 1994). Dengan demikian, pH
optimum bagi pertumbuhan jamur bervariasi, tergantung spesies dan ketersediaan
nutrisi di lingkungannya (Garraway dan Evans, 1984).
4. Cahaya
Spektrum cahaya dengan panjang gelombang 380 − 720 nm relatif
berpengaruh terhadap pertumbuhan jamur, juga berpengaruh terhadap sporulasi.
Pengaruh cahaya terhadap reproduksi jamur cukup kompleks. Tingkat
perkembangan yang berbeda membutuhkan cahaya yang berbeda. Intensitas,
durasi, dan kualitas cahaya menentukan besarnya pengaruh cahaya terhadap
jamur. Umumnya cahaya menstimulasi atau menjadi faktor penghambat terhadap
pembentukan struktur alat-alat reproduksi dan spora pada jamur. Walaupun proses
reproduksi memerlukan cahaya, hanya fase tertentu saja dalam proses reproduksi
tersebut yang memerlukan cahaya, atau secara bergantian struktur yang berbeda di
dalam sporokarp dapat memberi respon berbeda terhadap cahaya (Purdy, 1956).
5. Aerasi
Pertumbuhan jamur umumnya meningkat seiring dengan peningkatan
aerasi. Level oksigen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimal mungkin
sangat rendah. Pengaruh aerasi terhadap pertumbuhan berhubungan dengan

Universitas Sumatera Utara

perubahan kuantitatif dan kualitatif pada fisiologi jamur, yang mempengaruhi hifa
(Garraway dan Evans, 1984).
6. CO2
Pengaruh spesifik CO2 bervariasi pada setiap spesies jamur. CO2
merupakan hasil sampingan dari proses metabolisme jamur dan organisme lain di
habitat jamur tersebut. Akumulasi CO 2 dalam media biakan akan menghalangi
pertumbuhan jamur. Hal ini biasanya diatasi dengan meningkatkan aerasi atau
dengan memberi variasi pH pada media (Garraway dan Evans, 1984).
Sifat Jamur Berdasarkan Perolehan Makanan
1. Mutualistik
Banyak jamur yang berinteraksi positif dengan serangga dan tumbuhan,
mereka bersimbiosis saling menguntungkan atau mutualistik. Sekitar 10% dari
seluruh spesies jamur yang telah diketahui adalah anggota dari asosiasi
mutualistik yang disebut lichens. Lichens tersusun dari jamur, alga dan
cyanobakteri. Jamur juga membentuk asosiasi mutualistik yang bermanfaat
dengan akar tumbuhan, membentuk mikoriza. Jamur ini mengkoloni buluh akar
dan berfungsi memperluas permukaan sentuh antara akar tumbuhan dengan
permukaan tanah, sehingga mempengaruhi kemampuan tumbuhan untuk
menyerap air dan nutrisi dari tanah, meningkatkan aktivitas metabolisme
tumbuhan, serta meningkatkan angka pertumbuhan dan produksi tumbuhan
(McKane dan Kandel, 1996).
2. Saprofit
Jamur saprofit menghasilkan bermacam-macam enzim ekstraseluler yang
bisa mendegradasi kebanyakan makromolekul alam. Kebanyakan jamur saprofit

Universitas Sumatera Utara

berperan sebagai dekomposer yang penting dalam siklus biogeokimia. Jamur
berperan

