gabung Bunga Rampai15 x 23 edit

KARAKTERISTIK PARAMETER POPULASI IKAN KURISI
(Nemipterus japonicus, (Bloch, 1791)) DI LAUT JAWA
Oleh
Nurulludin1) dan Bambang Sadhotomo1)
1)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut
Email: nurulludin@kkp.go.id
ABSTRAK
Kurisi merupakan salah satu ikan demersal yang telah di eksploitasi secara
intensif. Dalam rangka menjaga keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya ikan
tersebut diperlukan pengelolaan yang didasarkan pada penelitian. Tulisan ini
bertujuan untuk mengetahui beberapa parameter pertumbuhan populasi ikan kurisi
(Nemipterus japonicus) di laut Jawa sebagai bahan acuan pengelolaan. Penelitian
dilaksanakan pada bulan Februari-Desember 2012 di perairan utara Jawa Tengah
dengan metode survei. Hasil analisis diperoleh beberapa parameter populasi ikan
kurisi (K) terbaik sebesar 1 per tahun, (L∞) 19,74 cm, (M) 1,08 per tahun (F) 1,02
per tahun, dan E 0,48 per tahun. Tingkat ekplotasi ikan kurisi relatif optimum.
Kata kunci: Karakteristik, populasi, parameter, laut jawa

PENDAHULUAN
Kurisi merupakan salah satu ikan demersal yang mempunyai nilai

ekonomis dalam perikanan Indonesia. Pemanfaatan ikan ini dalam perdagangan
sehari-hari dalam bentuk segar dan fillet ikan untuk dipasarkan di dalam negeri
sebagai bahan baku pembuatan olahan ikan serta diekspor ke luar negeri. Ikan
kurisi (Nemipterus japonicus) merupakan salah satu ikan yang tertangkap
dominan dengan alat tangkap cantrang dalam tiga tahun terakhir (Badrudin et.al
2011).
Dalam pemanfaatan sumber daya ikan kurisi perlu diperhatikan
pengembangan penelitian dan pengelolaan, serta bagaimana tindakan manusia
untuk mempertahankan serta meningkatkan pemanfaatannya, agar mendapatkan
hasil yang maksimal dengan mempertahankan keseimbangan produksinya,
(Harahap&Bataragoa, 2008). Permasalahan utama dalam pemanfaatan sumber
daya tersebut adalah bagaimana mengelola ikan kurisi tersebut sehingga dapat

1

dimanfaatkan secara berkelanjutan. Hal tersebut diperlukan masukan dari
penelitian untuk mendasarinya
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui beberapa parameter pertumbuhan
populasi ikan kurisi (Nemipterus japonicus) di laut Jawa sebagai bahan acuan
pengelolaan.


BAHAN DAN METODE
Pengukuran data frekuensi panjang ikan dilakukan dari bulan Februari
sampai Desember 2012. Pengambilan contoh ikan diambil dari kapal cantrang
besar dan kecil yang melakukan bongkar muatan secara acak di PPP Tegalsari,
Tegal.
Pengukuran ikan berdasarkan panjang cagak (FL) dengan menggunakan
kertas ukur dengan terlebih dahulu mensortir spesies ikan kurisi (Nemipterus
japonicus). Contoh ikan yang diukur panjangnya sebanyak 50 ekor per basket
sesuai dengan Potier dan Sadhotomo (1991).
1. Pendugaan rata-rata panjang tertangkap (Lc)
Data frekuensi panjang yang terkumpul diaplikasikan untuk perkiraan ratarata ukuran ikan yang tertangkap (Lc) Pendugaan rata-rata panjang tertangkap
dilakukan dengan membuat grafik hubungan antara panjang ikan (sumbu X)
dengan jumlah ikan (sumbu Y) sehingga diperoleh kurva berbentuk S. Nilai
length at first capture yaitu panjang pada 50% pertama kali tertangkap dihitung
dengan persamaan sebagai berikut (Sparre & Venema, 1999) :
S L est 

1
................................................................................(1)

1  exp( S1  S 2 * L)

 1

Ln
 1  S1  S 2 * L .....................................................................................(2)
 SL


L50% 

S1
............................................................................................................(3)
S2

dimana :
SL

= kurva logistik;


S1 dan S2

= konstanta pada rumus kurva logistik

2

2. Pendugaan parameter pertumbuhan
Pendugaan nilai koefesien pertumbuhan L∞ dan K dilakukan dengan
menggunakan metode FISAT II (2004), sedangkan t0 diperoleh melalui persamaan
Pauly (1980). Model pertumbuhan yang digunakan adalah model yang
dikemukakan oleh Von Bertalanffy (Sparre dan Venema, 1999) dengan
persamaan sebagai berikut :
Lt = L∞ (1- e-k (t – to)).............................................................................................(4)
dimana :
Lt = Panjang ikan (cm) pada umur t (tahun)
L∞= Panjang asimptot ikan (cm)
K = Koefisien pertumbuhan (per tahun)
to = Umur teoritis ikan pada saat panjangnya sama dengan nol (tahun)
t = Umur ikan (tahun)
3. Mortalitas

Mortalitas dalam suatu kegiatan perikanan tangkap sangat penting untuk
menganalisis dinamika populasi atau stok ikan.
a. Mortalitas alami (M) diduga dengan metode persamaan empiris Pauly
(1980) dengan rumus :
Ln M = -0,0152 – 0,279*Ln L∞ + 0,6543*Ln K + 0,4634*Ln T ........................(5)
b.

