PEMBERIAN NAFKAH ANAK OLEH AYAH KANDUNG SETELAH PERCERAIAN (Studi Kasus Keluarga Broken Home Pada Siswa di MAN Salatiga) - Test Repository

  

PEMBERIAN NAFKAH ANAK OLEH AYAH

KANDUNG SETELAH PERCERAIAN

(Studi Kasus Keluarga Broken Home Pada Siswa

di MAN Salatiga)

  

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat

guna memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

  

Oleh

Muhamad Latif

NIM 211 11 015

FAKULTAS SYARI’AH

JURUSAN AHWAL AL- SYAKHSHIYYAH

  

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

2015

  

MOTTO

“Hidup Boleh Berakhir TAPI Pahala Tetap Mengalir”

(Jadilah Pembelajar Seumur Hidup)

  

PERSEMBAHAN

  Skripsi ini kupersembahkan kepada Sang Maha Pencipta, Allah Swt, Nabi Muhammad Saw, Ibunda Sri Yatimah, Ayahanda Ahmad Mahfud, Guru Pembuka semangatku ibu Fathonah, ibu Sofyana, ibu fikri, Kakak Umi’, Kakak Virda, Adik Zulfi, Sahabat sekaligus motivatorku Nur Khabib; Semua teman-temanku di organisasi JQH Al-Furqon IAIN Salatiga, kakak-kakak TPQ Al-Barokah Kr. Alit Salatiga, guru-guru MAN Salatiga yang senantiasa memotivasiku; Semua dosen, karyawan dan teman-teman baik di kampus satu maupun kampus dua, khususnya Nur Salim, Lukman Hakim yang senantiasa menyemangatiku, tetanggaku yang menyayangiku, warga desaku yang ramah tamah. Terimakasih atas dukungan kalian semua, sehingga aku mampu menyelesaikan perjuanganku menuju gelar sarjana Hukum Islam dan menjadi orang yang besar seperti sekarang ini, Semoga amal-amal kalian dicatat sebagai amal yang memenuhi timbangan kelak di akhirat dan mendapatkan ridha-Nya, Amiin.

KATA PENGANTAR

  Alhamdulillah, dengan Asma Allah Yang Maha Penyayang. Segala puji

  hanya milik Allah swt atas segala kenikmatan yang bersifat lahir maupun batin yang senantiasa diberikan kepada kita. Shalawat salam semoga senantiasa Allah swt limpahkan kepada suri teladan kita, Nabi Muhammad saw beserta keluarga, dan para sahabat beliau. Semoga Allah memberikan ampunan-Nya kepada para pemimpin yang adil, serta kaum mukminin dan mukminat yang setia kepada ajaran Allah dan Rasul-Nya.

  Kita perlu mengerti akan pentingnya pemberian nafkah anak oleh ayah setelah perceraian. Maka dari itu pemberian nafkah yang berdasarkan hukum positif maupun hukum Islam sangatlah diperlukan untuk terus diperhatikan baik hal yang disebut sebagai kewajiban maupun tanggung jawabnya. Sehingga kemaslahatan hidup untuk anak setelah perceraian dapat tercapai.

  Dalam hal ini peneliti mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

  1. Dr. Rachmat Hariyadi, M. Pd selaku Rektor IAIN Salatiga.

  2. Dra. Siti Zumrotun, M. Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga.

  3. Bapak Syukron Makmun, M. Si selaku Ketua jurusan Ahwal Al- Syakhshiyyah IAIN Salatiga.

  4. Ibu Evi Ariyani, S.H.,M.H selaku Dosen Pembimbing Akademik.

  5. Bapak Farkhani, S.H., S.HI.,M.H selaku Dosen Pembimbing Skripsi.

  6. Seluruh dosen IAIN Salatiga dan karyawan akademik.

  7. Bapak Moh. Khusen, M. Ag. M. A beserta staf jajarannya selaku Wakil Rektor di Bidang Kemahasiswaan.

  8. Seluruh pegawai perpustakaan kampus IAIN Salatiga.

  9. Teman-teman baik itu di organisasi, kampus IAIN Salatiga,

  10. Warga Dusun Karang Nongko, Desa Gedangan, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, dan

  11. Keluarga tercinta di rumah.

  Yang sudah bersedia memberikan motivasi, bimbingan dan do’a sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Peneliti menyadari karya tulis ini masih banyak kekurangan di dalamnya. Maka peneliti mengharapkan kritik dan saran para pembaca untuk perbaikan karya tulis ini.

