ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP FAKTOR TINGGINYA ANGKA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA KEPANJEN KABUPATEN MALANG TAHUN 2013-2014.

(1)

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP FAKTOR TINGGINYA

ANGKA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA KEPANJEN

KABUPATEN MALANG TAHUN 2013-2014

SKRIPSI Oleh:

Nur Cholisoh Royi Maulidiyah NIM: C31212118

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Hukum Keluarga Surabaya


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan dengan judul Analisis Hukum Islam Terhadap Faktor Tingginya Angka Perceraian di Pengadilan Agama Kepanjen Kabupaten Malang Tahun 2013-2014. Rumusan masalah adalah: Bagaimana deskripsi faktor tingginya angka perceraian di PengadilanAgama kepanjen Kabupaten Malang? Bagaimana analisis Hukum Islam terhadap faktor tingginya angka perceraian di Pengadilan Agama Kepanjen Kabupaten Malang?

Data penelitian yang digunakan penulis adalah berbasis lapangan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode dokumentasi dan wawancara. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, dimana penulis membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara obyektif dan menggunakan pola pikir deduktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor tingginya angka perceraian di Pengadilan Agama Kepanjen Kabupaten Malang bahwa perkara cerai gugat dan cerai talak yang diputus pada tahun 2013 sebanyak 7.833 perkara, sedangkan pada tahun 2014 sebanyak 7.252 perkara dengan faktor tertinggi penyebab perceraian adalah tidak ada keharmonisan. faktor tidak ada keharmonisan dapat digambarkan dan dijelaskan secara luas bisa disebabkan karena KDRT, kurangnya pengertian dan menghargai antar pasangan, bisa pula karena disebabkan faktor ekonomi. Analisis hukum Islam terhadap terjadinya perceraian di Pengadilan Agama Kepanjen Kabupaten Malang tidak sejalan dengan ajaran-ajaran Rasulullah saw., dimana sebuah keharmonisan dapat diperoleh atas dasar kehendak Allah dan usaha masing-masing individu dalam menjaga keharmonisan sebuah rumah tangga. Menurut analisis penulis keputusan untuk bercerai hendaknya perlu ada pertimbangan dan pemikiran antar pasangan, jika perceraian menimbulkan keburukan bagi pasangan maka hendaknya dihindari dan sebaliknya jika perceraian memberikan kebaikan bagi pasangan maka diperbolehkan.

Berdasarkan penelitian ini, sudah seharusnya Pengadilan Agama Kepanjen dan pemerintah Kabupaten Malang hendaknya memberikan penyuluhan serta pengarahan tentang pernikahan dan perceraian guna meminimalisir angka perceraian yang terjadi di Kabupaten Malang. Dan khususnya kepada masyarakat Kabupaten Malang yang telah dan akan menikah hendaknya untuk mempertimbangkan dengan baik bahwa menikah adalah membentuk keluarga yang sakinah mawaddah warahmah tanpa ada niat untuk bercerai.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

PERSEMBAHAN ... viii

MOTTO ... ix

DAFTAR ISI... ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 10

C. RumusanMasalah ... 11

D. Kajian Pustaka ... 11

E. Tujuan Penelitian ... 13

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 13

G. Definisi Operasional... 14

H. Metode Penelitian... 15


(8)

BAB II : KONSEP PERCERAIAN DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian Perceraian dan Hukumnya ... 21

B. Syarat dan Rukun Perceraian ... 25

C. Macam – macam Perceraian... ... 28

D. Akibat Hukum Perceraian... ... 33

E. Alasan Perceraian Menurut UU Perkawinan dan KHI……. . 37

F. Hikmah Perceraian... ... 39

G. Hak dan Kewajiban mempelai ... ... 42

BAB III : PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA KEPANJEN KAB. MALANG 2013-2014 A. Gambaran Lokasi Pengadilan Agama Kepanjen ... 49

B. Deskripsi Data Faktor Cerai Tahun 2013-2014 ... 54

C. Faktor Alasan yang Mendorong Angka Perceraian di Pengadilan Agama Kepanjen ... 57

D. Peran Pengadilan Agama Kepanjen dalam Menekan Angaka Perceraian... ... 61

BAB IV : ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP FAKTOR TINGGINYA ANGKA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA KEPANJEN KABUPATEN MALANG TAHUN 2013-2014 A. Deskripsi Faktor Tingginya Angka Perceraian di Pengadilan Agama Kepanjen Kabupaten Malang... ... 63

B. Analisis Hukum Islam terhadap Faktor Tingginya Angka Perceraian di Pengadilan Agama Kepanjen Kabupaten Malang ... 70


(9)

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 82


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam Islam pembentukan sebuah keluarga dengan menyatukan seorang

laki-laki dan perempuan diawali dengan ikatan suci yakni sebuah ikatan

perkawinan. Ikatan ini mensyaratkan komitmen dari masing-masing pasangan

serta mewujudkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak baik laki-laki

maupun perempuan. Islam sebagai agama yang berpegang teguh pada keadilan

dan persamaan serta penebar rahmat bagi alam semesta, salah satu bentuknya

adalah ajaran tentang perkawinan, agar manusia tidak seperti makhluk lainnya

dengan bebas mengikuti hawa nafsunya secara bebas, tanpa ada suatu aturan.

Perkawinan dalam istilah agama disebut “Nikah” ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan

perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak

dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak mewujudkan suatu

kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman

dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah.1 Hal ini berdasarkan pada firman

Allah dalam al-Qur’an su>rat al-Ru>m ayat 21 berbunyi :


(11)

2                      

Diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Ia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri agar kamu merasa tenang supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kebesaran

Allah bagi orang-orang yang berpikir.2

Pada dasarnya ketika hubungan tersebut akan terjalin sebelumnya pasti

ada perasaan cinta dan sayang kepada lawan jenis. Watak manusia baik laki-laki

maupun perempuan mempunyai kecenderungan melakukan sesuatu kepada

lawan jenisnya sekalipun sesuatu hal yang sangat dibencinya atau memberatkan.

Dengan demikian, perkawinan dalam Islam bukan sekedar untuk

mendapatkan kepuasan seksual secara sah, tetapi perkawinan adalah lembaga

yang sangat penting dalam mengamankan hak-hak laki-laki, perempuan, dan

anak-anak. Sebagai konsekuensinya, Islam telah memberikan penekanan

terhadap lembaga perkawinan yang ditetapkan oleh Allah dalam rangka

melindungi masyarakat.3

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara perempuan dan laki-laki yang

punya tujuan membentuk keluarga yang bahagia sejahtera berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan juga merupakan ikatan suci yang

terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah. Jadi tidak sekedar

2 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya,Jilid 7(Jakarta: Widya Cahaya, 2011), 477.

ϯJamilah Jones & Abu Aminah Bilal Philips, Monogami Dan Pologini Dalam Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), 11-13.


(12)

3

berdasarkan keinginan seseorang saja, akan tetapi ada dimensi ibadah dalam

sebuah perkawinan. Supaya perkawinan terakomodasi baik, maka agama

menjadi acuan bagi sahnya perkawinan. Dengan demikian perkawinan harus

dipelihara dengan baik, sehingga bisa abadi, dan apa yang menjadi tujuan

perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera (mawaddah wa

rahmah) dapat terwujud.4

Ikatan perkawinan sebagai mitha>qa>n ghaliḍa>n sekaligus mentaati perintah

Allah SAW bertujuan untuk membentuk dan membina tercapainya ikatan lahir

batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri dalam

kehidupan rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan syariat hukum

islam.5 Dari adanya ikatan perkawinan inilah yang menciptakan

keberlangsungan kehidupan suami dan istri. Hal ini berdasarkan pada firman

Allah dalam Al Qur’an su>rat al-Nisa>’ ayat 34 berbunyi :

                                            

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena

Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain

(perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari

harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada

ϰ Ahmad Kuzari, Perkawinan Sebagai Sebuah Perikatan (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), 22. ϱ Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Modern (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), 11.


(13)

4

Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah

Maha Tinggi lagi Maha Besar.6

Dalam kehidupan rumah tangga sering dijumpai orang (suami istri)

mengeluh dan mengadu kepada orang lain ataupun kepada kepada keluarganya,

akibat tidak terpenuhinya hak yang harus diperoleh atau tidak dilaksanakannya

kewajiban dari salah satu pihak, atau karena alasan lain, yang berakibat

timbulmya suatu perselisihan diantara keduanya (suami istri) tersebut. Tidak

mustahil dari perselisihan itu akan berbuntut pada putusnya ikatan perkawinan

(perceraian).7

Salah satu prinsip perkawinan Islam adalah menguatkan ikatan agar

berlangsung selama-lamanya. Oleh karena itu, segala usaha harus dilakukan agar

persekutuan itu dapat terus berkelanjutan. Tetapi jika semua harapan dan kasih

sayang telah musnah dan perkawinan menjadi sesuatu yang membahayakan

sasaran hukum untuk kepentingan mereka, maka perceraian boleh dilakukan.