sebagai

organisme

awal

yang

mendegradasi

kayu

(McKane dan Kandel, 1996). Hal ini dikarenakan hanya jamur, terutama dari
divisi Basidiomycota, yang mampu memecahkan lignin. Walaupun beberapa
bakteri diketahui dapat mendegradasi lignin, tetapi bakteri yang dapat
mendegradasi lignin secara kompleks belum pernah dilaporkan (Munir, 2006).
Lignin mengisi sekitar 25% dari material yang terdapat di hutan. Selain itu jamur
juga mencerna material hewan mati (McKane dan Kandel, 1996).
3. Parasit
Banyak sekali penyakit tumbuhan yang disebabkan oleh jamur. Penyakit
tersebut mempengaruhi proses perkembangan tumbuhan, menyebabkan tumbuhan
menjadi sakit, bahkan mati. Jamur-jamur parasit ini juga menyerang tanaman
pertanian dan menyebabkan tanaman tersebut rusak, bahkan menyebabkan gagal
panen. Jamur parasit umumnya menyerang inang secara spesifik. Selain itu jamur
parasit adalah faktor utama yang memperpendek usia penyimpanan bahan pangan
dan makanan di dunia, terkecuali jika diawetkan (Pacioni dan Lincoff, 1981).
Keanekaragaman Spesies Jamur Makroskopis
Hasil eksplorasi yang dilakukan oleh Suharna (1993), di Cagar Alam
Bantimurung, Cagar Alam Karaenta dan sekitarnya menemukan 24 genus jamur
makroskopis yang umumnya ditemukan berada pada bagian-bagian tumbuhan
yang telah mati, seperti dedaunan, ranting-ranting, dan batang pohon yang
tumbang. Dari 24 genus yang berhasil diidentifikasi, Polyporus spp.,
Mycroporus sp., dan Marasmius spp. adalah genus jamur makroskopis yang
sering ditemukan.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Asnah (2010) di
Kawasan Ekowisata Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser, ditemukan
87 spesies jamur makroskopis. Spesies-spesies tersebut termasuk ke dalam
25 famili dan 7 ordo dari 2 divisi, yakni Ascomycota dan Basidiomycota. Dari
25 famili yang ditemukan, Tricholomataceae merupakan famili terbesar yang
terdiri dari 24 spesies, diikuti oleh Polyporaceae dengan 18 spesies.
Hasil penelitian lain yang telah dilakukan oleh Tampubolon (2010) di
Kawasan Ekowisata Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser, menemukan
83 spesies jamur makroskopis. Spesies-spesies tersebut termasuk ke dalam
19 famili dan 8 ordo dari 2 divisi, yakni Ascomycota dan Basidiomycota. Dari
19 famili yang ditemukan, Polyporaceae merupakan famili terbesar yang terdiri
dari 25 spesies, diikuti oleh Tricholomataceae dengan 21 spesies.
Penelitian sejenis yang telah dilakukan oleh Nugroho (2004) di kawasan
Taman Wisata Alam (TWA) Sibolangit menemukan 97 spesies jamur
makroskopis. Spesies-spesies tersebut termasuk ke dalam 18 famili dan 8 ordo
dari 2 divisi, yakni Ascomycota dan Basidiomycota. Dari 18 famili yang
ditemukan, Tricholomataceae merupakan famili terbesar yang terdiri dari
29 spesies jamur makroskopis.
Penelitian lain tentang keanekaragaman spesies jamur makroskopis juga
telah dilakukan oleh Nurtjahja dan Widhiastuti (2009) di kawasan TWA
Sibolangit dan TWA Sicikeh-cikeh. Hasil identifikasi dan koleksi spesies jamur
makroskopis di TWA Sibolangit dan TWA Sicikeh-cikeh menemukan 89 spesies
jamur makroskopis, dimana di TWA Sibolangit ditemukan 47 spesies jamur

Universitas Sumatera Utara

makroskopis dan di TWA Sicikeh-cikeh ditemukan 56 spesies jamur
makroskopis.
Berikut adalah deskripsi beberapa spesies jamur makroskopis berdasarkan
beberapa hasil penelitian-penelitian tersebut:
1.

Auricularia auricula
Tubuh buah berukuran 6 − 10 cm, berbentuk seperti telinga, tidak

bertangkai atau bertangkai pendek, elastis, transparan, dalam keadaan segar
bertekstur seperti gelatin, berwarna cokelat. Spora berwarna putih, silindris, licin,
berukuran 12 − 17 x 4 − 7 µm. Jamur ini dapat dikonsumsi. Habitatnya pada kayu
lapuk, biasanya hidup dalam koloni terutama pada musim penghujan
(Tampubolon, 2010).
2.