  Salatiga, 14 September 2015 Peneliti

  

ABSTRAK

  Latif, Muhamad. 2015. Pemberian Nafkah Anak Oleh Ayah Kandung Setelah Perceraian (Studi Kasus Keluarga Broken Home Pada Siswa di MAN Salatiga). Skripsi. Fakultas Syari’ah. Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah.

  Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Farkhani, S.H., M.H.

  Kata Kunci: Nafkah, Anak broken home, Perceraian .

  Penelitian ini merupakan upaya untuk mengembangkan pemberian nafkah oleh ayah kandung setelah terjadi perceraian (studi kasus terhadap siswa-siswi broken home di MAN Salatiga) . Penelitian ini yang pertama untuk mengetahui pemberian nafkah oleh orang tua laki-laki (ayah) kepada anak setelah perceraian pada siswa-siswi broken home di MAN Salatiga. Kemudian yang kedua untuk mengetahui upaya ibu yang dapat ditempuh agar orang tua laki-laki (ayah) melaksanakan kewajibannya menafkahi anaknya setelah perceraian pada siswa- siswi broken home di MAN Salatiga.

  Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah Penelitian lapangan (Field Research). Penelitian lapangan (Field Research) yaitu penelitian yang mempelajari secara intensif dengan cara terjun kelapangan langsung untuk memperoleh data sebanyak dan seakurat mungkin. Metode pengumpulan data yang dipakai peneliti adalah metode wawancara (interview) dan observasi.

  Sedangkan teknik analisis data peneliti menggunakan metode kualitatif.

  Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran ayah dalam hal memberikan nafkah kepada anaknya setelah perceraian yang terjadi di MAN Salatiga sangat bervariasi. Dalam prakteknya, pemberian nafkah oleh ayah dilakukannya secara suka rela, berbelit-belit, bahkan tidak dilaksanakan. Hal ini dilatar belakangi oleh beberapa hal diantaranya: tingkat pendidikan, tingkat ilmu keagamaan, serta ketaatannya dalam beribadah. Sedangkan upaya ibu untuk mengingatkan mantan suami (ayah) agar menjalankan kewajibannya menafkahi tergantung pada kesadaran suami dan kebutuhan anak. Mengacu pada temuan tersebut, maka penelitian ini diharapkan mampu mengarahkan pihak sekolah untuk mengatur kebijakan khusus terhadap siswa-siswi broken home yang ada di MAN Salatiga.

  

DAFTAR ISI

  3. Sumber Data.................................................................. 7

  H. Sistematika Penulisan………………………………………. 11

  G. Tinjauan Pustaka…………………………………………… 10

  F. Penegasan Istilah…………………………………………… 9

  6. Analisis Data................................................................. 9

  5. Observasi....................................................................... 9

  4. Teknik Pengumpulan Data............................................ 8

  2. Lokasi penelitian........................................................... 7

  SAMPUL…………………………………………………………...... ... i LEMBAR BERLOGO…………………………………………………. i JUDUL………………………………………………………………… i NOTA PEMBIMBING……………………………………………….... ii PENGESAHAN………………………………………………………... iii PERNYATAAN KEASLIAN …………..……………………………. . iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN……………………………………... v KATA PENGANTAR…………………………………………………. vi ABSTRAK……………………………………………………………... vii DAFTAR ISI…………………………………………………………… viii

  7

  6 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian....................................

  5 E. Metodologi Penelitian……………………………………….

  5 D. Manfaat Penelitian...………………………………………...

  4 C. Tujuan Penelitian……………………………………………

  BAB I PENDAHULUAN……………………………………………… 1 A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1 B. Rumusan Masalah…………………………………………...

  BAB II KAJIAN PUSTAKA……………………………………… 13

  A. Pengertian Nafkah Anak…………………………………….

  13

  1. Pengertian nafkah Anak................................................ 13

  2. Dasar Hukum Nafkah Anak.......................................... 14

  3. Kadar Pemberian Nafkah Anak..................................... 25

  4. Batas Usia Pemberian Nafkah Anak............................. 27

  5. Hak dan Kewajiban Memberi Nafkah Anak.................. 29 B. Urgensi Nafkah Ayah Terhadap Kehidupan Anak………….

  32

  1. Kebutuhan Hidup…………………………...…............ 33

  2. Kebutuhan Tempat Tinggal........................................... 35

  BAB III HASIL PENELITIAN......................................................... 36 A. Identitas Siswa-Siswi Broken Home di MAN Salatiga..........

  36

  1. Identitas Siswa-Siswi Broken Home di MAN Salatiga. 36 B. Profil Orang Tua Siswa-Siswi di MAN Salatiga...................

  40 C. Sebab-sebab Perceraian Orang tua di MAN Salatiga............. 43 1. Tidak Ada Keharmonisan..............................................