Mortalitas Total (Z)
Pendugaan mortalitas total (Z), mengunakan metode Beverton dan Holt

dalam (Sparre dan Venema, 1999) yaitu :
∞ ̅

........................................................................................................(6)

dimana :
K

= Koefisien laju pertumbuhan (per tahun)


L∞

= Panjang asimptotik kurisi (cm) FL

̅

L’

= Panjang rata – rata kurisi yang tertangkap (cm)
= Batas terkecil ukuran kelas panjang kurisi yang telah tertangkap (cm)
c. Mortalitas Penangkapan (F) dengan Laju Eksploitasi (E)

3

Dari hasil pendugaan nilai Z dan M, maka mortalitas penangkapan (F)
diperoleh dari persamaan;
Z = F + M atau F = Z - M .............................................................................. (7)
E = F/Z ..............................................................................................................(8)
4. Umur
Nilai dugaan umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol (t0)

ikan kurisi diperoleh dengan menggunakan rumus (Pauly, 1980) yaitu :
Log (-t0) = -0.3922 – 0.2752 Log -1.038 Log K..............................................(9)
Lt =L∞(1-e-k(t–to)) .............................................................................................(10)
dimana :
Lt = ukuran panjang ikan pada saat umur t tahun(cm)
L∞ = panjang maksimum ikan yang dapat dicapai
t0 = umur ikan teoritis pada saat panjangnya 0 cm

HASIL
Sebaran frekuensi panjang ikan kurisi hasil tangkapan kapal cantrang
dalam 11 bulan menyebar normal dengan dua modus. Panjang ikan terkecil yang
tertangkap pada kisaran nilai tengah panjang cagak 4,8 cm dan terpanjang berkisar
18,8 cm dan ukuran panjang pertama kali tertangkap (Lc) sekitar 11,41 cm.
(Gambar 1 dan 2).

frekuensi (%)

10
8


n = 6317

6
4
2
0
4.8 5.8 6.8 7.8 8.8 9.8 10.811.812.813.814.815.816.817.818.8
fork length (cm)

Gambar 1. Distribusi frekuensi panjang cagak ikan kurisi (Nemipterus japonicus)

4

Gambar 2. Distribusi frekuensi panjang kumulatif ikan kurisi (Nemipterus
japonicus)
Sebaran kelompok ukuran ikan kurisi (Nemipterus japonicus) mengalami
pergeseran modus sehingga menunjukan adanya rekruitmen dan pertumbuhan.
Hasil analisis FISAT II menunjukkan koefisien pertumbuhan (K) sebesar 1 per
tahun dan panjang asimtotik (L∞) sebesar 19,74 cm. Laju kematian alami (M)
ikan kurisi sebesar 1,08 pertahun, laju kematian karena penangkapan sebesar 1,02

per tahun. Dengan demikian didapatkan laju kematian total sebesar 2,1 pertahun
dan laju eksploitasi E sebesar 0,48 per tahun (Tabel 1).
Tabel 1. Parameter pertumbuhan dan mortalitas kurisi (Nemipterus japonicus)
Parameter

Nilai

L∞ (cm)

19,74

K (tahun-1)

1

Lc (cm)
Z
E
M
F


11,41
2,1
0,48
1,08
1,02

Berdasarkan data panjang (cmFL) pada penelitian ikan kurisi (Nemipterus
japonicus), dengan menggunakan program FISAT, diperoleh nilai panjang
asimtotik (L∞) = 19,74 cm, nilai K = 1 per tahun, dan nilai dugaan umur teoritis
pada saat panjang ikan sama dengan nol (t0) = -0,178 per tahun. Dengan demikian
diperoleh persamaan pertumbuhan ikan kurisi di Pantai Utara Jawa adalah Lt

5

= 19,74(1-e-1(t-0.178)). Dari persamaan tersebut dapat diduga panjang dari ikan

Panjang cagak/FL (cm)

kurisi (Nemipterus japonicus) pada umur tertentu (Gambar 3).

22
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0

L∞

Lt = 19,74(1-e-1(t-0.178))

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9 10 11 12 13 14 15

Umur (tahun)

Gambar 3. Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy ikan kurisi (Nemipterus
japonicus)
PEMBAHASAN
Sebaran panjang ikan kurisi (Nemipterus japonicus) di daerah Tegal
didominasi ukuran 11,45 cm dan pertama kali matang gonad berukuran 12,5 cm.
(Wahyuni, et.al 2009). Menurut Russel (1990) panjang baku maksimum ikan
kurisi (Nemipterus japonicus) di Perairan Laut Cina Selatan adalah 25 cm.
Nilai K sebesar 1 per tahun, hal ini menunjukkan bahwa ikan kurisi
(Nemipterus japonicus) merupakan ikan dengan pertumbuhan cepat. Sparre &
Venema (1999) menyatakan bahwa ikan yang mempunyai koefisien laju
pertumbuhan (K) yang tinggi berarti mempunyai kecepatan pertumbuhan yang
tinggi dan biasanya ikan-ikan tersebut memerlukan waktu yang singkat untuk
mencapai panjang maksimumnya. Ikan - ikan yang laju koefisiennya rendah,
membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai panjang maksimumnya, maka
cenderung berumur panjang.
Laju kematian alami (M) ikan kurisi sebesar 1,08 pertahun, laju kematian
karena penangkapan (F) sebesar 1,02 per tahun. Nilai kedua laju kematian ikan
kurisi tersebut seimbang, sehingga diperkirakan stock ikan yang dieksploitasi di
perairan Laut Jawa sudah optimal. Menurut Atmaja & Nugroho, (2004) bahwa
kematian ikan akibat penangkapan adalah berbanding lurus dengan upaya
penangkapan dan kemampuan tangkap. Hal ini berarti kenaikan kematian akibat

6

penangkapan akan diikuti dengan kenaikan upaya penangkapan. Gulland (1971)
in Sparre & Venema (1999) menduga bahwa dalam stok yang dieksploitasi
optimal maka laju mortalitas penangkapan (F) sama dengan laju mortalitas
alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5.
Nilai E ikan kurisi pada saat penelitian sebesar 0,48 hal ini berarti bahwa
stok ikan yang dieksploitasi relatif optimal.

