BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pneumonia 1. Definisi Pneumonia - Arif Rokhman Prasetyo BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pneumonia 1. Definisi Pneumonia Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh

  bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing (Ngastiyah, 2005). Menurut Muttaqin (2008) pneumonia adalah proses inflamasi parenkim paru yang terdapat konsolidasi dan terjadi pengisian alveoli oleh eksudat yang disebabkan oleh bakteri, virus, dan benda–benda asing.

  Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang mengenai parenkim paru. Menurut anatomis pneumonia pada anak dibedakan menjadi 3 yaitu pneumonia lobaris, pneumonia lobularis (bronchopneumonia), Pneumonia interstisialis (Mansjoer, 2000).

  Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain seperti aspirasi dan radiasi. Di negara berkembang, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang sering menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan

  Staphylococcus aureus (Said, 2010).

  9

  2. Etiologi

  Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalm spektrum etiologi, gambaran klinis dan strategi pengobatan. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil (< 20 hari) meliputi Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti E. Coli,

  

Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar (3 minggu

  • – 3 bulan) dan anak balita (4 bulan – 5 tahun), pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophillus

  influenza type B, dan Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak yang

  lebih besar dan remaja, menduduki tempat ke-2 sebagai penyebab kematian bayi dan balita setelah diare dan menduduki tempat ke-3 sebagai penyebab kematian pada neonatus. pneumoniae (Said, 2010).

  3. Klasifikasi Pneumonia

  Klasifikasi ISPA dalam program P2 ISPA juga dibedakan untuk golongan umur kurang dari 2 bulan dan golongan umur balita 2 bulan – 5 tahun (Said, 2010) : a.

  Golongan umur kurang dari 2 bulan ada 2 klasifikasi yaitu:

1) Pneumonia Berat.

  Anak dengan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam atau nafas cepat (60X per menit atau lebih). Tarikan dinding dada kedalam terjadi bila paru-paru menjadi “kaku” dan mengakibatkan perlunya tenaga untuk menarik nafas. Anak dengan tarikan dinding dada ke dalam, mempunyai resiko meninggal yang lebih besar dibanding dengan anak yang hanya menderita pernafasan cepat.

  Penderita pneumonia berat juga mungkin disertai tanda-tanda lain seperti : a).

  Napas cuping hidung, hidung kembang kempis waktu bernafas.

  b).

  Suara rintihan c). Sianosis (Kulit kebiru-biruan karena kekurangan oksigen).

  d).

  Wheezing yang baru pertama dialami. 2)

  Bukan Pneumonia Bila tidak ditemukan adanya tarikan kuat ke dalam dinding dada bagian bawah atau nafas cepat yaitu < 60 kali per menit (batuk, pilek, biasa). Tanda bahaya untuk golongan umur kurang dari 2 bulan ini adalah : kurang bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, wheezing, gizi buruk, demam/dingin.

  b.

  Golongan umur 2 bulan – 5 tahun ada 3 klasifikasi, yaitu : 1)

  Pneumonia Berat, bila disertai nafas sesak dengan adanya tarikan dada bagian bawah ke dalam waktu anak menarik nafas, dengan catatan anak harus dalam keadaan tenang, tidak menangis dan meronta.

  2) Pneumonia, bila hanya disertai nafas cepat dengan batasan :

  (a) Untuk usia 2 bulan – kurang 12 bulan = 50 kali per menit. (b) Untuk usia 1 tahun – 5 tahun = 40 kali per menit atau lebih.

  3) Bukan Pneumonia, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah kedalam atau nafas cepat (batuk pilek biasa). Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan – 5 tahun adalah : tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, wheezing dan gizi buruk.

4. Manifestasi klinis

  Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang kadangkadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi non infeksi yang relatif lebih sering, dan faktor patogenesis (Said, 2010).

  Menurut Said (2010) gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat-ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut: a.

  Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan Gastro Intestinal Tarcktus (GIT) seperti mual, muntah atau diare: kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.

  b.

  Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara napas melemah, dan ronki, akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.