Islam memang berusaha untuk menguatkan ikatan perkawinan, namun tidak

mengajarkan bahwa pasangan itu tidak dapat dipisahkan lagi seperti ajaran

dalam agama yang lain. Apabila rumah tangga tersebut sudah tidak dapat

6 Ketua Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1 Maret 1971), 123.

ϳAbdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam (Prespektif Fikih dan Hukum Positif) (Yogyakarta: UII Press, 2011), 233.


(14)

5

dipertahankan, dan bila mempertahankannya malah akan menimbulkan

penderitaan berkepanjangan bagi kedua belah pihak dan akan melampaui

ketentuan-ketentuan Allah, ikatan itu harus dikorbankan.8

Pasangan suami istri harus bahu-membahu dalam memenuhi semua

kebutuhannya, karena keduanya adalah manusia yang tidak akan dapat

mewujudkan kesempurnaan dalam melaksanakan hak dan kewajiban9. Islam

telah memberikan ketentuan tentang batas-batas hak dan tanggung jawab bagi

suami isteri supaya perkawinan berjalan dengan sakinah, mawaddah, dan wa

rahmah. Bila ada di antara suami isteri berbuat di luar hak dan kewajibannya maka Islam memberi petunjuk bagaimana cara mengatasinya dan

mengembalikannya kepada yang hak. Tetapi bila dalam suatu rumah tangga

terjadi krisis yang tidak lagi dapat diatasi, maka Islam memberikan jalan keluar

berupa perceraian. Meskipun perceraian itu merupakan perbuatan yang halal,

namun Allah sangat membenci perceraian tersebut.

Dalam suatu rumah tangga kadang terjadi perselisihan atau persengketaan

antara suami-istri, baik dikarenakan kesalahan suami atau sebaliknya. Bentuk

kesalahan tersebut bisa berupa unsur ketidaksengajaan atau kesengajaan. Dari

perselisihan tersebut, ada pasangan yang kembali rukun untuk membangun

keluarga tetapi ada pula yang berujung perceraian karena perselisihan tersebut

tidak bisa didamaikan.

ϴ Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 15.


(15)

6

Dalam kondisi demikian, Islam memberikan jalan keluar dengan

diperbolehkan terjadi perceraian, artinya bahwa perceraian hanya sebagai

alternatif terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak menyukai atau

mempermudah perceraian, atau dengan bahasa lain bahwa Islam tetap mema

لndang perceraian sebagai sesuatu yang dibenci atau sesuatu yang tidak

diinginkan terjadinya karena tidak sesuai dengan tujuan perkawinan. Hal ini

sesuai dengan hadis Nabi saw:

نَع

نْبا

َرَمُع

َلاَق

:

َلاَق

ُلْوُسَر

ل

َلَص

ى

ُلا

هْيَلَع

َمَلَسَو

ْ بَأ َغ

ُض

ل َََحا

َل إ

لا

ق ََّطلا

Dari Ibnu Umar. ia berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “

sesuatu yang halal yang amat di benci Allah adalah talak”.10

Dengan demikian, keterangan di atas memberikan pemahaman bahwa

harus adanya usaha meredam proses terjadinya perceraian. Cerai merupakan

jalan paling terakhir, yang apabila perkawinan ini diteruskan justru akan

berakibat buruk bagi kehidupan rumah tangganya.11

Di samping itu, idealnya setiap pasangan cukup sekali saja mengadakan

perkawinan. Sekali terjalin, hanya maut yang memisahkan. Kenyataanya,

semakin banyak orang melakukan kawin-cerai. Hari ini melakukan pernikahan,

besok bulan madu, lusa mulai bertengkar, tidak lama kemudian bercerai.

Perubahan nilai-nilai sosial yang sedang terjadi di tengah masyarakat Indonesia

membuat tingkat perceraian semakin tinggi. Bahkan akibat kemampuan

10Ibn Ma>jah, Sunan Ibn Ma>jah, (Beirut , Da>r al-Kutub, 1995), 66. 11Abd.Rahman Ghazaly, Fiqh munakahat, (Bogor : Kencana, 2003),12.


(16)

7

ekonomi yang terus meningkat di kalangan kaum hawa, ikut mempengaruhi

tingginya angka gugatan cerai yang diajukan istri terhadap suami. Saat ini

begitu mudah pasangan suami istri yang melakukan cerai dalam menyelesaikan

permasalahan yang terjadi di rumah tangga.

Angka kasus perceraian di berbagai daerah Indonesia terus meningkat dari

waktu ke waktu, tentu saja memprihatinkan. Tetapi, solusi untuk mencegahnya

sejauh ini belum ada. Perceraian terus saja terjadi seolah-olah mereka tidak mau

tahu dampak buruk apa yang timbul akibat keputusan itu, terutama bagi

anak-anak.

Data awal yang diperoleh menunjukkan bahwa angka perceraian di

Pengadilan Agama Kabupaten Malang pada tahun 2013 sebanyak 7.833 perkara

cerai baik cerai gugat maupun cerai talak, lalu pada tahun 2014 jumlah

perceraian menurun menjadi 7.252 perkara cerai, dari dua periode tersebut

membuat Pengadilan Agama Kab. Malang menduduki peringkat teratas dalam

hal perkara perceraian di Indonesia. Angka perceraian tersebut merupakan

akumulasi perkara mulai dari bulan Januari hingga bulan Desember baik pada

tahun 2013 maupun tahun 2014. Dari tingginya angka perceraian tersebut

mendasari pula banyaknya alasan perceraian diantaranya pernikahan usia dini,

ketidakharmonisan hubungan keluarga, suami/istri menjadi TKI, kekerasan

dalam rumah tangga, ekonomi, pendidikan. Dari banyaknya faktor tersebut


(17)

8

perceraian yaitu faktor ekonomi, ketidakharmonisan dan pernikahan usia dini,

pengajuan perceraian tersebut sebagian besar didominasi oleh cerai gugat yang

diajukan oleh istri lain halnya dengan jumlah cerai talak yang diajukan oleh

suami.

Dalam kehidupan rumah tangga, meskipun pada mulanya suami isteri

penuh kasih sayang seolah-olah tidak akan menjadi pudar, namun pada

kenyataannya rasa kasih sayang itu bila tidak dibina bisa menjadi pudar, bahkan

bisa hilang berganti dengan kebencian. Jika kebencian sudah datang dan suami

isteri tidak dengan sungguh hati mencari jalan keluar dan memulihkan kembali

kasih sayangnya maka akan berujung ke arah perceraian. Dalam sebuah rumah

tangga sulit digambarkan tidak terjadinya sebuah percekcokan. Akan tetapi,

percekcokan itu sendiri beragam bentuknya ada yang ibarat seni dan irama

dalam kehidupan rumah tangga yang tidak mengurangi keharmonisan dan ada

pula yang menjurus kepada kemelut berkepanjangan yang bisa mengancam

eksistensi lembaga perkawinan. Setiap perkawinan tentulah diharapkan akan

bertahan seumur hidup. Ada kalanya harapan ini tidak tercapai karena rumah

tangga bahagia yang diidam-idamkan melalui perkawinan berubah menjadi

neraka. Maka terbukalah pintu bagi perceraian. Karena awal dari suatu

perkawinan adalah cinta kasih yang membayangkan kebahagiaan, maka


(18)

9

Menjadilah kasus perceraian di pengadilan sebagai perkara yang paling

banyak di tangani hakim. Tak terkecuali Pengadilan Agama Kab. Malang dalam

beberapa tahun terakhir ini banyak sekali menerima perkara perceraian

khususnya perkara cerai gugat. Karena itu keseimbangan kedudukan suami isteri

dalam menangani kasus perceraian sangat penting artinya. Ini tidak saja

menyangkut keadilan dan kepastian hukum, tetapi juga menghilangkan

prasangka-prasangka yang tidak berdasar dari suami isteri yang sedang

berperkara terhadap hakim yang menangani perkaranya.12

Kasus perceraian di Kabupaten Malang, selama beberapa tahun ini

tertinggi di Indonesia. faktor penyebab tingginya angka perceraian di

Pengadilan Agama Kepanjen Kabupaten Malang tahun 2013-2014 yang

menjadikan Pengadilan Agama Kepanjen menjadi Pengadilan Agama dengan

perkara perceraian terbanyak ke 2 se Indonesia setelah Pengadilan Agama

Indramayu Pengadilan Agama Kab. Malang dalam kurun waktu 2 tahun yaitu

dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2014 perkara yang diterima dan yang

diputus untuk perkara perceraian semakin meningkat, khususnya gugatan

perkara yang diajukan oleh pihak isteri. Tingginya angka cerai gugat yang

diajukan oleh pihak isteri ini, tentulah dilatar belakangi oleh banyak faktor.