Pembatasan jumlah unit kapal

cantrang mungkin opsi yang paling dimungkinkan, hal ini juga didasarkan pada
nilai panjang asimtotik kurisi (Nemipterus japonicus) semakin kecil jika
dibandingkan dengan negara lain. Gulland (1971) mengemukakan bahwa gejala
over eksploitasi dapat ditandai dengan menurunnya hasil tangkapan per upaya
penangkapan, semakin kecilnya ukuran ikan yang tertangkap, dan bergesernya
fishing ground ke daerah yang lebih jauh dari pantai. Penentuan laju eksploitasi
merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan kondisi
sumberdaya perikanan dalam pengkajian stok ikan (King 1995).
Tabel 2. Parameter pertumbuhan ikan kurisi (Nemipterus japonicus) pada
beberapa perairan
L∞ (cm)

Tipe
panjang

K (tahun-1)

SuhuoC

23,5
20,9

FL
TL

0,73
0,65

28
27,5

28,5
21,0

TL
FL

0,65
0,95

28
28,4

1,68

Brunei
Philippina

30,5

TL

1

27,6

2,52

Madras, India

M

Negara
Bangladesh
Andra-Orissa, India

(Sumber ; Fish Base, 2012)
Gulland (1971) juga mengemukakan bahwa laju eksploitasi (E) suatu stok
ikan berada pada tingkat maksimum dan lestari (MSY) jika nilai F = M
atau

laju eksploitasi (E) = 0,5. apabila nilai E lebih besar dari 0,5 dapat

dikategorikan lebih tangkap biologis yaitu lebih tangkap pertumbuhan terjadi
bersama-sama dengan lebih tangkap recruitmen. Lebih tangkap pertumbuhan
yaitu tertangkapnya ikan - ikan muda yang akan berpotensi sebagai stok
sumberdaya perikanan sebelum mereka mencapai ukuran yang pantas untuk
ditangkap sedangkan lebih tangkap rekruitmen yaitu bila jumlah ikan-ikan

7

dewasa di dalam stok terlalu banyak dieksploitasi sehingga reproduksi ikanikan muda juga berkurang (Pauly, 1984).
Ikan kurisi (Nemipterus japonicus) Laut Jawa memiliki panjang asimtotik
(L∞) kecil jika dibandingkan dengan beberapa perairan di negara lain. Menurut
Ficher & White head (1974) dalam Siregar (1997) ciri ikan kurisi adalah
berukuran kecil, badan langsing serta menyatakan bahwa ikan kurisi maksimal
berukuran

30

cm, umumnya yang sering tertangkap berukuran 16-25 cm.

Berdasarkan pengamatan Brojo & Sari (2002) menyatakan bahwa ukuran
pertama kali ikan betina matang gonad (Lm) adalah pada ukuran sekitar 17
cm (kisaran 15- 18 cm). Lagler, et.al (1977) in

Gumilar (2011) mengatakan

bahwa perbedaan ukuran ikan antar jenis kelamin kemungkinan disebabkan oleh
faktor genetik.
KESIMPULAN
Parameter populasi ikan kurisi di Laut Jawa memiliki koefisien
pertumbuhan (K) sebesar 1 per tahun dan panjang asimtotik (L∞) 19,74 cm, laju
mortalitas alami (M) 1,08 pertahun, mortalitas penangkapan (F) 1,02 per tahun
dan mortalitas total (Z) 2,1 sehingga diperoleh laju eksploitasi (E) 0,48 yang
berarti bahwa tingkat pemanfaatan ikan kurisi di perairan Laut Jawa sudah
optimal.
SARAN
Perlu adanya pembatasan jumlah alat tangkap cantrang di Laut Jawa agar
stok sumberdaya ikan kurisi tetap lestari.
PESANTUNAN
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil penelitian pengkajian
sumberdaya ikan demersal di WPP716- Laut Sulawesi dan WPP 712- Laut Jawa
Tahun 2012 di Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta.

8

DAFTAR PUSTAKA

Atmaja & Nugroho, 2004. Karakteristik parameter populasi ikan siro
(Amblygaster sirm) dan model terapan Beverton dan Holt di Laut Natuna
dan sekitarnya. JPPI Vol. 10 No. 4 Tahun 2004
Badrudin, Tri Ernawati, Aisyah 2011. Kelimpahan stok sumberdaya ikan
demersal di Perairan Sub Area Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia Vol. 17 No. 1 Maret Tahun 2011
Brojo M & Sari RP. 2002. Biologi reproduksi ikan kurisi (Nemipterus
tambuloides Bleeker) yang didaratkan di TPI, Labuan, Pandeglang.
Jurnal Iktiologi Indonesia. 2(1) : 9-13.
Fischer W. & Whitehead P.J.P., 1974. FAO - Species Identification Sheets for
Fishery Purposes. Eastern Indian Ocean (fishing area 57) and Western
Central Pacific (fishing area 71). Vol. 4. pag. var. Rome: FAO
Fish

Base
2012. Growth parameters for Nemipterus
www.fishbase.org/. Diakses tanggal 23 Desember 2012

japonicus.

FISAT II. 2004. FAO – ICLARM Fish Stock Assessment Tools Version 1.13.
Rome
Gulland, J.A. 1971. The Fish Resources of the Oceans. Fishings News
(Books) Ltd. Surrey, England.209 p.
Gumilar AD. 2011. Kajian
furcosus, Valenciennes
Serang, Provinsi Banten
daya Perairan, Fakultas
Bogor.

stok sumber daya ikan kurisi (Nemipterus
1830) di Perairan Teluk Banten Kabupaten
[skripsi]. Program Studi Manajemen Sumber
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian

Harahap & Bataragoa, 2008. Pola pertumbuhan dan foktor kondisi ikan kurisi
(Aphareus rutilans Cuvier, 1830) di Perairan Laut Maluku. Pacifik
Jaournal. September 2008. Vol. 1(3) : 287-291
Jennings S., M. Kaiser, & J.D. Reynolds,2001. Marine Fisheries Ecology. Alden
Press Ltd. Blackwell Publishing. United Kingdom. 417 pp.
King, M. 1995. Fisheries Biology Assessment and Management. Fishing News
Books, Oxford. 341 p.
Lagler,

K.F., J.E. Bardach, R.R. Miller, and D.R.M. Passino. 1977.
Ichthyology. Second edition. John Wiley and Sons, Inc., New York.