  44

  2. Terus-menerus berselisih............................................... 45

  3. Gangguan pihak ketiga.................................................. 46

  D. Pola Pemberian Nafkah oleh ayah kepada Siswa-Siswi Broken Home di MAN Salatiga........................................................... 47

  1. Pemberian Nafkah oleh ayah secara suka rela............... 48

  2. Pemberian Nafkah oleh ayah secara berbelit-belit......... 52

  3. Pemberian Nafkah oleh ayah tidak pernah diberikan.... 57

  4. Pemberian Nafkah oleh ayah maupun pemeliharaan oleh Ibu tidak pernah dilaksanakan....................................... 60

  E. Upaya Hukum Ibu Terhadap Pelaksanaan Nafkah Anak Setelah Perceraian ..................................................................

  64 BAB IV. ANALISIS……………………………………………….

  70 A. Analisis Hukum Islam dan Undang-undang Mengenai Kewajiban Ayah terhadap Nafkah Anak setelah Perceraian....... 70

  BAB V KESIMPULAN DAN PENUTUP………………………… 78 A. Kesimpulan………………………………………………… . 83 B. Saran………………………………………………………... 84

  1. Untuk Undang-undang.......……................................... 84 2. Untuk Lembaga Sekolah……………………………....

  85 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………... 85 LAMPIRAN-LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah mutiara kehidupan yang diamanahkan oleh Allah

  kepada orang tua. Kehadirannya memberi arti untuk menggores kanvas kehidupan mendatang. Namun realitas keadaan anak di muka peta dunia belum menggembirakan. Nasib anak belum seindah ungkapan verbal yang kerap kali memposisikan anak bernilai penting, penerus masa depan bangsa dan sejumlah simbol lainnya.

  Salah satu keadaan yang perlu mendapat perhatian khusus nyata kita temukan di dalam masyarakat kita dewasa ini terkait dengan masalah anak adalah “perceraian”. Fakta menunjukkan bahwa runtuhnya bangunan rumah tangga karena kemelut yang menghantam keluarga berakibat anak ikut menanggung resiko. Dalam hal ini, anak adalah “korban” termasuk korban ketidaktahuan mereka sebab usia perkembangannya.

  Konflik keluarga berkepanjangan dan berakhir dengan perceraian ternyata berakibat fatal bagi kehidupan anak. Banyak anak nakal dan hancur masa depannya karena pertengkaran dan perceraian orang tua. Sekarang dapat dibayangkan bagaimana anak mendapatkan haknya secara sempurna jika orang tua bercerai. Tidak dapat dipungkiri jika orang tua anak bercerai, maka salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban sehingga anak terabaikan.

  Pernyatan di atas merupakan mafsadat (kerusakan) yang ditimbulkan oleh perceraian, sehingga Allah sendiri menghalalkan namun sangat membencinya. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:

  (د واد ﻮﺑا ﻩاور) قﻼﻄﻟا ﻰﻟﺎﻌﺗ ﷲا ﻰﻟإ لﻼﺤﻟا ﺾﻐﺑأ

  Artinya: Perbuatan yang halal namun sangat dibenci Allah adalah

  thalaq.(HR. Abu Dawud)

  Kelahiran anak sebagai peristiwa hukum yang terjadi karena hubungan perkawinan membawa konsekuensi hukum berupa hak dan kewajiban timbal balik antara orng tua dan anak. Anak mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh orang tua, seperti pemenuhan kebutuhan materiil untuk biaya kehidupan anak, pendidikan anak serta kasih sayang dari orang tua. Dalam hal kebutuhan materiil sesuai dengan firman Allah Surat Al-Baqarah ayat 233:

   ۚ◌ ۖ◌ ﻰَﻠَﻋَو َﺔَﻋﺎَﺿﱠﺮﻟا ﱠﻢِﺘُﻳ ْنَأ َداَرَأ ْﻦَﻤِﻟ ِﻦْﻴَﻠِﻣﺎَﻛ ِﻦْﻴَﻟْﻮَﺣ ﱠﻦُﻫَد َﻻْوَأ َﻦْﻌِﺿْﺮُـﻳ ُتاَﺪِﻟاَﻮْﻟاَو ۚ◌

ّ◌

....... ِفوُﺮْﻌَﻤْﻟﺎِﺑ ﱠﻦُﻬُـﺗَﻮْﺴِﻛَو َﻦُﻬُـﻗْزِر ُﻪَﻟ ِدﻮُﻟْﻮَﻤْﻟا

  Artinya: “Para ibu hendaknya menyusukan anak-anaknya selama dua tahun

  penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf....