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik mengkajinya dalam skripsi

yang berjudul ”Analisis Hukum Islam Terhadap Faktor Tingginya Angka

ϭϮ Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar, Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 124-125.


(19)

10

Perceraian di Pengadilan Agama Kepanjen Kabupaten Malang Tahun 2013– 2014”

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah tersebut diatas dapat diidentifikasikan

masalah sebagai berikut:

1. Faktor dan alasan perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Kepanjen.

2. Perbandingan jumlah perkara antara cerai gugat dan cerai talak mulai tahun

2013-2014.

3. Hal yang mempengaruhi tingginya angka perceraian di Pengadilan Agama

Kepanjen tahun 2013-2014

4. Pertimbangan mayoritas maupun minoritas hakim dalam menerima dan

memutus perkara cerai di Pengadilan Agama Kepanjen.

5. Solusi yang telah dilakukan Pengadilan Agama Kepanjen dalam menekan

angka perceraian.

6. Analisis terhadap faktor tingginya angka perceraian di Pengadilan Agama

Kabupaten Malang.

Dengan adanya suatu permasalahan diatas, maka untuk memberikan arah

yang jelas dalam penelitian ini penulis membatasi pada masalah-masalah berikut


(20)

11

1. Deskripsi tentang faktor tingginya angka perceraian di Pengadilan Agama

Kepanjen tahun 2013-2014.

2. Analisis hukum Islam terhadap faktor tingginya angka perceraian yang

terjadi di Pengadilan Agama Kepanjen Kabupaten Malang tahun 2013-2014.

C. Rumusan Masalah

Dari identifikasi dan batasan masalah di atas, maka dapat dipahami bahwa

masalah pokok yang akan dibahas oleh penulis yaitu:

1. Bagaimana deskripsi faktor tingginya angka perceraian di Pengadilan Agama

Kepanjen Kabupaten Malang?

2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap faktor tingginya angka perceraian

di Pengadilan Agama Kabupaten Malang?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian

yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti sehingga

terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan

pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.13

Permasalahan tentang faktor tingginya angka perceraian di Pengadilan

Agam Departemen Agama RI, Al-qur’an dan terjemahnya (Bandung; CV

13Tim Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, Cet. V (Surabaya Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel, 2013), 9.


(21)

12

penerbit Diponegoro, 2007),353.a dalam penelitian sebelumnya, hal ini

diketahui dengan terdapatnya pada skripsi sebelumnya, yaitu :

1. Skripsi oleh Maliki (2008) NIM. C01303107, dalam skripsinya berjudul

“Studi Analisis Terhadap Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian di Pengadilan Agama Magetan Tahun 2005-2006”. Dalam skripsi tersebut menjelaskan tentang faktor peningkatan perceraian dari tahun 2005-2006 di

Pengadilan Agama Magetan yang didasari 4 faktor, yaitu faktor moral, tidak

tanggung jawab, cacat biologis, dan tidak adanya keharmonisan.14

2. Skripsi yang ditulis oleh Rusmala Dewi Jayanti (2007) NIM. 103044128090

(UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta) dalam skripsinya berjudul “Faktor Penyebab Tingginya angka Perkara Cerai Gugat di Pengadilan Agama Kota

Palembang”. Dalam skripsi tersebut menjelaskan tentang peningkatan angka perceraian di Pengadilan Agama Kota Palembang mulai tahun 2004-2006

yang menyebabkan tingginya kasus perceraian khususnya untuk perkara cerai

gugat yang diajukan oleh istri yang hasilnya terdapat 7 faktor yang

mendasari perceraian tersebut, yaitu faktor ketidak harmonisan, gangguan

pihak ketiga, tidak ada tanggung jawab, ekonomi, cemburu, poligami tidak

sehat, dan moral/akhlak.15

14 Maliki, Studi Analisis Terhadap Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian di Pengadilan Agama Magetan Tahun 2005-2006” (Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2008), 10.

15 Rusmala Dewi Jayanti, Faktor Penyebab Tingginya Angka Perkara Cerai Gugat di Pengadilan


(22)

13

Dengan demikian setelah penulis mempelajari kajian pustaka tersebut,

maka penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, karena penelitian ini

mengkaji tentang faktor penyebab tingginya angka perceraian di Pengadilan

Agama Kepanjen Kabupaten Malang tahun 2013-2014 yang menjadikan

Pengadilan Agama Kepanjen menjadi Pengadilan Agama dengan perkara

perceraian terbanyak ke 2 se Indonesia setelah Pengadilan Agama Indramayu.

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dihasilkan dari penelitian skripsi ini adalah

sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui deskripsi faktor tingginya angka perceraian di Pengadilan

Agama Kabupaten Malang.

2. Untuk mengetahui analisis hukum Islam terhadap faktor tingginya angka

perceraian di Pengadilan Agama Kabupaten Malang.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Adapun kegunaan dari penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Secara Teoritis

Diharapkan dari kegiatan penelitian ini dapat membantu para pihak

yang terkait dengan perkara perceraian agar dapat menekan faktor tingginya


(23)

14

2. Secara Praktis

Sebagai penambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis serta bagi

para pembaca lainnya terkait faktor tingginya angka perceraian di Pengadilan

Agama sekaligus dijadikan sebagai sumbangsih terhadap kelengkapan

perpustakaan.

G. Definisi Operasional

Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang permasalahan yang akan

diteliti serta menghindari dari kesalafahaman bagi para pembaca dalam

memahami judul skripsi ini, maka penulis memandang perlu untuk menjelaskan

maksud dari judul tersebut, yakni :

Hukum Islam: Peraturan dan ketentuan yang berdasarkan

atas al-Qur’an dan Hadits serta pendapat para ulama fiqih, dalam penelitian ini

Hukum Islam yang dimaksud adalah

Hukum Islam yang membahas tentang

perceraian.16

Faktor Tingginya Perceraian: Hal yang mendasari hal yang lain dan

dengan adanya peningkatan berupa bilangan


(24)

15

jumlah yaitu berupa putusnya tali

perkawinan antara suami dan istri.

Pengadilan Agama Kepanjen: Sebuah lembaga yang menangani

permasalahan perdata Islam tentunya untuk

umat muslim seperti: kasus perceraian (baik

cerai talak maupun cerai gugat), poligami,

wali adhal, dispensasi kawin, pembagian

harta warisan dan lain sebagainya, yang

dahulu dibawah naungan Departemen

Agama setelah itu satu atap dengan

Mahkamah Agung.

H. Metode Penelitian

Metode adalah cara tepat untuk melakukan sesuatu dengan menggunakan

pikiran secara seksama untuk mencapai tujuan, sedangkan penelitian adalah

suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan suatu yang diteliti sampai

menyusun laporan.17

Dalam rangka memahami rumusan masalah yang telah dijelaskan di atas,

maka penulis mengadakan penelitian sesuai dengan kebutuhan, adapun data

yang digali :


(25)

16

1. Data yang dikumpulkan

Data-data yang penulis kumpulan untuk menjawab permasalahan yang

ada antara lain :

a. Data-data yang dianalisis berupa data kualitatif yang berkaitan dengan

faktor tingginya angka perceraian.

b. Pertimbangan hakim Pengadilan Agama Kabupaten Malang dalam

menekan tingginya angka angka perceraian.

2. Sumber data

Data yang dipakai dalam penelitian ini, terdiri atas :

a. Sumber Primer

Sumber primer adalah data yang diperoleh dari laporan tentang

faktor tingginya angka perceraian tahun 2013-2014 dan hasil wawancara

dengan hakim dan panitera yang terkait dengan rumusan masalah.

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder adalah data yang dibutuhkan untuk

mendukung/melengkapi sumber primer, yakni buku-buku, kitab-kitab

fiqih serta literatur lain yang mendukung dan terkait dengan penelitian

ini, antara lain :

1) Fiqh Munakahat, oleh Abd. Rachman Ghazaly

2) Hukum Perceraian oleh Dr. Muhammad Syaifuddin,dkk


(26)

17

4) Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, oleh

Soemiyati

5) Nikah Sebagai Perikatan, oleh Achmad Kuzairi

6) Kompilasi Hukum Islam

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Interview

Interview atau wawancara adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewancara untuk memperoleh informasi dengan terwawancara dalam

bentuk tanya jawab.18 Dalam hal ini penulis mengadakan wawancara

dengan hakim mengenai faktor tingginya angka perceraian di Pengadilan

Agama Kabupaten Malang.

b. Dokumen

Mencari data dengan menelusuri dan mempelajari dokumen

dokumen berkas perkara perceraian di Pengadilan Agama Kabupaten

Malang dari tahun 2013-2014, penelusuran data, serta buku-buku lain

yang dianggap perlu dan sejalan dengan penelitian yang peneliti lakukan.

Mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa literatur seperti

halnya di internet, artikel ataupun yang lain.