9

Pauly, D. 1980. A selection of simple methods for the assessment of tropical fish
stocks. FAO Fish. Circ. FIRM/C 729. Roma. 54 pp.
Potier, M. & B Sadhotomo 1991. Sampling training. ALA/INS/87/17. Scien. And
Tech. Doc. 4. 29 p
Russel, B.C. 1990. F.A.O. Species Catalogue. Vol.12. Nemipterus Fishes of the
World (Treadfin Breams, Whiptail Breams, Monocle Breams, Dwarf
monocle breams, and Coral breams) Family Nemipteridae an Annotated
and Illustrated Catalogue of Nemipterid Species Known to Date. FAO.
Fisheries Synopsis. No.125 Vol.12 149 pp.
Siregar, E.B. 1997. Pendugaan stok dan parameter biologi ikan kurisi (Nemipterus
japonicus) diperairan Teluk Lampung. Skripsi. ProgramStudi ilmu
Kelautan, Fakultas perikanan. IpB.7o p.
Sparre, P. & S.C. Venema, 1999. Introduksi pengkajian stok ikan tropis. Buku 1.
Manual. FAO fish. Tech.
Wahyuni, I.S, Hartati, S.T, & I.J Indarsyah 2009. Informasi biologi perikanan ikan
kurisi (Nemipterus japonicus) di Blanakan dan Tegal. Bawal. Vol.2 No.4
April 2009

10

Lampiran 1. Garis pertumbuhan ikan kurisi (Nemipterus japonicus)
Appendix 1. The growth curve of threadfin bream (Nemipterus japonicus)

11

PARAMETER POPULASI IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus malabaricus)
DI PERAIRAN LAUT JAWA BAGIAN TIMUR (BRONDONG)
Oleh
Wahyuningsih1), Prihatiningsih1) dan Tri Ernawati1)
1)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut
ABSTRAK
Ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) merupakan jenis ikan demersal dari
famili Lutjanidae yang bernilai ekonomis penting di Indonesia. Penelitian
dilakukan dari bulan Januari sampai dengan November 2012 di Brondong,
Lamongan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa aspek parameter
populasi (Lc, Lm, L∞, t0, K, Z, E, M, F) dari ikan kakap merah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa panjang rata-rata kakap merah yang tertangkap belum
sempat melakukan pemijahan (Lc Lc (Lm = 50,004 ; Lc = 38,51). Hal itu menunjukkan bahwa
ukuran rata-rata panjang pertama kali tertangkap lebih kecil dari ukuran pertama
kali matang gonad, sehinngga dapat dikatakan bahwa sebagian besar ikan-ikan
yang tertangkap belum sempat melakukan pemijahan. Oleh karena itu perlu suatu
kebijakan dalam pengelolaan untuk menjaga sumberdaya yang berkelanjutan.
Salah satunya adalah dengan menentukan minimum Legal Size, yaitu paling tidak
ukuran yang tertangkap lebih besar atau sama dengan Lm (length maturity).
Menurut Grimes (1987), ikan kekakapan mencapai ukuran kematangan gonad
pada ukuran panjang 40% - 50 % dari panjang maksimumnya dan perbedaan
ukuran pada saat maturasi sangat dipengaruhi oleh kedalaman serta tipe habitat
kaitannya dengan kelimpahan makanan. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya

19

yaitu oleh Prihatiningsih (2012), menyatakan bahwa nilai Lc kakap merah
(Lutjanus malabaricus) di perairan Kotabaru (Kalimantan Selatan) yaitu 40,5
cmFL. Hasil tersebut hampir sama dengan penelitian oleh Herianti (1993), bahwa
nilai Lc kakap merah di perairan Laut Jawa adalah 43,3.
Nikolskii (1969) mengatakan bahwa pertumbuhan merupakan faktor
penting dalam dinamika populasi, karenanya informasi mengenai parameter
pertumbuhan perlu diketahui sebab dapat digunakan sebagai dasar untuk menduga
kondisi sumberdaya di suatu perairan seperti besarnya sediaan, tingkat
pengusahaan serta kemungkinan pengelolaannya. Berdasarkan data hasil
penelitian ikan kakap merah di Brondong dan hasil penelitian sebelumnya seperti
yang telah ditampilkan pada tabel 1, diperoleh nilai K yang kurang dari satu.
Menurut Gulland (1983), apabila nilai K yang kurang dari satu menunjukkan
bahwa ikan ini mempunyai pertumbuhan yang lambat. Laju pertumbuhan yang
lambat sangat mempengaruhi pola pemanfaatannya. Untuk mencapai pola
pemanfaatan yang lestari, perlu dipertimbangkan waktu yang tepat untuk
menangkap ikan, baik ditinjau dari sumber dayanya maupun segi ekonominya.
Ikan-ikan yang berumur muda harus dibiarkan tumbuh dewasa terlebih dahulu
sebelum ditangkap. Penangkapan ikan-ikan muda yang berlebihan akan
mengakibatkan kelebihan tangkap pertumbuhan (growth overfishing). Hal ini juga
menyebabkan kelebihan tangkap penambahan baru (recruitment overfishing),
karena ikan-ikan muda yang belum sempat dewasa dan bertelur sudah tertangkap
terlebih dahulu sehingga kehilangan kesempatan untuk penambahan baru
(recruitment). Menurut Sparre dan Venema (1998), nilai K merupakan suatu
parameter yang menentukan seberapa cepat ikan mencapai panjang asimptotiknya
(L∞).
Hasil penelitian ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) di Brondong,
pada ukuran panjang (FL) terkecil 15 cm diduga berumur 0,74 tahun sedangkan
pada ukuran panjang (FL) terbesar 94 cm diduga berumur 15 tahun. Menurut
Newman et al. (2000) ikan kakap merah jenis Lutjanus malabaricus mempunyai
umur yang cukup panjang dapat mencapai 20 tahun dan pertumbuhannya relatif
lambat setelah mencapai dewasa. Ikan yang memiliki koefisien pertumbuhan yang
tinggi pada umumnya memiliki umur yang relatif pendek (Paully, 1980).

