BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan Moral 1. Pendidikan - Muhammad Faris Muthohar Bab II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan Moral 1. Pendidikan Pendidikan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

  20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan Negara (UU RI Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, 2003 : 3).

  Di dalam pengertian yang sederhana dan umum makna pendidikan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan (Ihsan, 2010 : 1- 2).

  Menurut Ki Hadjar Dewantara dalam Konggres Taman Siswa yang pertama pada tahun 1930 dalam bukunya (Ihsan, 2010 : 5) menyebutkan : Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak, dalam Taman Siswa tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu agar

  7 kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya.

  Di samping definisi-definisi di atas juga ada beberapa definisi- definisi yang dikemukakan oleh para ahli antara lain: a. Menurut Driyarkara dalam bukunya (Ihsan, 2010 : 4) mengatakan bahwa Pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia muda.

  Pengangkatan manusia ke taraf insan itulah yang di sebut mendidik. Pendidikan ialah pemanusiaan manusia muda.

  b. Menurut Dictionary of Education dalam bukunya (Ihsan, 2010 : 4) menyebutkan bahwa Pendidikan adalah proses di mana seseorang mengembangkan kemampuan sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di dalam masyarakat di mana ia hidup, proses social di mana orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang dating dari sekolah), sehingga dia dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan social dan kemampuan individu yang optimum.

  c. Menurut Crow and Crow dalam bukunya (Ihsan, 2010 : 4-5) menyebut Pendidikan adalah proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan social dari generasi ke generasi.

  Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan itu segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan masyarakat dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki pengetahuan dan kepercayaan pada dirinya.

2. Moral

  Secara etimologis kata “moral” berasal dari kata Latin “mos”, yang berarti tata- cara, adat-istiadat atau kebiasaan, sedangkan jamaknya adalah “mores”. Dalam arti adat-istiadat atau kebijaksanaan, kata “moral” mempunyai arti yang sama dengan kata Yunani “ethos”, yang menurunkan kata “etika”. Dalam bahasa Arab kata “moral” berarti budi pekerti adalah sama dengan “akhlak”, sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata “moral” dikenal dengan arti “kesusilaan” (Daroeso, 1988 : 22).

  Menurut Huky dalam bukunya (Daroeso, 1988 : 22) mengatakan kita dapat memahami moral dengan tiga cara: a. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya.

  b. Moral sebagai perangkat idée-idee tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu.

  c. Moral adalah ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu.

  Masih berkaitan dengan moral (akhlak al-karimah) perlu juga mengacu pada pendapat Ibnu Sina (980-1039) dalam (Yani 2011 : 6) yang oleh dinia barat dikenal dengan Avicenna. Ia mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan (al-adah). Kebahagiaan dicapai secara bertingkat, yaitu kebahagiaan pribadi, kebahagiaan rumah tangga, kebahagiaan masyarakat, kebahagiaan manusia secara menyeluruh, dan kebahagiaan manusia secara hakiki yaitu kebahagiaan di akhirat. Selanjutnya menurut Ibnu Sina dalam (Yani 2011 : 6) tujuan tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang kearah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual, dan budi pekerti.

  Berdasarkan beberapa konsep dan ilustrasi pendidikan moral sebagaimana dikemukakan oleh para tokoh tersebut di atas, pada dasarnya semuanya berorientasi pada keberhasilan anak didik sebagai warga masyarakat agar mampu mencerminkan potensi intelektual dan potensi budi pekertinya. Dengan demikian, diharapkan kelak menjadi manusia yang mulia, baik di hadapan Tuhan maupun manusia. Oleh karenanya, dalam proses penilaian terhadap anak didik dalam pendidikan tidak bisa hanya menitikberatkan pada potensi intelektualnya saja, akan tetapi juga harus menitikberatkan pada moralitasnya (akhlak).

  Moral adalah suatu kepekaan dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dibandingkan dengan tindakan-tindakan lain yang tidak hanya berupa kepekaan terhadap prinsip-prinsip dan aturan-aturan (Abyfarhan

  2011 : 1). Dengan demikian pengertian moral dapat dipahami dengan mengklasifikasikannya sebagai berikut :

  1. Moral sebagai ajaran kesusilaan, berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik dan meningalkan perbuatan jelek yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dalam suatu masyarakat.

  2. Moral sebagai aturan, berarti ketentuan yang digunakan oleh masyarakat untuk menilai perbuatan seseorang apakah termasuk baik atau sebaliknya buruk (Abyfarhan 2011 : 1).

B. Pendidikan Moral

  Pendidikan moral memilki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan akhlak yaitu penanaman nilai-nilai tertentu dalam diri anak.

  Tujuannya adalah untuk membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang bermoral, yaitu manusia baik, yang mampu menggunakan akal dan perasaannya berlandaskan nilai-nilai luhur, norma-norma agama, dan adat istiadat dalam kehidupannya. Manusia yang mampu berbuat baik disertai kemampuan untuk berinovasi kreatif, produktif dan mandiri (Edu 2012 : 1).