(27)

18

c. Telaah Pustaka

Teknik library research (kepustakaan), yakni pelengkap dari kedua

teknis di atas yang dapat dijadikan sebagai landasan teoritis terhadap

permasalahan yang dibahas.

4. Tehnik Pengolahan Data

Setelah data terkumpul baik dari data lapangan maupun hasil pustaka,

maka dapat dilakukan analisis data dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. Editing, yakni pemeriksaan kembali data-data yang diperoleh terutama

dari segi kelengkapan, kejelasan, keserasian, dan keterkaitan antara data

satu dengan yang lainnya.19

b. Organizing, yakni penulisan data yang diatur dan disusun sehingga

menjadi sebuah kesatuan yang teratur.20 Untuk selanjutnya semua data

yang telah diperoleh akan disusun secara sistematis untuk dijadikan

sebagai bahan penelitian.

5. Teknik Analisis Data

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode yang digunakan

dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif, dimana penulis

membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan (tingginya angka

perceraian) secara obyektif.21

19 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004), 118. 20 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (t.tp., t.p., t.t.)803.


(28)

19

Apabila data sudah terkumpul secara keseluruhan, kemudian

dilakukan analisis data secara kualitatif yaitu dengan mempelajari beberapa

faktor yang ada dalam laporan tahunan di Pengadilan Agama Kepanjen Kab.

Malang (2013-2014) kemudian memilah faktor penyebab perceraian di

Pengadilan Agama Kepanjen dengan analisis pola pemikiran deduktif, yaitu

dengan menguji kebenaran dari data yang diperoleh atau praktek di lapangan

dengan yang ada dalam teori yang telah teruji kebenarannya. Dengan cara

mengumpulkan data atau keterangan-keterangan secara umum lalu

mengkrucutkan hasil dari data tersebut menjadi premis khusus yang

terperinci dan mendalam.

I. Sistematika Pembahasan

Demi tersusunnnya skripsi yang sistematis, terarah dan mudah untuk

difahami maka dalam penelitian ini perlu dibuatkan sistematika pembahasan

yang tersusun sebagai berikut :

Bab pertama merupakan pendahuluan atau metodologi yang meliputi latar

belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah,

kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional,


(29)

20

Bab kedua konsep perceraian dalam hukum islam yang meliputi pengertian

perceraian, dasar hukum perceraian, macam perceraian, hikmah, akibat hukum

perceraian, hak dan kewajiban mempelai.

Bab ketiga penyajian data laporan tentang faktor tingginya angka

perceraian tahun 2013-2014 di Pengadilan Agama Kabupaten Malang, meliputi :

gambaran lokasi Pengadilan Agama Kabupaten Malang dan deskripsi data faktor

tingginya angka perceraian.

Bab keempat analisis terhadap faktor tingginya angka perceraian di

Pengadilan Agama Kabupaten Malang menurut Hukum Islam.

Bab kelima penutup yang berisi kesimpulan dari penelitian ini dan saran

yang nantinya akan menjadi masukan bagi pembaca khususnya bagi instansi atau


(30)

21

21

BAB II

KONSEP PERCERAIAN DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian Perceraian dan Hukumnya 1. Pengertian Perceraian

Perceraian merupakan putusnya perkawinan karena kehendak suami atau istri atau kehendak keduanya, karena adanya ketidak-rukunan, yang bersumber dari tidak dilaksanakannya hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai suami atau istri sebagai mana seharusnya menurut

hukum perkawinan yang berlaku.1 Begitulah sekilas pengertian dari

istilah “perceraian” dalam ruang lingkup Indonesia dewasa ini. Namun perceraian dalam hukum Islam lebih dikenal dengan istilah talak.

Talak berasal dari bahasa arab diambil dari kata “ْ ْقَاْطإ”,artinya

melepaskan atau meninggalkan. Maksudnya adalah lepasnya suatu ikatan

perkawinan dan berakhirnya hubungan perkawinan.2 Sedangkan menurut

istilah syara’, terdapat beberapa pendapat mengenai definisi talak, diantaranya:

Sementara Abdur Rahman Ghazali mengutip definisi dari beberapa

tokoh, di antaranya:3

a. Sayyid Sabiq berpendapat bahwa perceraian adalah melepas tali

perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri.

1 Muhammad Syaifuddin dkk., Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 6.

2 Al-Hamdani, Risalah Nikahْ (Hukum Perkawinan Islam) (Jakarta: Pustaka Amani, 2002) 229 3

Abdul Rahman Ghazali, Fiqh munakahat (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2010), 191-192.


(31)

22

b. Al-Jaziry mendefinisikan talak adalah menghilangkan ikatan

perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu.

c. Abu Zakaria Al-Anshari mengartikan talak yakni melepas tali akad

nikah dengan kata talak dan yang semacamnya.

Jadi talak itu ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi

suaminya, dan ini terjadi dalam hal talak ba’in, sedangkan arti

mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu dan dari

satu menjadi menjadi hilang hak talak itu, yaitu terjadi dalam talak raj’i.4

2. Illat Hukum Talak

Mengenai hukum talak, dapat bergeser pada hukum yang berbeda, yang pada pokoknya terdapat keberagaman motif serta kondisi yang ada dalam diri pelaku perkawinan. oleh karena itu, hukum talak dapat berbeda

sesuai dengan perbedaan illatnya (penyebabnya).5

a. Talak itu menjadi wajib bila dijatuhkan oleh pihak penengah atau

hakam. Jika menurut juru damai tersebut, perpecahan antara suami istri sudah demikian berat sehingga sangat kecil kemungkinan bahkan tidak sedikitpun terdapat cela-cela kebaikan atau kemaslahatan kalau

perkawinan ituْdipertahankan, satu-satunya cara untuk menghilangkan

4

Ibid, 192

5 Said Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam (Jakarta, Pustaka al-Husna, 1994), 6.


(32)

23 kemudharatan dan upaya mencari kemaslahatan bagi kedua pihak adalah dengan memisahkan mereka. Masuk ke dalam kategori talak

wajib juga bagi isteri yang di illa’ (sumpah suami untuk tidak

mengadakan hubungan seksual dengan isterinya), sesudah lewat waktu

tunggu 4 bulan. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Nisa>’: 35

yang berbunyi:                               



Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah

Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”.6

Jika hakim memutuskan, tidak dapat lagi di damaikan dengan alasan-alasan yang mu’tabar dan menyakinkan, maka dalam hal ini menjatuhkan talak menjadi wajib.

b. Talak menjadi haram bila dijatuhkan tanpa alasan yang prinsipil dan istri

dalam keadaan haid. Talak seperti ini haram karena mengakibatkan kemudharatan bagi isteri dan anak. Talak jenis ini tidak sedikit mengandung kemaslahatan setelah penjatuhannya.

c. Talak juga dapat jatuh sunnat apabila isteri mengabaikan kewajibannya

sebagai muslimah, yaitu meninggalkan shalat, puasa dan lain-lain. Sedangkan suami tidak sanggup memaksanya untuk menjalankan

6

Departemen Agama RI, Al-qur’an dan terjemahnya (Bandung; CV penerbit Diponegoro),54


(33)

24 kewajiban atau suami tidak dapat mendidiknya. Di samping itu, isteri telah kehilangan rasa malu, seperti bertingkah laku yang tidak pantas sebagai seorang wanita baik-baik.

d. Talak juga dapat jatuh Makruh, seperti menjatuhkan talak kepada istri

yang baik, jujur dan dipercaya.

e. Talak juga dapat jatuh Halal, apabila istri tidak dapat menyenangkan

hati atau tidak memberahikan suami. Dalam hal ini menurut Imam Ahmad tidak patut bagi suami untuk mempertahankan isteri dalam perkawinan. Hal ini karena kondisi isteri tersebut akan berpengaruh terhadap keimanan suami.

Untuk itu, maka syariat Islam menjadikan pertalian suami istri dalam ikatan perkawinan sebagai pertalian yang suci dan kokoh sebagaimana

Al-Qur’an memberi istilah pertalian itu dengan mitha>qa>n ghalida>n (janji

kukuh). Sebagaimana Firman Allah dalam Q.S. Al-Nisa>’ ayat 21:

  





 

 







Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu

perjanjian yang kuat.7

Suami istri wajib memelihara hubungan tali pengikat perkawinan itu, dan tidak sepantasnya mereka berusaha merusak dan memutuskan tali pengikat itu, menjatuhkan talak tanpa alasan dan sebab yang dibenarkan

7 Ibid.,43


(34)

25 adalah termasuk perbuatan tercela, dan dibenci oleh Allah. Rasulullah saw, bersabda:

ُضَغْ بَأ

لَاَحلا

ىَلإ

ِها

ِقَاَطلا

Perkara halal yang paling dibenci Allah ialah menjatuhkan talak.8

Hadis ini menjadi dalil bahwa di antara jalan halal itu ada yang dimurkai Allah, jika tidak dipergunakan sebagaimana mestinya dan yang paling dimurkai pelakunya tanpa alasan yang dibenarkan ialah perbuatan menjatuhkan talak. Maka menjatuhkan talak dapat dipandang sebagai perbuatan ibadah. Hadis ini juga menjadi dalil bahwa suami wajib selalu menjauhkan diri dari menjatuhkan talak selagi masih ada jalan untuk menghindarinya. Suami hanya dibenarkan menjatuhkan talak jika terpaksa, tidak ada jalan lain untuk menghindarinya dan talak itulah salah satunya jalan terciptanya kemaslahatan.