5. Pencegahan

  Pencegahan pneumonia selain dengan menghindarkan atau mengurangi faktor resiko dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu dengan pendidikan kesehatan di komunitas, perbaikan gizi, pelatihan petugas kesehatan dalam hal memanfaatkan pedoman diagnosis dan pengobatan pneumonia, penggunaan antibiotika yang benar dan efektif, dan waktu untuk merujuk yang tepat dan segera bagi kasus yang pneumonia berat. Peningkatan gizi termasuk pemberian ASI eksklusif dan asupan zinc, peningkatan cakupan imunisasi, dan pengurangan polusi udara didalam ruangan dapat pula mengurangi faktor resiko.(Kartasamita, 2010).

  Menurut Kartasamita (2010), usaha untuk mencegah pneumonia ada 2 yaitu: a.

  Pencegahan Non spesifik, yaitu: 1) Meningkatkan derajat sosio-ekonomi. 2) Menurunkan kemiskinan. 3) Meningkatkan tingkat pendidikan. 4) Menurunkan angka balita kurang gizi. 5) Meningkatkan derajat kesehatan. 6) Menurunkan morbiditas dan mortalitas. 7)

  Lingkungan yang bersih, bebas polusi b.

  Pencegahan Spesifik 1) Cegah berat bayi lahir ringan (BBLR). 2) Pemberian makanan yang baik/gizi seimbang. 3)

  Berikan imunisasi Vaksinasi yang tersedia untuk mencegah secara langsung pneumonia adalah vaksin pertussis (ada dalam DTP), campak, Hib (haemophilus

  influenzae type b) dan pneumococcus (PCV). Dua vaksin diantaranya,

  yaitu pertussis dan campak telah masuk ke dalam program vaksinasi nasional di berbagai negara, termasuk Indonesia. Sedangkan Hib dan pneumokokus sudah dianjurkan oleh WHO dan menurut laporan, kedua vaksin ini dapat mencegah kematian 1.075.000 anak setahun. Namun, karena harganya mahal belum banyak negara yang memasukkan kedua vaksin tersebut ke dalam program nasional imunisasi.

B. Balita

  Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris, 2009). Menurut Sutomo dan Anggraeni (2010), Balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik. Namun kemampuan lain masih terbatas. Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya.

  Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan.

  Balita adalah anak usia kurang dari lima tahun sehingga bagi usia di bawah satu tahun juga termasuk dalam golongan ini. Namun faal (kerja alat tubuh semestinya) bagi usia di bawah satu tahun berbeda dengan anak usia di atas satu tahun, maka anak di bawah satu tahun tidak termasuk ke dalam golongan yang dikatakan balita. Anak usia 1-5 tahun dapat pula dikatakan mulai disapih atau selepas menyusu sampai dengan pra-sekolah. Sesuai dengan pertumbuhan badan dan perkembangan kecerdasannya, faal tubuhnya juga mengalami perkembangan sehingga jenis makanan dan cara pemberiannya pun harus disesuaikan dengan keadaannya. Berdasarkan karakteristiknya balita usia 1-5 tahun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu anak yang berumur 1-3 tahun yang dikenal dengan Batita merupakan konsumen pasif. Sedangkan usia prasekolah lebih dikenal sebagai konsumen aktif (Muaris, 2009).

  Salah satu faktor penyebab kematian maupun yang berperan dalam proses tumbuh kembang balita yaitu ISPA, penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Untuk itu kegiatan yang dilakukan terhadap balita antara pemeriksaan perkembangan dan pertumbuhan fisiknya, pemeriksaan perkembangan kecerdasan, pemeriksaan penyakit infeksi, imunisasi, perbaikan gizi dan pendidikan kesehatan pada orang tua (Depkes RI, 2011).

C. Faktor Resiko Kejadian Pneumonia 1. Faktor resiko yang selalu ada a. Berat Badan Lahir Rendah

  Berat badan lahir rendah (kurang dari 2500 gram) merupakan salah satu faktor utama yang berpengaruh terhadap kematian perinatal dan neonatal (Dinkes, 2009). Anak-anak dengan riwayat berat badan lahir rendah akan mengalami lebih berat infeksi pada saluran pernapasan.

  Hal ini dikarenakan pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernapasan lainnya (Prabu, 2009).

b. Status gizi

  Status gizi adalah ekspresi dari keseimbangan dalam bentuk variabel-variabel tertentu. Status gizi juga merupakan akibat dari keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut atau keadaan fisiologik akibat dari tersedianya zat gizi dalam seluruh tubuh (Supariasa, 2002).