20

Tingkat pemanfaatan (E) pada kakap merah (Lutjanus malabaricus) adalah
0,53. Hal itu menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatannya relatif optimum.
Menurut Gulland (1983), tingkat pemanfaatan optimum berada pada saat E = 0,5.
Kondisi tersebut perlu kehati-hatian dalam melakukan pengelolaan. Sebaiknya
dalam pengelolaan tersebut tidak boleh adanya penambahan upaya penangkapan,
karena

jika

terjadi

penambahan

upaya

penangkapan

dikhawatirkan

pemanfaatannya mengarah pada kondisi over fishing. Nilai F menunjukkan
seberapa besar dan meningkatnya tekanan penangkapan (fishing pressure)
terhadap stok ikan di suatu perairan (Suman & Boer, 2005). Variasi laju kematian
alamiah (M) dari satu jenis ikan tidak terlalu besar, biasanya nilainya dianggap
tetap dari tahun ke tahun (Paully et al., 1984). Hal ini menyebabkan laju kematian
total (Z) dari tahun ke tahun lebih banyak ditentukan oleh laju kematian karena
penangkapan (F) dibandingkan laju kematian alamiah (M).
KESIMPULAN
Rata-rata ikan yang tertangkap belum sempat melakukan pemijahan (Lc <
Lm). Persamaan pertumbuhan ikan kakap merah adalah Lt = 97,65[1-e-0,220(t

+

0,024)

]. Tingkat pemanfaatan (E) adalah 0,53 yang berarti bahwa tingkat

pemanfaatannya relatif optimum. Sehingga perlu kehati-hatian dalam upaya
pengelolaannya.

PERSANTUNAN
Tulisan ini merupakan hasil dari kegiatan riset: Pengkajian Sumber Daya
Ikan Demersal di WPP 716 Laut Sulawesi dan WPP 712 Laut Jawa di Balai
Penelitian Perikanan Laut Tahun 2012.

DAFTAR PUSTAKA
Edwards, R. R. C. And S. Shaher. 1991. The biometrics of marine fishes from the
Gulf of Aden. Fishbyte 9 (2): 27-29.
Grimes, C. B. 1987. Reproduvtive biology of the lutjanidae: a review. Westview
Press. Boulder and London. pp: 239-294.
Gulland, J. A. 1983. Fish stock assessment. A Manual of Basic Methods. John
Wiley & Sons. Chicester. 233 p.

21

Herianti, I., R.Djamal. 1993. Dinamika populasi kakap merah Lutjanus
malabaricus (Bloch and Schneider) di perairan Utara Laut Jawa.
Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 78. Hal. 18 – 25.
Marzuki, S. dan R. Djamal. 1992. Penelitian penyebaran kepadatan stok dan
beberapa parameter biologi induk kakap merah dan kerapu di perairan
laut jawa dan kepulauan Riau. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No.
68 tahun 1992. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. Hal. 49-65.
Mathews, C. P. and Samuel, 1991. Growth, mortality and length-weight
parameters for some Kuwaiti fish and shrimp. Fishbyte 9 (2): 30-33.
Newman, S. J., M. Cappo & D. Williams. 2000. Age, growth, mortality rates, and
corresponding yield estimates using otoliths of the tropical red
snappers, Lutjanus erythropterus, L.malabaricus, and L. Sebae, from
the central Great Barrier Reef. Fisheries Research 48: 1-14.
Nikolskii, G. V. 1969. Fish population dynamics. Oliver and Boyd, Edinburg. 323
p.
Pauly, D. 1980. A selection of simple methods for the assessment of tropical fish
stocks. FAO Fish. Circ. FIRM/C 729. Roma. 54 pp.
Pauly, D. J. Ingles, R. Neal. 1984. Application to shrimp stocks of objective
methods for the estimation of growth, mortality, and recruitment
related parameters from length frecuency data (ELEFAN I and
ELEFAN II). In Penaeid Shrimp-Their Biology and Management.
220-234. Fishing News Book Limited. Farnham-Surrey-England.
Prihatiningsih. 2012. Pertumbuhan, umur dan mortalitas ikan kakap merah
(Lutjanus malabaricus) dari perairan Kotabaru (Pulau Laut)
Kalimantan Selatan. Prosiding. Seminar Nasional Perikanan
Tangkap. Manado 30-31 Oktober 2012. Hal 373-383.
Sparre, P. & S. C. Venema. 1998. Introduksi pengkajian stok ikan tropis. Badan
Penelitian dan Pengembangan Perikanan (Terjemahan) : Introduction
to Tropical fish stock assessment. FAO Fish Tech. Paper. 306.(1) 376
pp.
Suman, A. & M. Boer. 2005. Ukuran pertama kali matang kelamin, musim
pemijahan, dan parameter pertumbuhan udang dogol (Metapenaeus
ensis de Haan) di perairan Cilacap dan sekitarnya. Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia. 11(2): 69-74.
Udupa, K. S. 1986. StatisticaL method of estimating the size of first maturity in
fish. Fishbyte ICLARM. Manila. Vol 4 No 2. August 1986. 8-1.

22

ASPEK BIOLOGI IKAN SWANGGI (Priacanthus macracanthus) DI
PERAIRAN REMBANG, LAUT JAWA
Oleh
Nur’ainun Muchlis1) dan Muhammad Taufik1)
1)

Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menganalisis beberapa aspek biologi dan parameter
populasi ikan swanggi. Persamaan panjang-berat ikan swanggi pada kelamin
betina adalah W = 0.8916L1.5755 dan kelamin jantan adalah W = 1.0551L1.5126
dengan nilai koefisien korelasi (r) masing-masing 0.865 dan 0.6804. Musim
pemijahan ikan swanggi di Laut Jawa diduga terjadi sepanjang tahun dengna
puncaknya bulan Oktober hingga Nopember. Hasil analisis struktur ukuran
panjang ikan swanggi diperoleh nilai K = 1.00 dengan L∞ = 30.24 cm. Nilai M
pada suhu 29oC adalah 1.81, nilai F = 2.43 per tahun dan n ilai Z = 4.24 per tahun.
Laju eksploitasi (E) ikan swanggi adalah 0.57 nilai tersebut mengindikasikan
bahwa pemanfaatan sudah melampaui batas maximum yang boleh di eksploitasi,
untuk itu diperlukan upaya pengurangan jumlah armada atau perubahan alat
tangkap yang digunakan.
Kata Kunci: Aspek biologi, ikan swanggi, Rembang, Laut Jawa

PENDAHULUAN
Ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) adalah salah satu jenis ikan
demersal yang bernilai ekonomis penting. Pengertian ekonomis penting yang
dimaksud adalah komoditas tersebut mempunyai nilai pasar yang tinggi, volume
produksi makro yang tinggi dan luas serta daya produksi yang tinggi pula (Dirjen
Perikanan, 1979).
Ikan swanggi merupakan ikan karang demersal dengan karakteristik
khusus berwarna merah muda, memiliki mata besar, dan pada sirip perut terdapat
bintik berwarna ungu kehitam-hitaman (FAO, 1999).