B. Syarat dan Rukun Perceraian

Syarat-syarat talak sebagai berikut:9

a. Orang yang menjatuhkan thalaq itu sudah mukallaf. Sabda rasulullah

saw:10

ْنَع

ْيِلَع

َيِضَر

ُها

َُْع

ِنَع

ّيِبّلا

ىلَص

ُها

ْيَلَع

ِ

َو

َمّلَس

َلاَق

:

َعِفُر

ُمَلَقْلا

ْنَع

َاَث

ةَث

ِنَع

اَلا

ِمِئ

ىّتَح

َظِقْيَ تْسَي

ِنَعَو

يِبّصلا

ىّتَح

َمِلَتْحَي

ِنَعَو

ِنْوُ ْجَمْلا

ىّتَح

ُلِقْعَ ي

.

(

ُاَوَر

ىِراَخُبْلا

دواَدْوُ بَاَو

)

8 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan (Jakarta, Bulan Bintang, 1974), 158.

9Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 2 (Bandung:Pustaka Setia, 1999), 55.

10 Salim Bahreisy dan Abdullah Bahreisy, Terjemah bulughul maram min adillatilahkam, (Surabaya:Balai Buku,t.t), 547- 548.


(35)

26 Dari Ali r.a. dari Nabi SAW beliau bersabda, “Dimaafkan dosa dari tiga orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia dewasa, dan

dari orang gila sampai ia kembali sehat.

Tidak sah talak seorang suami yang masih kecil, gila, mabuk, dan tidur, baik talak menggunakan kalimat yang tegas maupun yang bergantung.

b. Talak dilakukan atas kemauan sendiri. Hukum talak yang dijatuhkan

karena dipaksa adalah tidak sah. Rasulullah saw bersabda:11

َعِفُر

ْنَع

يِتَمُأ

ُءاَطَخْلا

ُناَيْسِلاَو

ِْيَلَعاْوَُرْكَتْسااَمَو

Terangkat dari umatku kesalahan, kelupaan, dan dipaksa.

Apabila suami tidak menceraikan istrinya, maka ia akan dibunuh atau dicelakakan, atau talaknya orang yang lupa atau tersalah. Syarat-syarat orang yang terpaksa adalah sebagai berikut:

1) Orang yang memaksa itu betul-betul dapat melakukan ancaman yang

telah dinyatakannnya.

2) Orang yang dipaksa tidak dapat melawan orang yang memaksa, atau

tidak dapat lari maupun minta pertolongan

3) Orang yang terpaksa telah yakin bahwa orang yang memaksa pasti

melakukan atau membuktikan ancaman yang sudah dinyatakannya.

4) Orang yang terpaksa tidak bermaksud meniatkan bahwa ia

menjatuhkan thalaqnya.

c. Talak itu dijatuhkan sesudah nikah yang sah perempuan yang ditalak

adalah istrinya atau orang yang secara hukum masih terikat pernikahan

11Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh munakahat (Jakarta:Amzah,2009), 263.


(36)

27 dengannya. Begitu pula bila perempuan itu telah ditalak oleh suaminya, namun masih berada dalam masa iddahnya. Dalam keadan begini hubungan pernikahannya masih dinyatakan masih ada. Oleh karena itu dapat ditalak Perempuan yang tidak pernah dinikahinya, atau pernah dinikahinya namun telah diceraikannya ; karena wilayahnya atas

perempuan itu telah tiada.12

Rukun talak adalah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud.

Rukun talak ada empat, sebagai berikut:13

1. Suami

Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya, selain suami tidak berhak menjatuhkannya.

2. Istri

Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan thalaq terhadap istri sendiri. Tidak dipandang jatuh thalaq yang dijatuhkan terhadap istri orang lain.

3. Shighot talak

Shighot talak ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya yang menunjukkan talak, baik itu sharih (jelas) maupun kinayah

12 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2010), 128.

13 Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat…, 201.


(37)

28 (sindiran), baik berupa ucapan atau lisan, tulisan, isyarat bagi suami tuna

wicara ataupun dengan suruhan orang lain.14

Jika seseorang berniat menalak istrinya di dalam hati tanpa diungkapkan atau semacamnya maka tidak terjadi talak menurut umumnya orang-orang

berilmu. Rasulullah SAW bersabda:15

َنِإ

َها

َزَواَجَت

ْنَع

يِتَمُأ

اَم

َدَح

ْتَث

ِِب

اَهَسُفْ نَأ

ْمَلاَم

ْلَمْعَ ت

ْوَأ

َمَلَكَتَ ت

Sesungguhnya Allah melewati umatku (tidak ada saksinya) apa yang dikatakan hati selagi belum dikerjakan atau belum diungkapkan.

4. Qashdu (sengaja)

bahwa dengan ucapan thalaq itu memang dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk thalaq, bukan untuk maksud lain.

C. Macam-Macam Perceraian

Talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Talak Raj’i

Talak raj’i adalah talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya yang pernah digauli, bukan karena memperoleh ganti harta dari istri, talak yang pertama kali dijatuhkan atau yang kedua kalinya.

Dr. Al-Siba’i mengatakan bahwa talak raj’i adalah talak yang untuk kembalinya bekas istri kepada bekas suaminya tidak memerlukan pembaruan akad nikah, tidak memerlukan mahar, serta tidak memerlukan persaksian.

14 Ibid, 204.

15 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwa,..,264.


(38)

29 Setelah terjadi talak raj’i maka istri wajib beriddah, hanya bila kemudian suami hendak kembali kepada bekas istri sebelum berakhir masa iddah, maka hal itu dapat dilakukan dengan menyatakan rujuk, tetapi jika dalam masa iddah tersebut bekas suami tidak menyatakan rujuk terhadap bekas istrinya, maka dengan berakhirnya masa iddah itu kedudukan talak menjadi talak ba’in; kemudian jika sesudah berakhirnya masa iddah itu suami ingin kembali kepada bekas istrinya maka wajib dilakukan dengan akad nikah baru dan dengan mahar yang baru pula.

Keterangan ini tercantum dalam surat At-Tala>q ayat 1:

                                                                    

Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal

yang baru.16

Yang dimaksud dengan “menghadapi iddahnya yang wajar” dalam ayat tersebut adalah istri-istri itu hendaknya ditalak ketika suci sebelum dicampuri. Sedangkan yang dimaksud dengan “perbuatan keji” adalah

16 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat…, 17-18.


(39)

30 apabila istri melakukan perbuatan-perbuatan pidana, berkelakuan tidak sopan terhadap mertua, ipar dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan “sesuatu hal yang baru” adalah keinginan dari suami untuk

kembali apabila talaknya baru dijatuhkan sekali atau dua kali.17

2. Talak Ba’in

Talak ba’in adalah talak yang memisahkan sama sekali hubungan suami istri. Talak ba’in ini terbagi menjadi dua bagian:

a. Talak ba’in sughra, ialah talak yang menghilangkan hak-hak rujuk

dari bekas suaminya, tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru

kepada istri bekas istrinya itu.18 Adapun yang termasuk dalam talak

ba’in sughra antara lain:

1) Talak karena fasakh, yang dijatuhkan oleh hakim di Pengadilan

Agama. Fasakh artinya membatalkanikatan perkawinan karena

syarat-syarat yang tidak terpenuhi atau karena ada hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan perkawinan, seperti talak karena murtad.

2) Talak dengan memakai iwad (ganti rugi) atau talak tebus berupa

khuluk. Talak ini terjadi bila istri tidak cocok dengan suami, kemudian ia minta cerai kemudian suaminya bersedia membayar

ganti rugi kepada istri sebagai iwad. Adapaun besarnya iwad

maksimal sebesar apa yang pernah diterima oleh istri. Khuluk bisa

lewat hakim di Pengadilan Agama atau hakamain.

17 Ibid.,18.

18 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakaha : Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali

Pers, 2010), 245.