  Tujuan dari pendidikan moral/ nilai menurut Djahiri dalam (Edu 2012 : 1). yaitu: a. Mengajak anak untuk mengklarifikasi dan mengungkap dirinya.

  b. Membina, meningkatkan serta mengembangkan masalah afeksi melalui cara yang wajar dan sesuai dengan potensi diri yang bersangkutan.

  c. Membawakan dunia emosional/afeksi dalam pengajaran serta melatih anak untuk melakoninya sendiri.

  d. Melatih dan membina perbaikan kehidupan/sosial (social and life adjusment ).

  e. Menanamkan nilai/sistem nilai yang utama/esensial serta melestarikannya.

  f. Membina tata cara pemahaman (understanding) moral dan perilaku seseorang dengan kajian sistem nilai.

  g. Membina kesadaran akan perlunya nilai/ moral, kebaikan tentang suatu nilai dan mendorong keinginan untuk menganut serta melaksanakannya.

  h. Pembinaan pengembangan kepribadian anak.

  Sasaran atau target dalam pembelajaran moral, tidak hanya sebatas kemampuan afektif anak saja, tetapi domain lainnya turut menjadi sasaran, seperti domain kognitif dan psikomotor. Ketiganya merupakan suatu kesatuan yang utuh dan bulat. Seperti yang dijelaskan oleh Djahiri dalam

  (Edu 2012 : 1). Bahwa sasaran atau target yang idealnya dicapai guru pada setiap domainnya sebagai berikut: Kawasan kognitif, hendaknya mengutamakan pembinaan:

  a. Kemampuan memproses informasi/konsep menjadi milik terstruktur secara baik/layak dan mantap.

  b. Kemampuan tadi hendaknya diproses melalui pola berpikir: kritis- analisis-interaktif dan evaluatif baik secara konvergen maupun divergen. Cara ini membakukan siswa untuk menerima sesuatu secara nalar/ rasional.

  Kawasan afektif, seyogyanya dibina:

  a. Kepekaan dan keterlibatan seluruh potensi afeksinya untuk merasakan- menghayati-menilai dan berkemauan menyerap.

  b. Sistem nilai (Belief System) ybs dibina melalui pola klarifikasi, sehingga nilai/ moral baru yang masuk akan diterimanya secara baik dan mampu bersatu raga (personalized) dengan sistem nilai yang sudah ada dalam dirinya. Siswa akan mampu melakukan ini bila nilai/ moral baru itu merupakan keyakinan atau belief-nya.

  Kawasan psikomotor, hendaknya pembinaan:

  a. Melalui pola proses/ procedural latihan atau melakoni (experiencing) baik secara langsung (secara fisik) maupun dalam bentuk mind

  purposefull movement (gerak terarah secara abstrak/nyawang.

  b. Aneka keterampilan melalui pola tadi yang melahirkan gerak/keterampilan yang manipulatif dalam arti gerak-keterampilan hasil belajar (learned behavior) dan bukan lagi gerak keterampilan yang reflektif/kodrati (Edu 2012 : 1).

  Sasaran atau target yang dirancang dalam pendidikan moral tersebut, melahirkan materi-materi atau unsur yang akan menjadi bahan dalam kegiatan pembelajaran, diantaranya:

  a. Kejujuran Giligan menghubungkan keadilan sebagai kejujuran (fairness) dalam perangkat aspek pergaulan yang dikatakan relevan dalam pendidikan moral. Jujur adalah kualitas moral dan spiritual yang mulia. Umumnya seseorang tidak mampu menyimpang dari aturan untuk jujur. Jika tidak ada prinsip moral lain yang berlaku suatu kelompok.

  b. Kepatuhan/ Ketaatan Orientasi Moral menunjuk kepada aturan-aturan yang harus dilaksanakan dan kepada citra diri tentang apa yang harus dilakukan oleh orang-orang yang baik, loyal dan terpercaya terhadap sasarannya. Secara lebih jelas seseorang melihat dan mematuhi peranan social dalam dirinya dimana banyak mempengaruhiperanan moralnya. Manusia telah dibekali kesadaran social sebagai fitrah yang dibawanya sejak lahir. Kesadaran moral adalah kesadaran tentang diri sendiri dalam berhadapan dengan baik dan buruk. Kecenderungan manusia itu ingin berbuat dengan hukum-hukum moral karena manusia selalu ingin mengikuti ajaran- ajaran Tuhan.

  c. Keadilan Prinsip yang paling inti bagi perkembangan moral adalah prinsip keadilan. Keadilan adalah penghargaan utama terhadap nilai dan persamaan semua insan manusia, merupakan tolak ukur yang mendasar dan universal. Penggunaan keadilan sebagai prinsip itu dijamin kebebasan dalam berkeyakinan, menggunakan konsep moralitas yang dapat dibenarkan secara filosofis dan didasarkan pada fakta-fakta psikologis dan perkembangan manusia. Tahap keadilan itu diangkat menjadi tahap tertinggi dan merupakan titik acuan bagi seluruh proses perkembangan moral manusia. Dengan kata lain keadilan dalam prinsip moral bermakna adanya perhatian terhadap orang lain secara sama.