Calocera cornea
Tubuh buah berukuran ± 1 cm, berbentuk silindris pada waktu muda,

menjadi pipih pada bagian ujungnya saat dewasa. Tubuh buah berwarna kuning
dan elastis. Spora berwarna kuning kecokelatan, berbentuk elip, licin dengan
ukuran 7 − 9 x 4 − 4,5 µ m. Jamur ini kurang bermanfaat karena ukurannya yang
kecil. Habitatnya pada kayu lapuk (Nurtjahja dan Widhiastuti, 2009).
3.

Coprinellus disseminatus
Tudungnya berwarna putih berukuran 1 − 2 cm, bagian bawah tubuh buah

(himenium) berwarna putih kemudian menjadi hitam saat jamur berukuran
dewasa. Tinggi tangkai 2,5 − 6 cm, berwarna putih, mudah patah. Spora berwarna
hitam, berbentuk elip, dinding spora licin, ukuran spora 9 − 10 x 5 − 6 µ m. Jamur
ini tidak menarik untuk dikonsumsi karena ukurannya yang kecil dan lunak.

Universitas Sumatera Utara

Habitatnya pada kayu lapuk dan humus, biasanya hidup berkoloni dengan
berbagai ukuran (Nurtjahja dan Widhiastuti, 2009).
4.

Coriolopsis occidentalis
Tubuh buah tidak bertangkai (sessil), seperti gabus, bentuk semisirkuler

(dimediate), panjang tudung 2 − 18 cm, lebar 1 − 10 cm. Permukaan memiliki
garis-garis konsentris berwarna putih, kuning, dan kuning kecokelatan. Spora
berukuran 6 − 7 x 2,5 − 3 µm, permukaan himenium berwarna putih ketika muda
dan berubah menjadi krem saat dewasa. Jamur ini kurang bermanfaat. Habitatnya
pada kayu lapuk dari jenis kayu keras (Tampubolon, 2010).
5.

Fomes lignosus
Tubuh buah keras dan kaku, berukuran 4 − 24 cm, berbentuk keranjang,

permukaan himenium berwarna oranye terang ketika tubuh buah masih segar, dan
berwarna cokelat kemerahan bila kering. Spora berukuran 5 − 10 x 3,5 − 4,6 µm,
berwarna cokelat, elip. Jamur ini tidak dapat dikonsumsi. Hidup soliter atau
berkelompok pada batang mati dan parasit pada akar dan batang tumbuhan
(Tampubolon, 2010).
6.

Ganoderma applanatum
Tubuh buah berukuran 10 − 40 cm, sessil. Tubuh buah bertekstur seperti

kayu, berwarna cokelat karat dan berwarna putih pada bagian tepinya. Himenium
berwarna putih atau abu-abu dan berubah menjadi cokelat jika disentuh. Spora
berwarna cokelat karat, berbentuk elip, permukaan spora berbintil-bintil, ukuran
spora 9 – 13 x 6 − 9 µm. Jamur ini tidak dapat dikonsumsi karena teksturnya yang
keras berkayu. Hidup sebagai parasit pada batang pohon atau saprofit pada kayu
lapuk, kadang hidup dalam koloni (Nurtjahja dan Widhiastuti, 2009).

Universitas Sumatera Utara

7.

Hygrocybe conica
Tudung berdiameter 2 − 9 cm, berbentuk corong atau bel dengan sedikit

cembung pada bagian tengahnya, lengket pada bagian atasnya, berwarna merah
atau kecokelatan. Permukaan himenium berwarna kekuningan. Panjang tangkai
3 − 10 cm, berdiameter sama dari ujung hingga ke pangkal, licin, dan mudah
patah. Spora berwarna putih, berukuran 8 − 14 x 5 – 7 µm, elip, licin, dan hialin.
Jamur ini beracun. Hidup soliter atau berkelompok pada kayu lapuk dan humus di
hutan berdaun jarum (Nurtjahja dan Widhiastuti, 2009).
8.

Microstroma floccosa
Disebut juga dengan shaggy scarlet cup. Tubuh buah berukuran tinggi

1 − 4,5 cm dengan diameter cawan 3 − 10 mm. Cawan berwarna merah, memiliki
rambut-rambut berwarna putih dengan tangkai berwarna putih. Spora hialin,
berukuran 20 − 35 µm, berbentuk elip, licin. Edibilitasnya tidak diketahui. Hidup
soliter atau tersebar pada kayu lapuk (Nurtjahja dan Widhiastuti, 2009).
9.