(40)

31

3) Talak karena belum dikumpuli. Istri yang ditalak dan belum

digauli, maka baginya tidak membawa iddah. Jadi, apabila ingin kembali, maka harus ada akad nikah dan mahar yang baru terlebih

dahulu. Sebagaimana Allah berfirman dalam Q.S Al-Ah}za>b: 49:

                                    

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu

minta menyempurnakannya.19

Sementara itu, wanita yang telah memasuki masa menopause khususnya pendapat Imamiyah, karena mereka mengatakan bahwa, wanita menopause yang ditalak tidak

mempunyai iddah. Hukumnya sama dengan hukum wanita yang

belum dicampuri.20

Adapun menurut Tihami, paling tidak terdapat lima hukum

(konsekuensi) talak bai’in sughra, yaitu:

1) Hilangnya ikatan nikah antara suami dan istri

2) Hilangnya hak bergaul bagi suami istri termasuk berkhalwat

(menyendiri berdua-duaan)

3) Masing-masing tidak saling mewarisi manakal salah satu di

antaranya meninggal dunia

19 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat…, 34-36. 20 Muhammad Syaifuddin, et al., Hukum Perceraian…, 126.


(41)

32

4) Bekas istri, dalam masa iddah, berhak tinggal di rumah bekas

suaminya dengan terpisah tempat tidur dan mendapat nafkah

5) Apabila menghendaki rujuk atau kembali kepada bekas

suami-istri, maka diperlukan akad dan mahar yang baru.21

b.

Talak ba’in kubra, yaitu talak yang menghilangkan hak kepemilikan

bekas suami terhadap bekas istri serta menghilangkan kehalalan bekas suamin untuk kawin kembali dengan bekas istrinya, kecuali setelah bekas istrinya itu kawin dengan laki-laki lain, telah berkumpul dengan suami kedua tersebut serta telah bercerai secara wajar dan telah selesai menjalankan iddahnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam

surat Al-Baqara>h ayat 230:















 





Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin

dengan suami yang lain…”22

Dari kutipan ayat di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa, apabila seorang suami menceraikan istrinya dengan talak tiga, maka perempuan itu tidak boleh dinikahi lagi sebelum perempuan tersebut menikah dengan laki-laki lain.

Sementara mengenai konsekuensi hukum talak ba’in kubra

yaitu:23

1) Sama dengan hukum talak ba’in sughra nomor 1 sampai 4

21 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat…, 245-246. 22 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat…, 37. 23

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat…, 246.


(42)

33

2) Suami haram kawin lagi dengan istrinya, kecuali bekas istri telah

kawin dengan laki-laki lain.

D. Akibat Hukum Perceraian a. Akibat Talak Raj’i

Pada hakikatnya, talak raj’i tidak menimbulkan akibat-akibat hukum selama masih dalam masa iddah istrinya. Segala akibat hukum talak baru

berjalan sesudah habis masa iddah dan tidak ada rujuk.24 Sehingga mantan

suami masih bisa berkumpul dengan mantan istri, berhubungan dan saling tatap muka, karena akad perkawinannya tidak hilang dan tidak menghilangkan hak kepemilikan serta tidak memperngaruhi hubungannya yang halal, kecuali hubungan persetubuhan.

Maka dari itu, selama masih dalam masa iddah, mantan suami masih mempunyai kewajiban untuk menafkahi mantan istrinya, bahkan jika mantan istri taat atau baik terhadap suaminya, maka ia berhak memperoleh tempat tinggal, pakaian, dan uang belanja dari mantan suaminya. Akan tetapi jika ia durhaka, maka tidak berhak mendapat apa-apa. Rasulullah Saw. bersabda:

ِا

َن َما

َ لا

َف َق

ُة

َو

سلا

ْك َ

ى

ِل ْل

َم ْر

َأ ِة

ِا َذ

ا

َك

َنا

ِل

ْوَز

ِج

َها

َع َل

َهيا

رلا

ْج َع

ُة

Perempuan yang berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal (rumah) dari mantan suaminya adalah apabila mantan suaminya itu

berhak merujuknya kembali.25

24 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat…, 68. 25 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat…, 307-308.


(43)

34 Sementara itu, apabila salah satu (suami atau istri) meninggal dunia, maka masih berhak mewarisi satu sama lain. Salain itu, mahar yang akan dibayarkan di hari kemudian tidak halal diterima oleh mantan istri ketika masih dalam masa iddah, melainkan menunggu hingga masa iddahnya habis kemudian berhak untuk mendapatkan sisa mahar yang belum dibayarkan.

Selain itu, jika terjadi talak raj’i, maka mantan suami masih mempunyai hak untuk merujuk istrinya kembali selama masih dalam masa

iddah. Hal ini disebutkan dalam firman Allah dalam Q.S. Al-Baqara>h:

228 sebagaimana berikut:

…











…dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu,.26

Slamet Abidin mengemukakan, karena rujuk merupakan hak suami, maka ia tidak dapat membatalkannya, sekalipun suami, semisal berkata: “Tidak ada rujuk bagiku”. Dengan demikian suamipun berhak merujuk istrinya tanpa perlu saksi, kerelaan mantan istri, serta wali. Namun menghadirkan saksi dalam rujuk hukumnya sunnah, karena dikhawatirkan

apabila kelak istri akan menyangkal rujuknya suami.27 Lebih lanjut lagi,

rujuk boleh dengan ucapan, seperti: “saya rujuk kamu”, dan dengan perbuatan, misalnya: menyetubuhinya, merangsangnya, mencium dan

sentuhan-sentuhan birahi lainnya.28

26 Ibid. 308

27 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat…, 68. 28 Ibid., 69.


(44)

35 Namun Imam Syafi’i berpendapat bahwa rujuk hanya diperbolehkan dengan ucapan secara terang, jelas, dan dimengerti. Rujuk tidak boleh dengan persetubuhan, ciuman, dan rangsangan nafsu lainnya. Menurut Imam Syafi’i, talak itu memutuskan hubungan perkawinan (hubungan bersuami-istri). Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Swt dalam

Q.S. At-Thala>q: 2:

                     

Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara

kamu…”29

b. Akibat Talak Ba’in Sughra

Berbeda dengan talak raj’i, talak ba’in sughra memutuskan hubungan perkawinan antara suami dan istri, setelah kata talak diucapkan oleh suami. Karena ikatan perkawinan telah putus, maka mantan istrinya menjadi orang lain bagi suami tersebut. Sehingga, ia tidak boleh bersenang-senang dengan perempuan tersebut, apalagi sampai menyetubuhinya. Terlebih lagi, jika salah satu dari keduanya meninggal, baik sebelum atau sesudah habis masa iddah, maka pihak lain tidak berhak atas warisannya (bukan termasuk ahli waris). Akan tetapi, pihak perempuan tetap berhak atas sisa mahar yang belum diberikan kepadanya.

29 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat…, 309.


(45)

36 Apabila suami atau istri hendak kembali kepada mantan istri atau mantan suaminya, maka diwajibkan dengan akad nikah baru, dan mahar baru, dengan syarat mantan istri tersebut belum menikah dengan laki-laki lain. Selain itu, jika keduanya merajut kembali rumah tangganya, maka

suaminya berhak atas sisa (bilangan) talaknya.30

c. Akibat Talak Ba’in Kubra

Hampir sama dengan talak ba’in sughra, namun bedanya ialah talak ba’in kubra tidak menghalalkan mantan suami merujuk kembali istrinya, kecuali setelah mantan istrinya tersebut menikah dengan laki-laki lain, kemudian cerai dengan wajar dan telah berhubungan suami-istri (bersetubuh), dan telah habis masa iddahnya, maka mantan suami yang pertama boleh menikahi mantan istrinya tersebut Allah Swt berfirman

dalam Q..S Al-Baqara>h : 230 yang berbunyi:

                ...

Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin

dengan suami yang lain… ()31\

E. Alasan Perceraian Menurut UU Perkawinan dan KHI

Alasan perceraian menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan :32

Pasal 19

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

30 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat…, 70-71. 31 Ibid.72

32

Undang-undang Pokok Perkawinan (Jakarta: Redaksi Sinar Grafika, 2007), 65


(46)

37

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi,

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun

berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman

yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak yang lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;

f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;

Alasan perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) :33

Pasal 116

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi,

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun

berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman

yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

33

Kompilasi Hukum Islam (Bandung : Nuansa Aulia,2011), 35


(47)

38

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak yang lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;

f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;

g. Suami melanggar taklik-talak;

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya

ketidakrukunan dalam rumah tangga;

E. Hikmah Perceraian

1. Perceraian adalah Ujian Kesabaran Mengatasi Peroblematika Kehidupan

Hikmah perceraian menjelaskan pada dasarnya, kehidupan perkawinan merupakan kehidupan yang berpijak pada rasa cinta dan kasih sayang, dan masing-masing suami dan istri memainkan peran pentingnya untuk saling mengisi. Sebesar mana keserasian, keharmonisan, kehangatan dan saling memahami diantara suami dan istri, sebesar itulah kehidupan perkawinan menjadi kehidupan yang bahagia, indah dan nikmat. Bila bulir-bulir cinta dan kasih sayang di hati salah seorang suami atau istri atau keduanya kering, dan hal itu menimbulkan sikap acuh, perpecahan,


(48)

39 sengketa intrik dan permusuhan, suami lalai terhadap hak istrinya atau istri lalai terhadap hak suaminya, lalu keduanya berusaha membenahi namun gagal, kerabatnya juga berusaha dan tidak berhasil, maka perceraian pada saat itu terkadang seperti menjadi terapi yang menjamin kesembuhan.