  d. Kesopanan Moral adalah adat istiadat, kebiasaan, peraturan atau nilai-nilai dan tata cara kehidupan. Nilai-nilai moral yang bermaksud seperti kejujuran, kesopanan dan kedisiplinan.

  e. Kedisiplinan Moral berkaitan dengan disiplin, kemajuan, kualitas perasaan, emosi, dan kecenderungan manusia.

  f. Kepedulian Perasaan simpati dan kepedulian kepada orang lain merupakan dasar motivasi yang penting bagi penataan tindakan moral. Toleran dan pengorbanan diri adalah masalah penghargaan diri dan tanda keterbukaan hati dan kebesaran jiwa sehingga menjalani kepentingannya demi kepentingan orang lain dan untuk mempertahankan tujuan yang diharapkan. Menghormati orang lain dan menghargai prestasinya, juga merupakan sifat mulia. Sifat-sifat mulia adalah bagian dari nilai moral tertinggi (Edu 2012 : 1).

  Pendidikan Moral pada tiap-tiap Negara berbeda satu dengan lainnya. Dalam Negara yang menjadikan agama sebagai hukum dasarnya maka pendidikan moral bersumberkan pada agama yang berlaku di Negara itu. Pembentukan moral warganegara dan bangsa Negara yang bersangkutan dilakukan menurut norma-norma agama tersebut melalui pendidikan agama. Agama memang merupakan sumber moral. Bagi Negara yang tidak memakai agama sebagai hukum dasarnya, pendidikan moral didasarkan pada hukum dasar dan nilai-nilai yang terkandung dalam hukum dasar itu. Dengan pedidikan Civics dibinalah warganegara yang lebih baik dalam suatu masyarakat yang demokratis.

  Bagi bangsa Indonesia pendidikan moral sudah dikenal sejak lama, malahan sebelum bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya.

  Penjajahan bangsa asing terhadap bangsa Indonesia tidak menghapuskan dasar pendidikan moral itu. Pendidikan moral pada waktu itu terdapat dalam Religi, adat-istiadat dan kebudayaan merupakan asal mula bahan Pancasila dasar Negara Republik Indonesia. Pendidikan moral di Indonesia telah ada sejak berabad-abad itu diintegrasikan pada bentuk- bentuk pendidikan yang ada pada waktu itu. Pendidikan moral antara lain diintegrasikan pada pesantren, pendidikan moral diintegrasikan dengan pendidikan agama Islam (Daroeso 1988 : 53-54).

C. Masyarakat

  Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinue dan terikat oleh rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 1990 : 146). Sedangkan menurut Purwadarminta (1984 : 636) masyarakat mempunyai arti pergaulan hidup manusia atau sehimpunan orang-orang yang hidup dalam suatu tempat dengan penuh ikatan atau aturan tertentu.

  Selain itu ada beberapa pendapat lain tentang pengertian masyarakat, antara lain menurut Shadily (1993 : 47) masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia yang dengan atau karena sendirinya berkaitan secara golongan dan pengaruh mempengaruhi satu sama lain. Berbeda dengan apa yang diungkapkan Znaniecki (1950 : 145) yang menyatakan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang meliputi unit biofisik para individu yang bertempat tinggal pada suatu tempat geografis tertentu selama periode waktu tertentu dari suatu generasi. Dalam sosiologi suatu masyarakat dibentuk hanya dalam kesejajaran kedudukan yang diterapkan dalam suatu organisasi.

  Berbeda pula menurut Connell (1972 : 68-69) yang menyimpulkan bahwa masyarakat adalah (1) suatu kelompok yang berpikir tentang diri mereka sendiri sebagai kelompok yang berbeda, diorganisasi, sebagai kelompok yang diorganisasi secara tetap untuk waktu yang lama dalam rintang kehidupan seseorang secara terbuka dan bekerja pada daerah geografis tertentu, (2) kelompok orang yang mencari penghidupan secara berkelompok, sampai turun temurun dan mensosialkan anggota- anggotanya melalui pendidikan, (3) sesuatu orang yang mempunyai sistem kekerabatan yang terorganisasi yang mengikat anggota-anggotanya secara bersama dalam keseluruhan organisasi.

  Sementara itu Linton (Encang, 1982 : 14) menyatakan bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama, sehingga mereka dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.

  Berdasarkan apa yang diungkapan diatas pengertian masyarakat secara umum dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang hidup bersama secara berkelompok, saling pengaruh dan mempengaruhi didalam kehidupannya yang terorganisir dan mengikat satu sama lain sebagai satu kesatuan.