  Status gizi balita merupakan salah satu indikator yang menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang.

  Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama (Prabu, 2009). Salah satu cara penilaian status gizi balita adalah dengan pengukuran antropometri, pengukuran tersebut sudah ditetapkan melalui SK Menkes RI nomor 920/Menkes/SK/VIII/2002 tanggal 1 Agustus 2002.

  Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Dalam antropometri gizi digunakan indeks antropometri sebagai dasar penilaian status gizi, salah satu indeks antropometri yaitu berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat kini. (Supariasa, 2002).

  Menginterprestasikan hasil pengukuran diperlukan baku rujukan. Di Indonesia baku rujukan dan telah direkomendasikan pemakaiannya salah satunya, yaitu baku rujukan WHO – NCHS yang direkomendasikan pada semiloka Antropometri 1991. Data rujukan WHO-NCHS sebagai batas ambang untuk status gizi baik yang disarankan WHO adalah Standar deviasi unit disebut juga Z-skor.

  WHO menyarankan menggunakan cara ini untuk meneliti dan untuk memantau pertumbuhan. Rumus perhitungan Z skor adalah :

Tabel 2.1. Klasifikasi Status Gizi Menggunakan Z – Skor

  

Indeks Status Gizi Ambang Batas

  Berat Badan menurut Umur (BB/U)

  Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih

  < -3 SD

  • 3 s/d <-2 SD
  • 2 s/d +2 SD > +2 SD

  Tinggi Badan menurut TB/U Sangat Pendek Pendek Normal Tinggi

  < -3 SD

  • 3 s/d <-2 SD
  • 2 s/d +2 SD > +2 SD

  BB/TB Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk

  < -3 SD

  • 3 s/d <-2 SD
  • 2 s/d +2 SD > +2 SD

  Penelitian Gozali (2010) menyatakan ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan klasifikasi pneumonia di Puskesmas Gilingan Kecamatan Banjarsari Surakarta, dengan prosentase sebesar 36,67% anak balita dengan status gizi kurang yang terkena Pneumonia dari jumlah responden 30 anak balita.

c. ASI Ekslusif

  ASI (air susu ibu) adalah makanan terbaik bagi bayi karena mengandung zat gizi paling sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi, karena itu untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan bayi yang optimal ASI perlu diberikan secara eksklusif (Nelson, 2000). Bayi dianjurkan untuk disusui secara ekslusif selama 6 bulan pertama kehidupan dan pemberian ASI dilanjutkan dengan didampingi makanan pendamping ASI, idealnya selama dua tahun pertama kehidupan. Menyusui secara eksklusif terbukti memberikan resiko yang lebih kecil terhadap berbagai penyakit infeksi dan penyakit menular lainnya di kemudian hari (Mexitalia, 2011).

  Penelitian Wibowo (2011) menunjukan bahwa pemberian ASI Eksklusif sebagian besar mengalami kejadian ISPA yaitu 35 balita (77,8%) sedangkan pada kelompok balita dengan pemberian Asi Eksklusif lebih rendah tidak mengalami kejadian ISPA yaitu 21 (46,7%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian ASI ekslusif terhadap kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Sumbang II.

d. Polusi udara dalam ruangan

  Pencemaran udara yang terjadi di dalam rumah umumnya disebabkan oleh polusi di dalam dapur. Asap dari bahan bakar kayu merupakan faktor resiko terhadap kejadian pneumonia pada balita. Penelitian Yuwono (2008) menunjukan anak balita yang tinggal di rumah dengan jenis bahan bakar yang digunakan adalah kayu memiliki resiko terkena pneumonia sebesar 2,8 kali lebih besar dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah dengan jenis bahan bakar yang digunakan minyak/gas. Polusi udara di dalam rumah juga dapat disebabkan oleh asap rokok, alat pemanas ruangan dan juga akibat pembakaran yang tidak sempurna dari kendaraan bermotor.

e. Kepadatan hunian rumah

  Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah ada. Penelitian Febriana (2011) menunjukkan anak balita yang tinggal di rumah dengan tingkat hunian padat memiliki resiko terkena pneumonia sebesar 3,8 kali lebih besar dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah dengan tingkat hunian tidak padat.