Akan tetapi, ini adalah obat yang paling akhir.34

Perkawinan disyaratkan oleh Islam untuk mengembangbiakkan generasi manusia. Islam telah mensyariatkan cara-cara yang dapat menjamin berjalannya hubungan keluarga secara stabil. Islam memerintahkan berbuat baik terhadap keluarga, sabar menghadapi kekurangan-kekurangan antara suami istri, bersikap kasih sayang, lemah lembut, dan sebagainya. Islam dengan saksama memperhatikan kenyataan dalam kehidupan manusia, karena tidak semua manusia mau berpegang pada syariat ini. Banyak orang yang berjiwa jahat dan bersifat buruk. Untuk menghindari perilaku suami yang merugikan istri atau sebaliknya,

Islam menyediakan aturan thalaq. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Nisa>’

(4): 130:











 











Jika mereka berkehendak bercerai, Allah akan memberikan kecukupan kepada masing-masingnya (setelah bercerai) dari limpahan karunia-Nya. Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha

Bijaksana aturan-Nya.35

Perceraian merupakan solusi sosiologis dan psikologis, dan terkadang materialistis. Oleh karena itu, orang-orang yang melarang

34 Syaikh Hasan Ayyub, Panduan Keluarga Muslim, Terj. Oleh Misbah dari judul asli: Fiqh Al

Usrah Al Muslimah.( Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2002), 24.

35 Departemen Agama RI, Al-qur’an dan terjemahnya (Bandung; CV penerbit Diponegoro), 99.


(49)

40 perceraian berarti menutup jalan keluar bagi suami dan istri jika problematika kehidupan perkawinan menghimpit keduanya. Mereka membunuh perasaan kasih sayang, persaudaraan dan kemanusiaan di dalam diri suami dan istri terhadap pasangannya, karena ia membencinya dan terkadang mengutuknya serta mengharapkannya tertimpa musibah atau bencana. Ketika jalan keluar alami telah tertutup bagi suami dan istri, maka masing-masing mencari jalan keluar yang tidak alami dan tidak pantas (tidak boleh dilakukan). Banyak diantara meraka yang jatuh ke lumpur haram mencari pelarian di sarang pelacur, meminum galas-gelas kehinaan dan melakukan aib yang membuatnya melupakan diri, keluarga,

anak-anak, agama dan kehormatannya.36

2. Perceraian adalah Pintu Keselamatan Dari Kerusakan Menuju Kebaikan

Perceraian dalam syariat Islam, mengandung keindahan, kesempurnaa, dan kemuliaan didalamnya, karena ia tidak menetapkan aturan agar manusia bermain-main dengannya, melainkan ia menetapkan aturan sebagai solusi bagi kesalahan-kesalahan manusia serta menyelamatkannya dari hal buruk yang lebih berbahaya dan kerusakan yang lebih parah. Ulama menyepakati kebolehan perceraian, karena barangkali kondisi antara suami dan istri telah rusak, sehingga mempertahankan perkawinan mengakibatkan kerusakan yang total,

36 Muhammad Syaifuddin et al, Hukum Perceraian,..., 169.


(50)

41 dimana suami dipaksa memberi nafkah dan tempat tinggal, hubungan rumah tangga menjadi tidak baik, serta permusuhan yang berlarut-larut. Dari sini, hal itu menuntut disyariatkanya aturan yang membolehkan pemutusan hubungan perkawinan agar kerusakan yang timbul darinya

dapat hilang.37

Thalaq (perceraian) merupakan jalan penyelesaian terakhir dalam menghadapi kesulitan dan problem yang menimpa suami istri. Hukum

thalaq adakalanya wajib, adakalanya haram, adakalanya sunnah, dan

adakalanya mubah. Wajib apabila permusuhan suami istri sudah

sedemikian rupa dan pihak penegah berpendapat bahwa jalan satu-satunya

untuk mengatasi adalah thalaq. Haram apabila tidak ada permasalah

apapun antara suami istri dan suami atau istri hanya bermaksud untuk bisa berganti pasangan lain.

Mubah apabila istri menunjukkan sikap-sikap yuang buruk terhadap suaminya atau sebaliknya. Sunnah apabila istri mengabaikan kewajiban shalat atau aturan agama lainnya. Terhadap istri semacam ini suami lebih baik menceraikannya bila istri tidak dapat memperbaikinya, ketentuan

thalaq adalah bukti dari keadilan syariat Islam. Dengan thalaq ini dapat dicegah kezaliman yang menimpa suami atau istri dalam kehidupan rumah

tangga. Disamping Islam memberikan hak thalaq kepada suami, Islam

37 Syakih Hasan Ayyub,Panduan Keluarga Muslim..., 246-247


(51)

42 juga memberikan hak kepada istri untuk menuntut perceraian dari

suaminya yang disebut hukum khulu’.38

Jika berbagai cara dan pendekatan yang digunakan tidak berhasil memperbaiki perilaku suami atau istri dan mereka tidak dapat menegakkan aturan rumah tangga, maka perceraian baik dengan jalan cerai talak maupun cerai gugat merupakan jalan keluar yang solutif bagi mereka keluar dari kemelut rumah tangga. Perceraian wajib ditempuh, sebab dapat menutup peluang untuk berbuat zina, penghianatan istri terhadap suami, perselingkuhan suami, merjalelanya kerusakan akhlak, dan

perbuatan-perbuatan fisik.39

F. Hak dan Kewajiban Mempelai

Dengan adanya suatu perkawinan, maka seorang laki-laki yang menjadi suami memperoleh berbagai hak suami dalam keluarga itu, begitupun seorang wanita yang mengikatkan diri menjadi istri dalam suatu perkawinan memperoleh berbagai hak pula. Disamping itu sebagaimana lazim dan wajarnya merekapun memikul pula kewajiban-kewajiban akibat menggabungkan dan mengikatkan diri dalam keluarga hasil perkawinan itu.40\\

Yang dimaksud dengan hak adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang dari orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah apa yang mesti dilakukan seseorang terhadap orang lain. Hak suami

38 Muhammad Thalib, Manajemen Keluarga Sakinah (Yogyakarta; Pro-U, 2007), 49 39 Muhammad Syaifuddin et al,Hukum Perceraian...,172

40 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia (Jakarta: UI Press, 1986), 73


(52)

43 merupakan kewajiban bagi istri, sebaliknya kewajiban suami merupakan hak bagi istri. Dalam kaitan ini ada 3 hal:

1. Kewajiban suami terhadap istrinya, yang merupakan hak istri dari

suaminya

2. Kewajiban istri terhadap suaminya, yang merupakan hak suami dari

istrinya

3. Hak dan kewajiban bersama suami istri

Kewajiban suami yang merupakan hak istri sebagai berikut:

a) Menggauli istrinya secara baik dan patut. Hal ini sesuai dengan firman

Allah dalam surat Al-Nisa>’ ayat 19 yang artinya:

                                                   

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan

yang banyak.41

Yang dimaksud dengan pergaulan disini secara khusus adalah pergaulan suami istri termasuk hal-hal yang berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan seksual. Bentuk pergaulan yang dikatakan dalam ayat tersebut diistilahkan dengan makruf yang mengandung secara baik;

41

Departemen Agama RI, al-qur’an dan terjemahnya (Bandung; CV penerbit Diponegoro, 2007), 80.


(53)

44 sedangkan bentuk yang makruf itu tidak dijelaskan Allah secara khusus. Dalam hal ini diserahkan kepada pertimbangan alur dan patut menurut pandangan adat dan lingkungan setempat. Yang dipahami dari ayat ini adalah suami harus menjaga ucapan dan perbuatan jangan sampai merusak atau menyakiti perasaan istrinya.

b) Menjaganya dari segala sesuatu yang mungkin melibatkannya pada suatu perbuatan dosa dan maksiat atau ditimpa oleh sesuatu kesulitan dan mara bahaya.

c) Suami wajib mewujudkan kehidupan perkawinan yang diharapkan

Allah untuk terwujud, yaitu mawaddah, wa rahmah, dan sakinah.

Untuk maksud itu suami wajib memberikan rasa tenang bagi istrinya, memberikan cinta dan kasih sayang kepada istrinya.

Kewajiban istri terhadap suaminya yang merupakan hak suami dari istrinya tidak ada yang berbentuk materi secara langsung. Yang ada adalah kewajiban dalam bentuk non materi. Kewajiban yang bersifat nonmateri ini adalah:

1. Menggauli suaminya secara layak sesuai dengan kodratnya. Hal ini dapat

dipahami dari ayat yang menuntut suami menggauli istrinya dengan baik yang dikutip diatas, karena perintah untuk menggauli itu berlaku untuk timbal balik.