  Kemudian dalam hal pendidikan sesuai dengan sabda Rasulullah SAW.

   ِﻪِﻧاَﺮﱢﺼَﻨُـﻳ ْوَأ ِﻪِﻧﺎَﺴﱢﺠَﻤُﻳ ْوَأ ِﻪِﻧاَدﱢﻮَﻬُـﻳ ُﻩاَﻮَـﺑَﺄَﻓ ، ِةَﺮْﻄِﻔْﻟا ﻰَﻠَﻋ ُﺪَﻟْﻮُـﻳ ٍدْﻮُﻟْﻮَﻣ ﱡﻞُﻛ (ﻰﻘﻬﻴﺒﻟا مﺎﻣا ﻩا ور) Artinya “Setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci) hingga

  

bergerak lisannya, maka bapak ibunya akan menjadikan Yahudi, Nasrani

atau Majusi”. (HR. Al-Baihaqi)

  Selain orang tua merasa tidak cocok lagi dan memutuskan berpisah, ada beberapa hal yang menjadi penyebab orang tua bercerai, diantaranya adalah faktor ekonomi maupun adanya pihak ketiga dalam rumah tangga. Seperti manusia secara keseluruhan yang memiliki hak asasi manusia, seorang anak juga memiliki hak tersendiri yakni hak mendapatkan nafkah dengan tujuan anak dapat tumbuh dan berkembang secara sempurna didalam lingkungan keluarga yang utuh.

  Dalam hal ini, baik Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Hukum Perkawinan maupun Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam dengan tegas mengatur tentang kewajiban orang tua terhadap biaya nafkah anak setelah terjadinya perceraian yang pada hakikatnya membebankan kewajiban itu kepada orang tua laki-laki (ayah).

  Diantaranya terdapat di dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974,

  pasal 45 (1, 2) menjelaskan bahwa: “Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya”. Dan Kewajiban orang tua yang dimaksud pada pasal (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tuanya putus. Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 149 (d) menjelaskan bahwa bilamana perkawinan putus, maka bekas suami wajib memberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

  Akan tetapi masih banyak orang tua laki-laki (ayah) setelah perceraian tidak melaksanakan kewajibannya menafkahi anaknya. Hal ini menjadi salah satu faktor ketidakberuntungan anak dalam proses kehidupan dan perkembangannya baik dilihat dari sisi rohani maupun jasmani berupa pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dan pendidikan yang layak. Maka dalam hal ini saya mencoba mengangkatkanya dalam sebuah penelitian skripsi dengan judul: Pemberian Nafkah Anak Oleh Ayah Kandung Setelah Perceraian (Studi Kasus Keluarga Broken Home Pada Siswa Di MAN Salatiga).

  B. Rumusan Masalah

  1. Bagaimanakah pemberian nafkah oleh orang tua laki-laki (ayah) kepada anak setelah terjadinya perceraian pada siswa-siswa broken home di MAN Salatiga?

  2. Upaya apa yang harus ditempuh oleh ibu agar (ayah) melaksanakan kewajibannya dalam memberi nafkah kepada anaknya setelah terjadinya perceraian pada siswa-siswa broken home di MAN Salatiga?

  C. Tujuan Penelitian

  1. Untuk mengetahui pemberian nafkah oleh orang tua laki-laki (ayah) kepada anak setelah perceraian pada siswa-siswa broken home di MAN Salatiga.

  2. Untuk mengetahui upaya ibu yang dapat ditempuh agar orang tua laki-laki (ayah) melaksanakan kewajibannya menafkahi anaknya setelah perceraian pada siswa-siswa broken home di MAN Salatiga.

D. Manfaat Penelitian

  Dari penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

  1. Manfaat Teoretis: a. Memperluas wawasan dalam ranah keilmuan Hukum Perkawinan.

  b. Sebagai bahan refrensi pembelajaran ilmu mata kuliah hukum perkawinan khusunya tentang kewajiban ayah atas nafkah anak setelah perceraian.

  c. Sebagai bahan refrensi pembelajaran ilmu tentang kewajiban ayah atas nafkah anak setelah perceraian bagi masyarakat.

  2. Manfaat Praktis:

  a. Bagi pembaca Dapat menambah wawasan tentang kewajiban ayah atas nafkah anak setelah perceraian.

  b. Bagi peneliti 1) Menerapkan ilmu yang didapatkan dari Mata Kuliah Hukum

  Perkawinan dalam menjawab persoalan atas nafkah ayah kepada anak setelah perceraian di masyarakat maupun lembaga pendidikan khususnya pada siswa di MAN Salatiga.