  Tingkat kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat disebabkan karena luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah keluarga yang menempati rumah. Luas rumah yang sempit dengan jumlah anggota keluarga yang banyak menyebabkan rasio penghuni dengan luas rumah tidak seimbang. Kepadatan hunian ini memungkinkan bahteri maupun virus dapat menular melalui pernapasan dari penghuni rumah yang satu ke penghuni rumah lainnya.

  Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 289/Menkes/s\SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan, kepadatan penghuni dikategorikan menjadi memenuhi standar (2 orang per 8m²) dan kepadatan tinggi yaitu lebih dari 2 orang per 8m²).

2. Faktor Resiko Yang Masih Sangat Mungkin a. Ibu hamil yang merokok

  Ibu hamil yang merokok akan sangat merugikan dirinya dan bayinya, karena bayi akan kekurangan oksigen dan racun dapat ditransfer lewat plasenta kedalam tubuh bayi. Ibu hamil yang merokok mempunyai resiko keguguran, kelahiran prematur, berat bayi lahir rendah (BBLR), bahkan kematian janin (Sulistyawati, 2011). Rokok juga merupakan polusi udara yang dapat meningkatakan resiko terjadinya penyakit pneumonia bagi balita dirumah.

b. Balita kekurangan zinc

  Seng merupakan trace element penting untuk hampir semua sistem biologi, yang diperlukan untuk pembelahan, diferensiasi dan pertumbuhan sel. Organ yang fungsinya tergantung pada pembelahan sel, seperti sistem kekebalan tubuh dan usus, sangat sensitife terhadap defesiensi seng. Anak-anak di negara sedang berkembang mengalami asupan seng yang tidak adekuat, yang mengakibatkan penurunan regenerasi sel, fungsi barrier epitel dan pertumbuahan linier serta penurunan sistem imun; sehingga meningkatkan kerentanan terhadap infeksi (Hidayati, 2011).

  Suplementasi Zinc (Zn) perlu diberikan untuk anak dengan diet kurang Zinc di negara berkembang. Penelitian di beberapa negara Asia Selatan menunjukkan bahwa suplementasi Zinc pada diet sedikitnya 3 bulan dapat mencegah infeksi saluran pernapasan bawah. Di Indonesia, Zinc dianjurkan diberikan pada anak yang menderita diare (Kartasamita, 2010). Zinc banyak terdapat dalam daging, tiram, ikan kering, hati dan susu juga merupakan sumber makanan yang kaya akan

  

zinc . Selain itu makanan yang mengandung fitat dan makanan berserat

menghalangi absorbsi Zinc (Eschleman, 1996 dalam Nasution, 2004).

  Beberapa bahan makanan yang dapat meningkatkan penyerapan

  

zinc dan besi adalah asam askorbat dan sitrat (pepaya, jambu biji,

  pisang, mangga, semangka, pir, jeruk, lemon, apel, jus nenas, kembang kol, dan limau), asam malak dan tartrat (wortel, kentang, tomat, labu, kol, dan lobak cina), asam amino sistein (daging, kambing, daging babi, hati, ayam, dan ikan), dan produk-produk fermentasi (kecap kacang kedele, acar/asinan kubis) (Nasution, 2004).

  Beberapa makanan yang dapat menghambat penyerapan zinc dan besi adalah fitat (beras, terigu, gandum, kacang kedele, susu coklat, kacang dan tumbuhan polong), polifenol (teh, kopi, bayam, kacang, tumbuhan polong, rempah-rempah), kalsium dan fosfat (susu dan keju) (Gillespie, 1998 dalam Nasution, 2004).

  c. Pengalaman ibu

  Menurut Notoadmojo (2003) salah satu cara memperoleh pengetahuan adalah berdasarkan pengalaman pribadi. Pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan dengan cara menanggulangi kembali pengalaman yang diperoleh dalam pemecahan masalah yang lain.

  d. Bersamaan penyakit (diare, jantung, asma)

  Infeksi pneumonia pada anak juga dapat mempengaruhi saluran pencernaan berupa diare, dan juga dapat mempengaruhi organ lain.

  Lebih dari 50% anak yang menderita pneumonia yang didapat dari masyarakat (community-acquired pneumonia) dengan etiologi legionella , akan mengalami diare (Nurjanah dkk, 2011).