2. Memberikan rasa tenang dalam rumah tangga untuk suaminya, dan

memberikan rasa cinta dan kasih sayang kepada suaminya dalam batas yang berada dalam kemampuannya. Hal ini sejalan dengan bunyi


(54)

45 surat Rum ayat 21 diatas, karena ayat itu ditujukan kepada masing- masing suami istri.

3. Taat dan patuh kepada suaminya selama suaminya tidak menyuruhnya

untuk melakukan perbuatan maksiat.

4. Menjaga dirinya dan menjaga harta suaminya bila suaminya sedang tidak

berada dirumah. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah tersebut diatas

5. Menjauhkan dirinya dari segala sesuatu perbuatan yang tidak disenangi

oleh suaminya

6. Menjauhkan dirinya dari memperlihatkan muka dan tidak enak dipandang

dan suara yang tidak enak didengar.

Adapun yang dimaksud dengan hak bersama suami istri ini adalah hak bersama secara timbal balik dari pasangan suami istri terhadap yang lain. Adapun hak bersama itu adalah sebagai berikut:

a. Bolehnya bergaul dan bersenang-senang diantara keduanya. Inilah

hakikat sebenarnya dari perkawinan itu

b. Timbulnya hubungan suami dengan keluarga istrinya dan sebaliknya

hubungan istri dengan keluarga suaminya, yang disebut hubungan

mushaharah

c. Hubungan saling mewarisi diantara suami istri. Setiap pihak berhak

mewarisi pihak lain bila terjadi kematian

Sedangkan kewajiban keduanya secara bersama dengan telah terjadinya perkawinan itu adalah:


(1)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisa serta pemahaman penulis skripsi ini dapat disimpulkan:

1. Deskripsi hasil penelitian di Pengadilan Agama Kepanjen Malang dapat

disimpulkan bahwa dalam perceraian terdapat 7 faktor penyebab perceraian, yaitu: 1. Faktor moral yang terdiri dari poligami tidak sehat, krisis akhlak, cemburu; 2. Faktor meninggalkan kewajiban yang meliputi kawin paksa, ekonomi, tidak ada tanggung jawab; 3. Faktor kawin dibawah umur; 4. Faktor menyakiti jasmani yaitu menyakiti jasmani, dan menyakiti mental; 5. Faktor dihukum; 6. Faktor cacat biologis; 7. Faktor terus menerus berselisih yaitu politis, gangguan pihak ketiga, tidak ada keharmonisan. Angka perceraian tertinggi yang terjadi di Pengadilan Agama Kepanjen Kabupaten Malang disebabkan karena faktor tidak adanya keharmonisan.

2. Analisis hukum Islam terhadap perceraian di Pengadilam Agama Kepanjen

Kabupaten Malang tidak sejalan dengan ajaran Rasulullah saw. Dimana sebuah keharmonisan dalam rumah tangga dapat diperoleh dengan kehendak Allah dari masing-masing pasangan suami istri. Keharmonisan dapat tercapai apabila suami istri dapat saling melengkapi, memahami dan saling menyayangi satu sama lain. Perceraian bisa terjadi jika antara suami


(2)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id istri terus menerus berselisih dan tidak menemukan solusi dalam

masalahnya maka perceraian itu diperbolehkan.

B. Saran

1. Kepada Pengadilan Agama Kepanjen Kabupaten Malang untuk memberikan persyaratan yang lebih berat sebelum menjatuhkan talak cerai baik melalui cerai gugat atau cerai talak sebab jika banyak terjadi perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Kepanjen tidak sesuai dengan tujuan awal dari adanya pernikahan yaitu membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah sesuai dengan yang digariskan di UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 tentang Perkawinan.

2. Untuk Pemerintah Kabupaten Malang agar memberikan penyuluhan dan pengarahan tentang pernikahan dan perceraian terkait banyaknya perceraian yang terjadi di Kabupaten Malang khususnya Pengadilan Agama Kepanjen guna menekan angka perceraian yang terjadi dan meningkatkan angka kebahagiaan hidup keluarga yang berada di wilayah Kabupaten Malang. Dan secara khusus kepada KUA wilayah Kabupaten Malang untuk memberikan penyuluhan, pembimbingan, pendampingan dan pengarahan tentang pernikahan yang baik dan menjelaskan tentang akibat dan hal terkait dari perceraian.

3. Untuk masyarakat Kabupaten Malang, yang telah dan akan menikah untuk mempertimbangkan dengan baik bahwa menikah adalah membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah tanpa ada niat dan pemikiran untuk bercerai. Dan menjadikan sebuah pernikahan sebagai


(3)

81

suatu hal yang suci dan sakral dengan pemikiran bahwa pernikahan terjadi sekali seumur hidup tanpa ada kata cerai dan agar tidak menimbulkan penyesalan di kemudian hari bagi pasangan yang bercerai.


(4)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Slamet dan Aminuddin. Fiqih Munakahat 2. Bandung:Pustaka Setia, 1999.

Adi, Rianto. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum . Jakarta: Granit, 2004. Afdol. Landasan Hukum Positif Pemberlakuan Hukum Islam dan Permasalahan

Implementasi Hukum Kewarisan. Surabaya: Airlangg University Press, 2003.

Ahmad, Kuzari. Perkawinan Sebagai Sebuah Perikatan. Jakarta: RajawaliPers, 1995.

Al-Hamdani. Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam). Jakarta: Pustaka Amani, 2002.

Iraqi, Butsainah As-Sayyid. Menyikap Tabir Perceraian. Jakarta : Pustaka Al-Sofwa, 2005.

Anshori, Abdul Ghofur. Hukum Perkawinan Islam (Prespektif Fikih dan Hukum Positif). Yogyakarta: UII Press, 2011.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT. AdiMahasatya, 2002. Arifin, Bustanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar, Sejarah,

Hambatan dan Prospeknya. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Ayyub, Syaikh Hasan. Panduan Keluarga Muslim, Terj. Oleh Misbah dari judul asli: Fiqh Al Usrah Al Muslimah. Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2002. Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh

Munakahat. Jakarta: Amzah, 2009.

Bahreisy, Salim dan Abdullah Bahreisy. Terjemah Bulughul Maram Min Adillatil ahkam. Surabaya: Balai Buku, t.t.

Fuad, Said. Perceraian Menurut Hukum Islam. Jakarta, Pustaka al-Husna, 1994. Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqh munakahat. Bogor : Kencana, 2003.

Hakim, Rahmat. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Harahap, Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No.7 Tahun 1989. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Ibn Ma>jah, Sunan Ibn Ma>jah, Beirut , Da>r al-Kutub, 1995.

Jones, Jamilah & Philips, Abu Aminah Bilal . Monogami Dan Pologini Dalam Islam. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1996.

Mardani. Hukum Perkawinan Islam di Dunia Modern. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011.


(5)

83

Mukhtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

Narbuko, Cholid dan Ahmadi, Abu. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara, 1997.

Notoatmodjo, Soekidjo. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1993.

Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: Liberty, 1997. Sudarsono. Kamus Hukum Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

Syaifuddin, Muhammad dkk. Hukum Perceraian. Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2010.

Thalib, Muhammad. Manajemen Keluarga Sakinah. Yogyakarta: Pro-U, 2007. Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI Press, 1986.

Tihami dan Sohari Sahrani. Fikih Munakaha: Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Data profil Pengadilan Agama Kepanjen Kabupaten Malang tahun 2015

Departemen Agama RI. Al-qur’an dan terjemahnya. Bandung: CV penerbit Diponegoro, t.t.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. t.tp., t.p., t.t. Http://www.pa-malangkab.go.id/

Jayanti, Rusmala Dewi. “Faktor Penyebab Tingginya Angka Perkara Cerai Gugat di Pengadilan Agama Kota Palembang”. Skripsi--UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2007.

Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur. Tuntunan Praktis Pelaksanaan Akad Nikah dan Rumah Tangga Bahagia. Bidang Urusan Agama Islam,2013.

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid II. Jakarta: Widya Cahaya, 2011.

Ketua Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1 Maret 1971.

Kompilasi Hukum Islam. Bandung : Nuansa Aulia, 2011.

Laporan PPL Pengadilan Agama Kepanjen Kab. Malang tahun 2015

Maliki. “Studi Analisis Terhadap Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian di Pengadilan Agama Magetan Tahun 2005-2006”. Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2008.


(6)

Tim Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, Cet. V. Surabaya: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel, 2013. Undang-Undang Pokok Perkawinan. Jakarta: Redaksi Sinar Grafika, 2007.

Zainal Fanani (Hakim), Wawancara, Pengadilan Agama Kabupaten Malang, 31 Maret 2016.

Syafiuddin (Hakim) , Wawancara, Pengadilan Agama Kabupaten Malang, 31 Maret 2016.