Pleurotus ostreatus
Terkenal dengan nama pasar jamur tiram putih. Tubuh buah bentuknya

tergantung tempat tumbuh, akan berbentuk setengah lingkaran atau mirip kerang
ketika tumbuh lateral/tumbuh menyamping, kadang batangnya tidak tampak.
Tudungnya akan berbentuk lingkaran sempurna dengan batang terlihat jelas jika
tumbuh vertikal. Bagian tudung memiliki warna yang bervariasi dari hitam, abuabu, cokelat, hingga putih, dengan permukaan yang hampir licin berdiameter
5 − 12 cm. Jamur ini dapat dikonsumsi dan merupakan spesies komersial.
Tumbuh dalam cluster padat di kayu lapuk dan bisa ditemukan sepanjang musim
basah (Rianto, 2011).

Universitas Sumatera Utara

10. Trametes versicolor
Disebut juga dengan Polyporus versicolor atau Coriolus versicolor.
Diameter tubuh buah 3 − 8 cm, datar atau agak melengkung, tipis, kadang
berkoloni seperti bunga mawar, sessil, permukaan atas tubuh buahnya licin
dengan zona variasi warna, tekstur tubuh buah seperti kulit. Spora berwarna putih,
licin, berukuran 4 − 5 x 1,5 − 3 µ m. Jamur ini tidak dapat dikonsumsi karena
teksturnya yang liat. Habitatnya pada kayu lapuk atau parasit pada pohon yang
masih hidup. Hidup sepanjang tahun (Nurtjahja dan Widhiastuti, 2009).
Kondisi Umum Hutan Pendidikan USU sebagai Tempat Penelitian
Berdasarkan Nota Kesepakatan Kerjasama Nomor 2764/H.1.R/KPM/2012
tentang pelaksanaan pendidikan di Taman Hutan Raya Bukit Barisan, antara
Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara dengan Universitas Sumatera Utara,
telah ditetapkan hutan seluas 1000 ha dalam kawasan Taman Hutan Raya Bukit
Barisan sebagai kawasan hutan pendidikan yang dinamakan Hutan Pendidikan
USU. Hutan pendidikan ini merupakan laboratorium alam yang akan digunakan
sebagai tempat praktik dan penelitian mahasiswa dan dosen, khususnya Program
Studi Kehutanan USU, serta pengembangan ekowisata yang tidak memerlukan
sarana dan prasarana bangunan fisik (Progran Studi Kehutanan USU, 2012).
Berdasarkan penelitian Setiawan (2012), Hutan Pendidikan USU secara
geografis terletak pada 3013' LU − 3011' LU dan 98034' BT − 98032' BT, di jajaran
Pegunungan Bukit Barisan, yang meliputi dua kabupaten yaitu Kabupaten Deli
Serdang dan Kabupaten Karo. Batas-batas Hutan Pendidikan USU antara lain, di
sebelah utara berbatasan dengan Desa Doulu dan Desa Bukum, di sebelah timur
berbatasan dengan Desa Bukum dan Desa Tanjung Barus, di sebelah Selatan

Universitas Sumatera Utara

berbatasan dengan Desa Tanjung Barus dan Desa Barus Julu, serta di sebelah
Barat berbatasan dengan Desa Doulu dan Desa Barus Julu.
Hutan Pendidikan USU belum genap dua tahun diresmikan, sehingga
sampai saat ini belum banyak diketahui kekayaan sumberdaya alam hayati yang
dimiliki Hutan Pendidikan USU. Perlu diadakan berbagai penelitian untuk
menggali kekayaan sumberdaya alam hayati di kawasan hutan pendidikan ini,
untuk meningkatkan manajemen pengelolaan, terutama jika kawasan ini akan
dikembangkan menjadi daerah tujuan ekowisata, pendidikan, dan penelitian
(Setiawan, 2012).

Universitas Sumatera Utara