  Penelitian Putra (2005) mengungkapkan pneumonia dengan diare bersama-sama mempunyai peran penting sebagai penyakit yang menyebabkan anak menjalani rawat inap di rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dengan prosentase 7,3 % balita mengalami pneumonia dan diare antara bulan 1 Juni-31 Agustus 2005.

3. Resiko Yang Masih Mungkin (possible risk factors) a. Pendidikan ibu

  Tingkat pendidikan ibu yang rendah juga merupakan faktor resiko yang dapat meningkatkan angka kematian ISPA terutama Pneumonia.

  Tingkat pendidikan ibu akan berpengaruh terhadap tindakan perawatan oleh ibu kepada anak yang menderita ISPA. Jika pengetahuan ibu untuk mengatasi pneumonia tidak tepat ketika bayi atau balita menderita pneumonia, akan mempunyai resiko meninggal karena pneumonia sebesar 4,9 kali jika dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan yang tepat (Kartasasmita, 2010).

b. Lama menjalani perawatan

  Penentuan lama rawatan pada pasien rawat jalan, termasuk bagi penderita pneumonia sangat bervariasi. Hal ini tergantung dari jenis penyebab penyakit, tindakan medis dan perilaku orang tua. Berdasarakan penelitian Sabuna (2011) tatalaksana pneumonia balita di puskesmas Kabupaten Timor Tengah Selatan sebanyak 53,5% perawat melaksanakan tatalaksana pneumonia namun sebanyak, 46,5% tidak melakasanakan tatalaksana pneumonia. Hasil penelitian ini menunjukan mayoritas perawat memiliki motivasi yang tinggi untuk melaksanakan tatalaksana pneumonia pada balita. Banyaknya perawat yang memiliki motivasi tinggi untuk melaksanakan tatalaksana pneumonia balita akan mempengaruhi menurunya lama rawat jalan pada balita yang menderita pneumonia.

  c. Curah hujan (kelembaban) Kelembaban sangat penting untuk pertumbuhan mikroorganisme.

  Pada umumnya mikroorganisme berjenis bakteri membutuhkan kelembaban yang tinggi. Udara yang sangat kering dapat memusnakan bakteri (Setyaningsih, 1998). Pada musim penghujan kelembaban udara akan semakin tinggi sehingga dapat mempersubur pertumbuhan bakteri mikroorganisme patogen penyebab Pneumonia. Penelitian Febriana (2011) menunjukan ada hubungan bermakna kelembaban udara dalam rumah dengan kejadian pneumonia di Puskesmas Pedan Kabupaten Klaten. Penelitian dilaksanakan antara bulan Oktober sampai dengan bulan Desember 2010, dimana pada bulan Oktober sampai dengan Desember menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) di Jawa Tengah curah hujan masih sangat tinggi.

  d. Ketinggian tempat tinggal

  Hukum Gradien Geothermis, menyebutkan semakin tinggi (tiap kenaikan 1.000 meter) suatu tempat di permukaan bumi, temperatur udaranya akan turun rata-rata sekitar 6°C di daerah sekitar khatulistiwa (Hendri, 2011).

  Suhu udara naik, maka jumlah uap air yang dapat dikandung juga meningkat sehingga kelembapan relatifnya turun. Dan sebaliknya, bila suhu udara turun, kelembapan relatifnya naik, karena kapasitas udara menyimpan uap air berkurang. Kelembaban sangat penting untuk pertumbuhan mikroorganisme. Pada umumnya mikroorganisme berjenis bakteri membutuhkan kelembaban yang tinggi. Udara yang sangat kering dapat memusnakan bakteri (Setyaningsih, 1998).

  e. Kekurangan vitamin A

  Program pemberian vitamin A setiap 6 bulan untuk balita telah dilaksanakan di Indonesia. Vitamin A bermanfaat untuk meningkatkan imunitas dan melindungi saluran pernapasan dari infeksi kuman. Hasil penelitian Kartasasmita (1993) menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna insidens dan beratnya pneumonia antara balita yang mendapatkan vitamin A dan yang tidak, hanya waktu untuk sakit lebih lama pada yang tidak mendapatkan vitamin A.

  f. Urutan kelahiran

  Urutan anak dan jumlah anak dalam keluarga yang besar akan mempengaruhi kepadatan hunian rumah, semakin padat penghuni rumah resiko polusi akan menjadi semakin tinggi. Hasil penelitian Nascimento (2004) di negara Brasil menyatakan bahwa semakin tinggi peringkat di urutan kelahiran, semakin besar kesempatan untuk rawat inap karena pneumonia.

g. Polusi udara luar ruangan

  Kondisi udara diruangan tertutup mengandung lebih sedikit mikroorganisme dari jenis yang sama dibandingkan yang ditemukan diudara terbuka. Mikroorganisme tersebut sebagian besar adalah saprofit dan bersifat nonpatogenik. Akan tetapi dengan bertambahnya mikroorganisme non patogrnik dalam jumlah yang relatif besar dapat membuatnya mempunyai potensi yang sama seperti mikroorganisme patogenik.