  2) Menambah pengalaman berharga dari kegiatan penelitian yang terkait dengan kewajiban nafkah ayah terhadap anak setelah perceraian yang dialami siswi-siswi di MAN Salatiga. 3) Untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar sarjana strata satu (S.1) dalam bidang Hukum Perdata Islam (Syari’ah).

E. Metode Penelitian

  Adapun metode penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah sebagai berikut:

  1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

  a. Metode dan Pendekatan Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif.

  Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menekankan pada makna, penalaran, definisi suatu situasi tertentu (dalam konteks tertentu), lebih banyak meneliti hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. (Munawaroh, 2012:17)

  Penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (Field

  Research) yaitu mempelajari secara intensif dengan cara terjun

  kelapangan langsung untuk memperoleh data sebanyak dan seakurat mungkin. Disamping terjun kelapangan tentunya tetap didukung dengan berbagai refrensi yang berkaitan dengan tema tersebut.

  b. Lokasi Penelitian

  Penelitian ini berlokasikan di MAN Salatiga, rumah masing- masing siswa Broken Home di lingkup Salatiga.

  Penelitian ini menggunakan dua sumber data sebagai berikut: 1) Data Primer

  Merupakan keterangan atau fakta yang terjadi dilapangan. Data primer ini dapat diperoleh langsung dari keterangan ibu atau wali serta siswa-siswa Broken Home di MAN Salatiga, mengenai pemberian nafkah oleh ayah setelah terjadi perceraian.

  2) Data Sekunder Merupakan data yang mencangkup dokumen-dokumen resmi baik berupa buku, majalah, artikel, hasil penelitian sebelumnya, atau media lain yang menunjang sebagai landasan teori.

  2. Teknik Pengumpulan Data

  a. Wawancara (interview) Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu (Mulyana, 2004:180). Wawancara yang akan dilakukan peneliti di awali dari menghubungi salah satu guru BK di MAN Salatiga, yaitu beliau Bu Sofyana. Kemudian dari beliau peneliti mendapatkan informasi mengenai identitas siswa-siswa broken home di MAN Salatiga.

  Langkah selanjutnya, peneliti menghubungi para siswa broken home yang sebelumnya dihubungi lewat masengger (sms). Kemudian peneliti dengan para siswa broken home menentukan tempat untuk acara wawancara, baik disekolah, rumah, maupun di taman rekreasi.

  b. Observasi (Pengamatan) Observasi adalah pengamatan yang mendalam, biasanya dilakukan untuk mendapatkan data tentang pengembangan kegiatan berbasis masyarakat, pengembangan dan pengelolaan menggunakan observasi terbuka (Maslihah, 2013:322). Dalam pengumpulan data peneliti melakukan observasi langsung di sekolah dan rumah masing-masing siswa broken home lingkup Salatiga.

  3. Analisi Data Penelitian ini menggunakan penganalisis data, peneliti menggunakan metode kualitatif yakni analisis yaitu untuk meneliti dan mengkaji kasus. Setelah tersaji data dan diuraikan serta dibandingkan dengan teori yang ada selama ini.

F. Penegasan Istilah

  Penegasan istilah dalam hal ini berguna untuk mengurangi kesalahan, ambiguitas dan ketidakpahaman pembaca dalam menelaah dan mengkaji penelitian. Maka dari itu, peneliti akan memberikan beberapa gambaran pengertian mengenai ruang lingkup dalam penelitian sebagai berikut ini:

  1. Nafkah adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya (Dahlan, 1996: 1281)

  2. Anak broken home adalah anak yang hidup di keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun, damai, dan sejahtera karena sering terjadi keributan serta perselisihan yang menyebabkan pertengkaran dan berakhir pada perceraian. (Yusuf, 2000: 38)

  3. Perceraian adalah secara bahasa talak (perceraian) bermakna melepas, mengurai, atau meninggalkan; melepas atau mengurai tali pengikat perkawinan (Supriatna, 2009:19) Menurut Abdur Rahman al-Jazairi “Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi ikatan pelepasannya dengan menggunakan lafadz khusus” (Supriatna, 2009: 20)

G. Tinjauan Pustaka

  Setelah melaksanakan penelusuran literatur yang membahas mengenai pemberian nafkah ayah terhadap anak setelah perceraian, peneliti telah menemukan beberapa refrensi khususnya dari skripsi dan buku. Diantaranya yang dapat dijadikan sumber telaah pustaka adalah sebagai berikut:

  Pertama adalah Skripsi Dedy Sulistyanto yang berjudul “Kewajiban Suami Narapidana Terhadap Nafkah Keluarga”. Dalam skripsi ini menjelaskan mengenai kewajiban menafkahi oleh ayah kepada anaknya. Penelitian ini terfokus pada pemberian nafkah oleh ayah selama di dalam penjara dan hasil penelitiannya apa sang ayah dapat memberikan nafkah dari hasil yang diperoleh selama bekerja dalam pembinaan kemandirian dilapas dikumpulkan, diberikan saat keluarga menjenguknya. Memberikan wewenang penuh kepada keluarga untuk mengelola barang yang ditinggalkan.