Family Priacanthidae

memiliki penyebaran yang luas diperairan tropis maupun subtropics, dimana
kadang-kadang ditemukan secara soliter ataupun dalam bentuk gerombolan yang
besar.
Penelitian ini bertujuan menganalisis berbagai aspek biologi ikan
swanggi yang meliputi hubungan panjang berat, rasio kelamin, tingkat
kematangan gonad, isi lambung serta pendugaan parameter populasi.

23

BAHAN DAN METODE
Pengambilan contoh ikan dilakukan secara acak di tempat pendaratan
ikan atau langsung dari nelayan perairan Rembang dan sekitarnya. Contoh ikan
disortir dan diidentifikasi jenisnya berdasarkan panduan dari Tarp & Kailola
(1982). Contoh ikan diukur panjang total (TL), ditimbang beratnya, dilakukan
pembedahan untuk penentuan tingkat kematangan gonad (TKG), jenis kelamin
serta dilakukan pengamatan terhadap isi lambung untuk mengetahui kebiasaan
makan dari ikan swanggi.
Analisis Data
Hubungan panjang – berat mengacu pada Effendie (1979) dengan
formula :
W = aLb ………………………………………………………………………………………………………………..……. 1

Dimana :
W = berat ;

L = panjang

a = intersep (perpotongan kurva hubungan panjang-berat dengan sumbu Y)
b

= kemiringan (slope)
Untuk menguji nilai b = 3 atau b ≠ 3 dilakukan uji –t (uji parsial),

dengan hipotesis :
H0 : b = 3, hubungan panjang dan berat adalah isometrik.
H1 : b ≠ 3, hubungan panjang dengan berat adalah allometrik yaitu :
Pola hubungan panjang-berat bersifat allometrik positif, bila b > 3 (pertambahan
berat lebih cepat daripada pertambahan panjang), dan allometrik negatif, bila b <
3 (pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat).

HASIL DAN BAHASAN
1.

Hubungan Panjang-Berat
Pengukuran individu terhadap 4.037 ekor ikan swanggi (Priacanthus

macracanthus) di perairan Rembang (Laut Jawa) diperoleh sebaran ukuran
panjang berkisar 14.4 – 31.2 cm (panjang cagak, FL) dan kisaran beratnya 41.7 –
208.46 gram.
Persamaan panjang-berat ikan swanggi pada kelamin betina adalah W =
0.8916L1.5755 dan kelamin jantan adalah W = 1.0551L1.5126 dengan nilai koefisien

24

korelasi (r) masing-masing 0.865 dan 0.6804 (Gambar 1). Jika nilai koefisien
korelasi (r) mendekati nilai -1 atau 1, maka terdapat hubungan linier yang kuat
antara kedua variable tersebut (Walpole, 1993).

Dengan demikian terdapat

hubungan yang erat yaitu sekitar 60-80 % antara panjang dengan berat ikan
swanggi di Rembang.

Berat (gr)

200

Betina/Female
y = 0.8916x1.5755
R² = 0.865

150
100
50
0
0

10

20

30

Panjang cagak, FL (cm)

250

Jantan/Male

Berat (gr)

200

y = 1.0551x1.5126
R² = 0.6804

150
100
50
0
0

10

20

30

40

Panjang cagak, FL (cm)

Gambar 1. Hubungan panjang-berat ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) di
Rembang
Nilai b pada jenis kelamin jantan dan betina ikan swanggi adalah 1.5755
dan 1.5126.

berdasarkan hasil uji –t terhadap parameter b pada selang

kepercayaan 95% diperoleh thitung > ttabel, yang artinya b < 3. Secara keseluruhan
pola pertumbuhan ikan swanggi baik ikan jantan maupun ikan betina bersifat
allometrik negatif yang artinya pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan
pertambahan berat.

2.

Rasio Kelamin
Pengamatan terhadap rasio kelamin ikan swanggi hasilnya pada setiap

bulan pengamatan ditemukan jenis kelamin jantan lebih dominan dibanding jenis

25

kelamin betina. Pada bulan Mei terlihat jantan jauh lebih dominan yaitu sebanyak
85 % dari total ikan swanggi yang diamati.
120

Persentase (%)

100
80
Jenis Kelamin :

60

Jantan

40

Betina

20
0
Januari

Februari

Mei

Juni

September

Gambar 2. Jenis Kelamin Priacanthus macracanthus

3. Tingkat Kematangan Gonad (TKG)
Hasil pengamatan TKG pada setiap pengambilan contoh ikan swanggi,
diperoleh ikan yang mempunyai tingkat kematangan gonad yang berbeda-beda.
Dari jumlah ikan yang matang gonad (matang kelamin) setiap kali pengambilan
contoh (sampling) di lokasi penelitian menunjukkan pergeseran persentase
bulanan yang dapat dijadikan parameter untuk mengetahui musim pemijahannya.
Ikan dikatakan matang gonad apabila telah mencapai fase ke-5 dari tingkat
kematangan gonad ikan, namun pada penelitian ini hanya ditemukan hingga fase
ke-4 yaitu pada bulan Mei dan September, sehingga diduga puncak musim
pemijahan terjadi pada bulan Oktober hingga Nopember.