  Pada mulanya udara jarang mengandung mikroorganisme patogenik, tetapi dalam perkembangan selanjutnya menjadi sasaran penularan sejumlah spesies utama yang menyebabkan infeksi pada saluran pernafasan (Setyaningsih dkk, 1998).

D. Kerangka Teori Penelitian

  Faktor resiko adalah faktor-faktor atau keadaan-keadaan yang mempengaruhi perkembangan suatu penyakit atau status kesehatan tertentu (Notoatmodjo, 2010). Menurut Rudan, dkk (2008). Faktor resiko terjadinya pneumonia dibagi menjadi 3 yaitu faktor resiko yang selalu ada (definite risk

  factors ), meliputi gizi kurang, berat badan lahir rendah, tidak mendapatkan ASI

  eksklusif, polusi udara dalam ruang dan kepadatan hunian. Faktor resiko yang sangat mungkin (likely risk factors) meliputi ibu hamil yang merokok, balita kekurangan zinc, pengalaman ibu sebagai pengasuh, bersamaan penyakit (misalnya diare, penyakit jantung, asma), dan faktor resiko yang masih mungkin (possible risk factors) meliputi pendidikan Ibu, lama menjalani perawatan, curah hujan (kelembaban), ketinggian tempat tinggal (udara dingin), kekurangan vitamin A, urutan kelahiran, polusi udara luar ruangan.

  Faktor resiko tersebut memungkinkan adanya mekanisme hubungan antara agen penyakit dengan induk semang (host) dan pejamu yaitu manusia, sehingga terjadi efek sakit. Semua yang tersebut di atas dapat tergambarkan dalam bagan berikut ini.

  Status Pneumonia

  Possible risk factors Likely risk factors

  1. Pendidikan Ibu 1.

  2. Ibu hamil yang Lama menjalani merokok perawatan

  2.

  3. Balita kekurangan Curah hujan zinc

  (kelembaban) Agen 3.

  4. Pengalaman ibu Ketinggian tempat

  Fisik, Biologis 4. tinggal (udara dingin) Bersamaan

  Kimia penyakit (misalnya

  5. Kekurangan vitamin A diare penyakit

  6. Urutan kelahiran jantung, asma)

  7. Polusi udara luar ruangan

  

Definite risk factors

1.

  Status gizi 2. BBLR 3. ASI Eksklusif 4. Polusi udara dalam ruang 5. Kepadatan hunian

  Gambar 1. Kerangka Teori (Sumber : Modifikasi teori Notoadmojo (2010) dan Rudan, dkk (2008)

E. Kerangka Konsep Penelitian

  Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan sebagai kerangka konsepnya sebagai berikut. Sebagai variabel bebas adalah status gizi, BBLR, status pemberian ASI Eksklusif, polusi udara dalam ruang dan kepadatan hunian. Variabel bebas yang dimaksud oleh peneliti akan di teliti apakah ada hubungannya dengan dengan kejadian pneumonia di Puskesmas Pengadegan Kabupaten Purbalingga. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam bagan berikut ini:

   Variabel Bebas

  Faktor Utama

   Variabel Terikat 1.

  Status gizi 2. Berat Badan Lahir Rendah

  (BBLR) 3. Status pemberian ASI

  Kejadian Pneumonia eksklusif Pada balita 4. Polusi udara dalam ruangan

5. Pemukiman padat

  Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian F.

   Hipotesis Penelitian

  Ada hubungan antara faktor resiko (status gizi, BBLR, pemberian ASI Eksklusif, polusi udara dalam ruangan dan kepadatan hunian rumah) dengan kejadian pneumonia di Puskesmas Pengadegan Kabupaten Purbalingga”.