  Kemudian yang kedua adalah skripsi M.Fathur Rois yang berjudul Pemberian Hak Nafkah Anak Setelah Putusnya Perceraian” (Studi Analisis Di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2001). Dalam penelitian ini terfokus pada minimnya pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang perlindungan hak nafkah anak setelah perceraian secara hukum di Penghadilan maupun dalam Undang-Undang. Hal tersebut tergambar dengan tidak adanya gugatan nafkah yang berdiri sendiri yang diajukan ke pengadilan. Permohonan nafkah hanya diungkapkan secara lisan dimuka hakim pada saat replik dan duplik.

H. Sistematika Penulisan

  Untuk memberikan gambaran umum yang lebih jelas mengenai penelitian ini, peneliti akan menyajikannya dalam sistematika penulisan penelitian sebagai berikut:

  Bab pertama adalah Pendahuluan, yang meliputi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, tinjauan pustaka, metodologi penelitian yang berisi tentang pendekatan dan jenis penelitian, lokasi penelitian, sumber data, tekhnik pengumpulan data, dan sistematika penulisan.

  Bab kedua adalah kajian pustaka, yang meliputi tentang hakikat nafkah, dasar hukum kewajiban ayah atas nafkah anak, kadar pemberian nafkah kepada anak, batas pemberian nafkah anak, hak dan kewajiban memberi nafkah kepada anak, dan urgensi nafkah ayah terhadap kehidupan anak.

  Bab ketiga adalah hasil penelitian, yang meliputi tentang kondisi kehidupan siswa-siswi broken home, upaya-upaya yang dilakukan ibu.

  Bab keempat adalah analisis, berisi tentang analisis hukum islam dan undang-undang mengenai kewajiban ayah terhadap nafkah anak setelah perceraian.

  Bab kelima adalah penutup, yang meliputi tentang kesimpulan, saran-saran,dan penutup.

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hakikat Nafkah Anak (Hadhanah)

1. Pengertian Nafkah Anak (Hadhanah)

  Kata nafkah berasal dari kata an-nafaqah yang artinya pengeluaran, yaitu pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya (DEPAG,2008:112). Disebutkan juga oleh Ahmad Warson Munawir, (1997:1449) dalam Al-Munawir Kamus Arab Indonesia bahwa nafkah mempunyai arti yaitu biaya, belanja, dan pengeluaran uang, di belanjakan. Dan disebutkan pula dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa nafkah mempunyai arti yaitu kewajiban bertimbal balik untuk saling memberi. Dalam Ensiklopedi Islam Al-Kamil dijelaskan nafkah adalah menanggung kehidupan orang yang ada dalam tanggungannya yang meliputi makan, pakaian, tempat tinggal dan hal-hal lain yang terkait (Zaerodin, 2012:28).

  Sedangkan hadhanah sendiri berasal dari kata Al-Hidhn yang artinya rusuk. Kemudian kata hadhanah dipakai sebagai istilah “pengasuhan anak karena seorang ibu yang sedang mengasuh anak sering meletakkannya di sebelah rusuk. Dan menurut Syekh Manshur Ali Nashif dalam bukunya Mahkota Pokok-Pokok Hadis Rasulullah SAW, hadhanah ialah mengasuh anak hingga menjadi besar dapat memahami kata-kata dan menjawabnya (Nashif, 1993:1087).

  Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa nafkah hadhanah adalah pemberian yang wajib dilaksanakan oleh ayah terhadap anak untuk pemeliharaan dan pengasuhan baik pemberian itu berupa sandang, pangan, papan maupun pendidikan berdasarkan kemampuannya.

2. Dasar Hukum Nafkah Anak (Hadhanah)

  a. Dasar Hukum Nafkah Anak (Hadhanah) dari Al-Qur’an Q.S. Al-Baqarah ayat 233

                     

                                           

             Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita

  kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (Q.S, Al-Baqarah: 233).

  Menurut pendapat setengah ahli tafsir, ibu-ibu yang dimaksud ialah perempuan yang di ceraikan oleh suaminya dalam keadaan mengandung.

  Sebab ayat ini masih ada hubungannya dengan ayat yang sebelumnya, yaitu mengenai cerai (Zaerodin, 2012: 30).