26

120

Persentase (%)

100
80

TKG :
IV

60

III

40

II

20

I

0
Januari

Februari

Mei

Juni

September

Gambar 3. Tingkat Kematangan Gonad Priacanthus macracanthus (dipisah
jantan betina)
4. Isi Lambung
Pengamatan terhadap isi lambung ikan swanggi ditemukan beberapa
jenis ikan, udang-udangan, cumi, kepiting dan bivalvia, namun yang mendominasi
adalah ikan dan udang dimana jenis ini ditemukan pada setiap pengamatan.

Persentase (%)

100%
80%

40%

Isi Lambung :
Kepitin
g
Cumi

20%

Bivalvia

60%

0%
Jan

Feb

Mei

Juni

Sept

Gambar 4. Isi lambung Priacanthus macracanthus

Pendugaan Parameter Populasi
Perhitungan parameter populasi dimaksudkan untuk mengetahui tingkat
eksploitasi ikan di suatu perairan. Penentuan parameter populasi yang meliputi
panjang maksimum teoritis (L∞), laju pertumbuhan (K), laju kematian (Z, M dan
F) dan laju eksploitasi (E) berdasarkan analisis frekuensi panjang individu yang

27

disampling per bulan di Rembang. Laju kematian dan nilai ekspoitasi disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1. Parameter populasi ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) di
Rembang
Jenis Ikan
Priacanthus
macracanthus

L. ∞ (cm)

(K: cm/year)

F

M

Z

E

30.24

1.00

2.43

1.81

4.24

0.57

Hasil analisis struktur ukuran panjang ikan Priacanthus macracanthus
dengan FISAT diperoleh hasil sebaran kelompok ukuran ikan Swanggi
(Priacanthus macracanthus) mengalami pergeseran ke kiri dan kanan sehingga
menunjukan adanya rekruitmen dan pertumbuhan. Laju pertumbuhan K = 1.00
dengan L∞ = 30.24, mortalita alami (M) pada suhu 29oC adalah 1.81, pertumbuhan
mortalitas karena penangkapan (F) = 2.43 pertahun. Sehingga mortalitas total (Z)
= 4.24 pertahun. Laju eksploitasi ikan swanggi adalah 0.57 nilai E tersebut
mengindikasikan bahwa pemanfaatan sudah melampaui batas maximum yang
boleh di eksploitasi, untuk itu diperlukan suatu upaya pengurangan jumlah armada
atau perubahan alat tangkap yang digunakan.

.
Gambar 5. Sebaran Frekwensi Panjang ikan Priacanthus macracanthus

KESIMPULAN
1. Hubungan panjang-berat ikan swanggi jenis betina dan jantan bersifat
allometrik negatif dengan persamaan pada ikan swanggi betina W =
0.8916L1.5755 dan ikan swanggi jantan adalah W = 1.0551L1.5126.

28

2. Musim pemijahan ikan swanggi diperkiran pada bulan Oktober hingga
Nopember.
3. Laju eksploitasi ikan swanggi di Rembang adalah 0.57 nilai tersebut
mengindikasikan bahwa pemanfaatan sudah melampaui batas maximum yang
boleh di eksploitasi, untuk itu diperlukan suatu upaya pengurangan jumlah
armada atau perubahan alat tangkap yang digunakan.

PERSANTUNAN
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil Penelitian
Pengkajian Sumberdaya Ikan Demersal di WPP-716 Laut Sulawesi dan WPP-712
Laut Jawa, T.A. 2012 di Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru, Jakarta

DAFTAR PUSTAKA
Dirjen Perikanan, 1979. Buku Pedoman Pengenalan sumberdaya Perikanan Laut,
Bagian I: Jenis-jenis ikan ekonomis penting.
Direktorat Jenderal
Perikanan, Departemen Pertanian. Jakarta, 170 pp.
Effendie, M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.
112 pp.
FAO (Food Agricultural Organization), 1999. The Living Marine Mesources of
Western Central Pasific. Spesies Identification guide for Fishery Purpose.
Department of Biological Sciences Old Dominion. Norfolk University,
Virginia.
Tarp, T.G. & P.J. Kailola. 1982. Trawled Fishes of Southern Indonesia and
North-Western Australia. ADAB, GDF, and GTZ. Singapore. 406 pp.
Walpole, R. E. 1993. Pengantar Statistik. Edisi ke tiga. Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.

29

BIOLOGI REPRODUKSI DAN KEBIASAAN MAKAN IKAN PETEK
(Leiognathus splendens) DI PERAIRAN BANTEN DAN SEKITARNYA
Oleh
Prihatiningsih 1), Pustika Ratnawati1) dan Muhammad Taufik1)
1)

Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta
Email : prie_nining@yahoo.com

ABSTRAK
Ikan petek (Leiognathus splendens) adalah salah satu jenis ikan demersal yang
cukup banyak tertangkap di perairan pantai Laut Jawa seperti di perairan Banten
dan sekitarnya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui, biologi reproduksi dan
kebiasaan makan ikan petek. Pengambilan contoh ikan petek dilakukan di Kronjo
dan Cituis (Tangerang, Banten) pada Januari – Desember 2012 dengan alat
tangkap jaring cantrang. Hasil penelitian menunjukkan pola pertumbuhan ikan
petek jantan dan betina bersifat allometrik negatif. Nilai faktor kondisi ikan petek
jantan berkisar 1,483 – 1,937 dengan rata-rata 1,702 dan betina berkisar 1,214 –
2,043 dengan rata-rata 1,768. TKG ikan petek jantan dan betina berada pada
stadia I – IV dan diduga musim pemijahan terjadi beberapa kali dalam setahun
dan puncaknya terjadi pada September. Fekunditas ikan petek berkisar 6.483 –
32.712 butir telur dengan rata-rata 23.880 butir dengan ukuran diameter telur
berkisar 134 – 402 µm dengan rata-rata 268 µm. Ikan petek merupakan jenis ikan
omnivora dengan makanan utamanya yaitu fitoplankton maupun zooplankton,
makanan pelengkapnya molluska dan krustasea dan makanan tambahannya
polychaeta, larva bivalva dan larva gastropoda.
Kata Kunci: Biologi reproduksi, kebiasaan makan, ikan petek, perairan Banten.
PENDAHULUAN
Ikan petek (Leiognathus splendens) adalah salah satu jenis ikan demersal
yang cukup banyak tertangkap dengan menggunakan jaring cantrang di perairan
Banten, pantai utara Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan pantai timur
Lampung. Ikan petek memberikan kontribusi yang cukup tinggi terhadap
eksploitasi sumberdaya ikan demersal di perairan pantai utara Jawa. Hal yang
mendasari penelitian ini adalah bahwa ikan petek merupakan ikan demersal yang
paling banyak tertangkap di perairan Laut Jawa yaitu sebesar 60% (Badruddin,
1988; Sumiono et al. 2002; Parwati et al. 1988) sehingga dibutuhkan data dan
informasi lebih lengkap mengenai beberapa aspek biologinya.
Menurut Longhurst & Pauly (1987) ikan petek hidup bergerombol di
daerah berpasir atau pasir berlumpur pada kedalaman 10 – 50 m. Selain itu, ikan
31

petek memiliki pertumbuhan dan rekruitmen tinggi (Pauly, 1980). Dari segi
ekonomi, ikan petek dimasukan ke dalam kategori ”ikan rucah” (trash fish). Di
pantai utara Jawa petek biasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat dan harganya
relatif mahal dibandingkan dengan jenis ikan demersal lainnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola biologi reproduksi dan
kebiasaan makan ikan petek (Leiognathus splendens). Hasil penelitian ini
diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pembanding penelitian selanjutnya dan
dapat memberikan kontribusi terhadap pola pengelolaan dan pengembangan
sehingga sumberdaya ikan petek dapat dimanfaatkan dengan tetap dijaga
kelestariannya.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Pengambilan contoh ikan petek dilakukan di Tempat Pendaratan Ikan
(TPI) Kronjo dan Cituis (Tangerang, Banten) mulai Januari sampai Desember
2012. Analisis sampel dilakukan di laboratorium Balai Penelitian Perikanan Laut
Jakarta.
Pengumpulan Data
Contoh ikan petek (Leiognathus splendens) diperoleh dari hasil tangkapan
menggunakan jaring cantrang dengan mata jaring (mesh size) 1 inch. Jaring
cantrang ini dioperasikan sampai kedalaman air sekitar 30 meter. Contoh ikan
diukur panjang total (TL) (ketelitian 0,1 cm) dan bobotnya (ketelitian 0,1 gram).
Gonad dan isi lambung ikan petek diawetkan dengan menggunakan larutan
formalin 10% dan gilson.
Analisis Data
Hubungan panjang-berat
Hubungan panjang-berat mengacu pada Effendie (1979) dengan formula:
W = aLb .................................................................................................................(1)
dimana :
W

= berat

L

= panjang

32

a
b

= intersep (perpotongan kurva hubungan panjang-berat dengan sumbu Y)
= ”slope”
Untuk menguji nilai b = 3 atau b ≠3 dilakukan uji –t (uji parsial), dengan

hipotesis:
H0

: b = 3, hubungan panjang dan berat adalah isometrik

H1

: b ≠3, hubungan panjang dengan berat adalah allometrik yaitu :

Pola hubungan panjang-berat bersifat allometrik positif, bila b > 3 (pertambahan
berat lebih cepat daripada pertambahan panjang), dan allometrik negatif, bila b <
3 (pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat).
Faktor kondisi
Perhitungan faktor kondisi berdasarkan pada panjang dan berat ikan.
Setelah pola pertumbuhan panjang diketahui, nilai faktor kondisi dapat dihitung.
Faktor kondisi ikan petek dihitung dengan rumus (Effendie, 1979):
Kn = 102 W/L3 …………………………………………………………………...(2)
Dimana: Kn = faktor kondisi; W = bobot rata-rata ikan; L = panjang rata-rata ikan
Nisbah kelamin
Nisbah kelamin dihitung dengan cara membandingkan jumlah ikan petek
jantan dengan jumlah ikan petek betina dengan menggunakan uji chi-square
(Steel & Torrie, 1993) dengan rumus :
k

X2 
i 1

(Oi  ei ) 2 …………………………………………………..………….(3)
ei

dimana ;
Oi

= Jumlah frekuensi ikan jantan dan betina;

ei

= Jumlah ikan jantan dan betina harapan pada sel ke-1;

k

= kelompok stasiun pengamatan untuk ikan jantan dan betina yang
ditemukan.

Tingkat kematangan gonad (TKG)
TKG diamati secara visual dengan cara melihat perubahan morfologi
gonad serta pengamatan histologi dengan metode parafin dan pewarnaan
hematoxylin - eosin. Perkembangan oosit dibagi menjadi lima stadium
berdasarkan klasifikasi Kuo et al. (1974), yaitu stadium I (oosit primer
mempunyai khromatin nukleolus dan perinukleolus); stadium II (terdapat vesikel
33

pada kuning telur); stadium III (terdapat globula pada kuning telurnya); stadium
IV (stadium matang telur, ditandai dengan bergeraknya inti sel dari tengah ke tepi)
dan stadium V (disebut stadium atretis; gonad berbentuk kecil, telur belum dapat
dibedakan oleh mata biasa,ukuran menyusut, berwarna kemerahan).
Indeks kematangan gonad (IKG)
Indeks kematangan gonad (IKG) didapat melalui rumus yang diuraikan
Effendie (1979), yaitu : IKG  Bg x100% ............................................................(4)
Bt

dimana ;
IKG

: Indeks kematangan gonad (%)

Bg

: Berat gonad ikan (gram)

Bt

: Berat total ikan (gram).

Fekunditas dan diameter telur
Penghitungan fekunditas ikan petek dilakukan dengan mengambil gonad
ikan petek yang sudah mencapai TKG III dan IV. Pengukuran ukuran diameter
dan jumlah telur dilakukan dengan menggunakan mikroskop perbesaran 4x10.
Dalam penelitian ini co