  Abu Ali Al-Fadli berpendapat bahwa kewajiban suami memberi nafkah itu bukan disebabkan karena istri itu menyusui anaknya, melainkan karena isteri itu sendiri yang diceraikan oleh suaminya dan suami wajib memberi nafkah atas istri sesuai dengan keadaan pada waktu itu. Dapat diartikan bahwa kewajiban nafkah kepada mantan istri yang telah mempunyai anak, adalah satu kesatuan yaitu nafkah istri dan pemeliharaan anak (hadhanah). Begitu juga M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah berpendapat atas ayat yang artinya merupakan kewajiban ayah, yaitu atas apa yang dilahirkan untuknya (anak), yakni memberi makan dan pakaian kepada para ibu kalau ibu anak-anak yang disusukan itu telah diceraikan secara bain bukan raj’i. Adapun jika masih berstatus istri walau ditalak raj’i, maka kewajiban memberi makan dan pakaian adalah kewajiban atas dasar hubungan suami istri (Shihab, 2006: 300). Keharusan nafkah dari seorang suami tak hanya sewaktu dia masih menjadi istri sahnya dan terhadap anak- anak dari istri itu, tetapi suami wajib memberi mereka nafkah bahkan saat perceraian. Apalagi terhadap perawatan anak dan kesejahteraan ibu merupakan tanggung jawab seorang ayah, meskipun terjadi perceraian jangan sampai mengurangi nafkah yang wajar bagi ibu dan anaknya sesuai keadaanya (Zaerodin, 2012: 31). Seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 233:

       ...........

  Artinya: “… dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian ........... pada ibu dan anak dengan cara yang makruf…“ (Q.S, Al-Baqarah: 233).

  Islam sebagai agama yang praktis, tidak memaksakan beban yang berlebihan kepada salah satu pihak. Tetapi mereka harus melakukan yang terbaik untuk kepentingan anak sesuai dengan kemampuan mereka. Apabila mereka bertindak dengan tulus, maka Allah akan memberi solusi untuk mengatasi masalah pemeliharaan anak, seperti yang dijelaskan dalam Al- Qur’an Surat At-Talaq ayat 6, yang berbunyi:

  

       

          

         

       

  

Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat

tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan

  mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka Nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak -anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya” (Q.S, At-Talaq: 6).

  Ayat di atas mempertegas hak-hak wanita itu memperoleh tempat tinggal yang layak. Ini perlu dalam rangka mewujudkan yang ma’ruf, sekaligus memelihara hubungan agar tidak semakin keruh dengan perceraian itu. Ayat di atas menyatakan: tempatkanlah mereka para isteri yang di cerai itu dimana kamu wahai yang menceraikannya bertempat tinggal. Kalau dahulu kamu mampu tinggal di tempat yang mewah sedangkan sekarang penghasilan menurun atau sebaliknya maka tempatkanlah mereka di tempat menurut atau sesuai dengan kemampuan kamu sekarang, dan janganlah sekali-kali kamu menyusahkan mereka dalam hal tempat tinggal atau selainnya dengan tujuan untuk menyempitkan hati dan keadaan mereka sehingga mereka terpaksa keluar atau minta keluar (Shihab, 2006:300). Dan juga dijelaskan dalam surat At Talaq ayat 7 yang berbunyi:

  

            

 

            



Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi Nafkah menurut

kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi Nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.

  Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan (Q.S, At-Talaq:7).

  M. Quraish Shihab berpendapat bahwa ayat di atas menjelaskan prinsip umum mencakup penyusuan dan sebagainya sekaligus menengahi kedua pihak dengan menyatakan bahwa: Hendaklah yang lapang yakni mampu dan memiliki banyak rezeki memberi nafkah untuk isteri dan anak- anaknya sebatas kemampuan suami dan dengan demikian hendaknya ia memberi sehingga anak dan isterinya itu memiliki pula kelapangan dan keluasan berbelanja dan siapa yang disempitkan rezekinya yakni terbatas penghasilannya, maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang diberikan oleh Allah kepadanya. Dalam jumlah nafkah, M. Quraish Shihab mengatakan tidak ada ketentuan yang pasti melainkan melihat kondisi masing-masing dan adat kebiasaan yang berlaku pada satu masyarakat atau apa yang diistilahkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah dengan urf yang tentu saja dapat berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain serta waktu dan waktu yang lain. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Malik dan Abu Hanifah (Zaerodin, 2012: 35).

  Berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i bahwa nafkah itu ditentukan besarnya. Bagi orang-orang yang kaya dikenakan dua mud. (1 mud yaitu 1,5

  

kg), orang-orang yang sedang dikenakan satu setengah mud, sedangkan

orang-orang yang miskin dikenakan satu mud (Zaerodin, 2012: 35).

  b. Dasar Hukum Nafkah Anak (Hadhanah) dari Al-Hadist

   َﺲْﻴَﻟ َو ٌﺢْﻴِﺤَﺷ ٌﻞُﺟ َر َن َﺎﻴْﻔُﺳ َﺎﺑا َنا ِﷲا َل ﻮُﺳ َر َﺎﻳ : ْﺖَﻟ ﺎﻗ َﺔﺒْﺘُﻋ ِﺖﻨِﺑا ًﺪٌﻨِﻫ ﱠنا َﺎﻣ ْي ِﺬُﺧ : َﻞَﻗ ,ُﻢَﻠْﻌَـﻳ َﻻ ﻮُﻫ َو ُﻪﻨِﻣ ُت ْﺬَﺧ ا َﺎﻣ ٌﻻ ا ْي ِﺪَﻟ َو َو ﻲِﻨْﻴِﻔْﻜَﻳ َﺎﻣ ﻲِﻨْﻴِﻄْﻌُـﻳ

(ن ﺎﺤﻴﺸﻟا ﻩا ور) . ِف ْو

ُﺮْﻌَﻤْﻟ ِﺎﺑ َكا د َل َو َو ِﻚْﻴِﻔْﻌَـﻳ

  

Artinya: Bahwa Hindun binti Utbah pernah bertanya,: “Wahai

Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu adalah orang kikir, ia tidak suka memberi belanja yang cukup buat aku dan anak- anakku, melainkan dengan hartanya yang aku ambil tanpa setahu dia, apakah itu dosa bagiku”. Nabi saw. menjawab, “Ambillah hartanya yang cukup buatmu dan anak-anakmu dengan cara

yang ma’ruf” (Riwayat Syaikhani) (Nashif, 1993: 1115).

  ﻮﺑا و يء ﺎﺴﻨﻟاو ﻢﻠﺴﻣ ﻩاور .ﻪﺗ ﻮﻗ ﻚﻠﻤﻳ ﻦﻤﻋ ﺲﺒﺤﻳ نا ﺎﻤﺷ ا ء ﺮﻤﻟ ﺎﺑ ﻲﻔﻛ .ت ﻮﻘﻳ ﻦﻣ ﺢﺘﻀﻳ نا ﺎﻤﺷا ء ﺮﻤﻟ ﺎﺑ ﻲﻔﻛ : ﻪﻈﻔﻟو.دواد

Artinya: Cukup besar dosa seseorang bila ia menahan nafkah terhadap

orang yang ia miliki. (Riwayat Muslim, Nasa’i dan Abu Daud).

  Menurut lafaz yang diketengahkan oleh Abu Daud menyebutkan, “cukup besar dosa seseorang bila ia menelantarkan orang yang wajib dinafkahi” (Nashif, 1993: 107).

   ﻻا ﻪﻗ ز ﺮﻳ ﻻ ناو ﺔﻳ ﺎﻣ ﺮﻟاو ﺔﺣ ﺎﺒﺴﻟاو ﺔﺑ ﺎﺘﻜﻟا ﻪﻤﻠﻌﻳ نا ﺪﻟو ﻰﻠﻋ ﺪﻟﻮﻟا ﻖﺣ (ﻲﻘﻬﻴﺒﻟا ﻩاور) ﺎﺒﻴﻃ

Artinya: Seorang Anak terhadap anaknya adalah mendapat pendidikan

menulis, renang, memanah, dan mendapat rezeki yang halal

  (Riwayat Baihaqi) (Ali, 2006: 65).

  c. Dasar Hukum Nafkah Anak (Hadhanah) dari Hukum Positif 1) Undang-undang no 1 tahun 1974 pasal 41

  a) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan

  mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan

  kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai

penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusan.

  b) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

  c) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk

  memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

  2) Kompilasi Hukum Islam

  Pasal 80

  a) Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah

  tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama

  b) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala

  sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

  c) Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan

  memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.

  d) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :

  (1) Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri. (2) Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak.

  (3) Biaya pendidikan bagi anak.

  e) Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat

  (4) huruf “a” dan “b” di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.

  f) Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap

  dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf “a” dan “b”.

  g) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz (Ali, 2006: 52).

  Pasal 81

  a) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan

anak-anaknya, atau bekas istri yang masih dalam iddah.

  b) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk

  isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalan iddah talaq atau iddah wafat.

  c) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan

  anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tentram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat penyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga. d) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan

  kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah

tangga maupun sarana penunjang yang lainnya.

  Pasal 149 Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: